BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... ·...

42
1 BAB SATU PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara besar yang memiliki khasanah kebudayaan yang luar biasa banyaknya, dan tersebar di seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke dengan budaya lokal yang penuh kearifan sebagai norma-norma tradisional bagi manusia yang telah diakui, dipatuhi, dilestarikan, dijaga dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat agar mendapatkan berkah keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan alam, sosial, budaya, ekonomi, keamanan maupun pangan, seperti tradisi Tikar Adat dan Upacara Bakar Batu (Papua), Sasi (Maluku), Mapalus (Sulawesi Utara), Bau Nyale (Nusa Tenggara Barat), Awig- awig (Lombok Barat dan Bali), Kapamalian (Kalimantan Selatan), Wewaler (Jawa Timur), Repong Damar (Lampung Barat-Sumatra), Sekaten (Jawa Tengah dan DIY), Gus-ji-gang (Kudus-Jawa Tengah) dan masih banyak lagi. Terpeliharanya budaya lokal tersebut akan berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Salim (1990), pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia.Rogers, et.al (2008) menyatakan pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Gus-ji-gang, dapat dilihat sebagai salah satu jenis budaya yang memiliki kearifan lokal 1 yang telah menjadi gagasan, nilai, serta pandangan masyarakat yang berada di Kabupaten Kudus, selain tradisi perawatan Rumah Pencu, Buka Luwur, Kupatan dan Syawalan, Dandangan, Ampyang Maulid, Sewu Kupat, serta Resik-resik Sendang. Gus-ji-gang menurut hasil wawancara 2 dari berbagai pihak

Transcript of BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... ·...

Page 1: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

1

BAB SATU

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara besar yang memiliki khasanah

kebudayaan yang luar biasa banyaknya, dan tersebar di seluruh

wilayah dari Sabang sampai Merauke dengan budaya lokal yang

penuh kearifan sebagai norma-norma tradisional bagi manusia yang

telah diakui, dipatuhi, dilestarikan, dijaga dan diimplementasikan

dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat agar mendapatkan

berkah keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan

alam, sosial, budaya, ekonomi, keamanan maupun pangan, seperti

tradisi Tikar Adat dan Upacara Bakar Batu (Papua), Sasi (Maluku),

Mapalus (Sulawesi Utara), Bau Nyale (Nusa Tenggara Barat), Awig-awig (Lombok Barat dan Bali), Kapamalian (Kalimantan Selatan), Wewaler (Jawa Timur), Repong Damar (Lampung Barat-Sumatra),

Sekaten (Jawa Tengah dan DIY), Gus-ji-gang (Kudus-Jawa Tengah)

dan masih banyak lagi. Terpeliharanya budaya lokal tersebut akan

berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Salim (1990), pembangunan berkelanjutan bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi

kebutuhan dan aspirasi manusia.Rogers, et.al (2008) menyatakan

pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu ekonomi,

lingkungan dan sosial budaya.

Gus-ji-gang, dapat dilihat sebagai salah satu jenis budaya yang

memiliki kearifan lokal1 yang telah menjadi gagasan, nilai, serta

pandangan masyarakat yang berada di Kabupaten Kudus, selain tradisi

perawatan Rumah Pencu, Buka Luwur, Kupatan dan Syawalan, Dandangan, Ampyang Maulid, Sewu Kupat, serta Resik-resik

Sendang. Gus-ji-gang menurut hasil wawancara2 dari berbagai pihak

Page 2: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

2

telah diyakini berasal dari warisan tuntunan atau ajaran Sunan

Kudus3, salah satu Walisanga4 mendapatkan posisi yang istimewa

karena telah mampu menyelaraskan aspek modernitas

(mengedepankan rasionalitas, pragmatisme, dan empirisme), aspek

agama (mengedepankan sakral, tekstual kitab suci, transendental) dan

aspek budaya nenek moyang (mengedepankan karisma, karamah,

tradisi, figur keteladanan) dalam proses dialektika sehingga Sunan

Kudus turut mengkontruksi identitas Islam yang mengedepankan

sakralitas serta mengembangkan dimensi profan (khususnya

ekonomi) yang saling berinteraksi secara efektif. Risakotta (2002)

menyatakan semua budaya rakyat Indonesia dipengaruhi oleh tiga

fenomena yaitu modernitas, agama dan budaya nenek moyang, karena

tidak ada golongan modern, golongan agama atau golongan budaya

yang murni.

Proses dialektika modernitas, agama dan budaya nenek

moyang atau budaya lokal yang dilakukan Sunan Kudus dapat berjalan

baik secara terus-menerus serta dalam waktu yang panjang, sadar

maupun tidak sadar dilakukan dan diterima oleh masyarakat Kudus.

Masyarakat Kudus termasuk masyarakat yang hidup sebagai

masyarakat pesisir, memiliki karakteristik yaitu masyarakat yang

terbuka, lugas dan egaliter. Menurut Thohir (2006), hal itu ada

hubungannya yaitu: pertama, kondisi kawasan tempat tinggal, kedua,

posisi daerah-daerah pesisir secara geopolitik yang berjauhan dengan

daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam sejarahnya

memiliki hubungan intensif dengan orang-orang dari Asia, Timur

Tengah dalam kaitannya dengan hubungan dagang dan penyiaran

agama Islam.

Agama Islam yang berkembang di Kabupaten Kudus tidak

akan lepas dari peran dan pengaruh Sunan Kudus yang memiliki nama

asli Syaikh Ja‟far Shodiq di Kudus yang mengemban misi walisanga

untuk mentransformasikan Islam secara damai dengan pola akulturasi

dan asimilisi di Jawa dan sekitarnya, dengan sistem jaringan

(networking) yang kuat serta pendekatan budaya dan tradisi lokal

yang sesuai kondisi masing-masing daerah. Sunan Kudus telah

Page 3: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

3

berhasil menyelaraskan aspek-aspek budaya lokal dan spiritual dalam

memperkenalkan Islam kepada masyarakat di Kabupaten Kudus. Oleh

karena itu, metode dakwah Sunan Kudus dikenal dengan pendekatan

kultural sangat menonjol, dan ini dapat dilihat pada bangunan Menara

Kudus5 yang mencerminkan akulturisasi budaya Islam sebagai budaya

baru dengan budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang lebih

dahulu ada. Berdirinya Menara Kudus sebagai tanda pluralisme yang

mirip dengan bangunan candi umat Hindu (candi Jago, dan candi

Kidal di Malang-Jatim) dan berbagai bangunan pelengkapnya sebagai

asesoris yang mencerminkan keharmonisan komunitas berbagai etnik

(Jawa, Cina, Arab, Persia dan India) dan lintas kultural (Hindu,

Budha, dan Islam). Dampak positif dari dakwah Sunan Kudus mampu

menyadarkan masyarakat untuk melakukan perubahan pola perilaku

kehidupan masyarakat Kudus sehari-hari sebagaimana mereka mulai

menunjukkan perbedaan-perbedaan, baik dalam sikap maupun

tingkah laku yang nyata, bila dibandingkan dengan pola umum

kehidupan masyarakat sekeliling mereka.

Kepiawaian Sunan Kudus dalam berdakwa agama dan

berdagang telah memposisikannya sebagai tanda atau simbol dengan

predikat sebagai waliyyul ilmy seorang wali yang memiliki

penguasaan ilmu agama dan ilmu lainnya yang tinggi sehingga sering

disebut “Guru Akbar” serta memiliki predikat Wali Saudagar sebagai

simbol kalau Sunan Kudus memiliki keahlian berdagang serta

memiliki etos kerja yang tinggi sehingga kekayaan berlimpah sebagai

individu yang digunakan untuk kemajuan pengembangan dakwah

agama dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Dua karakter

Sunan Kudus yaitu sebagai waliyul ilmi dan wali saudagar tercermin

dalam struktur ruang yang ditunjukkan dengan adanya berbagai

ornamen dan bermacam-macam hiasan berupa piring dan mangkok

keramik dengan berbagai bentuk serta motif yang tidak hanya ada di

Masjid Menara sebagai pusat dakwah yang ramai dikunjungi orang,

tetapi juga terdapat di sekeliling tembok Menara Kudus (tempat untuk

memanggil waktu sholat) yang diduga berasal dari berbagai negara di

Asia, seperti China, Persia, India, Arab, dan Vietnam. Hal ini sebagai

Page 4: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

4

bukti telah terjadi jaringan perdagangan antarpulau maupun

perdagangan antarnegara pada masa Sunan Kudus. Disamping itu,

Sunan Kudus seorang pemimpin (leadership) yang ulung sebagai

seorang senopati kerajaan Demak yang memiliki ketegasan dan

kewibawaan yang menjadikan citra Sunan Kudus begitu kharismatik

dan menonjolkan unsur kedamaian daripada kekerasan.

Memposisikan Sunan Kudus sebagai waliyul ilmi, dan wali saudagar maupun seorang senopati merupakan tanda hubungan

simbolik yang mampu mengembangkan imajinasi simbolik serta

melekat pada diri komunitas Muslim di Kudus dengan sebutan Gus-ji-gang yaitu harus bagus, pintar ngaji dan pintar berdagang. Dr.Abdul

Jalil.M.Ei6 saat diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa Gus-ji-gang dengan meminjam istilah Hasyim Asy‟ari7, karakter wong Kudus8 adalah sosok Gus-ji-gang, orang yang memiliki kriteria bagus,

kaji dan dagang.Wong Kudus itu harus bagus rupa dan bagus laku

artinya wong Kudus harus menjaga ”kebagusan perilaku” dan

penampilan fisik atau penampilan maliter maksudnya berpenampilan

bagus identik dengan pakaian bagus, rumah bagus wujud rasa

bersyukur rejeki berlimpah. „Ji‟ menunjukan kesalehan beragama,

ukurannya kalau sudah naik haji yang merupakan simbol status sosial

yang tinggi, karena menunaikan ibadah haji berarti sudah

melaksanakan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, dan

zakat). “Gang” yaitu dagang merupakan identifikasi usaha ekonomi

masyarakat Kudus.

Namun dalam perkembangan jaman tafsir pemaknaan Gus-ji-gang berubah, terutama „ji‟ dalam Gus-ji-gang artinya bukan kaji/haji

tetapi menjadi mengaji (Said, 2013) dan ketiga hal itu Gus-ji-gang

menjadi ciri yang melekat dalam diri wong Kudus. Artinya, bagus akhlaqnya, pintar mengaji, dan pintar berdagang. Said (2013)

menjelaskan perspektif makna Gus-ji-gang adalah sebagai berikut

Pertama, ”Gus” perkembangan tafsirnya bermakna ”Gus” bukan hanya

bersifat fisik (bagus rupa) tetapi sifat moral (bagus laku). Dan bagus

laku atau bermoral sebagai ukuran kepribadian yang baik bukanlah

untuk kaum laki-laki saja tetapi juga untuk kaum perempuan.

Page 5: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

5

Meskipun kata “Gus” dalam tradisi Jawa biasanya diberikan sebagai

panggilan untuk anak laki-laki, namun ”Gus” dalam pengertian ini

adalah sebagai sifat moral (bagus perilaku) yang mencerminkan

ahklak mulia. Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus,

yaitu “bersikap baik atau hormat terhadap apa dan siapa saja”

merupakan behavior sebagai gejala psikis, proses lahirnya perilaku

tersebut tidak lahir secara serta merta, melainkan setelah melalui

proses psikis secara terus menerus dalam jangka panjang. Kedua, pada

awalnya “Ji” sebagai salah satu ukuran yang digunakan adalah kaji9,

kemudian seiring perkembangan jaman, “Ji” artinya rajin mengaji atau

lebih popular dengan sebutan santri10. Ketiga, istilah “Gang dari kata

dagang” artinya terampil berdagang. Keterampilan berdagang ini

ditonjolkan karena tidak lepas dari pilihan mata pencaharian yang

lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang.

