11. Perubahan Lingkungan Fisik Dan Pengaruhnya Terhadap Daratan
BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor...
Transcript of BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor...
BAB IV
PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA
DI MALUKU UTARA
A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA
DI MALUKU UTARA
Dalam penelitian ini perihal migrasi-kolonisasi komunitas Non-
Austronesia merupakan salah satu fokus utama permasalahannya, karena hal
tersebut berkaitan dalam rekonstruksi penghunian Situs Ceruk Uattamdi. Oleh
karena itu, dalam bagian ini juga akan dibahas mengenai migrasi-kolonisasi
tersebut.
1. Awal Penghunian Maluku Utara
Bukti awal kehadiran manusia di Maluku Utara sampai saat ini terdapat di
situs Golo, Pulau Gebe sejak 32.000 BP. Pada masa sebelumnya, penghunian
Daratan Sahul telah dimulai setidaknya sejak 40.000 BP berdasarkan temuan
kapak berpinggang (waisted axe) pada teras koral yang terangkat di Semenanjung
Huon.1 Nampaknya, sampai saat ini data arkeologi yang tersedia mengisyaratkan
bahwa penghunian Daratan Sahul terjadi sejak masa yang lebih tua dari pada
penghunian kepulauan Maluku Utara. Namun, hipotesis ini masih perlu
1 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, “Human Pleistosen
Adaptations in the Tropical Island Pacific: recent evidence from New Ireland, a Greater Australian outlier”, Antiquity 63 (1989), hlm. 548.
111
pembuktian lebih jauh, karena kedua pertanggalan yang dihasilkan oleh kedua
situs tersebut diperoleh dari metode yang berbeda. Sampai saat ini, model yang
masih relevan digunakan untuk menguji data dengan berbagai pendekatan adalah
model yang diajukan Birdsell. Di sini tidak akan dibahas mengenai apa, kapan,
mengapa dan bagaimana manusia manusia dapat mencapai Daratan Sahul,
pembahasan mendetail mengenai hal tersebut sudah banyak dibicarakan oleh
berbagai ahli dengan berbagai pendekatan.2 Dengan memperhitungkan data
arkeologi dan kondisi lingkungan, kemungkinan besar manusia sampai di Daratan
Sahul lewat jalur selatan seperti yang diajukan oleh Birdsell.
Sumber: J.B. Birdsell, 1977
2 Lihat: Daud Aris Tanudirjo (1991 dan 2000), “Proses Awal Penghunian
Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia” dan “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The Models and the Data”, untuk pembahasan mengenai berbagai model yang telah diajukan oleh berbagai ahli dengan berbagai pendekatan yang berbeda.
Peta 4.1. Jalur migrasi menuju Daratan Sahul, seperti yang disarankan oleh Birdsell, 1977
112
Menurut Butlin3 jalur selatan dari Timor menuju Australia lebih
memungkinkan dari pada jalur utara dari Borneo menuju Nugini. Menurut beliau,
pertama karena jarak jalur selatan lebih pendek dari pada jalur utara. Kedua,
fluktuasi ketinggian muka air laut yang disebabkan oleh proses glasial-
interglasialisasi tidak menyebabkan perubahan bentuk lahan dan garis pantai
kepulauan di jalur utara tetapi tidak demikian dengan jalur selatan. Ketiga, banyak
pulau dan daratan yang muncul pada Paparan Sahul bagian selatan akibat proses
fluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju
Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat,
konfigurasi kepulauan pada jalur utara yang relatif menyebar meyulitkan untuk
diakses. Kelima, jalur utara lebih beresiko dari pada jalur selatan.
Sedangkan menurut Bellwood,4 pada jalur utara manusia akan berhadapan
dengan hutan hujan tropis di Borneo tetapi berhadapan dengan hutan tropis
musiman di Sulawesi. Di lain pihak dari Jawa bagian timur hingga Kepulauan
Sunda Kecil manusia akan berhadapan dengan iklim yang relatif seragam yaitu
hutan tropis musiman. Pada kondisi seperti ini, dari sudut pandang adaptasi
budaya, maka jalur utara akan lebih membahayakan dan beresiko lebih besar dari
pada jalur selatan.
3 Periksa: N.G. Butlin, “The Palaeoeconomic History of Aboriginal
Migration”, hlm 3-57. 4 Dalam Daud Aris Tanudirjo, op.cit., (2000), hlm. 181.
113
Pada Kala Pleistosen Akhir, manusia yang menghuni kepulauan Indonesia
timur bagian utara adalah populasi Wajak-like.5 Ciri kelompok manusia tersebut
mendekati ciri rasial yang dimiliki oleh populasi Australo-Melanesid. Ciri yang
memiliki hubungan dekat dengan komunitas Papua yang masih bertahan di
Melanesia hingga saat ini. Kemungkinan besar, rangka dari Golo (7500 BP)6 juga
mengandung unsur rasial tersebut. Menurut Voorhoeve, berdasarkan data
lingistik, bahasa-bahasa Halmahera Utara yang saat ini masih berkembang
termasuk dalam Phylum Papua Barat.7 Walaupun demikian bahasa-bahasa
tersebut telah memiliki tingkat diversitas yang tinggi dengan bahasa Papua dari
daerah Kepala Burung, sehingga metode linguistik tidak dapat menjangkau masa
penyebaran bahasa tersebut dari daerah asalnya.
