BAB IV PENDANGAN ISLAM TERHADAP PAJAK A. Konsep Islam ...digilib.uinsby.ac.id/4444/7/Bab 4.pdfDalam...

37
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB IV PENDANGAN ISLAM TERHADAP PAJAK A. Konsep Islam Tentang Pajak Islam tidak hanya mengajarkan mengenai ibadah dalam arti yang sempit. Ajaran Islam meluaskan makna ibadah bukan hanya pada tatanan hubungan manusia dengan penciptanya saja namun juga termasuk hubungan manusia dengan dirinya dan sesamanya termasuk dalam hal ini adalah ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dalam konteks yang lebih besar lagi, Islam mengatur urusan manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam perekonomian, Islam memberikan hak kepada negara untuk ikut campur dalam kegiatan ekonomi umat. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah dalam hal pembagian harta Fai’ Bani Nadir kepada Kaum Muhajirin saja kecuali dua orang yang fakir di kalangan Kaum Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah untuk menegakkan keseimbangan antara orang-orang Muhajirin yang telah meninggalkan harta mereka di Mekah dan lari membawa agama mereka ke Madinah dengan orang-orang Anshar yang masih memiliki harta. 1 Islam memiliki sistem ekonomi tersendiri yang memiliki tujuan dan nilai-nilai tersendiri yang membedakan dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi Islam bertujuan kebaikan dalam kerangka kerja norma-norma moral Islam, persaudaraan dan kesejahteraan yang sifatnya universal, distribusi 1 Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), 183.

Transcript of BAB IV PENDANGAN ISLAM TERHADAP PAJAK A. Konsep Islam ...digilib.uinsby.ac.id/4444/7/Bab 4.pdfDalam...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB IV

PENDANGAN ISLAM TERHADAP PAJAK

A. Konsep Islam Tentang Pajak

Islam tidak hanya mengajarkan mengenai ibadah dalam arti yang

sempit. Ajaran Islam meluaskan makna ibadah bukan hanya pada tatanan

hubungan manusia dengan penciptanya saja namun juga termasuk hubungan

manusia dengan dirinya dan sesamanya termasuk dalam hal ini adalah ekonomi,

sosial, politik dan budaya. Dalam konteks yang lebih besar lagi, Islam mengatur

urusan manusia dalam segala aspek kehidupan.

Dalam perekonomian, Islam memberikan hak kepada negara untuk ikut

campur dalam kegiatan ekonomi umat. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah dalam

hal pembagian harta Fai’ Bani Nadir kepada Kaum Muhajirin saja kecuali dua

orang yang fakir di kalangan Kaum Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah

untuk menegakkan keseimbangan antara orang-orang Muhajirin yang telah

meninggalkan harta mereka di Mekah dan lari membawa agama mereka ke

Madinah dengan orang-orang Anshar yang masih memiliki harta.1

Islam memiliki sistem ekonomi tersendiri yang memiliki tujuan dan

nilai-nilai tersendiri yang membedakan dengan ekonomi konvensional, yaitu

ekonomi Islam bertujuan kebaikan dalam kerangka kerja norma-norma moral

Islam, persaudaraan dan kesejahteraan yang sifatnya universal, distribusi

1 Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, (Surabaya: Putra

Media Nusantara, 2009), 183.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

pendapatan yang merata dan kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan

sosial.2

Mengenai pungutan oleh negara atau pajak, Islam juga memiliki

pandangan dan konsep tersendiri.

1. Definisi Pajak Dalam Islam

Telah dijelaskan dalam bab terdahulu mengenai definisi pajak secara

umum dan bagaimana definisi pajak menurut undang-undang Negara Indonesia.

Istilah pajak sebenarnya juga dikenal dalam periode sejarah Islam. Disebutkan

bahwa Sumber pendapatan yang pertama kali diperkenalkan di zaman Rasulullah

adalah Kharaj, yaitu pajak terhadap tanah. Kharaj ditentukan berdasarkan tingkat

produktivitas dari tanah. Kharaj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat

baik orang muslim maupun non muslim, yang jumlah pembayarannya ditentukan

oleh pemerintah.3

Kata pajak sendiri bukanlah berasal dari Islam. Namun, terjemahan

yang hampir sama atau banyak disamakan dengan maksud pajak pada keumuman

adalah terdapat dalam ayat berikut:

2 Veithzal Rivai dkk, Islamic Financial Management, Jilid 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, Cet.1,

2010), 127. 3 Nur Rianto, Teori Makro Ekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), 156.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)

kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang

diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama

yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab

kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang

mereka dalam Keadaan tunduk.”4

Pada ayat diatas, kata “jizyah” diterjemahkan dengan pajak.

Secara etimologi, pajak dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah

dharibah yang berasal dari kata dasar dharabah, yadhribu, dharban yang artinya

mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau

membebankan.5 Dharabah adalah bentuk kata kerja (fi’il) sedangkan bentuk kata

bendanya (ism) adalah dharibah yang artinya beban. Ia disebut sebagai beban

karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga

pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban. Disebutkan bahwa

sebagian ulama menyebutkan ungkapan dharibah digunakan untuk menyebut

harta yang dipungut sebagai kewajiban seperti ungkapan jizyah dan kharaj

dipungut secara dharibah, yakni secara wajib.

Dalam sistem ekonomi konvensional, istilah pajak memiliki makna

sebagai pungutan wajib yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.

Makna tersebut menjadi realitas dari dharibah yaitu harta yang dipungut secara

wajib dari rakyat untuk keperluan pembiayaan negara. Sedangkan dalam Islam,

maksud dari dharibah adalah pajak tambahan yang sifat dan karakteristiknya

berbeda dengan pajak menurut ekonomi non Islam.

4 QS At Taubah (9): 29.

5 Gusfahmi, Pajak …, 29.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Terdapat tiga definisi dari pajak menurut ulama Islam, yaitu:

a. Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah

berpendapat:

Pajak adalah kewajiban yang diterapkan terhadap wajib pajak, yang

harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa

mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan

untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan

tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.

b. Gazy Inayah dalam kitabnya Al-Iqtishad al-Islami as-Zakah wa

ad-Dharibah, berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban untuk

membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang

berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.

Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik

harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara

umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi

pemerintah.

c. Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-

Khilafah berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan

Allah kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan

dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka,

pada kondisi Baitul Mal tidak ada uang atau harta.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Dari tiga definisi diatas, dapat dirangkum unsur pokok dalam pajak

menurut Islam, yaitu:

a. Diwajibkan oleh Allah.

b. Objeknya adalah harta.

c. Subjeknya adalah kaum muslim yang kaya saja dan tidak termasuk

non muslim.

d. Tujuannya hanya untuk membiayai kebutuhan kaum muslimin saja.

e. Diberlakukan hanya karena adanya kondisi darurat atau khusus

yang harus segera diatasi oleh pemimpin.

Sesungguhnya, pajak sendiri dalam ekonomi Islam juga masih terus

menerus dikaji. Karena pajak akan menjadi kewajiban kaum muslimin dalam

kondisi yang sudah ditetapkan oleh syariat, menyebabkan terjadinya perbedaan

pendapat dikalangan ulama terkait dengan kebolehan pemungutannya.

Ekonom Islam yang membolehkan pemungutan pajak antara lain:6

a. Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj menyebutkan bahwa:

“Semua Khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin

Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus

dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan

melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai

membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok

mereka sehari-hari.”

6 Gusfahmi, Pajak…, 156.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau

menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.

b. Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah merefleksikan

pemikiran pada zamannya mengenai distribusi beban pajak yang

merata.

c. M. Umer Chapra dalam bukunya Islam and The Economic

Challenge menyatakan:

“Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat

pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha

yang pada prinsipnya telah mewakili semua madzhab fiqh. Hal ini

disebabkan karena dana zakat dipergunakan ada prinsipnya untuk

kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan sumber-

sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi,

distribusi dan stabilisasi secara efektif.”

d. Hasan al-Banna dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il mengatakan:

“Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang

merata, maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama

dengan sasaran-sasaran Islam.”

e. Ibnu Taimiyah dalam Majmuatul Fatawa mengatakan:

“Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan

argument bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang

berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi

kelompok lain.”

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

f. Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah

mengatakan:

“Berbagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Mal

adalah menjadi kewajiban kaum muslimin. Jika berbagai kebutuhan

dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul

kemudharatan atas kaum muslimin, padahal Allah juga telah

mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan

yang menimpa kaum muslimin. Jika terjadi kondisi tersebut, negara

mewajibkan kaum muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk

menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan

pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih.”

Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram adalah

Hasan Turobi dalam bukunya Principle of Governance, Freedom, and

Responsibility in Islam menyatakan:7

“Pemerintahan yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu lama pada

umumnya tidak sah. Karena itu para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik

pajak akan disalah gunakan dan menjadi suatu alat penindasan.”

2. Karakteristik Pajak Menurut Islam

Terdapat beberapa ketentuan tentang pajak menurut Islam yang

sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem non Islam, yaitu:

a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu dalam

artian hanya boleh dipungut ketika dalam Baitul Maal tidak ada

harta atau kurang memenuhi. Ketika Baitul Maal sudah terisi

kembali, maka kewajiban pajak dapat dihapuskan. Berbeda dengan

zakat yang tetap dipungut walaupun tidak ada lagi pihak yang

7 Gusfahmi, Pajak…, 158.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam sistem non

Islam bersifat abadi atau selamanya.

b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang

merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang

diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.

Sedangkan pajak dalam sistem non Islam dipungut tanpa ada

rentang waktu dan dipungut selamanya sebagai pemasukan terbesar

negara.

c. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim dan tidak

dipungut dari non muslim. Karena dharibah dipungut untuk

membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim,

yang tidak menjadi kewajiban non muslim. Sedangkan dalam teori

pajak non Islam, pajak dipungut atas seluruh warga negara tanpa

membedakan agama sebagai bentuk penyeragaman.

d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya,

tidak dipungut kepada selainnya. Orang kaya adalah orang yang

memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan

kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan

masyarakat sekitarnya. Dalam pajak non Islam, pajak dalam

beberapa hal tetap dipungut kepada seluruh warga negara tanpa

terkecuali karena kepemilikan objek pajak seperti Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dan juga atas pembelian barang kena pajak (PPN)

walaupun subjek pajak adalah orang tak mampu.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

e. Pajak (dharibah) dapat dihapus, bila sudah tidak diperlukan.

Sedangkan dalam teori non Islam, pajak tidak akan dihapus karena

merupakan sumber utama pendapatan negara.

3. Landasan Teori Pajak Menurut Islam

Dalam sistem ekonomi Islam, juga dikenal adanya kebijakan fiskal.

Tujuan kebijakan fiskal adalah menopang tujuan yang ingin dicapai oleh

pemerintah. Yang membedakan antara ekonomi konvensional dan Islam adalah

prinsip-prinsip dalam pengelolaan anggaran. Dalam Islam, prinsip pengelolaan

anggaran keuangan negara selalu ditujukan untuk menciptakan keadilan sehingga

segala sesuatunya bersumber dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sedangkan dalam ekonomi konvensional, kebijakan anggaran hanyalah sebagai

komplemen kebijakan moneter untuk mencapai tujuan ekonomi makro.8

Kebijakan fiskal ini sudah diterapkan sejak pemerintahan Islam yang

pertama oleh Rasulullah. Adapun contoh-contoh kebijakan yang ditempuh pada

masa pemerintahan Islam awal adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan Fiskal di masa Rasulullah SAW

Sejarah Islam mencatat, dasar perekonomian secara islami dimulai

dan dicontohkan oleh Rasulullah sesuai dengan kondisi masa itu.

Rasulullah meletakkan dasar adanya jizyah (pajak yang dibayarkan

oleh non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan

jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib

8 Jusmaliani dan Muhammad Soekarni, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam, (Jogjakarta: Kreasi

Wacana, Cetakan Pertama, 2005), 144.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

militer). Pada masa itu, Rasulullah menetapkan besaran jizyah

adalah satu dinar setiap tahun untuk orang dewasa yang mampu.