Melalui filosofi11 Gusjigang tersebut mengobyektifikasikan

nilai-nilai moral budaya Jawa dan nilai-nilai agama sebagai cara

bersikap dalam pergumulan sosialnya maupun pengalaman keagamaan

(religius). Hasan (2006) menjelaskan, jiwa dagang pengusaha Kudus

merujuk pada ajaran Sunan Kudus yang telah menjadi sistem nilai

hidup, melembaga, dan memengaruhi kegiatan ekonomi12. Filosofi

Gusjigang sebagai konsep dasar hubungan nilai-nilai agama Islam

dengan kegiatan ekonomi. Konsekuensi sebutan Sunan Kudus sebagai wali saudagar telah melahirkan simbol paradigmatik golongan

masyarakat beragama Islam yang berdagang/saudagar sehingga

memunculkan di kalangan masyarakat Kudus sebutan ”santri

saudagar” menjadi spirit positif bagi orang beragama Islam di Kudus

dalam memupuk etos kerja ekonomi yang tinggi dengan dijiwai

semangat nilai-nilai religiusitas yang kuat.

Demikian pula yang dipikirkan Weber (1958) dalam bukunya,

“The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” telah mengangkat

keterkaitan antara nilai-nilai agama (etika protestantisme) dengan

perilaku kegiatan ekonomi (kapitalisme), yaitu menunjukkan

keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme, yaitu adanya

hubungan erat antara ajaran-ajaran agama dan etika kerja, atau

Page 6: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

6

penerapan ajaran agama dan pembangunan ekonomi. Etika sebagai

ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral, khususnya

dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, banyak bersumber

dari ajaran agama.

Weber mencoba melakukan transfomasi struktural sekaligus

juga lintas struktural antara dua bidang yaitu agama dan ekonomi

(Sudrajat1994). Weber telah menempatkan agama-khususnya agama

Kristen Protestan sebagai faktor yang determinan. Agama merupakan

faktor yang berdiri sendiri dan berpengaruh, serta kemungkinan

adanya “kemampuan mengubah” dari agama. Dengan kata lain,

Weber ingin menegaskan bahwa kesadaran agama bukanlah sekedar

akibat kenyataan sosial-ekonomi, tetapi agama merupakan suatu

faktor yang otonom dan sekaligus memiliki kemungkinan untuk

memberikan corak pada sistem pola perilaku. Dengan demikian agama

menempati posisi yang memiliki potensi untuk mengadakan

perubahan struktur, termasuk kenyataan sosial-ekonomi13. Menurut

Turner (1984), inilah yang membedakan Weber dengan Marx yang

menempatkan agama pada posisi nomor dua dan dependen14. Weber

memberikan bukti, ada fakta statistik yang menjelaskan fenomena di

dunia Eropa modern yang menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin

perusahaan dan para pemilik modal, maupun buruh-buruh terampil

(ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan perusahaan

modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga,

kebanyakan beragama Kristen Protestan15.

Perkembangan di bidang ekonomi di dunia Barat terutama

disebabkan oleh semangat kapitalisme modern sebagai sesuatu yang

tidak dapat berdiri sendiri. Menurut Weber, kapitalisme modern

timbul sebagai hasil kumulatif secara terus-menerus kekuatan sosial,

ekonomi dan pengaruh agama (khususnya agama Kristen Protestan)

sangat menentukan, sebab dalam ajaran agama Kristen Protestan ada

desakan sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam

kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias.

Page 7: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

7

Etika Protestan tumbuh subur di Eropa Barat yang

dikembangkan oleh seorang yang bernama Calvin. Saat itu muncul

ajaran yang menyatakan bahwa seseorang pada intinya sudah

predestinasi atau ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Untuk

mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui

keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya

(sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia menjadi penghuni

surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia selalu mengalami

kegagalan maka dapat diperkirakan orang itu masuk neraka. Hal ini

telah membawa implikasi bagi tumbuhnya etos baru dalam komunitas

Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja

keras dan bekerja giat guna merebutkan kehidupan dunia dengan

sukses sebagai gagasan panggilan (calling). Penerapan panggilan dalam

kepercayaan Protestan bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-

urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh

agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan

untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dengan

cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari atau dengan

kata lain bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran sukses di akhirat,

sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di

kalangan pengikut Calvinis. Menurut Weber (1958), efeknya luar

biasa yaitu etika ini mendorong orang untuk bekerja keras, disiplin,

dan hemat agar memperoleh kekayaan yang dipercaya oleh mereka

sebagai tanda berkat dari Tuhan (Alatas, 2002). Ukuran sukses dan

ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak

nyata dalam aktivitas sosial ekonomi. Jadi semangat kapitalisme yang

dikembangkan dari etika Protestantisme menurut Max Weber

merupakan bentuk ajaran yang sangat mendukung pengejaran

rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi atau kekayaan yang

diperoleh dengan kerja keras dan tidak terbatas lewat industrialisasi.

Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional,

artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi yang

diutamakan daripada kepentingan dan kebutuhan kolektif serta

Page 8: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

8

asketisme sebagai pesan dan kesan yang menentukan untuk

menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan

memusatkan perhatiannya kepada kemampuan bertindak dari

perilaku manusia.

Max Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari

semangat kapitalisme, sebagai berikut: ”memperoleh kekayaan (uang)

sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara

ketat terhadap pemakaian untuk hidup bermewah-mewah”. Artinya

semangat kapitalis dengan cara bekerja keras mencari uang dan

keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan tersebut

tidak digunakan secara langsung untuk konsumsi atau untuk

kenikmatan pribadi semata dengan bersenang-senang tetapi akan

diakumulasikan dan diinvestasikan kembali dalam usaha.

Demikian juga pandangan Geertz (2014) dalam bukunya:

”Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa”

menjelaskan arti dan fungsi agama dalam kehidupan sosial dan

pribadi. Bukan ajaran formal agama yang diambil dari kitab suci,

tetapi suatu konsep kesucian yang diwujudkan dalam simbol sebagai

pancaran religius yang ”sah” dalam kehidupan sosial dan pribadi

penganutnya. Agama sebagai ”sistem simbol” yang membentuk

pandangan tentang dunia dan “etos16” yang mencerminkan cita-cita,

nilai-nilai, dan cara hidup. Jadi agama merupakan pedoman yang

dijadikan kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama

juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup pada diri

manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya. Di sini agama

menurut Geertz (1989) dianggap sebagai bagian dari sistem

kebudayaan17. Pola tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem

evaluatif, serta pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau

sistem pengetahuan manusia.

Geertz (1989) melihat agama Jawa sebagai akulturasi dan

asimilasi animisme antara agama Hindu dengan agama Islam yang

datang kemudian, lalu berkembang menjadi sinkritisme. Geertz

kemudian mengelompokkan tiga lingkungan sosial, yang sekaligus

Page 9: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

9

mencerminkan tempat dan gaya hidup yang berbeda, yaitu wilayah

pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan serta mengelompokan orang

Jawa di “Mojokuto” dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan (yang

intinya berpusat di pedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat

perdagangan atau pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat di kantor

birokrasi). Suatu penggolongan menurut kepercayaan keagamaan,

preferensi etnis dan idiologi politik, telah menghasilkan 3 tipe utama

kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa,

ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku

petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai di Jawa dalam

semua arena kehidupan.

Penelitian Geertz (1989) yang akhirnya disanggah banyak ahli,

tampaknya juga mencoba memahami pemilahan pola pemikiran dan

budaya18 spiritual masyarakat Jawa menjadi abangan, santri dan

priyayi. Ali (1987) mengatakan, kaum abangan adalah orang-orang

Islam yang kurang taat dalam menjalankan syariat Islam19.

Kuntowijoyo (1987) menyimpulkan bahwa, pada akhirnya agama

Islam yang berkembang di tanah Jawa (termasuk di Kabupaten Kudus)

pada dasarnya selalu berciri kejawaan, sama dengan nilai-nilai

kejawen atau javanism20. Menurut Koentjaraningrat (1994), kejawen merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-

Budha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu

dan diakui sebagai agama Islam. Damami (1998) menambahkan, nilai

kejawen merupakan metodologi budaya Jawa. Pengertiannya dapat

dirumuskan sebagai berikut: yaitu sebuah metodologi dalam

kebudayaan Jawa dengan ciri khasnya: Pertama, kemahiran dalam

menerapkan othak-athik gathuk (kreatif dalam menemukan titik-titik

penyesuaian sehingga kelihatan pas). Kedua, peka dalam pemaknaan

simbolik dengan kata-kata wong Jowo iku nggone semu (orang Jawa

itu tempatnya simbol, perlambang) dan Ketiga, cenderung menerima

fakta secara mitos, yaitu cenderung melebih-lebihkan realitas yang

sesungguhnya atau transendental.

Menurut Driyarkara (1964), nilai bukan suatu substansi atau

sesuatu yang berdiri sendiri, juga bukan ide (konsep), ia merupakan

Page 10: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

10

perjumpaan pengalaman manusia dengan apa yang dirasakan dengan

arti positif baginya21. Gus-ji-gang sebagai realitas sosial, dalam bahasa

Bourdieu merupakan sebuah proses dialektika internalisasi ekster-

nalisasi dan eksternalisasi internalisasi22 yaitu internalisasi nilai-nilai

budaya Jawa dan nilai-nilai agama Islam yang telah menjiwai

ekternalisasi dalam praktik dagang, yang menurut Bourdieu sebagai

praktik sosial yaitu hasil dinamika dialektika antara internalisasi

eksternal dan ekternalisasi interior23. Proses dialektika filosofi Gus-ji-gang di dalam kehidupan sosial masyarakat Kudus telah meng-

kristalisasi pada diri agen/aktor, artinya segala tindakan, nilai atau

cara bertindak yang dimiliki agen/aktor dipengaruhi kondisi objektif

kulturalnya dan semua hal tersebut juga melekat pada agen/aktor

dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai habitus. Bourdieu

(1990), secara formal mendefinisikan habitus sebgai berikut:

”suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk mempengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan pengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif ‟mengatur‟ dan ‟teratur‟ tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-agen) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi hasil dan pengorganisasian tindakan oleh konduktor24.

Bourdieu (1997) mengatakan, pembentukan habitus tersebut

melalui proses internalisasi yang terus diterima atau dilakukan dalam

sistem ini membentuk habitus sebagai kerangka pikir aktor yang

tereksternalisasikan dalam bentuk praktik, dan selanjutnya apa yang

tereksternalisasi ini mengalami proses internalisasi kembali dan

seterusnya, dan semuanya akan berlangsung dalam area/ranah. Dalam

ranah inilah para aktor melakukan tindakan atau praktik dalam

bentuk berinteraksi yang dialektis yang melibatkan modal ekonomi,

sosial, budaya maupun simbol yang dimiliki untuk meraih,

Page 11: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

11

mempertahankan, memberdayakan, mengembangkan dan

menjalankan sebagai kekuatan social capital dalam kehidupan

masyarakat.

Pengalaman nilai yang positif dihayati dalam perasaan, bukan

pada rasio saja, melainkan sebagai kepribadiannya (cipta, rasa, dan

karsa)25, sebagai simbol hubungan sosialnya. Searah dengan pendapat

Bourdieu (1980) bahwa, itu semua sebagai cabang (sub-species) dari social capital. Coleman (1990), melanjutkan pemikiran Bourdieu

bahwa social capital adalah payung yang berada di atas semua

kapasitas untuk berelasi dalam masyarakat. Coleman juga sependapat

dengan Bourdieu yang mengemukakan bahwa dalam social capital adalah kekuatan pendorong, dan secara implisit dari “nilai-nilai

spiritual”26, sebagai keutamaan social capital dalam mengelola bisnis

industri kecil di Kabupaten Kudus. Weber (1958) mengatakan,

perpaduan harmonis antara nilai-nilai yang rasional dan irasional.

Antara ide, doktrin agama dan dorongan keharusan material, terjadi

pertemuan dua unsur yang saling menemukan dan saling memperkuat

mampu menjadi pendorong perubahan perilaku.

