BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting Penelitian 4.1.1...

45
40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini berlangsung pada tanggal 28 April 2016 sampai dengan 28 Mei 2016 disesuaikan dengan waktu luang partisipan yang sebelumnya peneliti sudah melakukan kontrak waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Nulle, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten TTS dan 8 Desa di bawah binaan Puskesmas Nulle, yaitu Desa Nulle, Desa Tublopo, Desa Nusa, Desa Mnelalete, Desa Pusu, Desa Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan Desa Nifukani. Luas wilayah Kecamatan Amanuban Barat adalah 114.30 Km 2 , dengan rincian luas perdesa sebagai berikut : Desa Nulle 33.68 Km 2 , Tublopo 14.85 Km 2 , Nusa 13.94 Km 2 , Mnelalete 14.74 Km 2 , Pusu 6.57 Km 2 , Tubuhue 11.13 Km 2 , Haumenbaki 11.51 Km 2 , dan Nifukani 7.88 Km 2. Secara keseluruhan dikecamatan Amanuban Barat mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani dan beragama Kristen. Puskesmas Nulle merupakan puskesmas rawat jalan, bukan puskesmas rawat inap. Puskesmas ini memiliki 7 tenaga kesehatan yang terdiri dari 3 orang perawat dan 4 orang bidan,

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Setting Penelitian 4.1.1...

40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung pada tanggal 28 April 2016

sampai dengan 28 Mei 2016 disesuaikan dengan waktu luang

partisipan yang sebelumnya peneliti sudah melakukan kontrak

waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Nulle,

Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten TTS dan 8 Desa di

bawah binaan Puskesmas Nulle, yaitu Desa Nulle, Desa

Tublopo, Desa Nusa, Desa Mnelalete, Desa Pusu, Desa

Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan Desa Nifukani. Luas wilayah

Kecamatan Amanuban Barat adalah 114.30 Km2, dengan

rincian luas perdesa sebagai berikut : Desa Nulle 33.68 Km2,

Tublopo 14.85 Km2, Nusa 13.94 Km2, Mnelalete 14.74 Km2,

Pusu 6.57 Km2, Tubuhue 11.13 Km2, Haumenbaki 11.51 Km2,

dan Nifukani 7.88 Km2. Secara keseluruhan dikecamatan

Amanuban Barat mayoritas penduduknya bermatapencaharian

sebagai petani dan beragama Kristen.

Puskesmas Nulle merupakan puskesmas rawat jalan,

bukan puskesmas rawat inap. Puskesmas ini memiliki 7 tenaga

kesehatan yang terdiri dari 3 orang perawat dan 4 orang bidan,

41

4 orang tenaga kesehatan yang masih berstatus magang, 4

pegawai tata usaha (administrasi dan keuangan). Puskesmas

ini melayani 8 desa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Selain itu, Puskesmas Nulle memiliki 1 Postu yang terletak

diantara Desa Tublopo dan Desa Nifukani. Pelayanan

kesehatan puskesmas Nulle sendiri dibantu oleh kader

posyandu yang sudah dilatih sebelumnya, masing – masing

desa memiliki 4 sampai 5 kader posyandu.

4.1.2. Proses Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik

wawancara mendalam (semi-struktur) dengan total pertanyaan

untuk tenaga kesehatan berjumlah 5 pertanyaan dan untuk ibu

postpartum berjumlah 4 pertanyaan, adapun lamanya proses

wawancara pada masing-masing partisipan ± selama 25-30

menit dalam 1 kali pertemuan. Pada penelitian ini, pertemuan

yang berlangsung untuk membina hubungan saling percaya

dan wawancara mendalam sebanyak 2 kali kepada masing-

masing partisipan. Pada tanggal 3 Mei peneliti mengajukan

surat ijin penelitian dari kantor camat kepada kepala

puskesmas Nulle, kemudian pada tanggal 4 Mei peneliti

melakukan kontrak waktu dan menjelaskan tujuan dari

penelitian yang berlangsung kepada partisipan tenaga

42

kesehatan, dan peneliti melakukan wawancara pada tanggal 9

dan 11 Mei 2016. Untuk partisipan ibu-ibu postpartum, pada

tanggal 15 Mei peneliti mengajukan surat penelitian dari

fakultas kepada tiap-tiap kepala desa dan melakukan kontrak

waktu dengan kader posyandu dari desa-desa tersebut.

Kemudian pada tanggal 16 Mei sampai 17 Mei 2016 peneliti

ditemani oleh kader posyandu menemui tiap-tiap partisipan

untuk membina hubungan saling percaya, melakukan kontrak

waktu dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan

wawancara peneliti, dengan maksud agar partisipan

mengetahui tujuan peneliti melakukan penelitian. Peneliti

melakukan wawancara pada tanggal 19 dan 21 Mei 2016.

Pada saat wawancara berlangsung, peneliti menggunakan

alat perekam untuk merekam proses wawancara. Wawancara

yang peneliti lakukan disesuaikan dengan aktivitas, kesediaan

dan kesiapan partisipan sendiri, sehingga proses penelitian ini

tidak menganggu aktivitas partisipan dan guna melancarkan

jalannya proses wawancara.

Saat penelitian berlangsung semua partisipan menyambut

dengan baik kehadiran peneliti dan partisipan terlihat antusias,

walaupun ada 2 diantara partisipan dari ibu-ibu postpartum

yang masih malu-malu dan takut untuk menjawab karena

43

mereka mengira peneliti adalah petugas kesehatan yang akan

menegur mereka karena melakukan tradisi se‟i dan tatobi.

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Gambaran Partisipan

Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah tenaga

kesehatan di Puskesmas Nulle dan ibu-ibu postpartum di 8

Desa yaitu Desa Nulle, Desa Tublopo, Desa Nusa, Desa

Mnelalete, Desa Pusu, Desa Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan

Desa Nifukani. Pada penelitian ini, jumlah partisipan adalah 14

orang dengan rincian 6 orang partisipan tenaga kesehatan di

Puskesmas Nulle dan 8 orang partisipan ibu-ibu postpartum di

tiap desanya sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan

peneliti. Partisipan pada penelitian ini diperoleh peneliti dari

wawancara dengan kepala Puskesmas Nulle dan para Kader

Posyandu. Tenaga kesehatan dan ibu-ibu postpartum yang

didatangi sudah bersedia menjadi partisipan, sehingga peneliti

selanjutnya dapat melakukan proses pengambilan data. Dalam

pengambilan data peneliti dan partisipan dapat beradaptasi

dengan baik, partisipan pun memiliki karakter yang ramah

sebab sebelumnya peneliti sudah beberapa kali mengunjungi

Puskesmas Nulle dan rumah partisipan, sehingga

memudahkan peneliti dalam berinteraksi dengan partisipan.

44

Tenaga kesehatan yang dilibatkan dalam penelitian ini

adalah perawat dan bidan karena kedua tenaga kesehatan

tersebut yang memenuhi kriteria partisipan yang dibuat oleh

peneliti yaitu tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengkajian

dan penanganan masalah kesehatan terkait postpartum di

masyarakat.

4.2.2. Karakteristik Partisipan Penelitian

Tabel 1. Karakteristik Partisipan Tenaga Kesehatan Puskesmas Nulle

Parti-

sipan

Inisial Usia

(Thn)

Suku Tempat

Tinggal

Pendidika

n

Pekerjaan Lama

Kerja

(Tahun)

P1 Tn.

E.H

43 Bima Soe Ns. S.Kep Perawat 2

P2 Ny.

V.M

27 Timor Soe S.Kep Perawat 1.5

P3 Ny. E 26 Timor Soe D3

kebidanan

Bidan 1,2

P4 Ny. D 32 Timor Mnelalete D3

kebidanan

Bidan 1,4

P5 Ny.