Jizyah ini tidak berlaku kepada wanita dan mereka yang tidak

mampu dan akan berhenti dipungut ketika mereka masuk Islam.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak

(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang

diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama

yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab

kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang

mereka dalam Keadaan tunduk.”9

Rasulullah juga menerapkan kharaj (pajak atas tanah) yang

dipungut kepada kaum non Islam ketika penaklukan Khaibar.

Jumlah kharaj yang ditetapkan Rasulullah adalah seperdua dari

hasil produksi. Selain itu, Rasulullah juga menetapkan adanya

Ushr, yaitu biaya impor yang dikenakan kepada semua pedagang

yang dibayarkan sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi

barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Ushr ini dipungut

kepada kaum kafir dzimmi yang melewati perbatasan wilayah Islam

9 QS At Tawbah (9): 29.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum muslimin dengan

mereka.

Zakat dan ushr adalah pendapatan utama negara pada masa

Rasulullah ini. Kedua jenis pendapatan ini berbeda dengan pajak

dan tidak diberlakukan seperti halnya pajak. Zakat dan ushr

merupakan kewajiban agama dan menjadi salah satu pilar Islam.10

Secara garis besar, sumber penerimaan negara pada masa

Rasulullah adalah:

1) Dari Kaum Muslimin yaitu zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf,

amwal fadhla, nawaib, shadaqah.

2) Dari kaum non muslim yaitu jizyah, kharaj dan ushr.

3) Dari sumber lain yaitu ghanimah, fai’, uang tebusan, hadiah

dari pemimpin negara lain, pinjaman dari kaum muslimin atau

non muslim.

Sedangkan belanja pemerintahan digunakan untuk membiayai

pertahanan negara, penyaluran zakat dan ushr untuk mereka yang

berhak, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang

negara serta bantuan musafir. Pada masa ini, asas anggaran

berimbang dijalankan oleh Rasulullah yaitu semua penerimaan

negara habis untuk pengeluaran negara.

10

Nurul Huda et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, Edisi

Pertama, Cet.1, 2009), 160.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

b. Kebijakan Fiskal di masa Khulafaurrasyidin

Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan kaum muslimin

dilanjutkan oleh penerus rasulullah dari kalangan sahabat. Pada

masa pemerintahan para sahabat, kondisi kaum muslimin

mengalami perkembangan. Perkembangan ini tampak dari semakin

meluasnya wilayah Islam yang mengakibatkan masuknya

kebudayaan dan pengetahuan dari luar yang pada akhirnya sedikit

ataukah banyak akan mempengaruhi kehidupan kaum muslimin

disegala bidang termasuk bidang perekonomian.

Adapun kebijakan perekonomian yang ditempuh oleh masing-

masing sahabat yang meneruskan perjuangan dan kepemimpinan

Rasulullah adalah:11

1) Kholifah Abu Bakar

Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh Kholifah Abu Bakar

pada masa pemerintahannya adalah:

a) Memberikan perhatian terhadap keakuratan perhitungan

zakat.

b) Pengembangan pembangunan Baitul Mal.

c) Menerapkan konsep kebijakan anggaran seimbang pada

Baitul Mal.

d) Menegakkan hukum kepada mereka yang ingkar berzakat.

11

Nawawi, Ekonomi …, 195.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2) Kholifah Umar bin Khattab

Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh Kholifah umar adalah

sebagai berikut:

a) Reorganisasi Baitul Mal dengan mendirikan dewan yang

pertama yang disebut dengan Al-Diwan.12

b) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan

kebutuhan makan dan pakaian warga.

c) Disertifikasi terhadap objek zakat dan tarif zakat.

d) Pengembangan pajak (ushr) pertanian.

e) Menetapkan undang-undang perubahan pemilikan tanah

(land reform).

f) Mengelompokkan pendapatan negara menjadi:

(1) zakat dan ushr.

(2) khums dan shadaqah.

(3) kharaj, fai’, jizyah, ushr, sewa tetap.

(4) lain-lain.

Kholifah Umar juga terkenal dengan kepiawaian dalam

administrasi negara. Pada masanya, Kholifah Umar pernah

menjual barang-barang yang ditumpuk-tumpuk secara paksa

dari penyimpanan dengan harga umum, membatasi harga

beberapa macam barang untuk mencegah eksploitasi dan

bahaya terhadap orang banyak, melarang penjualan daging dan

12

Al Diwan adalah kantor yang ditunjuk untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang

dan pensiunan serta tunjangan-tunjangan lain.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

membolehkan kaumnya hanya makan daging selama dua hari

berturut-turut perminggu ketika mengalami kekurangan daging

dan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan kaum

muslimin di Madinah.

3) Kholifah Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahannya, Kholifah Utsman menerapkan

kebijakan antara lain:

a) Pembangunan Infrastruktur.

b) Pembentukan organisasi kepolisian.

c) Pembangunan gedung-gedung pengadilan.

d) Pembagian lahan milik Raja Parsi kepada kaum muslimin.

4) Kholifah Ali bin Abi Thalib

Pada masa pemerintahannya, Kholifah Ali menerapkan

kebijakan antara lain:

a) Distribusi semua pendapatan yang ada pada Baitul Mal.

b) Menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut.

c) Kebijakan pengetatan anggaran.

Kebijakan fiskal merupakan sistem kebijakan keuangan negara yang

terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu penerimaan negara, pengeluaran negara

dan utang negara. Pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang dirumuskan

oleh pemerintah. Hal yang menjadi landasan pembolehan pajak dalam Islam,

yaitu:

a. Pajak dipungut setelah zakat ditunaikan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

b. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta, melainkan karena

kebutuhan mendesak sedangkan Baitul Mal dalam kondisi kosong

atau belum mencukupi.

c. Hanya orang kaya yang dibebani kewajiban tambahan.

d. Pemberlakuan pajak sifatnya situasional atau tidak secara kontinu.

Pungutan pajak dapat dihapuskan apabila Baitul Mal telah terisi

kembali.

