BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum 1.1.1...
Transcript of BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum 1.1.1...
33
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
1.1.1 Sejarah Singkat Pembentukan Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Kabupaten Bone Bolango
Kabupaten Bone Bolango terbentuk sejak Tahun 2003
memalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Pohuwato
di Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4269). Seiring dengan terbentuknya Kabupaten
Bone Bolango maka Dinas Kehutanan dan Pertambangan mulai
dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor 2
Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas-dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone
Bolango.
Dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan perangkat daerah pada tahun 2005 sebagai daerah
pemekaran dan telah menetapkan Bupati Devenitif maka Dinas
Kehutanan dan Pertambangan berubah nama menjadi Kerja Dinas
Kehutanan, Pertambangan dan Energi melalui Peraturan Daerah
Kabupaten Bone bolango Nomor 5 tahun 2005 Tentang
34
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kehutanan,
Pertambangan dan Energi Kabupaten Bone Bolango.
Pada tahun 2006 Bidang Kehutanan dan Bidang
Pertambangan dipisahkan menjadi masing-masing bidang. Pada
bidang Kehutanan menjadi Dinas Kehutanan dan Lingkungan
Hidup dan membentuk satu bidang tambahan yaitu bidang
Lingkungan Hidup. Pada bidang Pertambangan Menjadi Dinas
Pertambangan dan Energi membentuk satu bidang tambahan yaitu
Bidang Energi. Pembentukan dinas, masing-masing dinas tersebut
melalui Peraturan Daerah Tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Kehutanan Dan Lingkungan Hidup Kabupaten
Bone Bolango, serta bidang pertambangan menjadi dinas
Pertambangan dan Energi, pada tahun 2007 Bidang Lingkungan
Hidup membentuk Badan Tersendiri yaitu Badan Lingkungan
Hidup dan tata Kota.
Pada tahun 2006 sampai dengan 2010 dinas pertambangan
dan energi di pimpin langsung oleh kepala dinas yaitu Ir. Asy’ari
Hasiru yang memiliki jumlah pegawai tetap 19 orang dan tenaga
honorer 46 orang.
Di tahun 2010 tesebut Dinas Kehutanan dan Dinas
Pertambangan dan energi digabung kembali menjadi Dinas
Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango melalui
Perda Peraturan Daerah Kabupten Bone bolango Nomor tahun
35
2010 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango. Pada
saat itu juga dinas kehutanan dan pertambangan mengalami
pergantian kepemimpinan sampai dengan sekarang yang awalnya
di pimpin oleh bapak Ir. Asy’ali Hasiru di gantikan oleh bapak Ir.
Sulistjono Dalman dan memiliki jumlah pegawai tetap 51 orang
dan tenaga honorer 54 orang.
36
KEPALA DINAS
Ir. SULISTJONO DALMAN
Nip. 19591210 198903 1 009 SEKRETARIS
JUMAIDIL,Ap,S.Sos,M,Ec,Dev
Nip. 19741018 199311 1 002
Sub Bagian
Umum & Kepegawaian
SOFYAN MARALI, S.Pd. M.Pd
NIP. 19630315 198703 1 016
Sub Bagian
Keuangan
HELTY S. ABAY, SE
Nip. 19730706 200604 2
004
Sub Bagian
Perencanaan Program,
Evaluasi & Pelaporan
RULI LASULIKA, SE
19690709 200604 1 013
Kabid. Perlindungan, Pengawasan
Hutan dan Konservasi Alam
ABD. RAHMAN MOHAMAD, S.Hut
Nip. 19620929 198601 1 004
Kabid. Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial
HIDAYAT, S.Hut
NIP. 19620806 198903 1 014
Kabid. Pertambangan
HAIRIL, S.Hut, MM
Nip. 19680925 200501 1 006
Kabid Energi
ANAS PAUDI, S.Pd. M.Ap
NIP. 19701215 199703 1 010
Kasie
Perlindungan
Hutan
Kasie
Pengawasan
Hutan
Kasie
Konservasi
Alam
Kasie
Rehabilitasi
Lahan
Kasie
Perhutanan
Sosial
Kasie
Bina Usaha
Produksi Kehutanan
YENNI RAHMAWATI,
Kasie
Pengemb.
Pengusahaan
Tenaga Listrik
& Energi
KAMAL HASAN, se
Kasie
Pengawasan &
Pengendalian
Energi
Kasie
Pemanfaatan
Energi &
Listrik
Abd. Rahmat
Kobisi, ST, M.Ap
Kasie
Pelayanan &
Bimbingan
Pertambangan
Kasie
Pemetaan &
Eksploitasi
Kasie
Pengawasan
Pertambangan
4.1.2 Struktur Organisasi Dinas Pertambangan
STRUKTUR ORGANISASI
DINAS KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN BONE BOLANGO
37
4.2 Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap pembajakan Tambang
Pasir
Penegakan hukum lingkungan yang cukup mendapat perhatian
kelompok masyarakat tertentu yaitu masalah pencemaran yang di
lakukan oleh perusahaan industri, mengingat limbah-limbah banyak
mengalir sebagai hasil kegiatannya.1
Dalam penegakan hukum lingkungan telah di atur segala bentuk
pelanggaran maupun kejahatan, bagi pelaku baik yang di lakukan oleh
perorangan maupun badan dengan upaya pencegahan (preventif) maupun
penindakannya (represif). Untuk tindakan respresif ini ada beberapa jenis
instrument yang dapat di tetapkan dan penerapannya tergantung dari
keperluannya, sebagai pertimbangan antara lain melihat dampak yang di
timbulkannya.2
Seperti yang di katakan oleh Moh. Ahmad selaku anggota
kepolisian Reskrim Polres Bone Bolango yaitu dalam hal penegakan
hukum tetap di lakukan, secara hal tersebut di larang oleh Undang-
undang dan peraturan yang ada, akan tetapi lebih mengutamakan
pencegahan terhadap kegiatan dari penggalian pasir tersebut.3
Yahya Boudeso mengatakan bahwa peranan pihak kepolisian
dalam penegakan hukum terhadap penggalian tambang pasir yaitu ketika
adanya laporan dari masyarakat yang di duga tindak pidana dan di
1 Joko Subagio, Hukum Lingkungan Masalah Dan Penaggulangannya, Jakarta, Rineka Cipta,
1999, hlm 85. 2 Ibid, hlm 81.
