BAB V HASIL PENELITIAN DAN...
Transcript of BAB V HASIL PENELITIAN DAN...
42
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya pada penjelasan mengenai
pengambilan sampel di bab tiga, responden pada penelitian ini merupakan
penduduk perumahan dan penduduk perkampungan yang tinggal di dalam Kota
Solo Baru dalam satuan KK, atau dengan kata lain merupakan survei rumah tangga.
Berdasarkan perhitungan jumlah sampel minimal, jumlah respondennya adalah
sebanyak 150 responden yang terdiri dari 65% responden penduduk perumahan dan
35% responden penduduk perkampungan. Dari jumlah tersebut, kecenderungan
karakteristik responden yang mengisi kuisioner adalah sebagai berikut:
5.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Responden dalam penelitian ini paling banyak merupakan responden dengan
rentang umur antara 21 sampai 30 tahun, yaitu sekitar 40% dari jumlah total seluruh
responden. Jumlah terbesar kedua terdiri dari responden dengan rentang umur
antara 31-40 tahun, yang persentasenya tidak terlalu berbeda jauh dengan
sebelumnya yaitu sekitar 36%. Sisanya, sebesar 15% responden berumur 41-50
tahun, 5% responden berumur di bawah 20 tahun dan 4% responden berumur di
atas 50 tahun.
Gambar 5.1 Persentase Responden Berdasarkan Umur
Sumber: Kuisioner (2015)
43
5.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Responden laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini memiliki jumlah
yang tidak terlalu berbeda jauh. Responden perempuan berjumlah lebih banyak jika
dibandingkan dengan responden laki-laki, yaitu sekitar 52% dari jumlah
keseluruhan responden. Sementara responden laki-laki berjumlah sekitar 48% dari
jumlah keseluruhan responden.
Gambar 5.2 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Kuisioner (2015)
5.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Persentase terbesar pekerjaan dari responden penelitian ini adalah karyawan
swasta, yaitu sebesar 31% responden. Persentase terbesar selanjutnya adalah
wiraswasta, yaitu sebesar 19% responden. Kemudian dengan jumlah yang tidak
terlalu berbeda jauh, sebanyak 16% responden bekerja sebagai PNS dan masing-
masing 14% responden bekerja sebagai ibu rumah tangga dan pelajar. Sisanya,
sebesar 6% responden tidak bekerja.
Gambar 5.3 Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan
Sumber: Kuisioner (2015)
44
5.1.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal
Responden dalam penelitian ini mayoritas merupakan penduduk yang tinggal
di Kota Solo Baru selama satu dekade terakhir. Sebanyak 40% responden
merupakan penduduk yang telah tinggal di Kota Solo Baru selama 6-10 tahun.
Persentase selanjutnya, sebesar 30% merupakan penduduk yang telah tinggal
selama 1-5 tahun. Tidak terlalu berbeda jauh, persentase terbesar selanjutnya
merupakan penduduk yang telah tinggal selama lebih dari 10 tahun, yaitu sekitar
26%. Sisanya, sebanyak 4% responden merupakan penduduk yang baru tinggal di
Kota Solo Baru selama kurang dari setahun terakhir.
Gambar 5.4 Persentase Responden Berdasarkan Lama Tinggal
Sumber: Kuisioner (2015)
5.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Tinggal
Alasan responden memilih tinggal di Kota Solo Baru sendiri cenderung
variatif. Sekitar 27% responden memilih tinggal di Kota Solo Baru karena dekat
dengan tempat berkegiatan sehari-hari, seperti tempat bekerja. Selanjutnya, 25%
responden memilih karena sudah turun temurun, warisan, atau sudah sejak lahir
tinggal di wilayah tersebut. Sisanya, masing-masing sebesar 24% responden
memilih karena keterjangkauan dari segi harga (harga beli atau sewa tempat tinggal
di dalam Kota Solo Baru relatif lebih murah pada masanya, atau sebanding dengan
fasilitas yang didapat) dan alasan lainnya (misalnya Kota Solo Baru dinilai
prospektif kedepan, fasilitas yang lengkap dan mengikuti suami).
45
Gambar 5.5 Persentase Responden Berdasarkan Alasan Tinggal
Sumber: Kuisioner (2015)
5.2. Evaluasi Ketergantungan Unsur Kota Solo Baru
5.2.1. Tujuan Pembangunan Kota Solo Baru
Kota Solo Baru dikembangkan dengan inisiasi dari pengembang yaitu PT.
Pondok Solo Permai, yang mulai digagas pada tahun 1980-an. Proses awal
pengembangan fisik dilakukan sepenuhnya oleh PT. Pondok Solo Permai.
Sementara Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo hanya berperan sebagai
regulator dan pengawas, seperti yang disampaikan pada kutipan wawancara sebagai
berikut:
“Solo Baru sudah berkembang cukup lama, mulai sekitar akhir tahun 80-
an dan awal 90-an. Konsepnya yang menginisiasi lebih dari pengembang.
Hanya saja kita berbagi peran, Pemda akhirnya membuat perda
perkotaan Solo Baru. Artinya sebagai payung hukum bagi pengembang
untuk mengembangkan kawasan Solo Baru. Konsep awalnya dari
pengembang.” (Prihantono, Kasubbid Tata Ruang dan Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara pada 18 Desember 2014)
Pada awalnya, PT. Pondok Solo Permai hanya merencanakan untuk
membangun dan mengembangkan kawasan permukiman skala besar. Rencana
tersebut dipengaruhi oleh tren bisnis perumahan yang berkembang pada tahun
1980-an. Permukiman tersebut direncanakan sebagai penyedia hunian yang
memiliki akses baik dengan Kota Surakarta dan lokasi industri yang banyak
terdapat di Kabupaten Sukoharjo. Pada sisi kebutuhan perkotaan yang lain,
masyarakat penghuninya masih bergantung pada kota induk yang lebih besar yaitu
46
Kota Surakarta. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh pihak Bappeda
Kabupaten Sukoharjo melalui pernyataan berikut:
“Awalnya konsep pengembangan kalau dari sisi investor hanya untuk
mengembangkan perumahan. Dulu (pengembangan) lebih ke skala
layanan perumahan permukiman. Pengembangan untuk perumahan.”
(Prihantono, Kasubbid Tata Ruang dan Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara pada 18 Desember 2014)
Rencana tersebut kemudian disambut baik oleh Suprapto, bupati Kabupaten
Sukoharjo yang pada waktu itu menjabat. Beliau kemudian juga mengarahkan
untuk mengembangkan perumahan tersebut di wilayah Kabupaten Sukoharjo
bagian utara, karena bagian lain sudah lebih dahulu dikembangkan seperti bagian
selatan yang dikembangkan oleh Kabupaten Wonogiri dan pengembangan Tawang
Sari di bagian barat. Sementara bagian timur dirasa kurang sesuai karena terhalang
oleh Sungai Bengawan Solo yang membelah bagian tersebut.
Pengembang kemudian mengajukan izin pembangunan perumahan yang
disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dengan syarat, yaitu pengembang
harus membangun jalan tembus antara Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta.
Jalan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan
aksesibilitas antara Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta. Pengembang
akhirnya menyetujui syarat tersebut dengan kompensasi dari pemerintah daerah
yaitu pemberian izin pembebasan lahan sekitar 200 Ha.
Pemberian izin lahan seluas 200 Ha kemudian merubah rencana pengembang,
karena lahan tersebut dinilai terlalu besar jika hanya digunakan untuk membangun
kawasan permukiman. Oleh karena itu timbul gagasan pengembang untuk
meningkatkan skala proyek dari pengembangan permukiman skala kecil menjadi
permukiman berskala besar, dengan fasilitas yang lengkap dan memadai setara kota
atau dengan kata lain membangun sebuah kota baru.
Di sisi lain, peningkatan skala proyek menjadi pembangunan kota baru juga
dipengaruhi oleh perkembangan Kota Surakarta saat itu. Sebagai salah satu simpul
pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta mengalami
perkembangan wilayah yang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan
turut berkembangnya kebutuhan perkotaan sehingga diperlukan antisipasi dalam
47
bentuk penyediaan ruang dan fasilitas penunjang tambahan, untuk menghindari
terjadinya permasalahan perkotaan yang lebih kompleks.
Peningkatan kebutuhan perkotaan Kota Surakarta tersebut kemudian
ditangkap pengembang sebagai potensi yang prospektif untuk dijual. Hal tersebut
didukung dengan konsep kebijakan pembangunan kota baru yang gencar
ditawarkan oleh pemerintah pusat kala itu. Melihat potensi wilayah yang ada dan
peluang yang ditawarkan oleh pemerintah, akhirnya mendorong PT. Pondok Solo
Permai untuk membangun sebuah kota baru beserta fasilitas pendukung dengan
skala kota, dengan harapan utama dapat menjawab peningkatan kebutuhan
perkotaan di Kota Surakarta (Nailulmuna, 2012).
Gambar 5.6 Latar Belakang Pengembangan Kota Solo Baru Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan beberapa paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembangunan Kota Solo Baru oleh PT. Pondok Solo Permai cenderung mengalami
perubahan mengikuti kondisi dan fase pembangunan. Pada fase awal digagasnya
pembangunan, pengembang merencanakan pembangunan kawasan perumahan
skala besar dengan tujuan sebagai penyedia hunian yang memiliki akses baik
dengan Kota Surakarta dan lokasi industri yang banyak terdapat di Kabupaten
Sukoharjo. Pada fase selanjutnya setelah melakukan komunikasi dengan
pemerintah daerah, pengembang kemudian merubah rencana pembangunan
kawasan menjadi pembangunan kota baru dengan tujuan sebagai (1) pendukung
pertumbuhan dan perkembangan daerah sekitarnya, (2) penyangga perkembangan
Kota Surakarta, (3) pusat permukiman, industri dan pelayanan, serta sebagai (4)
48
simpul jaringan koleksi, distribusi dan transportasi baik lokal maupun regional
(Kartiko dkk, 1998). Terlihat tujuan kedua pembangunan Kota Solo Baru tersebut
menunjukkan arah pengembangan Kota Solo Baru sebagai pusat penggerak baru
bagi Kabupaten Sukoharjo. Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan
pengembang Kota Solo Baru yang menyatakan bahwa keberadaan Kota Solo Baru
dimaksudkan untuk mengembangkan Kabupaten Sukoharjo, melalui pernyataan
berikut:
“Dulu Sukoharjo bukan kota besar. Tidak ada yang kenal Sukoharjo. Dari
PAD nya sendiri agak kurang, karena itu maka kepala daerahnya dulu
berupaya bagaimana (agar) dapat mengembangkan Sukoharjo. Sebelum
ada Solo Baru jarang (ada) yang melirik Sukoharjo.” (Gatot, Marketing
Manager PT. Pondok Solo Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
Selain itu, kedua tujuan pada fase yang berbeda tersebut memiliki kesamaan
antar keduanya. Kedua tujuan tersebut sama-sama kuat dipengaruhi oleh Kota
Surakarta. Pada fase pertama pembangunan, pengembang membangun kawasan
perumahan yang merupakan bakal calon Kota Solo Baru karena dianggap memiliki
lokasi dan potensi yang prospektif untuk dijual. Hal tersebut didukung dengan
berubahnya arah investasi di Kabupaten Sukoharjo karena semakin terbatas dan
mahalnya lahan di Kota Surakarta, sebagaimana disampaikan melalui pernyataan
sebagai berikut:
“Solo sendiri lahannya sudah sempit. Akhirnya banyak investor-investor
yang lari ke daerah selatan.” (Gatot, Marketing Manager PT. Pondok Solo
Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
“Setelah berjalannya waktu ada perubahan iklim investasi ekonomi,
akhirnya akhir-akhir ini yang berkembang (adalah) Solo lahannya
(menjadi) agak mahal, susah mencari lahan. Akhirnya (investasi) lebih
menggeser, jadi selama lima tahun ini lebih berkembang ke arah
Sukoharjo arus investasinya. Kalau dari aspek pengembangan wilayah,
memang kalau kita lihat konteks ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan
oleh para pengembang, mereka akan lebih bisa memperoleh keuntungan
dari lahan yang lebih murah. Karena Solo lebih mahal akhirnya
menggeser ke kanan kirinya, terutama ke arah selatan (Solo Baru).
Sukoharjo harga tanahnya agak miring.” (Prihantono, Kasubbid Tata
Ruang Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara
pada 18 Desember 2014)
49
Gambar 5.7 Tujuan pada Masing-masing Fase Pembangunan Kota Solo Baru Sumber: Analisis Penulis (2015)
Sementara pada fase kedua pembangunan, Kota Solo Baru dibangun sebagai
penyangga perkembangan Kota Surakarta (Kartiko dkk, 1998). Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, Kota Solo Baru yang berbatasan langsung dengan Kota
Surakarta digagas oleh pengembang dengan harapan keberadaannya dapat
menampung luapan kebutuhan perkotaan Kota Surakarta.
Kota Solo Baru sebagai penyangga Kota Surakarta juga dinyatakan dari sisi
pemerintah daerah. Dalam pengembangan kawasan andalan dan strategis wilayah
Provinsi Jawa Tengah khususnya kawasan Subosuko (Surakarta, Boyolali,
Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten), Kabupaten Sukoharjo
diarahkan untuk mendukung pengembangan wilayah perkotaan Surakarta. Oleh
karena itu sebagian wilayah Kabupaten Sukoharjo yang potensial dan berbatasan
langsung dengan Kota Surakarta (termasuk Kota Solo Baru) disiapkan untuk
mengantisipasi perkembangan fisik Kota Surakarta. Pembangunan Kota Solo Baru
juga dilakukan dengan menyerasikan tujuan pembangunan di Kabupaten Sukoharjo
maupun Kota Surakarta. Keduanya termasuk dalam Wilayah Pembangunan (WP)
IV dalam strategi pembangunan wilayah Provinsi Jawa Tengah (Bappeda, 2003).
Sementara dari sisi pengembang sendiri, menyatakan bahwa sejak awal Kota
Solo Baru sudah diarahkan untuk menjadi kota mandiri. Pengembang pun sudah
mencantumkan kata ‘mandiri’ dalam setiap penamaan Kota Solo Baru, baik dalam
dokumen rencana maupun dokumen pemasaran walaupun hal tersebut lebih berupa
kebijakan marketing dari pengembang. Klaim ‘mandiri’ tersebut sayangnya tidak
50
dapat dibuktikan lebih lanjut mengingat keterbatasan data. Lebih lanjut
pengembang menyatakan bahwa kemudian dalam pengembangannya Kota Solo
Baru masih menonjolkan sisi Solo Baru sebagai kawasan permukiman skala besar.
Hal tersebut disebabkan karena pengembangan sebuah kota untuk bisa menjadi kota
yang mandiri tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan proses yang
tidak singkat, seperti yang secara eksplisit disampaikan dalam pernyataan berikut:
“Sebetulnya kita memang sudah merencanakan membuat kota mandiri. Tetapi
(prosesnya) bertahap. Mungkin dulu belum terlihat, yang terlihat hanya
perumahan saja. Baru sekarang ini mulai terlihat. Solo Baru juga bisa menjadi
kota mandiri. Tetapi rencana kita dari awal memang membuat kota mandiri.
Perkembangan untuk menjadi kota mandiri (tentunya) bertahap, tidak bisa
langsung semudah membalikkan telapak tangan.” (Gatot, Marketing Manager
PT. Pondok Solo Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembangunan Kota Solo Baru terbagi menjadi dua fase, yaitu fase inisiasi
perumahan dan fase pengembangan kota baru. Pada fase kedua, dari pihak
pengembang menyatakan ingin mengakomodasi konsep kota mandiri dalam
perencanaannya walaupun belum terlihat saat ini. Justru motif pengembangan Kota
Solo Baru saat ini terlihat banyak dipengaruhi oleh keberadaan Kota Surakarta,
karena sebagai kota besar Kota Surakarta memiliki daya magnet kuat dan
berbatasan langsung dengan Kota Solo Baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa keberadaan Kota Surakarta sangat berpengaruh besar pada pembentukan
tujuan pembangunan Kota Solo Baru.
5.2.2. Jumlah Penduduk Kota Solo Baru
Berdasarkan hasil analisis dari data sekunder, diketahui bahwa jumlah
penduduk Kota Solo Baru hingga semester kedua tahun 2014 berjumlah sekitar
22.304 jiwa, dengan kepala keluarga berjumlah sekitar 8.684 KK. Jumlah tersebut
terdiri dari 5.675 KK penduduk perumahan dan 3.009 KK penduduk
perkampungan. Penduduk Kota Solo Baru mayoritas merupakan penduduk usia
muda (25-29 tahun) memiliki dan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,53
(Kecamatan Grogol dalam Angka, 2014), seperti yang tergambar pada Gambar 5.8.
51
Berdasarkan hal tersebut maka jumlah penduduk Kota Solo Baru dapat
diproyeksikan secara kasar sebagai berikut:
Tabel 5.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Solo Baru Tahun 2015-2030
Tahun Proyeksi Jumlah Penduduk
2015 23.678
2020 30.564
2025 37.483
2026 38.864
2027 40.257
2028 41.625
2029 43.007
2030 44.383
Sumber: Analisis Penulis (2015)
a. Penduduk Kota Solo Baru b. Responden Penelitian
Gambar 5.8 Perbandingan Piramida Penduduk Kota Solo Baru dan Responden Penelitian Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014) dan Analisis Penulis (2015)
5.2.3. Ketergantungan Pekerjaan Penduduk Kota Solo Baru
Sebagai kawasan yang digadang-gadang akan menjadi sebuah central
business district (CBD), sudah tersedia lapangan pekerjaan yang cukup beragam di
Kota Solo Baru terutama industri dan jasa/perdagangan. Dengan jarak yang relatif
dekat dengan Kota Surakarta, Kota Solo Baru diharapkan untuk dapat menjadi
pusat kegiatan dan lapangan kerja baru bagi Kabupaten Sukoharjo (Bappeda, 2003).
Sektor yang paling menonjol saat ini adalah sektor industri serta jasa dan
perdagangan. Sektor industri yang berkembang didominasi industri printing dan
furnitur dengan orientasi ekspor (Bappeda, 2003). Selain itu, pada Desa Madegondo
15 10 5 0 5 10 15
Perempuan Laki-Laki
15 10 5 0 5 10 15
Perempuan Laki-Laki
52
juga terdapat industri kecil dan rumah tangga yang berjumlah sekitar 34 unit.
Mayoritas industri di Desa Madegondo tersebut adalah industri tahu rumahan, yang
terletak di kawasan perkampungan Kota Solo Baru.
Gambar 5.9 Contoh Lapangan Kerja Sektor Jasa dan Sektor Industri
Informal di Kota Solo Baru Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Kota Solo Baru pada tahun 2014
berjumlah sekitar 15.624 jiwa atau sekitar 70% dari jumlah penduduk di Kota Solo
Baru. Jumlah usia produktif terbesar berasal dari Desa Madegondo sebanyak 5.904
jiwa atau sekitar 37,79% dari seluruh penduduk usia produktif Kota Solo Baru.
Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Usia Produktif Kota Solo Baru Tahun 2014
Wilayah Jumlah (jiwa)
Madegondo 5904
Langenharjo 5626
Gedangan 3841
Telukan 162
Grogol 91
Jumlah 15.624
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), diolah
Sementara itu berdasarkan data, untuk tahun 2014 penyerapan tenaga kerja di
Kota Solo Baru berjumlah sekitar 10.119 pekerja, dari delapan sektor pekerjaan
yang ada di Kota Solo Baru. Dari ke delapan sektor di Kota Solo Baru tersebut,
sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor industri
pengolahan. Sementara wilayah dengan penyerapan tertinggi berada di Desa
Madegondo, sesuai dengan lapangan pekerjaan di Desa Madegondo yang memiliki
jumlah paling tinggi dibandingkan dengan desa lain di Kota Solo Baru.