Menurut Bellwood8 para penjelajah lautan yang paling awal di Pasifik
bagian barat membuat alat-alat serpih seperti yang ada di situs-situs sejaman di
Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan secara kultural
antara kedua kawasan tersebut. Adanya translokasi wallabi (Dorcopsis muelleri
mysoliae) yang merupakan hewan asli Daratan Sahul pada situs-situs di
5 Daud Aris Tanudirjo, “Recent Archaeological Research in Northeastern
Indonesia”, makalah disampaikan dalam IPPA Congres, Melaka, 1998, hal. 9. 6 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe
(Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1999), hlm. 68.
7 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 221.
8 Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 278.
114
Kepulauan Maluku Utara oleh manusia mengindikasikan bahwa, komunitas Non-
Austronesia berasal dari Daratan Sahul. Berdasarkan beberapa hal tersebut dapat
ditarik hipotesis bahwa, komunitas Non-Austronesia yang mengkoloni Maluku
Utara datang dari Daratan Sahul setidaknya sejak 32.000 BP.
2. Faktor Penyebab Migrasi
Berdasarkan data arkeologi dapat diketahui bahwa, struktur masyarakat
Non-Austronesia yang ada di kawasan Maluku Utara merupakan masyarakat
pemburu-pengumpul yang menggantungkan hidupnya dari kemampuan daya
dukung sumberdaya lingkungan. Dalam struktur masyarakat pemburu-pengumpul
proses migrasi sangat dipengaruhi oleh pola cakupan situs dan kemampuan alami
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, yang disebut autocatalysis. Pola cakupan
situs membuka peluang bagi penjelajahan kawasan-kawasan baru oleh masyarakat
pemburu-pengumpul yang dikenal memiliki kemampuan mobilitas tinggi. Selain
faktor lingkungan, dalam konteks subsistensi pemburu-peramu, proses migrasi-
kolonisasi juga dipengaruhi oleh manusia itu sendiri sebagai pembuat keputusan.
Dalam proses pengambilan keputusan terdapat dua variabel, yaitu biaya (cost) dan
keuntungan (benefit).9 Biaya adalah sesuatu yang harus dikeluarkan untuk
mencapai target, sedangkan keuntungan adalah sesuatu yang diperoleh setelah
mencapai target.
9 Periksa: Daud Aris Tanudirjo, “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul
Utara dan Kepulauan Melanesia”, makalah dalam Kongres IAAI, (Tidak dipublikasikan, 1991), hlm. 4.
115
Beberapa kemungkinan tersebut mungkin juga merupakan faktor penyebab
terjadinya perpindahan manusia dan penghunian awal Maluku Utara, yang terjadi
pada kala Plestosen Akhir. Pada masa tersebut kondisi iklim global masih belum
stabil sehingga mengakibatkan terjadinya proses glasial-interglasialisasi. Proses
tersebut menyebabkan perubahan lingkungan yang merupakan relung ekologi
tempat tinggal manusia. Pada situasi ini manusia akan dihadapkan oleh dua
pilihan yaitu tetap tinggal dengan menyusun sistem budayanya agar dapat survive
atau pindah ke tempat lain yang lingkungan alamnya dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya. Mungkin sebagian dari kelompok manusia pada masa lampau yang
dihadapkan pada situasi tersebut, ada yang memilih untuk pergi ke tempat lain
sehingga menyebabkan terjadinya migrasi. Selain faktor yang bersifat materi,
proses migrasi juga disebabkan oleh faktor non-materi. Keterbatasan data
menyebabkan penelitian ini belum dapat mengungkapkan faktor non-materi
tersebut.
3. Proses Migrasi
Menurut MacArthur dan Wilson10, aspek lingkungan yang berpengaruh
dalam proses kolonisasi di daerah kepulauan adalah: jarak antar pulau, konfigurasi
bentang lahan dan luas area. Berdasarkan sudut pandang georafisnya, kepulauan
Maluku Utara memang letaknya sangat berdekatan dengan Daratan Sahul, maka
tidak mengherankan jika kawasan ini menjadi target kolonisasi komunitas
10 Teori tersebut dikutip oleh William F. Keegan dan Jared M. Diamond
dalam tulisannya “Colonization of Island by human: A Biogeographical Perspective”, Advances in Archaeological Method and Theory, No. 10, (1987), hlm. 49-92.