Perubahan perilaku masyarakat akibat spirit positif Sunan

Kudus, menurut Geertz (1977) dalam: “Penjaja dan Raja”, menjelaskan

bahwa perubahan-perubahan masyarakat berjalan lama menurut pola-

pola perubahan yang setahap demi setahap -gradual change- yang

dimulai dari perubahan nilai-nilai kehidupan masyarakat dan

karakteristik fungsi lembaga-lembaga masyarakat yang kemudian

merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi-

organisasi ekonomi dan politik dan pada akhirnya sebagai perubahan-

perubahan sosial budaya serta ekonomi di masyarakat.

Mencermati penjelasan Gus-ji-gang, baik sebagai nilai-nilai

spiritual maupun keutamaan yang mendasari social capital masyarakat

Kabupaten Kudus dalam melakukan kegiatan ekonomi atau berdagang

bagi pengusaha Bordir, memerlukan dua acuan teori untuk

memahami kedalaman makna nilai-nilai moralnya. Pertama, diperlukan acuan teori dunia kehidupan27 Jawa yang memuat

Page 12: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

12

pendapat umum dan konstruksi teoritis pemahaman dalam tipe ideal28

atau cita ideal29 dari para ahli dengan kedalaman pemahaman makna

nilai-nilai moral Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang atau

keutamaan social capital di Kabupten Kudus. Kedua, diperlukan

acuan teoritis analisis filsafat30 yang obyekti311 maknanya sama dengan

berfilsafat32 yang berdasar pada keinsyafan diri33 atau refleksi diri yaitu teori yang dikembangkan oleh Max Weber yang

menggabungkan “etika agama dan semangat dagang yang selaras

dengan konsep Gus-ji-gang serta teori Bourdieu untuk melihat Gus-ji-gang sebagai habitus masyarakat Kudus, sebagai dasar pembentukan

social capital dalam meningkatkan kinerja usaha bordir khususnya.

Peneliti memahami bahwa, Gu-ji-gang sebagai ideologi

sebenarnya berfungsi sebagai spirit yang mendorong dan

menggerakkan seseorang pengusaha atau komunitas bisnis untuk

melakukan kegiatan bisnis. Dengan pemahaman ini, yang lebih

penting dan menentukan justru pada internalisasi proses transformasi

religius yang mendorong kegiatan ekonomi bukan ideologi, sebab

apapun keyakinan, mazhab atau agama yang dianutnya, kalau

menggunakan transformasi religius selaras, searah dengan visi

kegiatan bisnis, maka pengusaha itu akan mendapatkan kesuksesan.

Berdasarkan acuan teoritis tersebut diharapkan dapat memberikan

pemahaman pengetahuan yang bersifat filsafati tentang Gus-ji-gang

dalam praktik bisnis sebagai kekuatan dasar sosial capital indutri kecil

di Kabupaten Kudus.

Melalui filosofi Gus-ji-gang tersebut mengobyektifikasikan

nilai-nilai moral budaya Jawa dan moral agama (Islam) masyarakat

Kudus sebagai cara bersikap dalam pergaulan sosialnya maupun

pengalaman keagamaan (religius). Keduanya sebagai satu kesatuan

struktur sosial34 sekaligus merupakan habitus sebagai dasar

pembentukan social capital khususnya bagi komunitas industri kecil,

khususnya usaha bordir di Kabupaten Kudus.

Mencermati berbagai uraian tentang Sunan Kudus dalam

kaitannya dengan Gus-ji-gang tersebut, menunjukkan 4 (empat) hal

Page 13: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

13

yang perlu dicermati. Pertama, karena belum ada bukti historis

kehidupan Sunan Kudus dengan ajaran-ajarannya, maka penelitian ini

belum dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap sejarah pemikiran35 Sunan Kudus terutama tentang Gus-ji-gang, tetapi

memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada hubungan simbolik36

akan mampu membukakan peluang untuk melakukan imajinasi

simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat sebagai

Waliyyul ilmy dan wali saudagar bisa jadi mengalami perkembangan

sesuai dinamika masyarakat yang mempercayainya. Kedua, istilah

Gus-ji-gang dalam hal ini dipahami sebagai salah satu bentuk

akulturasi nilai-nilai agama Islam dengan karakteristik budaya Jawa

yang dipraktikkan dalam berbagai kegiatan ekonomi, khususnya

Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir di Kabupaten Kudus

dengan nilai-nilai moralnya menurut pendapat umum37 di bidang

dagang, dan dapat disebut sebagai salah satu keutamaan dagang di

Kabupaten Kudus. Pengertian keutamaan38 maksudnya sama dengan

etos39 terutama di Kabupaten Kudus. Kata “etos” memiliki arti sikap

yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya. Mengingat sikap

moralnya sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan peningkatan

etos secara implisit memuat nilai-nilai moral berlaku dalam

kehidupan atau sebagai budayanya. Karenanya, pihak yang menuntut

etos tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi

manusia baik40. Ketiga, diperlukan pengkajian dan pemahaman lebih

rinci tentang nilai-nilai moral budaya Jawa41, sehingga di satu sisi

dipahami sebagai keutamaan dagang yang dimaksud pemahamannya

sama dengan habitus pemikiran Bourdieu. Sedangkan pada sisi lain,

keutamaan dagang tersebut juga dijadikan sebagai tantangan acuan

pembentukan social capital dalam berdagang khususnya di Kabupaten

Kudus. Keempat, diperlukan penelitian sebagai pembuktian sejauh

mana keberlakuan Gus-ji-gang sebagai dasar pembentukan social capital pada komunitas industri kerajinan bordir di Kabupaten Kudus.

Berdasarkan empat hal tersebut di atas memunculkan problem

bagaimana sebetulnya habitus Gus-ji-gang dapat dimanfaatkan sebagai

dasar pembentukan social capital masyarakat Kudus yang di dalamnya

Page 14: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

14

terkandung nilai-nilai moral budaya Jawa (pendapat umum) atau yang

ditetapkan berdasarkan nilai-nilai, ciri keagamaan, pandangan hidup

masyarakat Jawa diimplentasikan dalam Industri Kecil Bisnis Keluarga

bordir di Kabupaten Kudus.

Gusjigang sebagai habitus individu dan masyarakat Kudus pada

umumnya telah dimengerti, dipahami dan dipraktikan dalam

kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari telah dilaksanakan pada

berbagai kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya seperti:

bidang birokrasi/ pemerintahan, sosial, pertanian, perdagangan, dan

industri barang dan jasa.

Lalu yang menjadi perhatian, pemikiran, dan ketertarikan

peneliti adalah: Bagaimana keberadaan istilah Gus-ji-gang sebagai

“habitus” serta sebagai dasar penguatan social capital telah dipahami,

dimengerti, diakui dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari

khususnya pada kegiatan industri dan perdagangan di masyarakat

Kabupaten Kudus yang secara empiris dapat diamati pada kehidupan

Industri Kecil dan Menengah (IKM)42.

Sejarah membuktikan, Industri Kecil dan Menengah (IKM)

relatif lebih tahan (survive) terhadap dampak negatif dari krisis

ekonomi, sehingga Berry, Rodriquez & Sandee (2001)

mengungkapkan ada tiga alasan keberadaan IKM sebagai tumpuan

utama pemerintah, yaitu: pertama, kinerja IKM cenderung lebih baik

dalam menghasilkan peluang kerja43 yang produktif; kedua, IKM

sering meningkatkan produktivitasnya melalui investasi dan aktif

mengikuti perubahan teknologi; ketiga, IKM diyakini memiliki

keunggulan fleksibilitas dibandingkan usaha besar. Perkembangan

IKM telah mendapat perhatian banyak peneliti yang mengkaji

pentingnya Industri Kecil dan Menengah (IKM) antara lain, Drucker

(1985), Birch (1987), Storey (1994), Menperindag (2005), Kuncoro

(2007), Meliadi (2008), dan ILO (2010). Hal itu menunjukkan betapa

pentingnya IKM dalam proses pembangunan ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat.

Page 15: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

15

Demikian pula Tambunan (2008) menyatakan bahwa, dari

perspektif dunia IKM memainkan peran yang sangat vital di dalam

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, di negara maju (NM),

karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja

tetapi juga memberi kontribusi terhadap pembentukan atau

pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar

dibandingkan kontribusinya dari usaha/industri besar (IB), sedangkan

pada negara sedang berkembang (NSB) seperti Asia, Afrika dan

Amerika Latin, IKM dari perspektif kesempatan kerja dan sumber

pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan

pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi pedesaan.

Selanjutnya Tambunan (2011) mengungkapkan, dilihat dari

sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas,

khususnya produk-produk manufaktur, peran IKM di negara sedang

berkembang masih relatif rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang

paling menyolok dengan IKM di negara maju.

Ada fakta empiris44 yang menunjukkan bahwa kondisi IKM

belum memperlihatkan kinerja ekonomi yang optimal dalam

kontribusinya terhadap total PDB nasional, kontribusi terhadap

pembentukan total nilai ekspor non migas belum optimal, kualitas

hidup keluarga IKM yang belum baik maupun masih lemahnya daya

saing di tingkat lokal, regional maupun internasional. Perkembangan

IKM masih banyak persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dari

berbagai pihak. Menurut Riyadi (2001), ada persoalan IKM yang lebih

khusus, antara lain; (1) rendahnya produktivitas, sumber daya

manusia dan manajemen belum profesional, kurang tanggap terhadap

perubahan teknologi dan kurangnya permodalan, (2) akses pasar yang

belum memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang

berfungsi sebagai jalur pemasaran belum berjalan efisien, (3) serta

tantangan dari perkembangan perdagangan bebas baik dalam rangka

kerja sama AFTA, APEC, dan GATT/WTO yang akan membawa

dampak pada peningkatan persaingan usaha. Hal itu didukung

pendapat dari; Urata & Kawai (2002), Tambunan (2008a; 2011), dan

Kusumawijaya (2012) yang menegaskan bahwa, kendala pertumbuhan

Page 16: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

16

IKM bersumber pada kelemahan-kelemahan yang melekat pada aspek

internal IKM, yaitu: pengetahuan dan teknologi produksi,

pengetahuan dalam pemasaran, kendala dalam ketercakapan sumber

daya (manusia dan financial) dan lemahnya kemampuan manajemen.

Kendati studi terhadap IKM telah banyak dilakukan, namun

tetap penting untuk diteliti. Alasan logisnya adalah IKM di berbagai

daerah mempunyai jenis usaha yang tidak sama, meskipun secara

umum profil IKM hampir sama. IKM diyakini memiliki struktur

organisasi yang lebih sederhana, mampu melakukan perubahan proses

bisnis internal dengan lebih efisien, dan memiliki kemampuan dalam

mengadaptasi inovasi. Selain itu, kelompok bisnis IKM memiliki

organisasi yang cukup terbuka dan kesederhanaan komunikasi di

seluruh jenjang organisasi, sehingga alur penyebaran informasi dapat

diketahui dengan mudah (Neerland & Kvalfors, 2000). Dengan ciri

seperti itu maka komunikasi dalam organisasi IKM mampu dilakukan

dengan lebih efisien dan mampu merespons dengan cepat kalau

terjadi berbagai perubahan lingkungan bisnis.

Selanjutnya, peneliti melakukan penelitian lebih mendalam

dengan memfokuskan pada implementasi Gus-ji-gang, habitus dan

social capital pada industri kecil45 (IK) yang memiliki pola hubungan

dekat dengan keluarga pemilik usaha, dan selanjutnya dalam

penelitian ini disebut sebagai Industri Kecil Bisnis Keluarga, atau

IKBK bordir, dapat digambarkan sebagai usaha ekonomi produktif

yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang-perorangan serta

kepemilikannya mula pertama didirikan oleh single fighter, dengan

tenaga kerja masih close-circle family atau immediate family mulai

dari suami/isteri, saudara, sampai teman dekat yang merupakan

kelompok primer46 dengan jumlah tenaga kerja antara 5-19 orang.

Kedekatan hubungan tenaga kerja dengan majikan terkait dengan

aspek kekeluargaan, kepercayaan (trust) dan kesamaan visi sehingga

suasana bekerja lebih nyaman, cair, dan penuh kekeluargaan.

