BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan...

20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap tahunnya (Lampiran 6). Dilihat dari data statistik Pengunjung Taman Nasional Karimunjawa dari tahun 2004 2012 dapat disimpulkan terdapat tiga kategori penilaian yaitu penelitian dan pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Kategori penelitian dan pendidikan memiliki nilai yang tidak stabil dari setiap tahunnya. Kategori rekreasi memiliki nilai yang stabil dan meningkat terus menerus di setiap tahunnya. Sedangkan untuk kategori lain-lain memiliki nilai yang tidak stabil juga di setiap tahunnya sama seperti kategori penelitian dan pendidikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis kegiatan pengunjung atau wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa yaitu untuk berwisata atau rekreasi. Dalam hasil penelitian dari setiap stasiun yaitu Pulau Taka Malang, Pulau Sintok, dan Pulau Cemara Kecil bisa disimpulkan bahwa dari ketiga pulau tersebut belum terjadi kerusakan tumbuhan lamun di lokasi pariwisata maupun lokasi non pariwisata. Identifikasi terhadap wisatawan Pulau Karimunjawa dilakukan terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Hal ini dilakukan karena waktu tersebut merupakan puncak kunjungan. Saat sabtu pagi wisatawan banyak yang berdatangan dari berbagai kota. Wawancara dilakukan terhadap 20 orang wisatawan yang terdiri dari 15 laki-laki dan 5 perempuan (Lampiran 7). 50% pengunjung berasal dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, dan lainnya 50% berasal dari kota Jakarta dan sekitarnya. Hasil tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata wisatawan melakukan aktivitas mulai pukul 06.00 09.00 WIB untuk mencari sarapan, berjalan-jalan, dan bersepeda santai. Aktivitas wisatawan akan memuncak mulai pukul 10.00 15.00 WIB, aktivitas yang dilakukan yaitu menyewa kapal nelayan untuk melakukan kegiatan air, seperti snorkling, bersantai di pinggir pantai. Untuk pukul 16.00 21.00 WIB adalah waktu untuk wisatawan beristirahat, namun ada juga

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan...

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata

Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari

kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap tahunnya

(Lampiran 6). Dilihat dari data statistik Pengunjung Taman Nasional

Karimunjawa dari tahun 2004 – 2012 dapat disimpulkan terdapat tiga kategori

penilaian yaitu penelitian dan pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Kategori

penelitian dan pendidikan memiliki nilai yang tidak stabil dari setiap tahunnya.

Kategori rekreasi memiliki nilai yang stabil dan meningkat terus menerus di setiap

tahunnya. Sedangkan untuk kategori lain-lain memiliki nilai yang tidak stabil juga

di setiap tahunnya sama seperti kategori penelitian dan pendidikan. Sehingga bisa

disimpulkan bahwa jenis kegiatan pengunjung atau wisatawan yang mengunjungi

Pulau Karimunjawa yaitu untuk berwisata atau rekreasi. Dalam hasil penelitian

dari setiap stasiun yaitu Pulau Taka Malang, Pulau Sintok, dan Pulau Cemara

Kecil bisa disimpulkan bahwa dari ketiga pulau tersebut belum terjadi kerusakan

tumbuhan lamun di lokasi pariwisata maupun lokasi non pariwisata.

Identifikasi terhadap wisatawan Pulau Karimunjawa dilakukan terutama

pada hari Sabtu dan Minggu. Hal ini dilakukan karena waktu tersebut merupakan

puncak kunjungan. Saat sabtu pagi wisatawan banyak yang berdatangan dari

berbagai kota. Wawancara dilakukan terhadap 20 orang wisatawan yang terdiri

dari 15 laki-laki dan 5 perempuan (Lampiran 7). 50% pengunjung berasal dari

daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, dan lainnya 50% berasal dari kota Jakarta dan

sekitarnya. Hasil tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata wisatawan melakukan

aktivitas mulai pukul 06.00 – 09.00 WIB untuk mencari sarapan, berjalan-jalan,

dan bersepeda santai. Aktivitas wisatawan akan memuncak mulai pukul 10.00 –

15.00 WIB, aktivitas yang dilakukan yaitu menyewa kapal nelayan untuk

melakukan kegiatan air, seperti snorkling, bersantai di pinggir pantai. Untuk pukul

16.00 – 21.00 WIB adalah waktu untuk wisatawan beristirahat, namun ada juga

yang menggunakan waktu itu untuk berjalan-jalan disekitar Karimunjawa untuk

makan malam, membeli souvenir, dan berkumpul bersama rekan-rekan.

Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan responden wisatawan,

aktivitas digolongkan menjadi tiga jenis yaitu, melakukan olahraga air, bersantai

di pinggir pantai, dan memancing (Gambar 3). Olahraga air yang dimaksud yaitu

meliputi snorkling, banana boat, dan berenang. Dan dilihat dari data Gambar 3

bisa disimpulkan bahwa Olahraga air merupakan aktivitas yang paling banyak

dilakukan wisatawan di Pulau Karimunjawa.

Gambar 3. Grafik Kegiatan Wisatawan Pulau Karimunjawa

Dilihat dari Gambar 3, kegiatan wisatawan yang paling banyak dilakukan

wisatawan di Pulau Karimunjawa adalah olahraga air, dengan nilai 85%. Olahraga

air yang dilakukan wisatawan yaitu diantara lain adalah berenang, snorkling,

banana boats dan diving. Karena dengan olahraga air wisatawan bisa melihat

keindahan dari setiap pulau yang menjadi daya tarik di Pulau Karimunjawa.