3 Moh. Ahmad, Kanit 1 Reskrim Polres Bone Bolango, wawancara, 19 Desember 2013
38
temukan langsung oleh petugas maka pihak kepolisian Polres Bone
Bolango melakukan penegakan hukum di bidang pertambangan yang
dalam hal ini di proses sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum
yang berlaku.4
Dari hasil wawancara di atas bahwa eksistensi kepolisian Reskrim
Polres Bone Bolango dalam penerapan sanksi terhadap penggalian pasir
yang terjadi di Desa Tanah Putih, Kecamatan Botupingge, Kabupaten
Bone Bolango sangatlah di butuhkan oleh dinas terkait yang menangani
masalah pertambangan dalam hal ini Dinas Pertambangan. Akan tetapi
pada dasarnya penerapan sanksi oleh Dinas Pertambangan belum
maksimal, ini dikarenakan tidak adanya laporan dari Dinas Pertambangan
ke pihak kepolisian yang seharusnya menangani kasus penggalian pasir
secara ilegal tersebut. Dinas Pertambangan itu sendiri berpendapat dalam
hal ini yang di katakan oleh Farhan sebagai Kepala Seksi Perizinan yakni
penerapan sanksi terhadap para penggali pasir tidak di lakukan karena
hanya itulah mata pencaharian mereka.5
Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrument hukum
administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar
hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan
kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh Karena itu,
fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi
dari hukum pidana adalah orangnya (dader, offender). Selain itu, sanksi 4 Yahya Boudeso, Kanit Reskrim Perlindungan Perempuan dan Anak, wawancara, 19 Desember
2013 5 Farhan,kepala seksi perizinan, wawancara, 2 Oktober 2013
39
hukum pidana tidak hanya di tujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada
mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar).6
Dalam instrument penegakkan hukum administrasi terhadap
hukum lingkungan hidup, menurut Philipus M. Hadjon7 terdiri dari 4 hal
pokok, keempatnya berkaitan dengan penggunaan wewenang penegakan
hukum administrasi, yaitu :
1. Legitimasi adalah persoalan kewenangan, yaitu wewenang
pengawasan dan wewenang menerapkan sanksi.
2. Instrumen yuridis adalah jenis-jenis sanksi administrasi dan
prosedur menerapkan sanksi.
3. Norma hukum administrasi.
Wewenang menerapkan sanksi administrasi pada dasarnya
merupakan suatu discretionary power.
4. Kumulasi sanksi :
a. Kumulasi eksternal : sanksi administrasi di terapkan
bersama-sama sanksi lain, seperti sanksi pidana maupun
sanksi perdata.
b. Kumulasi internal : dua atau lebih sanksi administrasi dapat
di terapkan secara bersama-sama.
Dari penjelasan di atas, maka peneliti menganalisis bahwa
permasalahan dan penegakkan hukum lingkungan bukan hanya bisa di
terapkan pada tatanan masyarakat tapi perhatian dari pemerintah
6 Supriadi, Op.Cit, hlm 270.
7 Philipus M. Hadjon, dalam bukunya Supriadi, ibid, hlm. 273-274
40
setempat harus mengambil andil dalam masalah tesebut. Mekanisme
penegakan hukum dalam permasalahan lingkungan hidup merupakan
masalah pemerintah dan masyarakat, namun perlu disadari tidak semua
hal yang berkaitan dengan jenis pencemaran atau pengrusakan
lingkungan telah terjadi permasalahan seperti Galian C khususnya
tambang pasir yang terletak di desa Tanah Putih, Kecamatan Botupingge,
Kabupaten Bone Bolango sangat mengkhawatirkan. Hal ini di lihat dari
banyaknya para penggali illegal yang dengan leluasanya terus melakukan
aktifitasnya, sehingga berdasarkan observasi awal peneliti mendapat
respon yang merupakan salah satu penambang galian pasir tersebut.
Hasiru8 berpendapat bahwa tanah disekitar kanal talumolo mengalami
penurunan yang sangat signifikan yaitu 8 cm dalam kurun waktu kurang
lebih Sembilan tahun, sehingganya diperlukan perhatian yang lebih
khusus dalam rangka menanggulangi terjadinya bencana runtuhnya
jembatan talumolo dua.
Berdasarkan hasil wawancara yang di lakukan oleh peneliti tentang
galian pasir itu sendiri, tedapat beberapa pendapat tentang galian C itu
sendiri antara lain:
Meni S. Doda 9, beliau mengemukakan bahwa galian C adalah
pengambilan endapan berupa batuan atau pasir yang ada di sungai
maupun d kawasan pegunungan.
