BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Diskripsi Objek...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Diskripsi Objek...
64
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Diskripsi Objek Penelitian
Populasi yang menjadi objek penelitian ini adalah semua perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010 dan 2011, yang berjumlah
437 perusahaan. Sedangkan untuk penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan
secara nonrandom (non probability sampling) dengan menggunakan metode
purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan kriteria tertentu. Prosedur
pemilihan sampel dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 4.1
Pemilihan Sampel
No. Kriteria Jumlah
1. Perusahaan yang terdaftar di BEI sampain akhir
tahun 2011.
437
2. Perusahaan yang tidak konsisten menerbitkan laporan
tahunan di webside BEI pada tahun 2010 dan 2011.
(263)
3. Perusahaan yang memiliki laba negativ. (28)
4. Perusahaan yang tidak menyajikan informasi terkait
variabel yang digunakan.
(4)
5. Perusahaan yang menggunakan mata uang asing. (12)
6. Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan
keuangan yang berakhir pada 31 Desember.
(0)
Total Sampel 130
65
Berdasarkan kriteria-kriteria dari table 4.1 peneliti memperoleh sampel sebanyak
130 perusahaan. Penelitian ini menggunakan data time series yaitu pada tahun 2010
dan 2011 jadi sampel pada penelitian ini berjumlah 260 perusahaan. Alasan yang
mendasari pemilihan tahun 2010 dan 2011 adalah penelitian ini dilaksanakan pada
tahun 2013, sehingga masih sulit dalam pencarian data pada tahun 2012. Data
perusahaan sampel dapat dilihat pada lampiran 1.
4.2 Statistik Diskriptif
Analisis diskriptif memberikan informasi mengenai gambaran data yang
digunakan oleh peneliti untuk diolah. Informasi tersebut meliputi nilai maksimum,
minimum, rata-rata(mean), dan standart deviasi dari masing-masing variabel yang
digunakan. Berdasarkan data diolah yang diperoleh oleh, peneliti Statistic Diskriptif
yang dihasilkan dapat dilihat dalam table 4.2, sebagai berikut:
66
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IPS 260 .3200 .8700 .635808 .0894067
KM 260 .0000 .4400 .026568 .0700043
KB 260 .0000 .9818 .359874 .2832184
KP 260 .0000 .9000 .046070 .1714191
DKI 260 .2000 .8000 .413811 .1182174
UDK 260 2 10 3.87 1.358
KDK 260 .0000 1.0000 .420969 .2432073
L 260 .0100 3.2100 .517556 .3909095
FS 260 18.8856 34.9542 28.210361 2.0002846
ROA 260 .0001 .5096 .079675 .0868075
Valid N (listwise) 260
Sumber: Data Diolah Lampiran 2
Dari analisis Diskriptif pada table 4.2 menunjukkan nilai maksimum, minimum,
rata-rata (mean), dan standart deviasi dari perusahaan sampel. Dari table diatas dapat
dilihat bahwa dari total sampel 260 perusahaan Indeks Pengungkapan Sukarela (IPS)
memiliki nilai minimum 32 % dan nilai maksimum 87%. Rata-rata pengungkapan
sukarela perusahaan-perusahaan di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 63,58%, hal
ini menunujukkan perusahaan sampel sudah mematuhi peraturan yang berlaku
tentang penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan publik
(BAPEPAM No. Kep-134/BL/2006).
Pada variabel Kepemilikan Manajerial (KM) saham tertinggi yang dimiliki oleh
manajemen sebesar 44%, dan paling sedikit 0% yang berarti manajemen sama sekali
tidak memiliki saham perusahaan. Rata-rata saham perusahaan yang dimiliki oleh
67
manajemen sangat kecil sebesar 2,65% dengan standart deviasi 7%. Rendahnya
tingkat presentasi kepemilikan manajemen menunjukkan bahwa manajemen tidak
ikut merasakan sebagai pemilik perusahaan sehingga loyalitas yang diberikan juga
kurang maksimal untuk aktivitas pengungkapan sukarela laporan tahunan (Xiao dan
Yuan, 2007).
Pada variabel kepemilikan blockholder (KB), memiliki rentang yang sangat besar,
antara 0% sampai 98% dengan rata-rata sebesar 35,98%. Hal ini menunjukkan adanya
konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu. Konsentrasi kepemilikan ini
menunjukkan lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG), yang terikat
pada kurangnya pengawasan dari pihak blockholder dalam hal pengungkapan
sukarela laporan tahunan.
Proporsi saham Kepemilikan pemerintah (KP) memiliki rentang yang cukup besar
antara yaitu 0% sampai 90% dengan rata-rata yang sangat kecil yaitu 4,6%. Standart
deviasi yang lebih besar menunjukkan kepemilikan pemerintah memiliki perbedaan
yang besar diantara masing-masing perusahaan sampel karena tidak semua
perusahaan bergerak dibawah naungan pemerintah (BUMN). Dengan monitoring dan
tekanan oleh pemerintah, manajemen termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya
yang lebih baik dengan cara mengungkapkan informasi lebih transparan.