Adapun menurut Qardhawi, asas teori wajib pajak disamakan dengan

teori wajib zakat sebagai berikut:13

a. Teori Beban Umum

Merupakan hak Allah sebagai Pemberi nikmat untuk

membebankan kepada hambanya apa yang dikehendakinya, baik

kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan

kewajibannya dan tanda syukur atas nikmat-Nya dan untuk

menguji siapakah yang paling baik amalnya. Teori ini

menerangkan bahwa merupakan sesuatu hal yang wajar ketika

Allah meletakkan kepada manusia berbagai kewajiban terutama

menyangkut hartanya. Dalam ayat berikut, Allah berfirman:

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa

yang ada di bumi supaya Dia memberi Balasan kepada orang-orang

yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan

13

Gusfahmi, Pajak …, 173.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan

pahala yang lebih baik (syurga).”14

b. Teori Khilafah

Teori ini menerangkan bahwa harta adalah amanah Allah. Ketika

manusia sebagai pemegang amanah mendapatkan harta tersebut,

maka manusia harus mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk

tujuan di jalan Allah, meninggikan rahmat Allah dan untuk

menolong saudara-saudaranya sebagai bentuk kesyukuran dan

tanggung jawab atas amanah.

c. Teori Pembelaan Antara Pribadi dan Masyarakat

Masyarakat dalam suatu negara memiliki hak untuk diuruskan atau

diaturkan kebutuhan dan kepentingannya. Maka masyarakat juga

memiliki kewajiban menyerahkan sebagian hartanya yang akan

digunakan untuk memelihara kelangsungan hidupnya,

memberantas segala bentuk kejahatan dan permusuhan serta segala

sesuatu untuk kebaikan masyarakat seluruhnya.

d. Teori Persaudaraan

Diantara sesama manusia terdapat jalinan kasih sayang dan

persaudaraan yang sifatnya universal. Karena kasih sayang antar

manusia, keinginan untuk hidup bahagia sendiri tanpa

memperdulikan orang lain menjadi terkikis. Sifat egoisme yang

melekat pada setiap manusia menjadi berkurang. Dengan adanya

14

Al-Qur’an 53: 31.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

hal ini maka manusia akan terdorong untuk membantu sesamanya

agar mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.

4. Tujuan Pajak Menurut Syariat

Pajak merupakan kewajiban lain yang dibebankan oleh negara karena

suatu kondisi Baitul mal sedang kekurangan atau kosong sedangkan kebutuhan

negara mendesak untuk dipenuhi. Tujuan pajak adalah untuk membiayai berbagai

pos pengeluaran negara yang memang diwajibkan atas kaum muslimin. Sehingga

berdasarkan syariat, ada waktu pajak dibolehkan dipungut oleh negara. Jika pajak

digunakan untuk kepentingan lain atau dipungut oleh negara tanpa alasan yang

dibenarkan oleh syariat, maka menjadi haram hukumnya pajak.

Menurut Zallum, terdapat enam jenis pengeluaran yang bisa dibiayai

oleh pajak, yaitu:15

a. Pembiayaan jihad seperti pembentukan dan pelatihan pasukan,

pengadaan persenjataan dan sebagainya.

b. Pembiayaan untuk pengadaan dan pengembangan industry militer

dan industry pendukungnya.

c. Pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir, miskin

dan ibnu sabil.

15

Gusfahmi, Pajak …, 179.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

d. Pembiayaan untuk gaji tentara, hakim, guru dan semua pegawai

negara untuk menjalankan pengaturan dan pemeliharaan berbagai

kemaslahatan umat.

e. Pembiayaan atas pengadaan kemaslahatan atau fasilitas umum

yang jika tidak ada akan menyebabkan bahaya bagi umat seperti

jalan umum, sekolah dan rumah sakit.

f. Pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan kejadian yang

menimpa umat ketika Baitul Mal kosong atau kekurangan.

Berdasarkan enam jenis pengeluaran menurut Zallum diatas, maka

pajak harus dibelanjakan sesuai dengan pengadaannya atau tujuannya dipungut.

Selain dari tujuan diatas, maka pajak haram dipungut oleh negara kepada kaum

muslimin.

B. Pandangan Islam Terhadap Pajak Sebagai Pendapatan Negara

Dalam Sistem Ekonomi Islam terdapat prinsip-prinsip yang menjadi

rambu-rambu bagi pemerintah untuk mengelola Baitul Mal. Adapun prinsip

pendapatan menurut Sistem Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

1. Harus ada nash yang Memerintahkannya

Setiap pendapatan dalam sistem ekonomi Islam harus diperoleh sesuai

dengan hukum Islam dalam artian ada nash (Al-Qur’an dan hadis) yang

memerintahkannya. Sebagai contoh dalam kebijakan pembebanan

pajak, sebagian ulama berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta

selain zakat dengan adanya dalil Al Qur’an, yaitu:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ت و ٱلذي وهو ت وغير معروش عروش ت مرع و ٱلنخل أنشأ جن ۥمختلفا أكله ٱلز

يتون و ان و ٱلز م به كلوا من ثمره ٱلر بها وغير متش يوم ۥإذا أثمر وءاتوا حقه ۦ متش

إنه ۦ حصاده ا ٱلمسرفين ل يحب ۥول تسرفو

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang

tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam

buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan

tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam

itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya

(dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu

berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang

berlebih-lebihan”16

بيل ٱبن و ٱلمسكين و ۥحقه ٱلقربى ذا ا ف لك خير للذين ٱلس ذ

يريدون وجه ئك هم ٱلل ٱلمفلحون وأول

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian

(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.

Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah;

dan mereka itulah orang-orang beruntung.”17

Hadis Rasulullah SAW:

Dari Fathimah binti Qais ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Di Dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping zakat.”

Kemudian beliau membaca ayat Al Qur’an surat Al-Baqarah: 177. (HR

Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Harus Ada Pemisahan muslim dan Non-Muslim

Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak antara muslim dengan

non muslim. Contohnya adalah zakat yang hanya bersumber dari kaum

muslimin dan digunakan untuk kepentingan kaum muslimin dalam

delapan golongan yang ditentukan Allah. Pembedaan ini berkaitan

dengan esensi bahwa pembayaran zakat dan pajak oleh kaum muslimin

16

QS Al An’am (6): 141. 17

QS Ar Ruum (30): 38.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

adalah bernilai ibadah, sedangkan bagi kaum non muslim bukanlah

bernilai ibadah dan ketentuan pemungutan kepada mereka bernilai

kehinaan karena kekafiran mereka terhadap Allah.