D.L

34 Timor Soe S.Kep Perawat 6

P6 Ny. L 42 Timor Kesetnana D3

kebidanan

Bidan 6

Tabel 2. Karakteristik Partisipan Ibu Postpartum

Parti-

sipan

Inisial Usia

Ibu

(Thn)

Usia

Bayi

Jumlah

Anak

Suku Tempat

Tinggal

Pendidikan Pekerjaan

P1 Ny.Y.N 27 5 Hari 2 Timor Nifukani SMA Petani/ IRT

P2 Ny. D.

L 28 1

Minggu 2

Timor Haumen-

baki SD Petani/ IRT

P3 Ny. H.

S 26

2 Minggu

2 Timor Tublopo SMA Petani/ IRT

45

P4 Ny. J.

S 26 3 Hari 1

Timor Nulle D2

Perpustaka-an

Guru

P5 Ny. D.

S 24

2 Minggu

1 Jawa Mnelalete SMP Wira-swasta

P6 Ny. D 28

3 Minggu

2 Timor Tubuhue SMP Petani/ IRT

P7 Ny. A.

T 29

3 Minggu

3 Timor Nusa SD Petani/ IRT

P8 Ny. P.

B 39

3 Minggu

5 Timor Pusu SD Petani/ IRT

4.3. Analisa Data

Setelah peneliti mengumpulkan data dengan cara

wawancara dan observasi, kemudian peneliti menyusunnya

dalam bentuk verbatim. Lalu peneliti membuat garis bawah

pada pernyataan yang penting dan menentukan kategori. Dari

penelitian dan analisa data yang peneliti lakukan diperoleh 3

tema besar dari segi ibu postpartum dan 5 tema besar dari segi

tenaga kesehatan.

4.3.1. Tema Pada Ibu Postpartum

Dari hasil analisa data pada Ibu Postpartum, diperoleh

tema besar sebagai berikut :

1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang berlangsung

sangat membantu dalam proses pemulihan.

46

Keywords Sub Tema Tema

Dari hasil wawancara dan proses analisa yang dilakukan

peneliti menunjukkan bahwa ibu postpartum merasa bahwa

tradisi yang dilakukan sangat membantu dalam proses

pemulihan tubuh pasca melahirkan. Mereka mengatakan bahwa

setelah melakukan se‟i dan tatobi badan terasa lebih kuat dan

segar, luka jahitan di perineum juga cepat sembuh dan dapat

kembali beraktifitas normal dengan segera. Ibu postpartum juga

mempercayai bahwa melakukan se‟i dan tatobi dapat

mengeluarkan darah kotor dari dalam rahim sehingga terhindar

dari berbagai macam penyakit, hal ini dibuktikan dari:

“Sebelum panggang kita rasa kayak badan kaku semua,

setelah kita panggang dengan tatobi badan su agak lega,

segar dan darah kotor yang ada di kita pu rahim keluar,

Mengeluarkan

darah kotor Manfaat yang

dirasakan oleh ibu

dari pelaksanaan

se‟i dan tatobi

Ibu-ibu postpartum

merasa bahwa

tradisi yang

dilakukan sangat

membantu dalam

proses pemulihan

Badan terasa

lebih sehat

Bisa menimbulkan

penyakit

Dampak yang

dirasakan oleh ibu

jika tidak melakukan

se‟i dan tatobi

Badan terasa sakit

semua

Menguatkan badan

Bisa lebih cepat

beraktifitas

47

karena itu nanti bawa penyakit, bisa mempengaruhi untuk

jadi tumor kalau darah kotor masih tersisa didalam.”(P1)

“Kita se’i dengan tatobi supaya darah kotor keluar, terus

luka cepat kering. Ini juga tradisi orang Timor, kita abis

melahirkan harus tatobi dengan se’i jadi kita harus ikuti

begitu. Baru kalau selesai tatobi dengan se’i badan rasa

lebih enak.”(P2)

“Ini beta melahirkan anak pertama, tentang se’i dengan

tatobi baru beberapa hari saja tapi ya cukup membantu.

badan lebih enak, segar.”(P4)

“Tatobi itu pakai air hangat, sebelum tatobi itu saya pu

badan sakit semua, setelah tatobi abis itu sudah, badan

enak. Se’i itu untuk kasi kuat badan.”(P6)

2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi

se’i dan tatobi.

Keywords Sub Tema Tema

Para ibu postpartum dalam penelitian ini memaknai

pelaksanaan se‟i dan tatobi sebagai suatu kewajiban yang

Kewajiban

menjalankan tradisi

Ibu postpartum

melakukan se‟i dan

tatobi sebagai tradisi

turun temurun Ibu-Ibu

postpartum

merasa

berkewajiban

melakukan tradisi

se‟i dan tatobi

Tradisi turun

temurun dari

orangtua

Melakukan se‟i dan

tatobi agar tidak

sakit

Ibu postpartum tetap melakukan se‟i dan tatobi agar tidak terkena penyakit walaupun ada larangan

Tetap melakukan

se‟i walaupun ada

larangan

48

harus dilakukan. Partisipan tetap memegang teguh adat istiadat

yang telah dianut selama ini, dan melakukannya walaupun ada

larangan dari pemerintah. Ibu postpartum mengakui bahwa jika

tidak melakukan tradisi tersebut partisipan merasa ada yang

kurang, selain itu bisa menimbulkan penyakit. Seperti

pernyataan dari partisipan berikut:

“Ia, kita orang Timor ini harus begitu, biar ada larangan dari

puskesmas bilang jangan se’i dan tatobi, tapi kita harus

tetap se’i dengan tatobi, kalau tidak kayak ada yang kurang

begitu. Tapi sekarang se’i hanya pake bara api secukupnya

saja, hanya untuk kasi hangat badan saja jadi tidak baasap

kayak dulu lagi.”(P2)

“Kalau kita namanya orang Timor itu harus. Su dari orang

tua dulu juga begitu jadi kita anak-anak ini ikut sa. Kadang

ada bidan dong yang tegur, ma tetap. Kita harus se’i,

karena tradisi.”(P3)

“Kalau sonde se’i dengan tatobi kayak ada yang kurang,

apa lagi kalau ini tradisi su turun temurun dari keluarga

dong. Itu kan manfaatnya untuk menyegarkan badan to, jadi

kalau selesai tatobi badan jadi segar.”(P4)

“Ia, kan kalau rumah sakit dan tradisi kan beda to, karena

kita kan ikut tradisi to. Tradisi timur kan harus tatobi

dengan se’i, karena kan dari kedokteran kan hanya kasi

obat antibiotik, tapi kan tradisional, tatobi dengan se’i kan

untuk kasi keluar darah-darah kotor to, membersihkan jadi

darah kotor keluar. Biar tidak ada penyakit di dalam.”(P5)

Pada saat proses wawancara, peneliti melihat partisipan

duduk diatas tempat tidur dengan bekas arang di bawah tempat

tidurnya. Pastisipan mengatakan bahwa arang tersebut akan

dinyalakan kembali saat malam hari.

49

3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan

keputusan.

Keywords Sub Tema Tema

Dari proses wawancara, peneliti melihat bahwa ke 8

partisipan yang melakukan tradisi se‟i dan tatobi mengikuti

saran yang diberikan orang tua dan mertua. Para partisipan

juga menganggap bahwa kebiasaan yang diturunkan dari orang

tua harus di ikuti oleh anak-anaknya. Mereka memiliki pemikiran

bahwa apa yang disarankan oleh orang tua itu adalah sesuatu

yang baik, tidak akan membahayakan tubuhnya. Dengan

pemahaman yang seperti itu, ibu postpartum akan melakukan

se‟i dan tatobi tanpa memikirkan dampak kedepannya. Seperti

pernyataan partisipan berikut:

“Karena manfaatnya itu tadi. Bisa bantu ibu melahirkan

kayak kami ini biar cepat sembuh. Apa lagi karena saran

untuk tatobi dan se’i ini dari bapa mantu sama mama

mantu, jadi saya ikut saja. Enggak mungkin keluarga dong

kasitau yang tidak baik to.”(P5)

“Saran untuk se’i dengan tatobi ini dari orang tua. Baru ini

su tradisi lama jadi ikuti saja.”(P6)

Mengikuti jejak

orang tua Ibu postpartum

melakukan tradisi

se‟i dan tatobi

karena saran dari

orang tua

Orang tua

sebagai key

person dalam

pengambilan

keputusan

Saran mertua

Kebiasaan keluarga

50

“Karena memang di kami punya keluarga itu sudah biasa.

