BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ... -...

29
41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Peremajaan Biakan dan Kultur Padat Peremajaan biakan dan kultur padat pada bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis dilakukan dengan memindahkan atau memperbarui biakan bakteri dari biakan lama ke medium tumbuh yang baru secara berkala. Machmud (2001) menyatakan bahwa teknik peremajaan biakan merupakan cara paling tradisional yang digunakan peneliti untuk memelihara koleksi isolat mikroba di laboratorium. Peremajaan biakan ini juga bertujuan untuik menyelamatkan isolat bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis dari kontaminasi oleh bakteri lain dan memberikan penyegaran pada nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Peremajaan kultur bakteri dengan menggunakan medium segar dengan jenis yang sama seperti medium awal bertujuan untuk mempercepat fase adaptasi dan mempersiapkan sel pada fase eksponensial. Bakteri yang berada dalam fase eskponensial atau tahap propagasi ini mensintesis enzim dan mengatur aktivitasnya sehingga mampu tumbuh lebih efisien dalam kondisi baru. Peremajaan juga memberikan nutrisi baru bagi bakteri sehingga sel-selnya dapat tumbuh sehat (Hartanti 2010). Nutrient agar (NA) merupakan medium yang umum digunakan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni. Medium NA dapat digunakan pada beberapa bakteri kosmopolit seperti B.subtilis dan B.thuringiensis. Pertumbuhan B.subtilis yang diinkubasi pada suhu 31 0 C selama 24 jam relatif cepat, hal ini dapat dibuktikan dengan tebalnya koloni B.subtilis pada medium NA (Gambar 11). Cook dan Korsten (1996) menyatakan bahwa B.subtilis memiliki waktu inkubasi optimum 24 jam. Suhu pertumbuhan B.subtilis yaitu pada kisaran 30 - 37 0 C. Sreekumar dan Soundrajan (2010) menyatakan bahwa suhu optimum B.subtilis yaitu pada 35 0 C. Susanti dan Bintari (2013) menyatakan bahwa B.subtilis dapat tumbuh pada range pH 6.0 - 7.0. Sarikaya dan Gurgun (1999) menyatakan bahwa pH optimum bakteri B.subtilis yaitu 7.0. Wijiyono (2009) menyatakan bahwa B.subtilis merupakan bakteri halotoleran yang dapat

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ... -...

41

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peremajaan Biakan dan Kultur Padat

Peremajaan biakan dan kultur padat pada bakteri B.subtilis dan

B.thuringiensis dilakukan dengan memindahkan atau memperbarui biakan bakteri

dari biakan lama ke medium tumbuh yang baru secara berkala. Machmud (2001)

menyatakan bahwa teknik peremajaan biakan merupakan cara paling tradisional

yang digunakan peneliti untuk memelihara koleksi isolat mikroba di laboratorium.

Peremajaan biakan ini juga bertujuan untuik menyelamatkan isolat bakteri

B.subtilis dan B.thuringiensis dari kontaminasi oleh bakteri lain dan memberikan

penyegaran pada nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri.

Peremajaan kultur bakteri dengan menggunakan medium segar dengan

jenis yang sama seperti medium awal bertujuan untuk mempercepat fase adaptasi

dan mempersiapkan sel pada fase eksponensial. Bakteri yang berada dalam fase

eskponensial atau tahap propagasi ini mensintesis enzim dan mengatur

aktivitasnya sehingga mampu tumbuh lebih efisien dalam kondisi baru.

Peremajaan juga memberikan nutrisi baru bagi bakteri sehingga sel-selnya dapat

tumbuh sehat (Hartanti 2010). Nutrient agar (NA) merupakan medium yang

umum digunakan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni. Medium NA

dapat digunakan pada beberapa bakteri kosmopolit seperti B.subtilis dan

B.thuringiensis.

Pertumbuhan B.subtilis yang diinkubasi pada suhu 310C selama 24 jam

relatif cepat, hal ini dapat dibuktikan dengan tebalnya koloni B.subtilis pada

medium NA (Gambar 11). Cook dan Korsten (1996) menyatakan bahwa B.subtilis

memiliki waktu inkubasi optimum 24 jam. Suhu pertumbuhan B.subtilis yaitu

pada kisaran 30 - 370C. Sreekumar dan Soundrajan (2010) menyatakan bahwa

suhu optimum B.subtilis yaitu pada 350C. Susanti dan Bintari (2013) menyatakan

bahwa B.subtilis dapat tumbuh pada range pH 6.0 - 7.0. Sarikaya dan Gurgun

(1999) menyatakan bahwa pH optimum bakteri B.subtilis yaitu 7.0. Wijiyono

(2009) menyatakan bahwa B.subtilis merupakan bakteri halotoleran yang dapat

42

tumbuh pada berbagai salinitas yaitu mulai dari salinitas 0 - >30 ppt. Pada

salinitas >30 ppt B.subtilis dapat tumbuh dengan jumlah koloni 20.62 x 107

cfu/ml.

Adapun kondisi kultivasi B.thuringiensis tidak berbeda halnya dengan

B.subtilis yaitu dilakukan inkubasi pada suhu 310C selama 24 jam. B.thuringiensis

dapat tumbuh pada interval suhu 0 - 500C dan memiliki pertumbuhan optimum

pada suhu 400C (Mawadza et.al. 2000; Li et.al. 2006; Fan et.al. 2007 dalam Lin

et.al 2012). Selain itu, B.thuringiensis dapat tumbuh pada kisaran pH 6.4 - 7.5

(Kwalimwa 2012) dan mampu tumbuh optimum pada pH 7.0 (Kesharvazi et.al

2005). B.thuringiensis dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 20 - 50 ppt

(Phillips et.al. 2012) karena bakteri B.thuringiensis merupakan bakteri halotoleran

yang dapat mentolerir berbagai tingkat salinitas (Van-Thuoc et.al 2012).

Peremajaan biakan isolat bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis

menggunakan tabung reaksi pada agar miring dan kultur padat menggunakan

cawan petri. Kultur padat dilakukan menggunakan metode goresan kuadran

(Streak quadrant). Metode ini hampir sama dengan goresan T, namun berpola

goresan yang berbeda yaitu dibagi empat daerah. Daerah 1 merupakan goresan

awal sehingga masih mengandung banyak sel mikroorganisme. Goresan

selanjutnya dipotongkan atau disilangkan dari goresan pertama sehingga jumlah

semakin sedikit dan akhirnya terpisah-pisah menjadi koloni tunggal (Gambar 11).

Dalam kultur murni, goresan T merupakan tipe goresan yang sangat tepat. Prinsip

kerjanya yaitu mengencerkan (dilusi) dan menyebarkan (dispersi) sel ketika

diinkubasi, sehingga bakteri akan membentuk koloni terisolasi yang dipisahkan.