3. Hanya Golongan Kaya yang Menanggung Beban

Prinsip kebijakan pemasukan yang terpenting adalah bahwa sistem

zakat dan pajak harus menjamin bahwa golongan mampu atau kaya dan

makmur yang memiliki kelebihan harta yang akan memikul beban

utama. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan dari

kebutuhan bukan dari keinginannya. Hal ini menunjukkan keadilan

dalam sistem Islam dalam pembebanan kepada masyarakat.

4. Adanya tuntutan Kemaslahatan Umum

Prinsip kebijakan penerimaan negara keempat adalah adanya tuntutan

kemaslahatan umum yang harus didahulukan untuk mencegah bahaya.

Seorang pemimpin dalam sistem ekonomi Islam memiliki kewajiban

mencukupi kebutuhan rakyatnya terutama kebutuhan pokok seperti

makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Pemimpin negara harus memenuhi kebutuhan pokok rakyat ini tanpa

melihat apakah ada harta ataukah tidak.

Sedangkan prinsip pengeluaran negara dalam Sistem Ekonomi Islam

adalah:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Tujuan penggunaan Pengeluaran Kekayaan Negara Telah Ditetapkan

Langsung oleh Allah.

Allah telah menetapkan secara langsung tujuan-tujuan pengeluaran

negara melalui Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa ketika Allah telah

menetapkan suatu sumber pemasukan, Allah juga telah menentukan

peruntukannya. Contohnya adalah zakat yang hanya boleh

didistribusikan kepada delapan golongan yang disebut dalam Al-

Qur’an.

2. Apabila Ada Kewajiban Tambahan, Maka Harus Digunakan untuk

Tujuan Pemungutan

Dalam ekonomi Islam, kebutuhan dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan

individu dan kebutuhan negara. Kebutuhan individu adalah kebutuhan

yang pengadaannya diwajibkan kepada pribadi kaum muslimin (kepala

keluarga) seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan

kebutuhan negara adalah kebutuhan yang pengadaannya diwajibkan

kepada negara melalui Baitul Mal dari pos shadaqah, ghanimah dan

fai’. Kebutuhan negara ini adalah pengadaan kesehatan, keamanan dan

pendidikan.

Jika terjadi kekosongan atau kekurangan dalam Baitul Mal, pemimpin

berhak memungut kepada kaum muslimin karena hal ini berkaitan

dengan kemaslahatan kaum muslimin sendiri. Pungutan inilah yang

disebut pajak. Pajak ini tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

dari kebutuhan apalagi digunakan untuk kepentingan pejabat dan hal

lain yang tidak bermanfaat.

3. Adanya pemisahan antara Pengeluaran yang Wajib Diadakan Pada

setiap Saat dan Pengeluran Yang Wajib Diadakan Hanya Pada saat

Adanya harta.

Menurut Nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus diadakan,

melainkan bergantung pada sifat-sifat pengeluaran itu sendiri.

Pemerintah harus membuat daftar skala prioritas terhadap kebutuhan

dan pengeluaran negara. Beberapa pengeluaran yang harus dipisahkan

anatar yang sifatnya paten tanpa melihat apakah Baitul Mal ada ataukah

tidak ada harta dan pengeluaran yang sifatnya wajib ketika pos

penerimaan Baitul Mal ada, antara lain:

a) Pengeluaran zakat hanya pada saat adanya harta zakat. Hal ini

karena harta zakat memiliki pos sendiri dalam Baitul Mal yang

telah ditetapkan oleh nash.

b) Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan atau mendanai jihad

sifatnya paten tanpa melihat apakah Baitul Mal dalam kondisi ada

harta ataukah kosong. Jika terjadi kekosongan, padahal dana ini

harus disediakan, maka negara dapat meminjam dari kaum

muslimin.

c) Pengeluaran untuk Kompensasi, harus Dibayar di saat Ada atau

Tidak Ada Harta. Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar

oleh negara sebagai kompensasi orang-orang yang telah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

memberikan jasanya seperti tentara, pegawai negri, hakim dan

guru. Kewajiban pembayaran kompensasi ini sifatnya paten baik

ketika Baitul Mal ada harta maupun dalam kondisi kosong atau

kurang. Jika negara tidak memiliki harta untuk pemngeluaran ini,

maka pemerintah wajib mengusahakannya dengan cara memungut

pajak. Hal ini berbeda dengan pengeluaran untuk mengatasi

kemiskinan atau pendanaan jihad. Kedua pengeluaran ini memiliki

persamaan sifat yaitu harus disediakan dana walaupun Baitul Mal

dalam kondisi kosong ataukah ada dana. Yang membedakan hanya

cara memperoleh harta yaitu dengan cara meminjam untuk

pengeluaran kemiskinan atau jihad dan dengan cara pemungutan

pajak untuk pengeluaran kompensasi ketika kondisi Baitul Mal

kosong atau kurang.

d) Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan untuk

kompensasi yang sifatnya vital juga bersifat paten. Contoh

pembelanjaan ini adalah pengadaan infrastruktur yang sifatnya vital

bagi kemaslahatan umat seperti jalan utama penghubung antar kota,

jembatan penghubung, rumah sakit utama, sekolah, masjid, waduk

dan lain-lain.

e) Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat namun

tidak bersifat vital dan bukan sebagai kompensasi. Contohnya

adalah pembangunan jalan baru dari jalan utama yang sudah ada,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

rumah sakit baru ketika sudah ada rumah sakit lain. Pembelanjaan

ini berdasarkan adanya harta dalam kas Baitul Mal.

4. Pengeluaran Harus Hemat

Pemerintah dalam menganggarkan pengeluaran harus sesuai dengan

kaidah dan dilakukan dengan hemat. Islam sendiri mengutuk

pemborosan. Penimbunan juga dilarang dalam Islam karena

penimbunan kekayaan akan menyebabkan kekayaan itu tidak dapat

beredardan bermanfaat penggunaannya. Artinya pemerintah harus

membuat anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya

kepada masyarakat namun terlebih dihadapan Allah kelak.