Karimunjawa memiliki wisata yang menarik dan juga banyak, diantaranya yaitu

wisata Legon Lele di Karimunjawa, Kolam Hiu di Pulau Menjangan Besar,

Traking Hutan Mangrove di Desa Kemojan, Pantai Batu Karang Pengantin di

dukuh Karang lawang desa Kemojan di Pulau Kemojan, Pantai Ujung Gelam,

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Olahraga air Duduk dan bersantai memancing

Per

sen

Wis

ata

wan

(%

)

Jenis Kegiatan

Pantai Barakuda dan Pantai Nirwana. Dampak yang ditimbulkan dari ketiga jenis

kegiatan tersebut yaitu olahraga air misalnya snorkling dengan menginjak lamun,

aktivitas pariwisata dengan membuang limbah domestik diperairan yang

mengakibatkan menurunnya aktivitas fotosintesis dan menghambat pertumbuhan

lamun.

Sarana dan prasarana yang ditawarkan di Pulau Karimunjawa ini juga

menjadi daya tarik tersendiri. Perkembangan wilayah sangat ditentukan oleh

potensi yang dimilikinya dan sangat didukung oleh sarana dan prasarana sebagai

penunjang pengelolaan potensi pariwisata.

Penginapan yang disediakan untuk wisatawan berbentuk rumah warga

yang dikosongkan dan beberapa rumah sudah dirancang khusus dan difasilitasi

dengan pendingin ruangan karena Pulau Karimunjawa tidak terdapat hotel,

sementara itu kebutuhan air bersih di Pulau Karimunjawa mudah didapat. Tempat

makan banyak tersedia di sekitar penginapan maupun dermaga Pulau

Karimunjawa. Tempat makan banyak tersedia di sekitar tempat wisata ini juga

menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena menyediakan makanan dan

minuman yang diperuntukkan bagi wisatawan yang lelah sehabis melakukan

aktivitas di sekitar pulau. Dengan adanya tempat makan disekitar Pulau

Karimunjawa mengakibatkan pembuangan limbah terhadap laut meningkat

sehingga membuat pemandangan kurang menarik dan mengakibatkan pencemaran

di daerah pesisir. Padahal keindahan dan kelestarian alam merupakan faktor utama

yang diperlukan dalam pengembangan kawasan pariwisata.

4.1.1 Pengetahuan Wisatawan terhadap Lamun

Keindahan kawasan Pulau Karimunjawa dapat menunjang dalam

pengembangan daerah sekitar. Dari sekian banyak pengunjung ternyata ekosistem

lamun (seagrass) ini merupakan tumbuhan yang kurang dikenal. Dari hasil

wawancara dengan wisatawan Pulau Karimunjawa, 90% menjawab tidak

mengetahui lamun, sementara 10% menjawab mengetahui. Hal ini disebabkan

karena ekosistem lamun sering diartikan sebagai ekosistem yang kurang memberi

manfaat. Padahal fungsi dari padang lamun tidak kalah pentingnya dengan

ekosistem lain. Pengetahuan wisatawan terhadap lamun masih sangat rendah, ini

akan berdampak negatif terhadap pelestarian lamun. Berdasarkan hasil survei

terhadap wisatawan bahwa pengetahuan tentang lamun dan lingkungannya masih

sangat kurang dibandingkan dengan mangrove dan terumbu karang. Di Indonesia

setelah tahun 2000, perhatian pada lamun mulai berkembang, seiring dengan

mulai berkembangnya pengetahuan tentang padang lamun.

Kurangnya pemahaman ekologis tentang pentingnya ekosistem lamun,

menyebabkan ekosistem yang potensial ini terabaikan. Hal ini bukan saja terjadi

pada wisatawan tetapi juga kalangan akademisi. Menurut Bengen (2001), peneliti

yang menaruh perhatian pada ekosistem lamun masih sedikit padahal lestarinya

kawasan pesisir bergantung pada pengelolaan yang sinergis, apalagi tumbuhan

lamun merupakan produsen primer. Dengan adanya kriteria kondisi lamun,

diharapkan kerusakan ekosistem lamun dapat terkontrol keberadaannya dan tidak

terlupakan. Perhatian masyarakat dirasakan perlu karena masyarakat sebagai

komponen utama penggerak pelestarian lingkungan, oleh karena itu persepsi

masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu diarahkan kepada cara

pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam pesisir. Selain itu juga

perlu dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat atau wisatawan tentang manfaat

lamun bagi kesehatan lingkungan maupun perikanan.