116
Australo-Melanesid dari Daratan Sahul. Dari Waigeo (Daratan Sahul) menuju
Gebe hanya berjarak 26 km, dan dari Gebe menuju Halmahera hanya berjarak 30
km.11 Selain Misool dan Waigeo yang bergabung dengan Daratan Sahul, Morotai
dan Bacan juga bergabung dengan Halmahera pada masa Glasial. Menurut
Tanudirjo12, Situs-situs Kala Plestosen akhir di Paparan Sahul Utara dan
Kepulauan Melanesia, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu situs-situs
pesisir dan situs-situs dataran tinggi. Kemungkinan besar proses migrasi menuju
kepulauan Maluku Utara dilakukan oleh kelompok sempalan dari komunitas situs
pesisir tersebut, karena secara kultural mereka sudah terbiasa beradaptasi dengan
lingkungan pantai.
Pada kasus kolonisasi di Maluku Utara, juga terjadi penghunian pulau-
pulau yang sumberdaya alamnya terbatas, seperti Gebe, Morotai dan Kayoa.
Kemungkinan besar pulau tersebut dihuni justru karena memiliki pulau
pendukung yang besar dan sumberdaya alamnya mencukupi, seperti Pulau
Halmahera.13 Mungkin hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor terjadinya
translokasi hewan dan pelayaran antar pulau di kawasan Maluku Utara jauh
sebelum kedatangan orang Austronesia.
Konfigurasi kepulauan di Maluku Utara, antara pulau yang satu dengan
yang lain dalam jarak tertentu dapat saling terlihat dan mudah dicapai hanya
11 J.B. Birdsell, “Recalibration of a Paradigm for the First peopling of
Greater Australia”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul: Prehistoric Studies in South-East Asia, Melanesia and Australia, (London: Academic Press, 1977), hal. 124.
12 Daud Aris Tanudirjo, op.cit., hlm. 6. 13 Periksa: William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 59.
117
dengan bersampan. Bentuk konfigurasi Maluku Utara yang berkepulauan
menyebabkan proses migrasi terjadi dari pulau yang satu ke pulau yang lain
secara berurutan.
Berdasarkan data yang tersedia hingga saat ini dapat diintepretasikan
bahwa ada tiga tahap migrasi yang dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia di
Maluku Utara.14 Pada tahap pertama, migrasi dilakukan dari Salawati (Sahul)
langsung ke Gebe (Golo, 32.000 BP) lewat Waigeo. Pada saat terjadi proses
glasial pada Kala Plestosen Akhir Waigeo dan Salawati merupakan bagian dari
Daratan Sahul. Masa hunian awal Golo (32.000 BP) hanya meninggalkan sedikit
data arkeologi saja, sedangkan indikasi mengenai kegiatan manusia yang intensif
tercatat sejak 12.000 BP.15 Berdasarkan hal tersebut, ada kemungkinan bahwa
situs Golo dikoloni relatif singkat dan tidak intensif pada masa awalnya, untuk
kemudian komunitas pendukungnya melanjutkan migrasi ke sepanjang pantai
timur Halmahera bagian utara, sampai menuju Morotai (Daeo, 15.000 BP). Hal ini
didukung dengan temuan sisa Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli
Halmahera di situs Daeo (13.000 BP) di Morotai. Pertanggalan yang cukup muda
yang dihasilkan Siti Nafisah (5500 BP) mengindikasikan bahwa pantai timur
Halmahera hanya dilewati saja untuk kemudian menuju Morotai, dan baru pada
masa kemudian pulau tersebut didatangi kembali dan dihuni.
Pada tahap kedua, terjadi migrasi balik dari Morotai ke sepanjang pantai
timur Halmahera sampai bagian tengah pantai timur pulau tersebut dan kembali
14 Lihat peta 4.2. 15 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 279.
118
mengkoloni Gebe, hal ini didukung dengan semakin intensifnya aktivitas hunian
di situs Golo sejak 12.000 BP. Setelah menghuni Gebe kembali, nampaknya
komunitas tersebut, mengadakan hubungan dengan Daratan Sahul. Intepretasi ini
didukung dengan temuan sisa tulang wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) yang
merupakan fauna endemik Misool. Wallabi ditemukan di situs Golo (7400 BP),
Um Kapat Papo (7000 BP) dan Wetef (8500 BP) di Pulau Gebe. Kemungkinan
besar fauna ini didatangkan dari Misool (Sahul) lewat Waigeo. Di lain pihak, sisa
fauna Phalanger (10.000 BP) dari Golo kemungkinan berasal dari jenis lokal yang
hidup di pulau tersebut, yaitu Phalanger alexandrae.
Pada tahap ketiga, migrasi dilakukan dari Gebe menuju pantai timur
Halmahera bagian selatan. Intepretasi ini didukung dengan temuan sisa tulang
wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs Siti Nafisah (5000 BP) di pulau
Halmahera. Kemudian komunitas tersebut menyeberang ke pantai barat
Halmahera dan migrasi dilanjutkan menuju kepulauan Zona Ternate. Hal ini
diketahui berdasarkan sisa temuan Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli
Halmahera dan lancipan yang terbuat dari bahan tibia wallabi (Dorcopsis muelleri
mysoliae) di situs Uattamdi (3300 BP) di Kayoa.