Dari landasan dan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas, maka

pada dasarnya, sistem perpajakan diperbolehkan diambil sebagai salah satu cara

mendapatkan pemasukan bagi Baitul Mal untuk melaksanakan tujuan negara yaitu

mensejahterakan dengan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Namun ada perbedaan

dari konsep perpajakan dalam Islam dengan ekonomi konvensional. Jika pada

Islam, pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang diambil ketika

kondisi Baitul Mal kosong atau kekurangan, sedangkan pada ekonomi

konvensional, pajak dijadikan sumber utama penopang perekonomian dan

kehidupan bernegara.

Dalam Islam, ketika negara telah memutuskan memungut pajak dari

rakyatnya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh negara, yaitu:18

18

Azmi, Ekonomi Islam…, 164.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Syarat-Syarat Penetapan Pajak

Beberapa syarat perpajakan dalam Islam telah dikemukakan

sebelumnya. Bahwa pajak ditetapkan atas orang kaya yang memiliki

kelebihan harta dari kebutuhannya. Pajak juga harus dibebankan hanya

pada bentuk-bentuk kekayaan yang dapat berkembang.

2. Penetapan Dasar Pajak dan Jumlah pajak

Negara harus mempertimbangkan dasar pemungutan pajak dan jumlah

yang dipungut kepada rakyat agar tidak terjadi kedzaliman. Abu Yusuf

berpendapat bahwa negara memiliki hak untuk memutuskan apakah

akan mengurangi atau meningkatkan pajak sesuai dengan kemampuan

umat untuk membayar.

3. Fleksibilitas Penetapan pajak

Karena dalam Islam, pajak ditentukan dari kebutuhan, maka negara

dapat melakukan penyesuaian tingkatan pajak dan dasar pajak sesuai

dengan kondisi. Hal ini bermakna bahwa sistem perpajakan Islam

memiliki fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan negara.

Disamping hal-hal diatas, negara juga harus membuat aturan-aturan

yang menjelaskan secara mendetail dan transparan mengenai:

1. Bagaimana pajak akan dikenakan dan dipungut yang dalam administrasi

pemerintahan modern diatur dalam undang-undang perpajakan.

2. Ketentuan menyangkut alokasi pembelanjaan uang pajak, untuk

kepentingan apa dan siapa uang pajak ini yang dalam administrasi

pemerintahan modern diatur dalam Undang-Undang Belanja Negara.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3. Ketentuan tentang lembaga pemerintah yang bertindak sebagai

pengumpul pajak mengenai hak dan tanggung jawabnya.

C. Pandangan Islam Terhadap Kesejahteraan

Sistem Ekonomi Islam memiliki tiga asas, yaitu:19

1. Kepemilikan (al Milkiyyah).

Adalah tata cara yang digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan

manfaat yang dihasilkan oleh jasa atau barang tertentu. Menurut syara’,

kepemilikan adalah izin pembuat syariat untuk memanfaatkan zat.

Kepemilikan terbagi menjdi tiga, yaitu:

a) Pemilikan individu (private ownership).

b) Pemilikan umum (public ownership).

c) Pemilikan negara (state ownership)

2. Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al-milkiyyah).

Adalah cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika

menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Ekonomi Islam menetapkan

du acara pengelolaan pemilikan, yaitu:

a) Pengembangan Harta (tanmiyah al-maal)

b) Pembelanjaan Hak Milik (al-infaq)

3. Distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tawzi al-amwaal bayn an-

naas).

19

Hafidz Abdurrahman, “Diskursus Islam Politik Dan Spiritual”, Editor: Maghfur Wachid, Cet.1,

(Bogor: Al Azhar Press, 2004), 200.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Islam mensyariatkan hukum-hukum guna menjamin pendistribusian

kekayaan di tengah masyarakat secara adil, antara lain:

a) Mewajibkan syariat zakat.

b) Pemberian hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk

memanfaatkan pemilikan umum.

c) Pemberian Negara secara Cuma-Cuma kepada anggota masyarakat

yang membutuhkan yang diambil dari harta milik Negara.

d) Pembagian harta waris kepada ahli waris.

Selain syariat diatas, demi terwujudnya keadilan ekonomi, Islam

melarang dan mengharamkan sebagai berikut:

a) Penimbunan emas dan perak atau mata uang.

b) Penimbunan barang

c) Bakhil dan kikir.

Teori kesejahteraan dalam ekonomi modern menyebutkan bahwa

kesejahteraan dilihat dari beberapa indikator seperti terpenuhinya sandang,

pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan. Dalam Islam pun terdapat

indikator kesejahteraan yang menjadi hak kemanusian tiap individu. Islam

melindungi hak-hak manusia, antara lain:20

1. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan fisik (hifzh

al-nafs).

20

Masdar F. Mas’udi, “Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk

Rakyat”, Cet.1, (Bandung: Mizan, 2005), 154.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan akal budi

dan mental (hifzh al-aql)

3. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan keyakinan

agama (hifzh al-din)

4. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan

kesejahteraan ekonomi (hifzh al mal).

5. Hak yang berhubungan dengan integritas keluarga (hifzh al-‘irdhl wa

al-nasl)

Dari kelima hak manusia yang di atas, pihak yang bertanggung jawab

dalam mengusahakan pemenuhannya adalah diri pribadi masing-masing. Jika

seseorang tidak mampu mengusahan pemenuhan haknya, maka tanggung jawab

pemenuhan ini beralih kepada keluarga. Jika keluarga tidak mampu memenuhi

tanggung jawab pemenuhan hak ini, maka tanggung jawab ini beralih kepada

masyarakat. Jika masyarakat tidak mampu memenuhi tanggung jawab ini, maka

negara menjadi tumpuan terakhir tanggung jawab pemenuhan hak. Negara

menjadi pihak yang bertanggung jawab hanya ketika hak kemanusiaan ini tidak

lagi mampu dipenuhi oleh pihak individu, keluarga maupun masyarakat.

