BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI … V 349.8254...Konstitusi dalam menjalankan constitutional...

25
BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI CONSTITUTIONAL COMPLAINT DI MAHKAMAH KONSTITUSI 4.1 Perkembangan Pemikiran Gagasan Constitutional Complaint oleh Para Ahli Dari Pembentukan Mahkamah Konstitusi, diketahui bahwa telah ada suatu celah perkembangan hukum dalam menegakkan hak-hak dasar warga negara yang di jamin oleh Konstitusi. Dengan adanya mekanisme constitutional review, warga negara dapat mengajukan review undang-undang yang menyangkut kepentingan dasar mereka atas Undang-Undang Dasar. Untuk mengadili pelanggaran Konstitusi secara efisien dan efektif dibutuhkan satu organ yang mandiri dan berwibawa. Lembaga ini adalah Mahkamah Konstitusi. Persoalan penting ini banyak dilupakan oleh the Founding fathers Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen. Kesadaran pembentuk Undang-Undang Dasar mengenai peran organ peradilan sebagai unsur terpenting negara konstitusional ketika itu belum sampai titik temu yang mendorong para perancang Undang-Undang Dasar mengambil langkah-langkah strategis dan konkrit dikarenakan situasi negara yang membutuhkan dasar negara secepat mungkin. Namun, Muhammad Yamin pernah mengatakan bahwa pentingnya ada suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar, atau Hukum Adat atau Syari’ah. Yamin menyatakan hak menguji tersebut sebagai membanding undang-undang. 189 Tetapi pendapat tersebut dikala itu dibantah oleh Soepomo yang menghendaki peran Dewan Perwakilan Rakyat yang kuat dan tidak ada lembaga yang berhak mereview undang-undang selain lembaga pembuat undang-undang itu sendiri. 190 Namun, seiring berkembangnya wacana ketatanegaraan, pembentukan sebuah organ penafsir undang-undang telah terwujud dengan adanya Mahkamah Konstitusi yang kewenangannya terpisah dari Mahkamah Agung. Namun, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan constitutional review tersebut masih terasa ada yang kurang. Terutama jika ada Peraturan Perundang-Undangan yang ada melanggar ketentuan hak-hak dasar, baik itu warga negara maupun masyarakat yang terdapat di 189 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, op. cit., 582. 190 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Untuk menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2004), 362. Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Transcript of BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI … V 349.8254...Konstitusi dalam menjalankan constitutional...

BAB IV

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI CONSTITUTIONAL

COMPLAINT DI MAHKAMAH KONSTITUSI

4.1 Perkembangan Pemikiran Gagasan Constitutional Complaint oleh Para Ahli

Dari Pembentukan Mahkamah Konstitusi, diketahui bahwa telah ada suatu

celah perkembangan hukum dalam menegakkan hak-hak dasar warga negara yang di

jamin oleh Konstitusi. Dengan adanya mekanisme constitutional review, warga

negara dapat mengajukan review undang-undang yang menyangkut kepentingan

dasar mereka atas Undang-Undang Dasar.

Untuk mengadili pelanggaran Konstitusi secara efisien dan efektif dibutuhkan

satu organ yang mandiri dan berwibawa. Lembaga ini adalah Mahkamah Konstitusi.

Persoalan penting ini banyak dilupakan oleh the Founding fathers Undang-Undang

Dasar 1945 pra amandemen. Kesadaran pembentuk Undang-Undang Dasar mengenai

peran organ peradilan sebagai unsur terpenting negara konstitusional ketika itu

belum sampai titik temu yang mendorong para perancang Undang-Undang Dasar

mengambil langkah-langkah strategis dan konkrit dikarenakan situasi negara yang

membutuhkan dasar negara secepat mungkin. Namun, Muhammad Yamin pernah

mengatakan bahwa pentingnya ada suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji

Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar, atau Hukum Adat atau Syari’ah.

Yamin menyatakan hak menguji tersebut sebagai membanding undang-undang.189

Tetapi pendapat tersebut dikala itu dibantah oleh Soepomo yang menghendaki peran

Dewan Perwakilan Rakyat yang kuat dan tidak ada lembaga yang berhak mereview

undang-undang selain lembaga pembuat undang-undang itu sendiri.190

Namun,

seiring berkembangnya wacana ketatanegaraan, pembentukan sebuah organ penafsir

undang-undang telah terwujud dengan adanya Mahkamah Konstitusi yang

kewenangannya terpisah dari Mahkamah Agung. Namun, kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam menjalankan constitutional review tersebut masih terasa ada yang

kurang. Terutama jika ada Peraturan Perundang-Undangan yang ada melanggar

ketentuan hak-hak dasar, baik itu warga negara maupun masyarakat yang terdapat di

189

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, op.

cit., 582. 190

RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen

Otentik Badan Untuk menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, (Jakarta: Pusat Studi

Hukum Tata Negara, 2004), 362.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

dalam Konstitusi, maka tidak ada mekanisme yang dapat di tempuh. Menurut Daniel

S Lev, faktor keberhasilan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan sistem

ketatanegaraan Indonesia adalah kepemimpinan yang kuat ketuanya Jimly

Asshiddiqie dan lepasnya Mahkamah Konsitusi dari pengaruh kekuasaan di bawah

Mahkamah Agung.191

Sebagai institusi baru yang bebas, dari pengaruh kekuasaan

Mahkamah Agung ataupun campur tangan pemerintah, Mahkamah Konstitusi bisa

tumbuh secara sehat dan mampu memainkan tugas dan fungsinya dengan baik.192

Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kelemahan.

Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji keabsahan materi Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, dan Mahkamah Konstitusi tidak bisa menguji

pelaksanaan ataupun penerapan Undang-Undang.193

Oleh karena itu tidak heran

apabila Mahkamah Konstitusi tidak bisa memeriksa kasus-kasus konstitusional yang

konkrit, kewenangan Mahkamah Konsitusi hanyalah memeriksa konstitusionalitas

sebuah peraturan perundang-undangan secara abstrak. Dengan kata lain Mahkamah

Konstitusi hanya bisa memeriksa masalah konstitusional (constitutional question)

dan bukan kasus konstitusional (constitutional case). Mahkamah Konstitusi tidak

mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara yang menyangkut pelanggaran

hak-hak konstitusional individual melalui sebuah mekanisme yang dikenal sebagai

komplain konstitusional (constitutional complaint).194

4.2.1 Gagasan Mengenai Constitutional Complaint

Perkembangan Pemikiran Para Pakar

1. Jimly Asshiddiqie195

Menurut Jimly Asshidddiqie, jenis permohonan yang terkenal dengan sebutan

constitutional complaint ini, bagi sistem yang terdapat di Indonesia diberlakukan

secara terbatas. Sebab perorangan atau kelompok hanya mengajukan permohonan

191

Herdianto, “Daniel S. Lev dan Indonesia yang Belum Berubah,” Jurnal Jentera edisi

Aturan Main Politik, edisi 16 Tahun IV, April-Juni 2007, 106.

192

Ibid.

193

Ibid.

194

Ibid.

195

Asshiddiqie, op cit., 318-319.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

bila keberadaan suatu undang-undang didalilkan telah mengusik hak-hak

konstitusional yang bersangkutan. Padahal pelanggaran hak-hak sebagaimana

tercantum dalam UUD 1945, dapat saja dan selalu bersumber dari tindakan kongkrit

aparatus birokrasi pemerintah. Karena itu, menentukan pelanggaran hak-hak

konstitusional hanya sebatas pada undang-undang justru membiarkan pelanggaran

konstitusi berlangsung terus tanpa ada pihak yang dapat menghentikannya. Cukup

banyak pengaduan dari warga perorangan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.

Beberapa diantaranya mempersoalkan perlakuan aparat pemerintah (termasuk aparat

Pemerintah Daerah) yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Surat-surat

dimaksud dijawab bahwasannya penanganan pengaduan perorangan berada diluar

kewenangan Mahkamah Konstitusi.

2. Daniel Saul Lev

Menurut Daniel Saul Lev, kemunculan Mahkamah Konstitusi telah menjelma

menjadi lembaga yang cukup efektif dalam menjalankan wewenang dan tugasnya.

Namun terlepas dari itu Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kelemahan yaitu

hanya menguji keabsahan materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

dan tidak bisa menguji pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang.

Dengan hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,

berarti Mahkamah Konstitusi hanya bisa memeriksa masalah konstitusional

(constitutional question) dan bukan kasus konstitusional (constitutional case).

Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara yang

menyangkut pelanggaran hak-hak konstitusional individual melalui sebuah

mekanisme yang dikenal sebagai komplain konstitusi (constitutional complaint)

3. Schnutz Rudolf Durr

Mengenai constitutional complaint dalam arti full individual complaint lebih

lanjut Schnutz Rudolf Durr mengatakan: 196

196

Durr, op. cit., hal. 52.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

“Individual access to the constitutional court can be a power tool for

human rights protection. Indirect (via ordinary courts or the

ombudsperson or direct access (individual complaint) are possible.

The “full” constitutional complaint which can be, directed by the

individual both against unconstitutional laws by ordinary courts is

one of the most effective means to protect the fundamental rights of

the individual. Even with access filters in place, it can however, easily

overburden a constitutional review because they do not control the

activity of the ordinary courts but only of the legislator. The choise

between different types of individual access may also depend on the

level of the application of human rights by the ordinary courts,

especially in transitional countries”.

Jika merujuk pada pendapat Duur, Permohonan individual atas perlindungan

konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan kekuatan dalam

menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia Baik secara tidak langsung melalui

lembaga atau badan hukum yang mengadopsi jaminan akan hak-hak tersebut maupun

akses langsung yang berupa permohonan individu itu sendiri. Gugatan konstitusional

dalam arti penuh, yang dimungkinkan, melawan hukum yang tak konstitusionil yang

disebabkan dari putusan peradilan biasa, merupakan alat yang paling efektif untuk

melindungi hak dasar dari individu tersebut. Meskipun akses dalam gugatan

konstitusional dalam arti constitutional review atas Undang-Undang lebih mudah

karena Mahkamah Konstitusi hanya mengontrol tugas legislasi, namun Mahkamah

Konsitusi harus memperhatikan pula dampak atas putusan peradilan biasa yang bisa

terjadi terutama dalam negara-negara transisi. Oleh sebab itu jika mekanisme

gugatan konstitusional ini di buka pada Mahkamah Konsitusi Indonesia, harus pula

diperhatikan batasan pengertian akan constitutional complaint itu sendiri, sehingga

keberadaan mekanisme ini tidak akan mempunyai dampak negatif dalam kestabilan

sistem peradilan.

5. Maruarar Siahaan

Dalam acara diskusi terbatas antara para Hakim Konstitusi yang dipimpin

oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan mantan Ketua Mahkamah

Konstitusi Jerman Prof. Dr. Jutta Limbach serta rombongan dari Hanns Seidel

Foundation (HSF) Jerman yang dipimpin oleh Dr. Christian Halgemer, di ruang

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

serba guna MK, Senin 16 April 2007. Turut hadir pula dalam diskusi ini, jajaran

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI serta para staf ahli MK.

Maruarar Siahaan menanggapi ide constitutional complaint sebagai berikut: 197

“Bahwa proses gugatan konstitusional merupakan wujud pengaduan

masyarakat atas keberatan terhadap perlakuan kinerja pemerintah

terhadap masyarakat, peraturan perundang-undangan, dan putusan

pengadilan, yang dianggap bertentangan dengan HAM yang diatur

dalam konstitusi. Dari sekitar enam ribu gugatan konstitusional yang

ada di Jerman, hanya sekitar dua persen yang dikabulkan. Artinya,

tidak mudah juga menentukan konstitusionalitas dari suatu gugatan.

Tetapi bila diterapkan di Indonesia, setidaknya hal ini menunjukkan

bahwa pemerintah tidak bisa sembarangan dalam memperlakukan

warga negaranya.”

6. Benny K Harman

Benny K Harman mengemukakan pendapatnya mengenai perlunya

Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi Indonesia, dalam acara

peluncuran buku Hukum Konstitusi Jerman, Beberapa Kasus Terpilih di Gedung

Mahkamah Konstitusi, Jakarta 17 November 2008. Benny mengatakan bahwa

terkait dengan gagasan memunculkannya mekanisme Constitutional Complaint

ini, Mahkamah Konstitusi harus progresif dalam menafsirkan Undang-Undang

Dasar 1945. Penafsiran atas dasar original intent tidak seharusnya lagi dilakukan

dikala kebutuhan jaman akan perlindungan konstitusi semakin tinggi.