Hasil statistik deskriptif menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris
independen (DKI) paling kecil sebesar 20% dan paling besar 80%. Berdasarkan
keputusan direksi PT bursa efek Jakarta (BEJ) No. Kep 305/BEJ/07-2004 tentang
68
pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitakan oleh
perusahaan tercatat (peratuaran no.1-A), perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (dahulu BEJ) harus memiliki komisarsis independen sekurang kurangnya
30% dari jajaran dewan komisaris. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa masih ada
perusahaan yang tidak menaati peraturan yang telah ditetapkan dengan adanya
perusahaan yang hanya memilik 20% dewan komisaris independen dari jajaran
dewan komisaris. Hal ini akan memengaruhi efektifitas dewan komisaris dalam hal
memonitoring kinerja direksi untuk mengungkapkan informasi sukarela.
Dari tabel 4.2 ukuran dewan komisaris (UDK) paling sedikit adalah sebanyak 2
orang dan paling banyak adalah 10 orang. Menurut UU No. 40 thn 2007 tetang
Perseroan Terbatas pasal 108 ayat 5 anggota dewan komisaris harus lebih dari 2,
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semua perusahaan sampel sudah mentaati
peraturan yang berlaku. Dengan jumlah dewan komisaris yang sudah memenuhi
syarat maka pengawasan terhadap kinerja manajemen dapat lebih efektif, yang pada
akhirnya dapat memengaruhi pengambilan keputusan pengungkapan sukarela.
Keahlian dewan komisaris (KDK) memiliki nilai terendah 0% dan nilai tertinggi
100%, dengan nilai rata-rata 42,1%, dan standart deviasi sebesar 24,32%.
Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif menunjukkan tidak semua perusahaan
memiliki dewan komisaris yang memiliki keahlian dibidang akuntansi da keuangan.
Dewan komisaris berkerja secara tim, setidaknya ada yang mempunyai keahlian
dibidang hukum, pasar modal dan tentang bisnis terkait sehingga sumbangan
pemikiran dapat lebih beragam dan bernilai tambah.
69
Leverage (L) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hutang
jangka panjangnya. Variabel leverage memiliki rentang yang sangat besar yaitu 1%
sampai 321%, dengan standart deviasi lebih kecil dari rata-rata yaitu 39,09%. Lebih
dari 50% perusahaan sampel modalnya berasal dari hutang, karena terlihat dengan
rata-rata leverage sebesar 51,75%, atau rata-rata kemampuan perusahaan sampel
dalam menjamian hutang menggunakan aktivanya sebesar 51,75%.
Pada variabel Firm Size (FZ), apabila semakin besar nilainya berarti perusahaan
tersebut semakin besar karena memiliki total asset yang lebih banyak. Total aset
dirubah dalam bentuk logaritma natural untuk memperoleh nilai yang lebih kecil dan
tidak terlalu panjang. Perusahaan dengan total asset paling kecil adalah 18,88 dan
perusahaan paling besar memiliki total aset sebesar 34,95 dengan rata-rata 28,21 dan
standart deviasi 2,00.
Profitabilitas (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba. Variabel profitabilitas menunjukkan rentang yang tinggi antara 0,01% sampai
50,96%. Pada perusahaan sampel kemampuan dalam menghasilkan laba tertinggi
adalah 50,96%, namun rata-rata profitabilitas menunujukkan angka yang rendah yaitu
7,97 %. Profitabilitas memiliki variasi yang lebih besar antar perusahaan sampel
karena standart deviasinya lebih besar dari nilai rata-rata.
70
4.3 Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan pengujian regresi berganda, dalam penelitian ini terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi klasik. Hal ini dikarenakan teknik estimasi varibel
dependen dilandasi oleh analisis regresi yang disebut Ordinary Least Square (OLS).
Menurut Ghozali (2011:96) OLS mengestimasi suatu garis regresi dengan cara
meminimalkan jumlah kuadrat kesalahan setiap observasi terhadap garis tersebut.
Asumsi utama yang mendasari model regresi agar tidak bias adalah dengan
melakukan uji asumsi klasik, terdiri dari uji multikolinieritas, uji hetorokodestisitas,
uji autokorelasi, dan uji normalitas.
4.3.1 Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2011:160). Model
regresi yang baik memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Alat uji
yang digunakan dalam penelitian ini adalah grafik histogram normal probability plot
dan uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S).
71
Gambar 4.1
Grafik Histogram
Gambar 4.2
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
72
Berdasarakan tampilan grafik histogram pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa
grafik histogram menunjukkan pola distribusi yang normal. Sedangkan grafik normal
plot pada gambar 4.3 titik titik menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya
mengikuti arah garis diagonal. Jadi, berdasarkan lat uji grafik histogram dan grafik
normal probability plot, dapat dinyatakan bahwa penyebaran data mendekati normal
atau memenuhi asumsi normalitas. Berikut adalah tabel uji statistik non-parametrik
Kolmogorov-Smirnov (K-S).
Tabel 4.3
Hasil uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S).
Unstandardized Residual
N 260
Normal Parametersa Mean .0000000
Std.
