Komunitas Perifiton Pada Ekosistem Padang Lamun Di Kawasan Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan...
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata
Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari
kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap tahunnya
(Lampiran 6). Dilihat dari data statistik Pengunjung Taman Nasional
Karimunjawa dari tahun 2004 – 2012 dapat disimpulkan terdapat tiga kategori
penilaian yaitu penelitian dan pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Kategori
penelitian dan pendidikan memiliki nilai yang tidak stabil dari setiap tahunnya.
Kategori rekreasi memiliki nilai yang stabil dan meningkat terus menerus di setiap
tahunnya. Sedangkan untuk kategori lain-lain memiliki nilai yang tidak stabil juga
di setiap tahunnya sama seperti kategori penelitian dan pendidikan. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa jenis kegiatan pengunjung atau wisatawan yang mengunjungi
Pulau Karimunjawa yaitu untuk berwisata atau rekreasi. Dalam hasil penelitian
dari setiap stasiun yaitu Pulau Taka Malang, Pulau Sintok, dan Pulau Cemara
Kecil bisa disimpulkan bahwa dari ketiga pulau tersebut belum terjadi kerusakan
tumbuhan lamun di lokasi pariwisata maupun lokasi non pariwisata.
Identifikasi terhadap wisatawan Pulau Karimunjawa dilakukan terutama
pada hari Sabtu dan Minggu. Hal ini dilakukan karena waktu tersebut merupakan
puncak kunjungan. Saat sabtu pagi wisatawan banyak yang berdatangan dari
berbagai kota. Wawancara dilakukan terhadap 20 orang wisatawan yang terdiri
dari 15 laki-laki dan 5 perempuan (Lampiran 7). 50% pengunjung berasal dari
daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, dan lainnya 50% berasal dari kota Jakarta dan
sekitarnya. Hasil tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata wisatawan melakukan
aktivitas mulai pukul 06.00 – 09.00 WIB untuk mencari sarapan, berjalan-jalan,
dan bersepeda santai. Aktivitas wisatawan akan memuncak mulai pukul 10.00 –
15.00 WIB, aktivitas yang dilakukan yaitu menyewa kapal nelayan untuk
melakukan kegiatan air, seperti snorkling, bersantai di pinggir pantai. Untuk pukul
16.00 – 21.00 WIB adalah waktu untuk wisatawan beristirahat, namun ada juga
yang menggunakan waktu itu untuk berjalan-jalan disekitar Karimunjawa untuk
makan malam, membeli souvenir, dan berkumpul bersama rekan-rekan.
Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan responden wisatawan,
aktivitas digolongkan menjadi tiga jenis yaitu, melakukan olahraga air, bersantai
di pinggir pantai, dan memancing (Gambar 3). Olahraga air yang dimaksud yaitu
meliputi snorkling, banana boat, dan berenang. Dan dilihat dari data Gambar 3
bisa disimpulkan bahwa Olahraga air merupakan aktivitas yang paling banyak
dilakukan wisatawan di Pulau Karimunjawa.
Gambar 3. Grafik Kegiatan Wisatawan Pulau Karimunjawa
Dilihat dari Gambar 3, kegiatan wisatawan yang paling banyak dilakukan
wisatawan di Pulau Karimunjawa adalah olahraga air, dengan nilai 85%. Olahraga
air yang dilakukan wisatawan yaitu diantara lain adalah berenang, snorkling,
banana boats dan diving. Karena dengan olahraga air wisatawan bisa melihat
keindahan dari setiap pulau yang menjadi daya tarik di Pulau Karimunjawa.
Karimunjawa memiliki wisata yang menarik dan juga banyak, diantaranya yaitu
wisata Legon Lele di Karimunjawa, Kolam Hiu di Pulau Menjangan Besar,
Traking Hutan Mangrove di Desa Kemojan, Pantai Batu Karang Pengantin di
dukuh Karang lawang desa Kemojan di Pulau Kemojan, Pantai Ujung Gelam,
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Olahraga air Duduk dan bersantai memancing
Per
sen
Wis
ata
wan
(%
)
Jenis Kegiatan
Pantai Barakuda dan Pantai Nirwana. Dampak yang ditimbulkan dari ketiga jenis
kegiatan tersebut yaitu olahraga air misalnya snorkling dengan menginjak lamun,
aktivitas pariwisata dengan membuang limbah domestik diperairan yang
mengakibatkan menurunnya aktivitas fotosintesis dan menghambat pertumbuhan
lamun.
Sarana dan prasarana yang ditawarkan di Pulau Karimunjawa ini juga
menjadi daya tarik tersendiri. Perkembangan wilayah sangat ditentukan oleh
potensi yang dimilikinya dan sangat didukung oleh sarana dan prasarana sebagai
penunjang pengelolaan potensi pariwisata.