Benny mengemukakan pendapatnya mengenai perlunya peningkatan fungsi

MK antara lain:198

1) Dibukanya mekanisme pengujian judicial review atau peraturan perundang-

undangan yang langsung diuji kepada konstitusi. karena dimungkinkannya

ada peraturan perundang-undangan yang materi muatannya bertentangan

dengan konstitusi tetapi tidak bertentangan dengan peraturan perundangan

diatasnya.

197

Gugatan Konstitusional Dalam Diskusi Terbatas,

<http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=331>,5 Juni 2008.

198

Harian Kompas, Diskusikan Buku Hukum Konstitusi Jerman, Jakarta: 17 November 2008,

2.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

2) Perlunya professional question dari hakim jika menemukan adanya

pertentangan materi peraturan perundang-undangan dengan peraturan yang

lebih tinggi. Hakim mempunyai legal standing untuk mengajukan

permohonan.

3) Perlunya mekanisme Constitutional Complaint jika ada warga negara yang

keberatan jika hak-hak dasarnya terlanggar.

Mengenai Constitutional Complaint, Benny K Harman mengemukakan lebih

lanjut bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi harus berjiwa konstitutif karena

sesuai dengan semangat pembentukan Mahkamah Konstusi, penegakan mengenai

hak-hak asasi manusia sebagai salah satu ciri rule of law menjadi semangat

utama dari pembentukan mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu tidak ada alasan

bahwa hakim menolak perkara dengan alasan belum ada mekanisme yang

mengatur suatu permasalahan. Khususnya permasalahan mengenai pelanggaran

hak-hak dasar oleh peraturan perundang-undangan maupun otoritas

pemerintah.199

4.2.2 Seputar Gagasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Risalah Rapat

Pleno Panitia Ad Hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)Tahun 2001

Setelah mengetahui pendapat sebagian besar para pakar yang menyatakan

bahwa perlunya mekanisme constitutional complaint terlepas apakah mekanisme

constitutional complaint tersebut sebatas dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam melakukan judicial review ataukah legislatif review sebatas Undang-Undang

saja atas Undang-Undang Dasar ataukah peraturan perundang-undangan dibawah

Undang-Undang.

Namun sesuai dengan penelitian penulis bahwa mekanisme yang dimaksud

adalah mekanisme constitutional complaint yang termasuk produk hukum dan

tindakan pemerintah yang merugikan hak-hak dasar warga negara yang di atur dalam

Konstitusi. Maka Mekanisme Constitutional Complaint yang dimaksud adalah Full

Constitutional Complaint. Dengan pertimbangan Mekanisme Constitutional

Complaint yang selama ini di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebatas komplain

199

Benny K Harman berpendapat pada diskusi Seminar Peluncuran Buku Siegfried Bross,

Hukum Konstitusi Republik Federal Jerman; Beberapa Putusan Terpilih, Jakarta: 16 November 2008.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

mengenai Legislatif Review saja yaitu produk Undang-Undang. Dan itu terdapat

kelemahan bahwa suatu tindakan hukum pemerintah maupun peraturan kebijakan

pemerintah bisa melakukan pelanggaran hak-hak dasar warga negara. Meskipun

suatu peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan Tata Urutan Peraturan

Perundang-Undangan dan materinya sesuai dengan peraturan diatasnya, terdapat

kemungkinan peraturan tersebut melanggar hak-hak dasar warga negaranya.200

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilihat pula mengenai bagaimana

perdebatan Panitia Ad Hoc dalam membuat kewenangan Mahkamah Konstitusi

pertama kali dalam Perubahan Ke-tiga Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Sebelum menginjak perlunya diubah kewenangan Mahkamah

Konstitusi terkait perlunya mekanisme constitutional complaint ini.

1) Pembahasan sekitar Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Semula hasil perdebatan untuk Bab IX pasal 24 Undang-Undang Dasar

Perubahan Ketiga adalah mengenai Kekuasaan Kehakiman. Tim Ahli dan Badan

Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai pandangan yang

berbeda. Tim Ahli menginginkan Mahkamah Agung Terpisah dari Mahkamah

Konstitusi, sedangkan Badan Pekerja MPR menginginkan Mahkamah Konstitusi

merupakan bagian dari Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman.201

Namun setelah naskah hasil Sidang Tahunan MPR RI terbitan

Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun 2001 terbit, judul bab ini tidak disebut. Tidak

diketahui penyebabnya apakah ada kesalahan dalam pengetikan oleh staf sehingga

naskah yang resmi diputuskan oleh MPR menjadi tanpa judul di Bab IX. 202

2) Pembahasan Mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Asnawi Latief dari Fraksi PDU untuk pertama kalinya mengemukakan

kesetujuannya dengan Tim Ahli bahwa perlunya Mahkamah Konstitusi di pisah dari

Mahkamah Agung dalam menjalankan kewenangan Judicial Review lebih lanjut

200

YusrilIhzaMahendra,<http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-

kita-ke-depan/>, 11 Januari 2008.

201

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia

Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, Sekretariat Jendral MPR RI, 25 September 2001, 2-3.

202

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), 40.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Latief mengatakan bahwa jika Mahkamah Agung tetap mempunyai kewenangan

judicial review, maka Mahkamah Konstitusi tidak diperlukan lagi. Tetapi jika

Mahkamah Agung hanya difokuskan kepada kegiatan peradilan saja, maka

diperlukan adanya Mahkamah Konstitusi,selain kewenangan MK lainnya yaitu

menyelesaikan sengketa lembaga negara, sengketa Pemilu dan Impeacment.203

(Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal. 6-7).

Namun A.M Lutfi dari Fraksi Reformasi meragukan adanya lembaga

Mahkamah Konstitusi karena kewenangannya yang dianggap terlalu besar legitimasi

Mahkamah Konstitusi tidak seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dikuatirkan

Mahkamah Konstitusi akan menjadi lembaga over body. (Risalah pembentukan

pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.8).