Variabel yang berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan konfigurasi
bentang lahan adalah: angin, pola arus laut dan bahaya (misalnya badai). Migrasi
manusia di kawasan Maluku Utara mengkin memanfaatkan bergantian arah angin
dan arus laut yang berubah setiap musim.16 Selain itu, badai tropis dan tsunami
16 Mengenai pergantian arah angin dan arus laut lihat Bab II mengenai
kondisi lingkungan Maluku Utara.
119
yang kerap terjadi di perairan tropis merupakan faktor bahaya yang perlu
diperhitungkan dalam proses perpindahan manusia di kawasan ini.
Keterangan:
: jalur migrasi tahap I, dari Daratan Sahul melewati Waigeo, menggunakan Pulau Gebe sebagai batu loncatan untuk menuju pantai timur Halmahera bagian utara sampai Morotai. : jalur migrasi tahap II, kembali ke Pulau Gebe melewati sepanjang pantai timur Halmahera bagian timur. Kemudian melakukan translokasi fauna dengan Daratan Sahul.
: jalur migrasi tahap III, dari Gebe menuju pantai timur Halmahera, memotong ke pantai barat Halmahera dan menuju kepulauan Zona Ternate.
Aspek luas area adalah besar kecilnya luas pulau yang menjadi
pertimbangan kolonisasi. Pulau yang lebih besar cenderung akan dipilih dari pada
Peta 4.2. Model migrasi Non-Austronesia di Maluku Utara
120
pulau yang lebih kecil, karena cenderung lebih mudah untuk diakses, lebih banyak
mengandung sumberdaya, dan dapat mendukung perkembangan populasi yang
lebih besar.17 Teori ini rupanya dapat menjelaskan kasus penghunian awal di
Kepulauan Melanesia Barat, bahwa penghunian pulau-pulau kecil oleh komunitas
Non-Austronesia nampaknya tidak pernah dilakukan sebelum kedatangan orang
Austronesia. Penghunian awal di kepulauan tersebut hanya sebatas pulau-pulau
besar saja seperti New Ireland (Matenkupkum 32.000 BP)18, New Britain
(Yombon 35.000 BP)19 dan Solomon (Kilu 29.000 BP)20. Teori ini rupanya tidak
berlaku di kepulauan Maluku utara, karena kolonisasi di kawasan tersebut juga
terjadi di pulau-pulau kecil yang sumberdaya alamnya terbatas. Hal tersebut
ditunjukan oleh adanya translokasi fauna antar pulau di Maluku Utara dengan
Daratan Sahul yang diperkirakan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan di pulau
yang terbatas sumber faunanya tetapi memiliki sumberdaya lain selain fauna yang
ditranslokasikan.
Dalam kasus perpindahan manusia perlu dipertimbangkan bahwa faktor
benefit yang menjadi tujuan kolonisasi daerah baru, tentunya tidak hanya bersifat
material saja, seperti faktor ideologi misalnya. Hal tersebut juga memperkuat
dugaan bahwa, rekonstruksi jalur migrasi-kolonisasi manusia tidaklah semudah
17 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 62. 18 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 551. 19 Christina Pavlides dan Chris Gosden, “35,000 BP-years-old sites in the
rainforests of West New Britain, Papua New Guinea”, Antiquity 68 (1994), hlm. 604.
20 P. V. Kirch dan M.I. Weisler, “Archaeology in the Pacific Island: An Appraisal of Recent Research”, Jurnal of Archaeological Research, Vol. 2, No. 4, 1994, hlm. 288.
121
membuat garis-garis terdekat antar pulau, karena meskipun dalam batas tertentu
pulau-pulau kecil di kawasan Maluku Utara dapat saling terlihat, tetapi tidak
seluruhnya didatangi dan dihuni oleh manusia. Penelitian ini belum dapat
mengetahui faktor yang bersifat non-material, sebagai penyebab migrasi-
kolonisasi komunitas Non-Austronesia. Kesempatan untuk menjawab pertanyaan
tersebut mungkin dapat diperoleh dari studi etnoarkeologi terhadap masyarakat
Non-Austronesia yang masih bertahan di kawasan Maluku utara.