Penginapan yang disediakan untuk wisatawan berbentuk rumah warga
yang dikosongkan dan beberapa rumah sudah dirancang khusus dan difasilitasi
dengan pendingin ruangan karena Pulau Karimunjawa tidak terdapat hotel,
sementara itu kebutuhan air bersih di Pulau Karimunjawa mudah didapat. Tempat
makan banyak tersedia di sekitar penginapan maupun dermaga Pulau
Karimunjawa. Tempat makan banyak tersedia di sekitar tempat wisata ini juga
menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena menyediakan makanan dan
minuman yang diperuntukkan bagi wisatawan yang lelah sehabis melakukan
aktivitas di sekitar pulau. Dengan adanya tempat makan disekitar Pulau
Karimunjawa mengakibatkan pembuangan limbah terhadap laut meningkat
sehingga membuat pemandangan kurang menarik dan mengakibatkan pencemaran
di daerah pesisir. Padahal keindahan dan kelestarian alam merupakan faktor utama
yang diperlukan dalam pengembangan kawasan pariwisata.
4.1.1 Pengetahuan Wisatawan terhadap Lamun
Keindahan kawasan Pulau Karimunjawa dapat menunjang dalam
pengembangan daerah sekitar. Dari sekian banyak pengunjung ternyata ekosistem
lamun (seagrass) ini merupakan tumbuhan yang kurang dikenal. Dari hasil
wawancara dengan wisatawan Pulau Karimunjawa, 90% menjawab tidak
mengetahui lamun, sementara 10% menjawab mengetahui. Hal ini disebabkan
karena ekosistem lamun sering diartikan sebagai ekosistem yang kurang memberi
manfaat. Padahal fungsi dari padang lamun tidak kalah pentingnya dengan
ekosistem lain. Pengetahuan wisatawan terhadap lamun masih sangat rendah, ini
akan berdampak negatif terhadap pelestarian lamun. Berdasarkan hasil survei
terhadap wisatawan bahwa pengetahuan tentang lamun dan lingkungannya masih
sangat kurang dibandingkan dengan mangrove dan terumbu karang. Di Indonesia
setelah tahun 2000, perhatian pada lamun mulai berkembang, seiring dengan
mulai berkembangnya pengetahuan tentang padang lamun.
Kurangnya pemahaman ekologis tentang pentingnya ekosistem lamun,
menyebabkan ekosistem yang potensial ini terabaikan. Hal ini bukan saja terjadi
pada wisatawan tetapi juga kalangan akademisi. Menurut Bengen (2001), peneliti
yang menaruh perhatian pada ekosistem lamun masih sedikit padahal lestarinya
kawasan pesisir bergantung pada pengelolaan yang sinergis, apalagi tumbuhan
lamun merupakan produsen primer. Dengan adanya kriteria kondisi lamun,
diharapkan kerusakan ekosistem lamun dapat terkontrol keberadaannya dan tidak
terlupakan. Perhatian masyarakat dirasakan perlu karena masyarakat sebagai
komponen utama penggerak pelestarian lingkungan, oleh karena itu persepsi
masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu diarahkan kepada cara
pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam pesisir. Selain itu juga
perlu dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat atau wisatawan tentang manfaat
lamun bagi kesehatan lingkungan maupun perikanan.
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Kepulauan Karimunjawa
Semenjak ditetapkannya Kawasan Kepulauan Karimunjawa menjadi
Taman Nasional tanggal 29 Februari 1988, kawasan daratan dan lautan Kepulauan
Karimunjawa difungsikan berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan untuk menunjang
konservasi alam, pariwisata, penelitian, serta pendidikan. Bahkan menurut
Budiharjo (1998) Karimunjawa berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai
kawasan ekowisata yang handal di Jawa Tengah. Pengembangan ekowisata di
Taman Nasional Karimunjawa adalah suatu upaya positif dalam rangka
pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang menjadi daya
tarik wisatawan untuk mengunjungi Pulau Karimunjawa. Keindahan perairan
yang menjadi daya tarik dan ditunjang dengan adanya tempat lokasi wisata seperti
berenang dengan hiu di Pulau Menjangan Besar. Lamun tidak termasuk daya tarik
wisatawan tetapi lamun memiliki banyak manfaat yang menjadikan suatu lokasi
perairan salah satunya daerah pariwisata menjadi lokasi yang memiliki daya tarik
wisatawan yang tinggi. Salah satunya dengan banyaknya ikan-ikan kecil yang
berenang disekitaran tumbuhnya lamun. Wisatawan akan sering berenang maupun
snorkling melihat keindahan ikan-ikan, lamun juga membuat ombak menjadi
tenang, hal ini sangat dicari oleh wisatawan karena wisatawan menyukai perairan
yang tenang untuk melakukan kegiatan air yang salah satunya yaitu snorkling.
Taman Nasional Karimunjawa terdiri atas duapuluh tujuh pulau besar maupun
kecil. Pulau Karimunjawa merupakan pulau terbesar serta menjadi pulau utama di
Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Berdasarkan Surat keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 79/IV/Set-3/2005
tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Karimunjawa menetapkan Pulau
Karimunjawa seluas 4.301,5 Ha ini, memiliki fungsi di daratan sebagai zona inti
perlindungan pada hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove, zona
permukiman, zona rehabilitasi di sebelah barat Pulau Karimunjawa, dan zona
budidaya. Fungsi perairan di sekitar Pulau Karimunjawa adalah sebagai zona inti
pada perairan Tanjung Bomang dan zona pemanfaatan perikanan tradisional.