Berbeda dengan A.M Lutfi, I Dewa Gede Palguna dari fraksi PDIP

mengusulkan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyelesaikan

sengketa lembaga negara, dan sengketa pemilu, tetapi juga mengusulkan

kewenangan tambahan yaitu pendapat hukum. MK juga mempunyai wewenang

untuk memberikan legal opinion. (Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945,

MPR, 2002, hal.11).

Namun menariknya Pataniari Siahaan Fraksi Partai DIP secara tidak langsung

telah mengusulkan perlunya mekanisme Constitutional Complaint di Mahkamah

Konstitusi karena perlunya kasus Class action di tampung di lembaga yudisial seperti

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun tidak spesifik membahas

bagaimana bagian kewenangan jika mekanisme class action itu bisa di tangani oleh

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Apakah Class action itu menggugat

masalah produk hukum pemerintah (Undang-Undang ke bawah) atau Undang-

Undang saja. Kalau Udang-Undang saja maka setuju dengan pemisahan Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan catatan bahwa kewenangan Mahkamah

Konstitusi hanya menguji Undang-Undang saja. Dan Undang-Undang kebawah

adalah kewenangan Mahkamah Agung. Tetapi kalau Undang-Undang ke bawah juga

menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi maka mekanisme Constitutional

203

Perdebatan mengenai kewenangan ini oleh Mahkamah Konstitusi lebih banyak

dikemukakan di dalam sidang, meskipun kewenangan judicial review juga tidak lepas dari

perdebatkan.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Complaint dimungkinkan diadakan di Mahkamah Konstitusi. Berikut pernyataan

Pataniari Siahaan:

”Sebenarnya ada penambahan tugas-tugas wewenang yang dengan

sendirinya tidak tertangani secara baik dan efektif dan selalu

menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di masyarakat, kewenangan

DPR tersebut sebagai lembaga politik. Di sisi lain kalau kita bicara

masalah Mahkamah Konstitusi berarti setiap warga negara/rakyat

berhak dia mengajukan hak-haknya apabila ada Undang-undang

yang melanggar hak tersebut dan itu biasa tidak cukup di PTUN.

Sekarang ini kita lihat terjadi class action, terjadi demo orang

perorangan, kelompok-kelompok, apakah sebaiknya seperti ini

disalurkan melalui channel yang lebih tepat, misalnya dengan satu

pemasukan yaitu lembaga Ombudsman, merupakan saluran terhadap

aspirasi yang sifatnya pengaduan-pengaduan yang nantinya bisa

diproses oleh yudisial, bisa diproses oleh Mahkamah Konstitusi

maupun Mahkamah Agung.”204

Akhirnya untuk menghindari perdebatan mengenai apakah kewenangan

judicial review itu patut diberikan ke Mahkamah Agung ataukah ke Mahkamah

Konstitusi. Sutjipto dari Fraksi Utusan Golongan mengusulkan perlunya Mahkamah

Konstitusi karena di negara lain pun seperti Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi

diperlukan karena beban kerja Mahkamah Agung sudah begitu berat dengan perkara

yang menumpuk.205

Senada dengan Sutjipto, Zain Badjeber dari fraksi PPP

mengemukakan data bahwa begitu beratnya pekerjaan Mahkamah Agung jika

dibebankan dengan judicial review. Dengan melihat perdebatan ini dapat dilihat

semula kewenangan judicial review ini juga dipertanyakan jika menjadi kewenangan

Mahkamah Agung. Hal ini mungkin sejalan pula dengan pemikiran Jimly

Asshiddiqie bahwa kewenangan menguji materi peraturan di bawah undang-undang

masih diberikan kepada Mahkamah Agung sedangkan pengujian materi Undang-

Undang terhadap terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi. Dengan demikian diadakan pemisahan antara kegiatan pengujian materi

(judicial review) undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-undang.

Terhadap ketentuan seperti ini, Jimly Ashiddiqie mengungkapkan beberapa kritik:206

204

Ibid, 14.

205

Ibid, 18.

206

Asshiddiqie, op. cit., 41.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

1. Perlunya pemahaman akan hak uji itu sendiri sehingga pemberian kewenangan

judicial review kepada Mahakamah Konstitusi benar-benar merupakan sebuah

konsep yang tegas-tegas dijalani secara utuh oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Terkait dengan pemahaman mengenai hak uji,pemisahan kewenangan antara

materi undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-undang harus

sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal. Karena itu,

pemisahan antara materi undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-

undang tidak seharusnya dilakukan lagi.

3. Kewenangan judicial review seharusnya diintegrasikan dalam kewenangan

Mahkamah Konstitusi. Untuk menghindari pertentangan substantive antara

putusan Mahkamah Agung dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar. Sehingga kedua lembaga dapat memfokuskan kepada tugas yang

berbeda. Mahkamah Agung menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan

bagi warga negara. Sedang Mahkamah Konstitusi menjamin konstitusionalitas

keseluruhan peraturan perundang-undangan.

Diluar adanya kritik mengenai kewenangan tersebut Zain Badjeber dari

Fraksi PPP mengemukakan berdasarkan studi Mahkamah Agung mengenai

integrated criminal justice system bahwa tugas Mahkamah Agung sudah begitu

banyak karena tambahan menjadi pengawas pemilu dan memutus sengketa pilkada.

Untuk itu MA Tidak seharusnya ditambahkan lagi perkara judicial review. judicial

review seharusnya menjadi kewenangan Mahkamah konstitusi. (Risalah

pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.19-20).

Sebaliknya Hamdan Zoelva dari Fraksi partai Bulan Bintang tidak setuju

diadakan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-

undang di Mahkamah Konstitusi. Selain itu Hamdan juga mengemukakan sebaiknya

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan pasif. Namun dari dua usul tersebut

Hamdan Zoelva tidak mengemukakan alasannya. (Risalah pembentukan pasal 24C

UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.21).

Sejalan dengan kritik Jimly Asshiddiqie, Nursyahbani Katjasungkana

membantah pendapat Hartono Marjono yang menyatakan bahwa akan ada masalah

jika kewenangan judicial review diberikan kepada mahkamah Konstitusi karena akan

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

bertentangan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Nusyahbani menegaskan pula bahwa kewenangan PTUN ruang lingkupnya hanya

ketetapan pemerintah. Selain itu pula Nursyahbani mengusulkan judicial review dan

judicial preview menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena dirasakan begitu

banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.