8 Hasiru, penambang, wawancara, 23 September 2013
9 Meni S Doda, kepala seksi pengawasan, Wawancara 12 September 2013
41
Hairil10
berpendapat bahwa galian C adalah pengelompokkan
kegiatan pemanfaatan mineral yang saat ini di kelompokkan ke golongan
komoditas tambang batuan seperti pasir, batu, kerikil, dan lain-lain.
Sofyan Marali11
berpendapat bahwa galian C adalah bahan batuan
bukan logam.
Ratna Gani12
berpendapat bahwa galian C adalah bahan mineral
batuan non logam atau selain golongan A dan B, sebagai bahan tambang
yang biasanya di gunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Dari hasil wawancara tersebut, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa galian C merupakan salah satu bahan bukan non logam yang di
lakukan dengan cara pengambilan endapan berupa batuan atau pasir yang
ada di sungai maupun di kawasan pegunungan dan di gunakan untuk
pembangunan infrastruktur. Akan tetapi hal ini di perlukan perhatian dari
pemerintah setempat untuk menanggulangi terjadinya bencana tersebut,
seperti yang sudah di atur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan.
Dari hasil penelitian tersebut, peneliti mendapatkan responden dari
instansi pemerintahan yang mengomentari hal tersebut dalam hal ini
Kepala Seksi Perizinan yaitu Ibu Farhan13
yang berpendapat tentang
galian pasir tersebut terkait dengan kesesuaian antara literatur yang ada
di dalam Undang-undang dalam hal ini Surat Izin Mengelola dengan
10
Hairil, Kabid Pertambangan, Wawancara 10 September 2013 11
Sofyan Marali, Kasubag Umum dan Kepegawaian, wawancara, 10 september 2013 12
Ratna Gani, Staf Dinas Pertambangan, Wawancara, 10 September 2013 13
Farhan, Kepala Seksi Perizinan, 2 Oktober 2013
42
kegiatan penambangan tersebut. Beliau mengemukakan bahwa kegiatan
penambangan yang di lakukan oleh penambang saat ini tidak memiliki
Surat Izin Mengelola, yang ada hanyalah Surat Keterangan Mengelola
Sementara yang fungsinya agar kegiatan dari para penggali pasir tersebut
bisa di kontrol. Sedangkan pengurusan surat izin tersebut, yang
seharusnya tugas dari Dinas Pertambangan, karena adanya perubahan
maka dalam pengurusan surat izin tersebut itu adalah tugas dari Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) dan Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu pun mengeluarka Izin Usaha Pertambangan. Tetapi dalam
pengurusan surat izin tersebut, para penambang seharusnya melewati
prosedur yang sudah di tentukan oleh pemerintah Kabupaten Bone
Bolango. Prosedur yang di maksud tersebut yakni harus melalui instansi-
instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH) dalam hal ini
yang menangani lingkungan hidup itu sendiri, Dinas Pekerjaan Umum
yang mengelola hasil dari penggalian pasir tersebut, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) yang menangani tentang tata
ruangnya, dan Dinas Pertambangan itu sendiri mengenai ada atau
tidaknya potensi terhadap galian pasir. Akan tetapi pemerintah kabupaten
melihat adanya kesulitan di dalam pengurusan izin tersebut. Oleh karena
itu pemerintah kabupaten Bone Bolango mengarahkan langsung ke
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) dan Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu (KPPT) itu sendiri yang mengeluarkan izinnya, tetapi
43
dalam Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) tersebut pasti ada
birokrasi-birokrasi yang harus di lalui.
Adapun prosedur izin pertambangan telah tersebut yaitu sebagai
berikut:
a) Surat Izin Pertambangan Daerah.
Pengusahaan pertambangan bahan galian golongan C termasuk
bahan galian industri hanya di laksankan setelah mendapat izin
dari yang berwenang. Jenis-jenis SIPD adalah : Eksplorasi,
eksploitasi, SIPD pengelolaan/pemurnian, penjualan, dan
pengangkutan. SIPD dapat di berikan kepada : perusahaan
daerah, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, perorangan,
perusahaan dengan modal milik bersama antara negara/
BUMN dengan Pemda TK 1 dan atau Pemda TK II atau
perusahaan Daerah, perusahaan dengan modal bersama antara
BUMN dan atau Pemda TK I/II/Pd dengan koperasi, badan
hukum swasta dan peorangan.14
b) Persyaratan Permohonan Surat Izin Pertambangan Daerah
(SIPD).
1) Mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur dengan
melampirkan Rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat
dimana penambangan akan di laksankan dan memberikan
peta lokasi Dimana penambangan akan di laksanakan;
14
Sukandarrumidi, Op. Cit, hlm 13.
44
2) Apabila persyaratan tersebut telah di penuhi, setelah
mempertimbangkan aspek-aspek tata guna tanah, hah-hak
atas tanah dan jaminan hukumnya di keluarkan izin prinsip
oleh Gubernur atau pejabat lain yang di tunjuk olehnya;
3) Oleh pemohon izin prinsip dan surat permohonan di
sampaikan kepada dinas pendapatan sekaligus membayar
iuran tetap dan iuran produksi sebesar 25% dari perkiraan
produksi setahun sebagai bayaran muka;
4) Berdasarkan bukti pembayaran dari Dinas pendapatan, oleh
pemohon di bawa kembali ke biro PPD untuk di teruskan ke
Gubernur sebagai bahan pertimbangan pengeluaran SIPD.