Deviation .08216660
Most Extreme
Differences
Absolute .039
Positive .028
Negative -.039
Kolmogorov-Smirnov Z .634
Asymp. Sig. (2-tailed) .817
Sumber : data diolah lampiran 2
Dari tabel 4.6 besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,634 dengan tingkat
signifikansi diatas 0,05 yaitu 0,817. Dengan kata lain bahwa KS tidak signifikan,
berarti residual terdistribusi secara normal, berarti uji KS konsisten dengan grafik
histogram dan grafik normal probability plot.
73
4.3.2 Uji Multikolonieritas
Menurut Ghozali (2011:105) uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel
independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variable-variabel ini
tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi
antar sesama variabel independen sama dengan nol.
Multikolonieritas dapat dilihat dari nilai tolerance dan variance inflation factor
(VIF). Jika tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10 maka terdapat
multikolonieritas yang tidak dapat di toleransi dan variabel tersebut harus dikeluarkan
dari model regresi agar hasil yang diperoleh tidak bias.
Tabel 4.4
Hasil Uji Multikolonieritas
Variabel Collinearity Statistic
Tolerance VIF
KM .928 1.077
KB .853 1.173
KP .820 1.219
DKI .928 1.078
UDK .765 1.307
KDK .904 1.106
L .946 1.057
FZ .833 1.201
ROA .932 1.073
Sumber: Data diolah lampiran 2
74
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan tidak ada variabel KM, KB, KP, DKI, UDK,
KDK, L,FZ, ROA yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 begitu pula dengan
VIF tidak ada yang diatas 10. Jadi dapat disimpulkan variabel independen dan
variabel kontrol yang digunkan dalam model regresi dalam penelitian ini terbebas
dari multikolinieritas.
4.3.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linier
terdapat korelasi antar kesalahan pengganggu (residual) pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan
terdapat permasalahan autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Salah satu cara yang umum
digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan menggunakan uji
Durbin Watson (DW). Suatu model regresi dinyatakan tidak terdapat permasalahan
autokorelasi apabila:
Keterangan:
dw = nilai Durbin Watson hitung
= nilai batas atas/upper Durbin Watson tabel
75
Tabel 4.5
Hasil Uji Autokorelasi
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .394a .155 .125 .0836325 1.902
Sumber : data diolah lampiran 2
Nilai sebesar 1,902 akan dibandingkan dengan nilai table Durbin
Watson dengan menggunakan derajat kepercayaan 5%, jumlah sampel 260 dan
jumlah variabel independen dan variabel kontrol adalah 9, maka tabel Durbin-Watson
akan diperoleh nilai:
Dl = 1.73369
= 1.86041
= 1.902
1.8604 < 1.902 < 2.1395
Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa nilai lebih besar daripada batas
atas 1,8604 dan lebih kecil daripada 4-du = 4-1,8604=2,1395. Dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat autokorelasi positif maupun negatif dalam model regresi.
4.3.4 Uji Heterokedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
(Ghozali, 2011:139). Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat
melihat Grafik Plot dan menggunakan Uji Glejser. Jika ada pola tetentu, seperti titik-
76
titik yang membetuk pola tertentu yang teratur seperti gelombang, melebar kemudian
menyempit maka mengidentifikasikan terdapat masalah heteroskedastisitas.
Sedangkan jika tidak ada pola yang jelas, dan titik menyebar di atas dan di bawah
angka 0 makan dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali,
2011:139).
Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresi nilai absolute residual terhadap
variabel independen (Ghozali, 2011:142). Dasar pengambilan keputusan jika
variabel-variabel independen memiliki nilai probabilitas atau signifikansi > 0,05;
maka dalam model regresi tidak terjadi heteroskedastisitas. Tabel dibawah ini akan
menyajikan hasil dari Grafik Plot dan Uji Glejser.
Gambar 4.3
Grafik Scetterplot
77
Terlihat dari tampilan grafik scatterplot di atas bahwa titik-titik tersebar dengan
acak diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Menurut Ghozali
(2011:141) analisis menggunakan grafik memiliki kelemahan yang cukup signifikan
karena jumlah pengamatan memengaruhi hasil plotting. Semakin kecil jumlah
pengamatan makan semakin sulit mengidentifikasikan hasil garfik plot. Maka peneliti
menggunakan uji statistik kedua yaitu Uji Glejser untuk meyakinkan bahwa tidak ada
masalah heteroskedastisitas dalam model regresi.
Tabel 4.6
Hasil Uji Glejser
Variabel T Sig
KM -1.768 .078
KB .972 .332
KP -.061 .952
DKI 1.004 .317
UDK -1.346 .180
KDK -.075 .940
L 1.066 .287
FZ -1.104 .271
ROA -1.631 .104
Variabel dependen: AbsUi
Sumber: Data diolah lampiran 2
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa semua variabel independen maupun
variabel kontrol (KM, KB, KP, DKI, UDK, KDK, L,FZ, ROA) memiliki tingkat
kepercayaan diatas 5%. Dapat disimpulkan dalam model regresi tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas, hal ini konsisten dengan Uji Grafik Plot.