Meskipun MK nantinya akan mendapatkan banyak pekerjaan tambahan. (Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Komisi A Ke-

3,Sekretariat Jendral MPR RI, 6 November 2001, 7.)

Selanjutnya Sri Edi Swasono Mengatakan bahwa perlunya dibentuk

Mahkamah Konstitusi untuk mengatasi perselisihan pendapat antara lembaga negara

dan masyarakat. 207

(Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah

Rapat Komisi A Ke-3,Sekretariat Jendral MPR RI, 6 November 2001, 7.) Namun

penulis mengatagorikan bahwa kalau perselisihan pendapat dengan lembaga negara

lainnya itu bisa dikategorikan sengketa kewenangan lembaga negara, namun

perbedaan pendapat pemerintah dengan masyarakat itu tidak bisa dikategorikan

constitutional complaint terkait dengan penafsiran atau pembentukan produk hukum

pemerintah kepada rakyat. Tetapi jika perbedaan pendapat mengenai penafsiran akan

konstitusi dapat di katagorikan sebagai constitutional complaint.

Disamping itu perlu juga dicermati mengenai pembentukan kewenangan

Mahkamah Konstitusi, bahwa ide untuk memasukkan mekanisme constitutional

complaint ini juga dilontarkan oleh Komisi Konstitusi setelah proses perubahan

keempat UUD 1945 disahkan. Mengenai draft tandingan oleh Komisi Konstitusi,

diusulkan bahwa dalam pasal 24 ayat (1) hasil perubahan ketiga UUD 1945 ditambah

dengan kewenangan constitutional complaint. Adapun draf tandingan tersebut dapat

dilihat sebagai berikut.208

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi hasil amandemen yaitu: Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengeta kewenangan lembaga Negara yang

207

Ibid, 11.

208

Fadjar Laksono, Meretas Constitutional Complaint ke dalam UUD 1945:Menuju

Konstitusi yang Lebih Demokratis, Jurnal Konstitusi, vol. 4 nomor 4, Desember 2007, 137.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum.

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi hasil draft Komisi Konstitusi yaitu:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengeta kewenangan lembaga

Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum dan memutus pengaduan pelanggaran hak konstitusional

warga negara.

4.2.3 Gagasan Pembentukan Mekanisme Constitutional Complaint dari beberapa

kasus yang menyangkut hak-hak dasar warga negara.

Di bawah ini terdapat beberapa kasus yang secara tidak langsung

mempermasalahkan hak-hak dasar warga negara dan mempermasalahkan

konstitusionalitas suatu produk hukum dan kebijakan pemerintah.

4.2.3.1 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Terkait Sengketa Pilkada

Depok dan Perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Munculnya gagasan mengenai gugatan konstitusional (constitutional

complaint) di Mahkamah Konstitusi ini berawal dari perjuangan pasangan calon

kepala daerah Badrul Kamal dan Syihabudin Ahmad untuk mempertanyakan hasil

Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005.209

Putusan Mahkamah

Agung tersebut memenangkan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra

yang sebelumnya merupakan pasangan yang kalah dalam gugatan perkara Pemilihan

Kepala Daerah pada Pengadilan Tinggi Bandung.210

Majelis hakim menyatakan batal

atas hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD Depok karena telah

209

Fadjar Laksono, op cit., 138.

210

Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT. Bdg, 65.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

terbukti terjadi penggembosan suara pada proses pemilukada tersebut.211

Namun

setelah perkara tersebut dibawa ke Mahkamah Agung, kasus pun bergulir kembali

dan akhirnya Mahkamah Agung menganulir Putusan Pengadilan Tinggi tersebut,

sehingga menuailah pertanyaan bagi pasangan calon Badrul Kamal-Syihabudin

Ahmad bahwa menurut mereka bahwa pasal 106 Undang-Undang No.32 Tahun 2004

menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi telah final dan mengikat, dalam arti

sesuai dengan penjelasan ayat (7) bahwa tidak ada lagi upaya hukum yang dapat

ditempuh untuk melawan putusan tersebut. 212

Gagasan constitutional complaint dalam kasus ini di cetuskan dalam pendapat

berbeda (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi Soedarsono.213

Menurut

Soedarsono, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan

pemohon meskipun pada pasal 51 ayat (1) pada Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi disebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak

konstitusionalnya dirugikan oleh suatu Undang-Undang. Soedarsono menafsirkan

pasal tersebut secara luas sehingga pemohon sebenarnya dapat mengajukan gugatan

konstitusional atas putusan pengadilan, karena antara putusan pengadilan dengan

Undang-undang sama-sama mempunyai kekuatan yang mengikat.214

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan juga mencetuskan gagasan constitutional

complaint dalam dissenting opinion-nya. Maruarar Siahaan menampik pendapat

pemohon bahwa Putusan Mahkamah Agung dapat disetarakan dengan Undang-

Undang sehingga dapat diajukan kepada mekanisme pengujian Undang-undang.

Mekanisme gugatan konstitusional perlu dibuka karena kasus ini mengindikasikan

kemungkinan jika Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mengesampingkan

Undang-Undang, maka permohonan pemohon merupakan keluhan konstitusional

atas pelanggaran konstitusi. 215

211

Ibid.

212

Fadjar Laksono, op cit. 213

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 01/PUU-IV-2006, 68-69.

214

Ibid.

215

Ibid, 75-76.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Pada perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Majelis hakim menyatakan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. 216

Dalam Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions)

Hakim I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono berpendapat bahwa perlunya

pemahaman antara konstitusionalitas suatu norma dengan penerapan norma.

Pemahaman suatu norma yang digunakan pada sebagian besar pasal yang diujikan

tersebut, tidaklah selalu berbanding lurus dengan pencantuman norma yang dicita-

citakan dapat berlaku positif. Suatu norma yang konstitusional pada saat diterapkan

dalam praktek dapat menyebabkan pelanggaran atas hak-hak seseorang dikarenakan

kekeliruan penafsiran dan penerapan norma tersebut. Sehingga jika merujuk kepada

kewenangan mekanisme Mahkamah Konstitusi di negara lain, sepatutnyalah

Mahkamah Konstitusi Indonesia diberi kewenangan untuk mengadili perkara

Constitutional question dan Constitutional Complaint. Constitutional question

diperlukan jika ada suatu norma hukum konkret yang ingin diputus oleh majelis

hakim, maka hakim tersebut dapat menanyakan perihal konstitusionalitas kepada

Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Constitutional Complaint diperlukan jika ada

seorang warga negara yang ingin mengadukan pelanggaran hak-hak

konstitusionalitasnya oleh tindakan atau kelalaian pejabat negara dan tidak ada lagi

upaya hukum lain yang dapat ditempuh. 217

Untuk itu sehubungan dengan pendapat hakim tersebut, maka bertambahlah

berkembangnya pemikiran yang mengemuka mengenai Constitutional Complaint

agar dapat di buka di Mahkamah Konstitusi.