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Kepulauan Karimunjawa

Semenjak ditetapkannya Kawasan Kepulauan Karimunjawa menjadi

Taman Nasional tanggal 29 Februari 1988, kawasan daratan dan lautan Kepulauan

Karimunjawa difungsikan berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan untuk menunjang

konservasi alam, pariwisata, penelitian, serta pendidikan. Bahkan menurut

Budiharjo (1998) Karimunjawa berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai

kawasan ekowisata yang handal di Jawa Tengah. Pengembangan ekowisata di

Taman Nasional Karimunjawa adalah suatu upaya positif dalam rangka

pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang menjadi daya

tarik wisatawan untuk mengunjungi Pulau Karimunjawa. Keindahan perairan

yang menjadi daya tarik dan ditunjang dengan adanya tempat lokasi wisata seperti

berenang dengan hiu di Pulau Menjangan Besar. Lamun tidak termasuk daya tarik

wisatawan tetapi lamun memiliki banyak manfaat yang menjadikan suatu lokasi

perairan salah satunya daerah pariwisata menjadi lokasi yang memiliki daya tarik

wisatawan yang tinggi. Salah satunya dengan banyaknya ikan-ikan kecil yang

berenang disekitaran tumbuhnya lamun. Wisatawan akan sering berenang maupun

snorkling melihat keindahan ikan-ikan, lamun juga membuat ombak menjadi

tenang, hal ini sangat dicari oleh wisatawan karena wisatawan menyukai perairan

yang tenang untuk melakukan kegiatan air yang salah satunya yaitu snorkling.

Taman Nasional Karimunjawa terdiri atas duapuluh tujuh pulau besar maupun

kecil. Pulau Karimunjawa merupakan pulau terbesar serta menjadi pulau utama di

Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Berdasarkan Surat keputusan Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 79/IV/Set-3/2005

tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Karimunjawa menetapkan Pulau

Karimunjawa seluas 4.301,5 Ha ini, memiliki fungsi di daratan sebagai zona inti

perlindungan pada hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove, zona

permukiman, zona rehabilitasi di sebelah barat Pulau Karimunjawa, dan zona

budidaya. Fungsi perairan di sekitar Pulau Karimunjawa adalah sebagai zona inti

pada perairan Tanjung Bomang dan zona pemanfaatan perikanan tradisional.

Aktivitas daratan maupun perairan cukup tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau

lainnya di Kepulauan Karimunjawa. Perairan Karimunjawa dilalui kapal-kapal

penduduk yang pergi dan pulang dari mencari ikan maupun kedatangan kapal-

kapal penumpang ke Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan ekowisata dan

fasilitas penunjang juga banyak disediakan di pulau ini, seperti perdagangan dan

jasa, tempat penginapan, transportasi, perkantoran dan pendidikan, sehingga

aktivitas yang dilakukan bukan hanya aktivitas ekoturis melainkan juga aktivitas

masyarakat lokal dan pendatang. Pengembangan ekowisata telah memberikan

dampak langsung kepada ekoturis, yaitu berupa hiburan dan pengetahuan,

sedangkan dampak langsung bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian

dapat difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat juga terjadi seiring meningkatnya jumlah

ekoturis yang datang. Hal ini merupakan dampak positif bagi perekonomian

warga setempat, tetapi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan perairan

Karimunjawa salah satunya ekosistem lamun. Apalagi saat ini Pemerintah

Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara sedang gencar-gencarnya

mempromosikan wisata Karimunjawa yang tidak hanya ditujukan untuk skala

nasional melainkan juga internasional. Mata pencaharian masyarakat tidak hanya

bergantung dari melaut atau menjadi buruh tani, melainkan juga berpotensi untuk

dikembangkan dalam menyediakan tempat penginapan (homestay), menjual

souvenir, memandu wisata, sertamenyewakan perahu. Beragamnya aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat lokal maupun ekoturis juga memberikan dampak yang

merugikan terhadap kelestarian lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan oleh

faktor alam maupun manusia terjadi di Pulau Karimunjawa sebelah barat, utara,

maupun selatan.

4.2.1 Lingkungan Fisik Perairan

Parameter fisik dan kimiawi suatu perairan memegang peranan penting

bagi kehidupan lamun (Heminge dan Duarte 2000). Berdasarkan hasil penelitian

di perairan Pulau Sintok, Pulau Taka Malang, dan Pulau Cemara Kecil yang

dilakukan pada bulan April 2013, diperoleh nilai-nilai parameter fisik yang dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter Fisik

Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil

Suhu (0) 28 29 28,3

Transparansi (%) 100 100 100

Tekstur Substrat Pasir Pasir Pasir

Kedalaman (m) 0,65 1 0,8

a. Suhu

Suhu di Pulau Taka Malang, Pulau Cemara Kecil dan Sintok berkisar

antara 280 – 29

0C, kisaran suhu tersebut masih menunjang kehidupan lamun untuk

tumbuh yaitu 280 C – 30

0 C (Nybakken 1988). Data tersebut menunjukkan bahwa

kisaran di ketiga pulau ini berada pada kisaran optimal bagi lamun untuk tumbuh.

b. Transparansi

Kecerahan adalah ukuran transparasi perairan yang diamati secara visual

dengan alat secchi disk. Nilai kecerahan juga dipengaruhi oleh kekeruhan air,

padatan tersuspensi dan waktu pengamatan (Effendi 2003). Nilai kecerahan yang

didapat di ketiga pulau ini menunjukkan bahwa dasar perairan dan lamun dapat

dilihat dari atas permukaan perairan. Kondisi perairan di lokasi penelitian yang

dangkal merupakan salah satu faktor yang membuat nilai kecerahan perairan

tersebut menjadi 100%. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi lamun karena

proses fotosintesis dapat berlangsung secara optimal (Putri 2004).

c. Substrat

Berdasarkan hasil analisis di laboratorium diketahui bahwa kandungan

substrat didominasi oleh pasir dengan sedikit berlumpur, bercampur pecahan

karang yang telah mati. Lamun termasuk jenis tumbuhan laut yang mampu

tumbuh pada semua tipe substrat, mulai dari lumpur hingga substrat keras seperti

batuan maupun karang (Dahuri dkk. 1996).Sehingga tipe substrat yang terdapat

pada setiap stasiun merupakan tipe substrat yang cocok untuk tumbuhnya lamun.

d. Kedalaman

Kedalaman perairan di Pulau Sintok, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Taka

Malang berkisar antara 0,8m – 1,2m. Hal ini dapat mendukung lamun untuk

tumbuh karena syarat utama lamun untuk hidup adalah perairan dangkal. Lamun

dapat tumbuh pada zona intertidal bawah dan subtidal atas, hingga mencapai

kedalaman 30 meter. Pada zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang di

dominasi oleh Halophilla ovalis, Cymodocea rotundata, dan Halodule pinifolia.

