BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI · PDF fileStrategi ini tidak terlalu buruk bagi pemerintah...
Transcript of BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI · PDF fileStrategi ini tidak terlalu buruk bagi pemerintah...
15
BAB IV
PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN
KONFLIK PAPUA
4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)
Dilihat dari gambaran umum dan penyebab konflik, maka dapat diciptakan sebuah
model 2x2 matriks payoff. Pada satu pihak kita dapat menetapkan Pemerintah
Indonesia sebagai pemain dan dipihak lainnya gerakan separatis Papua yang ingin
melepaskan diri dari Indonesia yang berlangsung setelah pemberian otonomi
khusus kepada Papua.
Dua sikap yang diambil oleh kedua pihak dijadikan sebagai dasar strategi dari
games ini. Pertama adalah sikap keras dinotasikan dengan H, dimana pihak
Pemerintah Indonesia menolak untuk berdialog dengan elit Papua, dengan kata
lain pihak Indonesia mengunakan kekuatan militer. Di pihak elit Papua ini berarti
penolakan terhadap resolusi perdamaian untuk mendapatkan kemerdekaan penuh,
dengan kata lain perjuangan bersenjata lewat gerilya merupakan strategi yang
dipilih. Kedua adalah sikap kompromi dinotasikan dengan C. Sikap ini berarti
pihak pemerintah Indonesia siap untuk berkompromi, menghindari cara-cara
kekerasan dan militerisme, memberikan ruang bagi penyelesaian demokrasi dan
dialog. Sedangkan bagi elit Papua juga berarti siap berkompromi, dan
menghentikan perlawanan bersenjata dan gerilya.
Strategi di atas dapat dimodelkan dalam bentuk matrik payoff dengan nilai utilitas
sebagai berikut:
16
Pemerintah RIC H
C
H
3,4 2,3
1,24,1
Gerakan Separatis
Otonomi khusus
Gerakan separatisMenyerah
Papua Merdeka Konflik Kekerasan
Gambar 4 Matriks Payoff Konflik Papua
Dimana :
C = conciliatory stance (sikap kompromi)
H = hard-line stance (sikap keras)
(x, y) = (payoff Gerakan Separatis, payoff untuk Pemerintah RI)
4 = terbaik, 3 = baik; 2 = buruk; 1 = terburuk
Dari matriks di atas, pilihan C dan H oleh masing-masing pihak akan melahirkan
empat pilihan, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Otonomi Khusus (3,4).
Setelah era reformasi pemerintah Indonesia mengambil langkah lebih
lunak. Pasca reformasi 1998, beberapa orang tokoh Papua menghadap
Presiden Habibie untuk menuntut kemerdekaan, yang dikenal dengan
Dialog Nasional Tim 100 pada Februari 1999, tetapi tuntutan itu di tolak
oleh pemerintah RI.
Sikap yang lebih demokratis ditunjukan oleh Presiden Abdurahman Wahid
yang mengusulkan otonomi khusus bagi Papua. Pemberian otonomi
khusus baru terwujud pada pemerintahan Megawati seiring dengan
dikeluarkannya UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus. Pilihan ini
17
adalah pilihan yang terbaik untuk Pemerintah RI, sehingga diberikan nilai
4, karena pilihan ini pada dasarnya dianggap sebagai bentuk kompromi
antara pemerintah pusat untuk mempertahankan integrasi dan meredam
keinginan masyarakat Papua yang ingin keluar dari NKRI. Proses yang
lebih demokratis ini pun kemudian bisa mendapatkan simpati dari elit-elit
dan tokoh Papua.
Bagi elit gerakan separatis Papua merdeka, pilihan ini cukup baik,
sehingga diberikan nilai 3, karena dengan diberikannya keterbukaan oleh
pemerintah Indonesia untuk berdialog, maka keinginan untuk terjadinya
perubahan ke arah yang lebih baik akan semakin terbuka. Kesejahteraan
yang dituntut selama konflik akan bisa diwujudakan.