Aktivitas daratan maupun perairan cukup tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya di Kepulauan Karimunjawa. Perairan Karimunjawa dilalui kapal-kapal
penduduk yang pergi dan pulang dari mencari ikan maupun kedatangan kapal-
kapal penumpang ke Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan ekowisata dan
fasilitas penunjang juga banyak disediakan di pulau ini, seperti perdagangan dan
jasa, tempat penginapan, transportasi, perkantoran dan pendidikan, sehingga
aktivitas yang dilakukan bukan hanya aktivitas ekoturis melainkan juga aktivitas
masyarakat lokal dan pendatang. Pengembangan ekowisata telah memberikan
dampak langsung kepada ekoturis, yaitu berupa hiburan dan pengetahuan,
sedangkan dampak langsung bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian
dapat difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat juga terjadi seiring meningkatnya jumlah
ekoturis yang datang. Hal ini merupakan dampak positif bagi perekonomian
warga setempat, tetapi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan perairan
Karimunjawa salah satunya ekosistem lamun. Apalagi saat ini Pemerintah
Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara sedang gencar-gencarnya
mempromosikan wisata Karimunjawa yang tidak hanya ditujukan untuk skala
nasional melainkan juga internasional. Mata pencaharian masyarakat tidak hanya
bergantung dari melaut atau menjadi buruh tani, melainkan juga berpotensi untuk
dikembangkan dalam menyediakan tempat penginapan (homestay), menjual
souvenir, memandu wisata, sertamenyewakan perahu. Beragamnya aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal maupun ekoturis juga memberikan dampak yang
merugikan terhadap kelestarian lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan oleh
faktor alam maupun manusia terjadi di Pulau Karimunjawa sebelah barat, utara,
maupun selatan.
4.2.1 Lingkungan Fisik Perairan
Parameter fisik dan kimiawi suatu perairan memegang peranan penting
bagi kehidupan lamun (Heminge dan Duarte 2000). Berdasarkan hasil penelitian
di perairan Pulau Sintok, Pulau Taka Malang, dan Pulau Cemara Kecil yang
dilakukan pada bulan April 2013, diperoleh nilai-nilai parameter fisik yang dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Parameter Fisik
Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil
Suhu (0) 28 29 28,3
Transparansi (%) 100 100 100
Tekstur Substrat Pasir Pasir Pasir
Kedalaman (m) 0,65 1 0,8
a. Suhu
Suhu di Pulau Taka Malang, Pulau Cemara Kecil dan Sintok berkisar
antara 280 – 29
0C, kisaran suhu tersebut masih menunjang kehidupan lamun untuk
tumbuh yaitu 280 C – 30
0 C (Nybakken 1988). Data tersebut menunjukkan bahwa
kisaran di ketiga pulau ini berada pada kisaran optimal bagi lamun untuk tumbuh.
b. Transparansi
Kecerahan adalah ukuran transparasi perairan yang diamati secara visual
dengan alat secchi disk. Nilai kecerahan juga dipengaruhi oleh kekeruhan air,
padatan tersuspensi dan waktu pengamatan (Effendi 2003). Nilai kecerahan yang
didapat di ketiga pulau ini menunjukkan bahwa dasar perairan dan lamun dapat
dilihat dari atas permukaan perairan. Kondisi perairan di lokasi penelitian yang
dangkal merupakan salah satu faktor yang membuat nilai kecerahan perairan
tersebut menjadi 100%. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi lamun karena
proses fotosintesis dapat berlangsung secara optimal (Putri 2004).
c. Substrat
Berdasarkan hasil analisis di laboratorium diketahui bahwa kandungan
substrat didominasi oleh pasir dengan sedikit berlumpur, bercampur pecahan
karang yang telah mati. Lamun termasuk jenis tumbuhan laut yang mampu
tumbuh pada semua tipe substrat, mulai dari lumpur hingga substrat keras seperti
batuan maupun karang (Dahuri dkk. 1996).Sehingga tipe substrat yang terdapat
pada setiap stasiun merupakan tipe substrat yang cocok untuk tumbuhnya lamun.
d. Kedalaman
Kedalaman perairan di Pulau Sintok, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Taka
Malang berkisar antara 0,8m – 1,2m. Hal ini dapat mendukung lamun untuk
tumbuh karena syarat utama lamun untuk hidup adalah perairan dangkal. Lamun
dapat tumbuh pada zona intertidal bawah dan subtidal atas, hingga mencapai
kedalaman 30 meter. Pada zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang di
dominasi oleh Halophilla ovalis, Cymodocea rotundata, dan Halodule pinifolia.
Sedangkan pada Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah
(Hutomo 1997). Kerapatan dan pertumbuhan lamun, dapat dipengaruhi oleh
kedalaman perairan. Perbedaan kedalaman antar stasiun dapat disebabkan oleh
perbedaan kontur dari dasar perairan. Selain itu, perbedaan kedalaman dapat juga
akibat perbedaan waktu pengukuran yaitu saat air surut ataupun mulai pasang.