78
4.4 Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan model regresi berganda
(multiple regressions). Penelitian ini menggunakan tiga jenis variabel yaitu variabel
dependen, variabel independen, dan variabel kontrol. Variabel dependen adalah
Indeks Pengungkapan Sukarela (IPS). Adapun variabel independen yang digunakan
adalah kepemilikan manajerial (KM), kepemilikan blockholder (KB), kepemilikan
pemerintah (KP), komposisi dewan komisaris independen (DKI), ukuran dewan
komisaris (UDK), dan keahlian dewan komisaris (KDK). Sedangkan variabel kontrol
dalam penelitian ini adalah leverage (L), Firm Size (FS), dan Profitablitas (ROA).
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh bukti empiris adanya pengaruh struktur
kepemilikan dan karakteristik dewan komisaris terhadap pengungkapan sukarela.
Tabel 4.7
Hasil Pengujian Hipotesis
Variabel Koefisien Regresi Statistik t Sig.
KM .091 1.175 .241
KB -.023 -1.177 .240
KP .072 2.142 .033
DKI -.065 -1.424 .156
UDK .011 2.494 .013
KDK -.033 -1.485 .139
L -.032 -2.317 .021
FZ .006 2.039 .042
ROA .009 .141 .888
R .394
.155
Adjusted .125
F 5.111
Sig. .000
Sumber: data diolah lampiran 2
79
4.4.1 Uji Koefisien Determinasi (
Koefisien Determinasi ( ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Berdasarkan tabel 4.7
menunjukkan bahwa besarnya adjusted sebesar 0,125, hal ini berarti 12,5%
pengungkapan sukarela dapat dijelaskan oleh variasi dari enam variabel independen
dan 3 variabel control (KM, KB, KP, DKI, UDK, KDK, L, FZ, ROA). Sedangkan
sisanya (100% - 12,5% = 87,5%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model.
Dalam penelitian ini menggunakan variabel kontrol, yaitu leverage, firm size, dan
profitabilitas. Sebelum ditambahkan variabel kontrol nilai adjusted adalah 10,1%
(dapat dilihat pada lampiran 2), artinya variabel independen yang digunakan dalam
model (KM, KB, KP, DKI, UDK, KDK) mampu menjelaskan sebesar 10,1% variasi
variabel dependen (pengungkapan sukarela). Fungsi dari variabel kontrol adalah
untuk menambah tingkat keakuratan penelitian yang dilakukan. Keadaan ini terbukti
dengan nilai adjusted yang semakin tinggi sebesar 12,5%.
4.4.2 Uji Signifikan Simultan (Uji Statistik F)
Penelitian ini menggunakan tabel ANOVA atau F test, dari tabel 4.7 diperoleh
nilai F hitung sebesar 5,111 dengan probabilitas 0,000. Oleh karena probabilitas lebih
kecil daripada 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi KM, KB, KP,
DKI, UDK, KDK, F, FS, dan ROA tidak sama dengan nol, atau kesembilan variabel
secara simultan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela perusahaan sampel.
80
4.4.3 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel
penjelas atau independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependen (Ghozali, 2006). Pengujian dilakukan dengan menggunakan significance
level 0,05 (α = 5%). Hipotesis diterima apabila nilai probabilitas lebih kecil dari : 5%
( .
Koefisien konstanta bernilai positif menyatakan bahwa dengan mengasumsikan
ketiadaan varibel KM, KB, KP, DKI, UDK, KDK, F, FS, dan ROA, maka
pengungkapan sukarela cenderung mengalami kenaikan.
Variabel kepemilikan manajerial (KM) memiliki koefisien regresi positif sebesar
0,91. Variabel KM tidak signifikan secara statistik karena memiliki nilai probabilitas
lebih besar dari α : 5% yaitu 0,241. Maka, hipotesis pertama menyatakan kepemilikan
manajerial memiliki pengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela ditolak.
Variabel kepemilikan blockholder (KB) memiliki koefisien regresi negatif sebesar
0,023. Variabel KM tidak signifikan secara statistik karena memiliki nilai
probabilitas lebih besar dari α : 5% yaitu 0,240. Maka, hipotesis kedua menyatakan
kepemilikan blockholder memiliki pengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela
ditolak.
Variabel kepemilikan pemerintah (KP) memiliki koefisien regresi positif sebesar
0,072. Variabel KM memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari pada α : 5% yaitu
0,033. Hal ini berarti penambahan kepemilikan saham oleh pemerintah sebanyak 1%
81
akan meningkatkan tingkat pengungkapan sukarela sebesar 7,2% dengan asumsi
variabel independen lainnya dalam keadaan konstan. Maka, hipotesis ketiga
menyatakan kepemilikan pemerintah memiliki pengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela diterima.
Variabel komposisi dewan komisaris independen (DKI) memiliki koefisien
regresi negatif sebesar 0,065. Variabel KM tidak signifikan secara statistik karena
memiliki nilai probabilitas lebih besar dari α : 5% yaitu 0,156. Maka, hipotesis
keempat menyatakan komposisi dewan komisaris independen memiliki pengaruh
positif terhadap pengungkapan sukarela ditolak.