Dapat disimpulkan, bahwa tugas negara adalah memberikan dukungan

(subsidi) untuk memberdayakan warganya yang lemah agar dapat bertahan dalam

kehidupan sosial. Subsidi pemberdayaan ini meliputi:

1. Subsidi jaminan kesehatan untuk penguatan kualitas fisik.

2. Jaminan pendidikan untuk penguatan mental spiritual.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3. Subsidi di bidang infrastruktur untuk menopang tingkat

kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Karena besarnya tanggung jawab atau tugas negara dalam

menyelenggarakan hak kemanusiaan, maka Sistem Ekonomi Islam mengatur cara

agar negara mendapatkan dana untuk memenuhi kewajiban ini melalui mekanisme

Baitul Mal.

Baitul Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang

diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak

menerimanya. 21

Baitul Mal memiliki fungsi sebagai tempat penampungan dan

pengeluaran harta yang merupakan bagian dari pendapatan negara. Baitul Mal

terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama berkaitan dengan harta yang masuk

menjadi sumber pemasukan negara. Bagian kedua berkaitan dengan harta yang

akan dikeluarkan untuk keperluan masing-masing. Beberapa cendekiawan muslim

memaparkan pos-pos yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran negara

dalam Islam. Adapun sumber penerimaan negara dalam Islam seperti yang

berlaku pada masa pemerintahan Rasulullah dan pemerintahan Islam pada masa

lampau adalah sebagai berikut:22

a. zakat

Pengeluaran atau pembayaran zakat oleh kaum muslimin dalam

Islam dimulai setelah hijrah dan terbentuknya Negara Islam di

21

Zallum, Sistem …, 5. 22

Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Jogjakarta: Graha Ilmu, Edisi Pertama, 2005), 173.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Madinah. Pembayaran zakat merupakan kewajiban agama dan

salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban zakat ini berlaku bagi

setiap muslim yang telah baligh, merdeka, berakal sehat dan

memiliki harta yang telah mencapai nisab. Pentingnya zakat telah

disampaikan dalam Al-Qur’an dan Hadis mulai dari cakupan zakat,

nisab harta, para mustahiq (yang berhak menerima pajak) dan tata

cara pelaksanaannya.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk

mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa

bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”23

Zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari penerimaan

negara pada awal pemerintahan Islam. Zakat tidak pernah

menggantikan komponen pengeluaran pemerintah untuk

kesejahteraan dan untuk bantuan disaat terjadi bencana. Zakat telah

dikhususkan peruntukannya dalam Islam yang menyebabkan

keunikan tersendiri dalam sistem ekonomi Islam.24

b. Wakaf

Wakaf diartikan sebagai menahan harta yang mungkin diambil

manfaatnya. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada Allah

sehingga barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan,

23

QS At Tawbah (9): 103. 24

Jusmaliani dan Soekarni, Kebijakan …, 149.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

diberikan atau dijual kepada pihak lain. Dalam menunaikan wakaf,

bisa dilakukan dengan harta bergerak maupun yang tidak bergerak.

c. Kharaj

Kharaj atau biasa disebut dengan pajak bumi atau tanah adalah

jenis pajak yang dikenakan pada tanah terutama yang ditaklukan

oleh kekuatan senjata, tanpa memandang siapa pemilik tanah.

Dalam pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu

Kharaj Proporsional (muqasimah) dan Kharaj Tetap (wazifah).

Kharaj proporsional artinya dikenakan sebagai bagian total dari

hasil produksi pertanian, misalnya setengah atau sepertiga,

seperempat, seperlima dan sebagainya. Kharaj Proporsional

dikenakan secara tidak tetap bergantung pada hasil dan harga setiap

jenis hasil pertanian atau dipungut setiap kali panen. Sedangkan

Kharaj Tetap artinya pajak tetap atas tanah atau beban khusus pada

tanah sebanyak hasil alam yang dikenakan setiap setahun sekali

atau setelah satu tahun.

Penentuan kharaj harus melihat faktor yang menentukan

kemampuan memikul pajak bumi dengan melihat kemampuan

tanah yang berkaitan dengan faktor mutu tanah yang dapat

menghasilkan panen yang besar atau cacat yang menyebabkan hasil

kecil, faktor jenis panen karena harga hasil panen tentulah berbeda,

dan faktor irigasi juga akan membedakan penilaian kharaj.

d. Ghanimah (Harta Rampasan Perang)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Ghanimah merupakan jenis barang bergerak, yang bisa

dipindahkan, diperoleh dalam peperangan melawan musuh.

Anggota pasukan akan mendapat bagian sebesar empat perlima.

Aturan mengenai ghanimah tertuang dalam firman Allah dalam Al-

Qur’an, yaitu:

“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh

sebagai rampasan perang, maka Sesungguhnya seperlima untuk

Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin

dan ibnus sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa

yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari

Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu.”25

Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi Negara Islam pada

masa penaklukan dan penyebaran Islam. Perintah mengenai

ghanimah ini turun setelah perang Badar pada tahun kedua setelah

Hijrah ke Madinah.

e. Fai’

Menurut ajaran Islam, bagi orang yang tidak beriman dan mereka

takluk tanpa melalui peperangan maka pasukan akan mendapatkan

harta rampasan yang disebut dengan fai’. Pembagian fai’ berbeda

dengan ghanimah. Dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

25

Al-Qur’an 8: 41.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

“Dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada

RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu

kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor

untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-

Nya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu.”26

Penggunaan fai’ diatur oleh Rasulullah sebagai harta negara dan

dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat umum.

Dari pos-pos penerimaan negara dalam sistem Islam, dikatakan cukup

untuk membiayai pengaturan dan pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat.