4.2.2 Lingkungan Kimiawi Perairan
Tabel 6. Parameter Kimiawi
Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil
pH 7,51 7,6 7,9
Salinitas (ppt) 30 30 30
DO (ppm) 7,6 7,8 7,7
a. Derajat Keasaman
Menurut Nyabakken (1992), umumnya pH air laut tidak menunjukkan
perubahan yang cukup besar dan biasanya stabil karena adanya sistem karbonat
dalam air laut, sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai perairan yang memiliki kondisi pH sekitar 7 – 8,5. Lamun dapat
tumbuh optimal jika berada dalam kisaran pH antara 7,5 – 8,5. Berdasarkan
penelitian pH di ketiga pulau antara 7,5 – 7,9 berarti pH di ketiga pulau masih
berada dalam batas normal bagi lamun tumbuh.Jika tidak terjadinya perubahan pH
yang besar disebabkan karena adanya siklus karbonat dalam air laut.
b. Oksigen Terlarut
Menurut Salmin (2005) perairan yang baik dan tidak tercemar berada di
atas 5 ppm. Oksigen terlarut (DO) yang diukur pada setiap stasiun penelitian
menunjukkan nilai antara 7,5 – 7,8 ppm. Kondisi perairan di ketiga lokasi
penelitian yang menunjukkan bahwa keadaan perairan tersebut masih dalam
kondisi normal dan memungkinkan bagi lamun untuk dapat tumbuh dengan baik.
c. Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10 - 40 ppt
dan nilai optimumnya adalah 35 ppt. Penurunan salinitas akan menurunkan
kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap
salinitas bervariasi bergantung jenis dan umur. Lamun yang tua dapat
mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap
biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Sedangkan
kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas (Kiswara 1997).
Dilihat dari hasil parameter fisik dan kimiawi bisa disimpulkan bahwa
parameter fisik dan kimiawi perairan masih baik dan menunjang untuk tumbuhnya
lamun, dan kondisi perairan fisik maupun kimiawi di Pulau Taka Malang (lokasi
pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (non pariwisata) belum
menimbulkan tanda-tanda pencemaran yang signifikan akibat dari kegiatan
pariwisata.
4.3 Struktur Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pulau Taka Malang,
Pulau Sintok, dan Pulau Cemara Kecil, ditemukan empat jenis spesies lamun.
Untuk di Pulau Taka Malang (non pariwisata) ditemukan tiga jenis lamun, yaitu
Thalassia hemprichii, Halophilla ovalis, dan Enhalus acoroides. Di Pulau Sintok
(pariwisata) terdapat juga tiga jenis lamun yang ditemukan yaitu Cymodocea
rotundata, Halophilla ovalis, dan Thalassia hemprichii. Sementara itu di Pulau
Cemara Kecil (pariwisata) hanya menemukan satu jenis lamun yaitu Thalassia
hemprichii. Tumbuhan lamun yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 4.
Cymodocea rotundata Enhalus acoroides
Halophilla ovalis Thalassia hemprichii
Gambar 4. Jenis Lamun Yang Ditemukan
Thalassia hemprichii merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di
Kepulauan Karimunjawa. Ciri-ciri jenis tersebut menurut Susetiono (2004) yakni,
daun lurus sampai sedikit melengkung, tepi daun tidak menonjol, panjang daun
mencapai 20 cm, lebar mencapai 1 cm, seludang daun tampak nyata dan keras
dengan panjang 3-6 cm, rimpang keras, menjalar, dan ruas-ruas rimpang
mempunyai seludang. Sering ditemukan dan dapat tumbuh hingga kedalaman 25
meter, sering di jumpai pada substrat berpasir.
Cymodocea rotundata merupakan spesies lamun yang juga ditemukan di
perairan Kepulauan Karimunjawa. Kebanyakan spesies ini ditemukan terutama di
daerah subtidal dengan kedalaman 3-6 m. Lamun ini dapat tumbuh di berbagai
substrat, dari substrat berlumpur sampai substrat yang keras. Ciri-ciri morfologi
Cymodocearotundata yaitu tepi daun bergerigi, akar tiap nodus banyak dan
bercabang, tulang daun sejajar, satu tegakan terdiri dari 2-3 helai daun (Moriaty
1989).
Enhalus acoroides memiliki panjang daun yang mencapai 2,5 m. Daun
berwarna hijau tua ini kuat dan tidak mudah terkoyak oleh gelombang laut.
Tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk jenis
tunggal atau bahkan mendominasi komunitas padang lamun.
Halophilla ovalis dapat hidup di zona pasang surut sampai kedalaman 20
m. Umum dijumpai pada substrat berlumpur, merupakan jenis yang dominan di
daerah intertidal. Memiliki ciri morfologi tiap nodus terdiri dari 2 tegakan,
mempunyai akar tunggal di setiap nodus, tulang daun menyirip.