53
Gambar 5.10 Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Kota Solo Baru
berdasarkan Sektor Tahun 2014 Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2014), diolah
Namun apabila jumlah tersebut dibandingkan dengan data jumlah tenaga
kerja yang terserap di Kota Solo Baru, dengan asumsi bahwa penduduk yang
menjadi tenaga kerja di Kota Solo Baru merupakan penduduk yang juga tinggal di
Kota Solo Baru, maka masih ada 5.505 orang atau sekitar 35,23% dari penduduk
dalam usia produktif yang belum terserap di Kota Solo Baru.
Gambar 5.11 Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Terhadap Penduduk Usia
Produktif Kota Solo Baru Tahun 2014
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah daerah dan pengembang
Kota Solo Baru, mayoritas penduduk di Kota Solo Baru bekerja di luar wilayah
Kabupaten Sukoharjo (termasuk Kota Solo Baru), seperti di Kota Surakarta, Kota
Yogyakarta, Kota Jakarta dan wilayah lain terutama di sekitar Kabupaten
Sukoharjo. Seperti yang disampaikan oleh pihak Bappeda Kabupaten Sukoharjo
Pertanian & Peternakan
0%
Industri pengolahan
50%
Listrik, Gas & Air Bersih
0%
Perdagangan, Hotel & Restoran
18%
Transportasi0%
Komunikasi0%
Keuangan, Sewa & Jasa Perusahaan
13%
Jasa 19%
35,23%
64,77%
Tidak Terserap Terserap
54
dan PT. Pondok Solo Permai selaku pengembang melalui kutipan wawancara
berikut:
“Memang kebanyakan bukan penduduk asli (Kota Solo Baru), artinya
pendatang. (Berasal) dari Solo, mungkin lebih ingin tinggal di hunian
yang nyaman, tertata, dan berkembang. Kebanyakan bekerja di luar Kota
Solo Baru tetapi tetap di sekitar Solo.” (Prihantono, Kasubbid Tata Ruang
Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara pada 18
Desember 2014)
“Kebanyakan yang membeli (dari) Solo dan sekitar Sukoharjo. Kerjanya
di sana.” (Gatot, Marketing Manager PT. Pondok Solo Permai,
wawancara pada 13 Januari 2014)
Sementara menurut Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sukoharjo, terdapat
tiga kecenderungan pemilihan lokasi kerja penduduk Kota Solo Baru.
Kecenderungan yang pertama adalah bekerja di Kota Surakarta, sebagai kota besar
yang lokasinya paling dekat dengan Kota Solo Baru. Kedua, bekerja di Kota Solo
Baru sendiri karena semenjak pengembangannya telah terjadi peningkatan jumlah
lapangan kerja di Kota Solo Baru. Menurut pengembang sendiri, penduduk Kota
Solo Baru yang bekerja di dalam Kota Solo Baru merupakan penduduk (terutama
perumahan kelas menengah atas) yang berprofesi di bidang wiraswasta. Hal
tersebut dikarenakan mereka memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi,
mengingat harga perumahan terutama di tengah Kota Solo Baru yang juga relatif
tinggi.
“(Penduduk Kota Solo Baru) sekitar tengah kota kebanyakan merupakan
keturunan cina, biasanya (berprofesi sebagai) wiraswasta. Businessman.
Jarang yang (berprofesi sebagai) pegawai negeri. Untuk daerah pinggir
(tipe kecil) kebanyakan merupakan suku jawa.” (Gatot, Marketing
Manager PT. Pondok Solo Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
Ketiga, bekerja di luar Kota Solo Baru baik di luar Kabupaten Sukoharjo, di
Kota Surakarta, maupun di kota besar lain seperti Yogyakarta dan Jakarta.
Kecenderungan terakhir ini terjadi pada penduduk Kota Solo Baru yang hanya
memiliki rumah sebagai bentuk investasi bukan sebagai rumah tinggal sehari-hari,
dan rata-rata merupakan penduduk perumahan kluster mewah. Hal tersebut sesuai
pernyataan pihak Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sukoharjo berikut:
55
“Kalau yang tinggal di Solo Baru itu mungkin kerjanya di Solo, mungkin
juga kerja di Solo Baru sendiri, mungkin rumah hanya untuk invest saja
(tetapi) kerjanya di Singapura atau Jakarta.” – Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo (wawancara pada 23 Desember 2014)
Gambar 5.12 Persentase Pemilihan Lokasi Kerja Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa lokasi bekerja responden
penduduk Kota Solo Baru relatif beragam. Persentase terbesar yaitu sekitar 40,4%
merupakan responden yang bekerja di luar Kabupaten Sukoharjo, seperti Kota
Surakarta dan Kota Yogyakarta. Persentase kedua yaitu sekitar 35,35% adalah
responden yang bekerja di luar Kota Solo Baru, tetapi masih berada di Kabupaten
Sukoharjo, mayoritas di Kecamatan Sukoharjo dan Kecamatan Kartasura.
Persentase terkecil yaitu sekitar 24,24% adalah responden yang bekerja di dalam
Kota Solo Baru. Berdasarkan persentase tersebut, dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa penduduk Kota Solo Baru masih memiliki ketergantungan
pekerjaan pada kota atau wilayah lain yang cukup besar (dengan total 75,76%).
Pemilihan lokasi kerja sendiri dipengaruhi oleh faktor historis dan keinginan
untuk mendapat pekerjaan yang paling baik. Kedua faktor tadi menyebabkan
pemilihan lokasi kerja penduduk Kota Solo Baru cenderung beragam. Untuk faktor
historis yang pertama adalah memilih bertempat tinggal di Kota Solo Baru karena
sudah terlebih dahulu mendapatkan pekerjaan di sekitar Kota Solo Baru (umumnya
di Kota Surakarta). Beberapa responden menyatakan memang milih untuk membeli
rumah dan kemudian bertempat tinggal di Kota Solo Baru karena mendapat
pekerjaan di Kota Surakarta. Pertimbangannya adalah lokasi Kota Solo Baru yang
relatif dekat dengan Kota Surakarta dan lingkungan perumahan yang dinilai baik.
56
Sementara faktor historis kedua adalah dalam bentuk kecenderungan untuk sudah
terlebih dahulu bekerja di luar Kota Solo Baru sejak Kota Solo Baru belum
dikembangkan. Walaupun kemudian Kota Solo Baru semakin berkembang, tetapi
penduduk tersebut tetap bekerja di luar Kota Solo Baru karena pertimbangan posisi
pekerjaan yang sudah tinggi dan lama bekerja. Selain itu, juga terdapat
kecenderungan untuk memilih pekerjaan yang paling baik, tidak masalah dimana
pun lokasi pekerjaan tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penyediaan lapangan
kerja di Kota Solo Baru sudah cukup bervariasi, tetapi jumlahnya masih belum
cukup memadai. Lapangan kerja yang tersedia baru memadai untuk 64,77% usia
produktif. Selain itu, penyediaan lapangan pekerjaan dan pemanfaatannya
berbanding terbalik. Berdasarkan hasil kuisioner, sebesar 75,76% responden
bekerja di luar Kota Solo Baru. Responden lebih memilih untuk bekerja di luar Kota
Solo Baru terutama di Kota Surakarta.
5.2.4. Ketergantungan Fasilitas Pelayanan Penduduk Kota Solo Baru
5.2.4.1 Wisma
Penyediaan hunian berimbang di Kota Solo Baru pada awalnya sudah
diakomodasi dalam proses perencanaan. Perencanaan pembangunan perumahan di
Kota Solo Baru mengacu pada keseimbangan sosial dengan memperhatikan
komposisi antara perumahan untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
menengah dan atas. Pola hunian yang diterapkan oleh PT. Pondok Solo Permai pada
Kota Solo Baru adalah pola 1:3:10 (Kartiko dkk, 1998), dengan jenis dan tipe rumah
dirancang beragam dalam satu kawasan. Keberadaan perumahan yang dibangun
oleh pengembang juga menyatu dengan permukiman penduduk asli (Ernawati,
2003) sehingga tidak melakukan penggusuran pada proses pembangunannya.
Pada awal pembangunan Kota Solo Baru, peraturan pemerintah yang berlaku
pada saat itu menetapkan bahwa pola hunian yang harus diterapkan oleh
pengembang adalah pola hunian 1:3:6. Tetapi PT. Pondok Solo Permai saat itu
memilih untuk menggunakan pola hunian 1:3:10 karena pengembang memandang
pola tersebut dapat meningkatkan keseimbangan sosial dan untuk menghindari
57
terjadinya konflik kecemburuan sosial antar penduduknya, terutama kesenjangan
pada fungsi-fungsi kegiatan sosial.
(i) Perkampungan (ii) Perumahan Sederhana
(iii) Perumahan Menengah (iv) Perumahan Mewah
Gambar 5.13 Perumahan Formal dan Perkampungan pada Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Untuk mewujudkan pola hunian 1:3:10 tersebut maka pada proses
perencanaan Kota Solo Baru, pengembang merancang berbagai jenis dan tipe
rumah. Tipe rumah yang disediakan oleh pengembang cukup beragam, mulai dari
tipe 21 hingga tipe 185. Keberadaannya juga dirancang masih dalam satu kawasan.
Pembagian sektor dan luas masing-masing klasifikasi rumah tinggal Kota Solo
Baru dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 5.3 Pembagian Klasifikasi Rumah Tinggal di Kota Solo Baru
Klasifikasi Sektor Luas (Ha)
Perumahan Mewah 1 43,7
Perumahan Menengah 1, 3, 5 100,7
Perumahan Sederhana 1, 3, 5, 7, 9, 10 175,1
Perkampungan - 231,9
Sumber: Kartiko dkk (1998), Observasi Lapangan (2015)
58
Sementara pola hunian untuk tiap klasifikasi perumahan formal beserta
perkampungan penduduk asli di Kota Solo Baru dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 5.14 Delineasi Kelas Perumahan Formal dan Perkampungan Kota Solo Baru
Sumber: Bappeda Kabupaten Sukoharjo (2014), PT. Pondok Solo Permai (2014)
Seiring perkembangannya, penyediaan hunian berimbang tersebut mulai
bergeser. Pola hunian yang semula 1:3:10 tidak lagi menjadi patokan bagi
pengembang dalam membangun. Berdasarkan pengamatan, hunian berimbang di
Kota Solo Baru saat ini berpola sekitar 1:2:4 dan disediakan lebih karena prinsip
ekonomi menurut tren perumahan pada umumnya, yaitu penyediaan kelas hunian
yang menyesuaikan lokasi perumahan. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan
oleh pengembang sesuai pernyataan berikut:
“Pemerintah sekarang tidak begitu memperhatikan perimbangan
(hunian). Sekarang orang cenderung membuat satu cluster berkelas sama.
Perumahan (kelas) mewah maka (ukuran rumah) besar semua,
perumahan (kelas) sederhana maka (ukuran rumah) kecil semua.
59
Sekarang PT. Pondok Solo Permai mengikuti seperti itu saja, (kelas
hunian) beragam tergantung lokasi. (Apabila) tanahnya lokasinya bagus,
di tengah kota, otomatis dibangun rumah mewah.” (Gatot, Marketing
Manager PT. Pondok Solo Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
Dari segi penyediaan, Kota Solo Baru dinilai sudah cukup baik karena sudah
mengakomodasi hunian berimbang baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya. PT. Pondok Solo Permai selaku pengembang juga menerapkan
konsep membangun tanpa menggusur, sehingga perumahan pada Kota Solo Baru
dibangun ‘menyatu’ dalam satu kawasan dengan rumah penduduk asli (penduduk
perkampungan). Hanya saja berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terlihat
adanya segregasi baik antara penduduk perumahan kelas menengah ke bawah dan
penduduk perumahan kelas atas maupun antara penduduk perumahan dan
penduduk perkampungan. Hal tersebut juga diperkuat fakta bahwa penyediaan
hunian berimbang di Kota Solo Baru cenderung mengikuti tren pembangunan
perumahan, yaitu segmentasi kelas hunian sesuai lokasi.
Sementara pada aspek pemanfaatan, berdasarkan hasil temuan di lapangan
ditemukan banyak rumah di Kota Solo Baru yang tidak dihuni oleh pemiliknya.
Kebanyakan rumah tersebut merupakan rumah dengan klasifikasi menengah atas.
Hal tersebut ditegaskan melalui pernyataan berikut:
“Rumah yang bertipe besar yang di Solo Baru itu sebagian besar kosong.
Kita tidak tahu penggunaannya. Penjaga (rumah) sebagian besar hanya
pembantu. Mungkin (pemiliknya) orang dari daerah tertentu, (sehingga)
hanya dipakai kalau liburan saja atau bagaimana saya tidak tahu. Tetapi
kenyataannya seperti itu.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU
Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Menurut pengembang terdapat faktor historis yang mempengaruhi terjadinya
kecenderungan kepemilikan rumah sebagai bentuk investasi tersebut. Pemilik
rumah merupakan penduduk yang dahulu berasal dari daerah sekitar Kota Solo
Baru (baik dari Kota Surakarta maupun Kabupaten Sukoharjo sendiri) yang
kemudian merantau untuk bekerja di kota besar lain. Setelah sukses bekerja di tanah
rantau, orang tersebut kemudian membeli rumah yang dekat dengan daerah asalnya
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai rumah untuk menghabiskan masa tua
setelah pensiun.
60
“Rata-rata bekerja di sekitar Sukoharjo-Solo. Kalau rumah mewah,
banyak yang pemiliknya (berada di) Jakarta. Tetapi pasti dulu berasal
dari sekitar sini. Bekerja di Kota Jakarta, (lalu) sukses. Membeli rumah di
Kota Solo Baru, tetapi masih bekerja di Kota Jakarta karena saudaranya
masih banyak yang berada di sini.” (Gatot, Marketing Manager PT.
Pondok Solo Permai, wawancara pada 13 Januari 2014)
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk unsur
wisma, Kota Solo Baru sudah didukung dengan keberadaan hunian berimbang
dengan pola hunian 1:3:10. Selain hunian berimbang, pembangunan juga
mengaplikasikan konsep pembauran antara penduduk asli dan pendatang dengan
membangun perumahan secara ‘menyatu’ dengan perkampungan penduduk asli.
Hanya saja masih terdapat beberapa permasalahan terkait unsur wisma. Yang
pertama adalah masih terjadi segregasi antar kelas penduduknya, baik antar
penduduk perumahan maupun penduduk perkampungan. Selain itu, masih terdapat
rumah-rumah pada perumahan Kota Solo Baru yang tidak dihuni oleh pemiliknya,
terutama rumah-rumah mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan intervensi terkait
permasalahan tersebut untuk dapat memaksimalkan fungsi dari unsur wisma.
5.2.4.2 Penyempurna
Sarana penyempurna merupakan unsur permukiman yang penting sebagai
pelengkap dan penunjang kehidupan masyarakat di dalamnya. Adapun elemen
dalam unsur ini terdiri dari sarana pendidikan, sarana kesehatan dan sarana
peribadatan.
a. Pendidikan
Sarana pendidikan yang ada di Kota Solo Baru terdiri dari Taman Kanak-
Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Sekolah-sekolah tersebut terdiri dari sekolah swasta dan
negeri, tetapi mayoritas merupakan sekolah swasta. Dalam penelitian ini, analisis
hanya dilakukan hingga tingkat pendidikan SMA, sesuai dengan program dan
wacana program wajib belajar. Berdasarkan data sekunder, jumlah masing-masing
sarana pendidikan di Kota Solo Baru adalah sebagai berikut:
61
Tabel 5.4 Jumlah Sarana Pendidikan Kota Solo Baru Tahun 2013
Wilayah Jumlah Sarana
TK SD SMP SMA
Madegondo 4 3 1 2
Langenharjo 4 6 1 0
Gedangan 4 3 2 0
Telukan 2 1 0 0
Grogol 0 0 0 0
Jumlah 14 13 4 2
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), Observasi Lapangan (2015)
(i) TK (ii) SD
(iii) SMP (iv) SMA
Gambar 5.15 Sarana Pendidikan di Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Dari data jumlah sarana kesehatan tersebut, apabila dianalisis lebih lanjut
dengan analisis kebutuhan sarana maka diketahui bahwa jumlah eksisting sarana
pendidikan TK yang ada di Kota Solo Baru belum mencukupi standar pelayanan.
Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
62
Tabel 5.5 Standar Pelayanan TK di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit TK
untuk setiap
1250
penduduk
4 7 Belum mencukupi
Langenharjo 7980 4 7 Belum mencukupi
Gedangan 5445 4 5 Belum mencukupi
Telukan 354 2 1 Belum mencukupi
Grogol 139 0 1 Belum mencukupi
Jumlah 22304 14 18 Belum mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Terlepas dari jumlah TK yang tersedia di Kota Solo Baru tersebut, seluruh
responden penduduk Kota Solo Baru (100%) memilih untuk menyekolahkan
anaknya di TK yang berlokasi di dekat rumah (atau dengan kata lain lokasinya
berada di dalam Kota Solo Baru). Hal tersebut dikarenakan lokasi TK yang dekat
dengan rumah lebih memudahkan orang tua dalam hal pengawasan dan untuk
mengantar jemput.
Sementara untuk tingkat pendidikan SD, berdasarkan analisis kebutuhan
sarana diketahui bahwa jumlah eksisting sarana yang ada di Kota Solo Baru belum
mencukupi standar pelayanan, walaupun untuk Desa Langenharjo dan Telukan
dinilai sudah mencukupi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.6 Standar Pelayanan SD di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit SD
untuk setiap
1600
penduduk
3 6 Belum mencukupi
Langenharjo 7980 6 5 Mencukupi
Gedangan 5445 3 5 Belum mencukupi
Telukan 354 1 1 Mencukupi
Grogol 139 0 1 Belum mencukupi
Jumlah 22304 13 14 Belum mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Mayoritas responden atau sekitar 86,21% memilih untuk bersekolah ataupun
menyekolahkan anggota keluarganya di SD yang terletak di dalam Kota Solo Baru.
Mereka cenderung memilih lokasi SD yang paling dekat dengan rumah, karena
pertimbangan kemudahan dalam mengantar jemput, keterjangkauan lokasi apabila
63
sang anak berangkat sendiri dengan berjalan kaki ataupun bersepeda, dan
pertimbangan keamanan.
Sementara sisa responden masing-masing sebanyak 6,9% memilih lokasi SD
yang berada di luar Kota Solo Baru, baik di kecamatan lain tetapi masih dalam
Kabupaten Sukoharjo ataupun di luar Kabupaten Sukoharjo. Lokasi tersebut dipilih
karena pertimbangan kualitas pendidikan, ataupun karena lokasinya dekat dengan
lokasi bekerja orang tua.
Gambar 5.16 Persentase Pemilihan Lokasi SD Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Untuk tingkat pendidikan SMP, berdasarkan analisis kebutuhan sarana
diketahui bahwa jumlah eksisting sarana yang ada di Kota Solo Baru belum
mencukupi standar pelayanan, walaupun untuk Desa Gedangan dinilai sudah
mencukupi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.7 Standar Pelayanan SMP di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit SMP
untuk setiap
4800
penduduk
1 2 Belum mencukupi
Langenharjo 7980 1 2 Belum mencukupi
Gedangan 5445 2 2 Mencukupi
Telukan 354 0 1 Belum mencukupi
Grogol 139 0 1 Belum mencukupi
Jumlah 22304 4 5 Belum mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Pemilihan lokasi SMP penduduk Kota Solo Baru cenderung beragam.
Persentase terbesar yaitu sekitar 45,83% responden memilih untuk bersekolah
64
ataupun menyekolahkan anggota keluarganya di SMP yang terletak di dalam Kota
Solo Baru. Kemudian persentase kedua yang tidak berbeda jauh yaitu sebesar
41,67% responden memilih lokasi SMP di luar Kota Solo Baru tetapi masih di
dalam kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo. Sisanya sekitar 12,5% responden
memilih lokasi SMP di luar Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi SMP banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan kualitas pendidikan, sehingga ada kecenderungan
untuk mencari sekolah yang terbaik walaupun lokasinya jauh dari tempat tinggal.