c) Prosedur Permohonan SIPD
1) Permohonan SIPD di ajukan kepada gubernur KDH tingkat
1wilayah pengusahaan pertambangan dalam bentuk SIPD
maksimal 5 hektar/SIPD;
2) SIPD dengan luas melebihi 25 hektar hanya dapat di
berikan oleh Gubernur tingkat 1. Setelah mendapatkan
persetujuan dari menteri pertambangan dan energi Direktur
DJPU,maksimal 1000 hektar untuk 1 jenis bahan galian;
3) Pemberian SIPD dengan luas maksimal 25.000 meter
persegi untuk pasir dan kerikil, 50.000 meter persegi untuk
batu gunung, koral, batu kali dan granit, 1.000 meter
45
persegi untuk tanah liat dapat di berikan oleh
bupati/walikota;
4) Masa berlakunya SIPD maksimal 10 tahun dan dapat di
perpanjang maksimal 2 kali dan setiap kali perpanjangan,
izin usaha berlaku untuk jangka waktu 3 tahun.
d) Tarif tetap SIPD bahan galian Golongan C
1) SIPD Eksplorasi Rp2.500,00 – 1 hektar/tahun
2) SIPD Eksplorsi Rp5.000,00 – 1 hektar/tahun. 15
Dalam proses kegiatan penggalian pasir tersebut Bapak Yusuf16
sebagai Kepala seksi Eksplorasi Dinas Pertambangan berpendapat bahwa
para penggali pasir yang ada di desa Tanah Putih tersebut secara
keseluruhan tidak terdaftar atau illegal, yang ada hanyalah sementara
diproses surat izin mereka. Akan tetapi ada dan tidak adanya izin, pada
saat mereka mendapatkan hasil dari galian pasir tersebut mereka harus
membayar pajak. Dan pajak tersebut di pungut berdasarkan banyaknya
pasir yang di angkut (per kubik). Namun bukan berarti sudah membayar
pajak itu sudah menjadi penambang resmi karena masih ada prosedur
yang harus di lakukan seperti yang di katakan oleh Ibu Farhan.
Saiful,17
berpendapat bahwa kegiatan pertambangan yang di
lakukan oleh masyarakat penambang tidak memiliki izin, tapi pada
dasarnya Dinas Pertambangan melakukan observasi di lokasi penggalian
pasir mereka tetap memungut pajak. Selain itu beliau mengatakan bahwa 15
Sukandarrumidi, ibid, hlm 13 dan 15. 16
Yusuf, Kepala seksi Eksplorasi, 2 Oktober 2013 17
Saiful, Pengusaha tambang pasir, wawancara, 11 november 2013
46
beliau telah mengurus Surat Izin Pertambangan dan telah mengeluarkan
biaya yang cukup besar, namun durasi untuk mengeluarkan Surat Izin
Pertambangan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama,
sedangkan kegiatan pertambangan tersebut sudah berlangsung. Hal yang
sama di utarakan oleh Mohamad Asmuni,18
bahwa pemberitahuan kepada
pihak pemerintah bahwa mereka telah melakukan kegiatan penggalian
pasir, akan tetapi pihak pemerintah tidak memberikan izin di karenakan
lokasi pertambangan yang tidak memungkinkan dalam hal ini lokasi
penggalian pasir tersebut rawan dengan bencana tanah longsor, ini di
buktikan dengan runtuhnya tanggul dan pemukiman di sekitar lokasi
penggalian pasir tersebut.
Dari hasil wawancara di atas peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa para penambang yang melakukan kegiatan penggalian pasir
berusaha untuk mengurus Surat Izin Pertambangan, tapi karena adanya
prosedur yang membutuhkan waktu lama sehingga para penambang
merasa bahwa dalam mengurus izin sangat sulit, sehingganya para
penambang tidak melanjut pengurusan izin tersebut, akan tetapi tanpa
adanya izin Dinas Pertambangan tetap memungut pajak kepada para
penambang. Itu berarti, tanpa di sadari mereka telah menyetujui kegiatan
penggalian pasir tersebut. Tidak adanya upaya preventif dan represif dari
instansi terkait dalam hal ini Dinas Pertambangan, berarti kegiatan
penggalian pasir tersebut mengalami masalah yang signifikan, karena
18
Mohammad Asmuni, penambang sekaligus supir pengangkut hasil galian pasir, wawancara, 11 november 2013
47
permasalahan tersebut di atur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan. Dalam Undang-undang tersebut di jelaskan
sanksi administratif bagi para pelanggar yang di cantumkan dalam
Undang-undang Pertambangan19
yaitu:
Pasal 151 ayat (1)
” Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada
pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43,
Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81
ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal
99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat
(4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal
112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3),
Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130
ayat (2).”
ayat (2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau
operasi produksi; dan/atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Dan sanksi pidana yang di cantumkan pada Pasal 158 yaitu:
” Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP,
IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3),
Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Penegakkan hukum terhadap tambang pasir di Kabupaten Bone
Bolango, di Kecamatan Botupingge, Desa Tanah Putih belum
mendapatkan aturan hukum yang lebih terfokus. Ini di karenakan
19
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan
48
banyaknya penambang illegal yang terus menambang tanpa ada teguran
ataupun sanksi dari pemerintah setempat. Tidak adanya upaya preventif
yang di lakukan oleh pihak pemerintah desa setempat secara optimal di
karenakan adanya faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan
kegiatan penggalian pasir tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang di lakukan oleh peneliti di
Dinas Pertambangan, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
penggalian pasir di Desa Tanah Putih tersebut, antara lain:
Seperti yang di katakan oleh Meni S. Doda,20
penyebab masyarakat
melakukan pembajakan galian pasir adalah dimana keterlambatan
pelayanan dan birokrasinya terlalu panjang. Disini peneliti mendapatkan
satu analisis bahwa faktor kedua mereka melakukan pembajakan galian
pasir yaitu ketelambatan pelayanan, pada halnya para penggali pasir
tersebut sudah mengurus izin pertambangan.