Variabel ukuran dewan komisaris (UDK) memiliki koefisien regresi positif
sebesar 0,011. Variabel UDK memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari pada α : 5%
yaitu 0,013. Hal ini berarti penambahan dewan komisaris sebanyak 1 orang akan
meningkatkan rasio tingkat pengungkapan sukarela sebesar 1,1% dengan asumsi
variabel independen lainnya dalam keadaan konstan. Maka, hipotesis kelima
menyatakan ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela diterima.
Variabel keahlian dewan komisaris (KDK) memiliki koefisien regresi negatif
sebesar 0,033. Variabel KM tidak signifikan secara statistik karena memiliki nilai
probabilitas lebih besar dari α : 5% yaitu 0,139. Maka, hipotesis keenam menyatakan
keahlian dewan komisaris memiliki pengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela
ditolak.
82
Variabel leverage (L) memiliki koefisien regresi negatif sebesar 0,032. Variabel L
memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari pada α : 5% yaitu 0,021. Hal ini berarti
penurunan nilai leverage sebanyak 1% akan meningkatkan rasio tingkat
pengungkapan sukarela sebesar 3,2% dengan asumsi variabel independen lainnya
dalam keadaan konstan. Hal ini berarti leverage memiliki pengaruh negative
signifikan terhadap pengungkapan sukarela.
Variabel firm size (FS) memiliki koefisien regresi positif sebesar 0,006. Variabel
FS signifikan secara statistik karena memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari α:5%
yaitu 0,042. Maka, firm size memiliki pengaruh terhadap pengungkapan sukarela
perusahaan.
Variabel profitabilitas (ROA) memiliki koefisien regresi negatif sebesar 0,009.
Variabel ROA tidak signifikan secara statistik karena memiliki nilai probabilitas
lebih besar dari α : 5% yaitu 0,888. Maka, profitabilitas tidak mempunyai pengaruh
terhadap pengungkapan sukarela.
4.5 Pembahasan
Pada subbab ini akan dibahas tentang pengaruh masing-masing variabel bebas
terhadap variabel terikat. Berdasarkan hasil uji regresi berganda bahwa dengan
tingginya kepemilikan pemerintah dan ukuran dewan komisaris maka pengungkapan
sukarela akan semakin tinggi. Sedangkan kepemilikan manajerial, kepemilikan
blockholder, dewan komisaris independen, dan keahlian dewan komisaris tidak
83
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela. Untuk variabel kontrol leverage yang
kecil dan ukuran perusahaan yang besar maka, pengungkapan sukarela akan semakin
tinggi. Namun profitabilitas yang dihitung dengan ROA tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan sukarela.
4.5.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Tingkat Pengungkapan
Sukarela.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, hipotesis pertama yang menyatakan
kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela adalah
ditolak. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sheu et al (2007), Purwandari (2012), Syafitri (2009) dan Diyanti (2011) yang
menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial menunjukkan hubungan positif
signifikan terhadap pengungkapan sukarela. Sedangkan penelitian ini konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh Xiao dan Yuan (2007), Pupitaningrum (2012),
Pramunia (2010) dan Irmayanti (2011) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham
oleh pihak manajemen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela.
Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
karena proporsi kepemilikan manajerial di perusahaan sampel relative masih sangat
kecil, hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kepemilikan hanya 2,65% (table 4.2).
Dengan rendahnya proporsi kepemilikan manajer hal ini berakibat kepentingan
pribadi manajemen belum dapat diselaraskan dengan kepentingan pemilik maupun
perusahaan, sehingga belum mampu mengurangi perilaku oportunistik secara
84
menyeluruh. Dengan adanya perbedaan tujuan antara pemilik dan manjemen tentu
saja akan menimbukan agency cost.
Menurut Xiao dan Yuan (2007), rendahnya tingkat presentase proporsi
kepemilikan saham manajemen cenderung mengakibatkan pihak manajemen tidak
ikut merasakan sebagai pemilik perusahaan sehingga kurangnya kesadaran dari pihak
manajemen dalam hal pengorbanan sumber daya untuk aktivitas pengungkapan
sukarela laporan tahunan, sehingga pengungkapan informasi akan semakin sedikit.
Hasil penelitian ini didukung oleh Baskaraningrum dan Merkusiwati (2013).
4.5.2 Pengaruh Kepemilikan Blockholder Terhadap Tingkat Pengungkapan
Sukarela.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, hipotesis kedua yang menyatakan bahwa
kepemilikan blockholder berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela adalah
ditolak. Hasil penelitian ini didukung oleh Eng dan Mak (2003) yang menyatakan
bahwa kepemilikan blockholder tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela.
Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Puspitaningrum (2012) dan Oktaviana
(2009) yang menyatakan bahwa kepemilikan blockholder tidak mampu memengaruhi
tingkat pengungkapan sukarela.