Gambar 5.17 Persentase Pemilihan Lokasi SMP Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Untuk tingkat pendidikan SMA, berdasarkan analisis kebutuhan sarana
diketahui bahwa jumlah eksisting sarana yang ada di Kota Solo Baru belum
mencukupi standar pelayanan, walaupun untuk Desa Madegondo dinilai sudah
mencukupi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.8 Standar Pelayanan SMA di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit SMA
untuk setiap
4800
penduduk
2 2 Mencukupi
Langenharjo 7980 0 2 Belum mencukupi
Gedangan 5445 0 2 Belum mencukupi
Telukan 354 0 1 Belum mencukupi
Grogol 139 0 1 Belum mencukupi
Jumlah 22304 2 5 Belum mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Sama seperti pemilihan lokasi SMP, pemilihan lokasi SMA penduduk Kota
Solo Baru juga cenderung beragam. Mayoritas penduduk Kota Solo Baru yaitu
65
sebesar 45,83% responden memilih lokasi SMA yang berada di luar Kota Solo Baru
tetapi masih di dalam Kabupaten Sukoharjo.
Gambar 5.18 Persentase Pemilihan Lokasi SMA Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Persentase terbesar kedua yaitu sebesar 29,17% responden memilih lokasi SMA di
luar Kabupaten Sukoharjo. Sisanya, sebanyak 25% responden memilih lokasi SMA
di dalam Kota Solo Baru. Pemilihan lokasi SMA juga dipengaruhi oleh
pertimbangan kualitas pendidikan, responden memilih mencari sekolah yang
terbaik walaupun lokasinya jauh dari tempat tinggal.
Gambar 5.19 Persentase Pemilihan Lokasi Sarana Pendidikan Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk sarana pendidikan,
penduduk Kota Solo Baru mayoritas memilih sarana yang berada di Kota Solo
Baru. Pemilihan lokasi sarana pendidikan tersebut cenderung didasarkan pada
jenjang pendidikannya. Pada jenjang pendidikan rendah (yaitu TK dan SD)
kecenderungannya adalah memilih lokasi yang dekat dengan tempat tinggal (atau
dengan kata lain dalam Kota Solo Baru) karena pertimbangan keamanan dan
66
kemudahan aksesibilitas dari dan menuju lokasi sarana bagi orang tua. Sementara
untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP dan SMA), penduduk Kota Solo
Baru secara keseluruhan cenderung memilih sarana yang berlokasi di luar Kota
Solo Baru, karena memilih sekolah yang baik kualitasnya.
b. Kesehatan
Sarana kesehatan yang ada di Kota Solo Baru terdiri dari puskesmas, klinik
praktek dokter dan rumah sakit. Berdasarkan data sekunder, jumlah masing-masing
sarana kesehatan di Kota Solo Baru adalah sebagai berikut:
Tabel 5.9 Jumlah Sarana Kesehatan Kota Solo Baru Tahun 2013
Wilayah Jumlah Sarana
Puskesmas Praktek Dokter Rumah Sakit
Madegondo 1 5 0
Langenharjo 0 12 0
Gedangan 0 0 1
Telukan 0 1 0
Grogol 0 1 0
Jumlah 1 19 1
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), Observasi Lapangan (2015)
(i) Puskesmas (ii) Rumah Sakit
Gambar 5.20 Sarana Kesehatan di Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Dari data jumlah sarana kesehatan tersebut, apabila dianalisis lebih lanjut
dengan analisis kebutuhan sarana maka diketahui bahwa jumlah eksisting
puskesmas yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar pelayanan. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
67
Tabel 5.10 Standar Pelayanan Puskesmas di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit
Puskesmas
untuk setiap
120.000
penduduk
1
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 0
Gedangan 5445 0
Telukan 354 0
Grogol 139 0
Jumlah 22304 1
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, seluruh responden penduduk Kota Solo Baru
yang menggunakan sarana puskesmas adalah penduduk perkampungan. Hal ini
disebabkan karena pertimbangan harga. Sarana puskesmas dinilai lebih terjangkau
oleh masyarakat perkampungan jika dibandingkan dengan sarana kesehatan lain.
Mayoritas responden penduduk perkampungan Kota Solo Baru (78,79%)
menggunakan sarana puskesmas yang ada di dalam Kota Solo Baru yang dekat
dengan tempat tinggal. Sisanya, sebanyak 15,15% responden memilih lokasi
puskesmas yang ada di Kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo dan 6,06%
responden memilih lokasi puskesmas di luar Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan
lokasi puskesmas di luar Kota Solo Baru tersebut mayoritas dikarenakan lokasi
puskesmas yang dekat dengan lokasi berkegiatan lain, seperti bekerja.
Gambar 5.21 Persentase Pemilihan Lokasi Puskesmas Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Untuk sarana praktek dokter, berdasarkan analisis kebutuhan sarana diketahui
bahwa jumlah eksisting sarana yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi
standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
68
Tabel 5.11 Standar Pelayanan Praktek Dokter di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit
Praktek
Dokter
untuk setiap
5000
penduduk
5 2 Mencukupi
Langenharjo 7980 12 2 Mencukupi
Gedangan 5445 0 2 Mencukupi
Telukan 354 1 1 Mencukupi
Grogol 139 1 1 Mencukupi
Jumlah 22304 19 5 Mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Kebalikan dari penggunaan sarana puskesmas, sarana praktek dokter hanya
digunakan oleh responden penduduk perumahan Kota Solo Baru saja. Berbeda
dengan penduduk perkampungan yang memilih menggunakan puskesmas karena
pertimbangan harga, penduduk perumahan lebih memilih menggunakan sarana
praktek dokter untuk jenis penyakit yang tidak terlalu serius karena menganggap
bahwa kualitas pelayanan kesehatan di klinik praktek dokter lebih baik jika
dibandingkan dengan puskesmas.
Gambar 5.22 Persentase Pemilihan Lokasi Praktek Dokter Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa persentase terbesar yaitu
47,62% adalah responden dari penduduk perumahan yang memilih lokasi praktek
dokter di dalam Kota Solo Baru karena mereka lebih memilih sarana yang paling
dekat dengan lokasi tempat tinggal. Persentase kedua yaitu sebesar 33,33%
merupakan responden dari penduduk perumahan yang memilih lokasi praktek
dokter di luar Kabupaten Sukoharjo. Sementara sisanya yaitu sebesar 19,05%
69
responden penduduk perumahan memilih lokasi praktek dokter di luar Kota Solo
Baru tetapi masih dalam Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi mayoritas
dipengaruhi oleh faktor kualitas pelayanan kesehatan dan faktor historis. Penduduk
lebih memilih praktek dokter yang berkualitas baik dan/atau praktek dokter yang
sudah dijadikan langganan sebelum bertempat tinggal di Kota Solo Baru walaupun
letaknya jauh.
Sementara untuk sarana rumah sakit, berdasarkan analisis kebutuhan sarana
diketahui bahwa jumlah eksisting sarana yang ada di Kota Solo Baru sudah
mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.12 Standar Pelayanan Rumah Sakit di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit RS
untuk setiap
240.000
penduduk
0
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 0
Gedangan 5445 1
Telukan 354 0
Grogol 139 0
Jumlah 22304 1
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Gambar 5.23 Persentase Pemilihan Lokasi Rumah Sakit Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa mayoritas responden penduduk
Kota Solo Baru (62,9%) memilih lokasi rumah sakit di dalam Kota Solo Baru itu
sendiri. Penduduk lebih memilih rumah sakit yang terletak di Kota Solo Baru
karena lokasinya lebih dekat dan mudah dijangkau jika dibandingkan dengan rumah
70
sakit lain di luar Kota Solo Baru. Sisanya, sebanyak 22,58% responden memilih
lokasi rumah sakit di luar Kabupaten Sukoharjo dan sebesar 14,52% responden
memilih lokasi rumah sakit di luar Kota Solo Baru tetapi masih di dalam Kabupaten
Sukoharjo. Pemilihan lokasi rumah sakit di luar Kota Solo Baru mayoritas
dikarenakan pertimbangan kualitas atau karena faktor historis (sudah terbiasa
memanfaatkan fasilitas rumah sakit tersebut).
Gambar 5.24 Persentase Pemilihan Lokasi Sarana Kesehatan Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa penduduk Kota Solo Baru
mayoritas memilih sarana kesehatan yang ada di Kota Solo Baru. Sarana yang lebih
dekat dengan tempat tinggal mudah dijangkau oleh penduduk mengingat keluhan
kesehatan kebanyakan merupakan kondisi darurat yang membutuhkan penanganan
sesegera mungkin. Selain itu, sarana kesehatan di Kota Solo Baru juga dinilai setara
kualitasnya dengan sarana kesehatan di luar Kota Solo Baru oleh responden
tersebut. Sementara responden lain yang memilih lokasi sarana kesehatan di luar
Kota Solo Baru dikarenakan menganggap kualitas sarana di luar Kota Solo Baru
(terutama di Kota Surakarta) lebih baik. Selain itu juga terdapat penduduk yang
memilih sarana di luar Kota Solo Baru karena sudah berlangganan atau terbiasa
memanfaatkan pelayanan kesehatan di tempat tersebut.
c. Peribadatan
Sarana peribadatan yang ada di Kota Solo Baru terdiri dari masjid, gereja dan
wihara. Berdasarkan data sekunder, jumlah masing-masing sarana peribadatan di
Kota Solo Baru adalah sebagai berikut:
71
Tabel 5.13 Jumlah Sarana Peribadatan Kota Solo Baru Tahun 2013
Wilayah Jumlah Sarana
Masjid Gereja Wihara
Madegondo 2 0 0
Langenharjo 10 3 0
Gedangan 9 1 1
Telukan 8 1 0
Grogol 6 1 0
Jumlah 35 6 1
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), Observasi Lapangan (2015)
(i) Masjid (ii) Gereja (iii) Wihara
Gambar 5.25 Sarana Peribadatan di Kota Solo Baru Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Dari data jumlah sarana peribadatan tersebut, apabila dianalisis lebih lanjut
dengan analisis kebutuhan sarana maka diketahui bahwa jumlah eksisting masjid
yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.14 Standar Pelayanan Masjid di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit
Masjid
untuk setiap
2500
penduduk
2 4 Belum mencukupi
Langenharjo 7980 10 4 Mencukupi
Gedangan 5445 9 3 Mencukupi
Telukan 354 8 1 Mencukupi
Grogol 139 6 1 Mencukupi
Jumlah 22304 35 9 Mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa seluruh responden penduduk
Kota Solo Baru memilih lokasi masjid yang ada di dalam Kota Solo Baru. Untuk
72
kebutuhan ibadah sehari-hari, penduduk Kota Solo Baru mayoritas lebih memilih
masjid yang terletak paling dekat dengan tempat tinggal atau dengan lokasi
berkegiatan sehari-hari (misalnya bekerja, sekolah, dan lain sebagainya). Begitu
juga untuk ibadah khusus (misalnya pengajian, ibadah hari raya, dan lain
sebagainya), penduduk Kota Solo Baru juga cenderung memilih lokasi masjid yang
berada di lingkungan tempat tinggalnya.
Sementara untuk sarana peribadatan lain yaitu gereja, berdasarkan analisis
kebutuhan sarana diketahui bahwa jumlah eksisting gereja yang ada di Kota Solo
Baru sudah mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 5.15 Standar Pelayanan Gereja di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Keterangan
Madegondo 8386 Tergantung
sistem
kekerabatan
/hirarki
lembaga
0
Mencukupi
Langenharjo 7980 3
Gedangan 5445 1
Telukan 354 1
Grogol 139 1
Jumlah 22304 6
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Gambar 5.26 Persentase Pemilihan Lokasi Gereja Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, terlihat bahwa mayoritas responden penduduk
Kota Solo Baru yang beragama kristen atau katolik (61,76%) memilih lokasi gereja
yang terletak di dalam Kota Solo Baru. Pemilihan lokasi gereja di dalam Kota Solo
Baru tersebut didasari oleh kemudahan dalam mengakses gereja tersebut.
73
Sementara 20,59% responden menyatakan bahwa mereka memilih gereja yang
berada di luar Kabupaten Sukoharjo. Sisanya (17,65% responden) memilih gereja
yang berlokasi di kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi
gereja di luar Kota Solo Baru dikarenakan penduduk tersebut telah menjadi jemaat
gereja tersebut.
Untuk wihara, berdasarkan analisis kebutuhan sarana diketahui bahwa jumlah
eksisting wihara yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar pelayanan.
Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.16 Standar Pelayanan Wihara di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Keterangan
Madegondo 8386 Tergantung
sistem
kekerabatan
/hirarki
lembaga
0
Mencukupi
Langenharjo 7980 0
Gedangan 5445 1
Telukan 354 0
Grogol 139 0
Jumlah 22304 1
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Sama seperti pemilihan lokasi masjid, berdasarkan hasil kuisioner diketahui
bahwa seluruh responden penduduk Kota Solo Baru memilih lokasi wihara yang
ada di dalam Kota Solo Baru. Responden penduduk Kota Solo Baru mayoritas lebih
memilih wihara yang terletak paling dekat dengan tempat tinggal. Selain itu
mayoritas penduduk beragama buddha di Kota Solo Baru merupakan anggota
persaudaraan di Wihara Wimalakirti di Kota Solo Baru.
Gambar 5.27 Persentase Pemilihan Lokasi Peribadatan Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
74
Berdasarkan analisis kebutuhan sarana yang telah dijabarkan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa jumlah eksisting sarana peribadatan yang ada di Kota
Solo Baru sudah mencukupi standar pelayanan. Selain itu, mayoritas responden
penduduk Kota Solo Baru (87%) memilih menggunakan sarana peribadatan di
dalam Kota Solo Baru. Hal tersebut disebabkan karena penduduk lebih memilih
sarana yang paling dekat dengan tempat tinggalnya, terutama untuk kebutuhan
ibadah sehari-hari. Untuk responden beragama Islam dan Buddha, seluruhnya
memilih sarana ibadah yang ada di Kota Solo Baru. Sementara responden beragama
Kristen mayoritas memilih sarana yang ada di Kota Solo Baru, tetapi terdapat
beberapa responden memilih lokasi gereja diluar Kota Solo Baru karena sudah
turun temurun menjadi jemaat gereja tersebut.
Gambar 5.28 Persentase Pemilihan Lokasi Sarana Penyempurna Penduduk Kota
Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Secara keseluruhan, responden penduduk Kota Solo Baru mayoritas
(71,29%) memilih sarana penyempurna yaitu sarana pendidikan, kesehatan dan
pendidikan yang berada di Kota Solo Baru. Sisanya, 15,16% responden memilih
menggunakan sarana yang ada di kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo dan
13,55% responden memilih sarana yang ada di luar Kabupaten Sukoharjo.
Penduduk Kota Solo Baru sebagian besar lebih memilih sarana yang ada di dalam
Kota Solo Baru dengan pertimbangan kepraktisan dan kemudahan sarana untuk
dijangkau. Sementara penduduk yang menggunakan sarana di luar Kota Solo Baru
dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapat kualitas pelayanan lebih baik dan
secara historis telah memanfaatkan pelayanan di sarana tersebut sejak lama.
75
5.2.4.3 Suka
Sarana suka merupakan unsur pelengkap permukiman yang penting untuk
memenuhi kebutuhan rekreasi dan interaksi sosial antar penduduknya. Adapun
elemen dalam unsur ini terdiri dari sarana rekreasi, hobi dan olahraga. Jumlah
sarana tersebut di Kota Solo Baru sendiri adalah sebagai berikut:
Tabel 5.17 Jumlah Sarana Rekreasi dan Olahraga Kota Solo Baru Tahun 2013
Jenis Sarana Jumlah
Sarana
Lapangan Olahraga 6
GOR 1
Bioskop 2
Jumlah 9
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), Observasi Lapangan (2015)
(i) Pandawa Water World (ii) GOR
(iii) Pusat Perbelanjaan (Mall)
Gambar 5.29 Sarana Suka di Kota Solo Baru Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Berdasarkan analisis kebutuhan sarana diketahui bahwa jumlah eksisting
sarana suka yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar pelayanan. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
76
Tabel 5.18 Standar Pelayanan Sarana Suka di Kota Solo Baru
Jenis
Sarana
Jumlah
Penduduk
Standar (unit
per jumlah
penduduk)
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Lapangan
Olahraga 22304
jiwa
1 : 30000 6 4
Mencukupi GOR 1 : 120.000 1 4
Bioskop 1 : 120.000 2 3
Jumlah 9 9
Sumber: Analisis Penulis (2015)
a. Rekreasi
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa mayoritas responden (68,37%)
memilih lokasi rekreasi yang ada di Kota Solo Baru. Bentuk rekreasi yang sering
dilakukan adalah mengunjungi mall atau pusat perbelanjaan yaitu The Park dan
Hartono Mall, baik untuk berbelanja, menonton bioskop, karaoke, ataupun sekedar
window shopping. Sisanya, sebesar 26,53% responden memilih lokasi rekreasi yang
terletak di luar Kabupaten Sukoharjo dan 5,1% responden memilih lokasi rekreasi
di kecamatan lain di dalam Kabupaten Sukoharjo. Responden yang memilih lokasi
rekreasi di luar Kota Solo Baru biasanya mengunjungi pusat perbelanjaan lain yang
ada di Kota Surakarta, maupun ruang publik lain.
Gambar 5.30 Persentase Pemilihan Lokasi Rekreasi Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Mayoritas responden penduduk (75%) memilih lokasi rekreasi di dalam Kota
Solo Baru yaitu pusat perbelanjaan The Park atau Hartono Mall, karena lokasinya
yang dekat dengan rumah dan dinilai sudah cukup memadai untuk sekedar melepas
penat di akhir minggu. Selain itu mereka juga memilih untuk berekreasi ke pusat
77
perbelanjaan karena alasan kepraktisan, dimana mereka mengunjungi pusat
perbelanjaan untuk berekreasi sekaligus melakukan kegiatan belanja kebutuhan
sehari-hari. Sisanya, memilih untuk berekreasi di luar Kota Solo Baru karena
cenderung untuk memilih lokasi rekreasi yang murah. Mereka lebih memilih
berekreasi di tempat hiburan rakyat seperti alun-alun, pasar rakyat, dan sebagainya
seperti Sekatenan atau Ngarsopuro yang mayoritas terletak di Kota Surakarta.
Mereka tidak mempermasalahkan jarak lokasi yang cukup jauh dari tempat tinggal
mereka, asalkan biaya untuk menikmati sarana rekreasi tersebut terjangkau.
b. Olahraga
Berdasarkan hasil kuisioner, mayoritas responden penduduk Kota Solo Baru
(73,33%) menggunakan sarana olahraga yang ada di dalam Kota Solo Baru.
Sisanya, sebesar 18,67% responden memilih menggunakan sarana olahraga yang
ada di luar Kabupaten Sukoharjo dan 8% responden memilih menggunakan sarana
olahraga yang ada di kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo.
Gambar 5.31 Persentase Pemilihan Lokasi Olahraga Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Responden yang memilih menggunakan sarana olahraga di dalam Kota Solo
Baru mayoritas menggunakan lapangan dekat tempat tinggalnya, memanfaatkan
pasar tumpah di kegiatan Car Free Day (CFD) setiap minggu pagi di Jl. Ir.