Tugas pemerintah untuk menggunakan seluruh sumber Baitul Mal untuk

memenuhi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan

ketaqwaan kaum muslimin. Ibn Taimiyah memberikan arahan agar Baitul Mal

digunakan dan diarahkan untuk merealisasikan program: menghilangkan

kemiskinan, regulasi pasar, kebijakan moneter dan perencanaan ekonomi. Ibn

Taimiyah juga menekankan pengentasan kemiskinan karena kemiskinan

menyebabkan umat dekat pada kekafiran.27

Pos-pos pengeluaran negara dalam sistem ekonomi Islam, sudah terarah

sesuai dengan pos-pos pendapatan. Contohnya pos pendapatan negara dari zakat

diperuntukan untuk delapan golongan yang sudah disebutkan dalam Al-Qur’an

26

Al-Qur’an 59: 6. 27

Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat,

Edisi Pertama, 2002), 202.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil, para mu’allaf, untuk

memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jihad di jalan Allah dan

orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pos penerimaan negara dari zakat

tidak dialokasikan kepada selain delapan golongan ini. Seandainya tidak

ditemukan salah satu dari delapan golongan ini, maka zakat tetap tidak

diperuntukan yang lain, namun zakat akan disimpan dalam kas Baitul Mal sampai

adanya golongan yang berhak atas zakat.28

Selain zakat, ghanimah juga diarahkan sesuai dengan petunjuk Al-

Qur’an yang diperuntukan untuk Allah dan Rasulullah, kerabat Rasulullah, anak-

anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Pos penerimaan dari Fai’

diperuntukkan untuk kepentingan memelihara kehidupan sosial masyarakat dalam

menghadapi serangan baik dalam dan luar negeri serta untuk mengembangkan

kehidupan sosial.

Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan belanja umum pemerintahan

terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.

2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber

dana tersedia.

3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh

masyarakat berikut system pendanaannya.

28

Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya:

Risalah Gusti, 1996), 257.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Secara rinci, pos pengeluaran negara atau pengeluaran Baitul Mal

ditetapkan dalam enam kaidah berikut, yaitu:29

a. Harta yang menjadi khas tersendiri, yaitu harta zakat. Pos

penerimaan zakat diperuntukkan hanya untuk delapan golongan.

Apabila harta zakat tidak ada atau kosong, maka kedelapan

golongan zakat ini tidak akan mendapatkan alokasi zakat karena

negara tidak akan mengadakan pinjaman untuk pembayaran zakat.

Dengan kata lain, jika harta zakat ada, maka harta zakat ini akan

didistribusikan sesuai dengan peruntukannya. Jika tidak ada, maka

tidak ada pembagian harta zakat kepada delapan golongan zakat

yang tersebut dalam Al-Qur’an. Inilah yang menjadi kekhasan dari

pos penerimaan zakat.

b. Baitul Mal memiliki kewajiban untuk mengadakan pembelanjaan

untuk fakir miskin, ibnu sabil dan keperluan jihad tanpa melihat

apakah ada harta dalam Baitul Mal. Hal ini berarti bahwa Baitul

Mal berhak mengisi kekosongan kasnya ketika terjadi kekurangan

harta yang apabila ditangguhkan pemenuhannya akan

menyebabkan penderitaan atau ketika panggilan jihad tiba. Dalam

memenuhi keadaan ini, Baitul Mal bisa terisi dengan cara

pemerintah melakukan pinjaman dari kaum muslimin.

c. Baitul Mal harus memiliki harta karena tuntutan kompensasi seperti

gaji para tentara, gaji pegawai negeri, hakim dan tenaga pendidik.

29

Ibid, 264.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pembelanjaan untuk pos ini tidak bergantung pada ada atau tidak

adanya harta. Karena menjadi kewajiban dari negara untuk

membayar kompensasi gaji melalui Baitul Mal. Jika Baitul mal

dalam kondisi kosong atau kekurangan, maka pemerintah harus

mengusahakan pemenuhan kebutuhan ini.

d. Baitul Mal berhak atas harta yang pembelanjaannya untuk

kemaslahatan dan kemanfaatan umat seperti infrastruktur, rumah

sakit, sekolah dan lain-lain yang menjadi kebutuhan umum yang

jika tidak ada, umat akan mengalami penderitaan. Hal ini berlaku

sama dengan poin ketiga yaitu pemenuhan pos pengeluaran ini

tidak melihat apakah kas Baitul Mal ada ataukah kosong. Karena

pengadaan infrastruktur ini sifatnya vital, maka pengadaannya

menjadi kewajiban negara melalui Baitul Mal. Bila kondisi Baitul

Mal kosong atau kekurangan, maka negara harus mencari cara dan

mengusahakannya agar terpenuhi Baitul Mal untuk pos

pengeluaran ini.

e. Pos pengeluaran Baitul Mal untuk kemaslahatan umat dimana pos

ini akan dipenuhi ketika ada harta dalam Baitul Mal. Jika kondisi

Baitul Mal kosong ataukah kekurangan, maka pengeluaran untuk

pos ini dapat ditangguhkan atau digugurkan. Contohnya adalah

pembangunan jalan baru, rumah sakit baru yang sifatnya hanya

sebagai pengganti.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

f. Pos pengeluaran Baitul mal yang sifatnya terpaksa atau mendesak

seperti terjadi bencana alam, paceklik, atau adanya serangan

musuh. Pos pengeluaran ini harus diutamakan ketika kas Baitul

Mal ada. Jika Baitul Mal sedang dalam kondisi kosong atau

kekurangan, maka menjadi kewajiban kaum muslimin untuk

memenuhi Baitul Mal yang akan digunakan untuk pembiayaan pos

ini.

Syariat Islam menetapkan bahwa pembiayaan atas berbagai keperluan

dan bidang dibebankan kepada Baitul Mal yang diisi dari pos-pos pendapatan

yang telah diuraikan diatas. Namun ketika di Baitul Mal terjadi kekurangan atau

tidak ada harta, maka syariat Islam menetapkan pembiayaannya menjadi

kewajiban seluruh kaum muslimin.

Islam mewajibkan pemungutan zakat dengan tujuan mulia menjamin

keadilan dan hak-hak diantara kaum muslimin. Sehingga terdapat dua komponen

penting dalam ajaran zakat, yaitu:

1. Ajaran yang berkenaan dengan pemungutan biaya publik (akhdz al-

shadaqah) oleh otoritas negara dari warga negara yang

berkemampuan.

2. Ajaran yang berkenaan dengan pembelanjaan (tasharruf) biaya

publik untuk tujuan redistribusi kesejahteraan, khususnya bagi yang

lemah, dan biaya kemaslahatan umum bagi semua.