Hasil penelitian tidak mampu mendukung pernyataan Jansen and Mackling
(1976) yang mengemukakan bahwa pemegang saham potensial mempunyai kekuasan
yang lebih besar dalam memonitoring manejemen, kerena kinerja mereka terkait erat
dengan kinerja keuangan perusahaan. Kepemilikan blockholder yang tinggi
85
seharusnya dapat meningkatkan pengawasan oleh pihak luar terhadap kinerja
manajemen. Dengan adanya pengawasan oleh pihak luar, maka akan membuat
manajemen lebih terdorong dalam pengungkapan informasi yang lebih transparan
sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik. Namun pada kenyataannya,
kepemilikan saham potensial pada perusahaan sampel tidak mendorong pengawasan
yang lebih ketat terhadap kinerja perusahaan untuk lebih transparan dalam
pengungkapan sukarela. Hal ini dapat terjadi kemungkinan besar karena pengawasan
oleh blockholder belum maksimal.
Belum maksimalnya pengawasan oleh blockholder menurut Chau dan Gray
(2002) sebagaimana yang dikutip oleh Oktaviana (2009) karena, struktur kepemilikan
perusahaan Indonesia cenderung terkonsentrasi, sesuai dengan ciri-ciri bentuk
kepemilikan perusahaan yang ada di Asia, termasuk Indonesia. Berdasarkan temuan
mereka, dengan adanya struktur kepemilikan terkonsentrasi maka perusahaan-
perusahaan tersebut tidak termotivasi untuk melakukan pengungkapan selain
pengungkapan wajib. Hal ini terjadi karena pemegang saham mayoritas akan semakin
menguasai perusahaan dan semakin memengaruhi pengambilan keputusan (termasuk
keputusan untuk tidak mengungkapkan informasi selain pengungkapan wajib). Selain
itu, pemegang saham mayoritas akan berpandangan bahwa bukan menjadi
kepentingan mereka lagi mengenai perlindungan kepada para pemegang saham
minoritas dan mekanisme good corporate governance. Dengan sedikitnya
kepemilikan saham oleh pihak outsider (minoritas) dibandingkan dengan kepemilikan
pihak blockholder sehingga menyebabkan permintaan akan pengungkapan sukarela
86
perusahaan tidak begitu besar dibandingkan dengan perusahaan yang kepemilikan
sahamnya tersebar (kepemilikan outsider yang tinggi). Keadaan ini sesuai dengan
faktor-faktor yang memengaruhi lemahnya praktik GCG di perusahaan-perusahaan
Indonesia menurut Bacellius (2000) dan Herwidayatmo (2002) dalam penjelasan bab
sebelumnya (Bab 1).
Menurut Nuryaman (2009), pemegang saham mayoritas tidak terlalu tertarik
dengan pengungkapan yang dilakukan perusahaan pada laporan tahunan karena: (1)
pemegang saham pengendali dapat mengakses informasi yang mereka butuhkan
secara langsung keperusahaan tanpa melalui laporan tahunan; dan (2) sebagai strategi
persaingan, beberapa informasi penting sengaja ditahan oleh manajemen dan atau
pemegag saham mayoritas untuk menghindari pemanfaatan informasi oleh pesaing
perusahaan.
4.5.3 Pengaruh Kepemilikan Pemerintah Terhadap Tingkat Pengungkapan
Sukarela.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, hipotesis ketiga yang menyatakan
kepemilikan pemerintah berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela adalah
diterima. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Eng
dan Mak (2003), yang menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif antara
kepemilikan pemerintah dengan pengungkapan sukarela. Hasil berbeda diungkapkan
oleh Xiao dan Yuan (2007) dan Kurniawan (2013), bahwa kepemikikan pemerintah
tidak terpengaruh oleh pengungkapan sukarela.
87
Adanya hubungan antara kepemilikan saham pemerintah dengan luas
pengungkapan sukarela mengandung arti semakin besar kepemilikan pemerintah
maka semakin banyak informasi yang akan diungkapkan oleh perusahaan. Keadaan
ini terjadi karena apabila suatu perusahaan memiliki persentase kepemilikan saham
oleh pemerintah yang tinggi, maka keberadaan perusahaan tersebut akan lebih disorot
oleh stakeholder-nya termasuk pemerintah. Perhatian dan tekanan pemerintah yang
besar akan membuat perusahaan tendorong untuk menunjukkan kinerja yang lebih
baik dengan melakukan pengelolaan secara transparan. Perusahaan menggunakan
laporan tahunan sebagai salah satu media pelaporan pertanggungjawaban manajemen.
Pengungkapan yang lebih besar merupakan wujud akuntabilitas atas pengelolaan
perusahaan.
4.5.4 Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris Independen Terhadap Tingkat
Pengungkapan Sukarela.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, hipotesis keempat yang menyatakan
komposisi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan
sukarela adalah ditolak. Hasil penelitian ini konsisten dengan Shau et al (2007,
Nuryaman et al (2010), Puspitaningrum (2012), Yuniasih et al (2011).
Eng dan Mak (2003) menemukan hasil yang berdeda, bahwa komposisi dewan
komisaris independen mempunyai pengaruh negative terhadap pengungkapan
sukarela. Namun hasil berbeda diungkapkan oleh Ismoyowati (2007), yang
menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif signifikan antara komposisi
88
dewan komisaris independen terhadap pengungkapan sukarela. Dengan kata lain
semakin besar proporsi komisaris independen maka tingkat pengawasan manajerial
akan semakin efektif dan kemudian perusahaan lebih banyak melakukan
pengungkapan sukarela. Penelitian ini didukung oleh beberapa peneliti lainnya yaitu
Diyanti (2011), Nuryaman et al (2011).
Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai minipun dewan komisaris independen
dari jajaran dewan komisaris sebesar 20%. Keadaan ini tidak konsisten dengan
Keputusan Direksi PT bursa efek Jakarta (BEJ) No. Kep 305/BEJ/07-2004 tentang
Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitakan Oleh
Perusahaan Tercatat (Peratuaran No.1-A), perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (dahulu BEJ) harus memiliki komisarsis independen sekurang kurangnya
30% dari jajaran dewan komisaris. Dengan kata lain masih ada perusahaan sampel
yang tidak mematuhi peraturan yang telah berlaku, ini merupakan salah satu
penyebab mengapa komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh
terhadap pengungkapan sukarela.
Alasan lain tidak adanya hubungan antara dewan komisaris independen dengan
pengungkapan sukarela karena tidak adanya pengawasan yang efektif oleh dewan
komisaris independen terhadap perusahaan, sesuai dengan penyebab lemahnya GCG
di Indonesia menurut Becelius (2002) dan Herwidayatmo (2000). Pengangkatan
dewan komisaris independen hanya didasarkan pada persyaratan formalitas
sebagaimana disebutkan dalam perundang-undangan (BEJ No. Kep 305/BEJ/07-
89
2004), sehingga dewan komisaris bisa dikatakan kurang berpihak kepada perusahaan
dan tidak memiliki kemampuan yang diperlukan.
Menurut FCGI (2001: 7) konsentrasi kepemilikan dalam satu kelompok atau satu
keluarga dapat memengaruhi independensi dewan komisaris, karena pemberian
jabatan dewan komisaris, berdasarkan rasa penghargaan semata maupun berdasarakan
hubungan keluarga atau kenalan dekat. Di Indonesia, mantan pejabat pemerintahan
ataupun yang masih aktif, biasanya diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris
Independen suatu perusahaan dengan tujuan agar mempunyai akses ke instansi
pemerintah yang bersangkutan. Sehingga integritas dan independensi dewan
komisaris diragukan karena adanya hubungan istimewa, dengan kata lain ada atau
tidaknya dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap perusahaan.
4.5.5 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Tingkat Pengungkapan
Sukarela.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, hipotesis kelima yang menyatakan ukuran
dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela adalah
diterima. Penelitian ini konsisten dengan Aktaruddin (2009), Karagul dan Yonet
(2010), Sheu et al 2007), Janadi (2013), Budianawati (2009), Utami et al (2012) dan
Sambiring (2005).
Sheu et al (2007), berpendapat bahwa ukuran dewan komisaris yang diproksikan
dengan jumlah dewan komisaris menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
voluntary disclosure. Hal ini berarti semakin banyak jumlah dewan komisaris maka
90
perusahaan akan semakin transparan dalam pengungkapan informasi. Ukuran dewan
komisaris yang lebih besar akan mencakup tenaga professional yang berlatar
belakang berbeda-beda sehingga sumbangan pemikiran yang diberikan akan lebih
beragam dan bernilai tambah. Perusahaan yang memiliki ukuran dewan komisaris
yang besar akan lebih kecil kemungkinan dalam kegagalan bisnis.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Teori Agensi, dewan komisaris dianggap
sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi, yang bertanggung jawab untuk
memonitor tindakan manajemen. Karagul dan Yonet (2010), menyatakan bahwa
semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk
mengendalikan direksi dan monitoring yang dilakukan semakin efektif, sehingga
pengungkapan informasi dalam laporan tahunan semakin tinggi.
4.5.6 Pengaruh Keahlian Dewan Komisaris Terhadap Tingkat Pengungkapan
Sukarela.
Berdasarkan hasil hipotesis ke enam, yang menyatakan keahlian dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, adalah ditolak. Dengan kata
lain penelitian ini tidak mampu memberikan bukti empiris adanya pengaruh keahlian
dewan komisaris terhadap pengungkapan sukarela.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan peneltian yang dialakukan oleh
Nuryaman et al (2010), yang menyatakan bahwa kompetensi dewan komisaris
memiliki hubungan positif terhadap pengungkapan sukarela, makna dari penelitian ini
adalah kehadiran anggota dewan komisaris yang memiliki keahlian di bidang
91
akuntansi dan keuangan dapat meningkatkan pengawasan dewan kepada manajemen
dalam praktik transparansi dan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan.
Namun penelitian ini konsisten dengan penelitian Yuniasih (2011), yang menyatakan
bahwa kompetensi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
informasi.
Tidak adanya pengaruh antara keahlian dewan komisaris terhadap pengungkapan
sukarela disebabkan karena, pendidikan tidak hanya diperoleh melalui jalur formal.
Kemampuan anggota dewan komisaris juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman
yang dimiliki. Selain itu, pelatihan dan kursus juga dapat memengaruhi keputusan
seseorang untuk mengungkapkan suatu informasi termasuk pengungkapan informasi.