Soekarno Solo Baru, ataupun berolahraga di sekitar rumah (misalnya jogging di
area perumahan, berolahraga di dalam rumah dengan peralatan pribadi). Sementara
responden yang menggunakan sarana olahraga di luar Kota Solo Baru disebabkan
karena memilih lokasi sarana yang berdekatan dengan lokasi kegiatan sehari-hari
78
lainnya (seperti dekat dengan tempat kerja atau sekolah) dan karena pertimbangan
harga (terjangkau dari segi biaya misalnya jogging atau jalan santai di Stadion
Manahan Kota Surakarta ataupun di Alun-Alun Kidul Kota Surakarta).
c. Hobi
Gambar 5.32 Persentase Pemilihan Lokasi Hobi Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, mayoritas responden penduduk Kota Solo Baru
(67,61%) memilih menggunakan sarana hobi yang ada di Kota Solo Baru. Sarana
yang biasa digunakan adalah lapangan sepakbola, lapangan futsal ataupun di
sekitaran lingkungan tempat tinggal untuk hobi-hobi yang dapat dilakukan di
rumah. Sisanya, sebanyak 25,35% responden memilih lokasi sarana hobi yang ada
di luar Kabupaten Sukoharjo dan 7,04% responden memilih lokasi yang ada di
kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo. Responden yang memilih lokasi
sarana hobi di luar Kota Solo Baru mayoritas dikarenakan sudah terbiasa
menggunakan sarana di lokasi tersebut sejak lama. Selain itu, sarana hobi di luar
Kabupaten Sukoharjo khususnya di Kota Surakarta ketersediaannya lebih beragam
dibandingkan dengan sarana yang ada di dalam Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan analisis kebutuhan sarana, dapat disimpulkan bahwa jumlah
eksisting sarana suka yaitu rekreasi, hobi dan olahraga yang ada di Kota Solo Baru
sudah mencukupi standar pelayanan. Penduduk Kota Solo Baru mayoritas memilih
sarana suka yang ada di Kota Solo Baru. Pemilihan lokasi sarana suka dipengaruhi
oleh kedekatan lokasi, biaya pemanfaatan sarana atau faktor ekonomi, dan
79
kepraktisan menggunakan sarana (misalnya sarana yang dekat dengan tempat
berkegiatan lain).
Gambar 5.33 Persentase Pemilihan Lokasi Sarana Suka Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
5.2.4.4 Marga
Menurut Golany (1976), perencanaan bidang transportasi yang harus
diprioritaskan penanganannya pada sebuah kota baru adalah jalur pejalan kaki dan
transportasi umum. Golany (1976) juga menambahkan bahwa terdapat
pertimbangan-pertimbangan berdasarkan adat atau kebiasaan di wilayah yang
direncanakan. Di Indonesia sendiri, kebiasaan untuk bermobilisasi dengan berjalan
kaki masih kurang. Oleh karena itu pada penelitian ini, unsur marga difokuskan
pada pembahasan transportasi umum.
Untuk sarana transportasi umum, hingga saat ini Kabupaten Sukoharjo
sendiri belum memiliki sistem transportasi umum yang memadai. Kabupaten
Sukoharjo saat ini hanya dilayani oleh bus-bus antar kota dan bus angkutan
pedesaan.
“Itu yang jadi masalah, transportasi di Sukoharjo secara umum masih
kurang. Hanya ada bus Wonogiri-Pacitan, yaitu bus-bus antar kabupaten-
kota.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
80
Gambar 5.34 Bus antar Kabupaten-Kota yang Melewati Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Sebagai bagian dari Kabupaten Sukoharjo, Kota Solo Baru juga belum
memiliki sistem transportasi umum yang khusus melayani kawasan tersebut. Hanya
saja Kota Solo Baru terletak di jalur penghubung antara Kabupaten Sukoharjo dan
Kota Surakarta sehingga terdapat beberapa angkutan antar kabupaten (Wonogiri-
Sukoharjo-Surakarta) dan angkutan perdesaan yang rute layanannya melewati Kota
Solo Baru. Angkutan umum tersebut lah yang dapat digunakan untuk melakukan
perjalanan dari dan menuju Kota Solo Baru.
“Untuk sekarang, ada angkutan yang melewati Solo Baru. Dari arah
selatan dilayani oleh trayek Sukoharjo-Kartasura. Ada bus-bus tanggung
seperti Wahyu, Damar Sasongko. Dari arah Solo (utara ke selatan) ada
Sriwedari. Selain itu juga ada angkutan pedesaan. Bus tersebut hanya
lewat Solo Baru, artinya Solo Baru berada di tengah, kemudian melewati
Solo Baru.” (Prihantono, Kasubbid Tata Ruang dan Prasarana Wilayah
Bappeda Kab. Sukoharjo, wawancara pada 18 Desember 2014)
Tidak adanya sistem tansportasi publik yang memadai tersebut kemudian
menjadi salah satu penyebab penduduk Kota Solo Baru mayoritas memilih moda
transportasi pribadi. Hampir seluruh responden penduduk Kota Solo Baru (96%)
memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan kegiatan sehari-
hari. Sementara sisanya hanya sebesar masing-masing 2% yang memilih
menggunakan kendaraan umum maupun gabungan kendaraan umum dan pribadi.
81
Gambar 5.35 Persentase Pemilihan Moda
Transportasi Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Gambar 5.36 Alasan Pemilihan Moda Trans-
portasi Pribadi Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Selain karena tidak tersedianya moda transportasi umum yang memadai baik
kuantitas maupun kualitasnya, responden penduduk Kota Solo Baru memilih
kendaraan pribadi untuk keperluan pergerakan sehari-hari karena beberapa alasan.
Alasan yang paling banyak diutarakan oleh responden penduduk Kota Solo Baru
(sebanyak 24,74%) adalah karena menggunakan kendaraan pribadi lebih aman jika
dibandingkan dengan kendaraan umum yang melayani Kota Solo Baru. Responden
juga menyatakan alasan menggunakan kendaraan pribadi dikarenakan lebih mudah
jika dibanding dengan menggunakan kendaraan umum. Alasan tersebut
dikemukakan oleh 24,23% responden. Dengan jumlah yang tidak terlalu berbeda
jauh, sekitar 20,62% responden memilih kendaraan pribadi karena lebih nyaman.
Sisanya, sebanyak 18,04% responden memilih kendaraan pribadi karena lebih
cepat, dan 12,37% responden memilih karena lebih murah.
5.2.4.5 Ekonomi
Sarana ekonomi merupakan sarana yang mendukung tumbuh dan
berkembangnya perekonomian masyarakat. Adapun elemen dalam unsur ini terdiri
dari sarana berbelanja, sarana menabung dan kredit, serta sarana sumber
penghasilan. Berdasarkan data sekunder, jumlah sarana tersebut di Kota Solo Baru
sendiri adalah sebagai berikut:
82
Tabel 5.19 Jumlah Sarana Perekonomian Kota Solo Baru Tahun 2013
Wilayah
Jumlah Sarana
Pasar Toko Warung Super
market Mall Hotel Bank
Badan
Kredit
Madegondo 0 88 94 0 2 1 10 5
Langenharjo 0 74 66 1 0 0 2 3
Gedangan 0 58 47 0 0 1 0 2
Telukan 1 23 19 0 0 0 1 1
Grogol 1 31 24 1 0 0 1 0
Jumlah 2 274 250 2 2 2 14 11
Sumber: Kecamatan Grogol dalam Angka (2014), Observasi Lapangan (2015)
(i) Hypermarket (ii) Supermarket
(iii) Pasar (iv) Warung
Gambar 5.37 Sarana Berbelanja di Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
a. Berbelanja
Sarana berbelanja merupakan sarana yang digunakan untuk jual-beli terutama
kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dalam penelitian ini, sarana berbelanja bagi
penduduk yang ada di Kota Solo Baru terdiri dari pasar tradisional, warung,
supermarket dan pusat perbelanjaan (mall).
83
Untuk sarana pasar tradisional, berdasarkan analisis kebutuhan sarana
diketahui bahwa jumlah eksisting pasar yang ada di Kota Solo Baru sudah
mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.20 Standar Pelayanan Pasar di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386
1 unit Pasar
untuk setiap
30.000
penduduk
0
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 0
Gedangan 5445 0
Telukan 354 1
Grogol 139 1
Jumlah 22304 2
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, persentase terbesar, yang merupakan mayoritas
responden penduduk Kota Solo Baru yaitu sekitar 63,33%, memilih untuk
menggunakan pasar yang ada di dalam Kota Solo Baru yaitu Pasar Grogol.
Sementara persentase kedua yaitu sekitar 30% merupakan responden penduduk
Kota Solo Baru yang memilih untuk berbelanja di pasar yang ada di luar Kabupaten
Sukoharjo, seperti Pasar Harjodaksino yang terletak di Kota Surakarta dekat dengan
perbatasan Kota Surakarta-Kota Solo Baru.
Gambar 5.38 Persentase Pemilihan Lokasi Pasar Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Sisanya, hanya sekitar 6,67% responden yang memilih berbelanja di pasar
yang ada di luar Kota Solo Baru tetapi masih di dalam Kabupaten Sukoharjo,
misalnya Pasar Telukan. Responden mayoritas memilih pasar yang ada di dalam
84
Kota Solo Baru karena lebih dekat dan mudah dijangkau dari tempat tinggal.
Sementara responden yang memilih pasar selain di Kota Solo Baru dikarenakan
pertimbangan harga dan letak pasar yang dipilih dekat dengan tempat berkegiatan
lain seperti tempat bekerja.
Untuk sarana berbelanja yang kedua yaitu warung, berdasarkan analisis
kebutuhan sarana diketahui bahwa jumlah eksisting yang ada di Kota Solo Baru
sudah mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 5.21 Standar Pelayanan Warung di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit
Warung
untuk setiap
250
penduduk
94 34 Mencukupi
Langenharjo 7980 66 32 Mencukupi
Gedangan 5445 47 22 Mencukupi
Telukan 354 19 2 Mencukupi
Grogol 139 24 1 Mencukupi
Jumlah 22304 250 90 Mencukupi
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, seluruh responden penduduk Kota Solo Baru
(100%) memilih untuk berbelanja di warung yang berlokasi di dekat rumah (atau
dengan kata lain lokasinya berada di dalam Kota Solo Baru). Hal tersebut
dikarenakan responden memilih warung untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari
terutama kebutuhan harian dalam jumlah yang sedikit, sehingga berbelanja di
warung yang berlokasi dekat dengan rumah dirasakan lebih memudahkan dan lebih
praktis bagi responden.
Sementara untuk sarana berbelanja selanjutnya yaitu supermarket, juga
dilakukan analisis kebutuhan sarana dihitung dari standar sarana berdasarkan
jumlah penduduk. Dari hasil analisis kebutuhan sarana, kemudian diketahui bahwa
jumlah eksisting sarana supermarket yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi
standar pelayanan bagi penduduknya. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
85
Tabel 5.22 Standar Pelayanan Supermarket di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit
Supermar-
ket untuk
setiap
30.000
penduduk
0
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 1
Gedangan 5445 0
Telukan 354 0
Grogol 139 1
Jumlah 22304 2
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Gambar 5.39 Persentase Pemilihan Lokasi Supermarket Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Responden penduduk Kota Solo Baru sebagian besar (85,54%) memilih
lokasi supermarket yang terletak di Kota Solo Baru, misalnya Carrefour. Hanya
sekitar 12,05% responden yang memilih menggunakan supermarket di luar
Kabupaten Sukoharjo, dan sisanya sekitar 2,41% memilih supermarket yang ada di
kecamatan lain di dalam Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi supermarket ini
didasarkan kepada kemudahan lokasi untuk dijangkau. Mayoritas responden
memilih lokasi yang paling dekat dengan tempat tinggalnya, yaitu supermarket
yang terletak di dalam Kota Solo Baru. Sementara responden yang memilih lokasi
supermarket di luar Kota Solo Baru dikarenakan pertimbangan harga serta alasan
kepraktisan (lokasi supermarket dekat dengan tempat berkegiatan lain).
Berdasarkan analisis kebutuhan sarana kemudian diketahui bahwa jumlah
eksisting sarana mall atau pusat perbelanjaan yang ada di Kota Solo Baru sudah
mencukupi standar pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
86
Tabel 5.23 Standar Pelayanan Pusat Perbelanjaan di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit pusat
perbelanja-
an untuk
setiap
120.000
penduduk
2
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 0
Gedangan 5445 0
Telukan 354 0
Grogol 139 0
Jumlah 22304 2
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Gambar 5.40 Persentase Pemilihan Lokasi Pusat Perbelanjaan Penduduk Kota
Solo Baru Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, mayoritas responden penduduk Kota Solo Baru
(81,33%) memilih untuk berbelanja di pusat perbelanjaan yang ada di Kota Solo
Baru, seperti Hartono Mall dan The Park. Sisanya sebesar 18,67% responden
memilih pusat perbelanjaan yang ada di luar Kabupaten Sukoharjo, tepatnya di
Kota Surakarta seperti Solo Square, Solo Grand Mall, dan Solo Paragon Mall. Letak
ketiga pusat perbelanjaan tersebut terbilang cukup dekat dengan Kota Solo Baru.
Tidak ada responden yang memilih pusat perbelanjaan di kecamatan lain di
Kabupaten Sukoharjo, karena memang tidak tersedia pusat perbelanjaan lain di
Kabupaten Sukoharjo selain di Kota Solo Baru.
Perbedaan pemilihan lokasi tersebut disebabkan pertimbangan harga dalam
memilih sarana. Penduduk yang lebih memilih lokasi pusat perbelanjaan yang ada
di Kota Solo Baru seperti The Park dan Hartono Mall disebabkan karena tenant
yang tersedia di pusat perbelanjaan tersebut cukup lengkap dan beragam. Sebagai
87
pusat perbelanjaan yang tergolong baru, keduanya dilengkapi tenant-tenant
multinasional dan internasional yang banyak digemari oleh penduduk kalangan
menengah ke atas. Selain itu lokasinya yang dekat dengan tempat tinggal juga
dinilai memudahkan. Sementara penduduk yang memilih pusat perbelanjaan di luar
Kota Solo Baru disebabkan karena memilih pusat perbelanjaan yang harganya
relatif terjangkau, misalnya Solo Grand Mall dan Singosaren Plasa yang tergolong
sebagai pusat perbelanjaan dengan segmen kalangan menengah ke bawah. Mereka
tidak mempermasalahkan jarak lokasi sarana dari tempat tinggal, selama pusat
perbelanjaan tersebut terjangkau dari segi biaya.
Gambar 5.41 Persentase Pemilihan Lokasi Berbelanja Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Penulis (2015)
Berdasarkan analisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk sarana
berbelanja, penduduk Kota Solo Baru mayoritas memilih sarana yang berada di
Kota Solo Baru. Pada sarana belanja skala kecil yaitu warung, penduduk cenderung
memilih warung yang dekat dengan tempat tinggal atau dengan kata lain berada di
Kota Solo Baru. Warung yang berada di dekat tempat tinggal dirasa lebih
memudahkan dan lebih praktis mengingat barang yang dibeli hanya berupa
kebutuhan harian dalam jumlah sedikit. Sementara untuk sarana belanja yang lebih
besar (seperti pasar, supermarket dan pusat perbelanjaan), pemilihan lokasi sarana
tidak bergantung kedekatan lokasi dengan tempat tinggal. Pemilihan lebih
cenderung dipengaruhi oleh kepraktisan, yaitu tempat belanja yang dekat dengan
tempat tinggal (berada di dalam Kota Solo Baru) dan pertimbangan harga.
88
b. Menabung dan Kredit
i. Menabung
Sarana menabung merupakan sarana ekonomi yang digunakan untuk
menyimpan alokasi penghasilan atau harta yang dimiliki saat ini untuk tujuan masa
depan atau untuk melakukan transaksi usaha. Sarana menabung yang digunakan
penduduk Kota Solo Baru adalah sarana menabung modern berupa bank baik bank
multinasional maupun bank daerah.
Untuk sarana menabung, berdasarkan analisis kebutuhan sarana diketahui
bahwa jumlah eksisting bank yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar
pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.24 Standar Pelayanan Bank di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Jumlah
Sarana
Ideal
Keterangan
Madegondo 8386 1 unit kantor
cabang
pembantu
untuk min
30.000
penduduk
10
1 Mencukupi
Langenharjo 7980 2
Gedangan 5445 0
Telukan 354 1
Grogol 139 1
Jumlah 22304 14
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Gambar 5.42 Sarana Menabung dan Kredit di Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui bahwa responden penduduk Kota Solo
Baru paling banyak (44,4%) memilih untuk menabung di bank yang ada di luar
Kabupaten Sukoharjo. Sementara terdapat 34,72% responden yang memilih
menggunakan bank yang terletak di Kota Solo Baru. Sisanya sebanyak 20,83%
89
memilih bank yang terletak di kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo. Perbedaan
pemilihan lokasi menabung yang cukup beragam ini disebabkan karena adanya
faktor kepercayaan dan historis. Responden cenderung memilih lokasi menabung
berdasarkan kepercayaan dan kebiasaan, namun ada pula yang memilih bank yang
berafiliasi dengan kantor tempat responden tersebut bekerja.
Gambar 5.43 Persentase Pemilihan Lokasi Menabung Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
ii. Kredit
Sarana kredit merupakan sarana ekonomi yang digunakan untuk melakukan
pembelian atau pinjaman dengan pembayaran yang ditangguhkan dalam suatu
jangka waktu yang disepakati. Sarana kredit yang tersedia di Kota Solo Baru terdiri
dari badan perkreditan baik milik negeri maupun swasta, serta penyedia layanan
kredit lain. Untuk sarana kredit yang ada di Kota Solo Baru, berdasarkan hasil
analisis kebutuhan sarana yang telah dilakukan kemudian diketahui bahwa jumlah
eksisting yang ada udah mencukupi standar pelayanan penduduknya. Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.25 Standar Pelayanan Badan Kredit di Kota Solo Baru
Wilayah Jumlah
Penduduk Standar
Jumlah
Sarana
Eksisting
Keterangan
Madegondo 8386 Tersedia
lembaga
keuangan non
bank yang
dapat diakses
dengan mudah
5
Mencukupi
Langenharjo 7980 3
Gedangan 5445 2
Telukan 354 1
Grogol 139 0
Jumlah 22304 11
Sumber: Analisis (2015)
90
Berdasarkan hasil kuisioner, responden penduduk Kota Solo Baru paling
banyak memilih lokasi sarana kredit yang ada di kecamatan lain di Kabupaten
Sukoharjo yaitu sekitar 41,67% responden. Untuk responden yang memilih lokasi
sarana kredit di Kota Solo Baru berjumlah sekitar 38,89% dan responden yang
memilih lokasi sarana kredit di kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo berjumlah
sebanyak 19,44%. Pemilihan lokasi sarana kredit penduduk Kota Solo Baru
cenderung beragam. Penduduk Kota Solo Baru memilih lokasi sarana kredit
berdasarkan faktor kepercayaan dan faktor ekonomi, yaitu sarana yang dapat
memberikan kredit secara terpercaya dan dengan bunga yang paling rendah.
Gambar 5.44 Persentase Pemilihan Lokasi Kredit Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
c. Sumber Penghasilan
Berdasarkan hasil kuisioner, responden penduduk Kota Solo Baru
menyatakan bahwa sumber penghasilan mereka seluruhnya berasal dari gaji yang
diterima dari tempat bekerja mereka masing-masing. Persentase terbesar yaitu
sekitar 40,4% responden penghasilannya bersumber dari luar Kabupaten
Sukoharjo, seperti Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta. Persentase kedua yaitu
sekitar 35,35% responden penghasilannya bersumber dari luar Kota Solo Baru,
tetapi masih berada di Kabupaten Sukoharjo, kebanyakan dari Kecamatan
Sukoharjo dan Kecamatan Kartasura. Persentase terkecil yaitu sekitar 24,24%
responden penghasilannya bersumber dari dalam Kota Solo Baru sendiri.
91
Gambar 5.45 Persentase Sumber Penghasilan Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa jumlah
eksisting sarana ekonomi yang ada di Kota Solo Baru sudah mencukupi standar
pelayanan. Sementara untuk pemilihan lokasi, mayoritas responden penduduk Kota
Solo Baru (59,37%) memilih sarana ekonomi yang ada di Kota Solo Baru, dengan
persentase terbesar disumbang oleh pemilihan lokasi berbelanja. Persentase
selanjutnya yaitu sebesar 26,86% responden memilih menggunakan sarana
ekonomi yang ada di luar Kabupaten Sukoharjo. Sisanya, sebesar 13,77%
responden memilih sarana yang ada di kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo.
Gambar 5.46 Persentase Pemilihan Lokasi Sarana Ekonomi Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda masing-masing pada unsur
perekonomian yang digunakan oleh penduduk Kota Solo Baru. Untuk kegiatan
menabung dan sumber penghasilan, penduduk Kota Solo Baru mayoritas memilih
sarana yang ada di luar Kabupaten Sukoharjo yaitu di Kota Surakarta. Untuk
berbelanja, mayoritas memilih sarana yang ada di Kota Solo Baru. Sementara untuk
92
kredit, mayoritas memilih sarana yang ada di kecamatan lain di Kabupaten
Sukoharjo. Pemilihan sarana perekonomian tersebut sebagian besar dipengaruhi
oleh kenyamanan, baik dari segi lokasi (dekat dengan tempat tinggal, tempat
bekerja atau berkegiatan lain), kebiasaan (historis) dan kesesuaian harga.