Tetapi pilihan ini bukan yang terbaik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
hal pokok yang tertuang dalam UU No 21 tahun 2001 tentang Otsus. Hal
yang paling penting dalam pemberian Otsus ini adalah desentralisasi
kewenangan yang lebih besar kepada Provinsi Papua dan penyelesaian
kasus pelanggaran HAM. Tetapi dalam implementasi di lapangan, Otsus
tidak seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal,
seperti dikeluarkannya Inpres No 1 tahun 2003 tentang Percepatan
Pemekaran Provinsi Papua, dan lemahnya penegakan hukum terhadap
hasus pelanggaran HAM.
Kegagalan implementasi di lapangan ini membuat kepercayaan
masyarakat Papua terhadap itikad baik pemerintah Indonesia kembali
menurun, yang dengan ditandai penyerahan simbolis UU Otsus secara
simbolis melalui DPR Papua oleh Dewan Adat Papua pada 15 Agustus
2005.
18
2. Gerakan separatis menyerah (2,3)
Strategi ini adalah pilihan terbaik kedua bagi pemerintah Indonesia,
sehingga diberikan nilai 3, karena identik dengan penyelesaian konflik
dengan pendekatan militer dan merupakan pilihan dominan sebelum era
reformasi. Dalam penerapan strategi ini Gerakan Organisasi Papua
Merdeka melemah, dengan dilakukannya penangkapan orang-orang yang
dicurigai terlibat dengan gerakan itu. Tetapi tindakan berupa pendekatan
militer ini ternyata sering menimbulkan masalah pelanggaran HAM yang
disebabkan oleh pihak militer. Hal ini menjadi sorotan dunia Internasional,
dan isu pelanggaran HAM ini dijadikan sebagai alat bagi pihak asing dan
LSM untuk memojokkan Pemerintah RI.
Bagi gerakan separatis, pilihan strategi ini tidak terlalu buruk, sehingga
diberikan nilai 2. Hal ini dikarenakan anggota TPN/OPM yang
menyerahkan diri kepada TNI diberikan program reintegrasi dan
pengampunan. Kebijakan ini sudah diterapkan dalam penyelesaian konflik
Aceh. Selain itu bagi elit Papua yang ditangkap karena dianggap sebagai
gerakan pengacau keamanan tetap diberikan hak untuk diadili di
pengadilan. Contoh kasus adalah dibebaskannya Taha Al Hamid
(Sekretaris Umum PDP), Pendeta Herman Awom (moderator Kongres
Rakyat Papua 2000) dan Agus Alua (Panitia Kongres) setelah terbukti
tidak bersalah di pengadilan dan setelah itu mereka tetap dapat
beraktivitas.
3. Konflik Kekerasan (1,2)
Strategi ini tidak terlalu buruk bagi pemerintah Indonesia, sehingga
diberikan nilai 2, karena kondisi ini dapat dijadikan sebagai sebagai alasan
untuk mengadakan operasi militer penumpasan Gerakan Pengacau
Keamanan yang diasosiasikan kepada OPM. Setelah era reformasi,
operasi-operasi militer yang akhirnya menyebabkan konflik kekerasan,
menurut pengakuan pihak militer Indonesia, tindakan ini merupakan upaya
19
pemberantasan gerakan separatis yang mengancam keamanan. Tetapi
disisi lain ketika terjadi pelanggaran HAM, hal ini kemudian dipakai
sebagai propaganda oleh LSM dan negara pendukung OPM untuk
menyudutkan pemerintahan Indonesia.
Bagi OPM khususnya Tentara Pembebasan Nasional Papua yang masih
melakukan gerakan bersenjata, strategi ini adalah yang terburuk, sehingga
diberikan nilai 1, karena kekuatan mereka yang tidak bisa menyeimbangi
TNI, kondisi konflik internal diantara faksi, dan yang paling merugikan
adalah seringnya rakyat sipil di pelosok yang menjadi korban. Seperti yang
terjadi dalam beberapa kasus operasi militer setelah tahun 2001, yang
menurut militer Indonesia adalah sebuah upaya pemberantasan gerkan
pengacau keamanan.