4.3.1 KepadatanJenis Lamun
Kepadatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu atau tegakan
suatu jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun secara rinci
dapat dilihat pada Lampiran 8- 10. Kepadatan total lamun yang diperoleh pada
setiap stasiun yang dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Kepadatan Total Lamun
Keterangan : TH :Thalassia hemprichii
HO : Halophila ovalis
EA : Enhalus acoroides
CR : Cymodocea rotundata
Pulau Taka Malang memiliki pemanfaatan sebagai zona inti, sehingga
tidak ada kegiatan pariwisata di stasiun Taka Malang. Sedangkan stasiun Pulau
Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki pemanfaatan sebagai zona pariwisata,
sehingga terdapat kegiatan pariwisata di ke dua lokasi stasiun tersebut, sehingga
memungkinkan terdapat buangan limbah dari kegiatan pariwisata.
Spesies lamun yang memiliki kepadatan tertinggi di lokasi non pariwisata
yaitu stasiun Pulau Taka Malang adalah Enhalus acoroides dengan nilai
kepadatan 127,75 individu/m2 (Gambar 5). Sedangkan kepadatan tertinggi di
lokasi pariwisata Pulau Sintok adalah Cymodocea rotundata dengan nilai
kepadatan 495,87 individu/m2 dan Pulau Cemara Kecil hanya ditemukan satu
spesies lamun yaitu Thalassia hemprichii dengan total kepadatan sebesar
533,33individu/m2. Kepadatan Thalssia hemprichii di Pulau Cemara Kecil tinggi
karena hanya ditemukan satu jenis spesies lamun saja di lokasi Pulau Cemara
Kecil.
Faktor yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai penutupan yang
paling tinggi di Pulau Taka Malang dikarenakan lamun jenis ini memiliki daun
yang lebih besar dan lebar dari pada jenis lamun lainnya. Dengan daun yang lebih
0
100
200
300
400
500
600
TH HO EA TH HO CR TH
Kep
adat
an (
ind
ivid
u/m
2)
Jenis Lamun
Taka Malang
Sintok
Cemara Kecil
lebar sehingga banyak wilayah yang dapat ditutupi oleh satu tegakan saja.Faktor
yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai kepadatan paling tinggi adalah
tumbuhan ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan dengan rimpang
terbenam di dalam pasir. Dengan sistem perakaran yang demikian Enhalus
acoroides dapat lebih bertahan hidup ketika terkena gangguan dari luar seperti
aktifitas manusia dan faktor lingkungan lainnya.
Cymodocea rotundata memiliki kepadatan tertinggi di Pulau Sintok
dikarenakan kecocokan dalam kondisi perairan di Pulau Sintok. Selain kecocokan
dalam kondisi perairannya, kesesuaian substrat juga mempengaruhi tumbuhnya
Cymodocea rotundata. Pulau Sintok memiliki kondisi substrat pasir berlumpur
sedangkan Thalassia hemprichii memiliki kecocokan dengan kondisi substrat
berpasir. Sehingga Cymodocea rotundata memiliki pertumbuhan yang baik di
Pulau Sintok dibandingkan dengan Thalassia hemprichii.
Keberadaan spesies Thalassia hemprichii terlihat cukup padat untuk
masing-masing stasiun baik yang salah satunya Pulau Cemara Kecil (Gambar 5).
Menurut Yulianda (2002), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis
lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat
dan kondisi lingkungan perairan. Jenis Thalassia hemprichii memiliki sifat
sebagai penahan ombak, sehingga jenis ini sangat cocok sekali dengan keadaan
Pulau Cemara Kecil sebagai lokasi pariwisata dan pilihan kunjungan wisatawan
dengan tingkat nilai yang tinggi, dengan keadaan perairan yang tenang itu
wisatawan bisa melakukan kegiatan air seperti snorkling dan berenang.
Jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata merupakan
dua jenis lamun yang ditemukan secara meluas di perairan Indonesia. Jenis
tersebut tumbuh pada substrat pasir dan patahan karang mati, terbuka saat surut,
jauh dari pantai dan selalu digenangi air. Menurut Hutomo et al. (1988) bahwa
Thalassia hemprichii adalah jenis lamun yang paling dominan dan luas
sebarannya. Jenis ini ditemukan hampir diseluruh perairan Indonesia, tumbuh
pada jenis substrat mulai dari pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar
sampai pecahan-pecahan karang. Sedangkan Cymodocea rotundata merupakan
salah satu jenis dominan di intertidal (Hutomo 1997).
Berdasarkan tipe substrat di lokasi penelitian ini yaitu pasir berwarna
keputihan bertekstur halus, sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang
telah mati, maka tipe substrat ini menjadi indikator kuat sebagai tempat tumbuh
lamun jenis Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Tipe substrat ini
juga membantu membentuk perakaran yang kuat bagi kedua jenis lamun tersebut.
Kedua jenis lamun tersebut dianggap memiliki toleransi untuk hidup dan
berkembang di Pulau Taka Malang, Sintok dan Cemara Kecil, selain itu untuk
stasiun-stasiun tersebut keadaan perairannya cukup baik dan penetrasi cahaya
matahari mencapai dasar perairan sehingga fotosintesis dapat berlangsung dengan
baik.
Untuk jenis Halophilla ovalis tidak hanya ditemukan didaerah substrat
pasir dan umumnya tipe tunggal, tetapi juga ditemukan campuran bersama jenis
Thalassia hemprichii. Halophilla ovalis dapat tumbuh di lokasi karena secara
morfologi anatomi jenis akar ini halus seperti rambut tetapi sangat kuat untuk
beradaptasi dengan mengaitkan akar ke dalam substrat (Larkum et al. 1989).