Moh. Yusuf Komendangi21
berpendapat bahwa faktornya yaitu
sumber daya mineral yang melimpah, dan permintaan bahan mineral dan
batuan yang banyak.
Lain halnya yang di kemukakan oleh Sofyan Marali22
bahwa faktor
yang menyebabkan penggalian pasir tersebut antara lain tidak paham
tentang aturan.
Adapun hasil wawancara, peneliti mendapatkan responden dari
aparat desa Tanah Putih. Mereka mengatakan adapun faktor-faktor yang 20
Meni S. Doda, Ibid 21
Moh. Yusuf Komendang, Ibid 22
Sofyan Marali, Ibid
49
menyebabkan masyarakat melakukan pembajakan Galian pasir di desa
Tanah Putih antara lain:
Rahima Yusuf,23
mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan
masyarakat melakukuan pembajakan galian pasir yaitu seperti kurangnya
lapangan pekerjaan dan faktor utamanya yaitu faktor ekonomi (untuk
menafkahi keluarga).
Lily M. Salim,24
mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan
masyarakat melakukan pembajakan galian pasir yaitu minimnya kualitas
sumber daya manusia dan kurangnya kesadaran dari masyarakat.
Warda Sunati,25
berpendapat bahwa faktor yang menyebabkan
masyarakat melakukan pembajakan galian pasir yaitu tidak adanya izin
dari pemerintah.
Selain wawancara dari aparat desa setempat, peneliti melakukan
wawancara terhadap beberapa penambang di sekitar desa Tanah Putih
yang melakukan kagiatan penggalian pasir.
Dari hasil wawancara tersebut, peneliti mendapatkan beberapa
asumsi dari penambang antara lain:
Saiful26
berpendapat bahwa faktor yang menyebabkan kegiatan
galian pasir yaitu sebagai sebagai bisnis kerja sama dengan Dinas
Pekerjaan Umum.
23
Rahima Yusuf, Kaur Umum, wawancara, 11 november 2013 24
Lily M. Saleh, Kepala Dusun, wawancara, 11 november 2013 25
Warda Sunati, Kadus lll, wawancara, 11 november 2013 26
saiful, ibid
50
Mohamad Aswin,27
berpendapat bahwa kegiatan penggalian pasir
dilakukan karena tuntutan hidup serta tidak adanya lapangan kerja.
Dari penjelasan di atas, peneliti menarik beberapa sampel bahwa
faktor-faktor terjadinya pembajakan galian C yaitu antara lain:
1) Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor utama mereka melakukan
penggalian pasir secara illegal. Ini di karenakan kuarangnya
pendapatan dari masyaraka, sehingga mereka melakukan
penggalian pasir secara illegal untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
2) Karena pemerintah tidak menyediakan lapangan kerja
Tidak adanya lapangan kerja merupakan faktor kedua mereka
melakukan penggalian pasir secara illegal. Karena hal tersebut
otomatis masyarakat di sekitar menjadikan pasir sebagai mata
pencaharian mereka.
3) Minimnya kualitas sumber daya manusia
Minimnya kualitas sumber daya manusia adalah faktor
pendukung mereka melakukan penggalian pasir tersebut. Ini di
sebabkan oleh masyarakat di Desa Tanah Putih yang kurang
berpendidikan di karenakan faktor ekonomi yang melemah.
4) Kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melestarikan
lingkungan.
27
Mohamad Asmuni, ibid
51
Keterdesakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya,
menjadikan manusia semakin gencar melakukan pemanfaatan
(eksploitasi) yang berlebihan terhadap lingkungan. Kondisi
seperti ini terjadi di Kabupaten Bone Bolango di Kecamatan
Botupingge, Desa Tanah Putih merupakan desa yang paling
berpotensi yang kaya akan pasir dieksploitasi sumber daya
alamnya untuk diambil pasirnya. Pasir yang ada di Kecamatan
Botupingge Desa Tanah Putih dapat menarik banyak orang.
5) Tidak adanya izin dari pemerintah
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) “Bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara
dan di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Aturan ini merupakan landasan utama untuk mereka yang
melakukan penggalian pasir secara illegal. Namun, karena tidak adanya
pemahaman masyarakat sehingga mereka tetap melakukan penggalian
pasir tersebut. Hal ini merupakan tugas utama dari pemerintah untuk
menerapkan aturan tersebut, akan tetapi karena kurang perhatian
pemerintah terhadap aset daerah sehingga masyarakat memanfaatkan aset
tersebut untuk kepentingan pribadi mereka.
Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian terakhir dari
siklus pengaturan lingkungan (regulatory chain). Penegakan hukum
lingkungaan itu sendiri merupakan mata rantai terakhir dalam siklus
pengaturan, perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya
sebagai berikut:
52
a. Perundang-undangan
b. Penentuan standar
c. Pemberian izin
d. Penerapan
e. Penegakan hukum
Apabila dalam praktiknya ternyata dalam mata rantai ada
kelemahan termasuk Perundang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Ternyata disini bahwa hukum lingkungan termasuk hukum modern,
sangat rumit, bersegi banyak, mulai dari hukum perdata terutama
mengenai perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 BW) dan hukum
kontrak, hukum tata negara tentang organisasi badan-badan negara dan
wewenang dalam menerapkan serta menegakan hukum lingkungan,
hukum administrasi negara terutama tentang perizinan dan
pengawasannya, hukum pidana dalam memaksakan di taatinya hukum
lingkungan itu, bahkan hukum pajak karena bagaimanapun juga
pelanggaran terhadap hukum lingkungan mempunyai segi atau motif
ekonomi, yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dan biaya yang
seringan-ringannya, kalau perlu tidak mengeluarkan biaya untuk
pencegahan dan pencemaran.28
4.3 Dampak yang di timbulkan akibat pembajakan galian pasir di Desa
TanahPutih, Kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango
28
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm 52-53
53
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.29
Lingkungan sebagai sumber daya merupakan aset yang dapat
diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa, bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya di
pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, menurut Otto Soemarwoto30
, sumber daya
lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas.
Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya
regenerasi atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat di gunakan
secara lestari.
Otto Soemarwoto 31
, mengatakan bahwa sumber daya lingkungan
milik umum sering dapat digunakan untuk bermacam peruntukan
mengurangi manfaat yang dapat di ambil dari peruntukan lain sumber
daya yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus
untuk melakukan proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah,
pelayanan sungai, produksi ikan, dan keperluan rumah tangga.
29
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 30
Otto Soemarwoto, dalam bukunya Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 4. 31
Supriadi. Ibid, hlm 4.
54
Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan lingkungan hidup, dari
perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus
memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup,
baik fisik maupun non fisik, termasuk sosial budaya, guna di jadikan
pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu di buat analisis
mengenai dampak lingkungan.32
Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan hasil studi
mengenai dampak suatu kegiatan yang di rencanakan terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.33
Menurut Munn,34
pakar AMDAL dari kanada memberikan definisi
bahwa AMDAL adalah suatu kegiatan yang di lakukan untuk
mengidentifikasi, memprediksi, menginterpretasi dan
mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan itu pada
lingkungan.
Lingkungan mulai diubah agar sesuai dengan kebutuhan manusia.
Bahkan, pada saat ini akibat keterdesakan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya, menjadikan manusia semakin gencar melakukan
pemanfaatan (eksploitasi) yang berlebihan terhadap lingkungan. Seperti
yang terjadi di Desa Tanah Putih, Kecamatan Botupingge, Kabupaten
Bone Bolango. Kegiatan ekploitasi dalam hal ini penggalian pasir yang di
32
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan (dalam sistem kebijaksanaan pembangunan lingkungan hidup), Bandung, Refika Aditama, 2009, hlm 79. 33
Muhamad Erwin, ibid, hlm 44. 34
Munn, dalam bukunya N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan,Jakarta,Pancuran Alam Jakarta, 2009, hlm 190.
55
lakukan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan mereka
tanpa memikirkan dampak yang timbul dan menerpa mereka.
Penggalian pasir secara illegal merupakan suatu kegiatan yang
tidak dapat di benarkan secara institusi ataupun secara personal dalam
prakteknya haruslah mendapatkan suatu ganjaran ataupun hukuman yang
diharapkan dapat menanggulangi banyaknya kasus penggalian pasir
secara illegal tersebut. Hal itu di sebabkan kegiatan penggalian pasir
tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah setempat.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh peneliti mengenai
dampak yang di timbulkan akibat pembajakan galian pasir di Desa
Tanah Putih, Kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango
Peneliti mendapatkan responden dari berbagai kalangan antara lain
dari Dinas Pertambangan itu sendiri, kemudian dari aparat desa dan
masyarakat penambang, yang sedang melakukan kegiatan penggalian
pasir tersebut. Namun dari hasil wawancara tersebut peneliti menemukan
beberapa pendapat yang bertolak belakang. khususnya dari masyarakat
penambang itu sendiri. Adapun pendapat tersebut antara lain:
Hasiru35
berpendapat sejak lama mereka melakukan penggalian
pasir dan sejak dibangunnya jembatan Talumolo Dua hingga sekarang
jembatan tersebut telah mengalami perubahan konstruksi bangunan
dalam hal ini mengalami turunnya ketinggian jembatan. Selain
mengalami penurunan ketinggian, kondisi dari jembatan talumolo dua
35
Hasiru, Penambang, Wawancara, 23 September 2013
56
bisa di katakan telah mengalami beberapa kerusakan akibat dari para
penggali-penggali pasir tersebut seperti goyangnya jembatan pada saat di
lewati oleh mobil truk yang berkapasitas melebihi muatan.
Nino,36
berpendapat bahwa dampak yang di timbulkan dari galian
pasir tersebut seperti rusaknya lahan dan perkebunan dari masyarakat
sekitar dan runtuhnya tanggul yang ada di sekitar sungai, sedangkan
fungsi dari tanggul tersebut untuk menahan jika air sungai meluap yang
akan mengakibatkan banjir bandang.
Anto,37
berasumsi bahwa dampak yang di timbulkan akibat
penggalian tersebut yaitu turunnya ketinggian jembatan kurang lebih 8
cm serta goyangnya jembatan di bagian tengah ketika di lewati oleh truk.
Selain itu, surutnya air sungai dan terpecahnya daerah aliran sungai
menjadi beberapa bagian akibat tertimbun oleh tanah pada saat mereka
melakukan penggalian.
Dari hasil wawancara di atas, ada yang berpendapat bahwa mereka
melakukan penggalian justru mendapatkan dampak positif seperti yang di
katakan oleh :
Mohammad Asmuni,38
mengatakan bahwa dampak yang di
timbulkan dari galian pasir tersebut justru berdampak positif, seperti
terjadinya abrasi yaitu melebarnya sungai sehingga kemungkinan untuk
terjadinya banjir berkurang.