Semua yang melahirkan harus panggang jadi beta juga

harus panggang. Apa lagi beta melahirkan pertama waktu

masih tinggal dengan mertua to, jadi mertua su siap semua,

beta tinggal lakukan sa.”(P7)

4.3.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan

Dari hasil analisa data pada tenaga kesehatan, diperoleh

tema besar sebagai berikut :

1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak

membahayakan kesehatan.

Keywords Sub Tema Tema

Dari hasil wawancara dan proses analisa data yang

berlangsung, menunjukkan bahwa tenaga kesehatan

menyetujui sebagian tradisi yang berlangsung di masyarakat

yaitu tatobi, karena dinilai tidak membahayakan kesehatan,

Kurang setuju

dengan se‟i Pelaksanaan se‟i

dapat

membahayakan

kesehatan

Tenaga kesehatan

menyetujui sebagian

tradisi yang tidak

membahayakan

kesehatan.

Tatobi untuk

membersihkan

diri.

Se‟i

mengganggu

pernapasan.

Setuju dengan

tatobi.

Tenaga

kesehatan

menyetujui

pelaksanaan

tatobi

Tenaga

kesehatan

menyetujui

pelaksanaan

tatobi

51

dan kurang setuju dengan tradisi se‟i karena bisa membawa

dampak negatif bagi kesehatan ibu dan bayi. Dalam praktek

pelaksanaannya, tatobi dan se‟i berlangsung sebagai satu

kesatuan atau seperangkat tradisi yang berlangsung secara

bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah

beberapa pernyataan partisipan mengenai se‟i dan tatobi:

“Menurut masyarakat sini itu bisa membantu

mengeluarkan darah kotor pasca melahirkan. untuk se’i

saya sendiri kurang setuju, karena sudah ada larangan

dari pemerintah, selain itu bisa mengganggu kesehatan

juga. Kalau tatobi menurut saya tidak masalah, itu kan

seperti mandi, membersihkan badan dengan air

hangat.” (P1)

“Kalau untuk tatobi saja saya setuju, itu kan hanya

untuk kompres ibu punya badan supaya lebih bersih

dan segar, tidak berdampak ke bayi juga, tidak seperti

se’i.” (P2)

“Kalau se’i kurang setuju, karena bisa ganggu

pernapasan bayi dan ibu tapi kalau tatobi saya setuju,

itu kan hanya kompres badan ibu dengan air hangat jadi

tidak masalah.” (P6)

Mereka menganggap bahwa se‟i yang berlangsung

sekarang walaupun hanya menggunakan arang secukupnya

tetap bisa membahayakan kesehatan ibu maupun bayi,

karena partikel debu dari arang itu sendiri. Seperti yang

disampaikan oleh partisipan berikut:

”Mereka mungkin tidak akan lihat dampak itu sekarang, tapi kedepannya itu bagaimana kan kita tidak tahu.” (P2)

52

Sedangkan tatobi disetujui pelaksanaannya karena

tradisi tersebut sekarang hanya menggunakan air hangat

saja, bukan air panas lagi seperti dulu. Selain itu, dengan

cuaca didaerah tersebut yang sangat dingin, tatobi bisa

membantu membersihkan badan ibu tanpa merasa

kedinginan. Seperti pernyataan berikut :

“Kalau untuk se’i saya kurang setuju, biar hanya pakai

bara api tetap saja abu dari arang tadi bisa terbang –

terbang kalau angin tiup, bisa mengganggu pernapasan

bayi juga. Kalau tatobi sekarang hanya pakai air hangat

jadi itu tidak masalah.” (P3)

“Sebenarnya juga tidak boleh walaupun di dalam rumah

besar, karena tetap saja itu ada partikel-partikel debu to,

bisa terbang kalau angin tiup.” (P4)

2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah

pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.

Keywords Sub Tema Tema

Tidak pernah

melakukan se‟i

Pengalaman

pribadi tenaga

kesehatan

terhadap se‟i Sebagian besar

tenaga kesehatan

yang sudah

menikah pernah

melakukan tradisi

se‟i dan tatobi.

Pernah

melakukan se‟i

Keluarga pernah

melakukan se‟i

Tenaga kesehatan

yang belum

menikah memiliki

pengalaman se‟i

dari keluarga

53

Sebagian tenaga kesehatan dalam penelitian ini

ternyata pernah melakukan tradisi se‟i dan tatobi saat

melahirkan. Menurut pengakuan mereka yang sudah

menikah dan memiliki anak, tradisi tersebut mereka lakukan

sebelum ada peraturan pemerintah yang melarang

pelaksanaan se‟i dan tatobi, seperti pernyataan berikut ini :

“Saya pernah se’i waktu melahirkan anak pertama, tapi

hanya satu kali itu saja. Seterusnya tidak lagi.” (P4)

“Kalau pengalaman, saya pernah se’i dan tatobi. Waktu

melahirkan saya punya anak pertama kan masih tinggal

dengan mertua, peraturan yang larang itu juga belum

ada, jadi saya masih se’i dan tatobi. Tapi setelah itu

tidak lagi.”(P5)

“Saya melahirkan anak pertama dengan kedua masih

sempat se’i dan tatobi. Waktu itu belum ada larangan

dari pemerintah untuk tidak boleh se’i dan tatobi, tapi

sekarang sudah ada to jadi sudah mulai berkurang.”(P6)

Terdapat 3 orang dari 6 tenaga kesehatan tersebut

yang tidak pernah melakukan tradisi ini dikarenakan 2

diantaranya belum menikah yaitu P2 dan P3, sedangkan 1

orang lainnya bukan suku Timor yaitu P1. Tetapi, dari 2

orang partisipan yang belum menikah tersebut diperoleh

fakta bahwa walaupun ada masyarakat yang anggota

keluarganya adalah tenaga kesehatan, mereka tetap

menjalankan tradisi se‟i dan tatobi. Memiliki anggota

keluarga sebagai tenaga kesehatan ternyata tidak menutup

54

kemungkinan masyarakat akan berhenti melakukan tradisi

tersebut, seperti pernyataan partisipan berikut:

“Tapi kalau keluarga, saudara tua dong se’i dengan tatobi

juga kalau selesai melahirkan.” (P2)

3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif

berupa penyuluhan dan sosialisi.

Keywords Sub Tema Tema

Berdasarkan hasil wawancara, para tenaga

kesehatan mengatakan bahwa program yang dilakukan oleh

puskesmas guna meminimalisir pelaksanaan se‟i dan tatobi

di Kecamatan Amanuban Barat tidak semuanya berjalan

dengan efektif. Program penyuluhan biasanya dilakukan

pada saat ibu selesai melahirkan dan akan meninggalkan

puskesmas, sedangkan program sosialisasi dilakukan oleh

tenaga kesehatan pada saat posyandu di tiap Desanya,

karena pada saat posyandu sebagian besar ibu hamil dan

ibu postpartum berkumpul untuk melakukan pemeriksaan.