Menurut (Bengen 2001) Halophilla ovalis yang berdaun kecil-kecil memiliki
penyebaran yang hampir sama dengan Enhalus acoroides, namun keberadaannya
hanya terbatas pada bagian pinggir pantai yang paling dangkal, sehingga bila ada
proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan
sehingga tetap memberikan kesempatan bagi lamun jenis ini untuk tumbuh dan
berfotosintesis.
Jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki kepadatan
tertinggi untuk lokasi Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil, karena di stasiun-
stasiun tersebut merupakan daerah subtidal yang dangkal, disamping itu memiliki
toleransi tertinggi untuk berkembang.
Beberapa faktor yang menyebabkan jenis lamun yang ditemukan berbeda-
beda untuk setiap stasiun yaitu, kecocokan substrat pada setiap jenis lamun, dan
kondisi lingkungan perairan.
4.3.2 Persentase Penutupan Lamun
Persentase penutupan lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang
ditutupi oleh lamun dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun
serta kemampuan lamun dalam memanfaatkan luasan yang ada (Hemming &
Duarte 2000). Persentase penutupan lamun juga dapat digunakan untuk
mengetahui kondisi komunitas lamun di suatu perairan (Yulianda 2002).
Tabel 7. Penutupan Lamun
Jenis Lamun Stasiun Taka Malang (NP) Kondisi
P PR Rata-rata
Thalassia hemprichii 5,59
0,145
0,50
Halophila ovalis 12,32
0,320
1,12 38,46
(Sedang)
Enhalus acoroides 20,55
0,53
1,86
Jenis Lamun Stasiun Sintok (P) Kondisi
P PR Rata-rata
Thalassia hemprichii 7,2
0,11
0,65
Halophila ovalis 1,89
0,02
0,17 64,86
(Baik)
Cymodocea rotundata
55,77
0,85
5,07
Jenis Lamun Stasiun Cemara Kecil (P) Kondisi
P PR Rata-rata
Thalassia hemprichii 43,18 1 3,92 43,18
(Sedang)
Keterangan : P : Penutupan
PR : Penutupan Relatif
NP : Non Pariwisata
P : Pariwisata
Dilihat dari tabel 7 untuk rata-rata penutupan lamun disetiap stasiun, Pulau
Taka Malang (zona non pariwisata) memiliki nilai rata-rata penutupan lamun
sebesar 38,46% yang berarti di Pulau Taka Malang memiliki nilai penutupan
lamun yang sedang karena memiliki nilai kisaran 25-49%. Sedangkan untuk
lokasi pariwata seperti Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki rata-rata
nilai penutupan masing-masing setiap stasiun yaitu sebesar 64,86% untuk Pulau
Sintok dan 43,18% untuk Pulau Cemara Kecil. Pulau Sintok memiliki nilai rata-
rata penutupan yang baik karena memiliki nilai penutupan lamun yang yang
berkisar antara 50-75%. Sedangkan Pulau Cemara Kecil dikategorikan sedang
karena memiliki nilai yang berkisar antara 25-49%. Sehingga bisa disimpulkan
bahwa ketiga pulau tersebut memiliki penutupan lamun yang baik, dan belum
memiliki pengaruh yang berarti dari aktivitas pariwisata.
4.3.3 Keanekaragaman dan Keseragaman Jenis Lamun
Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk
melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks
ekologi (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data indeks
keanekaragaman dan keseragaman di tiga pulau sebagai berikut.
Tabel 8. Keanekaragaman, dan Keseragaman Jenis Lamun
No. Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P)
H E H E H E
1 0,264 0,166 0,255 0,160 0 0
Keterangan : H : Keanekaragaman
E : Keseragaman
NP : Non Pariwisata
P : Pariwisata
Hasil perhitungan berdasarkan indeks keanekaragaman shanon, jika nilai
yang diperoleh mendekati 0 maka indeks dinyatakan rendah, dan apabila nilai
mendekati 1 maka indeks dinyatakan tinggi (Krebs 1975).
Pengukuran indeks keanekaragaman jenis bertujuan untuk mengetahui
jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Indeks
keanekaragaman jenis yang terdapat di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok dan
Pulau Cemara Kecil tersebut dapat bertambah apabila komunitas makin stabil,
namun apabila terjadi gangguan maka indeks keanekaragaman jenis tersebut akan
mengalami penurunan. Hal ini senada dengan pendapat Michael (1995), jumlah
spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman
spesies tampaknya bertambah bila komunitas makin stabil dan akan menurun
apabila terdapat gangguan, dimana situasi lingkungan dalam keadaan tidak
menyenangkan dan kondisi fisik lingkungan terus menerus terganggu.