36
nino, Penambang, wawancara tanggal 11 november 2013 37
Anto, Ibid 38
mohamad asmuni, ibid
57
Saipul39
mengatakan bahwa kegiatan penggalian pasir yang di
lakukan justru berdampak positif bagi pemerintah, ini di lihat dari fungsi
dari galian pasir tersebut, seperti menormalisasi dan menetralisir sungai.
Meskipun mereka mengeluarkan pendapat positif dan pendapat
negatif dalam hal akibat dari penggalian tersebut, hal tersebut tidak bisa
di pungkiri bahwa kegiatan yang mereka lakukan bertentangan dengan
aturan yang berlaku di daerahnya.
Setelah peneliti melakukan wawancara dari penambang, peneliti
kemudian melakukan wawancara ke aparat desa dan peneliti
mendapatkan beberapa responden antara lain:
Marni Aswin,40
berpendapat bahwa dampak yang di sebabkan oleh
kegiatan penggalian pasir yaitu terjadinya erosi.
Rahima Yusuf,41
mengatakan bahwa dampak yang di timbulkan
dari penggalian pasir tersebut berdampak pada masyarakat berupa tanah
longsor.
Warda Sunarti,42
mengatakan bahwa dampak yang di timbulkan
dari penggalian pasir yaitu sangat merugikan masyarakat desa Tanah
Putih, seperti rusaknya lahan perkebunan masyarakat.
Asna Rajak,43
mengatakan bahwa dampak yang di timbulkan dari
penggalian paisr yaitu akibat penggalian pasir yaitu terjadi terjadinya
erosi ketika hujan yang bisa menimbulkan banjir di sekitar lokasi
39
saipul, ibid 40
Marni aswin, Ibid 41
Rahima Yusuf, Ibid 42
Warda Sunarti, Ibid 43
Asna Rajak, Ibid
58
penggalian pasir. Selain itu akibat dari penggalian pasir tersebut
menurunnya ekonomi masyarakat.
Selain melakukan wawancara dengan penambang dan aparat desa,
penelitipun melakukan wawancara dengan Dinas Pertambangan. Adapun
hasil wawancara tersebut antara lain:
Meni S, Doda,44
berpendapat bahwa sampai saat ini penggalian
pasir tersebut belum minimbulkan bencana karena masih sesuai dengan
standar kebutuhan. Namun resiko untuk terjadinya bencana sangat besar
jika kegiatan penggalian pasir tersebut tidak di berhentikan.
Sofyan Marali,45
berpendapat bahwa dampak yang di timbulkan
akibat pembajakan galian pasir tersebut yaitu terjadinya erosi dan
rusaknya ekosistem.
Ibrahim adam,46
berpendapat bahwa dampak dari penggalian pasir
tersebut yaitu terjadinya abrasi sungai akibat penggalian yang tidak
terkendali. Selain itu, kedalaman sungai makin bertambah akibat
penggalian pasir yang terus menerus terjadi dan akibat pengangkutan
material.
Mohamad Yusuf Komendangi,47
berpendapat bahwa dampak dari
penggalian pasir tersebut yaitu rusaknya sungai Bone. Seperti kita
ketahui bahwa sungai bone merupakan salah satu aset daerah. Selain
44
Meni S Doda, ibid 45
Sofyan marali, KASUBAG UMUM dan kepegawaian, wawancara, 10 september 2013 46
Ibrahim Adam, Staf Pertambangan, wawancara 10 september 2013 47
Moh. Yusuf Komendangi, kepala seksi eksplorasi, wawancara 10 september 2013
59
terjadinya kerusakan sungai akibat dari penggalian pasir tersebut daerah
aliran sungai yang terpecah yang memungkinkan terjadinya banjir.
Adapun pendapat dari pihak kepolisian Reskrim Polres Bone
Bolango yaitu Yahya Boudeso berpendapat penggalian pasir yang di
lakukan secara ilegal tersebut semakin memprihatinkan di karenakan hal
tersebut berakibat seperti adanya pengikisan oleh air di sepanjang
bantaran sungai Bone dan hal ini harus di antisipasi oleh semuua unsur
terkait baik pemerintah daerah, pengusaha di bidang pertambangan, serta
sosialisasi dan para pihak penegak hukum itu sendiri.48
Dari hasil wawancara di atas, peneliti bisa menarik kesimpulan
beberapa pendapat dari penambang yang sangat bertolak belakang
tersebut. Di sisi lain adanya pro dan kontra dari para penambang. Ini di
karenakan cara mereka dalam melakukan penggalian. Penambang yang
mengeluarkan pendapat positif karena mereka dalam melakukan
penggalian menggunakan mesin sedot sedangkan penambang yang
mengeluarkan asumsi yang bersifat negatif karena mereka melakukan
penggalian secara manual yaitu dengan menggunakan sekop dan perahu.
Adapun hasil wawancara tersebut, peneliti menarik kesimpulan
dari beberapa sampel wawancara yaitu dari Dinas Pertambangan, aparat
desa Tanah Putih dan masyarakat penambang. Kegiatan penggalian pasir
tersebut menghasilkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak negatif tersebut antara lain:
48
Yahya Boudeso, Kanit Reskrim Perlindungan Perempuan dan Anak, wawancara, 19 Desember 2013
60
1. Rusaknya lahan perkebunan dari masyarakat sekitar
Kerusakan lahan perkebunan merupakan dampak negatif akibat
penggalian pasir tersebut. Hal ini di karenakan lahan perkebunan
adalah salah satu mata pencaharian dari masyarakat desa Tanah
Putih.