4. Papua Merdeka (4,1)
Strategi ini sangat merugikan pihak Indonesia, sehingga diberikan nilai 1,
karena jika pemerintah Indonesia mengambil langkah ini maka Papua akan
lepas dari NKRI seperti yang terjadi pada kasus Timor Leste. Kerugian
yang ditimbulkan tidak hanya dalam perspektif poilitik tetapi juga dalam
perspektif ekonomi. Tanah Papua mengandung kekayaan alam yang sangat
banyak mendatang kan pemasukan bagi negara Indonesia.
Bagi elit Papua, hal inilah yang menjadi tujuan terakhir dari gerakan
mereka dan merupakan strategi paling menguntungkan, sehingga diberikan
nilai 4. Strategi ini akan menciptakan kemerdekaan bagi Papua dengan
posisi sikap keras mereka yang tidak mau kompromi.
4.2 Analisis Model Konflik dengan Pendekatan Backward Induction
Dari matrik payoff di atas (Gambar 4), dapat ditentukan state kesetimbangan
dengan aturan TOM dan pendekatan backward induction. Dalam hal ini, analisis
20
yang akan dilakukan dengan state awal, dipilih dari keempat state yang ada dari
matrik payoff.
Misakan gerakan separatis kita notasikan dengan R dan Pemerintah Indonesia
dengan G.
State awal (3,4)
• Misalkan R yang mulai bergerak pertama, maka gerakan berlawan arah
jarum jam dari (3,4) kembali ke (3,4) adalah
R G R G R
)4,3()3,2()2,1()1,4(|)4,3( →→→→ c
R melihat empat state ke depan dan menemukan bahwa G akan bergerak
dari (2,3) ke (3,4). Mengikuti backward induction, R percaya jika berada
di (1,2) permainan akan kembali ke (3,4) karena G akan bergerak dari
(2,3). Begitupun G akan bergerak dari (4,1), dapat disimpulkan bahwa
permainan akan berhenti di (3,4) sehingga R memutuskan untuk tetap di
(3,4).
• Misalkan G bergerak pertama, proses searah jarum jam dari (3,4) ke (3,4)
seperti berikut:
G R G R G
)4,3(|)1,4()2,1()3,2(|)4,3( →→→→
Jika G memulai maka permainan langsung terblok di awal. Jadi G
memilih untuk berhenti pada state awal.
Dari state awal (3,4) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pemain
pun yang memilih untuk bergerak, sehingga outcome yang dihasilkan (3,4)
adalah Non Myopic Equilibrium.
21
State awal (4,1)
• Misalkan R bergerak pertama, maka proses searah jarum jam dari (4,1)
kembali ke (4,1) adalah sebagai berikut:
R G R G R
)1,4()2,1()3,2(|)4,3(|)1,4( →→→→
Jika R memulai permainan maka permainan akan terblok dari awal. Jadi R
akan memilih untuk tetap berada di state awal.
• Misalkan G bergerak pertama, maka proses berlawanan arah dengan
jarum jam dari (4,1) kembali ke (4,1) adalah sebagai berikut:
G R G R G
)1,4(|)4,3()3,2()2,1()1,4( →→→→
Berdasarkan aturan TOM, G ingin menuju ke (3,4) oleh karena itu G lebih
memilih untuk bergerak.
Jadi jika permainan dimulai dari state (4,1) maka akan terjadi konflik. R
memilih untuk diam di (4,1) sedangkan G menginginkan bergerak ke (3,4).
Karena pergerakan G maka G mendapatkan prioritas yang lebih (aturan ke-6
TOM), sehingga outcome adalah hasil yang diinginkan oleh G yaitu (3,4).
Dengan cara yang sama seperti prosedur di atas, jika permainan berawal dari
(1,2) maka kedua pemain memilih untuk bergerak dan dihasilkan outcome
pada state (3,4). Begitu pula jika permainan dimulai dari state (2,3) maka
kedua pemain juga akan memilih untuk bergerak dan outcome yang
dihasilkan adalah state (3,4).