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka diketahui bahwa keanekaragaman
di Pulau Taka Malang dan Pulau Cemara Kecil memiliki nilai rendah karena
tingkat keanekaragamannya tidak ada yang mendekati nilai satu. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Odum 1975) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, nilai
semakin tinggi berarti komunitas di perairan tersebut makin beragam dan tidak
didominasi oleh satu atau lebih dari jenis yang ada. Sedangkan untuk ketiga lokasi
tersebut memiliki nilai yang rendah yaitu jauh dari angka satu berarti komunitas di
perairan tersebut tidak beragam dan didominasi oleh satu jenis lamun yang
ditemukan.
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat nilai indeks keanekaragaman dari
stasiun Pulau Sintok dapat dikategorikan keanekaragaman rendah. Nilai indeks
keanekaragaman dengan kategori rendah ini berarti produktivitas rendah, kondisi
ekosistem yang sedikit ditemukan.Keanekaragaman Jenis Lamun di Pulau Taka
Malang tidak jauh berbeda dengan keanekaragaman jenis lamun yang ada di
Pulau Sintok, maka indeks keanekaragaman dinyatakan rendah. Rendahnya
keanekaragaman yaitu akibat tutupan lamun tergolong rendah dan juga sedikitnya
spesies lamun yang ditemukan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata indeks keseragaman
(E) di Pulau taka malang dan Pualau Sintok adalah kisaran 0,160 – 0,166 yang
memiliki nilai yang rendah. Sedangkan untuk pulau Cemara kecil yang memiliki
nilai indeks keseragaman nol maka perairan di Pulau Cemara kecil tidak dapat
mendukung kehidupan organisme perairan.Secara umum, berdasarkan data hasil
perhitungan (Tabel 8), indeks keanekaragaman di ketiga pulau dapat dinyatakan
rendah. Rendahnya keanekaragaman di ketiga pulau ini akibat persentase tutupan
lamun yang tergolong rendah dan juga sedikitnya spesies lamun yang ditemukan.
Untuk keanekaragaman dan keseragaman yang ada di Pulau Cemara Kecil
bernilai nol dikarenakan di Pulau Cemara kecil hanya ditemukan satu spesies jenis
lamun yaitu jenis Thalassia hemprichii. Karena hanya ditemukan satu jenis
spesies lamun, maka tidak terdapat keanekaragaman dan keseragaman jenis lamun
di Pulau Cemara Kecil.
Widodo (1997) menyatakan bahwa faktor utama yang memepengaruhi
jumlah organisme, kenaekaragaman jenis antara lain adanya perusakan habitat
alami seperti pengkonversian lahan, kegiatan pariwisata, pencemaran kimia dan
organik, serta perubahan iklim. Sehingga bisa disimpulkan dengan rendahnya
keanekaragaman dan keseragaman yang terjadi di lokasi Pulau Taka Malang (non
pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (pariwisata) yaitu
dengan adanya dampak dari kegiatan pariwisata.
4.3.4 Frekuensi Jenis Lamun
Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun
yang ditentukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan data hasil
penelitian, frekuensi jenis lamun yang diketahui memiliki nilai yang fluktuatif
(Tabel 9).
Tabel 9. Frekuensi Jenis Lamun
Jenis Lamun Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P)
F FR F FR F FR
Thalasia
hemprichii
0,87 0,39 0,96 0,38 0,81 1
Halophila
ovalis
0,45 0,20 0,54 0,21 - -
Enhalus
acoroides
0,87 0,39 - - - -
Cymodocea
rotundata
- - 1 0,39 - -
Keterangan : F : Frekuensi
FR : Frekuensi relative
NP : Non Pariwisata
P : Pariwisata
Frekuensi jenis lamun di stasiun Pulau Taka Malang didominasi oleh
Enhalus acoroidesdan Thalasia hemprichiidengan besar frekuensi 0,87%. Dilihat
dari Tabel 8, frekuensi jenis lamun di Pulau Sintok menunjukkan lamun yang
memiliki frekuensi jenis lamun yang besar, yaitu Thalasia hemprichii sebesar
0,96% dan Cymodocea rotundatasebesar 1%.Sementara itu frekuensi jenis lamun
di Pulau Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichiisebesar 0,81%.
Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata memiliki nilai
frekuensi yang besar dikarenakan Thalsia hemprichii dan Cymodocea rotundata
berukuran tinggi dan besar yang mendominasi ruang untuk tumbuh dan
menurunkan pertumbuhan Halophilla ovalis untuk tumbuh.
Jenis Thalassia hemprichiimemiliki frekuensi yang besar dikarenakan di
Pulau Cemara Kecil hanya terdapat satu jenis lamun, sehingga jenis Thalassia
hemprichii mendominasi untuk di Pulau Cemara Kecil. Selain itu faktor yang
menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain
ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan perairan. Sehingga di Pulau
cemara kecil hanya tumbuh satu jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii.
4.3.5 Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting (INP) menggambarkan peranan suatu spesies lamun
terhadap spesies lainnya dalam suatu komunitas. INP ini ditemukan oleh frekuensi
relatif, kerapatan relatif, dan penutupan relatif masing-masing spesies lamun
sehingga mempunyai hubungan berbanding lurus. Semakin tinggi nilai INP suatu
jenis lamun terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis tersebut pada
komunitas lamun (Fachrul 2007).