Sedangkan pada Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah

(Hutomo 1997). Kerapatan dan pertumbuhan lamun, dapat dipengaruhi oleh

kedalaman perairan. Perbedaan kedalaman antar stasiun dapat disebabkan oleh

perbedaan kontur dari dasar perairan. Selain itu, perbedaan kedalaman dapat juga

akibat perbedaan waktu pengukuran yaitu saat air surut ataupun mulai pasang.

4.2.2 Lingkungan Kimiawi Perairan

Tabel 6. Parameter Kimiawi

Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil

pH 7,51 7,6 7,9

Salinitas (ppt) 30 30 30

DO (ppm) 7,6 7,8 7,7

a. Derajat Keasaman

Menurut Nyabakken (1992), umumnya pH air laut tidak menunjukkan

perubahan yang cukup besar dan biasanya stabil karena adanya sistem karbonat

dalam air laut, sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai perairan yang memiliki kondisi pH sekitar 7 – 8,5. Lamun dapat

tumbuh optimal jika berada dalam kisaran pH antara 7,5 – 8,5. Berdasarkan

penelitian pH di ketiga pulau antara 7,5 – 7,9 berarti pH di ketiga pulau masih

berada dalam batas normal bagi lamun tumbuh.Jika tidak terjadinya perubahan pH

yang besar disebabkan karena adanya siklus karbonat dalam air laut.

b. Oksigen Terlarut

Menurut Salmin (2005) perairan yang baik dan tidak tercemar berada di

atas 5 ppm. Oksigen terlarut (DO) yang diukur pada setiap stasiun penelitian

menunjukkan nilai antara 7,5 – 7,8 ppm. Kondisi perairan di ketiga lokasi

penelitian yang menunjukkan bahwa keadaan perairan tersebut masih dalam

kondisi normal dan memungkinkan bagi lamun untuk dapat tumbuh dengan baik.

c. Salinitas

Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10 - 40 ppt

dan nilai optimumnya adalah 35 ppt. Penurunan salinitas akan menurunkan

kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap

salinitas bervariasi bergantung jenis dan umur. Lamun yang tua dapat

mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap

biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Sedangkan

kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas (Kiswara 1997).

Dilihat dari hasil parameter fisik dan kimiawi bisa disimpulkan bahwa

parameter fisik dan kimiawi perairan masih baik dan menunjang untuk tumbuhnya

lamun, dan kondisi perairan fisik maupun kimiawi di Pulau Taka Malang (lokasi

pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (non pariwisata) belum

menimbulkan tanda-tanda pencemaran yang signifikan akibat dari kegiatan

pariwisata.

4.3 Struktur Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pulau Taka Malang,

Pulau Sintok, dan Pulau Cemara Kecil, ditemukan empat jenis spesies lamun.

Untuk di Pulau Taka Malang (non pariwisata) ditemukan tiga jenis lamun, yaitu

Thalassia hemprichii, Halophilla ovalis, dan Enhalus acoroides. Di Pulau Sintok

(pariwisata) terdapat juga tiga jenis lamun yang ditemukan yaitu Cymodocea

rotundata, Halophilla ovalis, dan Thalassia hemprichii. Sementara itu di Pulau

Cemara Kecil (pariwisata) hanya menemukan satu jenis lamun yaitu Thalassia

hemprichii. Tumbuhan lamun yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 4.

Cymodocea rotundata Enhalus acoroides

Halophilla ovalis Thalassia hemprichii

Gambar 4. Jenis Lamun Yang Ditemukan

Thalassia hemprichii merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di

Kepulauan Karimunjawa. Ciri-ciri jenis tersebut menurut Susetiono (2004) yakni,

daun lurus sampai sedikit melengkung, tepi daun tidak menonjol, panjang daun

mencapai 20 cm, lebar mencapai 1 cm, seludang daun tampak nyata dan keras

dengan panjang 3-6 cm, rimpang keras, menjalar, dan ruas-ruas rimpang

mempunyai seludang. Sering ditemukan dan dapat tumbuh hingga kedalaman 25

meter, sering di jumpai pada substrat berpasir.

Cymodocea rotundata merupakan spesies lamun yang juga ditemukan di

perairan Kepulauan Karimunjawa. Kebanyakan spesies ini ditemukan terutama di

daerah subtidal dengan kedalaman 3-6 m. Lamun ini dapat tumbuh di berbagai

substrat, dari substrat berlumpur sampai substrat yang keras. Ciri-ciri morfologi

Cymodocearotundata yaitu tepi daun bergerigi, akar tiap nodus banyak dan

bercabang, tulang daun sejajar, satu tegakan terdiri dari 2-3 helai daun (Moriaty

1989).