2. Runtuhnya tanggul yang ada di sekitar sungai.
Tanggul yang didirikan di sekitar sungai Bone memiliki manfaat
untuk menahan luapan air sungai jika kondisi sungai mengalami
pasang
3. Berubahnya konstruksi bangunan jembatan Talumolo Dua
Konstruksi bangunan jembatan Talumolo Dua telah mengalami
penurunan, dalam hal ini mengalami turunnya ketinggian
jembatan serta goyangnya jembatan di bagian tengah ketika di
lewati oleh truk. Seperti yang kita ketahui, jembatan Talumolo
Dua tersebut merupakan sarana yang menghubungkan antara
kedua daerah yang terpisah karena adanya sungai. Jadi jika
kegiatan penggalian pasir tersebut di di atasi dan di perhatikan
oleh pemerintah, maka ke depannya nanti jembatan tersebut
akan runtuh akibat penggalian pasir yang tidak terkendali.
4. Surutnya air sungai
Kita ketahui bersama bahwa sungai Bone merupakan sungai
terbesar dan terkenal di Provinsi Gorontalo, seperti yang di
jelaskan dalam bait lagu daerah Gorontalo “Bone dutula liyo”.
61
Tapi lagu daerah tersebut hanyalah sebuah lagu yang selalu di
kenang, hal ini di karenakan kondisi air sungai yang sudah tidak
sesuai dengan keadaan seperti semula akibat dari ulah
masyarakat setempat yang tidak menjaga kelestarian sungai
Bone yang merupakan salah satu aset daerah dan objek vital dari
daerah Gorontalo.
5. Pecahnya daerah aliran sungai menjadi beberapa bagian
Akibat kegiatan penggalian pasir yang tidak terkendali yang
terjadi di Desa Tanah Putih, Kecamatan Botupingge, Kabupaten
Bone Bolango yaitu berubah kondisi aliran sungai Bone menjadi
beberapa bagian. Pecahnya aliran sungai bisa mengakibatkan
terjadinya kerusakan sungai tersebut karena bisa saja aliran air
tersumbat akibat tidak bertemunya air yang tersumbat dengan
aliran air yang mengalir.
6. Terjadinya erosi
Erosi merupakan dampak utama yang bisa berakibat pada
masyarakat setempat dan bisa mengakibatkan bencana bagi para
penambang tersebut.
7. Menurunnya ekonomi masyarakat.
Dampak negatif dari penggalian pasir secara ilagal yaitu
menurunnya ekonomi masyarakat karena kegiatan penggalian
pasir tersebut bisa mengakibatkan bencana besar untuk para
62
masyarakat sekitar galian dan karena adanya bencana maka roda
perekonomian daerah bisa terhambat.
Selain dampak negatif adapun dampak positif yang di temukan dari
hasil penelitian tentang kegiatan penggalian pasir tersebut. Adapun yang
menjadi dampak positif antara lain:
1. Terjadinya abrasi
Abrasi yaitu melebarnya sungai sehingga kemungkinan untuk
terjadinya banjir berkurang. Sungai yang kecil dan meluap bisa
mengakibatkan banjir karena sungai tidak bisa menampung
volume air jika terjadi peluapan. Sehingga masyarakat sekitar
melakukan penggalian pasir agar kondisi sungai tetap stabil.
2. Menormalisasi dan menetralisir sungai.
Kegiatan penggalian pasir mendapatkan dampak positif bagi
pemerintah dan masyarakat. Ini di karenakan normalnya kondisi
sungai dan netralnya aliran sungai. Sehingga terjadinya
pencemaran air bisa terselamatkan.
Adapun penjelasan di atas maka penulis menarik kesimpulan
bahwa kegiatan penggalian pasir tersebut memiliki dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif kegiatan penambangan antara lain,
meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan roda perekonomian
Kabupaten Bone Bolango dan menambahkan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Bone Bolango itu sendiri. Namun demikian, kegiatan
pertambangan yang tidak berwawasan lingkungan atau tidak
63
mempertimbangkan keseimbangan dan daya dukung lingkungan, serta
tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
Dampak negatif tersebut antara lain, terjadinya gerakan tanah yang
dapat menelan korban baik harta benda maupun nyawa, hilangnya daerah
resapan air di daerah perbukitan, rusaknya bentang alam, pelumpuran ke
dalam sungai yang dampaknya bisa sampai ke hilir, meningkatkan
intensitas erosi di daerah perbukitan, jalan-jalan yang dilalui kendaraan
pengangkut bahan tambang menjadi rusak, mengganggu kondisi air
tanah, terjadinya kubangan-kubangan besar yang terisi air, terutama bila
penggalian di daerah pedataran, banjir bandang, dan polusi udara yang
diakibatkan oleh debu-debu yang muncul dari tempat pertambangan.
Selain merusak lingkungan, juga memengaruhi kehidupan sosial
penduduk di sekitar lokasi penambangan.
Dari hasil di atas, maka peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa
kegiatan penggalian pasir sebaiknya di lakukan sesuai prosedur dalam hal
ini Dinas Pertambang. Jika di lakukan sedemikian rupa, maka akan ada
keuntungan bagi pihak pemerintah untuk membangun daerah dan lebih
khususnya untuk masyarakat daerah itu sendiri. Oleh karena itu, sektor
pertambangan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan
penting dalam menunjang pembangunan. Kegiatan pertambangan itu
sendiri meliput eksplorasi, eksploitasi, pengolahan atau pemurnian, dan
pengangkutan mineral atau bahan tambang. Kegiatan penambangan di
64
Kecamatan Botupingge dipastikan akan menimbulkan dampak terhadap
lingkungan, baik bersifat positif maupun negatif.