Melakukan

penyuluhan

Program puskesmas

yang berjalan

dengan efektif

Sebagian besar

program

puskesmas

yang berjalan

efektif berupa

penyuluhan

dan sosialisasi

Adakan sosialisasi

Kunjungan ibu

postpartum

Sebagian program

yang dilakukan

puskesmas tidak

berjalan efektif

55

Hal ini memudahkan tenaga kesehatan melakukan

sosialisasi dan menghemat waktu. Pelaksanaan penyuluhan

dan sosialisasi ini sesuai dengan pernyataan dari partisipan

berikut:

“Kalau dipuskesmas ini, biasanya kami melakukan

penyuluhan kepada ibu melahirkan dan keluarga

tentang se’i dan tatobi sebelum mereka pulang

kerumah, sosialisasi di posyandu juga, 1 bulan 1 kali.”

(P1)

“Biasanya sosialisasi di posyandu ibu hamil dan ibu

postpartum. Selain itu juga kadang – kadang bagi

brosur, penyuluhan waktu ibu melahirkan mau pulang

kerumah.”(P4)

“Biasanya itu di adakan penyuluhan pas melahirkan.

Setelah ibu melahirkan dan mau pulang, itu nanti nakes

di puskesmas, khususnya bidan yang nanti beri

penyuluhan mengenai se’i dan tatobi.”(P5)

Tidak semua program yang direncanakan oleh

puskesmas berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Salah

satu program puskesmas yang tidak bisa berjalan dengan

baik adalah kunjungan kerumah ibu postpartum. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal yaitu tidak seimbangnya

jumlah ibu postpartum dengan tenaga kesehatan dan jarak

rumah antar ibu postpartum yang berjauhan, ditambah

kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati saat

musim hujan menyebabkan tenaga kesehatan kesulitan

56

menjalankan program ini. Seperti pengakuan dari partisipan

berikut:

“Ada juga kunjungan kerumah, tapi itu kurang efisien,

kurang dijalankan soalnya banyak ibu melahirkan

sedangkan nakes terbatas, seperti itu.”(P3)

“Oh ada lagi, kunjungan kerumah ibu postpartum tapi

yang ini kadang tidak berjalan lancar karena jumlah ibu

melahirkan dengan jumlah nakes terbatas. Ditambah

jarak rumah yang berjauhan, kami setengah mati. Jadi

kalau sempat kami biasanya berkunjung, tetapi kalau

tidak kami lakukan sosialisasi di posyandu saja.”(P6)

4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.

Keywords Sub Tema Tema

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan,

ditemukan bahwa hambatan dan tantangan terbesar yang

Tradisi sulit

dirubah Kewajiban

menjalankan tradisi

menyebabkan

masyarakat tetap

melakukan se‟i dan

tatobi walaupun ada

larangan

Hambatan

terbesar tenaga

kesehatan

adalah tradisi

dan pemikiran

masyarakat

yang sulit

dirubah.

Tetap melakukan se‟i

dan tatobi walaupun

ada larangan

Pemikiran masyarakat

sulit dirubah

Hambatan yang

dihadapi dalam

penanganan tradisi

se‟i dan tatobi Karakteristik ibu

postpartum berbeda-

beda

Tingkat pendidikan

rendah

57

dihadapi oleh tenaga kesehatan adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah. Berdasarkan

pernyataan partisipan, masyarakat Kecamatan Amanuban

Barat masih memegang teguh tradisi yang diwariskan dari

nenek moyang mereka secara turun temurun. Meskipun

sudah ada peraturan dari pemerintah yang melarang ibu

postpartum melakukan se‟i, tetapi mereka bersikeras

melakukannya, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk

melakukannya. Pernyataan ini diungkapkan oleh partisipan

berikut:

“Itu tadi seperti yang saya bilang. Tradisi orang sini, jadi

susah untuk kita rubah. Tidak segampang apa yang kita

rencanakan. Pemerintah kasi larangan tapi tetap saja

masih ada yang berani lakukan.” (P2)

“Tradisi, itu tantangan yang berat. Karena se’i itu tradisi

jadi susah diubah. Selan itu, hampir semua ibu

postpartum disini masih memegang teguh tradisi sei

dan tatobi, jadi agak susah.”(P3)

“Ini kan tradisi to, yang namanya tradisi itu susah untuk

diubah. Meskipun ada larangan dari pemerintah supaya

jangan se’i dengan tatobi lagi tapi tetap, masih banyak

yang lakukan dengan diam – diam. Di puskesmas kita

kasi tahu mereka ia saja, tapi setelah sampai rumah

mereka tetap lakukan. Biasanya sembunyi – sembunyi

supaya nakes jangan tahu.”(P5)

Selain tradisi, tenaga kesehatan juga mengalami

kesulitan dalam menangani pelaksanaan se‟i dikarenakan

pendidikan masyarakat yang rendah sehingga

58

menyebabkan pola pikir mereka yang sulit dirubah dan

karakteristik tiap ibu yang berbeda membuat para tenaga

kesehatan mengalami kesulitan menghadapi mereka. Tidak

semua ibu yang diingatkan oleh tenaga kesehatan

menerima dengan baik apa yang disampaikan, itulah

penyebab pelaksanaan se‟i sulit dirubah apalagi

dihilangkan. Walaupun para tenaga kesehatan mengaku

kurang setuju dengan tradisi se‟i yang dijalankan, tetapi

tidak mudah untuk merubah cara pandang masyarakat.

Seperti pernyataan yang diungkapkan partisipan berikut:

“Kita tidak mungkin memaksa mereka mengubah,

meninggalkan tradisi dari nenek moyang mereka begitu

saja. Kami sebagai nakes akan mencoba merubah cara

pandang mereka mengenai kesehatan, terutama tentang

tradisi ini secara perlahan.”(P1)

“Hambatannya itu susah merubah pemikiran

masyarakat di sini mengenai se’i dan tatobi,

masalahnya ini menyangkut tradisi turun – temurun jadi

agak repot. Apa lagi ini di kampung, tingkat pendidikan

mereka juga terbatas, agak susah kasi pengertian ke

mereka untuk andalkan obat dari dokter, karena dalam

otak mereka itu seperti sudah ditanamkan kalau se’i dan

tatobi itu kewajiban ibu melahirkan.”(P4)

“Seperti yang saya ceritakan tadi. Ini tradisi orang

Timor. Selain itu kadang ada ibu melahirkan yang mati-

matian harus se’i dan tatobi didapur walaupun kita

sudah berusaha untuk mengingatkan begitu. Setiap

orang berbeda, jadi kami berusaha semampu kami.”(P6)

59

5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran

masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.

Keywords Sub Tema Tema

Dalam analisa penelitian tentang pandangan ibu-ibu

postpartum terkait usaha yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

terhadap pelaksanaan se‟i dan tatobi, ibu postpartum

mengemukakan bahwa tenaga kesehatan akan menegur dan

mengingatkan dampak se‟i dan tatobi kepada partisipan.

Walaupun demikian para tenaga kesehatan tidak melarang

mereka melakukan se‟i dan tatobi, tetapi dengan ketentuan se‟i

hanya menggunakan arang secukupnya dan tatobi

menggunakan air hangat bukan air panas, selain itu partisipan

diperingatkan agar tatobi jangan mengenai luka jahitan di

Se‟i menggunakan

arang secukupnya

Ibu postpartum

merasa adanya

perubahan dalam

tradisi se‟i dan tatobi

secara perlahan

sebagai dampak

yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan.

Tenaga

kesehatan

berusaha

mengubah

pemikiran

masyarakat

terhadap tradisi

secara perlahan.