Enhalus acoroides memiliki panjang daun yang mencapai 2,5 m. Daun

berwarna hijau tua ini kuat dan tidak mudah terkoyak oleh gelombang laut.

Tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk jenis

tunggal atau bahkan mendominasi komunitas padang lamun.

Halophilla ovalis dapat hidup di zona pasang surut sampai kedalaman 20

m. Umum dijumpai pada substrat berlumpur, merupakan jenis yang dominan di

daerah intertidal. Memiliki ciri morfologi tiap nodus terdiri dari 2 tegakan,

mempunyai akar tunggal di setiap nodus, tulang daun menyirip.

4.3.1 KepadatanJenis Lamun

Kepadatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu atau tegakan

suatu jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun secara rinci

dapat dilihat pada Lampiran 8- 10. Kepadatan total lamun yang diperoleh pada

setiap stasiun yang dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Kepadatan Total Lamun

Keterangan : TH :Thalassia hemprichii

HO : Halophila ovalis

EA : Enhalus acoroides

CR : Cymodocea rotundata

Pulau Taka Malang memiliki pemanfaatan sebagai zona inti, sehingga

tidak ada kegiatan pariwisata di stasiun Taka Malang. Sedangkan stasiun Pulau

Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki pemanfaatan sebagai zona pariwisata,

sehingga terdapat kegiatan pariwisata di ke dua lokasi stasiun tersebut, sehingga

memungkinkan terdapat buangan limbah dari kegiatan pariwisata.

Spesies lamun yang memiliki kepadatan tertinggi di lokasi non pariwisata

yaitu stasiun Pulau Taka Malang adalah Enhalus acoroides dengan nilai

kepadatan 127,75 individu/m2 (Gambar 5). Sedangkan kepadatan tertinggi di

lokasi pariwisata Pulau Sintok adalah Cymodocea rotundata dengan nilai

kepadatan 495,87 individu/m2 dan Pulau Cemara Kecil hanya ditemukan satu

spesies lamun yaitu Thalassia hemprichii dengan total kepadatan sebesar

533,33individu/m2. Kepadatan Thalssia hemprichii di Pulau Cemara Kecil tinggi

karena hanya ditemukan satu jenis spesies lamun saja di lokasi Pulau Cemara

Kecil.

Faktor yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai penutupan yang

paling tinggi di Pulau Taka Malang dikarenakan lamun jenis ini memiliki daun

yang lebih besar dan lebar dari pada jenis lamun lainnya. Dengan daun yang lebih

0

100

200

300

400

500

600

TH HO EA TH HO CR TH

Kep

adat

an (

ind

ivid

u/m

2)

Jenis Lamun

Taka Malang

Sintok

Cemara Kecil

lebar sehingga banyak wilayah yang dapat ditutupi oleh satu tegakan saja.Faktor

yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai kepadatan paling tinggi adalah

tumbuhan ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan dengan rimpang

terbenam di dalam pasir. Dengan sistem perakaran yang demikian Enhalus

acoroides dapat lebih bertahan hidup ketika terkena gangguan dari luar seperti

aktifitas manusia dan faktor lingkungan lainnya.

Cymodocea rotundata memiliki kepadatan tertinggi di Pulau Sintok

dikarenakan kecocokan dalam kondisi perairan di Pulau Sintok. Selain kecocokan

dalam kondisi perairannya, kesesuaian substrat juga mempengaruhi tumbuhnya

Cymodocea rotundata. Pulau Sintok memiliki kondisi substrat pasir berlumpur

sedangkan Thalassia hemprichii memiliki kecocokan dengan kondisi substrat

berpasir. Sehingga Cymodocea rotundata memiliki pertumbuhan yang baik di

Pulau Sintok dibandingkan dengan Thalassia hemprichii.

Keberadaan spesies Thalassia hemprichii terlihat cukup padat untuk

masing-masing stasiun baik yang salah satunya Pulau Cemara Kecil (Gambar 5).

Menurut Yulianda (2002), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis

lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat

dan kondisi lingkungan perairan. Jenis Thalassia hemprichii memiliki sifat

sebagai penahan ombak, sehingga jenis ini sangat cocok sekali dengan keadaan

Pulau Cemara Kecil sebagai lokasi pariwisata dan pilihan kunjungan wisatawan

dengan tingkat nilai yang tinggi, dengan keadaan perairan yang tenang itu

wisatawan bisa melakukan kegiatan air seperti snorkling dan berenang.

Jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata merupakan

dua jenis lamun yang ditemukan secara meluas di perairan Indonesia. Jenis

tersebut tumbuh pada substrat pasir dan patahan karang mati, terbuka saat surut,

jauh dari pantai dan selalu digenangi air. Menurut Hutomo et al. (1988) bahwa

Thalassia hemprichii adalah jenis lamun yang paling dominan dan luas

sebarannya. Jenis ini ditemukan hampir diseluruh perairan Indonesia, tumbuh

pada jenis substrat mulai dari pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar

sampai pecahan-pecahan karang. Sedangkan Cymodocea rotundata merupakan

salah satu jenis dominan di intertidal (Hutomo 1997).

Berdasarkan tipe substrat di lokasi penelitian ini yaitu pasir berwarna

keputihan bertekstur halus, sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang

telah mati, maka tipe substrat ini menjadi indikator kuat sebagai tempat tumbuh

lamun jenis Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Tipe substrat ini

juga membantu membentuk perakaran yang kuat bagi kedua jenis lamun tersebut.