Secara keseluruhan, penyediaan fasilitas pelayanan berupa wisma,
penyempurna, suka, marga dan ekonomi sudah cukup memenuhi standar pelayanan
sesuai jumlah penduduk Kota Solo Baru. Dari segi pemanfaatannya juga sudah
cukup baik. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.43, mayoritas responden
penduduk Kota Solo Baru yaitu sebesar 65,60% responden telah memanfaatkan
fasilitas pelayanan yang ada di dalam Kota Solo Baru, atau dengan kata lain hanya
34,40% penduduk yang masih menggunakan fasilitas pelayanan di luar Kota Solo
Baru (diagram b. pada Gambar 5.43).
a. b.
Gambar 5.47 Persentase Pemilihan Lokasi Fasilitas Pelayanan Penduduk Kota Solo Baru Sumber: Kuisioner (2015)
5.2.5. Lokasi Kota Solo Baru
5.2.5.1 Jarak Kota Solo Baru ke Kota/Wilayah Lain
Kota Solo Baru berada di bagian utara Kabupaten Sukoharjo, yaitu di
Kecamatan Grogol yang berbatasan langsung dengan bagian selatan Kota
Surakarta. Kota Solo Baru terletak lebih dekat dengan Kota Surakarta daripada
dengan pusat Kabupaten Sukoharjo sendiri, yaitu sekitar 5 kilometer dari pusat
pemerintahan Kota Surakarta (dapat ditempuh selama sekitar 10 menit berkendara)
dan terletak sekitar 9 kilometer atau sekitar 20 menit perjalanan dari pusat
pemerintahan Kabupaten Sukoharjo.
93
(i) Kota Solo Baru-Pusat Pemerintahan
Kota Surakarta
(ii) Kota Solo Baru-Pusat Pemerintahan
Kabupaten Sukoharjo
Gambar 5.48 Perbandingan Jarak Kota Solo Baru dengan Pusat Pemerintahan Kota
Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo
Sumber: Google Maps (2015)
Lokasi Kota Solo Baru saat ini sangat potensial untuk meningkatkan
ketergantungan, khususnya kepada Kota Surakarta. Jaraknya yang sangat dekat
dengan kota besar lain, bahkan berbatasan langsung. Akibatnya, tingkat
aksesibilitas antara Kota Solo Baru dan Kota Surakarta cukup tinggi, yang
menyebabkan penduduk Kota Solo Baru mudah untuk melakukan pergerakan ke
Kota Surakarta. Hal tersebut juga ditegaskan sebagai berikut:
“Ditinjau dari sistem perwilayahan yang lebih luas, Kawasan Solo Baru
merupakan satu juluran pelebaran wilayah yang mengikat diri pada titik
simpul besar Kota Surakarta. Oleh karena itu dalam konstelasi wilayah,
keberadaan Kawasan Solo Baru akan banyak dipengaruhi oleh Kota
Surakarta sebagai induknya. Sehingga dapat dipahami bahwa
kebijaksanaan pengembangan tata ruang Kawasan Solo Baru banyak
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan di tingkat makro, khususnya Kota Surakarta serta Kabupaten Sukoharjo.” (Bappeda, 2003: II-6)
Namun, PT. Pondok Solo Permai selaku pengembang sendiri menyatakan
bahwa pemilihan lokasi Kota Solo Baru dirasa memiliki beberapa nilai lebih. Nilai
lebih yang pertama adalah dilihat dari kedekatannya dengan Kota Surakarta. Kota
Surakarta sebagai kota besar dinilai tidak mungkin untuk dikembangkan lagi karena
94
keterbatasan wilayah. Apabila terjadi ledakan perkotaan seperti pertambahan
penduduk, industri, perdagangan dan lain sebagainya, Kota Surakarta tidak akan
mampu menampung. Hal tersebut akan mengakibatkan adanya limpahan beban ke
wilayah lain. Lokasi Kota Solo Baru yang berada dekat dengan Kota Surakarta
dianggap potensial untuk digunakan sebagai bentuk promosi dan branding dalam
menjual Kota Solo Baru kepada konsumen. Jarak tempuh yang singkat dari Kota
Surakarta, dengan fasilitas-fasilitas baru dan lingkungan yang lebih tertata
ditekankan sebagai aspek kompetitif Kota Solo Baru sebagai alternatif penampung
limpahan beban Kota Surakarta (Kartiko dkk, 1998).
Gambar 5.49 Letak Kota Solo Baru dalam Konstelasi Wilayah Solo Raya
Sumber: Kelompok Sukoharjo 1 Studi Perencanaan PWK (2014), diolah
Dari sisi konstelasi kewilayahan, lokasi Kota Solo Baru yang terletak di jalur
tembus Surakarta-Sukoharjo-Wonogiri dinilai strategis. Lokasi tersebut dianggap
dapat menjadikan Kota Solo Baru sebagai wilayah perlintasan kegiatan dan pusat
95
penghubung antar daerah, yaitu antara Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo dan
Kabupaten Wonogiri. Kota Solo juga berada pada jalur Solo Baru-Baki-Daleman-
Pakis, yaitu jalur alternatif utama menuju Kota Surakarta dari arah Klaten ataupun
Delanggu (Bappeda, 2003).
Selain itu, lokasi Kota Solo Baru yang relatif jauh dari ibukota provinsi dan
kota metropolitan lebih kecil kemungkinan Kota Solo Baru untuk mengalami
permasalahan kompleks yang biasanya dialami oleh kota satelit dari kota
metropolitan, seperti ledakan penduduk, industri dan perdagangan. Permasalahan
yang mungkin dialami oleh Kota Solo Baru berdasarkan lokasinya relatif lebih
ringan dan dapat diprediksi (Ernawati, 2003).
5.2.5.2 Pembatas Kota Solo Baru dengan Kota Lain
Untuk batas wilayah, Kota Solo Baru tidak memiliki batas wilayah secara
fisik baik dengan bagian wilayah lain di Kabupaten Sukoharjo maupun dengan Kota
Surakarta. Antara wilayah Kota Surakarta dan Kecamatan Grogol sendiri tidak ada
pembatas berupa jalur hijau maupun wilayah bukan kota, hanya saja terdapat
signage bertuliskan ‘Kabupaten Sukoharjo’ pada kawasan perbatasan antara
Kecamatan Grogol dengan Kota Surakarta yang menandakan telah memasuki
wilayah perbatasan antara Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Selebihnya
batas wilayah terasa dari tampak visual ketika memasuki kawasan Kota Solo Baru
terutama ketika melewati ruas jalan utama yaitu Jalan Ir. Soekarno. Kota Solo Baru
secara visual lebih rapi dan tertata dengan jalan yang lebih lebar dan median jalan
yang ditata menjadi taman dengan jalur pedestrian dan tempat duduk.
“Memang berbatasan langsung dengan Solo. (Bagian) Kota Solo (yang
berbatasan langsung) juga pusat ritel, jadi terus menyambung. Jadi ritel-
ritel dari Soyudan itu, lalu ada transisi sedikit, lalu CBD.” (Nike, Kasi
Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk unsur lokasi, Kota Solo
Baru berjarak sangat dekat dengan Kota Surakarta karena berbatasan langsung
dengan bagian selatan Kota Surakarta. Selain jaraknya yang sangat dekat, Kota Solo
Baru dan Kota Surakarta juga tidak dibatasi dengan jalur hijau ataupun wilayah
96
bukan kota, hanya terdapat signage yang menandakan telah memasuki wilayah
Kota Solo Baru. Dengan kata lain, antara Kota Solo Baru dan Kota Surakarta tidak
memiliki batas yang jelas.
Gambar 5.50 Pembatas antara Kota Solo Baru dengan Kota Surakarta
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Berdasarkan analisis terkait aspek penyediaan dan pemanfaatan unsur
perkotaan yang telah dilakukan baik pada unsur internal maupun unsur eksternal
Kota Solo Baru, maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa Kota Solo Baru
telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana setara kota. Namun beberapa sarana
dan prasarana masih belum memadai dari aspek penyediaan dan ‘menarik’ sehingga
kurang dimanfaatkan penduduknya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Kota Solo Baru telah memiliki modal fisik untuk menjadi kota
mandiri.
Selain itu, secara keseluruhan aspek penyediaan dan pemanfaatan unsur
perkotaan Kota Solo Baru dapat diringkas sebagai berikut:
97
Tabel 5.26 Hasil Analisis Aspek Penyediaan dan Pemanfaatan Unsur Kota Solo Baru
Variabel Sub-
variabel Penyediaan Pemanfaatan
Tujuan Pembangunan
Kota Solo Baru
Tujuan pembangunan terbagi menjadi dua fase, yaitu fase inisiasi
perumahan dan fase pengembangan kota baru. Dari kedua fase tersebut
motif pengembangan Kota Solo Baru terlihat banyak dipengaruhi oleh keberadaan Kota Surakarta.
Jumlah Penduduk Kota
Solo Baru
Jumlah penduduk Kota Solo Baru hingga semester kedua tahun 2014 berjumlah sekitar 22.304 jiwa
Ketergantungan Pekerjaan
Penduduk Kota Solo Baru
ke Kota Induk/Kota Lain
Belum mencukupi (lapangan
kerja yang tersedia baru mema-
dai untuk 65% usia produktif)
Hanya 24,4% penduduk yang beker-
ja di Kota Solo Baru, mayoritas di luar Kabupaten Sukoharjo (40,4%)
Ketergantung-
an Fasilitas Pe-
layanan Pen-
duduk Kota
Solo Baru ke
Kota Induk/
Kota Lain
Wisma Sudah diakomodasi dalam awal
pengembangan dengan pendekat-
an tanpa gusur dan menyatukan
perumahan dan perkampungan.
Tetapi saat ini penyediaan kelas
hunian pada perumahan di Kota
Solo Baru menyesuaikan pada
lokasi perumahan menimbul-kan segregasi.
Terdapat banyak rumah yang tidak
dihuni oleh pemiliknya, kebanyakan
merupakan rumah dengan klasifikasi menengah atas
Penyem-
purna
Sudah mencukupi berdasarkan
standar pelayanan, hanya saja
untuk sarana pendidikan masih
belum mencukupi
Mayoritas penduduk (71,29%)
menggunakan sarana yang ada di
Kota Solo Baru: Pendidikan
(62,77%), Kesehatan (64,66%), Peribadatan (87%)
Suka Sudah mencukupi berdasarkan
standar pelayanan
69,67% penduduk menggunakan sarana yang ada di Kota Solo Baru
Marga Belum tersedia transportasi
umum yang memadai
96% penduduk Kota Solo Baru menggunakan kendaraan pribadi
Ekonomi Sudah mencukupi berdasarkan
standar pelayanan
Mayoritas penduduk Kota Solo
Baru mengeluarkan uang dengan
berbelanja (84,32%) di Kota Solo
Baru. Sementara dan melakukan
untuk kegiatan kredit (41,67%) di
Kabupaten Sukoharjo. Tetapi, pen-
duduk Kota Solo Baru cenderung
memperoleh pendapatan (40%) dan
menabung (44,4%) di luar kota Solo Baru.
Lokasi
Jarak Jarak Kota Solo Baru ke pusat pemerintahan Kota Surakarta relatif lebih dekat dibandingkan ke pusat pemerintahan Kabupaten Sukoharjo
Pembatas Tidak tersedia pembatas baik berupa jalur hijau maupun kawasan non perkotaan antara Kota Solo Baru dan Kota Surakarta
Sumber: Analisis Penulis (2015)
98
Dari penjabaran unsur-unsur internal dan eksternal Kota Solo Baru tersebut,
selanjutnya unsur-unsur tersebut dapat dibentuk menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama, yaitu kelompok yang sudah baik karena mencukupi ketersediaannya
berdasarkan standar pelayanan dan juga sudah dimanfaatkan oleh mayoritas
responden penduduk Kota Solo Baru, terdiri dari unsur penyempurna (sarana
pendidikan, kesehatan dan peribadatan) serta unsur suka (sarana rekreasi, hobi dan
olahraga). Keduanya dinilai sudah cukup baik dalam aspek penyediaan dan
pemanfaatannya unsur penyempurna.
Sementara kelompok selanjutnya merupakan kelompok yang sudah cukup
baik, tetapi masih belum memadai pada salah satu aspek penyediaan atau
pemanfaatannya. Unsur Kota Solo Baru yang masuk pada kelompok ini adalah
unsur tujuan pembangunan, unsur wisma, serta unsur ekonomi. Tujuan
pembangunan Kota Solo Baru dapat diintervensi dengan menyusun tujuan jangka
panjang sehingga dapat mewadahi dan menjadi pedoman perencanaan
pembangunan Kota Solo Baru ke depan. Unsur wisma juga perlu diintervensi untuk
memastikan bahwa penyediaan hunian yang berimbang dan beragam terutama
hunian untuk kelas sederhana. Sementara untuk unsur ekonomi, walaupun
penyediaannya sudah mencukupi berdasarkan hasil perhitungan standar pelayanan
tetapi pemanfaatannya masih belum optimal karena masih terdapat kecenderungan
untuk memilih lokasi sarana ekonomi (yaitu lokasi menabung dan sumber
pendapatan) di luar dari Kota Solo Baru.
Sisanya merupakan kelompok unsur yang kurang baik dalam artian belum
memenuhi baik penyediaan maupun pemanfaatannya. Kelompok ini terdiri dari
unsur karya, marga dan lokasi. Jumlah lapangan kerja yang tersedia saat ini masih
belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif Kota
Solo Baru. Selain itu dari jumlah lapangan kerja yang tersedia, hanya seperempat
dari keseluruhan responden yang bekerja di dalam Kota Solo Baru. Untuk unsur
marga, belum tersedia moda transportasi umum yang memadai untuk melakukan
mobilisasi baik di dalam Kota Solo Baru maupun dari dan menuju Kota Solo Baru,
baik kualitas maupun kuantitasnya. Minimnya ketersediaan moda transportasi
umum tersebut menyebabkan hampir seluruh responden Kota Solo Baru memilih
99
untuk menggunakan kendaraan pribadi. Sementara untuk unsur lokasi, Kota Solo
Baru hampir tidak berbatas dengan Kota Surakarta. Letaknya pun cenderung lebih
dekat ke pusat Kota Surakarta dibanding ke pusat Kabupaten Sukoharjo.
Pengelompokan unsur-unsur ini dapat dijadikan sebagai referensi kasar
dalam menentukan prioritas penanganan dalam pengembangan Kota Solo Baru ke
depannya.
Gambar 5.51 Pengelompokan Unsur Kota Solo Baru Berdasarkan Aspek
Penyediaan dan Pemanfaatannya Sumber: Analisis Penulis (2015)
5.2.6. Kecenderungan Pemilihan Lokasi Sarana Penduduk Kota Solo Baru
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, secara keseluruhan dapat dilihat
bahwa responden penduduk Kota Solo Baru lebih memilih untuk menggunakan
sarana yang ada di Kota Solo Baru. Persentase pemilihan lokasi sarana untuk
berkegiatan sehari-hari dari responden penduduk Kota Solo Baru yaitu:
100
Gambar 5.52 Persentase Pemilihan Lokasi Berkegiatan Penduduk Kota Solo Baru
Sumber: Kuisioner (2015)
Hasil kuisioner yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa
mayoritas responden penduduk Kota Solo Baru (61,86%) memilih untuk
bekegiatan di dalam Kota Solo Baru. Sebanyak 23,63% responden memilih untuk
berkegiatan di luar Kabupaten Sukoharjo (terutama di Kota Surakarta) dan sisanya
sekitar 14,51% responden memilih kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo, atau
dengan kata lain totalnya adalah sekitar 38,14% responden yang memilih
berkegiatan di luar Kota Solo Baru. Sementara apabila dilihat dari masing-masing
unsur kegiatan, mayoritas kegiatan dilakukan oleh responden di sarana yang
terletak di Kota Solo Baru. Sisanya, dilakukan di sarana yang terletak di luar
Kabupaten Sukoharjo. Tidak ada kegiatan yang mayoritas penduduknya memilih
sarana yang terletak di kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo.
Dari analisis kecenderungan lokasi unsur-unsur Kota Solo Baru tersebut,
kemudian masing-masing unsur dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat
ketergantungannya terhadap wilayah lain selain Kota Solo Baru. Kelompok
pertama yaitu unsur-unsur yang memiliki ketergantungan rendah terhadap wilayah
lain. Kelompok ini terdiri dari unsur-unsur yang mayoritas digunakan responden di
dalam Kota Solo Baru, yaitu unsur penyempurna, suka dan berbelanja (dari unsur
ekonomi). Kelompok ini dapat dianggap sebagai kelompok dengan prioritas
penanganan paling rendah dibanding dengan kelompok lainnya.
Selanjutnya merupakan kelompok dengan ketergantungan sedang terhadap
wilayah selain Kota Solo Baru. Kelompok ini hanya terdiri dari sarana kredit, yang
mayoritas digunakan responden di kecamatan lain dalam Kabupaten Sukoharjo.
101
Kelompok ini merupakan kelompok dengan prioritas penanganan menengah jika
dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Sementara kelompok terakhir terdiri dari unsur yang digunakan oleh
mayoritas responden di luar Kabupaten Sukoharjo, terutama Kota Surakarta. Yang
masuk dalam kelompok ini yaitu unsur karya, menabung dan sumber penghasilan.
Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok dengan tingkat ketergantungan
tinggi terhadap wilayah lain selain Kota Solo Baru.
Gambar 5.53 Pengelompokan Unsur Kota Solo Baru Berdasarkan Ketergantungan
dengan Wilayah Lain Sumber: Analisis Penulis (2015)
Berdasarkan pengelompokan unsur pada Gambar 5.50 dan 5.52 maka dapat
dianalisis lebih lanjut untuk mengelompokkan unsur Kota Solo Baru berdasarkan
prioritas penanganannya. Pengelompokan unsur Kota Solo Baru berdasarkan
prioritas penangan ini dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
memaksimalkan pengembangan Kota Solo Baru, baik secara umum maupun
pengembangan untuk mengurangi ketergantungan dengan wilayah lain terutama
Kota Surakarta. Pengelompokan unsur berdasarkan prioritas penanganan tersebut
adalah sebagai berikut:
102
Gambar 5.54 Pengelompokan Unsur Kota Solo Baru Berdasarkan Prioritas
Penanganan Sumber: Analisis Penulis (2015)
5.2.7. Ketergantungan Kota Solo Baru terhadap Wilayah Lain
Seperti yang sudah disampaikan pada bab tinjauan pustaka sebelumnya,
Sujarto (2004) menyatakan bahwa secara umum, terdapat beberapa batasan pada
konsepsi perencanaan kota baru mandiri dan kota baru penunjang (satelit) yang
terdiri atas jumlah penduduk, persentase ketergantungan pekerjaan ke kota
induk/kota lain, persentase ketergantungan fasilitas pelayanan ke kota induk/kota
lain, dan jarak fisik ke kota induk/kota lain. Batasan tersebut disusun berdasarkan
pengembangan kota baru di berbagai negara yaitu Garden City (Inggris), kota-kota
baru di India, serta kota-kota baru di Inggris.