Se‟i jangan didapur

Tradisi dan

pengobatan modern

harus seimbang

Sebagian ibu postpartum merasa pengobatan tradisional dan modern harus seimbang

Puskesmas

mendukung dengan

ketentuan tertentu

Tatobi dengan air

hangat saja

60

perineum, agar luka tersebut bisa cepat pulih. Ibu postpartum

juga dilarang untuk melakukan tradisi tersebut di dapur,

dikarenakan sebagian besar dapur masyarakat setempat masih

berbentuk rumah bulat, sehingga jika melakukan se‟i di tempat

tersebut maka pertukaran udara menjadi tidak efisien, hal ini

bisa membahayakan pernapasan ibu maupun bayi. Hal ini

berdasarkan pernyataan dari partisipan berikut:

“Kalau orang puskesmas tahu nanti dong tegur. Boleh

panggang tapi arang jangan talalu banyak ko baasap, tatobi

juga air jangan talalu panas atau mendidih, harus hangat

sa.”(P1)

“Dari puskesmas dong hanya kasi tahu kalau se’i jangan

pakai arang talalu banyak, baru sonde boleh se’i di dapur,

harus dirumah besar supaya jangan baasap. Begitu ju

dengan tatobi, sonde pakai air mendidih lagi kayak dulu,

hanya pakai air hangat sa. Terus tatobi itu jangan sampai

kena luka jahitan abis melahirkan, bidan dong bilang itu

nanti bisa busuk, tatobi di badan sa.”(P2)

“Tapi kan dari dokter kita ikut, jalani. Tradisi juga kita ikuti

jalani, jadi seimbang. Selama saya se’i dan tatobi tidak ada

tenaga kesehatan yang datang melihat. Waktu di rumah

sakit pas melahirkan dikasi tahu kalau tatobi tidak boleh

kena jahitan.”(P5)

4.4. Pembahasan

Dalam pembahasan ini, peneliti akan mendiskusikan

tentang tema yang sudah didapat dari penelitian yang berfokus

pada persepsi ibu dan tenaga kesehatan mengenai tradisi se‟i

61

dan tatobi. Interpretasi hasil penelitian ini dilakukan dengan cara

membandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.

4.4.1. Tema pada Ibu Postpartum

1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang dilakukan

sangat membantu dalam proses pemulihan.

Berdasarkan pada hasil penelitian, peneliti

menemukan bahwa ibu postpartum merasakan adanya

manfaat dari pelaksanaan tradisi se‟i dan tatobi yang saat ini

dilakukan di rumah modern tersebut seperti badan terasa

segar dan kuat setelah se‟i dan tatobi, luka jahitan lebih

cepat sembuh dan mengeluarkan darah kotor dari dalam

rahim sehingga tidak menimbulkan penyakit kedepannya.

Hal ini didukung oleh Barennes (2009) dalam penelitiannya

di Laos yang mengatakan bahwa ibu-ibu postpartum

merasakan manfaat dari ‘hot bed’ seperti membantu untuk

mengeringkan dan menyembuhkan vagina dan rahim, dan

untuk mengendurkan otot dan mengurangi rasa sakit. Selain

itu, Yeh (2014) mengungkapkan keyakinan wanita Taiwan

yaitu bahwa persalinan meninggalkan hawa dingin yang

bisa membahayakan ibu, sehingga ibu harus berbaring di

tepi api panas (yue fai), mandi air panas dan minum air

panas untuk menghangatkan tubuh mereka dan

mengeringkan bagian dalam mereka.

62

Manfaat yang dirasakan oleh ibu-ibu inilah yang

menyebabkan mereka terus melakukan tradisi se‟i dan

tatobi. Mereka menyimpulkan bahwa tradisi yang mereka

jalani tersebut tidak memberikan dampak buruk. Pemikiran

seperti ini juga dijelaskan oleh Noorkasiani (2009) yang

mengatakan bahwa individu menentukan sendiri apakah

dirinya mengalami suatu penyakit berdasarkan perasaan

dan penilaiannya sendiri. Pendapat atau kepercayaan ini

dapat sesuai dengan realitas, tetapi dapat pula berbeda

dengan keyakinan yang dilihat oleh orang lain, dalam hal ini

adalah tenaga kesehatan. Ibu postpartum meyakini bahwa

tradisi se‟i dan tatobi membawa dampak positif, tetapi

sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan

yang mana tradisi tersebut memberikan dampak negatif bagi

kesehatan ibu dan bayi seperti ISPA akibat asap dan debu.

Berdasarkan hal tersebut, harus dilakukan pendidikan

kesehatan guna mengubah perilaku masyarakat

berdasarkan faktor predisposisi, faktor pendukung dan

faktor pendorong. Hal ini juga disimpulkan oleh Maulana

(2009) bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan

penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok

faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga

63

menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap

program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya.

2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi

se’i dan tatobi.

Dari hasil analisa yang dilakukan peneliti terungkap

bahwa dalam pelaksanaan tradisi se‟i dan tatobi yang

dilakukan para ibu postpartum ada beberapa faktor yang

mempengaruhinya. Hal ini dilengkapi dengan ungkapan

partisipan yang menyatakan bahwa faktor yang membuat

ibu postpartum mau melakukan tradisi tersebut adalah

kewajiban sebagai orang Timor, adat istiadat turun temurun

dan kebiasaan orang tua terdahulu yang harus diikuti. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian yang diungkapkan Raven,

dkk. (2007) bahwa responden menyatakan bahwa alasan

utama untuk mengikuti praktek-praktek tradisional ini adalah

menghormati tradisi dan mengikuti saran tetua.

Ibu-ibu postpartum tersebut sudah sering terpapar oleh

pelaksanaan tradisi ini dari ibu, ibu mertua atau saudara

perempuan yang telah lebih dulu melakukannya. Selain

anggota keluarga, terdapat tetangga dan masyarakat sekitar

yang juga melakukan hal yang sama. Dari pengamatan

mereka, semua wanita postpartum akan melakukan se‟i dan

tatobi mengikuti aturan yang ada. Hal inilah yang

64

menyebabkan terciptanya persepsi tentang pelaksanaan se‟i

dan tatobi sebagai sebuah kewajiban. Seperti yang

dijelaskan oleh Sunaryo (2004) bahwa persepsi merupakan

proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses

pengindraan, dengan persepsi individu dapat mengerti

tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun

tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Hardjana

(2007) yang mengatakan bahwa persepsi merupakan

proses yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih,

mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang

dijumpai disekelilingnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa

lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi perilaku seseorang, seperti penjelasan

Glanz (2015) yang mengatakan bahwa teridentifikasi lima

sumber pengaruh pada perilaku kesehatan yaitu faktor

intrapersonal, interpersonal dan kelompok utama, faktor

institusi, faktor masyarakat dan faktor kebijakan publik.

Menurut Sunaryo, terdapat 2 macam persepsi, yang

pertama adalah external perception, yaitu persepsi yang

terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri

individu; dan yang kedua adalah self-perception, yaitu

persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal

65

dari dalam individu. Penjelasan tersebut mendukung

pernyataan salah satu partisipan yang mengatakan bahwa

keputusannya melakukan tradisi ini bukan semata-mata

karena saran dari orang tua dan tradisi turun temurun tetapi

karena dalam dirinya sendiri ingin melakukannya. Persepsi

setiap orang berbeda, bergantung pada pengalaman masa

lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosinya.

Karenanya, persepsi dapat memengaruhi semua perilaku

atau konsep lain yang berhubungan, seperti yang dijelaskan

oleh Asmadi (2008).

Ibu postpartum mengakui bahwa jika tidak melakukan

tradisi tersebut mereka merasa ada yang kurang. Selain itu

mereka meyakini bahwa tidak melakukan se‟i dan tatobi bisa

menimbulkan penyakit karena darah kotor dari tubuh

mereka tidak keluar semua, badan terasa sakit dan luka

jahitan diperineum akan lebih lama kering. Hal sebaliknya

terjadi jika mereka patuh melakukan se‟i dan tatobi.

Pernyataan partisipan ini didukung oleh hasil penelitian

Barennes (2009) bahwa ‘hot bed’ membantu untuk

mengeringkan dan menyembuhkan vagina dan rahim, dan

untuk mengendurkan otot dan mengurangi rasa sakit.