Dari semua hasil yang di dapat dari matrik payoff konflik Papua yaitu (3,4)
sebagai satu-satunya Non Myopic equilibrium, dapat dilihat bahwa penyelesaian
terbaik dari konflik Papua adalah pada state (3,4) atau otonomi khusus. Untuk
22
mencapai titik kesetimbangan ini, maka kedua pihak yang terlibat konflik harus
mengedepankan sikap kompromi.
Dari pihak Indonesia harus dikedepankan strategi dialog dan menerapkan otonomi
khusus bagi Papua seperti yang tertuang dalam UU No 21 tahun 2001, serta
menunda kebijakan untuk memekarkan Propinsi Papua, karena hal itu akan
kembali menghilangkan kepercayaan dari masyarakat Papua. Sebaliknya dari
gerakan separatis harus menghentikan perlawanan bersenjata dan aktivitas
aktivitas yang dapat mengganggu keamanan dan memprovokasi TNI melakukan
operasi keamanan.
4.3 Simulasi Konflik Papua dengan Pendekatan TOM Learners.
Dalam kondisi real, tidak semua pemain yang terlibat dalam konflik mempunyai
informasi lengkap tentang strategi lawan. Untuk itulah dipakai pendekatan TOM
Learners. Untuk melihat konflik Papua dengan matriks payoff seperti pada
Gambar 4 dapat dilakukan simulasi sehingga bisa dilihat prediksi konflik
beberapa waktu ke depan.
Asumsikan peran utama penyelesaian konflik terletak pada Pemerintah Indonesia
dengan tidak ada informasi tentang strategi lawan. Maka akan dihasilkan outcome
seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini:
Dalam simulasi ini akan dilakukan iterasi sebanyak 100 kali dengan pengambilan
random pada state awal.
Simulasi pertama:
23
0
1
2
3
4
0 20 40 60 80 100 120
no iterasi
nila
i util
itas
Gambar 5 Simulasi 1 untuk payoff Pemerintah RI
Simulasi kedua:
0
1
2
3
4
0 20 40 60 80 100 120
no iterasi
nila
i util
itas
Gambar 6 Simulasi 2 untuk payoff Pemerintah RI
24
Simulasi ketiga:
0
1
2
3
4
0 20 40 60 80 100 120
no iterasi
nilia
i uiti
litas
Gambar 7 Simulasi 3 untuk payoff Pemerintah RI
Dari ketiga hasil simulasi ini dapat dilihat bahwa konflik Papua yang dilihat dari
perspektif strategi Indonesia akan selalu mempunyai outcome dengan nilai utilitas
4 atau 3. Dengan kata lain penyelesaian konflik pada state (3,4) atau (2,3). Hasil
simulasi ini tidak berbeda jauh dengan hasil dari TOM, hasil optimal dari matriks
payoff adalah state dengan nilai utilitas (3,4).
Dari ketiga plot dari simulasi konflik Papua dilihat dari perspektif strategi
Indonesia bahwa penyelesaian konflik Papua adalah dengan pelaksanaan otonomi
khusus dengan seideal-idealnya (outcome (_,4)). Strategi berikutnya yang dapat
diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan operasi penumpasan
gerakan separatis dengan melemahkan kekuatan perlawanan mereka sehingga
dengan sendirinya gerakan ini menyerah (outcome (_,3)).
25
Simulasi dengan nilai payoff random
Simulasi 1
0
1
2
3
4
0 20 40 60 80 100 120
no iterasi
nila
i pay
off
Gambar 8 Simulasi 1 untuk payoff random
Simulasi 2
0
1
2
3
4
0 20 40 60 80 100 120
no of iterasi
nila
i pay
off
Series1
Gambar 9 Simulasi 2 untuk payoff random
Dari simulasi diatas dapat dilihat, jika semua nilai payoff diambil random untuk
semua state maka akan dihasilkan penyelesaian konflik akan tetap dominan ke
nilai payoff 3 dan 4. Walaupun dalam beberapa iterasi games akan menuju ke nilai
2 tetapi tidak terlalu dominan.