4. Tahap Kolonisasi
Secara umum kondisi lingkungan kepulauan Maluku Utara lebih
homogen, tetapi pada batas-batas tertentu, sumberdaya alam yang dimiliki oleh
tiap-tiap pulau cenderung berbeda, yang disebabkan oleh keterpencilan di
kawasan Wallacea yang dibatasi oleh laut-laut dalam. Dalam menghadapi kondisi
ini, komunitas Non-Austronesia akan cenderung beradaptasi dalam hal teknologi
eksploitasi sumberdaya, hal tersebut tercermin pada artefak-artefak yang
dihasilkan. Di situs Siti Nafisah (Halmahera) artefak didominasi oleh lancipan
tulang tanpa menghasilkan alat litik, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daeo
(Morotai) adaptasi ditunjukkan oleh peralatan yang dibuat dari batu kerakal
vulkanis, yang dipangkas sederhana. Melihat konteksnya yang berhubungan
dengan batu pelandas dan cangkang kerang, kemungkinan artefak tersebut
digunakan untuk memecah cangkang kerang untuk dikonsumsi.21
21 Informasi dari Daud Aris Tanudirjo, staf pengajar Jurusan Arkeologi,
UGM.
122
Translokasi hewan dari pulau kaya sumberdaya juga dilakukan guna
menghindari degradasi lingkungan di pulau-pulau miskin, seperti Phalanger yang
didatangkan di Kayoa dan Morotai serta Dorcopsis di Kayoa dan Gebe. Selain itu,
karena kolonisasi tersebut dilakukan oleh komunitas pesisir yang sudah terbiasa
dengan lingkungan pantai, maka perbedaan lingkungan yang menyebabkan
adaptasi tidak merubah budaya komunitas tersebut secara radikal.22
Berdasarkan data arkeologi, pola subsistensi komunitas Non-Austronesia
mengandalkan eksploitasi campuran darat dan marin. Batu pelandas (Canarium
nut anvil) di situs Golo 30.000 BP dan Tanjung Pinang 5000 BP dan tulang
mamalia darat mengindikasikan eksploitasi darat, sedangkan cangkang kerang dan
tulang ikan mengindikasikan eksploitasi laut. Selain itu berdasarkan bukti polen,
pada 6000 BP terdapat peningkatan polen tumbuhan palma di kawasan Maluku
Utara. Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini budidaya dan eksploitasi
tanaman sagu yang merupakan salah satu tumbuhan palma masih dilakukan di
Maluku Utara. Belum dapat diketahui apakah dengan pola subsistensi semacam
itu komunitas Non-Austronesia pada masa lampau juga dapat mengalami
kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan, sehingga menjadikan faktor
pendorong bagi komunitas tersebut untuk melakukan ekspansi. Berdasarkan bukti
yang ada, pada saat kedatangan orang Austronesia di kepulauan Maluku Utara,
kawasan ini merupakan koridor budaya Non-Austronesia yang kuat dan tidak
mudah untuk ditembus oleh orang Austronesia, bahkan hingga saat ini.
22 Sampai saat ini sebagian besar situs-situs di Maluku Utara yang tersedia,
berada di daerah pesisir pantai.
123
Menurut Binford23, dalam masyarakat sistem terbuka tipe donor, salah satu
mekanisme untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat adalah dengan
jalan pengaturan angka kelahiran, kematian dan melepaskan diri dari kelompok
inti, untuk membentuk komunitas baru. Kemungkinan besar kolonisasi daerah-
daerah baru di Maluku Utara juga dilakukan oleh komunitas sempalan Non-
Austronesia untuk menjaga keseimbangan masyarakat walaupun komunitas
intinya belum mengalami kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan.
Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dapat ditarik hipotesis bahwa hal
inilah yang juga terjadi pada Fase I budaya Uattamdi. Meskipun Fase I situs
Uattamdi mengandung unsur-unsur budaya Non-Austronesia dan Austronesia,
tetapi dapat diintepretasikan bahwa situs tersebut merupakan situs hunian
komunitas Non-Austronesia. Pertanggalan yang relatif muda (3300 BP)
mengindikasikan bahwa, kolonisasi daerah-daerah baru masih terus dilakukan
oleh komunitas Non-Austronesia bahkan sampai masa kedatangan orang
Austronesia di kawasan Maluku Utara.
Keberadaan unsur-unsur budaya Austronesia pada Fase budaya tersebut
menunjukan adanya interaksi antara komunitas Non-Austronesia dengan
masyarakat Austronesia. Interaksi antar budaya merupakan salah satu akibat dari
kasus penghunian oleh suatu komunitas di kawasan yang pada masa sebelumnya
telah dihuni oleh komunitas lainnya. Pembahasan mengenai hal tersebut akan
dilakukan pada bagian lain dalam tulisan ini.
23 Lewis R. Binford, “Post-Pleistocene Adaptations”, dalam Lewis R. Binford, ed., An Archaeological Perspective, (New York: Seminar Press., 1972), hlm. 437-438.
124
B. INTEPRETASI MODEL MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA
DI MALUKU UTARA
Kajian mengenai prasejarah Austronesia telah banyak mengalami
perkembangan yang cukup hebat, sejak 1932 ketika Von Heine Geldern
mengajukan teori migrasi yang dibangun berdasarkan tipologi beliung persegi.