Selain tradisi, pendidikan yang rendah juga turut

mengambil bagian dalam hal ini. Pendidikan yang rendah

66

berpengaruh pada cara berpikir masyarakat di Kecamatan

Amanuban Barat, bukan saja ibu postpartum tetapi suami

serta keluarga. Cara berpikir masyarakat yang umumnya

berpendidikan rendah juga berdampak pada pemilihan

penolong dan tempat persalinan, serta pengobatan yang

akan dilakukan setelah persalinan. Hal ini juga di didukung

oleh hasil penelitian Ayaz (2008) yang mengatakan bahwa

pelaksanaan praktek-praktek tradisional biasanya

dipengaruhi oleh usia muda, status pendidikan, usia saat

menikah dan tempat persalinan.

Dari hasil penelitian yang diperoleh peneliti, ada

partisipan yang berpendidikan tinggi tetapi tetap

melaksanakan tradisi ini dengan alasan bahwa tradisi yang

sudah dilakukan secara turun temurun tidak bisa

ditinggalkan begitu saja walaupun ada larangan dari

pemerintah. Selain itu, partisipan tersebut juga mengakui

bahwa pelaksanaan tradisi ini dimanfaatkan untuk

beristirahat. Oleh karena itu peneliti berkesimpulan bahwa

tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh yang

signifikan pada pelaksanaan tradisi di masyarakat.

Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Barennes

(2009) yang mengatakan bahwa anehnya wanita yang

berpendidikan tinggi justru melakukan tradisi ‘hot bed’ lebih

67

lama dibanding wanita buta huruf. Hal serupa juga

disampaikan oleh Soerachman (2013) bahwa pemahaman

masyarakat diwilayah penelitian secara menyeluruh

mendukung sikap yang sesuai dengan kebudayaan

masyarakat NTT.

3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan

keputusan.

Hasil analisa data yang diperoleh peneliti ini juga

merupakan salah satu faktor penyebab ibu melakukan

tradisi se‟i dan tatobi. Dari ke 8 ibu postpartum yang

diwawancarai oleh peneliti semuanya melakukan tradisi ini

atas saran dari orang tua dan mertua. Mereka mengakui

bahwa saran yang diberikan oleh orang tua dan mertua

adalah untuk kebaikan dan kesehatan mereka, selain itu

suami mendukung penuh pelaksanaan se‟i dan tatobi

tersebut. Oleh karena itu ibu postpartum mengikuti tanpa

memikirkan dampak tradisi itu kedepannya. Hal ini

dijelaskan oleh Raven (2007) dalam penelitiannya, bahwa

ibu dan ibu mertua yang paling berpengaruh dalam

merekomendasikan perilaku ini.

Selain itu para ibu postpartum yang baru pertama kali

melahirkan merasa kurang berpengalaman sehingga

mereka memutuskan untuk tinggal dirumah orang tua atau

68

mertua mereka sampai proses melahirkan serta tradisi se‟i

dan tatobi selesai dilakukan. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Dennis, dkk. (2007) pada penelitiannya

bahwa dukungan yang biasanya dilakukan dalam bentuk

anggota keluarga merawat ibu baru dan bayinya untuk

jangka waktu tertentu, hampir secara universal dilakukan

pada periode postpartum awal dilakukan oleh ibu, ibu

mertua, saudara perempuan dan suami. Ini juga

membuktikan bahwa ibu postpartum membutuhkan

dukungan dari keluarga atau kerabat selama menjalani

kehamilan hingga periode postpartum.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa

perilaku individu (ibu-ibu postpartum) dipengaruhi oleh faktor

interpersonal, dalam hal ini keluarga sebagai kelompok

utama. Dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang

dilakukan oleh orang yang dianggap paling tua didalam

keluarga. Hal ini dijelaskan oleh Glanz (2015) bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah

faktor interpersonal dan kelompok utama.

4.4.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan

1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak

membahayakan kesehatan.

69

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 6 partisipan,

ditemukan bahwa tidak semua tradisi dilarang oleh tenaga

kesehatan, ada sebagian tradisi yang disetujui karena

dianggap tidak membahayakan kesehatan. Tenaga

kesehatan mengakui bahwa mereka tidak

mempermasalahkan pelaksanaan tradisi tatobi asalkan

dilakukan menggunakan air hangat saja bukan

menggunakan air panas karena air panas dapat mengiritasi

kulit tubuh ibu. Kompres air hangat bermanfaat

menyegarkan tubuh ibu karena mengurangi ketegangan otot

dan memperlancar peredaran darah, hal tersebut didukung

oleh Sinclair (2008) dan Berman (2015) yang mengatakan

bahwa efek panas terhadap tubuh yaitu mengurangi kejang

otot, memperlancar aliran darah, mengurangi rasa sakit, dan

mengurangi kekakuan sendi.

Selain itu, menurut Bahiyatun (2009), salah satu hal

yang perlu diperhatian dalam perawatan postpartum adalah

hygiene personal ibu, hal ini dilakukan dengan mandi dan

membersihkan daerah perineum dengan menggunakan air

hangat untuk meningkatkan kenyamanan dan mencegah

infeksi. Kain yang digunakan untuk tatobi biasanya kain

tenun atau kain alas bayi yang lebar, setelah digunkan untuk

mengompres tubuh ibu, kain tersebut diperas dan dijemur.

70

Selain itu tatobi tidak dilakukan dirumah bulat tanpa jendela

lagi melainkan dirumah modern (rumah tembok) dengan

jendela yang bisa dibuka.

Tenaga kesehatan mengatakan bahwa mereka kurang

menyetujui pelaksanaan se‟i karena dampak yang

ditimbulkan kedepannya bisa membahayakan kesehatan ibu

dan bayi seperti ISPA karena asap dan debu yang

ditimbulkan dari pembakaran kayu untuk se‟i, hal ini

didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

Soerachman (2013) bahwa saat dilakukan pemeriksaan

pada ibu yang melakukan se‟i di rumah bulat terdapat gejala

ISPA pada bayinya seperti batuk dan pilek selama 6 hari,

sedangkan untuk ibunya sendiri menunjukkan gejala batuk,

pilek, sakit kepala, mata bengkak dan pucat. Selain itu hasil

pembakaran tidak sempurna bahan bakar biomassa (kayu

bakar, jerami, arang) biasanya mengandung partikulat debu

yang dapat masuk kedalam saluran pernafasan dan

berbagai senyawa organik (volatile dan non volatile),

termasuk bahan yang bersifat karsinogenik seperti benzo,

formaldehyde, dan benzene. Pendapat tersebut didukung

oleh Kong (2010) yang mengatakan polusi berbentuk asap

pada saat pembakaran dapat menimbulkan gejala sesak

napas (ISPA) dan pada kasus-kasus tertentu lambat-laun

71

dapat menimbulkan efek karsinogenetik, terutama di paru-

paru manusia.

Oleh karena itu para tenaga kesehatan melarang para

ibu postpartum untuk melakukan se‟i didalam dapur, karena

biasanya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat didalam

dapur (dapur masyarakat Amanuban Barat sebagian besar

masih berbentuk rumah bulat/Ume Kbubu tanpa jendela).

Selain itu pelaksanaan se‟i di rumah bulat yang tidak

berjendela membuat kualitas udara lebih buruk seperti yang

disampaikan pada hasil penelitian Anwar (2014), kondisi

rumah bulat tidak memenuhi standar dan nilai kelembaban

udara melampaui batas normal. Karena menyadari hal itu,

para tenaga kesehatan berupaya mengubah tradisi ini.

2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah

pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.