Kedua jenis lamun tersebut dianggap memiliki toleransi untuk hidup dan

berkembang di Pulau Taka Malang, Sintok dan Cemara Kecil, selain itu untuk

stasiun-stasiun tersebut keadaan perairannya cukup baik dan penetrasi cahaya

matahari mencapai dasar perairan sehingga fotosintesis dapat berlangsung dengan

baik.

Untuk jenis Halophilla ovalis tidak hanya ditemukan didaerah substrat

pasir dan umumnya tipe tunggal, tetapi juga ditemukan campuran bersama jenis

Thalassia hemprichii. Halophilla ovalis dapat tumbuh di lokasi karena secara

morfologi anatomi jenis akar ini halus seperti rambut tetapi sangat kuat untuk

beradaptasi dengan mengaitkan akar ke dalam substrat (Larkum et al. 1989).

Menurut (Bengen 2001) Halophilla ovalis yang berdaun kecil-kecil memiliki

penyebaran yang hampir sama dengan Enhalus acoroides, namun keberadaannya

hanya terbatas pada bagian pinggir pantai yang paling dangkal, sehingga bila ada

proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan

sehingga tetap memberikan kesempatan bagi lamun jenis ini untuk tumbuh dan

berfotosintesis.

Jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki kepadatan

tertinggi untuk lokasi Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil, karena di stasiun-

stasiun tersebut merupakan daerah subtidal yang dangkal, disamping itu memiliki

toleransi tertinggi untuk berkembang.

Beberapa faktor yang menyebabkan jenis lamun yang ditemukan berbeda-

beda untuk setiap stasiun yaitu, kecocokan substrat pada setiap jenis lamun, dan

kondisi lingkungan perairan.

4.3.2 Persentase Penutupan Lamun

Persentase penutupan lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang

ditutupi oleh lamun dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun

serta kemampuan lamun dalam memanfaatkan luasan yang ada (Hemming &

Duarte 2000). Persentase penutupan lamun juga dapat digunakan untuk

mengetahui kondisi komunitas lamun di suatu perairan (Yulianda 2002).

Tabel 7. Penutupan Lamun

Jenis Lamun Stasiun Taka Malang (NP) Kondisi

P PR Rata-rata

Thalassia hemprichii 5,59

0,145

0,50

Halophila ovalis 12,32

0,320

1,12 38,46

(Sedang)

Enhalus acoroides 20,55

0,53

1,86

Jenis Lamun Stasiun Sintok (P) Kondisi

P PR Rata-rata

Thalassia hemprichii 7,2

0,11

0,65

Halophila ovalis 1,89

0,02

0,17 64,86

(Baik)

Cymodocea rotundata

55,77

0,85

5,07

Jenis Lamun Stasiun Cemara Kecil (P) Kondisi

P PR Rata-rata

Thalassia hemprichii 43,18 1 3,92 43,18

(Sedang)

Keterangan : P : Penutupan

PR : Penutupan Relatif

NP : Non Pariwisata

P : Pariwisata

Dilihat dari tabel 7 untuk rata-rata penutupan lamun disetiap stasiun, Pulau

Taka Malang (zona non pariwisata) memiliki nilai rata-rata penutupan lamun

sebesar 38,46% yang berarti di Pulau Taka Malang memiliki nilai penutupan

lamun yang sedang karena memiliki nilai kisaran 25-49%. Sedangkan untuk

lokasi pariwata seperti Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki rata-rata

nilai penutupan masing-masing setiap stasiun yaitu sebesar 64,86% untuk Pulau

Sintok dan 43,18% untuk Pulau Cemara Kecil. Pulau Sintok memiliki nilai rata-

rata penutupan yang baik karena memiliki nilai penutupan lamun yang yang

berkisar antara 50-75%. Sedangkan Pulau Cemara Kecil dikategorikan sedang

karena memiliki nilai yang berkisar antara 25-49%. Sehingga bisa disimpulkan

bahwa ketiga pulau tersebut memiliki penutupan lamun yang baik, dan belum

memiliki pengaruh yang berarti dari aktivitas pariwisata.

4.3.3 Keanekaragaman dan Keseragaman Jenis Lamun

Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk

melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks

ekologi (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data indeks

keanekaragaman dan keseragaman di tiga pulau sebagai berikut.

Tabel 8. Keanekaragaman, dan Keseragaman Jenis Lamun

No. Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P)

H E H E H E

1 0,264 0,166 0,255 0,160 0 0

Keterangan : H : Keanekaragaman

E : Keseragaman

NP : Non Pariwisata

P : Pariwisata

Hasil perhitungan berdasarkan indeks keanekaragaman shanon, jika nilai

yang diperoleh mendekati 0 maka indeks dinyatakan rendah, dan apabila nilai

mendekati 1 maka indeks dinyatakan tinggi (Krebs 1975).