Perubahan aliran pemikiran dan teknik penelitian ikut mewarnai perkembangan
tersebut. Ada banyak model migrasi yang telah diajukan oleh berbagai ahli yang
berbeda pula. Di antara berbagai model yang telah diajukan tersebut, terdapat dua
arus pemikiran yang mendasari pembentukan model tersebut, yaitu: Teori
Kebetulan (accidental theory) dan Teori Pengambilan Keputusan (decision-
making theory).
Teori kebetulan menyatakan bahwa kolonisasi daerah-daerah baru oleh
manusia pada masa prasejarah dilakukan secara tidak sengaja. Teori tersebut
beranggapan bahwa kolonisasi daerah kepulauan dilakukan oleh suatu komunitas
dengan teknologi sederhana pada saat sekelompok kecil dari mereka melakukan
eksploitasi sumberdaya marin sepanjang pantai dengan perahu atau rakit
sederhana karena ketidaksengajaan terseret ke lautan bebas dan terdampar di
daerah baru.24 Lebih jauh, teori ini juga menyatakan bahwa kolonisasi tersebut
terjadi pada masa glasial, ketika ketinggian air laut menurun sehingga
menyebabkan jarak antar pulau semakin dekat dengan penghalang laut yang tidak
terlalu lebar. Kondisi lingkungan tersebut mendukung para kolonis untuk
24 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm 66.
125
melewati lautan dengan bantuan pulau-pulau sebagai batu loncatan (steping
stone).25
Di lain pihak, teori pengambilan keputusan menyatakan bahwa proses
perpindahan manusia dilakukan dengan terencana dan dimanajeman dengan baik,
serta bukanlah suatu kebetulan belaka. Untuk fenomena kasus persebaran budaya
neolitik Kepulauan Asia Tenggara, dari daerah awal persebarannya di Taiwan dan
hubungannya dengan persebaran budaya Lapita di Melanesia Barat, beberapa ahli
seperti Bellwood dan Spriggs26, menyebutnya dengan istilah “express train”.
Karena hanya dalam tempo 1000 tahun, budaya neolitik tersebut sudah mencakup
radius 10.000 km sampai di Tonga, Samoa, kepulauan Polinesia Barat, dari asal
persebarannya di Taiwan (4000 BP). Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan
bahwa persebaran budaya Austronesia tidak semata-mata hanya karena faktor
kebetulan saja, tetapi lebih disebarkan oleh suatu pola mobilitas penduduk yang
terencana, teratur dan dimanajeman dengan baik.
1. Faktor Penyebab Migrasi
Dalam kasus migrasi-kolonisasi komunitas Austronesia, faktor-faktor
penyebab migrasi tersebut adalah:
25 Daud Aris Tanudirjo, “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The
models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 180.
26 Matthew Spiggs, “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western Pacific”, dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region, (Rotterdam: A.A. Balkema, 2000), hlm. 50. dan Peter Bellwood, op.cit., hlm. 339.
126
a. Faktor pendorong (push)
Menurut Bellwood27 terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan
terjadinya migrasi-kolonisasi orang Austronesia, antara lain dapat diringkas
sebagai berikut.
1. Pola subsistensi pertanian.
2. Berkembangnya teknologi pelayaran.
3. Adanya suatu konsep ideologi tertentu (cultural domain dan founding father
ideology).
4. Hasrat untuk menemukan daerah baru.
Berdasarkan penelitian di situs Chisan (6000 SM) ditemukan lubang yang
digunakan untuk menyimpan 100 ton jewawut (padi-padian liar) sedangkan di
Hemudu (5000 SM) ditemukan 120 ton padi basah dalam bentuk gabah.28 Hal
tersebut mengindikasikan bahwa pola ekonomi produksi pangan dapat
menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk (ledakan penduduk) yang
berlangsung dari generasi ke generasi. Pola subsistensi pertanian yang intensif
juga membutuhkan lahan pertanian yang semakin meningkat, sehingga
memunculkan keluarga-keluarga baru yang menduduki daerah baru pula. Hal ini
sesuai dengan teori Malthus bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dari
pada laju pertumbuhan sumberdaya, sehingga sewaktu-waktu sumberdaya
27 Peter Bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,
Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU Printing Service, 1995), hlm. 101-103.
28 Ibid., hlm. 108.
127
tersebut akan habis. Selain itu, faktor transportabilitas dan reproduksibilitas pada
pola subsistensi pertanian juga mendorong terjadinya kolonisasi dan mempercepat
proses autocatalysis terutama pada pulau kecil yang sumberdaya alamnya
terbatas.
Eksplorasi di daerah pesisir berguna untuk mencari daerah yang cocok
sebagai tempat singgah dan potensial untuk mengeksploitasi hasil laut. Pada kasus
ini, orang Austronesia akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan
teknologi, baik teknologi eksploitasi hasil laut maupun teknologi navigasi. Hal
tersebut didukung dengan ditemukannya bandul jaring di situs Pa-chia-t’sun
(T’ainan), pada 4300 SM.29 Walaupun pada awal proses migrasi orang
Austronesia tentunya telah memiliki teknologi navigasi, tetapi berdasarkan bukti
linguistik perkembangan yang cukup signifikan pada teknologi tersebut terjadi di
kawasan dituturkannya bahasa Proto Melayu Polinesia, yaitu di daerah Kepulauan
Filipina bagian selatan dan Kepulauan Indonesia Timur bagian utara.