Setelah inkubasi, terlihat dari setiap kuadran koloni bakteri yang terbentuk

mengalami perubahan hingga mendapatkan koloni tunggal (Microbiology Faculty

2010). Koloni tunggal digunakan untuk proses uji aktivitas selulolitik karena

isolatnya telah murni.

Bakteri B.subtilis yang diremajakan pada penelitian ini memiliki

karakteristik morfologis diantaranya bakteri Gram-positif (Lampiran 16),

uniseluler yang berbentuk batang dan hidup secara aerob. B.subtilis membentuk

43

tipe khusus saat dorman yang disebut endospora. Endospora terbentuk dari sel

vegetatif sebagai respon terhadap lingkungan yang ekstrim (Todar 2011)

Thimann (1955) menyatakan bahwa bakteri B.subtilis mempunyai kapsul

yang berisi polipeptida dari asam D-glutamat. Bakteri B.subtilis merupakan

bakteri berspora. Jika ditumbuhkan pada media segar yang cocok (misalnya pada

glukosa sederhana atau alanin), spora dapat segera tumbuh. Untuk pertumbuhan

sporanya, B.subtilis mengalami dua tahap. Pada tahap pertama terjadi

pembengkakan spora. Pembiakan vegetatif pada tahap ini dapat dilihat dengan

bantuan metilen biru. Pada tahap kedua dinding spora terbagi melalui bidang

ekuator, kemudian di bagian dalam terjadi pemanjangan sel vegetatif yang cepat,

membalik sampai spora bermunculan. Pertumbuhan spora B.subtilis terjadi pada

pada lingkungan dengan pH mendekati netral.

Gambar 11. Hasil Peremajaan Biakan dan Kultur Padat Isolat Bakteri

B.subtilis

a. Agar Miring

b. Agar Cawan

Isolat bakteri B.thuringiensis yang didapat dalam penelitian ini memiliki

karakteristik morfologis diantaranya merupakan gram positif berbentuk batang

(Lampiran 16). Bakteri B.thuringiensis merupakan salah satu anggota B.cereus

grup bersama dengan B.anthraxis. Bakteri B.thuringiensis mempunyai ciri khusus

yaitu kemampuannya untuk menghasilkan protein kristal protoksin intraseluler

dari kelompok δ-endotoksin sehingga dapat dibedakan dengan B.cereus. Bakteri

B. thuringiensis memiliki ukuran lebar 1,0 - 1,2 μm dan panjang 3 - 5 μm (Bravo

et al., 1998).

Koloni B.thuringiensis jika ditumbuhkan pada media padat berbentuk

bulat (Gambar 12). Koloni B.thuringiensis berbentuk oval, berwarna terang,

b a

44

letaknya subterminal, berukuran 1,0-1,3 μm dengan tepian berkerut, memiliki

diameter 5 – 10 mm, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasar

(Buchner 1981 dalam Syamsu dkk 2011). Ciri khas yang terdapat pada

B.thuringiensis adalah kemampuannya membentuk kristal bersamaan dengan

pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut

merupakan komplek protein yang mengandung toksin (d-endotoksin) yang

terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru ke luar

dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna.

Gambar 12. Hasil Peremajaan Biakan dan Kultur Padat Isolat Bakteri

B.thuringiensis

a. Agar Miring

b. Agar Cawan

4.2 Hasil Uji Aktivitas Selulolitik

Pengujian aktivitas selulolitik pada isolat bakteri B.subtilis dan

B.thuringiensis dilakukan dengan menambahkan CMC (Carboxy Methyl

Celullose) 1% pada medium nutrient agar + air laut steril. Hal ini bertujuan untuk

melihat respon dari isolat bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis terhadap substrat

selulosa (Tabel 5).

a b

45

Tabel 5. Uji Aktivitas Selulolitik Pada Isolat Bakteri B.subtilis dan Bakteri

B.thuringiensis

Kode

Isolat

Diameter Zona Bening (mm) Diameter Koloni (mm) Indeks

Selulolitik I II III Rata-rata I II III Rata-rata

B.1.2 11,48 10,66 9,55 10,56 6,20 6,55 6,23 6,32 1,67

C2 19,09 20,07 18,12 19,09 7,78 7,04 6,27 7,03 2,71

Keterangan:

B.1.2 = Isolat bakteri B.subtilis

C2 = Isolat bakteri B.thuringiensis

rata-rata diameter zona bening

rata-rata diameter koloni

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa indeks selulolitik isolat

B.subtilis lebih kecil dibandingkan dengan indeks selulolitik B.thuringiensis. Hal

ini menunjukkan bahwa kemampuan selulolitik B.thuringiensis lebih besar

dibandingkan B.subtilis. Baik B.subtilis maupun B.thuringiensis terbukti

memperlihatkan kemampuan selulolitik yang ditunjukkan dengan terbentuknya

zona bening di sekitar koloni pada medium agar CMC dengan visualisasi

menggunakan pewarna Red Congo 0,1% (Gambar 13 dan 14). Isolat bakteri

B.subtilis memiliki nilai indeks selulolitik 1,67 mm.

Gambar 13.

Uji Aktivitas Selulolitik Hasil Pewarnaan Red congo (Isolat B.1.2)

Isolat bakteri B.thuringiensis memiliki nilai indeks selulolitik 2,71 mm.

Besarnya nilai indeks selulolitik pada B.thuringiensis menunjukkan kemungkinan

produksi enzim endoglukanase lebih besar dibandingkan dengan bakteri

B.subtilis, sehingga berpotensi sebagai katalis yang efektif dalam proses

pembuatan bioetanol dari rumput laut.

Zona Bening

Koloni Bakteri

Indeks selulolitik (IS)

46

Gambar 14.

Uji Aktivitas Selulolitik Hasil Pewarnaan Red congo (Isolat C2)

CMC digunakan sebagai substrat dalam penentuan aktivitas enzim

selulase. CMC merupakan substrat paling murni dibandingkan substrat-substrat

lain seperti kertas saring, avicel dan lain-lain (Fitriani 2003). Selain itu, CMC

adalah selulosa murni yang mudah terlarut dalam medium dan mudah terhidrolisis

(amorf) dibandingkan jika selulosa yang diambil dari alam yang masih berikatan

dengan lignin dan hemiselulosa serta masih memiliki struktur yang tidak mudah

larut (kristalin) yang tinggi (Astutik 2012). CMC diketahui merupakan substrat

efektif untuk produksi enzim endoglukanase (Tae-Il et al. 2000), lebih lanjut

Zhang et.al (2006) menyatakan bahwa CMC merupakan substrat yang memiliki

spesifikasi untuk pengujian aktivitas enzim endoglukanase dibandingkan dengan

substrat selulosa yang lain.