Peraturan yang melarang pelaksanaan se‟i adalah

Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan no 6

tahun 2013, Tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru

Lahir, Bayi, dan Anak Bawah Lima Tahun. Didalam PERDA

tersebut pada Bab IV pasal 18 mengenai Pelayanan

Kesehatan Ibu Nifas tertulis bahwa “Ibu nifas dilarang

melakukan se‟i setelah melahirkan”. Pada penelitian ini,

peneliti mendapatkan hasil yang mengejutkan dimana para

72

tenaga kesehatan yang sudah menikah sebagian besar

pernah melakukan se‟i dan tatobi. Ada yang melakukannya

1 kali, tetapi ada juga yang berulang kali. Mereka mengakui

bahwa saat itu belum ada peraturan pemerintah yang

melarang pelaksanaan se‟i. Walaupun tingkat pendidikan

mereka cukup tinggi, tidak menjamin bahwa mereka akan

meninggalkan tradisi mereka sendiri, seperti yang

diungkapkan Maunati (2008) bahwa pendidikan yang tinggi

belum tentu dapat merubah tradisi yang sudah berakar

didalam masyarakat dengan mudah jika hanya dilakukan

secara individu.

Mereka juga mengatakan bahwa se‟i bisa memberikan

waktu istirahat yang cukup bagi mereka. Pernyataan ini

didukung oleh hasil penelitian Berennes, dkk. (2009) di

Viantiane, Laos, bahwa wanita dengan pendidikan tinggi

lebih lama melakukan tradisi ‘hot bed’ (tradisi dimana ibu

berbaring di atas tempat tidur dengan bara api dibawahnya)

daripada wanita buta huruf. Mereka mengatakan bahwa ‘hot

bed’ adalah kesempatan untuk beristirahat, untuk menjauh

dari tugas sehari-hari dan untuk memperkuat hubungan

sosial dengan keluarga. Selain itu, aktivitas fisik berkurang

terkait dengan istirahat sehingga dapat menyeimbangkan

73

asupan kalori harian yang rendah karena pantangan

makanan.

Sedangkan tenaga kesehatan yang belum menikah

dalam penelitian ini mengatakan bahwa mereka tidak akan

melakukan tradisi se‟i dan tatobi jika memiliki anak karena

mereka menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh

tradisi tersebut dan adanya larangan dari pemerintah.

Mereka juga mengatakan bahwa pengalaman mereka

terkait tradisi se‟i dan tatobi selama ini hanya didapat dari

keluarga yang pernah melakukan, seperti hasil penelitian

yang dilakukan oleh Suryawati (2007) mengatakan bahwa

keluarga sangat berperan dalam pelaksanaan tradisi.

3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif

berupa penyuluhan dan sosialisasi.

Susahnya merubah kebiasaan dan kepercayaan

masyarakat yang sudah menjadi tradisi tidak menyurutkan

niat tenaga kesehatan untuk meningkatkan kesehatan

masyarakat Kecamatan Amanuban Barat menjadi lebih baik.

Ini merupakan suatu tantangan bagi tenaga kesehatan

sebagai pendidik kesehatan, dalam memadukan budaya

kedalam penyusunan program yang akan mereka gunakan.

Seperti yang dijelaskan oleh Bensley (2009) bahwa banyak

organisasi dan lembaga kesehatan yang masih menghadapi

74

kendala yang menghambat kemampuan mereka untuk

secara efektif memadukan budaya ke dalam penyusunan

program, pemilihan metode, dan pengembangan materi.

Bensley sendiri sudah memberikan beberapa cara untuk

menghindari kendala tersebut yaitu 1) menyadari dan

menerima perbedaan dan persamaan budaya; 2) memiliki

kemampuan untuk mengkaji diri budaya; 3) memiliki

kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman yang diperlukan

dari populasi sasaran; 4) mengembangkan keterampilan

yang memfasilitasi perbedaan; dan 5) memiliki kepekaan

yang dinamis terhadap interaksi budaya. Cara-cara tersebut

di harapkan dapat membantu para tenaga kesehatan dalam

menghadapi persoalan kesehatan yang berkaitan dengan

budaya.

Berdasarkan hasil analisa data, kesulitan yang

dihadapi oleh tenaga kesehatan disini berkaitan dengan

faktor perilaku kesehatan masyarakat setempat, dimana

mereka memiliki kepercayaan dan keyakinan terhadap

tradisi yang sudah mereka anut selama ini. Pernyataan ini

didukung oleh Maulana (2009) yang mengatakan bahwa

faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor, salah

satunya adalah faktor predisposisi yang mencakup

pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma

75

sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri

individu dan masyarakat.

Berbagai upaya dilakukan oleh tenaga kesehatan agar

masyarakat menyadari dampak se‟i kedepannya, seperti

melakukan penyuluhan dan sosialisasi sejak dikeluarkannya

PERDA Kab. TTS yang melarang pelaksanaan tradisi se‟i

pada tahun 2013. Pernyataan ini didukung oleh penelitian

dari Soerachman (2013) bahwa perlu dilakukan penyuluhan

pada masyarakat mengenai efek dari tradisi se‟i, juga

melakukan intervensi pada rumah bulat menjadi rumah bulat

sehat. Para tenaga kesehatan berusaha mengadakan

program yang bertujuan meningkatkan komunikasi dengan

masyarakat setempat. Mereka melakukan penyuluhan dan

sosialisasi karena mereka menyadari komunikasi adalah

salah satu faktor penting yang dapat melancarkan program-

program tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan dari

Liliweri (2007) bahwa komunikasi manusia merupakan

bagian yang sangat penting dalam layanan kesehatan,

mulai dari konsultasi kesehatan hingga ke penyebarluasan

informasi kesehatan. Dalam promosi kesehatan misalnya,

ditekankan tentang bagaimana merancang informasi yang

sesuai dengan kebutuhan sasaran layanan, termasuk

kampanye kesehatan yang didukung oleh teknologi

76

komunikasi yang dapat diterima oleh sasaran budaya yang

berbeda.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, tenaga

kesehatan melakukan penyuluhan saat ibu postpartum dan

keluarga akan pulang kembali kerumah setelah melahirkan.

Didalam penyuluhan tersebut tenaga kesehatan

menjelaskan dampak se‟i kepada ibu dan keluarga serta

menyarankan agar se‟i dengan menggunakan arang

secukupnya dan tatobi menggunakan air hangat. Tenaga

kesehatan juga melakukan sosialisasi ke posyandu-

posyandu ibu hamil dan ibu Nifas yang diadakan 1 bulan 1

kali. Hal ini dilakukan agar masyarakat yakin terhadap

dampak negatif yang ditimbulkan dan merubah pemikiran

mereka tentang tradisi yang mereka jalani. Hal ini juga

disimpulkan oleh Bastable (2002) yang mengatakan bahwa

perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya.

Menurut health belief model, kemungkinan seseorang

melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi secara

langsung dari keyakinan atau penilaian kesehatan (health

beliefs), antara lain ancaman yang dirasakan dari sakit atau

luka, keuntungan dan kerugian, dan petunjuk berperilaku

untuk memulai proses perilaku, yang disebut sebagai

keyakinan terhadap posisi yang menonjol.

77

Selain dua program diatas, terdapat 1 program lagi

yang telah dirancang oleh puskesmas yaitu melakukan

kunjungan ke rumah ibu nifas. Tetapi program ini tidak

berjalan dengan efektif dikarenakan jumlah tenaga

kesehatan yang tidak seimbang dengan jumlah ibu nifas,

jarak rumah antar ibu nifas yang berjauhan dan jauh dari

tempat layanan kesehatan seperti puskesmas, serta kondisi

jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan

apalagi saat kondisi hujan menjadi penyebab program ini

tidak berjalan, seperti pernyataan Alwi (2007) dalam

penelitiannya bahwa sarana dan prasarana yang memadai

mendukung keberhasilan suatu program.

4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.

Dari hasil analisa peneliti, hambatan terbesar bagi

para tenaga kesehatan dalam menjalankan program guna

meminimalisir pelaksanaan se‟i dan tatobi adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah. Mengubah

pemikiran masyarakat dan tradisi turun temurun yang

selama ini mereka anut bukan sesuatu yang mudah. Hal ini

juga dijelaskan dalam teori yang dikemukakan oleh

Noorkasiani (2009) dan Maulana (2009) bahwa perilaku

seseorang ditentukan oleh 3 faktor, yaitu 1) faktor

78

predisposisi yang termasuk didalamnya adalah

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan,

nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi;

2) faktor pendukung berupa lingkungan fisik, sarana

kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung,

dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan; 3)

faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas

kesehatan.