Menurut Sjafri Sairin30, analisis mengenai perpindaham manusia
seharusnya tidak hanya ditekankan pada faktor lingkungan saja. Menurutnya salah
satu faktor penting yang mempengaruhi manusia untuk mengambil keputusan
untuk bermigrasi ke suatu wilayah tertentu berkaitan dengan pandangan dan kesan
suatu masyarakat mengenai ranah budaya (cultural domain). Terdapat
29 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 313. 30 Cultural domain adalah wilayah yang secara kultural dipandang sebagai
milik dari masyarakat suatu pendukung kebudayaan dan wilayah yang berada diluar itu dipandang sebagai wilayah luar. Sumber: Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 80-81.
128
kecenderungan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki pandangan negatif
terhadap wilayah di luar ranah budayanya akan cenderung sulit melakukan
migrasi, dan begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Danys Lombard31 dapat diketahui
bahwa kebanyakan kelompok etnis di Kepulauan Indonesia memiliki pandangan
yang terbuka pada wilayah budaya di luar mereka. Pada etnis Bugis terdapat karya
sastra La Galigo (cerita tokoh Sawerigading) dan orang Melayu memiliki Hikayat
Hang Tuah, yang keduanya merupakan nyanyian petualangan laut yang sifatnya
heroik. Sebaliknya pada etnis Jawa, Kidung Panji, Serat Kanda dan cerita Bima
Suci menceritakan petualangan laut mistis dengan tokoh-tokoh seberang laut yang
jahat dan buruk rupa. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa etnis Jawa memiliki
kecenderungan memandang daerah di luar wilayah budaya mereka dengan image
negatif. Dari Maluku Utara, kisah-kisah petualangan Robodoi, seorang Tobelo
sebagai bajak laut yang berpengaruh di perairan Nusantara akhirnya
terdokumentasikan pada catatan Belanda dari jaman kolonial.32 Kisah tersebut
dapat dijadikan referensi untuk menyajikan gambaran yang baik mengenai
motivasi mobilitas orang Tobelo.
Founding father ideology pada kebudayaan Austronesia memacu mereka
untuk menemukan daerah baru bagi masa depan keturunannya. Pada mulanya
31 Danys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 92-93. 32 Periksa: A.B. Lapian, “Beberapa Pokok Penelitian Sejarah Daerah
Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 277-284.
129
ideologi ini mungkin merupakan implikasi dari proses migrasi-kolonisasi di
daerah baru, tetapi pada masa selanjutnya hal tersebut juga menjadi faktor
pendorong proses migrasi.
b. Faktor penarik (pull)
Salah satu faktor penarik migrasi orang Austronesia adalah hasrat untuk
menemukan daerah baru sebagai daerah untuk mencari sumber barang berharga
dan daerah jaringan pertukaran. Mungkin bukanlah suatu kebetulan bahwa situs-
situs yang mengindikasikan awal keberadaan orang Austronesia di kepulauan
Indonesia Timur terdapat di dua jajaran kepulauan busur dalam yang bersifat
vulkanik, yaitu: situs Uattamdi (Pulau Kayoa) di busur Zona Ternate dan situs-
situs Talaud di busur Kepulauan Sangihe. Kedua busur kepulauan vulkanis
tersebut tentunya menyediakan tanah yang subur bagi lahan pertanian. Hal
tersebut menyiratkan adanya korelasi antara kondisi lingkungan situs-situs
tersebut dengan tujuan pencarian daerah baru guna memenuhi kebutuhan lahan
pertanian.33
Ada indikasi bahwa hal tersebut sedikit berubah dan semakin berkembang
setelah muncul tradisi penguburan dalam tempayan di kepulauan Indonesia yang
menyertakan bekal kubur berupa barang-barang bernilai prestise yang sulit
didapatkan. Bekal kubur tersebut kebanyakan berupa barang-barang bernilai yang
berasal dari kawasan tertentu yang sulit didapatkan, seperti manik-manik dan
33 Untuk kondisi fisiografi kawasan Maluku Utara, lihat peta 2.2.
130
aksesoris kerang. Menurut Kirch34, setelah kedatangan Austronesia, berbagai
macam aksesoris kerang menjadi benda bernilai prestise yang menjadi komoditi
pertukaran antar kawasan. Bentang alam Kepulauan Maluku Utara yang memiliki
perairan dangkal selain perairan dalam, merupakan kawasan yang kaya akan
sumberdaya laut. Beberapa spesies kerang yang dihasilkan dari perairan tersebut,
selain dikonsumsi juga merupakan barang-barang yang memiliki nilai prestis.