Tentunya pilihan pada pasangan hidup menempati urutan pertama

dalam keterlibatan manajemen dan kepemimpinan usaha yang akan

diturunkan kepada generasi penerus. Keterlibatan pasangan hidup

Page 17: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

17

maupun kerabat dekat di dalam bisnis menyebabkan tingginya

kehandalan sehingga usaha dapat tetap berjalan meskipun pemimpin/

pemilik usaha tidak berada di tempat. Para pekerja dapat

berkolaborasi bersama rekan kerja yang lain dengan bersemangat dan

antusias serta mampu memunculkan ide-ide inovasi yang mudah

diaplikasikan tanpa melalui birokrasi yang rumit.

Oleh karena itu, bisnis keluarga lebih menekankan keluarga

atau kerabat dekat yang ikut terlibat langsung atau tidak langsung

dalam mengelola bisnis dan rendahnya akses bisnis keluarga terhadap

lembaga-lembaga formal keuangan tidak menjadi masalah karena

pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain

seperti pinjaman atau modal dari keluarga dan kerabat. Ini sesuai

dengan pendapat Astrachan dan Kolenko (1994); Corbetta (1995);

Corbetta dan Tomaselli (1996); Rogoff & Heck (2003); Aldrich & Cliff

(2003); dan Ibrahim & Ellis (2006), yang menyimpulkan bahwa

industri kecil yang dikelola sebagai bisnis keluarga adalah dinamika

keluarga dalam kegiatan bisnis dimana kontrol legal terhadap kegiatan

operasional bisnis dilakukan oleh keluarga sendiri, memiliki andil

terhadap modal dalam memenuhi kebutuhan keuangan serta

menentukan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan-keputusan

strategis penting mengenai bisnis, meskipun sebagian besar industri

ini ditandai dengan belum memiliki status badan hukum.

Pola kehidupan bisnis IKBK merupakan sinergi pola

kehidupan hubungan sosial dan bisnis. Jika mengacu dari pemikiran

Tonies47 (1960) dalam Nurwoko dan Suyanto (2010), maka hubungan-

hubungan positif antara manusia selalu bersifat paguyuban

(gemeinschaft) dan bisnis sesuai dengan patembayan (gesellschaft). Paguyuban (gemeinschaft) merupakan bentuk kehidupan bersama,

dimana antar anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang

sifatnya alamiah dan harmonis yang hangat. Dasar hubungannya,

yaitu rasa cinta dan persatuan batin yang nyata dan organis. Bentuk

ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat desa, keluarga,

kekerabatan, dan sebagainya. Sebaliknya, patembayan (gesellschaft) merupakan bentuk kehidupan bersama dimana para anggotanya

Page 18: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

18

mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka waktu

yang pendek, serta bersifat mekanis. Bentuk ini dapat ditemukan

dalam hubungan perjanjian berdasarkan ikatan timbal balik, dan ini

sebagai dasar terjadinya kehidupan bisnis. Entitas keluarga dan entitas

bisnis bukanlah hal yang tidak bisa disatukan menjadi suatu kegiatan

bisnis keluarga. Menyatunya pola perilaku kehidupan entitas bisnis

dan entitas sosial merupakan relasi dualitas. Menurut Geertz (1977),

tipologis dikhotomi antara gemeinschaft dan geselfshaft, tradisional

lawan modern, ekonomi dan non ekonomi dalam sistem ekonomi

modern dapat hidup berdampingan dengan struktur-struktur sosial

dan pola-pola kebudayaan non ekonomi yang lebih luas ruang

lingkupnya daripada yang sering diperkirakan.

Giddens (1984) dalam bukunya ”The Constitution of society”

menyatakan hubungan antara aktor dan struktur bukan dikotomis

atau dualisme, tetapi hubungan atau relasi dualitas. Dengan relasi

dualitas maka hubungan antara aktor (pengusaha IKBK) dan struktur

adalah saling mengandalkan: aktor dan struktur ibarat dua sisi mata

uang yang sama. Kemudian Giddens melakukan kalaborasi

pandangannya dalam suatu teori strukturasi, yang intinya

menggambarkan sudut pandang tentang relasi antara agensi (agency)

dan struktur (structure). Agensi digambarkan sebagai aktivitas sengaja

individu (dalam penelitian ini pengusaha IKBK) sebagai aktor yang

berusaha memenuhi kebutuhannya dan tujuannya serta sumber daya

(resources) yang digunakan dalam tindakan bisnis.

Dalam pola kehidupan aktivitas IKBK, sesuai dengan

pandangan Giddens, dapat dikemukakan bahwa struktur memang

tidak mungkin eksis kecuali bila dimanifestasikan dalam tindakan

(action) dan interelasi individu. Ini karena sifat dualitas agen dan

struktur itu. Dalam konteks ini, maka struktur itu bisa diibaratkan

mirip aturan (rules) dalam suatu permainan (game) ketimbang

permainan itu sendiri. Meskipun aturan itu dicatat dalam buku

aturan, tetapi aturan itu hanya relevan bagi perilaku manusia sejauh

aturan itu sendiri digunakan melalui suatu tindakan dalam permainan.

Sehingga kemajuan dan kemunduran IKBK tergantung dari kemauan

Page 19: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

19

anggota mentaati aturan atau permainan yang sudah disepakati dalam

kehidupan bisnis IKBK.

Sharma (2004); Aldrich & Cliff (2003); Litz (1997)

menyimpulkan, banyak bisnis keluarga yang sukses dan berhasil

melestarikan bisnisnya dari generasi ke generasi. Keterlibatan

keluarga dalam bisnis memiliki arti bahwa keluarga dan bisnis adalah

saling terkait. Memang sulit untuk memisahkan kedua sistem ini,

yaitu keluarga dan bisnis sering terjadi tumpang tindih di antara

sistem keluarga dan bisnis serta interaksi yang simultan di antara

keduanya. Selanjutnya sejumlah pakar yaitu Tagiuri dan Davis (1992);

Habbershon dan Williams (1999); Habbershon, Williams &

MacMillan (2003); Simon & Hitt (2003); Aldrich & Cliff (2003); Zahra

dan Sharma (2004); Anderson, Jack & Dodd (2005); Niemel, (2004);

Poza E. (2010) dan Zachary (2011) meneliti keunikan mengelola

usaha keluarga yaitu kemampuan untuk menyeimbangkan identitas

ganda antara keluarga dan bisnis, menunjukkan sumber keunggulan

bersaing bagi perusahaan keluarga sebagai hasil dari keterlibatan

keluarga, misalnya komitmen organisasi yang kuat, praktik-praktik

sumber daya manusia yang fleksibel, loyalitas anggota keluarga,

motivasi mereka, ikatan sosial, dan kemampuan untuk mendapatkan

sumber daya keluarga dapat menjadi aset-aset intangible yang

berharga yang tertanam di dalam jaringan ikatan yang kompleks dan

dapat memberikan sumber daya yang unik bagi perusahaan-

perusahaan ini.

Kemudian pandangan dari Miller & Le Breton (2005)

menyatakan, kesuksesan beberapa perusahaan keluarga yang luar

biasa karena memiliki karakteristik antara lain: “strategi-strategi yang

stabil, budaya klan, dan masa kerja seumur hidup”. Mereka

menyatakan bahwa faktor-faktor ini memungkinkan perusahaan-

perusahaan keluarga yang sukses untuk membangun “keunggulan

bersaing yang besar” dari generasi ke generasi dan “modal keluarga”

merupakan sumber penting keunggulan bersaing berkelanjutan di

perusahaan-perusahaan keluarga. Namun realita yang ada

menunjukan, tidak sedikit bisnis keluarga yang tidak berkembang

Page 20: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

20

bahkan bangkrut/mati. Akibat kebangkrutan bisnis keluarga ini,

bukan saja menghancurkan seluruh keluarga, tetapi juga

menyebabkan hilangnya pekerjaan serta dapat berdampak negatif

terhadap ekonomi nasional dan posisi saing negara.

Berdasarkan data empiris di lapangan, komunitas pengusaha

IKBK bordir48 di Kabupaten Kudus sebagian besar dikelola mulai dari

keluarga, dimana ayah sebagai pemiliknya dan anggota keluarga yang

lain seperti isteri, anak, menantu dan saudara sekampung saling

bekerja sama membantu dalam pengelolaan dan proses produksi

bordir sampai pemasarannya dan para pekerja tersebut juga berperan

dalam mendukung perekonomian keluarga, keterlibatan keluarga

meskipun sebagai pekerja mendapat upah sangat rendah dan kondisi

pekerja didominasi oleh perempuan. Para pekerja sebagian melakukan

aktivitas produksi bordir di rumah/bengkel pengusaha bordir dan

sebagian lagi pekerja mengerjakan aktivitas produksi bordir di rumah

masing-masing pekerja, ini yang sering disebut sebagai tenaga kerja

rumahan (home-workers)49.

Home-workers atau home-based woker, tenaga kerja ini tidak

mempunyai ikatan kerja formal dengan pengusaha, sehingga

hubungan kerja diantaranya berlangsung secara informal, harmonis,

kekeluargaan dan cair dan kadang-kadang upah yang diberikan masih

di bawah UMR. Kondisi Home Workers pada umumnya perempuan

yang marginal bila dilihat dari nilai-nilai khusus gender yang

membatasi, jenis pekerjaan yang diberikan, upah yang diperoleh

ditentukan pengusaha berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan

pengusaha yaitu harian, mingguan atau borongan, dan rumah pekerja

sendiri sebagai tempat beraktivitas untuk menghasilkan produk.

Namun para pekerja (home workers ) merasa nyaman dengan

mengerjakan pesanan bordir dari majikannya di rumah sendiri karena

bisa “disambi” dengan melakukan pekerjaan domestik, seperti

memasak, bersih-bersih rumah, mendampingi dan mengantar jemput

anak ke sekolah atau menjaga rumah.

Page 21: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

21

Perkembangan komunitas IKBK bordir di Kabupaten Kudus

tidak lepas dari berkembangnya nilai-nilai sosial-kultural Jawa yang

dikenal sebagai kota industri yang kental dengan nilai-nilai budaya50

lokalnya (Jawa) dan agamanya (Islam). Bourdieu (1997) mengatakan,

pembentukan habitus tersebut melalui proses internalisasi yang terus

diterima atau dilakukan dalam sistem ini membentuk habitus sebagai

kerangka pikir aktor yang tereksternalisasikan dalam bentuk praktik,

dan selanjutnya apa yang tereksteranalisasi ini mengalami proses

internalisasi kembali dan seterusnya, dan semuanya akan berlangsung

dalam area/ranah. Dalam ranah inilah para aktor melakukan tindakan

atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang dialektis yang

melibatkan modal ekonomi, sosial, budaya maupun simbol yang

dimiliki untuk meraih, mempertahankan, memberdayakan,

mengembangkan dan menjalankan sebagai kekuatan social capital dalam kehidupan komunitas pengusaha bordir.

Hal ini sangat mudah dijumpai pada kebiasaan atau habitus masyarakat di Kabupaten Kudus, seperti di pasar dan kawasan industri

termasuk industri pabrik rokok, jenang, konveksi maupun bordir.

Masyarakat Kudus yang beragama Islam, setiap pagi sebelum matahari

terbit saat panggilan sholat shubuh berkumandang, masyarakat Kudus

sudah memulai bangun dari tidur dan beraktivitas keagamaan (sholat

Subuh) di rumah sendiri maupun di masjid terdekat dan diteruskan

bekerja mencari kebutuhan hidupnya seperti ke sawah, pabrik,

persiapan ke kantor atau mengerjakan pesanan bordir. Saat matahari

mulai redup di ufuk barat, aktivitas berubah seketika, yaitu

masyarakat Kudus berduyun-duyun memenuhi tempat ibadah

mengikuti sholat Magrib berjamaah, majelis taklim, pengajian atau

melakukan kegiatan sosial lain merupakan pemandangan yang lumrah

dan sudah menjadi budaya masyarakat di Kudus. Ritme kehidupan

masyarakat Kudus yang beragama Islam kegiatan tersebut dilakukan

secara berkesinambungan antara kegitan kehidupan mencari nafkah

dan kehidupan keagamaan ini merupakan kegiatan rutinitas

kehidupan keseharian yang dilaksanakan penuh kesadaran. Sedangkan

masyarakat Kudus yang beragama lain aktivitas sehari-hari sesuai

Page 22: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

22

dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing dengan tetap

bertoleransi menghargai kehidupan sekitarnya.