4.2.3.2 Kasus Buruh Migran di Nunukan

216

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 013-022/PUU-IV/2006, 62. 217

Ibid.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Hal yang menarik dari kasus Nunukan ini adalah diterimanya gugatan

penggugat sebagian yaitu mengenai gugatan hak warga negara (Citizen Law Suit).

Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: 218

”Menimbang, bahwa dari hal-hal yang dipertimbangkan di atas,

dihubungkan dengan kedudukan dan dalil-dalil kepentingan hukum

Para Penggugat maka Majelis berpendapat bahwa gugatan Para

Penggugat melalui instrumen Citizen Law Suit layak diterima dengan

memberi kapasitas ”standing” kepada Para Penggugat sebagai

warga negara untuk bertindak sebagai Penggugat atas nama

kepentingan warga negara RI yang menjadi buruh migran Indonesia

di malaysia dan diseportasi melalui Nunukan”

Sedangkan diketahui dalam sistem hukum kita belum terdapatnya mekanisme Citizen

Law Suit. Dalam kasus ini. Menurut Tergugat, para penggugat sama sekali tidak

mewakili kepentingan umum. Seperti dalam Continental law System bahwa gugatan

yang mewakili kepentingan umum dapat disebut Actio Popularis. Namun, para

penggugat menyatakan bahwa gugatan para penggugat adalah gugatan citizen Law

Suit. Sementara Gugatan Citizen Law Suit hanya dikenal dalam Common Law

System, terutama dalam Environment Law di Amerika Serikat.

Dalam Defender of Wildlife and Centre of Wildlife Law, dalam tulisannya the

Public in Action menyatakan bahwa:219

“The state Citizen Suits Statues to Protect Biodiversity, menyatakan

bahwa “The Statues give citizen, or any person, the right to sue the

state, a private party, or both, to protect the state’s environment”.

Dengan kata lain, Citizen Law Suit adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang

pada warga negara untuk menggugat orang lain, negara, pihak lain, dan bertujuan

untuk melindungi lingkungan hidup. Apabila seseorang mengajukan gugatan

terutama menggunakan mekanisme Citizen Law Suit maka Penggugat harus

218

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/PDT.G/2003/PN.JKT.PST.,8

Desember 2003, 57.

219

Ibid.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

mempunyai “Standing “ atau hak gugat. Sedangkan dalam kasus ini penggugat tidak

mempunyai legal standing.220

Penggugat dalam kasus ini adalah warga negara yang sebagian besar adalah

tenaga kerja yang di deportasi ke Nunukan serta berbagai lembaga bantuan hukum

yang mewakili tenaga kerja tersebut. Adapun pertimbangan hukum majelis hakim

dalam pokok perkara yang mengindikasikan gugatan penggugat sebagai gugatan hak-

hak dasar warga negara antara lain sebagai berikut : 221

1. Bahwa buruh migran Indonesia di Malaysia yang dideportasi ke Nunukan berhak

atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia maupun hak-hak dasar

warga negara yang dijamin di dalam konstitusi.

2. Bahwa gugatan Citizen Law Suit sebagai terobosan hukum untuk mengatasi

kesulitan teknis penyelesaian perkara pelanggaran hak-hak dasar warga negara

yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja.

Namun di dalam pertimbangan hukum majelis hakim yang terkait dengan

konstitusi tidak dijelaskan ketentuan pasal yang melanggar hak-hak dasar warga

negara tersebut. Selain itu juga putusannya tidak secara langsung mengatakan bahwa

tindakan pemerintah bertentangan dengan konstitusi. Tetapi sejatinya jika konstitusi

yang dijadikan pertimbangan bahwa tindakan pemerintah ini seharusnya

memperhatikan hak-hak dasar warga negara. Maka gugatan ini dapat dikatagorikan

sebagai gugatan konstitusional (Constitutional Complaint).

4.1.3.3 Kasus Ujian Nasional

Dalam kasus Ujian Nasional ini, yang patut dikaji adalah selain diterimanya

gugatan Citizen Law Suit atas dasar pertimbangan konstitusi, ada pula penerimaan

gugatan judicial review oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam ketentuan

mengenai Ujian Nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam salah satu gugatan penggugat, dikatakan bahwa Memerintahkan para

tergugat untuk segera mengeluarkan peraturan tambahan mengenai penentuan

kelulusan dengan penggabungan nilai-nilai selama proses belajar mengajar di satuan

220

Ibid. 13.

221

Ibid, 57.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

pendidikan. Kemudian lulus tidaknya seseorang dari satuan pendidikan pada

pendidikan dasar dan menengah sudah diatur secara jelas oleh ketentuan hukum yang

berlaku, yaitu ketentuan yang tercantum dalam Pasal 72 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.222

Oleh sebab

itu penggugat telah mempersoalkan isi dan kekuatan hukum dari Pasal 72 ayat (1) PP

No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ini menunjukkan bahwa

gugatan Penggugat merupakan permohonan untuk menguji isi peraturan perundang-

undangan, atau setidak-tidaknya menguji isi ketentuan Pasal 172 ayat (1) PP No. 19

Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan.223

Selain itu di dalam gugatan juga terdapat klausula Bahwa perbuatan Tergugat

dalam hal ini Pemerintah bertentangan dengan pasal 28C Undang-Undang Dasar

1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui

pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi

meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.224

Jadi secara tidak langsung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima

gugatan hak warga negara (citizen law suit) atas dasar pengujian Undang-Undang,

Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) dan Konstitusi. Namun semua

batu uji tersebut tidak digunakan secara optimal oleh Pengadilan. Batu uji yang

digunakan hanya sebagai pembanding atas fakta-fakta Unsur Perbuatan Melawan

Hukum (PMH), tanpa menguji lebih lanjut substansi atau makna dari isi konstitusi

tersebut, dan hubungannya dengan peraturan-perundangan dibawahnya.225

Sepertinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ingin melakukan terobosan

Putusan melalui batu uji yang dipaparkan dalam menyusun pokok perkara Putusan

Majelis. Sehingga fenomena dalam Putusan ini dapat dilihat oleh penulis sebagai

222

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST.,21 Mei

2007, 30.