Tabel 10. Rata-rata Indeks Nilai Penting
Jenis
Lamun
INP TM (NP) Jenis
Lamun
INP S (P) Jenis
Lamun
INP CK (P)
Thalassia
hemprichii
0,72 Thalassia
hemprichii
0,62 Thalassia
hemprichii
3
Halophlila
ovalis
0,53 Halophilla
ovalis
0,30
Enhalus
acoroides
1,74 Cymodocea
rotundata
2,07
Keterangan : TM : Taka Malang,
S : Sintok,
CK : Cemara Kecil
NP : Non Pariwisata
P : Pariwisata
Dilihat dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa, spesies yang memiliki
rata-tata indeks nilai penting tertinggi untuk di lokasi Pulau Taka Malang yaitu
Enhalus acoroides dengan nilai 1,74. Untuk stasiun Pulau Sintok yang memiliki
rata-rata indeks nilai tertinggi yaitu Cymodecea rotundata dengan nilai 2,07.
Sedangkan untuk rata-rata nilai indeks penting tertinggi untuk lokasi Pulau
Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichii dengan nilai 3.
Menurut Fachrul (2008) semakin tinggi nilai INP suatu jenis relatif
terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis pada komunitas tersebut.
Jenis Enhalus acoroides memiliki indeks nilai penting paling tinggi di Pulau Taka
Malang karena lamun jenis ini paling dominan di perairan tersebut.
Sedangkan untuk rata-rata indeks nilai penting terendah di Pulau Taka
Malang yaitu spesies Halophilla ovalis dengan nilai 0,53. Untuk rata-rata indeks
nilai penting terendah di lokasi Pulau Sintok yaitu spesies Halophilla
ovalisdengan nilai 0,30. Rendahnya nilai indeks penting jenis Halophilla ovalis
menunjukkan bahwa jenis Halophilla ovalis tidak dominan di perairan tersebut.
Untuk di kedua pulau yaitu Taka Malang dan Sintok memiliki kesamaan untuk
indeks nilai penting yang terendah terdapat di spesies Halophilla ovalis, ini
disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan Halophilla ovalis yang rendah dan
tumbuhannya yang kecil.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis lamun yang memiliki peranan
penting di Pulau Karimunjawa khususnya di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok
dan Pulau Cemara Kecil yaitu jenis lamun Thalassia hemprichii.
4.4 Pengelolaan Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa
Potensi sumberdaya Kepulauan Karimunjawa adalah keanekaragaman
jenis biota laut seperti biota karang (90 jenis), ikan karang (242 jenis), beberapa
jenis udang dan lobster, penyu (2 jenis), rumput laut (10 genus), padang lamun
(10 genus), vegetasi mangrove (11 jenis), dan berbagai biota laut lainnya serta
didukung oleh kondisi airnya yang jernih, dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil
memberikan nilai tersendiri bagi keindahan alam Karimunjawa.
Upaya untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya tersebut di atas,
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan pada tahun 1988 melakukan
kebijakan dengan menetapkan Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional
Laut yang dituangkan ke dalam SK Menteri Kehutanan No. 161/Menhut-II/1988.
Sebagai Taman Nasional, maka bentuk pengelolaannya (pengaturan ruang)
didasarkan pada sistem Zonasi, hal ini sesuai dengan UU. No 5 Tahun 1990.
Sedangkan peraturan perundangan yang terbaru menggunakan UU. No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang didalamnya mengatur pengelolaan kawasan
konservasi ekosistem.
Indikasi kerusakan ekosistem dan sumber kawasan Taman Nasional
Karimunjawa secara kuantitatif sangat jelas terlihat, dan dari tahun ke tahun
kondisinya mengkhawatirkan. Berdasarkan atas kondisi dan permasalahan ini,
kiranya untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang terjadi
dan sebagai acuan untuk memadu rencana pengelolaan jangka panjang ke depan.
Dari hasil yang didapat dari penelitian ini bahwa lokasi non pariwisata
yaitu Pulau Taka Malang dengan lokasi pariwisata yaitu Pulau Sintok dan Pulau
Cemara Kecil belum memiliki dampak yang membuat ekosistem lamun rusak
dengan adanya kegiatan pariwisata. Tapi suatu saat dengan adanya kegiatan
pariwisata yang terus meningkat akan mengakibatkan kerusakan ekosistem lamun.
Padang lamun bukan menjadi objek yang dicari oleh wisatawan, tetapi
lamun memiliki manfaat yang menunjang lokasi pariwisata salah satunya wisata
air menjadi objek wisata yang dicari oleh wisatawan. Maka dari itu perlu adanya
perlindungan dari wisatawan, masyarakat maupun pemerintah setempat. Dengan
adanya perlindungan maka akan terjadinya dampak positif bagi wisatawan,
masyarakat maupun pemerintah setempat. Dampak positif bagi wisatawan yaitu
bisa menikmati keindahan perairan tanpa adanya gangguan akibat dampak negatif
pariwisata. Untuk masyarakat setempat akan meningkatkan perekonomian dengan
wisatawan yang datang, dan untuk pemerintah setempat yaitu bisa menjadikan
daerah tersebut menjadi daerah pariwisata yang baik.