Industri Kecil dan Kerajinan di Kecamatan Gebog-Kudus

Industri Kecil Bisnis Keluarga bordir Kabupaten Kudus

tersebar di 9 (sembilan) Kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliwungu,

Kota Kudus, Jati, Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Kecamatan

Dawe. Berdasarkan laporan laporan BPS Kabupaten Kudus tentang

Kecamatan Gebog dalam Angka 2013, dapat diketahui sebaran

industri kecil dan kerajinan rumah tangga (lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1

Jumlah Perusahaan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga

Menurut Desa di Kecamatan Gebog Kudus

No Desa Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga

Perusahaan Tenaga Kerja

Perusahaan Tenaga Kerja

1 Getassrabi 17 122 176 287

2 Klumpit 44 338 298 538

3 Gribig 23 134 78 132

4 Karangmalang 28 220 80 156

5 Padurenan 77 559 303 432

6 Besito 16 116 287 366

7 Jurang 19 137 154 210

8 Gondosari 23 168 283 368

9 Kedungsari 13 89 438 514

10 Menawan 31 234 256 328

11 Rahtawu 4 20 274 305

Jumlah 295 2.177 2.627 3.636

Sumber: Kecamatan Gebog dalam Angka 2013, diterbitkan BPS Kabupaten Kudus.

Dari Tabel 1.1 di atas dapat disimpulkan, pemilihan Kelurahan

Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus bagian utara dekat

dengan pesisir pantai sebagai pilihan lokasi penelitian, dengan alasan

sebagai daerah sentra industri bordir, karena dari 11 desa di

Page 23: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

23

Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus ternyata Desa Padurenan

memiliki paling banyak pengusaha industri kecil yaitu 77 unit usaha

industri kecil yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebanyak 559

orang serta telah terbentuk Program Pengembangan Klaster Bordir &

Konfeksi. Di samping itu, interaksi IKBK di Kecamatan Gebog -

Kabupaten Kudus, antar sesama pengusaha IKBK bordir maupun

dengan pihak lain sudah terjalin, meskipun belum optimal, seperti

antar pemasok, pelanggan, koperasi/paguyuban pengusaha bordir

maupun Pemerintah Kabupaten Kudus dapat terjalin interaksi sosial

yang bersifat kerja sama, kompetisi maupun konflik. Kecenderungan

untuk kerja sama, kompetisi maupun konflik, baik di kalangan

sesama pengusaha IKBK bordir atau pihak lain tersebut dapat

dipahami karena setiap interaksi antar individu maupun antar

kelompok sesungguhnya merupakan proses pertukaran bisnis, dimana

masing-masing pihak akan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu:

keuntungan (profit), imbalan (reward), biaya (cost) dalam setiap

interaksi sosial (Hormans, Blau dalam Johnson, 1981). Namun

pertimbangan keuntungan, imbalan dan biaya kadang-kadang

diabaikan karena untuk menjaga hubungan timbal balik yang

harmonis dan hangat, yang didasarkan pada filosofi Jawa yaitu ”Tuna sathak bathi sanak”. Industri kecil bordir dalam memenuhi kebutuhan

tenaga kerja tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi

namun yang dibutuhkan memiliki keahlian bordir atau memiliki

kompetensi dalam bidang menjahit. Perkembangan industri konfeksi

dan bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus

dapat dilihat dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2

Jumlah Industri Kecil Konfeksi dan Bordir di Desa Padurenan Kecamatan

Gebog Kabupaten Kudus

No Industri Kecil Satuan 2011 2012 2013

1 Konveksi Unit 90 100 121

2 Bordir Unit 56 22 59

Jumlah 146 122 180

Sumber : Kelurahan/Desa Padurenan Kecamatan Gebog,2013

Page 24: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

24

Dari Tabel 1.2, menunjukkan bahwa industri kecil konfeksi

mengalami kenaikan tahun 2012 bila dibanding tahun 2011 yaitu naik

sebanyak 21 unit atau 21%. Sedangkan industri bordir juga mengalami

peningkatan lebih besar yaitu sebanyak 37 unit atau naik 168% (tahun

2012). Meskipun mengalami peningkatan jumlah pengusaha IKBK

bordir di Kelurahan Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus,

namun menurut informasi Ketua Paguyuban Kampung Durenan

Bapak Abdul Rauf51 menyatakan bahwa masih mengalami banyak

masalah antara lain: (a) Masalah tenaga kerja yang mempunyai

keahlian bordir sulit didapat. Hal ini disebabkan sumber tenaga kerja

bordir berasal dari kerabat, saudara yang mendapat ilmu keterampilan

bordir secara turun-temurun dan ini lama kelamaan mengalami

kekurangan karena mereka lebih senang bekerja di pabrik rokok atau

pedagang, dan di sisi lain lembaga-lembaga pendidikan formal dan

informal tidak dapat menyediakan lulusannya yang memiliki

keterampilan bordir (b) Teknologi yang digunakan IKBK bordir masih

sederhana sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar, baik dari

segi kualitas maupun kuantitas secara cepat. (c) Pemasaran produk,

para pengusaha IKBK bordir mempunyai bargaining position yang

rendah terhadap pedagang atau pelanggan di pasar, sehingga tidak

dapat bebas menentukan harga jual produk, bahkan kadang-kadang

pembayaran tidak kontan. (d) Masalah ketersediaan bahan baku

seperti kain, benang, dan jarum sudah disediakan oleh KSU

Padurenan Jaya, namun partisipasi anggota koperasi (pengusaha IKBK

bordir) belum banyak memanfaatkan. Hal ini disebabkan banyak

pengusaha IKBK bordir membeli bahan baku bodir melalui jaringan

usaha pihak pemasok lain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku

dengan menggunakan sistem ijon. (e) Kondisi belum optimalnya

pemanfaatan jejaring usaha dan hubungan timbal balik antara

pengusaha IKBK bordir dengan lembaga pemerintah atau swasta

(Perbankan, Perguruan Tinggi, Industri tekstil dll.). (f) Masalah

ketidakmampuan pengusaha IKBK bordir untuk melakukan spekulasi

dalam mengambil resiko produksi maupun pasar, sehingga

menimbulkan ketidakpastian dalam bertindak memutuskan untuk

bertransaksi bordir.

Page 25: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

25

Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Orisionalitas penelitian ini nampak pada perbedaan dengan

penelitian-penelitian sebelumnya, dimana penelitian ini mencoba

mengakomodasi beberapa kekurangan dan kelemahan dari penelitian-

penelitian terdahulu dan berusaha melakukan beberapa penyem-

purnaan.

Pada umumnya, banyak penelitian yang menghubungkan

moral agama dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang lebih terfokus

pada etos kerja, baik dilakukan oleh para peneliti asing (luar negeri)

maupun dalam negeri. Salah satu pelopor studi ini adalah Weber

(1958), temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan

(Protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem

ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang

dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya

ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu

tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap

administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Ini membuktikan

perkaitan antara etika agama dengan semangat kapitalisme awal.

Peneliti mendalami antara etika agama dengan kegiatan bisnis

pada Gus-ji-gang sebagai bentuk akulturasi nilai-nilai budaya Jawa

pesisiran dengan agama (Islam) dalam kegiatan perdagangan

(ekonomi) yang dibandingkan dengan konsep yang dikembangkan

oleh Weber (1958) sebagai ciri khas etika Protestan seperti tanggung

jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan, kerja keras

yang dalam Islam dikenal dengan “ikhtiar”. Sifat hemat, pembagian

waktu secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi

perdagangan yang rasional, semua itu ada di dalam etika Islam.

Sedangkan perbedaan etika Islam dengan konsep Weber (1958)

adalah, etika Islam tidak mengajarkan harta kekayaan sebagai

kemungkinan pertanda kesuksesan yang akhirnya akan masuk surga.

Oleh karena itu agama Islam menolak gagasan tentang takdir atau

predestinasi sebagai yang dipersepsikan Calvinisme, sehingga

persoalan mengenai siapa yang termasuk golongan terpilih dan siapa

Page 26: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

26

termasuk golongan terkutuk tidak ada dalam etika Islam. Namun

perkembangan etika Islam di Indonesia permulaan abad ke-20 terjadi

pembaharuan dalam etika Islam dengan melakukan ”ijtihat52” dengan

ayat Al Qur‟an dan Hadis Nabi sebagai acuan yang dikemukakan oleh

Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yaitu ”sesungguhnya Allah tidak

akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasibnya

sendiri53”. Ini menunjukkan keberhasilan hidup seseorang didasarkan

kepada kemauan keras dan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Dengan demikian terdapat kesejalanan antara penjelasan

Weber mengenai Protestanisme dengan pembaharuan etika Islam.

Menurut Ajat Sudrajat (1994), Islam yang murni dan puritan mencari

dalam ayat-ayat kitab suci agama (Al Qur‟an dan Hadis), suatu etika

yang khas dan bebas dari tambahan mistik dan ritus. Hasilnya adalah

sejumlah norma atau nilai-nilai yang menganjurkan asketisme,

aktivisme dan tanggung jawab bagi umat Islam.

Demikian pula Geertz (1914), yang meneliti tentang agama

dan kebudayaan masyarakat “Mojokuto” Jawa dengan judul “ The Religion of Java” yang intinya bahwa tradisi keagamaan yang

dipengaruhi oleh kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan

idiologi politik yang dilakukan masyarakat Mojokuto sebagai

cerminan tradisi keagamaan masyarakat Jawa. Tradisi keagaman

tersebut berbeda tipologinya menurut struktur sosial di Jawa masa itu,

yaitu desa (varian abangan), pasar (varian santri) dan birokrasi

pemerintah (varian priyayi). Geertz memandang kebudayaan

memiliki sifat interpretative, sebuah konsep semiotik dan sebagai

sebuah “teks” dan kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku yang

nampak, karena kebudayaan merupakan “teks” maka kebudayaan

perlu ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkadung di dalamnya.

Bagi Geertz, kebudayaan merupakan jaringan makna simbol yang

perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam (thick description). Kemiripan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan

Greertz, adalah penelitian penulis melihat struktur sosial masyarakat

Jawa (abangan,santri dan priyayi) di dalam melakukan kegiatan usaha

bisnis keluarga yang bergerak di bidang manufaktur bordir dan

Page 27: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

27

didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa pesisiran yang

terakulturasi dengan nilai-nilai agama Islam di Kudus tanpa

membedakan struktur sosial dan agama yang dianut.

Kemudian Castle (1982), yang meneliti tingkah laku Agama,

Politik dan Ekonomi pada Industri rokok Kudus-Jawa ini mengurai

kehidupan masyarakat Kudus dengan segala akibatnya. Pertama, keberhasilan golongan pedagang masyarakat santri di Kudus yang

dapat menciptakan industri. Kedua, industri gagal melakukan

mekanisasi yang disebabkan hubungan politik pemerintah dan serikat

buruh merasa ketakutan adanya mekanisasi karena akan terjadi

pengangguran, maka serikat buruh mencegahnya, dengan

mempertahankan mata pencaharian mereka. Ketiga, pengusaha-

pengusaha Kudus hanya sedikit yang berhasil memajukan bentuk-

bentuk organisasi ekonomi yang lebih kompleks daripada firma

keluarga. Keempat, sistem idiologi Islam tidak menyokong praktik

berusaha sehingga tidak mampu berakselerasi dengan lapangan

ekonomi karena agama-agama (Katolik, Hindu dan Islam) tidak

menyokong proses produksi dan agama yang menyebarkan paham

arketis dan tidak cocok dengan semangat kapitalisme, namun

pengusaha Kudus mengalami kegagalan dalam melakukan mekanisasi

dan konsolidasi politik. Kesimpulan-kesimpulan penelitian Castel

yang justru akan diteliti ulang, apakah juga terjadi pada para

pengusaha bisnis keluarga industri kecil bordir atau apakah justru

sebaliknya.