223

Ibid, 31.

224

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28C.

225

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST.,21 Mei

2007, 154-156.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

suatu kebutuhan akan adanya suatu mekanisme gugatan atas pelanggaran hak-hak

dasar warga negara yang proses pengujiannya tidak hanya menggunakan konstitusi

dan Undang-Undang sebagai faktor pembanding saja berdasarkan Legal Formal atas

Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Tetapi juga secara Normatif dan

substantif pengujian atas nilai-nilai dan norma masyarakat yang dijamin oleh

Konstitusi itu sendiri. Tetapi jika terkait dengan pengujian norma di dalam konstitusi

maka seharusnya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

4.2.3.3 Kasus Ahmadiyah

Seiring dengan bertambahnya permasalahan bangsa kebutuhan akan

perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia makin bertambah pula. Hal ini dapat

dilihat dari berkembangnya kasus yang berhubungan dengan hak hak dasar dari

warga negara yang terus dipermasalahkan tanpa ada suatu mekanisme yang tepat

untuk menyelesaikannya.

Kebutuhan akan adanya suatu mekanisme Constitutional Complaint makin

nyata setelah terjadinya suatu kasus yang berhubungan dengan Hak-hak Dasar warga

negara-dan bisa dikatagorikan Hak Asasi Manusia-dalam menjalankan suatu agama

dan keyakinan. Kasus Ahmadiyah baru-baru ini menyeruak kembali dan berbagai

elemen masyarakat bisa mengkajinya dari berbagai segi. Namun jika dilihat dari

perkembangan sistem ketatanegaraan, kasus ini patut dijadikan rujukan.

Adapun kasus Ahmadiyah sebenarnya sudah ada sejak lama. Keberadaan

Ahmadiyah di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan

Kementerian Kehakiman pada tahun 1950. Namun aktivitas gerakan ini sampai

sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. khususnya tentang

kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Dalam beberapa bulan

terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya Surat Keputusan Bersama

muncul ke permukaan.226

Setelah muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) yang merupakan tindak

lanjut dari Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan (UU Kejaksaan), masalah Ahmadiyah makin meruncing. Ditambah

dengan terjadinya bentrok antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama

dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI). Membuat Kasus

Ahmadiyah sepantasnya untuk cepat diselesaikan, tentunya dengan hukum yang

berlaku.

Namun, munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Ahmadiyah

yang memuat rincian mengenai:227

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk

tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum

melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau

melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari

agama itu yang menimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;

2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku

beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan

yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran

paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi

Muhammad S.a.w;

3. Penganut, anggota, dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana dimaksud

pada diktum 1 dan diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

1.1 226 Surat Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah,

<http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/#more-248>, 9 Mei

2008.

227

Ibid.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Banyak pihak pro dan kontra dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama ini.

Pihak yang pro terutama Forum Umat Islam (FUI) merupakan organisasi yang

memperjuangkan agar SKB segera diterbitkan. Sementara pembubaran Ahmadiyah

dikatakan tidak bertentangan dengan konstitusi dan justru hak tersebut dijamin oleh

konstitusi..228

Sedangkan Pihak yang kontra FUI, beda Aliansi Kebangsaan untuk

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kuasa hukum Ahmadiyah,

Asfinawati. Direktur LBH Jakarta ini mendalilkan Pasal 29 UUD 1945 yang

menjamin warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut kepercayaan dan

agamanya, justru akan melanggar konstitusi jika Surat Keputusan Bersama ini di

keluarkan. Silang pendapat kedua belah pihak ini direncanakan akan di bawa ke

Mahkamah Konstitusi 229

Kedua belah pihak merasa tindakan mereka di cekal oleh kelompok lawan

masing-masing yang keduanya berdalih atas dasar konstitusi. Dan berniat untuk

membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun jika dikaji lebih lanjut,

terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) ini jika ingin dipertentangkan merupakan

kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sepanjang SKB ini materinya

merupakan suatu Keputusan yang bersifat kongkrit, individual, final dan bukan

Pengaturan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus. Kalaupun SKB tersebut

merupakan suatu Pengaturan, maka sebaiknya gugatan atas SKB di layangkan ke

Mahkamah Agung. Yang jadi salah satu permasalahan selain kaburnya mekanisme

yang tepat untuk menguji SKB ini, adalah Peraturan Perundang-Undangan

Pembanding untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Tetapi jika

SKB itupun merupakan suatu pengaturan, SKB itu sendiri bukan sebuah Peraturan

yang dikatagorikan oleh Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan oleh Undang-

Undang No. 10 Tahun 2004.230

228

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah,

<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19269&cl=Fokus>, 9 Mei 2008.

229

Ibid.

230

Ibid.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Namun jika ditelaah bahwa kedudukan SKB setara dengan Peraturan

Menteri. Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mengatur peraturan menteri secara

implisit.231

Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

(1) Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai

berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah provinsi bersama dengan gubernur.

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah kabupaten kota bersama bupati/walikota.

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa

atau nama lainnya.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang

setingkat diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan

hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Jika dilihat dari ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, maka

Surat Keputusan Bersama bisa diajukan ke Mahkamah Agung melalui judicial

review. Namun Undang-Undang yang dapat dijadikan batu uji mungkin jatuh kepada

231

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,UU

No. 10, LN. No. 53 tahun 2004, TLN. No. 4389, pasal 7.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Undang-Undang No. 1/PnPs/1965 dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Agung. Karena kedua Undang-Undang ini justru mengamanatkan Jaksa

Agung untuk membuat prduk hukum seperti Surat Keputusan Bersama232

. Bisa

mungkin Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjadi

alternatif batu uji.