Oleh karena itu, latar belakang pendidikan formal bukan merupakan satu-satunya
faktor yang akan memengaruhi keputusan untuk melakukan pengungkapan informasi.
Menurut Alijoyo (2003) dalam Purwandari (2008), menyatakan bahwa agar
kinerja dewan komisaris semakin efektif, maka dewan komisaris harus memiliki
akuntabilitas yang tinggi. Dewan komisaris secata tim setidaknya mempunyai
keahlian di bidang hukum, peraturan pasar modal, dan dengan proses bisnis terkait.
Dengan demikian adanya kompetensi dewan komisaris dalam bidang akuntansi dan
keuangan saja tidak cukup maksimal dalam melaksanakan mekanisme GCG. Jadi
kompetensi dewan komisaris tidak memengaruhi pengambilan keputusan dalam
pengungkapan sukarela.
92
4.5.7 Pengaruh Leverage Terhadap Tingkat Pengungkapan Sukarela.
Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang jangka
panjangnya. Dari hasil analisis data, leverage berpengaruh negative signifikan
terhadap pengungkapan perusahaan sampel. Hal ini berarti semakin kecil tingkat
leverage, berarti semakin besar tingkat pengungkapan sukarela. Hasil penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2010).
Penelitian ini tidak konsisten dengan penelian Oktaviana (2009), yang
menyatakan bahwa ada pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sukarela.
Semakin tinggi tingkat leverage maka semakin tinggi informasi yang diungkapkan
oleh perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi maka
akan diikuti dengan biaya pengawasan (monitoring cost) yang tinggi karena ketatnya
pengawsan dari pihak kreditur. Oleh sebab itu perusahaan yang mempunyai proporsi
hutang dalam struktur modalnya akan menyajikan informasi yang memadai bagi
kreditur untuk meningkatkan tingkat kepercayaan kreditur terhadap perusahaan.
Hasil penelitian ini juga tidak konsisten dengan teori Jansen dan Mackling (1976)
yang menyatakan pengaruh yang positif ini dikarenakan berdasarkan teori keagenan
memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan
mengungkapkan lebih banyak informasi dikarenakan biaya keagenan perusahaan
dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi. Keadaan ini bisa terjadi karena
perusahaan cenderung menutupi informasi-informasi yang menjadi kekurangan
perusahaan agar para kreditur dan pemegang saham tidak mengetahui kekurangan
93
tersebut. Perusahaan dianggap tidak dapat mengelola perusahaan dengan baik.
(Fitriah, 2007 dalam Purwandari, 2012).
4.5.8 Pengaruh Firm Size Terhadap Tingkat Pengungkapan Sukarela.
Banyak yang meneliti variabel Firm Size atau ukuran perusahaan terhadap
pengungkapan sukarela, variabel ini merupakan variabel yang cukup konsisten
hasilnya. Berdasarkan hasil analisis regresi ukuran perusahaan mempunya pengaruh
positif terhadap pengungkapan sukarela. Penelitian ini konsisten dengan Oktaviana
(2009), Diyanti (2011), Nuryaman (2009) dan Puspitaningrum (2012).
Menurut Teory Agency perusahaan besar mempunyai biaya keagenan yang lebih
tinggi daripada perusahaan kecil (Jansen dan Meckling, 1976). Tingginya biaya
keagenan dikarenan perusahaan besar mempunyai mempunyai shareholder yang
banyak dan tersebar. Adanya hubungan keagenan anatar principal dan agent telah
membebani manajemen untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya
(Puspitaningrum, 2012). Maka, untuk mengurangi biaya keagenan, perusahaan besar
dapat melakukan pengungkapan lebih transparan guna mengurangi biaya keagenan.
Menurut Oktaviana (2012), perusahaan besar umumnya menjadi sorotan banyak
pihak, baik dari masyarakat secara umum maupun pemerintah, perusahaan dengan
ukuran relative besar lebih diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sehingga
mereka berupaya menjadi lebih baik untuk meminimalisir tekanan-tekanan dari
pemerintah. Oleh karena itu perusahaan-prusahaan besar lebih banyak
pengungkapkan informasi lebih daripada perusahaan kecil.
94
4.5.8 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Tingkat Pengungkapan Sukarela.
Profitabilitas (ROA) berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan
positif tidak signifikan. Hal ini berarti profitabilitas tidak mempunyai hubungan
terhadap pengungkapan sukarela, semakin tinggi tingkat profitabilitas maka semakin
sedikit informasi yang diungkapkan. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian
Purwandari (2008).
Tingkat profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
karena kondisi perekonomian yang kurang stabil. Banyak perusahaan yang
profitabilitasnya menurun sehingga informasi mengenai profitabilitas tidak terlalu
diperhatikan. Terlebih lagi rata-rata tingkat profitabilitas sangat kecil yaitu 7,96 %.
Oleh karena itu profitabilitas yang rendah tidak menghambat perusahaan dalam
mengungkankan informasi sukarela dengan tujuan untuk menunjukkan keterbukaan
manajemen perusahaan dalam melaporkan informasi keuangan perusahaan
(Purwandari, 2012).