Chittithaworn et.al (2011), mengungkapkan hasil penelitian

studinya di Thailand, hasilnya ia ingin memahami bagaimana orang-

orang harus memulai usaha dengan melihat pada semua faktor yang

mempengaruhi bisnis (karakteristik IKM, manajemen dan know-how/ pengetahuan praktis, produk dan jasa, pelanggan dan pasar, cara

melakukan bisnis dan kerja sama, sumber daya dan keuangan, strategi

serta lingkungan eksternal), sehingga akan membantu untuk

mengurangi resiko kegagalan dan meningkatkan kesuksesan IKM di

Thailand;

Page 28: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

28

Chen et.al.(2007) melakukan penelitian Usaha Baru di

Thaiwan dengan hasil yang menunjukkan bahwa, ada hubungan yang

signifikan antara social capital, orientasi entrepreneurial, dan sumber

daya organisasi terhadap kinerja entrepreneurial di perusahaan baru

karena usaha-usaha baru dapat mempercepat penyebaran informasi

serta mencari peluang teknologi baru, produk baru, pasar sumber

daya keuangan dengan memperluas jaringan bisnis eksternal serta

memelihara kepercayaan dan saling ketergantungan di antara para

mitra jejaring.

Tuner (2007), membuktikan bahwa para entrepreneur skala

kecil di kota Makasar sangat bergantung pada jejaring dan hubungan

informal, serta hubungan kepercayaan bagi mata pencaharian mereka.

Ketergantungan ini mencerminkan bentuk-bentuk social capital yang

berbeda-beda, yang tertanam di dalam etnis lokal dan hubungan sosial

yang bersifat inklusif bagi beberapa orang, namun bersifat eksklusif

bagi orang lain. Temuan-temuannya menunjukkan bahwa meski

bonding (keterikatan) adalah menonjol, meski dengan implikasi yang

berbeda-beda, namun bridging (penghubung) kurang menonjol, dan

linking sama sekali tidak ada. Kurangnya social capital terakhir

tersebut, bersama-sama dengan luasnya korupsi di kota tersebut,

menghambat perkembangan mata pencaharian bagi banyak

entrepreneur lokal;

Lin (2001), membuktikan dalam penelitiannya bahwa social capital dapat memecahkan persoalan yang terkait dengan koordinasi,

mengurangi biaya transaksi, serta mempermudah arus informasi

antarindividu serta dapat memberikan kontribusi secara signifikan

terhadap keunggulan organisasi. Lin membedakan antara modal

ekonomi,modal manusia dan social capital. Modal ekonomi sebagai

modal yang bersifat fisik berupa bangunan pabrik, mesin-mesin,

peralatan dan aset-aset lainnya, maka modal manusia (atau modal

budaya) berkenaan dengan kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang

melekat pada diri manusia setelah melewati proses investasi modal

manusia. Sedangkan social capital berkenaan dengan interaksi dan

relasi antar individu, antar organisasi dan antar komunitas; dan

Page 29: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

29

Nahapiet, J. & S. Ghoshal (1998), dengan hasil kajiannya sebagai

berikut, bahwa pada perusahaan-perusahaan yang memiliki social capital yang kuat cenderung meraih sukses dibanding pesaingnya

yang memiliki social capital yang lemah. Dimana dalam berbagai

transaksi ekonomi, individual yang bermoral sosial yang kuat akan

memperoleh keuntungan lebih besar daripada mereka yang tidak

memilikinya. Dengan demikian, kualitas hubungan antar karyawan

yang tinggi dan bernilai tidak mudah dibentuk dan sulit untuk ditiru,

menjadikan hubungan tersebut memberikan perusahaan keunggulan

yang langgeng dibanding pesaingnya.

Kemudian Nahapiet dan Ghosal (1998) dalam hasil

penelitiannya, berusaha mengidentifikasi tiga dimensi social capital, yaitu dimensi struktural, relasional dan dimensi kognitif, serta

berusaha menjustifikasi secara teoritis tentang bagaimana

menghubungkan masing-masing dimensi tersebut dapat memfasilitasi

kombinasi dan pertukaran sumber daya dalam perusahaan. Dimensi

struktural social capital (The structural dimension of social capital) mencakup keseluruhan bentuk-bentuk hubungan yang dijumpai

dalam perusahaan, yaitu jaringan yang mengikat, konfigurasi jaringan,

dan kesesuaian jaringan. Sedangkan dalam dimensi relasional dari

social capital (the relational dimension of social capital), terkait

dengan intensitas atau seberapa sering hubungan kerja antar-individu

dalam sebuah perusahaan tersebut dilakukan. Dengan kata lain jika

dimensi struktural fokus pada cakupan dan keragaman hubungan di

antara para karyawan, maka dimensi relasional fokus pada intensitas

hubungan di antara para keryawan. Dimensi kognitif dari social capital (the cognitive dimension of social capital), berkaitan dengan

kualitas hubungan di antara para karyawan, sikap dan berkeyakinan

yang mempengaruhi kepercayaan dan solidaritas yang mendorong ke

arah terciptanya kerja sama antar karyawan perusahaan dalam

mencapai tujuan bersama.

Demikian pula banyak peneliti dalam negeri yang membahas

mengenai agama, sosial budaya, social capital dan ekonomi antara

lain; Jalil (2012) dengan penelitian “Spiritual Entrepreneurship: Studi

Page 30: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

30

Tranformasi Spiritualitas Pengusaha Kudus” merupakan field research

dengan paradigma naturalistik dan dianalisis secara kualitatif dengan

pendekatan sistem kompleks. Kesimpulan penelitian adalah bahwa

formasi spiritualitas pengusaha Kudus terbentuk dari unsur fisiologis,

kognitif, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Dengan driver potensi iman, unsur-unsur tersebut bersinergi dengan valensi tertentu

sehingga membentuk keberagaman integrative yang potensial

menghadirkan spiritualitas.

Kemudian Daryono (2007) meneliti “Etos dagang orang Jawa,

Pengalaman Raja Mankunegara IV”, penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan antropologis

mengenai perilaku, peran dan kiprahnya Raja Mangkunegara IV

(lahir pada 1811M) dengan segudang ajaran-ajaran kearifan yang

telah ditanamkan kepada rakyatnya. Ia dikenal sebagai seorang raja

bestari yang mengabdikan hidupnya di zaman kolonial Belanda,

sebagai seorang Jawa, raja, dan beragama (Islam), menyatukan nilai-

nilai kearifan demi kepentingan rakyat semata. Ajarannya merupakan

sari dari tradisi dan agama Islam yang dianutnya, salah satunya ajaran

tentang Asta Gina yang berisi delapan nasehat untuk setiap orang

terutama pelaku bisnis (dagang).

Demikian pula Arsyad (2005) meneliti bagaimana kearifan

lokal (termasuk social capital) terhadap pembangunan ekonomi,

khususnya dalam penyaluran kredit. Arsyad membuktikan bahwa

beberapa BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Bali mengangkat adat

setempat dimana kepala adat diikutsertakan dalam pemilihan

pengurus BPR yang didasarkan pada asas musyawarah, sehingga

pengurus yang dipilih adalah orang-orang jujur, rela berkorban,

memiliki integritas yang tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di

mata masyarakat dengan memberdayakan sistem dan adat setempat

merupakan bagian penting dari social capital, justru memiliki kinerja

yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan resmi dari

pemerintah.

Page 31: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

31

Berdasarkan penelitian asing (luar negeri) dan dalam negeri

tersebut yang menekankan modernitas, agama, sosial, budaya lokal

dan ekonomi justru akan diteliti kembali untuk dipertajam sebagai

dasar rujukan. Dalam penelitian ini, lebih ditekankan pada budaya

filosofi Gus-ji-gang sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat

Kudus sebagai objektivitas Islam dalam nilai-nilai budaya dagang Jawa

Pesisiran (puritan) yang ditanamkan Sunan Kudus sejalan dengan etos

dagang dan semangat kapitalisme agama sehingga hal ini sebagai

landasan budaya komunitas industri kecil bordir berbasis keluarga.

Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan isu tersebut di atas, maka dalam studi ini

digunakan pendekatan yang paling tepat dengan sistem

kompleksitas54. Pendekatan sistem kompleksitas memiliki hubungan

yang tidak dapat dijelaskan dengan model-model linier, oleh karena

itu memiliki hubungan holistik dan koherensi. Pendekatan ini dipilih

karena melekatnya dua macam karakter perilaku bisnis IKBK bordir

masyarakat Kudus yaitu di satu sisi mengajarkan agar manusia hidup

“pasrah” dan “rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan sebagai

etika hidup “sak titahe” yang sesuai dengan konsep “gus” dan “ji” dan

itu merupakan kekuatan “spiritual” masyarakat Kudus (yang memiliki

nilai luhur dan kebenarannya relatif). Sebaliknya di sisi lain kata

“gang” yaitu dagang yang identik dengan rasionalitas yang memiliki

parameter yang terukur. Kedua karakter tersebut melekat pada diri

masyarakat Kudus yang relegius dan memiliki etos kerja yang ulet dan

kuat. Namun akibat perkembangan teknologi informasi serta

meningkatnya mobilitas sosial turut mempengaruhi kehidupan sosial

(tekanan kapitalisme global) sehingga pergeseran sosial tidak bisa

terbendung dan selalu terjadi, namun di sisi lain memiliki semangat

untuk mempertahankan local asset dan local value. Maka rumusan

penelitian yang dibangun adalah:

“Bagaimana filosofi Gus-ji-gang dapat dimanfaatkan sebagai

keutamaan dagang masyarakat Kabupaten Kudus yang di dalamnya

Page 32: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

32

terkandung akulturasi agama dengan nilai-nilai moral budaya Jawa

merupakan habitus sebagai landasan social capital” guna

meningkatkan kinerja ekonomi komunitas IKBK bordir”

Dari rumusan masalah tersebut, maka dikembangkan beberapa

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana memahami nilai-nilai agama dan moral budaya Jawa

sebagai dasar filosofi Gus-ji-gang yang diyakini berasal dari

tuntunan Sunan Kudus sebagai dasar perilaku komunitas IKBK

bordir di Kudus?

2. Bagaimana Gus-ji-gang sebagai habitus yang dilakukan

masyarakat di Kabupaten Kudus?

3. Bagaimana Gus-ji-gang berperan sebagai dasar pembentukan

social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di

Kabupaten Kudus?

4. Bagaimana Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang Jawa

khususnya pada dunia perdagangan IKBK bordir di Kabupaten

Kudus guna meningkatkan kinerja ekonomi?

Tujuan Penelitian

1. Memahami nilai-nilai agama dan moral budaya Jawa sebagai

dasar filosofi Gus-ji-gang yang diyakini berasal dari tuntunan

Sunan Kudus sebagai dasar perilaku pengusaha IKBK bordir di

Kabupaten Kudus.

2. Menganalisis Gus-ji-gang sebagai habitus yang dilakukan

masyarakat di Kabupaten Kudus.

3. Menganalisis Gus-ji-gang berperan sebagai dasar pembentukan

social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di

Kabupaten Kudus.

4. Menganalisis penerapan Gus-ji-gang sebagai keutamaan dagang

Jawa khususnya pada dunia perdagangan IKBK bordir di

Kabupaten Kudus guna meningkatkan kinerja ekonomi.

Page 33: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

33

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat

secara teoritis maupun praktis:

1. Hasil studi ini bermanfaat pada: (1) Pemahaman secara lebih

holistik dan koheren yang mendalam tentang berbagai analisis

fenomena ekonomi berdasarkan paradigma yang dapat

menjelaskan perilaku manusia (human behavior) mengenai

nilai-nilai agama dan budaya Jawa yang terkandung di dalam

filosofi Gus-ji-gang sebagai keutamaan para pengusaha IKBK

bordir di Kabupaten Kudus.; (2) Pemahaman fonomena ekonomi

kegiatan IKBK bordir dalam kegiatan produksi, pertukaran,

resiprositas dan distribusi dengan menempatkan makna

pemahaman pelaku (aktor IKBK bordir) sebagai subyek utama

sumber pembelajaran. (3) Pemahaman pentingnya fenomena

ekonomi yang realistis dalam konteks kelembagaan adalah

menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan kecermatan

berdasarkan teori, dengan penafsiran yang holistik, serta

menyerap berbagai gejala dan fenomena bisa dapat menjawab

keberlakuan keutamaan dagang berperan sebagai kekuatan social capital dalam berdagang para pengusaha IKBK bordir di

Kabupaten Kudus.

2. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah: (a) dapat

menjadikan rujukan menyelesaikan solusi terhadap persoalan

religius, sosial dan ekonomi IKBK bordir yang banyak terdapat

diberbagai tempat dalam menghadapi tantangan perubahan

dinamika lingkungan internal dan ekternal IKBK. (b)

menemukan berbagai elemen-elemen yang dapat mendorong

keunggulan dan kemunduran kinerja ekonomi IKBK bordir

akibat perubahan lingkungan ekonomi global sehingga memiliki

kemampuan akomodatif terhadap semua perubahan. (c)

menjadikan filosofi Gus-ji-gang sebagai dasar perilaku berbisnis

bagi para pengusaha di Kabupaten Kudus dalam rangka

pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Page 34: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

34

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.

2 Wawancara dengan Humas Pengurus Masjid Menara Kudus Bp.Denny Nur Hakim dan Ketua Pengurus Masjid Menoro Kudus Bp. KH. Nadjib Hassan pada tanggal 9 Mei 2014.

3 Sunan Kudus Dja‟far Sodiq, atau lebih dikenal Sunan Kudus, adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan, beliau salah seorang ulama, guru besar agama Islam yang mengajarkan agama Islam di sekitar daerah Kudus khususnya di Jawa Tengah pesisir Utara serta sebagai saudagar/pedagang yang ditunjukkan pada artefak seperti hiasan berupa mangkuk dan piring dari Tiongkok, Arab, Persia, India, Vietnam sebagai hiasan Masjid Menara Kudus. Selanjutnya baca Solichin Salam,1986, hlm.11-12.

4Walisongo dapat dijelaskan secara denotatif dan konotatif. Secara denotatif Walisongo sejumlah guru besar atau ulama (wali) yang terdiri dari sembilan yang diberi tugas untuk dakwah di daerah dan komunitas umat tertentu. Sedangkan secara konotatif Walisongo berarti seorang yang mampu mengendalikan hawa sanga (sembilan lubang pada diri manusia) yaitu: 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung, mulut, dubur dan kelamin masing-masing satu lubang, maka dia akan memperoleh predikat kewalian yang mulia dan akan selamat dunia dan akhiratnya. Selanjutnya untuk dibaca. Purwadi, dan Maharsi. 2005, selanjutnya kata “wali”, baca Nasution,dkk. ”Ensiklopedi Islam Indonesia”. Bandung.Tarsito.1992. berasal dari Bahasa Arab “wala” atau “waliya” yang berarti qaraba (dekat), artinya memiliki kedekatan dengan Allah SWT dan mengembangkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW, sehingga mereka memiliki peran meneruskan misi Nabi Muhamad SAW dan sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kata sanga merupakan hitungan Jawa berarti sembilan. Dalam Simuh (1996) angka magis “Jawa” yang berasal dari kata “ja” yang memiliki nilai tiga, dan “wa” yang memiliki nilai enam sehingga berjumlah sembilan. Disamping itu ada yang berpendapat kata sanga berasal dari kata Bahasa Arab “tsana” yang berarti mulia, serupa dengan kata mahmud (terpuji). Sehingga golongan ini menilai pengucapan yang benar adalah Walisongo (wali terpuji).

5 Menara Kudus pada jaman dahulu kedatangan Islam di tanah Jawa adalah tempat pembakaran mayat para raja-raja atau kaum bangsawan.Ada pula yang mengatakan, bahwa konon kabarnya pada jaman dahulu di bawah Menara terdapat sebuah kawah tempat pembuangan/penyimpanan abu para nenek moyang kita, jadi berarti bekas candi peninggalan Hindu. Keterangan ini mengingatkan kepada uraian dari Drs.R.Sukmono, salah seorang ahli purbakala yang mengatakan bahwa: ”Di dalam candi biasanya terdapat semacam sumur kecil yang lubangnya berbentuk segi empat, dimana para ahli mendapatkan kotak kecil berisi abu (bekas pembakaran mayat) dan beberapa barang kecil-kecil lainnya, seperti perhiasan, barang logam mulia, barang permata dan sebagainya”, selanjutnya baca Solichin Salam,1986. hlm.32.

Page 35: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

35

6 Dr.Abdul Jalil.M.Ei diwancarai peneliti 16 Nopember 2014 di rumah Jl.Kudus Pati

KM 5 Kacling Boto No.9.Golantepus Mejobo, Kudus.

7 Hasyim Asy‟ari.2003, ”Wong Kudus: Bersikap Sak Titahe, Bergaya Maliter”, Suara Merdeka,21 Juli 2003.

8 Wong Kudus sebutan asal mula orang-orang yang tinggal di sekitar Masjid Menara Kudus atau ngisor Menara Kudus pada waktu itu, yang kemudian berkembang menjadi sebutan masyarakat asli Kudus dan masyarakat Kudus pada umumnya.

9 Kaji yaitu menunaikan rukun Islam ke 5 “naik Haji” disamping sudah melaksanakan yang lain yaitu syahadat, sholat, puasa dan zakat dan secara ekonomi seorang kaji sudah masuk kategori mampu karena ongkos naik haji terbilang tidak murah. Baca Abdul Jalil.2013,hlm.139.

10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004. santri berari orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh

11 Filosofi adalah cara berpikir dalam tahap makna atau nilai, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran kehidupan bagi manusia. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai yaitu, kebenaran, keindahan atau kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna dalam karya seni, nilai kebenaran bisa terkandung dalam suatu teori keilmuan dan, nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu. Selanjutnya dibaca Musa Asy‟arie, 2001, hlm. 4-5.

12 Najib Hasan dkk, “Zairah Spiritual dan Jejak Para Wali”, (Jakarta:Kompas,2006), hlm.219.

13 Karl Mart menjelaskan kedudukan agama dengan jelas beranggapan bahwa agama hanyalah pantulan saja dari kenyataan sosial-ekonomi. Jadi posisi agama adalah suatu variabel yang tergantung pada yang lain (dependent variabel).

14 Bryan.S.Turner, ”Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber”, terjemahan oleh GA.Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.7.

15 Max Weber,The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcoott Persons, (New York: Charles Scribners Son‟s,1958), hlm.35.

16 Etos sebagai semangat dan sikap batin yang tetap termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu. Baca Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari Konteks”.(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.120.

17 Sistem kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu dunianya, menyatakan perasaan dan memberi-kan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan

Page 36: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

36

simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomik. Baca Clifford Geertz, 1981. ”Abangan, Santri, Priyayi dalam. Masyarakat Jawa”. Pustaka Jaya, Jakarta. Kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan, selanjutnya baca dalam Adam Kuper, 1999. hlm.98.

18 Budaya adalah hasil cipta (pengolahan, pengerahan dan pengarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, kemauan, intuisi, dan bakat-bakat rohaniah lainnya) dan raganya yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (rohaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari interen diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual dan material) manusia, baik individu manupun mayarakat ataupun individu dan masyarakat. Selanjutnya baca Kuntowijoyo,2006.hlm 3.

19 HA.Mukti Ali.”Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini‟.(Jakarta;Rajawali Press,1987)

20 Javanisme atau kejawaan merupakan cap diskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikan sebagai kategori khas. John M. Echols Shadily, An Indonesian-English Dictionary, (baca: Cornell University Press), hlm. 338. Javanisme (pandangan hidup Jawa) mengakui bahwa pengalaman religius dan spiritual dikomunikasikan melalui kebijaksanaan, yang menuntut petunjuk praktis. Pengalaman tersebut dikomunikasikan dalam bentuk cerita: simbolis, perumpamaan, nyanyian dialog, teater dan lain-lain. Semua dimak-sudkan untuk membuka hati dan pikiran tentang realita hidup sebenarnya. Selanjutnya baca Y.Sudiantara, 1998, hlm.30-31.

21 N. Driyarkara. “Percikan Filsafat”, (Jakarta: PT Pembangunan,1964), hlm. 148.

22 Bourdieu.”Outline of Theory of Practice”.terjemahan Richard Nice,(Cambridge University Press, USA.1997),hlm.72.

23 Interior merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial,baca Richard Harker, Cheleen Mahar, Chris Wilkes.”(Habitus x Modal)+Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terjemahan Pipit Maizier, (Yogyakarta: Jalasutra,2009,cet.ke 2.hlm.19.

24 Bourdieu.”The Logic of Practice“. terjemahan Richard Nice,(Stanford University Press,1990),hlm.53.Lihat juga Bourdieu.1997.”Outline of Theory of Practive”, terjemahan Ricard Nice

25 N. Driyarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1964), hlm. 148.

26 Istilah spiritual/rohaniah dalam bahasa Inggris: spiritual, Latinnya: spiritualis dari spiritus (roh). Berbagai pengertiannya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai yang manusiawi nonmaterial seperti, keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan,

Page 37: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

37

kejujuran dan, kesucian, 4) mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Selanjutnya dibaca Lorens Bagus, 2000, hlm. 1034.

27 Dunia kehidupan merupakan tandon anggapan-anggapan, sebagai konteks bersama sekelompok orang terdapat cakrawala pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma yang bagi para ahli merupakan barang tertentu, yang tidak direfleksikan dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk dipersoalkan sesuatunya. Dunia kehidupan merupakan tandon anggapan-anggapan latar belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang memproduksikan diri dalam bentuk tradisi cultural dan berfungsi sebagai konteks komunikasi. Ia merupakan tandon pengetahuan dan anggapan yang perlu diandaikan untuk mengambil sikap. Franz Magnis Suseno, 2000, hlm. 223.

28 Tipe ideal artinya, model yang dicita-citakan Lorens Bagus.”Kamus Filsafat”. (Jakarta:PT Gramedia.2000), hlm. 1199.

29 Cita ideal artinya, pemikiran yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki Hasan Alwi (Pem.Red.) ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 416.

30 Cita ideal artinya, pemikiran yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki Hasan Alwi (Pem.Red.) ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 416.

31 Menurut Kuntowidjaja, obyektifikasi mengandung makna „membuat sesuatu menjadi obyektif‟. Obyektifikasi adalah, perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujud-kan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui atau meng-imani nilai-nilai asalnya. Maksudnya, obyektifikasi merupakan konkretisasi keyakinan internal (subyektif) tetapi harus dibuktikan dalam kategori-kategori obyektif. Misalnya, suatu perbuatan yang merupakan konkretisasi nilai-nilai moral dalam Islam, disebut obyektif bila dirasakan oleh non-Muslim sebagai perbuatan natural (wajar). Selanjutnya dibaca Kuntowidjaja, 1997, hlm. 68-69.

32 Berfilsafat adalah cara berpikir dalam tahap makna atau nilai, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran kehidupan bagi manusia. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai yaitu, kebenaran, keindahan atau kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna dalam karya seni, nilai kebenaran bisa terkandung dalam suatu teori keilmuan dan, nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu. Selanjutnya dibaca Musa Asy‟arie, 2001, hlm. 4-5.

33 Keinsyafan diri atau refleksi diri merupakan sifat khas dari manusia sebagai suatu sistem kehidupan berpikir, cerdas dan juga sadar secara moral, peka secara estetis dan cenderung ke arah yang manusiawi, luhur, rohaniah, adikodrati, nominus, Illahi yang dalam pengertian filsafat umumnya digolongkan dalam konsep budi. Selanjutnya dibaca The Liang Gie, 1979, hlm. 30.

Page 38: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

38

34 Struktur sosial artinya, konsep perumusan asas hubungan antar individu dalam

kehidupan masyarakat sebagai pedoman tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim.Red.),”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka. 2001), hlm. 1092. Magnis Suseno menjelaskan, pada hakikatnya orang Jawa tidak membeda-bedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Berbagai interaksi sosial sekaligus sebagai sikap terhadap alam, begitu juga sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi terhadap sosial. Antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip yang hakiki. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001). hlm. 82.