Pada pengujian aktivitas selulolitik dengan penambahan CMC 1% sebagai

substrat selulosa pada medium kultur memberikan zona bening yang tidak tampak

secara visual, sehingga perlu dilakukan pewarnaan menggunakan red congo untuk

melihat zona bening yang dihasilkan (Ramadhan 2012).

Pewarna red congo memiliki interaksi sangat kuat dengan polisakarida

yang mengandung unit-unit β-D-Glukan seperti selulosa (Teather and Wood

1981). Kemampuan interaksi ini dijadikan indikator degradasi selulosa dalam

medium agar dengan penambahan CMC yang ditunjukan oleh adanya zona bening

di sekitar koloni mikroorganisme/ bakteri selulolitik setelah diberi pewarna red

congo (Ramadhan 2012). Pembentukan zona bening disekitar koloni bakteri

Koloni Bakteri

Zona Bening

47

menunjukkan sudah tidak terdapatnya (degradasi) CMC pada daerah tersebut. Hal

ini mengindikasikan produksi enzim endoglukanase oleh isolat bakteri B.subtilis

dan B.thuringiensis untuk memecah CMC menjadi gula yang lebih sederhana

sebagai alternatif sumber karbon.

4.3 Teknik Molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan

Bioinformatik

4.3.1 Isolasi DNA Genom Bakteri

Isolasi DNA genom menggunakan Wizard® Genomic DNA Purification

Kit Promega. Isolasi DNA secara umum memiliki empat tahap, yaitu pemecahan

sel, ekstraksi DNA, presipitasi DNA dan pencucian DNA. Penggunaan Lysozyme

dan Nuclei Lysis Solution berperan dalam proses pemecahan sel dan ekstraksi

DNA sedangkan dalam tahap presipitasi digunakan menggunakan Protein

Precipitation Solution dan terakhir pengawetan pellet hasil isolasi DNA genom

menggunakan ethanol 70% dan DNA Rehydration Solution.

Sebelum masuk ke dalam tahap isolasi, hasil kultur cair disentrifugasi pada

13.000 rpm selama 2 menit untuk mengambil pellet bakteri. Hal ini bertujuan

untuk mendapatkan pellet bakteri untuk diisolasi menggunakan Wizard®

Genomic DNA Purification Kit Promega. Tahap pertama yaitu dengan

menambahkan EDTA yang berperan dalam pelemahan struktur lipid bilayer pada

dinding sel bakteri. Selain itu, EDTA juga berperan dalam mempertahankan

integritas DNA hasil isolasi dengan cara mengikat ion magnesium yang

merupakan kofaktor esensial bagi enzim nuklease yang mampu mendegradasi

DNA (Yagi et.al 1996). Tahap kedua yaitu penambahan Lysozyme untuk

menyempurnakan proses lisis dinding sel dari bakteri. Lysozyme merupakan

enzim yang berperan untuk menghidrolisis rantai polisakarida yang terdapat pada

dinding sel bakteri (Sopyan 2009). Suhu inkubasi yang digunakan yaitu selama 45

menit pada suhu 370C.

Tahap ketiga yaitu dengan menambahkan Nuclei Lysis Solution, yang

memiliki peran untuk menghancurkan dinding nukleus (pada eukariot). Pada

isolasi DNA prokariot, Nuclei Lysis Solution dapat berperan sebagai pengganti

48

senyawa kimia yang mampu merusak dinding dan membran sel. Suhu inkubasi

yang digunakan yaitu selama 5 menit pada suhu 800C. Tahap keempat yaitu

penambahan RNAse Solution yaitu untuk menghancurkan RNA sehingga DNA

dapat diisolasi secara utuh. Suhu inkubasi yang digunakan setelah RNAse

ditambahkan yaitu selama 30 menit pada suhu 370C. Setelah didapatkan DNA

secara utuh, maka dilakukan penambahan Protein Precipitation Solution untuk

membersihkan debris protein. Peran dari Protein Precipitation Solution yaitu

untuk mengendapkan protein agar DNA yang akan diekstraksi tidak

terkontaminasi oleh protein-protein sel. Cara memaksimalkan saat proses

pembersihan debris protein dengan mengikubasi on-ice selama 5 menit lalu

disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 3 menit. DNA dipisahkan dari debris

jaringan dan protein dengan sentrifugasi dengan landasan bahwa debris sel dan

protein dengan besar molekul lebih besar akan mengendap (Angelia 2009).

Tahap ke lima yaitu supernatan yang telah dipisahkan dari debris sel dan

protein lalu ditambahkan isopropanol untuk melarutkan lemak, garam alkohol dan

mengendapkan DNA. Angelia (2009) menyebutkan bahwa Presipitasi DNA oleh

alkohol dapat dilakukan dengan etanol absolut atau isopropanol. Kedua alkohol

tersebut memiliki sifat yang berbeda, yaitu: (1) Etanol lebih volatil dibandingkan

dengan isopropanol sehingga pelet dapat dikeringudarakan tanpa vakum, (2)

Etanol lebih efektif dibandingkan isopropanol dalam melarutkan garam sehingga

garam tidak tertinggal pada pelet DNA, (3) Etanol membutuhkan 2.5 kali volume

total suspensi DNA untuk dapat mempresipitasi DNA, sedangkan isopropanol

cukup dengan 1 kali volume total, dan (4) Akibat kepolarannya, etanol lebih lama

mengendapkan DNA dibandingkan dengan isopropanol. Beberapa protokol

menyarankan etanol atau isopropanol diberikan dalam kondisi dingin (4°C) untuk

mempertahankan integritas DNA. Menurut Sambrook et.al. (1989), suhu yang

dingin (4°C) atau suhu ruang (25°C) alkohol tidak berpengaruh signifikan

terhadap hasil presipitasi DNA.

Setelah DNA mengendap, supernatan kemudian dibuang dan didapatkan

endapan DNA yang bebas dari kontaminasi debris sel, protein, ataupun substansi

lain. Pellet DNA pada sampel B.1.2 terlihat lebih banyak dibandingkan dengan

49

sampel C2. Pellet DNA hasil sentrifugasi ditambahkan ethanol 70% untuk

mencuci benang DNA. Angelia (2009) menyatakan bahwa Etanol 70-80 % akan

melarutkan garam NH3+

yang kemungkinan masih terdapat pada isolat DNA,

tanpa melarutkan asam nukleat. Sentrifugasi dilakukan kembali untuk

mengendapkan DNA. DNA yang telah murni lalu ditambahkan DNA Rehydration

Solution untuk pengawetan DNA. Dalam membantu proses rehidrasi maka

dilakukan inkubasi selama 60 menit pada suhu 650C. Setelah inkubasi, lalu DNA

didinginkan selama 5 menit dalam suhu ruang. DNA hasil isolasi dielektroforesis

untuk mengetahui kualitas ataupun kuantitas DNA (Gambar 15 dan 16).