Pada penelitian ini, dilakukan komparasi antara hasil analisis temuan
lapangan Kota Solo Baru dengan batasan konsepsi perencanaan kota baru mandiri
dan kota baru penunjang (satelit) yang dikembangkan di India seperti dikemukakan
oleh Sundaram dalam Sujarto (2004) pada tabel 2.6. Komparasi dilakukan pada
konsepsi kota baru di India, mengingat hingga saat ini belum terdapat model kota
baru di Indonesia yang bisa dikatakan sepenuhnya mandiri (Sujarto, 1995; Firman
dalam Diningrat 2013). Selain itu India juga memiliki kesamaan sebagai negara
103
dengan kategori berkembang seperti Indonesia, sehingga konsepsi kota baru di
India dirasa lebih sesuai untuk digunakan. Komparasi tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 5.27 Komparasi Teoretis Aspek Kota Baru pada Kota Solo Baru
Aspek Kota
Baru
Konsepsi Kota Baru India (Sundaram dalam
Sujarto, 2004; Sujarto, 1995) Kota Solo Baru
(Analisis, 2015) Penunjang Mandiri
Tujuan
Pembangunan Untuk memecahkan
masalah perumahan di
kota induk
Untuk menyebarkan
penduduk kota
Untuk membangun pe-
rumahan khusus (seper-
ti perumahan mewah)
Arahan pengembangan
kota induk
Untuk menempatkan
kegiatan fungsional ko-
ta yang khusus (seperti
kampus, resort)
Sebagai pusat peme-
rintahan suatu daerah
baru
Sebagai usaha me-
ngembangkan suatu
pusat pertumbuhan
baru bagi wilayah
baru atau wilayah
terbelakang
Meningkatkan fungsi
dan peranan kota
kecil yang sudah ada
Pusat permukiman, in-
dustri dan pelayanan
Simpul jaringan kolek-
si, distribusi dan trans-
portasi baik lokal mau-
pun regional
Pendukung pertum-
buhan dan perkem-
bangan daerah seki-
tarnya
Penyangga perkem-
bangan Kota Sura-
karta
Jumlah
Penduduk 15.000-40.000 jiwa 40.000-100.000 jiwa 22.304 jiwa
Ketergantung-
an pekerjaan
ke kota induk/
kota lain
75% 15% 75,76%
Ketergantung-
an fasilitas pe-
layanan ke ko-
ta induk/ kota
lain
75% 10% 34,40%
Jarak fisik dan
pembatas de-
ngan kota in-
duk/kota lain
8-20 km, dibatasi oleh
jalur hijau
60 km, dibatasi oleh
jalur hijau dan/atau
wilayah bukan kota
5 km, tidak ada pembatas
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Hasil komparasi menunjukkan bahwa terdapat tujuan pembangunan Kota
Solo Baru yang mencerminkan tujuan pembangunan kota satelit, yaitu Kota Solo
Baru sebagai penyangga perkembangan Kota Surakarta. Sementara tujuan
pembangunan Kota Solo Baru yang lain mencerminkan tujuan pembangunan kota
mandiri yaitu sebagai usaha pengembangan pusat pertumbuhan baru bagi suatu
wilayah terbelakang serta meningkatkan fungsi dan peranan kota kecil yang telah
ada.
104
Sementara, jumlah penduduk Kota Solo Baru saat ini masih termasuk dalam
konsep kota penunjang atau satelit, walaupun memang sangat sulit untuk
menentukan batas besaran jumlah penduduk paling ideal dalam sebuah kota baru
(Sujarto, 2004). Berdasarkan konsepsi kota baru, maka jumlah penduduk di Kota
Solo Baru perlu ditingkatkan hingga minimal 40 ribu jiwa, atas dasar optimalisasi
lahan dan efisiensi pengoperasian baik dalam daya layan maupun biaya operasional
fasilitas pelayanan (Sundaram dalam Sujarto, 2004).
Selain itu, Kota Solo Baru masih memiliki ketergantungan pekerjaan yang
sangat tinggi (75,76%) ke kota lain, terutama pada kota besar lain yaitu Kota
Surakarta. Ketergantungan penduduk Kota Solo Baru pada lapangan kerja di kota
lain tersebut masih termasuk dalam konsep kota penunjang. Dengan mengurangi
ketergantungan pekerjaan dan menyeimbangkan antara ketersediaan lapangan
pekerjaan dan tempat tinggal, maka juga akan mengurangi derajat ketergantungan
kota baru (Golany, 1976; Pakzad dkk, 2007).
Selain ketergantungan pekerjaan, penduduk Kota Solo Baru juga memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi pada fasilitas pelayanan kota lain (34,41%).
Apabila dibandingkan dengan aspek lain, angka ketergantungan penduduk Kota
Solo Baru akan fasilitas pelayanan kota lain tidak terlalu besar. Lee dan Ahn (2005)
menyatakan bahwa ketergantungan penduduk suatu kota pada fasilitas pelayanan
kota lain juga turut mempengaruhi ketergantungan kota tersebut walaupun tidak
sesignifikan pengaruh dari ketergantungan pekerjaan.
Sementara untuk jarak fisik ke kota induk atau kota lain, Kota Solo Baru
berdasarkan analisis yang sudah dilakukan masih termasuk dalam konsep kota
penunjang karena berjarak hanya sekitar 5 kilometer dari pusat pemerintahan Kota
Surakarta. Jarak kota yang terlalu dekat dengan kota lainnya dapat meningkatkan
mobilitas ulang alik (commuting) yang membatasi perkembangan kota (Mengyi,
2011) sehingga meningkatkan ketergantungan kota tersebut dengan kota lainnya
(Golany, 1976; Sujarto, 2004). Selain itu, antara Kota Solo Baru dan kota di
sekitarnya seperti Kota Surakarta juga tidak dipisah dengan jalur hijau maupun
wilayah bukan kota. Pembatas hanya berupa signage saja. Walaupun pembatas
dapat diusahakan untuk dibuat, tetapi jarak tentunya tidak dapat diubah sehingga
105
dapat disimpulkan secara teori Kota Solo Baru tidak dapat terlepas dari Kota
Surakarta.
Secara keseluruhan, hasil komparasi menunjukkan bahwa dari keseluruhan
aspek kota baru, Kota Solo Baru masih termasuk konsepsi kota satelit atau kota
penunjang atau kota satelit. Hasil komparasi juga menunjukkan bahwa Kota Solo
Baru masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap kota lain terutama
Kota Surakarta, yang dipengaruhi kedekatan lokasi Kota Solo Baru dengan Kota
Surakarta.
5.3. Isu Kemandirian Kota dan Pengembangan Kota Solo Baru
5.3.1. Upaya dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terkait Isu Kemandirian
Berdasarkan pemberitaan, terdapat isu wacana pembuatan perda khusus Kota
Solo Baru sebagai kota mandiri. Isu tersebut tentunya sangat kontras dengan
kondisi Kota Solo Baru saat ini yang memiliki ketergantungan cukup besar terhadap
Kota Surakarta. Ketergantungan tersebut tentunya akan menghambat
pengembangan Kota Solo Baru apabila diarahkan menjadi kota mandiri.
Menanggapi isu tersebut, Bappeda dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Sukoharjo selaku pihak pemerintah daerah yang diwawancarai pada penelitian ini
menyatakan bahwa belum ada pembahasan terkait perumusan perda khusus untuk
mengatur Kota Solo Baru menjadi kota mandiri. Dari wawancara yang dilakukan,
lebih tersirat keinginan pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan kualitas
fisik Kota Solo Baru dalam rangka menarik investor, yang diimplementasikan
melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Perkotaan
Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Tahun 2014-2019. Hal tersebut
disampaikan melalui pernyataan berikut:
“Perda tersebut mungkin saat ini bukan dalam artian kota baru mandiri
(secara luas). Sekarang yang ada hanya perda RTBL, mengatur signage
reklame. Kami mencoba mengatur lokasinya, bentuknya. Apabila orang
menginvestasi dari baliho sampai spanduk dan videotron, sudah ada
aturannya.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo,
wawancara pada 23 Desember 2014)
Kota Solo Baru dinilai sudah memiliki modal yang cukup baik untuk menarik
investor. Modal tersebut menurut pemerintah dapat menarik investor lebih
106
maksimal apabila dikemas dengan tampilan yang menarik. Oleh karena itu, dengan
meningkatkan kualitas fisik Kota Solo Baru melalui penataan lingkungan
diharapkan akan meningkatkan daya jual Kota Solo Baru kepada investor. Alasan
tersebut disampaikan melalui pernyataan berikut:
“Menurut Pak Wardoyo (Bupati Sukoharjo), sebetulnya Solo Baru itu
akan ‘dijual’. Dijual itu maksudnya apabila kotanya bagus, kawasannya
tertata, orang yang hendak invest reklame yang mau dibidik itu bisa dijual
lebih mahal. Perda ini kelihatannya mengenai itu. Beliau waktu itu
mengemukakan visinya. Solo Baru itu sudah bagus, tinggal dipoles saja.
Nanti jika dipasang reklame (pajaknya) bisa mahal. Jadi nilai investasi
yang dikeluarkan itu bisa kembali.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Senada dengan pernyataan pihak Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Sukoharjo tersebut, Bappeda Kabupaten Sukoharjo juga menyatakan bahwa
peningkatan kualitas fisik Kota Solo Baru juga dapat meningkatkan pemasukan
bagi Kabupaten Sukoharjo. Dengan naiknya pemasukan daerah, diharapkan dapat
menutup biaya pembangunan yang telah dikeluarkan, serta kemudian dapat
dipergunakan secara kontinu untuk membangun Kota Solo Baru. Hal tersebut
disampaikan melalui pernyataan berikut:
“...Kita harapkan dengan memasang iklan di sana, akan ada peningkatan
PAD. Diharapkan dengan semakin tertatanya lingkungan, pemasukan
iklan semakin besar maka akan semakin cepat BEP sehingga bisa menutup
biaya pembangunan. Katakanlah sekarang anggaran yang tertelan cukup
besar, tetapi nanti ke depan dengan semakin berkembangnya lingkungan
di sana (Solo Baru) diharapkan bisa impas.” (Prihantono, Kasubbid Tata
Ruang Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara pada 18 Desember 2014)
Saat ini, peningkatan kualitas fisik yang direncanakan dalam RTBL Kawasan
Perkotaan Kecamatan Grogol sudah sebagian diimplementasikan. Mengingat tahun
2015 ini adalah tahun awal pelaksanaan RTBL maka baru beberapa aspek saja yang
telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Solo Baru untuk meningkatkan peran dan
fungsi Kota Solo Baru, yaitu perbaikan jalan, trotoar dan pemasangan signage
sebagai identitas kota. Hal tersebut sesuai petikan wawancara di bawah ini:
107
“Jika melewati Solo Baru, (dapat dilihat) trotoarnya baru dibenahi.
Diberi taman, signage. Dulu akhir 2013 itu jalannya di hotmix semua.
Perencanaannya mulai (disusun) 2013. 2015 ini sudah direalisasikan.”
(Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Gambar 5.55 Hasil Perbaikan Trotoar dan Taman di Jalan Protokol Kota Solo Baru
Sumber: Dokumentasi Penulis (2015)
Sementara untuk tahun berikutnya yaitu tahun 2016-2019, Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo masih akan memfokuskan pada peningkatan kualitas
infrastruktur terutama pada pusat Kota Solo Baru yang nantinya akan menjadi pusat
CBD. Hal tersebut disampaikan oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Sukoharjo, sebagai berikut:
“Dari segi infrastruktur, sudah mulai kami perbaiki, kami tata, kami
lakukan studi lalu disusun DED nya. Kemarin ruas jalan utama, tahun ini
kami rencanakan untuk gang-gangnya. Jadi fokusnya masih peningkatan
infrastruktur.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab.
Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Rencananya akan tersedia beberapa fasilitas pelayanan (penyempurna, suka
dan ekonomi) baru di Kota Solo Baru seperti rumah sakit internasional, sarana
pendidikan, pusat niaga, apartemen dan lain sebagainya. Sementara untuk jangka
panjang, Kota Solo Baru direncanakan akan menjadi sebuah pusat pelayanan dan
CBD, dengan mimpi menjadi CBD terbesar se-Jawa Tengah. Arahan
pengembangan Kota Solo Baru tersebut tercantum pada Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukoharjo tahun 2011-2031, rancangan Rencana
Detil Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo tahun 2012-
2032 serta dokumen-dokumen perencanaan lain yang menyebutkan bahwa Kota
108
Solo Baru dikembangkan sebagai pusat pelayanan dan wilayah prioritas sektor
ekonomi, seperti pada kutipan-kutipan berikut:
“Kawasan perkotaan Kecamatan Grogol merupakan salah satu kawasan
strategis Kabupaten Sukoharjo yang dikembangkan untuk kepentingan
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Kecamatan Grogol juga dikembangkan
sebagai pusat pendidikan, pusat pelayanan kesehatan, pusat perdagangan
dan jasa, kawasan industri, kawasan pariwisata dan kawasan permukiman perkotaan.” (Bappeda Kabupaten Sukoharjo, 2011: IV-36)
“Kawasan pusat kota Kecamatan Grogol (Central Bisnis Distrik)
dikembangkan menjadi kawasan kegiatan perdagangan skala regional
untuk mewujudkan Kecamatan Grogol sebagai pusat pelayanan dalam
wilayah lokal maupun regional.” (Bappeda Kabupaten Sukoharjo, 2004:
III-2
Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan dari pihak Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Sukoharjo sebagai berikut:
“Solo Baru ke depannya akan dijadikan CBD, rencana (diharapkan) bisa
berjalan 2030-an. 2032 di RDTR.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang,
DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Secara keseluruhan, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terlihat telah memiliki
komitmen yang ditunjukkan dengan penyusunan perangkat pembangunan berupa
RTBL untuk pengembangan Kota Solo Baru walaupun komitmen tersebut masih
belum spesifik mengatur tentang perwujudan kemandirian Kota Solo Baru.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo juga terlihat cukup sigap untuk merencanakan
Kota Solo Baru sebagai wilayah prioritas dalam RTRW dan rancangan RDTR
wilayah mereka.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo juga memberi perhatian yang
cukup serius untuk meningkatkan kualitas fisik Kota Solo Baru kedepannya.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa terdapat beberapa rencana
peningkatan kualitas fisik yang akan diimplementasikan di Kota Solo Baru. Hanya
saja, sekilas terlihat bahwa rencana tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
prestise dan kesan modern dari Kota Solo Baru. Contohnya adalah rencana
pengembangan prasarana pendukung berupa jaringan listrik bawah tanah yang
notabene masih belum banyak daerah yang memilikinya, serta instalasi pengolahan
air khusus untuk Kota Solo Baru, dan moda transportasi umum berupa bus rapid
109
transit (BRT). Hal tersebut disampaikan oleh pihak Bappeda dan Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Sukoharjo melalui pernyataan berikut:
“Akan ada penanganan khusus, kita sudah ‘menjual’ ke PLN dan PLN
sudah datang kesini. PLN akan mengadakan instalasi tanpa kabel, bawah
tanah. Satu-satunya yang ada di Jawa Tengah baru ada di Simpang Lima
Semarang. PLN memilih lokasi kan tidak semua lokasi, harus
dipertimbangkan. Solo saja belum ada. Solo Baru juga sudah disiapkan
instalasi pengolahan air sendiri. Itu khusus melayani Solo Baru. Makanya
PDAM sudah mempersiapkan di Baki.” (Nike, Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
“Untuk transportasi Solo Baru, kemungkinan ke depan akan dikoneksikan
dengan moda transportasi dari Solo. Solo sudah ada BST (Batik Solo
Trans). Itu sudah mulai terintegrasi dengan Sukoharjo juga. Jalur-jalur
yang dilewati melewati sebagian wilayah Sukoharjo. Itu sudah terkoneksi
dengan Terminal Notosura. Nanti mungkin ke depan, jalurnya melewati
wilayah Solo Baru, terkoneksi jalurnya.” (Prihantono, Kasubbid Tata
Ruang dan Prasarana Wilayah Bappeda Kab. Sukoharjo, wawancara pada
18 Desember 2014)
Upaya yang telah ditempuh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melalui
peningkatan kualitas fisik Kota Solo saat ini bisa dikatakan sebagai langkah awal
yang cukup taktis. Dengan meningkatkan kualitas tampilan fisik Kota Solo Baru,
maka investor-investor akan lebih tertarik untuk menanamkan modal di sana.
Peningkatan investasi tentu akan meningkatkan pemasukan bagi daerah. Pada
akhirnya naiknya pemasukan tersebut juga dapat menggerakkan roda-roda
pembangunan. Dengan mengarahkan gerak roda pembangunan tersebut,
perwujudan Kota Solo Baru menjadi sebuah kota mandiri akan dapat dicapai.
Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa Kota Solo Baru juga memiliki
modal berupa komitmen atau political will dari pemerintah setempat. Komitmen
tersebut hanya saja perlu lebih difokuskan agar terarah. Peningkatan kualitas fisik
atau tampilan muka Kota Solo Baru memang dapat membentuk Kota Solo Baru
menjadi lingkungan prestisius, yang berdaya tarik, modern dan tertata dengan baik.
Tetapi jika pemerintah hanya meningkatkan tampilannya saja, tentunya Kota Solo
Baru kurang dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan efisien. Pada
akhirnya, pengarahan pengembangan Kota Solo Baru akan kurang maksimal untuk
diimplementasikan.
110
5.3.2. Prospek Pengembangan Kota Solo Baru Masa Depan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, disimpulkan bahwa Kota Solo Baru
saat ini masih tergolong kota satelit yang tidak dapat terlepas dari Kota Surakarta
karena lokasinya yang berdekatan. Hal tersebut menegaskan bahwa isu wacana
pembuatan perda kemandirian Kota Solo Baru tidak aplikatif. Selain itu, isu
kemandirian tersebut setelah dikonfirmasi kepada pemerintah daerah juga ternyata
tidak terbukti.
Walaupun demikian, Kota Solo Baru sendiri diarahkan oleh pemerintah
daerah untuk menjadi pusat pelayanan dan CBD. Hal tersebut berdasarkan hasil
tinjauan data sekunder dan hasil wawancara oleh pihak pemerintah daerah
Kabupaten Sukoharjo seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pada halaman
107-108. Selain itu, tujuan pembangunan Kota Solo Baru juga menyatakan bahwa
Kota Solo Baru dibangun dengan tujuan sebagai penggerak baru Kabupaten
Sukoharjo.
Untuk menjawab tujuan dan arah pengembangannya tersebut, saat ini Kota
Solo Baru sendiri diketahui telah cukup memiliki beberapa modal yang dapat
berperan positif dalam pengembangannya ke depan. Modal pertama adalah modal
fisik berupa sarana dan prasarana yang setara kota. Selain itu, Kota Solo Baru juga
memiliki modal ekonomi yang menyebabkan perkembangan Kota Solo Baru
beberapa tahun belakangan dinilai relatif pesat. Arus investasi Kota Solo Baru
terbilang terus meningkat. Kawasan Solo Baru juga disebut sebagai pusat
penanaman modal di Kabupaten Sukoharjo sejak tiga tahun lalu (Triyatno, 2015).
Kantor Penanaman Modal Kabupaten Sukoharjo juga memprediksi bahwa nilai
investasi di Kota Solo Baru akan terus bertambah karena perekonomian yang
menunjukkan tren positif.
Selain kedua modal tersebut, Kota Solo Baru juga didukung dengan adanya
modal komitmen dari pemerintah. Walaupun wacana perumusan peraturan daerah
(perda) khusus Kota Solo Baru sebagai kota mandiri ternyata tidak terbukti setelah
dikonfirmasi kepada pemerintah daerah melalui wawancara, tetami pemerintah
daerah telah menunjukkan komitmen yang serius dalam mengembangkan Kota
111
Solo Baru, dengan melakukan beberapa perubahan fisik Kota Solo Baru untuk
meningkatkan daya tarik kotanya.
Mengingat tujuan pembangunan, arahan pengembangan dan modal-modal
yang dimiliki oleh Kota Solo Baru tersebut, maka kemudian dilakukan analisis
mengenai prospek perkembangan Kota Solo Baru pada masa yang akan datang.