35 Sejarah pemikiran merupakan terjemahan dari “history of thought, history of ideas” atau “intellectual history”. Sejarah pemikiran yaitu, the study of the role of ideas in historical event and process. Roland N Stromberg, European Intellectual History Since 1789, (New York: Mereditn-Century-Croff, 1968), hlm. 3.

36 Hubungan simbolik sebagai gejala budaya yang mengutamakan imaginasi simbolik bisa ditemukan dalam novel biografi termasuk di dalamnya sejarah intelektual atau juga tokoh-tokoh lokal kharismatik, baca Roland Barthes, ”Mythologies,” (London: Vintage Books, 1993).

37 Pendapat umum dinilai sebagai suatu bentuk khusus dari adanya kesadaran sosial dalam bentuk kesadaran massa yang tidak resmi dari kelompok-kelompok sosial atau asosiasi-asosiasi dari rakyat terhadap kepentingan umum. Oleh karena itu, pendapat umum tidak hanya menyingkap suatu perbedaan kepentingan tetapi juga suatu tingkat kesadaran sosial yang tidak sama. Lorens Bagus, 2000, hlm. 797.

38 Macam-macam keutamaan Jawa misalnya,kesetian,kemurahan hati,sepi ing pamrih rame ing gawe, dan lain-lain.Pembahasan lengkap baca.Franz Magnis Suseno, 2001, hlm. 205-206. Untuk selanjutnya baca juga K. Bertenns, 2005,hlm. 222.

39 K. Berens, “etos” adalah salah satu kata Yunani yang masuk ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Kata “etos” menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai-nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang. Dalam Concise Oxford Dictionary (1974), kata “etos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system maksudnya, suasana khas yang menandai suatu kelompok, seseorang atau sistem. Etos menunjukkan kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi. Kata “suasana” harus dipahami dalam arti baik secara moral. Karenanya, jika bicara “etos” dalam profesi tertentu mesti sebagai hal yang terpuji. Sikap komersial pedagang sebagai profesi misalnya, tentu etos dagangnya berkecenderungan kurang baik jika satu-satunya tujuan bisnis adalah maksimalisasi pada keuntungan yang hanya berupa uang. K. Bertens, 2005, op cit.,hlm. 225-228.

40 Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari Konteks” (Jakarta:PT Gramedia,1992)., hlm. 127.

41 Dimaksud budaya Jawa menurut Hans Antlov menjelaskan, budaya Jawa tidak dapat dibatasi hanya pada ide tentang kekuasaan dan ide tentang itu tidak dapat dibatasi hanya pada masalah tentang keteladanan. Karenanya, tidak seorangpun

Page 39: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

39

mengatakan yang lebih baik daripada Eldar Braten bahwa: “Budaya Jawa adalah, sekumpulan ide, norma, keyakinan, dan nilai yang sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat dilukiskan sebagai „keseluruhan yang padu‟, yang sama-sama dipakai oleh orang Jawa. Sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi dari pengetahuan yang demikian beragam di masyarakat”. Hans Antlov dan Sven Cederroth (ed.), Kepemimpinan Jawa Perintah Hlmus Pemerintahan Otoriter, (Jakarta: YOI, 2001), hlm. 19.

42 IKM merupakan gabungan dari istilah industri kecil dan industri menengah. Industri kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau besar. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50 juta sampai dengan paling banyak Rp.500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300 juta sampai dengan paling banyak Rp.2,5 juta milyar. Sedangkan Industri menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.Memiliki kekayan bersih lebih dari Rp.500 juta sampai dengan paling banyak Rp.10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp.50 milyar.,Lihat Statistik UMKM tahun 2010–2011,Bagian Data-Biro Perencanaan Depkop, dari Website: www.depkop.go.id. Diakses 10 Mei 2013.

43 Pada tahun 2004-2009 di Indonesia terjadi peningkatan lapangan usaha sebesar 793.709 unit usaha atau tumbuh rata-rata per tahun sebesar 7,3% melampaui persentase target Rencana Strategis IKM sebesar 4,6%. Sedangkan penyerapan tenaga kerja terjadi sejumlah 943.108 orang, dengan rata-rata pertambahan 188.621 atau laju pertumbuhan sebesar 3,26%. IKM di Jawa Tengah pada tahun 2011mampu menyerap 81% (2.542.480 orang) tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012). Selain itu IKM di Jawa Tengah juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 6,5% terutama berasal dari kontribusi 3 (tiga) sektor terbesar yaitu sektor industri pengolahan (1,7%), perdagangan hotel dan restoran (1,5%) dan pertanian (1,4%). Tingginya sumbangan sektor industri pengolahan terutama didorong oleh pertumbuhan IKM sebesar 4,98%, sementara pertumbuhan industri manufaktur mengalami penurunan sebesar 1,60% (Bank Indonesia, 2012)

44 Kontribusi UMKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku, Pada tahun 2010 sebesar Rp.3.466,4 triliun atau 57,12 persen, kontribusi Usaha Mikro (UMI) tercatat Rp.2.051,9 triliun atau 33,81 persen dan UK (Usaha Kecil) sebesar Rp.597,8 triliun atau 9,85 persen.UM (Usaha Menegah) tercatat sebesar Rp.816,7 triliun atau 13,46 persen dari Total PDB Nasional. Sedangkan pada tahun 2011 kontribusi UMKM terhadap penciptaan PDB Nasional menurut harga berlaku

Page 40: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

40

tercatat Rp.4.303,6 triliun atau 57,94 persen berarti mengalami perkembangan Rp.837,2 triliun atau 24,15 persen dibanding tahun 2010.Kontribusi Usaha Mikro (UMI) sebesar Rp.2.579,4 triliun atau 34,73 persn dan UK (Usaha Kecil) sebesar Rp.722,0 triliun atau 9,72 persen. UM (usaha menengah) sebesar Rp.1.002,2 triliun atau 13,49 persen. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan total nilai eksport non migas pada tahun 2010 sebesar Rp.175,9 triliun atau 15,8 persen, kontribusi usaha mikro (UMI) sebesar Rp.16,7 triliun atau 1,50 persen dan Usaha Kecil (UK) tercatat Rp.38,0 triliun atau 3,43 persen. Sedangkan Usaha Menengah (UM) sebesar121,2 triliun atau 10,89 persen. Satatistik UKMK 2010-2011, diakses pada www.depkop.go.id pada 10 Mei 2013.

45 Menurut UU No.20 Tahun 2008 pada Bab IV Pasal 6 ayat 2, Industri Kecil merupakan usaha produktif yang berdiri sendiri,yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 (lima puluh juta) sampai paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah), sedangkan menurut BPS (2011) dengan jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang.

46 Menurut UU No.20 Tahun 2008 pada Bab IV Pasal 6 ayat 2, Industri Kecil merupakan usaha produktif yang berdiri sendiri,yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 (lima puluh juta) sampai paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah), sedangkan menurut BPS (2011) dengan jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang.

47 Ferdinand Tonnies and Charles P.Loomis:”gemeinschaft and Gesellschaft” dalam Reading in Sociology,editor Alferd MC Clung Lee,cetakan ke-5,Barnes & Noble College Outline Series,1960,hlm 82 dan seterusnya.

48 Bordir merupakan hiasan pada kain yang memiliki proses perjalanan yang cukup panjang, dan pada tahun 330 sesudah Masehi sampai abad ke -15 di Byzantium hiasan bordir dipadukan dengan ornamen emas. Di Asia, masa dinasti Tang (518-907 sesudah mesehi ) jubah kerajaan yang terbuat dari sutera diramaikan oleh hiasan bordir. Selain China adalah India yang punya ciri khas tersendiri dalam seni hiasan bordir dengan motif tidak jauh dari bentuk aneka tumbuhan, bunga-bunga, dan pepohonan yang sedang berbunga. Motif indah ini diserap oleh orang-orang Inggris sehingga orang-orang Inggris tidak ketinggalan meramaikan bordir. Hal ini menyebabkan hiasan bordir mulai masuk ke negara-negara Eropa lainnya termasuk Belanda pada abad 17 dan ke 18. Di Indonesia keterampilan bordir mulai dikenal sekitar abad 18 Masehi, dikenalkan oleh para pedagang China dan India melalui

Page 41: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

Pendahuluan

41

perdagangan. Saat itu ragam hiasan bordir diperuntukan sebagai inisial kerajaan dan menghiasi busana para bangsawan dan kaum ningrat. Hiasan bordir ini merupakan jenis keterampilan sangat sederhana dan mudah dipelajari, namun membutuhkan waktu yang relatif lama. Keterampilan ini identik dengan kerajian seni sehingga dibutuhkan ekstra konsentrasi, semangat, kesabaran, niat dan minat yang kuat dari seorang pembordir. Dalam “buku Panduan Launching Desa Produktif Klaster Bordir dan konfeksi Padurenan, Kudus melalui Pendekatan Diamond Cluster”, (2009:4), Kudus: Penerbit kerja sama Pemerintah Kabupaten Kudus dengan Balai Besar Peningkatan Produktivitas, Depnakertrans RI, Dinas Tenaga Kerja,Transmigrasi & Kependudukan Propinsi Jawa Tengah, Kantor Bank Indonesia Semarang,Bank Jateng & GIZ RED.

49 Home-woker memiliki karakteristik: rumah sendiri sebagai tempat ia beraktivitas untuk menghasilkan produk bordir, upah yang ditetapkan dengan borongan atau kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, ada interaksi antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja. Home-worker sering disamakan dengan home based worker (bahasa Indonesia: Pekerja Rumahan) yang dikonotasikan sebagai Pembantu Rumah Tangga. Home-Woker, sering dikategorikan dalam kategori yang salah, seperti home-industri, pengusaha mikro, pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan tidak bekerja (Hunga, 2005).

50 Budaya adalah hasil karya cipta (pengolahan,pengerahan dan pengarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran,kemauan,intuisi, imajinasi, dan bakat-bakat rohaniah lainnya) dan raganya yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan rohaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari interen diri manusia, baik individu maupun masyarakat ataupun individu dan masyarakat. Dalam Kuntowijoyo. ”Budaya dan Masyarakat”. (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2006).hlm.3. kemudian Soedarjono dalam Jurnal Kebudayaan Jawa. Ed 3 Th II/september 2007.hlm 63-72, membedakan wujud budaya sebagai hasil akal pikir budi manusia menjadi tiga, yaitu: 1) sebagai suatu yang kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya; 2) sebagai suatu yang kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia, 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat fisik, seperti bangunan,peralatan, dan sebagainya.

51 Wawancara dilakukan pada hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013 jam 10.00 di rumah RT 1 RW 1 Kelurahan Padurenan, Kecamatan Gebog.

52 Pengunaan akal untuk memperoleh kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.

53 Departemen Agama RI,”Al-Quran dan terjemahan”, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur‟an, 1979. hlm. 370.

54 Kompleksitas merupakan kajian atau studi terhadap sistem kompleks, kata „kom-pleksitas‟ berasal dari kata Latin compleexius yang artinya”totalitas” atau“ keseluruhan, sebuah ilmu yang mengkaji totalitas sistem dinamik secara keseluruhan, selanjutnya dibaca Dimintrov, Vladimir, 2003. “A New Kind of Social

Page 42: BAB SATU PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/1/D... · daerah pusat kerajaan Jawa (Mataram), ketiga, di dalam ... Persia dan India) dan lintas

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

42

Science: Study of Selft-Organization in Human Dynamics”,Springer-Verlag,Berlin-Heidelberg. Sistem dikatakan kompleks jika sistem itu terdiri dari banyak komponen atau sub-unit yang saling berinteraksi dan mempunyai perilaku yang menarik, namun, pada saat yang bersamaan, tidak kelihatan terlalu jelas jika dilihat sebagai hasil interaksi antar sub-unit yang diketahui. Purwani, Rajesh, (2003). Complexity, publikasi on-line,URL. http: //staff.scirncr. nus.edu.sg/-parwani. Diakses 10 Nopember 2014.