Gambar. 15

Elektroforegram Hasil Isolasi DNA Genom Bakteri B.subtilis

Gambar. 16

Elektroforegram Hasil Isolasi DNA Genom Bakteri B.thuringiensis

Hasil Isolasi DNA

Genom

500 bp

1000 bp

1500 bp

10.000 bp

M B.1.2

Keterangan:

B.1.2 : Isolat Bakteri B.subtilis

M : Marker DNA Ladder 1 kb bp : basepair

Keterangan:

C2 : Isolat Bakteri B.thuringiensis

M : Marker DNA Ladder 1 kb

bp : basepair

M

500 bp

1000 bp

1500 bp

10.000 bp Hasil Isolasi DNA Genom

C2

50

Pada elektroforegram hasil isolasi DNA genom B.subtilis (Gambar 15)

nampak bahwa sampel dengan kode B.1.2 terlihat adanya pita. Sedangkan, pada

elektroforegram hasil isolasi DNA genom B.thuringiensis (Gambar 16) terlihat

bahwa pita DNA sangat tipis. Pita DNA yang tipis mengindikasikan bahwa

kemungkinan kuantitas DNA genom yang terisolasi sedikit. Pada hasil isolasi

DNA genom bakteri B.subtilis (Gambar 15) dan bakteri B.thuringiensis (Gambar

16) terlihat bahwa ukuran DNA genom bakteri berada di atas 10.000 bp. Genom

bakteri diketahui berukuran 4,6 x 106 bp (Escherichia coli) (Yuwono 2005).

4.3.2 Desain Primer Gen Pengkode Endoglukanase

a. Primer Spesifik Untuk Bakteri B.subtilis

Sekuen database gen endoglukanase dari bakteri Bacillus subtilis diunduh

dari 3 isolat diantaranya Bacillus subtilis subsp. subtilis str. RO-NN-1, Bacillus

subtilis subsp. inaquosorum KCTC 13429, dan Bacillus subtilis subsp. subtilis str.

BSP1. Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan untuk memperbesar peluang

amplifikasi gen endoglukanase dari bakteri B.subtilis yang berasal dari strain yang

berbeda. Dari ketiga isolat tersebut, didapatkan hasil bahwa konsensus berhasil

dikonstruksi. Konstruksi konsensus merupakan kompromi sekuen diantara

database yang merepresentasikan lestarinya (conserved) gen tersebut. Hasil

konstruksi sekuen konsensus gen endoglukanase dari B.subtilis, maka pasangan

primer dari bakteri ini didesain sebagai primer spesifik menggunakan program

Primer3® yang tersedia di NCBI. Primer spesifik adalah primer yang didesain

secara spesifik dari urutan nukleotida konsensus suatu gen tanpa ada pergantian

basa atau (degenerate). Berikut primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis

(Tabel 6) hasil desain primer spesifik menggunakan program Primer3®.

Tabel 6. Primer Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis Desain Primer3

Jenis

Bakteri Sekuen Primer Tm

Product

Length

(bp)

Bacillus

subtilis

F : 5’-TCAGCAGCAGGCACAAAAAC-3’ 59.90 1415

R : 5’-TTCGGTTCTGTGCCCCAAAT-3’ 60.18

51

Berdasarkan hasil desain primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis

didapatkan hasil bahwa primer tersebut sesuai dengan syarat primer pada

umumnya, diantaranya ukuran primer 20 basa pada forward dan reverse,

komposisi basa (G+C) 50%, Tm primer forward 59.900C, Tm primer reverse

60.180C. Innis and Gelfand (1990) menyatakan bahwa syarat primer dalam PCR

diantaranya ukuran primer berkisar antara 17-28 basa, komposisi basa 50-60%

(G+C), Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC. Selain itu, primer gen

endoglukanase bakteri B.subtilis tidak mempunyai struktur sekunder yang dapat

membentuk dimer (Lampiran 1).

Berdasarkan primer yang tersaji dapat diketahui bahwa panjang amplikon

(produk PCR) primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis yaitu 1415 bp (472 aa).

Ilustrasi penempelan pasangan primer pada sekuen konsensus gen endoglukanase

bakteri B.subtilis dapat dilihat pada (Gambar 17).

Gambar 17.

Ilustrasi Penempelan Primer Spesifik Gen Endoglukanase Pada Sekuen

Konsensus Bakteri B.subtilis

Pada posisi penempelan primer, dianalisis keberadaan domain fungsional

dari gen tersebut. Domain fungsional yang merepresentasikan daerah sisi tapak

aktif pengikatan enzim endoglukanase diharapkan mampu teramplifikasi oleh

primer yang didesain. Daerah apitan primer sepanjang 1415 bp (472 aa) telah

mencakup daerah domain fungsional endoglukanase (BglC). Hipotesis dari

teramplifikasinya domain fungsional gen endoglukanase oleh pasangan primer ini

membuktikan bahwa gen yang diisolasi merupakan gen pengkode enzim

endoglukanase (Gambar 18).

1415 bp

52

Gambar 18.

Ilustrasi Penempelan Pasangan Primer pada Struktur Utama Domain

Fungsional Gen Endoglukanase Pada Sekuen Konsensus Bakteri B.subtilis (Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)

b. Primer Degenerate Untuk Bakteri B.thuringiensis

Sekuen database gen endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis diunduh

dari 3 isolat diantaranya Bacillus thuringiensis serovar thuringiensis str. T01001,

Bacillus thuringiensis serovar kurstaki str. T03a001, dan Bacillus thuringiensis

serovar tochigiensis BGSC 4Y1. Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan untuk

memperbesar peluang amplifikasi gen endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis

yang berasal dari strain yang berbeda. Dari ketiga isolat tersebut, didapatkan hasil

bahwa konsensus tidak berhasil dikonstruksi, yang menunjukkan kemungkinan

tidak terlalu lestarinya gen endoglukanase pada bakteri B.thuringiensis.

Dikarenakan tidak berhasilnya konstruksi sekuen konsensus gen endoglukanase

dari B.thuringiensis, maka pasangan primer didesain sebagai primer degenerate

menggunakan program CODEHOP®. Primer degenerate adalah primer yang

didesain secara degenerate dari urutan nukleotida dengan kemungkinan ada

peluang terjadinya pergantian basa. Primer gen endoglukanase bakteri

B.thuringiensis (Tabel 7) hasil desain primer degenerate menggunakan program

CODEHOP®.