Hal ini membutuhkan waktu yang panjang dan

kesabaran. Selain itu tenaga kesehatan juga menyadari

bahwa mereka tidak bisa langsung merubah apa yang

selama ini sudah diyakini oleh masyarakat begitu saja.

Mereka harus melakukan pendekatan dalam

memperkenalkan pengobatan modern tanpa melupakan

nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Disini tenaga

kesehatan harus menyadari kemungkinan perbedaan dari

peraturan kesehatan dengan praktek tradisional yang

masyarakat jalani, seperti pernyataan yang disampaikan

Yeh (2014) dalam penelitiannya bahwa beberapa praktek

postpartum tetap dipertahankan berdasarkan penjelasan

tradisional, tetapi banyak yang diubah atau ditantang,

berdasarkan penjelasan dari pengetahuan ilmiah

kontemporer.

79

Tenaga kesehatan perlu menyadari bahwa mungkin

ada perbedaan antara budaya mereka dalam merawat dan

nilai-nilai budaya dari wanita yang mereka rawat. Hal serupa

juga diungkapkan oleh Soerachman (2013) yaitu dengan

memandang masyarakat sasaran sederajat dan memahami

patokan/cara mereka dalam menetapkan „baik‟ dan „buruk‟,

maka kita akan dapat mengira dampak yang akan terjadi

bila langkah tertentu diambil. Dengan demikian, tatanan

budaya masyarakatnya tidak akan rusak, dan mereka juga

tidak akan mencurigai orang luar yang dapat mengakibatkan

terjadi konflik atau masalah. Selain itu, perlu dilakukan

pemahaman mengenai konsepsi budaya masyarakat

setempat.

Berdasarkan pertimbangan diatas, tenaga kesehatan

berupaya mengubah tradisi ini secara perlahan. Hal ini

membuahkan hasil dengan adanya perubahan tradisi se‟i

dan tatobi walaupun belum signifikan. Awalnya dilakukan

dirumah bulat dengan bara api yang cukup banyak,

sekarang tidak boleh dilakukan di rumah bulat lagi dan

hanya menggunakan arang secukupnya. Perubahan yang

terjadi didalam tradisi ini didukung oleh pernyataan Maunati

(2006) bahwa tradisi bisa dikatakan sebagai identitas dari

suatu etnis atau kelompok. Identitas etnis dibangun sesuai

80

dengan situasi yang ada. Identitas bersifat situasional dan

bisa berubah, dengan kata lain tradisi bisa berubah sesuai

situasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa masyarakat yang melakukan tradisi saat ini secara

perlahan mulai membuka diri terhadap masukan dari pihak

luar dan mengalami perkembangan.

Jika tenaga kesehatan ingin mengadaptasi praktek

tradisional yang dilakukan masyarakat kedalam pengobatan

modern dengan peraturan kesehatan maka disini tenaga

kesehatan mengambil peran dari anggota keluarga, hal

tersebut bisa berakibat pada peran dan hubungan keluarga.

Hal ini didukung oleh pernyatan Chen Yeh (2014) bahwa

bidan mengambil peran tradisional yang dilakukan oleh

anggota keluarga, yang berdampak pada peran dan

hubungan keluarga.

5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran

masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.

Sulitnya merubah tradisi menjadi satu tantangan

tersendiri bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Nulle.

Infrastruktur perawatan kesehatan yang telah disediakan

oleh pemerintah belum digunakan secara maksimal oleh

masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya jarak

rumah yang jauh dari fasilitas tersebut serta transportasi

81

yang tidak memadai. Ini menjadi salah satu alasan yang

mendorong sebagian ibu postpartum melakukan perawatan

tradisional sendiri dirumah. Seperti yang dijelaskan oleh

Thind, dkk. (2004) dalam penelitiannya yaitu meskipun

kehadiran infrastruktur kesehatan yang luas di Indonesia

belum secara menyeluruh mengubah persepsi masyarakat

yang menganggap bahwa rumah sebagai penyedia

„kekuatan hidup‟ yang diperlukan.

Oleh karena itu, tenaga kesehatan berupaya

mengubah persepsi ibu postpartum mengenai tradisi yang

dilakukan dirumah secara perlahan. Mereka melakukan

sosialisasi dan penyuluhan guna menambah pengetahuan

dan membuka pikiran masyarakat tentang dampak negatif

yang ditimbulkan oleh tradisi se‟i. Jika masyarakat

menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh se‟i, mereka

akan berusaha memperbaiki perilaku kesehatan mereka.

Hal ini dijelaskan oleh Efendi & Makhfudli (2009) terkait

proses adaptasi perilaku, dimana mereka mengatakan

bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan

bertahan lebih lama dari perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Efendi & Makhfudli juga menjelaskan bahwa

seseorang yang mengadaptasi perilaku yang baru melalui

beberapa proses yang berurutan, yaitu 1) timbul kesadaran

82

(awarenes), yakni orang terrsebut menyadari stimulus

terlebih dahulu; 2) ketertarikan (interest), yakni orang

tersebut mulai tertarik kepada stimulus; 3)

mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation); 4)

mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan

untuk mulai mencoba perilaku baru; 5) mengadaptasi

(adaptation), yakni orang tersebut telah berperilaku baru

sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya

terhadap stimulus. Proses adaptasi perilaku ini dapat

berjalan dengan baik jika faktor-faktor perilaku kesehatan

searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan

perilaku positif dari masyarakat, pernyataan ini didukung

oleh Maulana (2009).

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kesehatan

mengakui bahwa mereka tidak langsung melarang ibu

postpartum untuk meninggalkan tradisi se‟i dan tatobi, tetapi

para tenaga kesehatan mengurangi intensitas dari

pelaksanaan tradisi tersebut, yang semula bara api untuk

se‟i menyala selama 24 jam penuh, sekarang hanya

dilakukan pada pagi dan sore/malam hari. Selain itu, tenaga

kesehatan menyarankan agar menggunakan bara api

secukupnya saja serta tidak melakukannya didapur (dapur

83

ditempat penelitian sebagian besar masih berbentuk rumah

bulat).

Hal ini dilakukan oleh tenaga kesehatan bukan karena

mereka menyetujui pelaksanaan tradisi yang dianggap

membahayakan kesehatan, tetapi mereka berupaya

mengubah tradisi tanpa menyinggung perasaan dari

masyarakat yang masih memegang teguh tradisi tersebut.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dennis, dkk (2007)

bahwa praktek postpartum tradisional memiliki implikasi

yang signifikan untuk penyediaan kesehatan yang kompeten

secara budaya.

Selain itu tenaga kesehatan juga mengadakan

program yang bertujuan untuk menambah pengetahuan,

menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu

dan anak serta mengetahui dampak negatif dari tradisi yang

dilakukan, seperti melakukan sosialisasi dan posyandu.

Dari ke 8 partisipan ibu postpartum yang diwawancarai

oleh peneliti mengakui bahwa tradisi yang mereka lakukan

sekarang tidak sepenuhnya „murni‟ seperti yang dulu. Hal ini

diungkapkan karena mereka merasa bahwa tradisi se‟i dan

tatobi yang mereka lakukan saat ini mengalami perubahan

secara perlahan, walaupun belum sepenuhnya ditinggalkan.

Perubahan yang terjadi sama seperti pernyataan yang

84

disampaikan oleh Dennis, dkk. (2007) bahwa penting untuk

mengakui sifat dinamis dari praktek-praktek ini karena

mereka dipengaruhi faktor-faktor seperti modernisasi,

globalisasi dan imigrasi.