Analisis ini dapat bermanfaat sebagai dasar peta konsep pengembangan Kota Solo
Baru ke depannya, baik dalam pengembangan secara umum sebagai penanganan
pesatnya kemajuan Kota Solo Baru maupun dalam pengembangan sesuai tujuan
pembangunan Kota Solo Baru. Kecuali tujuan pembangunan dan jumlah penduduk,
prakiraan perkembangan unsur-unsur Kota Solo Baru tersebut dilakukan pada unsur
ketergantungan pekerjaan, ketergantungan fasilitas pelayanan, jarak fisik dan
pembatas kota sebagai berikut:
Tabel 5.28 Prakiraan Perkembangan Unsur Kota Solo Baru
Aspek Kota
Baru
Kota
Solo
Baru
Prakiraan
Ketergantungan
pekerjaan ke
kota induk/ kota
lain
75,76% Ketergantungan pekerjaan diperkirakan dapat berkurang secara
signifikan mulai dari tahun 2032, seiring dengan optimalisasi fungsi
CBD dan beberapa fasilitas yang dapat menyerap lapangan pekerjaan baru
Ketergantungan
fasilitas pela-
yanan ke kota
induk/ kota lain
34,40% Ketergantungan fasilitas pelayanan (penyempurna, suka dan
ekonomi) diperkirakan dapat semakin berkurang mulai tahun 2018
dengan selesainya pembangunan beberapa fasilitas pelayanan baru
seperti rumah sakit internasional, sarana pendidikan, pusat niaga dan lain sebagainya
Jarak fisik dan
pembatas
dengan kota
induk/kota lain
5 km,
tidak
memiliki
pembatas
Tidak dapat ditambah jaraknya bahkan dapat berkurang karena
perluasan area perkotaan Kota Surakarta. Disamping itu, juga tidak
dapat dibangun pembatas berupa jalur hijau atau wilayah bukan
kota karena keterbatasan lahan dan padatnya daerah perbatasan antara Kota Solo Baru dan Surakarta, selain dilakukan penggusuran
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Untuk ketergantungan pekerjaan ke kota lain, Kota Solo Baru yang saat ini
masih memiliki ketergantungan pekerjaan sebesar 75,76% diperkirakan dapat
mengurangi ketergantungannya secara signifikan mulai dari tahun 2032. Hal
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Kota Solo Baru akan dijadikan
sebagai sebuah central business district (CBD), seperti yang telah disampaikan
112
pada sub bab sebelumnya mengenai upaya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terkait
Kota Solo Baru dalam prosesnya menjadi kota mandiri. CBD Kota Solo Baru
sendiri direncanakan dapat berfungsi optimal pada tahun 2032, sesuai dengan
rancangan RDTR Kecamatan Grogol Tahun 2012-2032. Seiring dengan
berjalannya CBD dan beberapa fasilitas pendukungnya, maka diharapkan dapat
menyediakan berbagai variasi lapangan pekerjaan baru dan menjadi magnet untuk
menarik penduduk Kota Solo Baru untuk bekerja di dalam kotanya.
Untuk ketergantungan penduduk Kota Solo Baru akan fasilitas pelayanan
yang terletak di kota lain, saat ini penduduk Kota Solo Baru sebagian besar sudah
memanfaatkan fasilitas pelayanan yang ada di dalam Kota Solo Baru. Ke depannya,
seperti yang telah disampaikan sebelumnya akan tersedia beberapa fasilitas
pelayanan (penyempurna, suka dan ekonomi) baru di Kota Solo Baru seperti rumah
sakit internasional, sarana pendidikan, pusat niaga, dan apartemen. Mayoritas dari
fasilitas pelayanan tersebut diperkirakan dapat beroperasi secara optimal mulai
tahun 2018, berdasarkan pernyataan stakeholder terkait pembangunan fasilitas
pelayanan yang dicantumkan pada salah satu media cetak online (Riviyastuti,
2015)2. Dengan beroperasinya beberapa fasilitas pelayanan tersebut, akan
meningkatkan opsi dan variasi sarana di Kota Solo Baru (dengan kualitas maupun
harga yang bersaing) yang diharapkan dapat menjadi daya tarik untuk mengurangi
ketergantungan pada fasilitas pelayanan yang ada di kota lain. Oleh karena itu,
diperkirakan ketergantungan akan fasilitas pelayanan di kota lain dapat mulai
berkurang mulai tahun 2018.
Sementara untuk jarak fisik dengan kota lain, sangat tidak mungkin untuk
menambah jarak antara Kota Solo Baru dan Kota Surakarta. Kota Solo Baru
berbatasan langsung dengan bagian selatan Kota Surakarta sehingga tidak
memungkinkan untuk memberi jarak tambahan. Bahkan sebaliknya, besar
kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan jarak antar kedua kota tersebut akan
semakin berkurang karena perluasan area perkotaan akibat perkembangan Kota
Surakarta.
2 Tulisan ini diambil dari Asiska Riviyastuti berjudul “The Kahyangan Solo Baru, Apartemen
Eksklusif” di www.solopos.com yang diakses pada tanggal 19 September 2015.
113
Dari prakiraan tersebut, dapat dilakukan analisis lanjutan mengenai potensi
dan hambatan yang mungkin dihadapi Kota Solo Baru ke depannya. Maka
berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa hal yang berpotensi mendukung
prospek perkembangan positif Kota Solo Baru, yaitu sebagai berikut:
Tabel 5.29 Potensi Prakiraan Perkembangan Kota Solo Baru
Aspek Kota Baru Potensi
Ketergantungan
pekerjaan ke kota
induk/ kota lain
• Pusat Kota Solo Baru direncanakan untuk menjadi CBD yang dapat
menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja baru
• Investasi di Kota Solo Baru cenderung meningkat (pertambahan
investasi tahun 2014 sebesar 92,85%) sehingga pembangunan
lapangan pekerjaan di Kota Solo Baru cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun
Ketergantungan
fasilitas pelayanan ke
kota induk/ kota lain
• Pembangunan terutama CBD pada pusat Kota Solo akan menambah
pilihan fasilitas pelayanan yang dapat digunakan penduduk
• Berdasarkan kuisioner, kecenderungan penggunaan fasilitas
pelayanan dekat tempat tinggal cukup besar (65,6%)
• Investasi di Kota Solo Baru memiliki kecenderungan naik
(pertambahan investasi tahun 2014 sebesar 92,85%) sehingga
pembangunan fasilitas pelayanan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun
Jarak fisik dan
pembatas dengan kota
induk/kota lain
Jarak yang relatif dekat membuat Kota Solo Baru sebagai salah satu
wilayah alternatif yang dinilai strategis untuk menjadi magnet baru.
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Sementara untuk lapangan pekerjaan, Kota Solo Baru memiliki potensi besar
dengan keberadaan CBD nantinya. Pusat Kota Solo Baru yang direncanakan untuk
menjadi CBD diharapkan dapat menggerakkan perekonomian dan menciptakan
berbagai lapangan kerja baru, sekaligus membuka peluang usaha bagi penduduk
setempat. Selain itu, Kota Solo Baru juga memiliki potensi besar di bidang
ekonomi. Investasi di Kota Solo Baru memiliki kecenderungan meningkat dengan
laju pertumbuhan yang menunjukkan tren positif, dimana pertambahan investasi
dari tahun 2013 ke tahun 2014 sebesar 92,85% sehingga disebut sebagai wilayah
yang paling menonjol dalam mendongkrak investasi di Kabupaten Sukoharjo
(Gandhi, 2014)3. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperkirakan bahwa jumlah
3 Tulisan ini diambil dari Supriyono Gandhi berjudul “Dinobatkan sebagai Kabupaten Pro Inves-
tasi, Investasi di Kabupaten Sukoharjo Capai Rp 13,5 Triliun” di www.surakartadaily.com yang
diakses pada tanggal 19 September 2015.
114
lapangan pekerjaan di Kota Solo Baru juga akan meningkat dari tahun ke tahun
seiring pertumbuhan Kota Solo Baru.
Sejalan dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan, tren positif pembangunan
di Kota Solo Baru juga akan berdampak positif dalam menambah jumlah dan
pilihan fasilitas pelayanan yang dapat digunakan penduduk. Ketertarikan investor
untuk berinvestasi dengan membangun fasilitas pelayanan juga dapat meningkat.
Saat ini sudah terdapat beberapa investor yang mulai membangun fasilitas
pelayanan di Kota Solo Baru, sesuai pernyataan pihak Bappeda Kabupaten
Sukoharjo berikut:
“Ada beberapa (investor) yang sudah melirik Solo Baru, misalnya
apartemen, rumah sakit dan sarana pendidikan.” (Prihantono, Kasubbid
Tata Ruang Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Sukoharjo, wawancara pada 18 Desember 2014)
Dengan hal tersebut, diharapkan akan meningkatkan daya tarik bagi
penduduk Kota Solo Baru untuk menggunakan fasilitas pelayanan yang ada di
dalam Kota Solo Baru. Pada dasarnya pun, berdasarkan kuisioner terlihat bahwa
penduduk Kota Solo Baru sudah memiliki potensi untuk mandiri dalam bidang
fasilitas pelayanan. Hal tersebut ditunjukkan dengan kecenderungan penggunaan
fasilitas pelayanan dekat tempat tinggal cukup besar (65,6%).
Sementara walaupun memang jarak Kota Solo Baru sangat dekat dengan Kota
Surakarta yang notabene merupakan kota besar yang sudah berkembang lebih dulu,
tetapi hal tersebut tidak menjadikannya sebagai hal yang negatif saja. Jarak yang
relatif dekat dengan Kota Surakarta juga dapat membuat Kota Solo Baru menjadi
salah satu wilayah alternatif yang strategis untuk menjadi sebuah magnet baru pada
kawasan Solo Raya. Didukung dengan pertumbuhannya yang pesat, membuat Kota
Solo Baru memiliki daya tarik tersendiri yang dapat membuat orang berminat untuk
hidup dan berkegiatan di dalamnya.
Selain terdapat potensi yang dapat mendukung prospek perkembangan positif
Kota Solo Baru, juga terdapat beberapa kendala yang dianggap dapat menghambat
perkembangannya. Hambatan tersebut adalah sebagai berikut:
115
Tabel 5.30 Kendala Prakiraan Perkembangan Kota Solo Baru
Aspek Kota Baru Kendala
Ketergantungan
pekerjaan ke kota
induk/ kota lain
• Kecenderungan ketersedian lapangan kerja (64,77%) berbanding
terbalik dengan pemanfaatan (24,24%)
• Banyak faktor eksternal (historis pekerjaan, keinginan untuk mendapat pekerjaan yang paling baik) yang mempengaruhi pemilihan lokasi kerja
Ketergantungan
fasilitas pelayanan
ke kota induk/ kota
lain
Fasilitas pelayanan diperkirakan hanya akan berkurang dari penduduk
perumahan karena hingga saat ini fasilitas yang direncanakan untuk di-
bangun merupakan fasilitas yang cenderung digunakan untuk kalangan
atas (seperti fasilitas rumah sakit internasional, sekolah dan universitas
swasta, apartemen, hotel, dan sebagainya), bukan fasilitas pelayanan untuk kalangan menengah kebawah.
Jarak fisik dan
pembatas dengan
kota lain
Lokasi dan pembatas Kota Solo Baru dengan wilayah di sekitarnya tidak
dapat diubah. Selain itu juga diperlukan tindakan pembebasan lahan (misalnya dengan penggusuran) apabila akan menambah pembatas kota.
Sumber: Analisis Penulis (2015)
Sementara untuk ketergantungan lapangan kerja, terdapat beberapa hambatan
yang dapat mempengaruhi Kota Solo Baru untuk mencapai kemandiriannya. Kota
Solo Baru memiliki kecenderungan ketersedian lapangan kerja (64,77%) yang
berbanding terbalik dengan pemanfaatannya (24,24%). Walaupun sudah sebesar
64,77% penduduk Kota Solo Baru usia produktif yang dapat ditampung oleh
lapangan kerja yang ada di dalam Kota Solo Baru, tetapi pada kenyataannya hanya
24,24% yang memanfaatkannya. Banyak faktor eksternal (historis pekerjaan,
keinginan untuk mendapat pekerjaan yang paling baik) yang mempengaruhi
pemilihan lokasi kerja tersebut. Faktor-faktor tersebut tergolong sulit untuk diubah.
Sementara untuk aspek ketergantungan fasilitas pelayanan ke kota lain
diperkirakan hanya akan berkurang dari penduduk perumahan. Hal tersebut
disebabkan karena hingga saat ini fasilitas yang direncanakan untuk dibangun
merupakan fasilitas yang cenderung digunakan untuk kalangan atas (seperti fasilitas
rumah sakit internasional, sekolah dan universitas swasta, apartemen, hotel, dan
sebagainya), bukan fasilitas pelayanan untuk kalangan menengah kebawah.
Ketimpangan dalam penyediaan sarana sesuai keberagaman golongan penduduk
dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan suatu golongan penduduk. Pada
akhirnya, golongan tersebut akan memenuhi kebutuhannya di kota lain sehingga
hal tersebut dapat meningkatkan ketergantungan Kota Solo Baru.
116
Selanjutnya untuk aspek jarak dan pembatas Kota Solo Baru sendiri sulit
untuk dapat diubah. Dari segi lokasi, tentunya Kota Solo Baru tidak dapat dipindah.
Sementara dari segi pembatas, diperlukan tindakan pembebasan lahan apabila akan
dibangun pembatas antara Kota Solo Baru dan wilayah lain seperti Kota Surakarta.
Walaupun demikian, dapat dilakukan intervensi untuk mengatasinya yaitu dengan
meningkatkan daya tarik Kota Solo Baru, termasuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas sarananya. Dengan meningkatkan daya tarik tersebut, diharapkan
penduduk Kota Solo Baru akan lebih memilih berkegiatan di dalam Kota Solo Baru
sehingga dapat meminimalisir ketergantungan penduduk terhadap kota lain.
5.3.3. Proses Perkembangan Kota Solo Baru
Apabila ditilik lebih lanjut, Kota Solo Baru mengalami beberapa tahapan
dalam pengembangannya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya pada sub bab
tujuan pembangunan, pada fase awal digagasnya pembangunan kawasan Kota Solo
Baru hanya direncanakan sebagai kawasan perumahan skala besar atau real estat
yang memiliki akses baik dengan Kota Surakarta dan lokasi industri yang banyak
terdapat di Kabupaten Sukoharjo. Kawasan perumahan ini dibangun dengan
melihat potensi pasar yang mencari hunian di lingkungan tertata dengan harga yang
lebih miring jika dibandingkan dengan Kota Surakarta.
Pada fase selanjutnya, kawasan perumahan tersebut kemudian dirubah arah
pengembangannya menjadi sebuah kota baru yang diharapkan dapat menjadi pusat
kegiatan dan pendukung perkembangan daerah di sekitarnya, serta menjadi
penyangga perkembangan Kota Surakarta. Pada kenyataannya menurut Sudanti
dalam Kartiko dkk (1998), Kota Solo Baru pada tahap awal pembangunannya ini
masih cenderung lebih tepat untuk dikategorikan sebagai bedroom community. Hal
tersebut dikarenakan ketergantungan Kota Solo Baru dengan Kota Surakarta masih
sangat tinggi mengingat saat itu memang fasilitas yang disediakan di dalam kota
masih minim. Penduduk Kota Solo Baru hanya menjadikan Kota Solo Baru sebagai
tempat tinggal saja, tetapi tetap memilih Kota Surakarta untuk berkegiatan.
Kota Solo Baru sendiri sempat mengalami stagnasi pada perkembangannya
ketika krisis moneter melanda Indonesia. Pembangunan terhenti karena menipisnya
117
pendanaan, yang disebabkan menurunnya penjualan rumah dan aset lain kala itu
Kartiko dkk (1998). Beberapa tahun kemudian, Kota Solo Baru mulai perlahan
bangkit, seiring membaiknya kondisi perekonomian Indonesia. Iklim investasi
kemudian semakin kondusif terhadap perkembangan Kota Solo Baru. Beberapa
investor kemudian menanamkan modal untuk membangun beberapa fasilitas,
seperti hotel, sekolah, dan terutama mall. Pembangunan mall tersebut dinilai mejadi
pemicu pesatnya perkembangan Kota Solo Baru. Hal tersebut sesuai pernyataan
pihak Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sukoharjo berikut:
“Solo Baru sudah berbeda tidak seperti dulu. Mulai tahun 2012 akhir, itu
sudah mulai ada Hartono Mall, The Park. Itu embrionya, cikal bakal
pertumbuhan Solo Baru. Sebelum 2012 itu masih permukiman.” (Nike,
Kasi Perencanaan Tata Ruang, DPU Kab. Sukoharjo, wawancara pada 23 Desember 2014)
Ditinjau dari proses pengembangan kota satelit yang dijabarkan oleh Mengyi
(2011), maka Kota Solo Baru saat ini masih dalam tahap kedua yaitu kota satelit
yang semi-dependen. Kota Solo Baru sudah dilengkapi dengan lapangan pekerjaan
dan fasilitas pelayanan yang dapat dikatakan sudah cukup baik, tetapi belum
dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk Kota Solo Baru. Kota Solo Baru sudah
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan penduduknya, tetapi ada beberapa
kegiatan (khususnya bekerja) yang masih dilakukan penduduk Kota Solo Baru di
luar Kota Solo Baru, terutama Kota Surakarta. Oleh karena itu penduduk Kota Solo
Baru masih memiliki ketergantungan dengan kota lain.
Dari tahapan-tahapan yang telah dilalui, Kota Solo Baru terlihat telah
menunjukkan pengurangan ketergantungan secara bertahap dengan kota besar lain
dalam proses perkembangannya. Lebih lanjut, berdasarkan tahapan-tahapan yang
telah dijabarkan sebelumnya maka proses perkembangan Kota Solo Baru mulai dari
awal pengembangan, Kota Solo Baru saat ini, hingga Kota Solo Baru di masa
datang (dengan asumsi bahwa potensi dan hambatan yang dimiliki oleh Kota Solo
Baru berdasarkan analisis sebelumnya dapat diintervensi dalam artian
memaksimalkan potensi yang ada dan meminimalisir terjadinya hambatan) dapat
digambarkan pada bagan berikut:
118
Gambar 5.56 Proses Perkembangan Kota Solo Baru dari Tahap Pengembangannya Sumber: Analisis Penulis (2015)
119
5.4. Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya, telah disebukan
beberapa temuan penelitan terkait Kota Solo Baru dalam konteks ketergantungan
dan perkembangannya ke depan. Pada sub bab ini temuan-temuan tersebut akan
dibahas lebih lanjut berdasarkan teori terkait, yang ditilik dari masing-masing
unsurnya. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut:
5.4.1 Hasil Evaluasi Ketergantungan Unsur Kota Solo Baru
Berdasarkan evaluasi ketergantungan unsur Kota Solo Baru, ditemukan
beberapa temuan penelitian. Temuan pertama adalah temuan terkait dengan tujuan
pembangunan Kota Solo Baru. Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan
sebelumnya, salah satu tujuan pembangunan Kota Solo Baru yaitu Kota Solo Baru
sebagai penyangga perkembangan Kota Surakarta serupa dengan tujuan
dibangunnya kota satelit menurut Sujarto (1995) yaitu kota satelit dibangun untuk
menunjang kebutuhan khususnya kebutuhan tempat tinggal dari kota besar atau
kota induk. Kota satelit sendiri identik sebagai wilayah yang ‘bergantung’ pada kota
induknya. Hal ini bertolak belakang dengan arah pengembangan dari pemerintah
daerah yaitu Kota Solo Baru sebagai salah satu pusat kegiatan Kabupaten Sukoharjo
dengan menjadi pusat pelayanan dan wilayah prioritas sektor ekonomi.
Walaupun demikian, berdasarkan analisis sebagian besar tujuan
pembangunan Kota Solo Baru dinilai dapat mengarahkan Kota Solo Baru untuk
menjadi kawasan yang berperan sentral dalam konstelasi kewilayahan Kabupaten
Sukoharjo dan Solo Raya. Tujuan tersebut antara lain Kota Solo Baru sebagai (1)
pendukung pertumbuhan dan perkembangan daerah sekitarnya, (2) pusat
permukiman, industri dan pelayanan, dan (3) simpul jaringan koleksi, distribusi dan
transportasi baik lokal maupun regional. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
disusun tujuan jangka panjang yang lebih terfokus sehingga dapat mewadahi dan
menjadi pedoman perencanaan pembangunan Kota Solo Baru ke depan dan
menghindari bias.