472 aa

P. Forward P. Reverse

53

Tabel 7. Primer Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis Desain Primer

Degenerate

Jenis

Bakteri Sekuen Primer Lokasi Tm

Product

Length

(bp)

Bacillus

thuringien

sis

F : 5'-

GAATTGGATTAGCAT

CTTTTTCTAATTCTws

nttygcngc-3'

Block x24798xblA

60.8

1250 R : 5'-

TGAGTTTTCTTATCA

TCTGGAACTggyttccac

ca-3'

Complement of

Block x24798xblH

61.9

W(A/T), S(C/G), N(A/C/T/G), Y(C/T)

Berdasarkan hasil desain primer gen endoglukanase bakteri

B.thuringiensis didapatkan hasil bahwa primer tersebut sesuai dengan syarat

primer pada umumnya, diantaranya Tm primer forward 60.80C dan Tm primer

reverse 61.90C. Innis and Gelfand (1990) menyatakan bahwa syarat primer dalam

PCR diantaranya Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC. Selain itu, primer gen

endoglukanase bakteri B.thuringiensis tidak mempunyai struktur sekunder yang

dapat membentuk dimer (Lampiran 2).

Berdasarkan primer yang tersaji diatas dapat juga diketahui bahwa panjang

amplikon (produk PCR) primer gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis yaitu

1250 bp (417 aa). Ilustrasi penempelan pasangan primer pada sekuen hasil contig

ke tiga database gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis dapat dilihat pada

(Gambar 19).

Gambar 19.

Ilustrasi Penempelan Primer Degenerate Gen Endoglukanase Pada Sekuen

Hasil Contig Ketiga Database Bakteri B.thuringiensis

1250 bp

54

Pada posisi penempelan primer juga dianalisis keberadaan domain

fungsional dari gen tersebut. Daerah apitan primer sepanjang 1250 bp (417 aa)

telah mencakup daerah superfamili Glikosida Hidrolase

(Glyco_hydro_8_superfamily) dengan salah satu anggotanya yaitu

endoglukanase. Hipotesis dari teramplifikasinya superfamili Glikosida Hidrolase

menunjukkan peluang teramplifikasinya gen endoglukanase oleh pasangan primer

ini (Gambar 20).

Gambar 20.

Ilustrasi Penempelan Pasangan Primer pada Struktur Utama Domain

Fungsional Gen Endoglukanase Pada Sekuen Hasil Contig Bakteri

B.thuringiensis (Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)

4.3.3 Penapisan Gen Pengkode Endoglukanase Menggunakan Metode PCR

Pada tahapan ini, sampel hasil isolasi DNA genom bakteri B.subtilis dan

B.thuringiensis diambil untuk dilakukan proses penapisan gen pengkode

endoglukanase menggunakan metode PCR. Pada proses ini digunakan komponen

reaksi PCR (Tabel 3) dan siklus PCR (Tabel 4) hasil optimasi dari penelitian

Rachim (2008).

Optimasi PCR dilakukan sebanyak 4 kali pada penapisan gen

endoglukanase bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis. Optimasi sampel bakteri

B.subtilis dilakukan pada suhu annealing 500C, 55

0C, dan 60

0C. Sedangkan

417 bp

P. Forward P. Reverse

55

optimasi sampel bakteri B.thuringiensis dilakukan pada suhu annealing 450C,

500C, dan 55

0C. Hal ini dilakukan karena Temperatur Melting (TM) primer gen

endoglukanase dari bakteri B.subtilis maupun B.thuringiensis relatif dekat dengan

suhu optimasi yang dilakukan. TM primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis

yaitu forward 65,20C dan reverse 66,2

0C (Lampiran 3), sedangkan TM primer gen

endoglukanase bakteri B.thuringiensis yaitu forward 65,50C dan reverse 67,6

0C

(Lampiran 3). Rybicki (1996) menyatakan bahwa optimasi PCR juga diperlukan

untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu

denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah

dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak

dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada

utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu

yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi genom lain yang

bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak

spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ditentukan

berdasarkan primer yang digunakan, dipengaruhi oleh panjang dan komposisi

primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 50C di bawah suhu leleh. Secara

umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)0C.

Hasil optimasi siklus PCR menunjukkan bahwa primer gen endoglukanase

bakteri B.subtilis dapat teramplifikasi pada suhu annealing 500C, 55

0C, dan 60

0C,

sedangkan primer gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis dapat teramplifikasi

pada suhu annealing 450C, 50

0C, dan 55

0C. Suhu annealing semakin dekat

dengan TM primer, maka semakin spesifik daerah yang teramplifikasi oleh primer

gen tersebut. Sekuen primer gen endoglukanase yang digunakan untuk bakteri

B.subtilis yaitu primer spesifik yang didesain menggunakan program Primer3®

(Tabel 6), sedangkan sekuen primer gen endoglukanse yang digunakan untuk

bakteri B.thuringiensis yaitu primer degenerate yang didesain menggunakan

program CODEHOP® (Tabel 7). Primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis

memiliki target amplikon 1.415 bp, sedangkan primer gen endoglukanase bakteri

B.thuringiensis memiliki target amplikon 1.250 bp. Primer merupakan komponen

56

paling penting dalam reaksi PCR karena berperan sebagai pemula pada proses

sintesis (William et.al 1990 dalam Ain 2011) dan menentukan daerah genom yang

akan diamplifikasi. Hasil amplifikasi dengan PCR dipisahkan dengan

elektroforesis gel agarosa dan secara langsung divisualisasikan setelah pewarnaan

dengan EtBr (Gambar 21 dan 23).

Gambar. 21

Elektroforegram Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis Suhu

Annealing 600C (B.1.2)

Keterangan:

B.1.2 : Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis

M : Marker DNA Ladder 1 kb

- : Kontrol Negatif

bp : basepair

Pada Gambar 21, menunjukan bahwa pita dari produk amplikon berada

pada ukuran diantara 1000 dan 1500 bp sesuai dengan target saat desain primer

spesifik menggunakan program Primer3® yaitu 1415 bp. Sehingga sampel hasil

amplifikasi tersebut dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu sekuensing.

Sebelum dilakukan sekuensing, terlebih dahulu dilakukan purifikasi produk

amplikon oleh 1st BASE (Gambar 22).

1500 bp

Amplikon Gen

Endoglukanase

Bakteri B.subtilis

10.000 bp

2000 bp

1000 bp

500 bp

--- B.1.2 M

57

Gambar. 22

Hasil Purifikasi Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis (B.1.2) Oleh

1st BASE

Pada Gambar 22 menunjukkan hasil purifikasi pita produk amplikon yang

akan disekuensing berada pada ukuran ~1500 bp. Ukuran tersebut berada pada

posisi yang sama dengan posisi pita pada elektroforegram hasil PCR.