Pengukuran indeks keanekaragaman jenis bertujuan untuk mengetahui

jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Indeks

keanekaragaman jenis yang terdapat di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok dan

Pulau Cemara Kecil tersebut dapat bertambah apabila komunitas makin stabil,

namun apabila terjadi gangguan maka indeks keanekaragaman jenis tersebut akan

mengalami penurunan. Hal ini senada dengan pendapat Michael (1995), jumlah

spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman

spesies tampaknya bertambah bila komunitas makin stabil dan akan menurun

apabila terdapat gangguan, dimana situasi lingkungan dalam keadaan tidak

menyenangkan dan kondisi fisik lingkungan terus menerus terganggu.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka diketahui bahwa keanekaragaman

di Pulau Taka Malang dan Pulau Cemara Kecil memiliki nilai rendah karena

tingkat keanekaragamannya tidak ada yang mendekati nilai satu. Hal ini sesuai

dengan pendapat (Odum 1975) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, nilai

semakin tinggi berarti komunitas di perairan tersebut makin beragam dan tidak

didominasi oleh satu atau lebih dari jenis yang ada. Sedangkan untuk ketiga lokasi

tersebut memiliki nilai yang rendah yaitu jauh dari angka satu berarti komunitas di

perairan tersebut tidak beragam dan didominasi oleh satu jenis lamun yang

ditemukan.

Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat nilai indeks keanekaragaman dari

stasiun Pulau Sintok dapat dikategorikan keanekaragaman rendah. Nilai indeks

keanekaragaman dengan kategori rendah ini berarti produktivitas rendah, kondisi

ekosistem yang sedikit ditemukan.Keanekaragaman Jenis Lamun di Pulau Taka

Malang tidak jauh berbeda dengan keanekaragaman jenis lamun yang ada di

Pulau Sintok, maka indeks keanekaragaman dinyatakan rendah. Rendahnya

keanekaragaman yaitu akibat tutupan lamun tergolong rendah dan juga sedikitnya

spesies lamun yang ditemukan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata indeks keseragaman

(E) di Pulau taka malang dan Pualau Sintok adalah kisaran 0,160 – 0,166 yang

memiliki nilai yang rendah. Sedangkan untuk pulau Cemara kecil yang memiliki

nilai indeks keseragaman nol maka perairan di Pulau Cemara kecil tidak dapat

mendukung kehidupan organisme perairan.Secara umum, berdasarkan data hasil

perhitungan (Tabel 8), indeks keanekaragaman di ketiga pulau dapat dinyatakan

rendah. Rendahnya keanekaragaman di ketiga pulau ini akibat persentase tutupan

lamun yang tergolong rendah dan juga sedikitnya spesies lamun yang ditemukan.

Untuk keanekaragaman dan keseragaman yang ada di Pulau Cemara Kecil

bernilai nol dikarenakan di Pulau Cemara kecil hanya ditemukan satu spesies jenis

lamun yaitu jenis Thalassia hemprichii. Karena hanya ditemukan satu jenis

spesies lamun, maka tidak terdapat keanekaragaman dan keseragaman jenis lamun

di Pulau Cemara Kecil.

Widodo (1997) menyatakan bahwa faktor utama yang memepengaruhi

jumlah organisme, kenaekaragaman jenis antara lain adanya perusakan habitat

alami seperti pengkonversian lahan, kegiatan pariwisata, pencemaran kimia dan

organik, serta perubahan iklim. Sehingga bisa disimpulkan dengan rendahnya

keanekaragaman dan keseragaman yang terjadi di lokasi Pulau Taka Malang (non

pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (pariwisata) yaitu

dengan adanya dampak dari kegiatan pariwisata.

4.3.4 Frekuensi Jenis Lamun

Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun

yang ditentukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan data hasil

penelitian, frekuensi jenis lamun yang diketahui memiliki nilai yang fluktuatif

(Tabel 9).

Tabel 9. Frekuensi Jenis Lamun

Jenis Lamun Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P)

F FR F FR F FR

Thalasia

hemprichii

0,87 0,39 0,96 0,38 0,81 1

Halophila

ovalis

0,45 0,20 0,54 0,21 - -

Enhalus

acoroides

0,87 0,39 - - - -

Cymodocea

rotundata

- - 1 0,39 - -

Keterangan : F : Frekuensi

FR : Frekuensi relative

NP : Non Pariwisata

P : Pariwisata

Frekuensi jenis lamun di stasiun Pulau Taka Malang didominasi oleh

Enhalus acoroidesdan Thalasia hemprichiidengan besar frekuensi 0,87%. Dilihat

dari Tabel 8, frekuensi jenis lamun di Pulau Sintok menunjukkan lamun yang

memiliki frekuensi jenis lamun yang besar, yaitu Thalasia hemprichii sebesar

0,96% dan Cymodocea rotundatasebesar 1%.Sementara itu frekuensi jenis lamun

di Pulau Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichiisebesar 0,81%.

Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata memiliki nilai

frekuensi yang besar dikarenakan Thalsia hemprichii dan Cymodocea rotundata

berukuran tinggi dan besar yang mendominasi ruang untuk tumbuh dan

menurunkan pertumbuhan Halophilla ovalis untuk tumbuh.

Jenis Thalassia hemprichiimemiliki frekuensi yang besar dikarenakan di

Pulau Cemara Kecil hanya terdapat satu jenis lamun, sehingga jenis Thalassia

hemprichii mendominasi untuk di Pulau Cemara Kecil. Selain itu faktor yang

menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain

ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan perairan. Sehingga di Pulau

cemara kecil hanya tumbuh satu jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii.

4.3.5 Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting (INP) menggambarkan peranan suatu spesies lamun

terhadap spesies lainnya dalam suatu komunitas. INP ini ditemukan oleh frekuensi

relatif, kerapatan relatif, dan penutupan relatif masing-masing spesies lamun

sehingga mempunyai hubungan berbanding lurus. Semakin tinggi nilai INP suatu

jenis lamun terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis tersebut pada

komunitas lamun (Fachrul 2007).