Namun hal yang sangat krusial di sini adalah menurut Yurisprudensi

Mahkamah Agung, Surat Keputusan Bersama itu adalah kebijakan (beleid)

Pemerintah, yang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili. Seperti

pendapatnya Yusril Ihza Mahendra, yaitu:

“SKB yang sudah diterbitkan oleh tiga pejabat negara itu, nampaknya

akan terus menuai kontroversi. Pro dan kontra masih akan terus

berlanjut. Pemerintah sendiri –seperti telah saya singgung di atas–

mempersilahkan mereka yang menolak SKB untuk

memperkarakannya di Mahkamah Konstitusi. Sepanjang pemahaman

saya tentang tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, lembaga

itu bukanlah mahkamah yang dapat mengadili sebuah SKB yang

diterbitkan oleh pejabat tinggi negara, sepanjang ia tidak

menimbulkan sengketa kewenangan. SKB itu bukan pula obyek

sengketa tata usaha negara yang dapat dibawa ke Pengadilan Tata

Usaha Negara, karena sifatnya bukanlah putusan pejabat tata usaha

negara yang bersifat individual, kongkrit dan final. Kalau mau dibawa

ke Mahkamah Agung, boleh saja untuk menguji apakah SKB itu –

kalau isinya bercorak pengaturan—bertentangan atau tidak dengan

undang-undang (yakni UU Nomor 1/PNPS/1965). Saya sendiri

berpendapat, walaupun isi SKB itu tidak memuaskan, namun SKB itu

adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi

Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat

diadili.233

Sehubungan dengan pembahasan diatas, pengujian melalui Mahkamah

Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kajian yang berbeda. Sedikit

banyak masalah Ahmadiyah234

pasti bersinggungan dengan hak asasi manusia dan

232

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah,

<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19269&cl=Fokus>, 9 Mei 2008.

233

Sekali lagi Surat Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah,

<http://yusril.ihzamahendra.com/2008/06/11/sekali-lagi-tentang-skb-ahmadiyah/#more-249>, 9 Mei

2008.

234

Yusril juga mengemukakan Persoalan Ahmadiyah kini bukan saja menjadi persoalan

dalam negeri kita, tetapi telah mendunia. Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa mempertanyakan

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

hak-hak dasar warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-

masing sesuai dengan konstitusi. Jadi Mekanisme yang tepat memang Constitutional

Complaint di Mahkamah Konstitusi. Sehingga pengkajian mengenai legal-formal

maupun substansi isi ketentuan Surat Keputusan Bersama atas konstitusi mengenai

kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan bisa ditafsirkan dan menjadi sebuah

Putusan Hukum.

4.2 Perubahan Aturan Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi

Dengan adanya kasus Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah ini,

gagasan mekanisme Constitutional Complaint sedikit banyak telah disinggung untuk

diadakan. Meskipun di beberapa negara kewenangan ini sangat berat dan seperti di

Jerman mengharuskan gugatan melalui semua mekanisme peradilan biasa terlebih

dahulu.

Jika dilihat dari kebutuhan adanya kewenangan Constitutional Complaint di

Mahkamah Konstitusi,maka kebutuhan itu bisa dilihat dari Pembentukan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pasal 24 C ayat (1)pada saat Risalah Sidang

majelis Permusyawaratan Rakyat.

Bila dilihat dari latar belakang pembentukan kewenangan Mahkamah

Konstitusi, maka pembahasan sidang mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi

lebih fokus ke masalah pemakzulan (impeachment).235

Sedikit sekali yang

menyinggung fungsi Mahkamah konstitusi sebagai the guard of constitution atas

hak-hak dasar warga negara236

Senada dengan hal tersebut, Firmansyah Arifin

masalah ini. Cukup banyak negara, yang melarang Ahmadiyah, termasuk Malaysia dan Brunei

Darussalam. perlunya memberikan penjelasan komprehensif mengenai Ahmadiyah ini, baik dari

perspektif hukum nasional kita, maupun dari perspektif hukum internasional mengenai hak asasi

manusia. Penjelasan itu tidak akan lari dari prinsip yakni persoalan Ahmadiyah akan selesai jika

mereka dianggap sebagai agama di luar Islam dan penganutnya bukan lagi dianggap sebagai Muslim.

Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negeri ini akan dijamin sepenuhnya sebagaimana

warganegara yang menganut agama lainnya

235

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia

Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, Sekretariat Jendral MPR RI, 25 September 2001, 2-3.

236

Ada beberapa anggota sidang yang mengemukakan mekanisme constitutional complaint

secara tidak langsung, namun argumen mereka masih lemah dan cenderung untuk tidak diperhatikan

sebagai suatu kewenangan yang perlu bagi Mahkamah Konstitusi.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

mengemukakan pembentukan Mahkamah Konstitusi berdasarkan kebutuhan

pragmatis yang dilatar belakangi oleh kasus Mantan Presiden Abdul Rahman Wahid

yang bisa di-impeach begitu mudah. Karenanya Majelis Permusyawaratan Rakyat

menginginkan suatu mekanisme impeachment yang jelas.237

Soal perubahan Undang-Undang Dasar, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak

mudah memberikan kewenangan Constitutional Complaint kepada Mahkamah

Konstitusi karena banyak tahap yang perlu dilalui. Diantaranya adalah amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya

terbatas pada lima kewenangan pasal 24C ayat (1) dan (2). Yaitu:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Norma pasal 24C ayat ini bersifat tertutup, dan berarti tidak ada penambahan

mekanisme yang lain. Lain halnya dengan norma terbuka dari Pasal 24A

1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai

kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.

Norma terbuka ini menurut Jimly akan memungkinkan untuk menambah

kewenangan tanpa harus melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Jika

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan norma terbuka seperti ini

maka penambahan kewenangan cukup dengan melakukan perubahan pada pasal 10

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tanpa perlu mengubah Undang-Undang

Dasar 1945.238

237

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah,

<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19269&cl=Fokus>, 9 Mei 2008.

238

Ibid.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009

Selain itu juga hal yang patut dipertimbangkan jika constitutional complaint

menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi maka pemohon sebaiknya telah

menempuh semua upaya hukum terlebih dahulu seperti di Jerman. Sehingga tidak

akan terjadi adanya dualisme hukum seperti pengadilan umum dan pengadilan tindak

pidana korupsi. Kemungkinan mekanisme constitutional complaint berhubungan

langsung dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009