Gambar. 23

Elektroforegram Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis

Suhu Annealing 550C (C2)

Keterangan:

1 : Kode Bakteri B.1.2

1kb : Marker DNA Ladder 1 kb

bp : basepair

Keterangan:

C2 : Amplikon Gen Endoglukanase

Bakteri B.thuringiensis

M : Marker DNA Ladder 1 kb

- : Kontrol Negatif

bp : basepair

1500 bp

2000 bp

10.000 bp

Amplikon Gen

Endoglukanase Bakteri

B.thuringiensis

M -- C2

1000 bp

500 bp

1.500 bp

1.000 bp

750 bp

250 bp

500 bp

2.000 bp

58

Pada Gambar 23, menunjukan bahwa pita dari produk amplikon berada

pada ukuran diantara 1000 dan 1500 bp sesuai dengan target saat desain primer

degenerate menggunakan program CODEHOP®

yaitu mendekati ukuran 1250 bp,

sehingga sampel hasil amplifikasi tersebut dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya

yaitu sekuensing. Sebelum dilakukan sekuensing, terlebih dahulu dilakukan

purifikasi produk amplikon oleh 1st BASE (Gambar 24).

Gambar. 24

Hasil Purifikasi Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis (C2)

oleh 1st BASE

Keterangan:

1 : Kode Bakteri C2

1kb : Marker DNA Ladder 1 kb

bp : basepair

Pada Gambar 24 menyatakan bahwa hasil purifikasi pita produk amplikon

yang akan disekuensing berada pada ukuran ~1.500 bp. Ukuran tersebut berada

pada posisi yang sama dengan posisi pita pada elektroforegram hasil PCR.

4.3.4 Analisis Hasil Sekuensing Gen Pengkode Endoglukanase

Hasil amplifikasi PCR (amplikon) gen endoglukanase bakteri B.subtilis

dan B.thuringiensis kemudian disekuensing. Pada tahapan ini, sekuensing

dilakukan menggunakan 1st BASE. Pada prosesnya, sekuensing dilakukan dengan

750 bp

250 bp

500 bp

1.000 bp

1.500 bp

2.000 bp

59

menggunakan primer forward dan reverse gen endoglukanase dari masing-masing

template.

Hasil sekuensing (Lampiran 22 dan 24) berupa urutan basa-basa

nukleotida penyusun DNA gen dari sampel bakteri yang dikarakterisasi secara

molekuler. Sekuensing merupakan proses pembacaan urutan basa (nukleotida)

dari suatu molekul DNA. Secara umum proses sekuensing mendasarkan

metodenya pada prinsip sekuensing Sanger. Molekul DNA pada awalnya

diamplifikasi sesuai dengan target menggunakan suatu pasangan primer. Pada

proses pembacaan urutan basa, digunakan molekul dideoxynucleoside

triphosphate (ddNTP) yang dilabel dengan suatu unsur radio aktif (pada umumnya

32P) atau molekul fluorescen sebagai terminator penghubung untuk mendeteksi

basa yang sesuai. Pada tahap akhir proses sekuensing, dilakukan elektroforesis

masing-masing bagian template molekul DNA dan hasilnya didokumentasi dalam

bentuk autoradiografi atau langsung terhubung dengan detektor fluorescen pada

sekuenser DNA otomatis (Primrose and Twyman 2006).

Jenis data hasil sekuensing yang diperoleh pada penelitian ini berupa data

kromatogram dan urutan nukleotida sekuen forward dan reverse yang harus

diolah menggunakan perangkat/program BioEdit® (Lampiran 21). Data yang

diperoleh dari hasil penggunaan program BioEdit®

digunakan sebagai data dasar

untuk diolah kembali pada multiple aligment (pensejajaran berganda) dengan

database sekuen yang ada di GeneBank dengan NCBI BLAST pada level

nukleotida dan dapat diakses di website http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast.cgi.

Penggunaan pensejajaran berganda bertujuan untuk mensejajarkan dan

mencocokan hasil sekuensing yang diperoleh dari hasil penelitian dengan data

yang telah ada di GeneBank. Analisis ini dilakukan untuk memastikan bahwa

hasil sekuensing dari penelitian ini benar-benar merupakan sekuen dari gen

endoglukanase bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis. Setelah didapatkan

konsensus dari sekuen primer forward dan reverse, maka setelah itu dilakukan

analisis BLASTX untuk konfirmasi awal terhadap masing-masing hasil

sekuensing sehingga dapat diketahui apakah gen target merupakan gen

endoglukanase atau bukan. Analisis awal BLASTX (Tabel 8) ini menunjukkan

60

bahwa hasil sekuensing menunjukkan tingkat homologi yang cukup tinggi dengan

gen endoglukanase bakteri B.subtilis pada basis data GeneBank.

Tabel 8. Hasil Analisis Pensejajaran Berganda (BLASTX) Urutan Sekuen

Hasil Sekuensing Template Bakteri B.subtilis dengan Data GeneBank

Protein Hasil

BLASTX

Accession

Number

Query Coverage

(%)

Max Ident

(%) E-value

Endoglucanase

(Bacillus subtilis) WP_017696508.1 95 92 0.0

Data hasil yang diperoleh menunjukan sekuen hasil sekuensing memiliki

tingkat kesesuaian/homologi yang tinggi dengan gen endoglukanase dari bakteri

B.subtilis dengan Query Coverage 95% dan Max Ident 92% dengan data di

GeneBank (Lampiran 23). Hasil BLASTX dari sekuen hasil sekuensing dari

template amplikon bakteri B.thuringiensis disajikan pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Hasil Analisis Pensejajaran Berganda (BLASTX) Urutan Sekuen

Hasil Sekuensing Template Bakteri B.thuringiensis dengan Data

GeneBank

Protein Hasil

BLASTX

Accession

Number

Query

Coverage (%)

Max Ident

(%) E-value

Endoglucanase

(Bacillus

thuringiensis

serovar pakistani

str. T13001)

EEM47662 92 98 0.0

Pada Tabel 9 terlihat bahwa sekuen hasil sekuensing memiliki tingkat

kesesuaian/homologi yang tinggi dengan gen endoglukanase dari bakteri

B.thuringiensis. Hal ini ditunjukan dengan Query Coverage 92% dan Max Ident

98% dengan data di GeneBank (Lampiran 25).