Tabel 10. Rata-rata Indeks Nilai Penting

Jenis

Lamun

INP TM (NP) Jenis

Lamun

INP S (P) Jenis

Lamun

INP CK (P)

Thalassia

hemprichii

0,72 Thalassia

hemprichii

0,62 Thalassia

hemprichii

3

Halophlila

ovalis

0,53 Halophilla

ovalis

0,30

Enhalus

acoroides

1,74 Cymodocea

rotundata

2,07

Keterangan : TM : Taka Malang,

S : Sintok,

CK : Cemara Kecil

NP : Non Pariwisata

P : Pariwisata

Dilihat dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa, spesies yang memiliki

rata-tata indeks nilai penting tertinggi untuk di lokasi Pulau Taka Malang yaitu

Enhalus acoroides dengan nilai 1,74. Untuk stasiun Pulau Sintok yang memiliki

rata-rata indeks nilai tertinggi yaitu Cymodecea rotundata dengan nilai 2,07.

Sedangkan untuk rata-rata nilai indeks penting tertinggi untuk lokasi Pulau

Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichii dengan nilai 3.

Menurut Fachrul (2008) semakin tinggi nilai INP suatu jenis relatif

terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis pada komunitas tersebut.

Jenis Enhalus acoroides memiliki indeks nilai penting paling tinggi di Pulau Taka

Malang karena lamun jenis ini paling dominan di perairan tersebut.

Sedangkan untuk rata-rata indeks nilai penting terendah di Pulau Taka

Malang yaitu spesies Halophilla ovalis dengan nilai 0,53. Untuk rata-rata indeks

nilai penting terendah di lokasi Pulau Sintok yaitu spesies Halophilla

ovalisdengan nilai 0,30. Rendahnya nilai indeks penting jenis Halophilla ovalis

menunjukkan bahwa jenis Halophilla ovalis tidak dominan di perairan tersebut.

Untuk di kedua pulau yaitu Taka Malang dan Sintok memiliki kesamaan untuk

indeks nilai penting yang terendah terdapat di spesies Halophilla ovalis, ini

disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan Halophilla ovalis yang rendah dan

tumbuhannya yang kecil.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis lamun yang memiliki peranan

penting di Pulau Karimunjawa khususnya di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok

dan Pulau Cemara Kecil yaitu jenis lamun Thalassia hemprichii.

4.4 Pengelolaan Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa

Potensi sumberdaya Kepulauan Karimunjawa adalah keanekaragaman

jenis biota laut seperti biota karang (90 jenis), ikan karang (242 jenis), beberapa

jenis udang dan lobster, penyu (2 jenis), rumput laut (10 genus), padang lamun

(10 genus), vegetasi mangrove (11 jenis), dan berbagai biota laut lainnya serta

didukung oleh kondisi airnya yang jernih, dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil

memberikan nilai tersendiri bagi keindahan alam Karimunjawa.

Upaya untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya tersebut di atas,

Pemerintah melalui Departemen Kehutanan pada tahun 1988 melakukan

kebijakan dengan menetapkan Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional

Laut yang dituangkan ke dalam SK Menteri Kehutanan No. 161/Menhut-II/1988.

Sebagai Taman Nasional, maka bentuk pengelolaannya (pengaturan ruang)

didasarkan pada sistem Zonasi, hal ini sesuai dengan UU. No 5 Tahun 1990.

Sedangkan peraturan perundangan yang terbaru menggunakan UU. No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan yang didalamnya mengatur pengelolaan kawasan

konservasi ekosistem.

Indikasi kerusakan ekosistem dan sumber kawasan Taman Nasional

Karimunjawa secara kuantitatif sangat jelas terlihat, dan dari tahun ke tahun

kondisinya mengkhawatirkan. Berdasarkan atas kondisi dan permasalahan ini,

kiranya untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang terjadi

dan sebagai acuan untuk memadu rencana pengelolaan jangka panjang ke depan.

Dari hasil yang didapat dari penelitian ini bahwa lokasi non pariwisata

yaitu Pulau Taka Malang dengan lokasi pariwisata yaitu Pulau Sintok dan Pulau

Cemara Kecil belum memiliki dampak yang membuat ekosistem lamun rusak

dengan adanya kegiatan pariwisata. Tapi suatu saat dengan adanya kegiatan

pariwisata yang terus meningkat akan mengakibatkan kerusakan ekosistem lamun.

Padang lamun bukan menjadi objek yang dicari oleh wisatawan, tetapi

lamun memiliki manfaat yang menunjang lokasi pariwisata salah satunya wisata

air menjadi objek wisata yang dicari oleh wisatawan. Maka dari itu perlu adanya

perlindungan dari wisatawan, masyarakat maupun pemerintah setempat. Dengan

adanya perlindungan maka akan terjadinya dampak positif bagi wisatawan,

masyarakat maupun pemerintah setempat. Dampak positif bagi wisatawan yaitu

bisa menikmati keindahan perairan tanpa adanya gangguan akibat dampak negatif

pariwisata. Untuk masyarakat setempat akan meningkatkan perekonomian dengan

wisatawan yang datang, dan untuk pemerintah setempat yaitu bisa menjadikan

daerah tersebut menjadi daerah pariwisata yang baik.