Temuan selanjutnya terkait ketergantungan lapangan pekerjaan yang ada di
Kota Solo Baru. Hasil analisis penelitian ini memperjelas teori mengenai hubungan
penyediaan lapangan pekerjaan dengan ketergantungan wilayah. Kota Solo Baru
120
saat ini belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai sesuai jumlah
penduduk usia produktif. Dari lapangan pekerjaan yang telah tersedia pun, tingkat
pemanfaatannya masih rendah. Kurangnya penyediaan dan pemanfaatan lapangan
pekerjaan tersebut pada akhirnya membuat penduduk Kota Solo Baru bergantung
pada kota lain untuk bekerja. Hal tersebut memperjelas pernyataan Golany (1976)
bahwa penyediaan lapangan pekerjaan dalam suatu wilayah adalah salah satu kunci
mengurangi ketergantungan suatu wilayah dengan wilayah lain. Senada dengan hal
tersebut, Pakzad dkk (2007) menyimpulkan bahwa keseimbangan antara lapangan
pekerjaan dan tempat tinggal dapat mengurangi ketergantungan kota baru.
Sebaliknya, ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan dan tempat tinggal akan
menyebabkan mobilitas ulang alik yang merupakan tanda kebergantungan sebuah
kota terhadap kota lain (Golany, 1976; Lee dan Ahn, 2005; Pakzad dkk, 2007).
Keseimbangan lapangan pekerjaan menurut Sujarto (1995) sendiri memang
cenderung sulit dicapai oleh kota baru di Asia Selatan dan Tenggara yang laju
pertumbuhan penduduknya tidak sebanding dengan pertumbuhan kotanya.
Berdasarkan tinjauan yang dilakukannya, kota baru di Asia Selatan dan Tenggara
menunjukkan bahwa pengembangannya secara keseluruhan cenderung
menunjukkan ketidaksesuaian (mismatch) antara lapangan pekerjaan dengan
perkembangan penduduk. Penduduk kota baru tersebut kemudian perlu melakukan
mobilitas ulang alik ke kota lain untuk bekerja. Hal tersebut dibuktikan pada temuan
di Kota Solo Baru, bahwa kurangnya penyediaan lapangan pekerjaan menyebabkan
ketidaksesuaian antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah lapangan
pekerjaan. Ketidaksesuaian itu akhirnya menyebabkan penduduk Kota Solo Baru
masih bergantung kepada kota lain untuk bekerja.
Selain itu, dari lapangan pekerjaan yang tersedia di Kota Solo Baru juga
masih belum dimanfaatkan secara optimal. Dari hasil analisis diketahui bahwa
hanya sebesar 24,4% responden yang memilih untuk bekerja di dalam Kota Solo
Baru, yang mayoritas merupakan penduduk perumahan kelas menengah ke atas.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sujarto (1995) bahwa lapangan pekerjaan
yang dikembangkan di kota baru umumnya hanya berdaya tarik bagi tenaga kerja
dengan keahlian dan tingkat keterampilan tertentu saja.
121
Untuk temuan terkait fasilitas pelayanan yang pertama yaitu wisma, Kota
Solo Baru sudah mampu memenuhi penyediaan hunian berimbang. Selain
penyediaan hunian berimbang pada perumahan Kota Solo Baru, pengembang juga
‘menyatukan’ pembangunan perumahan dengan perkampungan penduduk asli. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Kota Solo Baru mengakomodasi penduduk yang
heterogen. Heterogenitas dalam sebuah kota akan menciptakan kondisi sosial yang
sehat (Golany, 1976).
Penyediaan hunian berimbang tersebut sayangnya masih belum dapat
meminimalisir terjadinya permasalahan yang umum dijumpai pada kota satelit,
yaitu terbentuknya ‘lingkungan menyendiri’ yang ‘eksklusif’ atau enclusive
enclave di Kota Solo Baru. Hal tersebut dipengaruhi adanya segregasi antar
penduduk perumahan dan perkampungan serta antar sesama penduduk perumahan
akibat kelas perumahan yang dibangun berdasarkan lokasi dan cenderung berjauhan
dan terkotak-kotak. Menurut Sujarto (2004), lokasi antara hunian beragam kelas
harus diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan integrasi antar strata. Masing-
masing kelas harus memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan fasilitas.
Antara perumahan golongan tinggi, menengah dan rendah sebaiknya tidak terpisah
dalam lokasi yang berjauhan sehingga tidak menimbulkan friksi sosial. Oleh karena
itu, perlu adanya pembauran melalui rekayasa desain untuk meminimalisir
terjadinya segregasi tersebut.
Selain terjadinya segregasi antar penduduk tersebut, terdapat temuan lain
terkait unsur wisma di Kota Solo Baru yaitu kecenderungan hunian terutama kelas
menengah ke atas yang digunakan sebagai aset investasi. Keberadaan rumah yang
hanya berfungsi sebagai aset investasi tersebut menunjukkan bahwa pemilik rumah
tersebut tidak berkegiatan di dalam Kota Solo Baru, melainkan di luar kota. Kondisi
tersebut memperkuat pernyataan Sujarto (1995) bahwa ketergantungan suatu kota
salah satunya dapat berkurang bilamana fungsi wisma yang telah disediakan benar-
benar dimanfaatkan oleh para pemiliknya sebagai tempat tinggal utama, bukan
sekedar aset investasi ataupun rumah singgah.
Selanjutnya temuan terkait unsur marga, berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa Kota Solo Baru belum memiliki moda transportasi umum yang
122
memadai. Ketidakmampuan Kota Solo Baru untuk menyediakan sarana
transportasi tersebut berakibat pada bergantungnya penduduk kota pada moda
transportasi pribadi. Ketergantungan dengan transportasi dapat meningkatkan
kepadatan lalu lintas serta polusi baik udara maupun suara. Selain itu,
ketergantungan pada penggunaan moda transportasi pribadi juga memiliki
implikasi sosial (Golany, 1976). Apabila penduduk sebuah kota lebih
menggantungkan mobilisasinya pada moda transportasi umum, interaksi sosial
antar pengguna moda tersebut akan meningkat dan akhirnya dapat membentuk
ikatan sosial yang lebih kuat antar penduduknya.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sendiri sudah memiliki rencana untuk
menyediakan sarana transportasi umum berupa BRT yang rencananya akan
melayani kawasan Subosuko (Surakarta-Boyolali-Sukoharjo). Rencananya moda
transportasi umum tersebut akan mengadaptasi konsep yang serupa dengan BRT
Kota Surakarta saat ini yaitu Batik Solo Trans (BST). Mengingat saat ini penduduk
Kota Solo Baru menggunakan kendaraan pribadi yang menurut mereka relatif lebih
banyak keunggulannya jika dibandingkan menggunakan transportasi umum, maka
BRT yang nantinya dioperasikan harus berdaya tarik. Daya tarik tersebut dapat
diwujudkan sesuai pernyataan Golany (1976) bahwa moda transportasi umum harus
memenuhi aspek efektivitas dan efisiensi. Kedua hal tersebut dapat dicapai dengan
menjamin bahwa moda transportasi umum tersebut nantinya dapat meminimalisir
kepadatan lalu lintas pada jam padat, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
berkendara penduduk kotanya, dan dapat mengurangi polusi udara dan polusi suara.
Dengan memenuhi efektivitas dan efisiensi tersebut maka BRT yang dicanangkan
nantinya dapat lebih berdaya tarik bagi penduduk Kota Solo Baru.
Pada penelitian ini juga ditemukan kecenderungan bahwa penduduk
perkampungan Kota Solo Baru lebih memilih sarana transportasi karena
pertimbangan harga atau biaya operasional. Saat ini karena keterbatasan moda
transportasi umum, penduduk perkampungan Kota Solo Baru lebih memilih untuk
menggunakan moda transportasi pribadi yang lebih murah. Maka untuk
meningkatkan daya tarik BRT kepada penduduk perkampungan, pengembangan
BRT tersebut perlu memperhatikan aspek keberagaman. Hal itu sesuai dengan
123
pernyataan Golany (1976) bahwa penyediaan sarana dan prasarana transportasi
pada sebuah kota baru juga harus memperhatikan aspek keberagaman melalui biaya
yang terjangkau oleh penduduk menengah ke bawah, dan ramah digunakan untuk
penduduk berbagai usia dan jenis kelamin.
Selain itu, juga ditemukan bahwa perencanaan pengembangan Kota Solo
Baru yang saat ini diwadahi dalam RTBL Kawasan Perkotaan Kecamatan Grogol
Kabupaten Sukoharjo 2014-2019 sekilas terlihat seperti usaha untuk meningkatkan
prestise Kota Solo Baru. Hingga saat ini fasilitas pelayanan yang direncanakan
untuk dibangun merupakan fasilitas yang cenderung digunakan untuk kalangan atas
(seperti fasilitas rumah sakit internasional, sekolah dan universitas swasta,
apartemen, hotel, dan sebagainya), bukan fasilitas pelayanan untuk kalangan
menengah kebawah. Temuan tersebut dapat mendukung pernyataan Sujarto (1995)
dan Firman dalam Diningrat (2013) yang mengungkapkan bahwa pembangunan
sebuah kota baru cenderung diperuntukkan bagi kelompok masyarakat elit.
Berdasarkan temuan-temuan terkait fasilitas pelayanan tersebut maka
pengembangan Kota Solo Baru ke depannya harus memperhatikan keberimbangan
pelayanan bagi seluruh golongan penduduk, baik penduduk perumahan maupun
penduduk perkampungan dengan berbagai usia, jenis kelamin, suku dan agama
misalnya dengan pengembangan kinerja desain fasilitas yang dapat memungkinkan
untuk menempatkan secara serasi berbagai golongan strata sosial penduduk
kotanya. Dengan penyediaan fasilitas pelayanan yang memadai untuk semua
golongan, maka akan dapat meminimalisir terjadinya konflik dan justru
meningkatkan interaksi bagi penduduknya (Sujarto, 1995). Pada akhirnya, dengan
menyediakan maka akan mengurangi intensitas mobilitas ulang-alik ke kota lain
sehingga meminimalisir ketergantungan (Golany, 1976; Pakzad dkk, 2007; Lee dan
Ahn, 2005).
Selanjutnya temuan terkait lokasi, Sundaram dalam Sujarto (2004)
menyatakan bahwa kota mandiri paling tidak berlokasi sekitar 60 kilometer dari
kota lain dan memiliki batasan fisik yang jelas. Sementara untuk kota satelit,
berjarak maksimal 20 kilometer dari kota lain dan memiliki pembatas. Pada kasus
Kota Solo Baru, jarak Kota Solo Baru dan Kota Surakarta sangat dekat bahkan
124
berbatasan langsung. Selain jaraknya yang sangat dekat, antara Kota Solo Baru dan
Kota Surakarta sendiri tidak memiliki pembatas bahkan terkesan masih merupakan
bagian dari Kota Surakarta. Akibatnya, tingkat aksesibilitas antara Kota Solo Baru
dan Kota Surakarta cukup tinggi, yang menyebabkan penduduk Kota Solo Baru
mudah untuk melakukan pergerakan ke Kota Surakarta. Kemudahan melakukan
pergerakan tersebut pada akhirnya mempermudah terjadinya interaksi spasial
antara Kota Solo Baru dan Kota Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Ullman bahwa jarak memegang peranan penting sebagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya interaksi spasial (1980).
Kemudahan untuk berinteraksi sendiri dapat menyebabkan masing-masing
wilayah saling memberi pengaruh kepada wilayah lain yang berinteraksi (Gergely,
2011). Pada akhirnya hal tersebut meningkatkan ketergantungan antar wilayah yang
berinteraksi, atau dalam konteks pembahasan ini, ketergantungan antara Kota Solo
Baru dan Kota Surakarta. Ketergantungan Kota Solo Baru terhadap Kota Surakarta
dapat dibuktikan dari hasil kuisioner yang menunjukkan bahwa persentase
penduduk Kota Solo Baru yang lebih memilih untuk berkegiatan di Kota Surakarta
masih cukup besar. Dengan kata lain, Kota Surakarta masih dijadikan opsi lokasi
yang cukup diprioritaskan oleh penduduk Kota Solo Baru dalam memilih sarana
berkegiatan sehari-hari.
Sementara ketergantungan Kota Surakarta terhadap Kota Solo Baru
dibuktikan dari hasil wawancara dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Sukoharjo yang menyatakan bahwa saat ini banyak penduduk Kota Surakarta yang
berkegiatan di Kota Solo Baru terutama berbelanja dan bersekolah. Hal tersebut
dikarenakan terdapat fasilitas belanja dan pendidikan ternama di Kota Solo Baru
yang tidak ada di Kota Surakarta. Ketergantungan antar penduduk Kota Solo Baru
dan Kota Surakarta tersebut membuktikan teori yang disampaikan oleh Sujarto
(1995) bahwa jarak fisik sebuah kota baru yang terlalu dekat dengan kota lain akan
menyebabkan ketergantungan meningkat karena batas antar kota akan semakin bias
dan kemudian akan menyebabkan bersatunya kota-kota tersebut.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya juga terlihat bahwa Kota Solo Baru
‘muncul’ karena adanya pengaruh dan permintaan dari Kota Surakarta.
125
Keterbatasan ruang menyebabkan ketidakmampuan Kota Surakarta untuk
memenuhi permintaan penduduknya sehingga kemudian menimbulkan limpahan
beban perkotaan. Limpahan beban tersebut kemudian meluber ke wilayah-wilayah
pinggiran Kota Surakarta, seperti pada wilayah Kabupaten Sukoharjo bagian utara
terutama Kecamatan Grogol yang berbatasan langsung dengan Kota Surakarta.
Wilayah tersebut kemudian dikembangkan menjadi Kota Solo Baru dengan tujuan
sebagai penyangga perkembangan Kota Surakarta.
Berdasarkan gambaran proses tersebut, dapat dikatakan bahwa
berkembangnya Kota Solo Baru merupakan bentuk ekspansi perkotaan Kota
Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Viantari (2012) bahwa secara
bertahap limpahan beban kota inti dapat mendorong terjadinya ekspansi perkotaan,
yaitu perkembangan kota yang semakin ekstensif ke kawasan pinggirannya. Lebih
lanjut, ekspansi perkotaan disebutkan dapat terjadi melalui proses pergeseran
beberapa fungsi penting kota ke kawasan pinggirannya, seperti pertumbuhan
kawasan permukiman atau kota-kota baru di pinggiran (Gottdiener dan Kephart
dalam Viantari, 2012). Dalam konteks kota baru, hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Sujarto (1995) bahwa secara fisik, kota satelit merupakan wilayah
perluasan kota induknya.
Kota Solo Baru sebagai bentuk ekspansi perkotaan Kota Surakarta
menunjukkan bahwa Kota Surakarta memiliki pengaruh yang kuat terhadap
eksistensi Kota Solo Baru. Lebih lanjut, karena ekspansi perkotaan Kota Surakarta
mengarah ke Kota Solo Baru yang notabene merupakan wilayah pinggiran Kota
Surakarta maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh yang kuat dari Kota Surakarta
terhadap Kota Solo Baru secara tidak langsung disebabkan oleh lokasi Kota Solo
Baru dan Kota Surakarta yang sangat berdekatan.
5.4.2 Proses Perkembangan Kota Solo Baru
Sementara berdasarkan hasil analisis mengenai pengembangan Kota Solo
Baru, temuan yang pertama adalah mengenai upaya dari pemerintah daerah
setempat. Upaya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam pengembangan Kota
Solo Baru terlihat sudah cukup baik. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo terlihat telah
126
memiliki komitmen dalam menangani Kota Solo Baru yang ditunjukkan dengan
penyusunan perangkat pembangunan berupa RTBL untuk pengembangan Kota
Solo Baru. Komitmen ini sayangnya masih belum spesifik dan terarah mengatur
tentang perwujudan tujuan pengembangan Kota Solo Baru. Hui dalam Zali dkk
(2013) menyebutkan bahwa meskipun dengan perencanaan yang ideal pun,
mobilitas ulang-alik dari sebuah kota baru ke kota besar lain (sebagai implikasi
ketergantungan kota tersebut terhadap kota besar) tetap dapat terjadi karena
lemahnya aspek pengawasan dan pengendalian pada saat pembangunan sehingga
rencana yang disusun tidak dapat terimplementasi dengan optimal. Oleh karena itu,
diperlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo untuk
pengawasan dan pengendalian pembangunan Kota Solo Baru. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Sujarto (1995), yang menekankan bahwa hal yang paling
penting dalam pembangunan kota baru adalah komitmen dari pemerintah (political
will) untuk secara konsisten mewujudkan sebuah kota sebagai kebijaksanaan dalam
menyelesaikan masalah perkotaan.
Temuan selanjutnya terkait proses perkembangan Kota Solo Baru, dari hasil
analisis diketahui bahwa saat ini Kota Solo Baru merupakan kota yang semi-
dependen. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya ketergantungan
penduduk Kota Solo Baru terhadap kota lain, tetapi disisi lain Kota Solo Baru sudah
dilengkapi dengan sarana dan prasarana dengan kualifikasi setara kota walaupun
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduknya. Untuk beberapa kegiatan,
Kota Solo Baru sudah dapat memenuhi kebutuhan penduduknya tetapi ada
beberapa kegiatan (khususnya bekerja) yang masih dilakukan penduduk Kota Solo
Baru di luar Kota Solo Baru, terutama Kota Surakarta.
Hal tersebut serupa dengan temuan Lee dan Ahn (2005) dalam penelitiannya
mengenai lima kota baru di area metropolitan Seoul. Kota-kota tersebut mulai
dibangun pada tahun 1980-an dan selesai tahun 1990-an. Hasil survei pergerakan
penduduknya kemudian menunjukkan bahwa kelima kota tersebut perlahan tumbuh
dan memiliki daya tarik dibidang perdagangan. Kota-kota tersebut juga sudah
menunjukkan pengurangan ketergantungan pada kegiatan non-pekerjaan, walaupun
masih memiliki ketergantungan pekerjaan yang tinggi terhadap Kota Seoul. Hingga
127
tahun 2005, kota-kota tersebut terus menunjukkan pengurangan ketergantungan
dengan Kota Seoul secara bertahap.
Temuan Lee dan Ahn tersebut dapat menjadi sebuah contoh positif bahwa
kota baru dapat berkembang dan perlahan mengurangi ketergantungannya dengan
kota induk. Maka dengan asumsi positif, Kota Solo Baru dapat berpotensi untuk
mengurangi ketergantungan dengan Kota Surakarta melalui proses perkembangan
yang bertahap. Hal tersebut dikuatkan pernyataan Lee dan Ahn (2005), bahwa
pengurangan ketergantungan dari sebuah kota baru memang membutuhkan waktu
yang cukup lama karena proses tersebut merupakan proses jangka panjang yang
dinamis. Proses tersebut dihasilkan melalui akumulasi penarikan keputusan dengan
langkah yang bertahap, bukan merupakan hasil perencanaan yang instan.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan prospek pengembangannya, Kota Solo Baru dapat lebih berkembang
dengan memanfaatkan modal-modal yang telah dimiliki, tetapi jaraknya yang
sangat dekat dengan Kota Surakarta menjadikan Kota Solo Baru tidak dapat benar-
benar terlepas dari Kota Surakarta. Oleh karena itu, ada atau tidak adanya perda
kemandirian, Kota Solo Baru tetap tidak dapat menjadi kota mandiri.
Terlepas dari hal itu, Kota Solo Baru tetap membutuhkan komitmen serius
dari pemerintah untuk mengatur dan mengarahkan perkembangannya. Kota Solo
Baru saat ini sudah memiliki kapabilitas yang memadai untuk dikembangkan,
berupa modal baik modal ekonomi, modal fisik maupun modal political will.
Melalui upaya pengaturan dan pengarahan, diharapkan pengembangan Kabupaten
Sukoharjo khususnya Kota Solo Baru kedepannya dapat berlangsung dengan lebih
efektif dan efisien.