61

4.3.5 Analisis Hasil Karakterisasi In Silico Sekuen Gen Pengkode

Endoglukanase

a. Domain Fungsional

Domain fungsional merupakan sekuen lestari yang mencirikan suatu

kelompok gen tertentu yang memiliki karakteristik khas secara struktural. Domain

biasanya lebih panjang dari motif. Sebuah domain itu terdiri lebih dari 40 residu

dan sampai 700 residu, dengan rata-rata panjang 100 residu. Sebuah domain dapat

memiliki suatu bagian motif didalamnya dapat pula tidak mengandung motif

(Xiong 2006). Hasil analisis karakter domain fungsional dari sekuen gen

pengkode endoglukanase dari bakteri B.subtilis menunjukkan bahwa pada sekuen

gen tersebut ditemukan multi-domain BglC yang menunjukkan karakter khas gen

pengkode enzim endoglukanase pada bakteri (Gambar 25).

Gambar 25. Struktur Domain Fungsional Sekuen Gen Pengkode

Endoglukanase Bakteri B.subtilis (Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)

Pada sekuen gen endoglukanase bakteri B.subtilis juga ditemukan daerah

domain katalitik selulase (cellulase) pada residu asam amino 1-70 dan

superfamilinya yang menunjukkan karakter khas kelompok enzim selulase

62

(kelompok hidrolase 5). Daerah domain CBM3 (Carbohydrate Binding Module)

juga ditemukan pada sekuen tersebut yang menunjukkan daerah pengikatan enzim

terhadap substrat selulase (bagian dari karbohidrat) pada residu 131-212 (Gambar

26). Satu dari 6 residu glutamat (E atau Glu) yang teridentifikasi dalam sekuen

yaitu Glu211 diduga memiliki peran penting dalam analisi topologi ini. Residu

asam amino ini menjadi penanda aktifitas katalitik endoglukanase pada proses

hidrolisis selulosa (Rachim 2008; Armstrong et.al 1998 ).

10 20 30 40 50 60

MYALHFYAGT HGQFLRDKAN YALSKGAPIF VTEWGTSDAS GNGGVFLDQS REWLKYLDSK

70 80 90 100 110 120

TISWVNWNLS DKQESSSALK PGASKTGGWR LSDLSASGTF VRENILGTKD STKDIPETPA

130 140 150 160 170 180

KDKPTQENGI SVQYRAGDGS MNSNQIRPQL QIKNNGNTTV DLKDVTARYW YNAKNKGQNV

190 200 210 220 230 240

DCDYAQLGCG NVTYKFVTLH KPKQGADTYL ELGFKNGTLA PGASTGNIQL RLHNDDWSNY

250 260

AQSGDYSFFK SNTLKQRKKS HMTAPC

Gambar 26. Sekuen Asam Amino Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.subtilis (a) Topologi Sekuen, (b) Struktur Domain Fungsional

: Domain Katalitik (Cellulase GH5) Residu 1-70 ; Domain

Pengikatan Substrat (CBM3) Residu 131-212, E (Glu) : Residu

Glutamat

(a)

(b)

Catalytic domain

70 1 100 131 212 266

Cellulase GH 5 CBM 3

Substrate binding domain

Endoglucanase BglC

63

Hasil analisis karakter domain fungsional dari sekuen gen pengkode

endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis menunjukkan bahwa pada sekuen gen

tersebut ditemukan daerah domain katalitik yang merupakan daerah spesifik

Glyco Hydro 8 pada residu asam amino 30-370. Hal ini menunjukkan karakter

khas enzim pengkode kelompok hidrolase famili 8, termasuk didalamnya adalah

endoglukanase (Gambar 27).

Gambar 27. Struktur Domain Fungsional Sekuen Gen Pengkode

Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis (Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)

Domain katalitik Glyco Hydro 8 (GH 8) merupakan daerah yang

menunjukkan karakteristik daerah fungsional kelompok enzim pengkode enzim-

enzim hidrolase famili 8, termasuk didalamnya adalah selulase (Gambar 28).

Gambar 28. Kelompok Domain Glyco Hydro 8 (GH 8)

(Sumber : http://www.cazy.org/GH8.html)

64

Topologi sekuen asam amino gen pengkode endoglukanase bakteri

B.thuringiensis dan struktur domain fungsionalnya disajikan pada Gambar 29.

Sebanyak 8 residu glutamat juga ditemukan pada sekuen ini

10 20 30 40 50 60

MKPFPQQVNY AGVIKPNHVT QESLNASVRS YYDNWKKKYL KNDLSSLPGG YYVKGEITGD

70 80 90 100 110 120

ADGFKPLGTS EGQGYGMIIT VLMAGYDSNA QKIYDGLFKT ARTFKSSQNP NLMGWVVADS

130 140 150 160 170 180

KKAQGHFDSA TDGDLDIAYS LLLAHKQWGS NGTVNYLKEA QDMITKGIKA SNVTNNNRLN

190 200 210 220 230 240

LGDWDSKSSL DTRPSDWMMS HLRAFYEFTG DKTWLTVINN LYDVYTQFSN KYSPNTGLIS

250 260 270 280 290 300

DFVVKNPPQP APKDFLDESE YTNAYYYNAS RVPLRIVMDY AMYGEKRSKV ISDKVSSWIQ

310 320 330 340 350 360

NKTNGNPSKI VDGYQLNGSN IGSYPTAVFV SPFIAASITS SNNQKWVNSG WDWMKNKRES

370

YFSDSYNLLT MLLYRLQLW

Gambar 29. Sekuen Asam Amino Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.thuringiensis (a) Topologi Sekuen, (b) Struktur Domain

Fungsional : Domain Katalitik (Glyco Hydro 8) Residu 30-370,

E: Residu Glutamat (Glu).

(a)

(b)

Catalytic domain

Glyco Hydro 8

1 379 30 370

Endoglucanase

65

Pada sekuen gen pengkode endoglukanase bakteri B.thuringiensis tidak

ditemukan secara spesifik multi-domain BglC (endoglukanase) seperti yang

ditemukan pada endoglukanase dari bakteri B.subtilis. Hal ini dikarenakan sekuen

gen tersebut memiliki kemiripan sekuen dengan domain kelompok enzim

hidrolase yang lain seperti chitosanase (Lampiran 25) .

b. Sisi Aktif

Sisi aktif merupakan daerah/situs yang berkaitan dengan aktifitas enzim

dalam kondisi fungsional, pada umumnya terkait juga dengan pengikatan enzim

terhadap substrat. Daerah sisi aktif juga diketahui ditandai oleh keberadaan residu

asam amino tertentu. Pada endoglukanase, residu glutamat (E atau Glu) dan residu

asam aspartat (D atau Asp) merupakan residu yang menjadi penanda aktifitas

enzim tersebut (Kawaminami et.al 1999). Pada penelusuran keberadaan sisi aktif

dari sekuen protein gen pengkode endoglukanase B.subtilis diketahui terdapat

daerah sisi aktif CBM3 yang diidentifikasi sebagai daerah pengikatan enzim

terhadap substrat selulase (Gambar 30).

Gambar 30. Daerah Sisi Aktif Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.subtilis

(Sumber : http://prosite.expasy.org/cgi-

bin/prosite/ScanView.cgi?scanfile=694856925245.scan.gz)

66

Pada penelusuran sisi aktif gen pengkode endoglukanase bakteri

B.thuringiensis juga ditemukan keberadaan sisi aktif. Sisi aktif tersebut

menunjukkan karakter sisi aktif kelompok enzim gliko-hidrolase famili 8 (GH-8)

dengan urutan sekuen asam amino ATDGDLDIAYSLLLAHKQW (Gambar 31).

Gambar 31. Daerah Sisi Aktif Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.thuringiensis

(Sumber : http://prosite.expasy.org/cgi-

bin/prosite/ScanView.cgi?scanfile=346154428423.scan.gz)

c. Motif

Motif adalah suatu pola sekuen lestari yang berukuran pendek yang

berkaitan dengan perbedaan fungsi dari suatu protein. Pada penelusuran motif dari

sekuen protein gen pengkode endoglukanase bakteri B.subtilis, diketahui terdapat

motif dominan yaitu CBM3, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

motif protein ini menunjukkan aktifitas pengikatan substrat karbohidrat (selulosa)

oleh enzim endoglukanase. Motif-motif pendek yang lain juga ditemukan di

sepanjang sekuen protein, diantaranya ASN_GLYCOSYLATION,

CAMP_PHOSPHO_SITE, CK2_PHOSPHO_SITE, MYRISTYL, dan

PKC_PHOSPHO_SITE (Gambar 32).

Motif ASN_GLYCOSYLATION merupakan daerah atau situs modifikasi

pasca translasi berupa proses penambahan glikan (disebut glikosilasi) pada daerah

67

residu aspargin (Asn), berukuran 3 asam amino (Medzihradszky 2008). Motif

CAMP_PHOSPHO_SITE menunjukkan daerah terjadinya fosforilasi

menggunakan cAMP atau cGMP, motif ini memiliki konsensus [RK](2)-x-[ST]

dan pada sekuen gen ini ditemukan dalam urutan RKKS (Deihimi 2012). Motif

CK2_PHOSPHO_SITE menunjukkan daerah tempat terjadinya fosforilasi kasein

kinase II, motif ini memiliki konsensus [ST]-x(2)-[DE] dan pada sekuen gen ini

ditemukan dalam urutan STKD, TTVD, dan TYLE (Gao and Wang 2006). Motif

MYRISTYL menunjukkan situs tempat proses miristilasi yaitu penambahan

gugus myristyl pada suatu protein diakhir proses translasi. Motif ini memiliki

konsensus G-{EDRKHPFYW}-x(2)-[STAGCN]-{P} dan pada sekuen gen ini

ditemukan dalam urutan GTSDAS, GASKTG, GTKDST, GSMNSN dan

GASTGN (Stroh et.al 2002). Motif PKC_PHOSPHO_SITE menunjukkan daerah

tempat terjadinya fosforilasi protein kinase C, motif ini memiliki konsensus [ST]-

x-[RK] dan pada sekuen gen ini ditemukan dalam urutan SDK, STK, TAR,

TYK, TLK (Leonard et.al 2011).

Gambar 32. Motif Sekuen Protein Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.subtilis

(Sumber : http://myhits.isb-sib.ch/cgi-bin/motif_scan)

68

Penelusuran motif pada sekuen protein gen pengkode endoglukanase

bakteri B.thuringiensis menunjukkan motif protein glikohidro 8 (Glyco Hydro 8).

Motif ini diidentifikasi sebagai motif yang menjadi ciri khas kelompok enzim

golongan glikohidrolase, termasuk endoglukanase. Motif-motif pendek yang lain

juga ditemukan di sepanjang sekuen protein, diantaranya Motif

ASN_GLYCOSYLATION, motif CAMP_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen

KRES, motif CK2_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen SYYD, SATD, SSLD

dan SGWD, motif MYRISTYL dalam urutan sekuen GTSEGQ, GMIITV,

GLFKTA, GSNGTV, GIKASN dan GSNIGS serta motif

PKC_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen SVR, TAR, TFK, SKK, SNK, dan

SDK (Gambar 33).

Gambar 33. Motif Sekuen Protein Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri

B.thuringiensis

(Sumber : http://myhits.isb-sib.ch/cgi-bin/motif_scan)

69

Berdasarkan hasil karakterisasi secara In Silico dari sekuen protein gen

pengkode endoglukanase pada bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis dapat

diketahui bahwa kedua sekuen protein tersebut memiliki aktifitas fungsional yang

menunjukkan peluang terekspresinya enzim endoglukanase dari kedua isolat

bakteri tersebut bila dilakukan proses ekspresi gen. Dari kedua sekuen protein

tersebut, juga diketahui memiliki kemiripan pada beberapa aspek, yang dapat

mengindikasikan lestarinya (tidak terlalu banyak terjadi mutasi) sekuen gen

endoglukanase pada genus yang sama. Matriks perbandingan karakterisasi In

Silico dari kedua gen pengkode endoglukanase tersebut disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Matriks Perbandingan Sekuen Protein Gen Pengkode

Endoglukanase Dari Bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis

Isolat Ukuran

Sekuen

Domain

Fungsional

Sisi

Aktif

Motif

B.subtilis 1151 bp/

383 aa

-Cellulase

super family

-Cellulase

-CBM_3

-BglC

CBM3 -ASN_GLYCOSYLATION

-CAMP_PHOSPHO_SITE

-CK2_PHOSPHO_SITE

-MYRISTYL

-PKC_PHOSPHO_SITE

B.thuringiensis 1258 bp/

418 aa

Glyco_hydro

_8

Glyco

Hydro

8

-ASN_GLYCOSYLATION

-CAMP_PHOSPHO_SITE

-CK2_PHOSPHO_SITE

-MYRISTYL

-PKC_PHOSPHO_SITE

Berdasarkan Tabel 10 diatas dapat diketahui bahwa kedua sekuen protein

pengkode gen endoglukanase dari kedua bakteri dalam satu genus Bacillus yaitu

B.subtilis dan B.thuringiensis masih memiliki karakter yang hampir mirip. Pada

aspek motif protein, motif-motif pendek yang ditemukan merepresentasikan

kemiripan yang sangat tinggi, hal ini mengindikasikan kekerabatan gen yang

dekat diantara kedua sekuen protein tersebut.