Maluku Utara memang kaya akan sumber laut terutama berbagai spesies kerang,
bahkan sampai saat ini Pulau Halmahera terkenal dengan hasil kerang kapis-kapis
dan bialola.
2. Proses Migrasi
Melihat cakupan keruangannya yang sangat luas dan kondisi geografis
kepulauan, maka untuk menjelaskan migrasi Austronesia akan digunakan model
migrasi jarak jauh seperti yang disarankan oleh Anthony35. Pada migrasi jarak
jauh terdapat beberapa pola, antara lain adalah: migrasi lompat katak, migrasi
arus, dan migrasi balik.
Pada kasus persebaran orang Austronesia, kecepatan persebaran dalam
waktu yang relatif singkat mengindikasikan adanya proses migrasi jarak jauh,
yang dilakukan dengan perencanaan dan diatur dengan baik. Keberhasilan migrasi
jarak jauh sangat tergantung pada penyebaran informasi mengenai daerah tujuan
yang kaya akan sumberdaya serta meliputi teknologi dan rute transportasi.
34 Periksa: Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the
Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 227-255. 35 Periksa: David W. Anthony, “Migration in Archaeology: The Baby and
the Bathwater”, American Anthropologist 92, (1990).
131
Biasanya, jika suatu komunitas telah memasuki tahap kejenuhan penduduk dan
degradasi lingkungan, maka untuk memperoleh berbagai informasi mengenai
sumberdaya di daerah lain, komunitas tersebut akan mengirimkan anggota
kelompoknya untuk melakukan penjajakan ke daerah tujuan.
Proses penjajakan kelompok Austronesia di kawasan kepulauan mungkin
dilakukan seperti lompat katak dengan memanfaatkan pulau-pulau sebagai steping
stone. Pola migrasi lompat katak dapat berupa singgah (transit) atau ulang alik
(commuter) Selain itu, pola aliran arus laut dan angin di kawasan perairan tropis
yang berganti tiap setengah tahun dimanfaatkan guna mencapai daerah tujuan dan
kembali ke tanah asal. Pengetahuan astronomi tradisional mungkin juga
dimanfaatkan sebagai penunjuk arah dalam perjalanan mereka. Sampai saat ini
pelayaran tradisional dengan memanfaatkan kondisi tersebut masih banyak
dilakukan di Maluku Utara.36
Dari data linguistik, hipotesis mengenai kedatangan penutur bahasa
Melayu-Polinesia Timur-Tengah (PCMP) yang merupakan sub stratum bahasa
Austronesia, di Maluku Utara terjadi pada 2000 SM.37 Di lain pihak berdasarkan
data arkeologi, sampai saat ini indikasi mengenai awal kolonisasi orang
Austronesia di Maluku Utara terjadi pada 3300 BP pada situs Uattamdi.
36 Periksa: Mahirta, “The Development of Mare Pottery in the Northern
Moluccas Context and its Recent Trading Network”, Thesis, (Canberra: ANU, 1996), untuk catatan etnografi mengenai pelayaran tradisional di Kepulauan Maluku Utara-Kepala Burung.
37 Robert Blust, “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspevtive”, Asian Perspectives 26 (1), (1984/85), hlm. 57. Pertanggalan ini mungkin sedikit lebih tua dari keadaan sebenarnya.
132
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa penjajakan yang
dilakukan oleh kelompok penjelajah Austronesia terjadi tidak jauh pada masa
sebelum kolonisasi awal komunitas tersebut di Maluku Utara.
Berdasarkan data arkeologi, benda-benda neolitik juga digunakan oleh
komunitas pemburu-pengumpul pra-neolitik, seperti di situs: Duyong di Palawan
(3000 SM), Edjek di Negros, Batungan (900 SM) dan Bagumbayan (2000 SM) di
Masbate, serta Balobok (Sangasanga) di Kepulauan Sulu. Kemungkinan besar
benda-benda neolitik tersebut berasal dari para penjelajah Austronesia yang
melakukan penjajakan di kepulauan terebut dan melakukan pertukaran dengan
komunitas setempat. Berdasarkan karakteristik konteks data arkeologi,
kemungkinan hal yang sama juga dapat terjadi di situs Leang Tuwo Mane’e di
Talaud dan Uattamdi di Maluku Utara.
Di situs gua Duyong (Tabon), sebuah beliung persegi yang ditemukan
dengan konteks penguburan terlipat pra neolitik pada 4500 BP mengindikasikan
bahwa pada masa tersebut beliung persegi didistribusikan oleh para penjelajah
kepada komunitas pemburu-pengumpul setempat.38 Kemungkinan besar,
kelompok Austronesia yang melakukan penjajakan awal ke daerah-daerah baru
bukan berasal dari komunitas petani sendiri, tetapi mungkin para pedagang,
petualang, dan pelaut. Setelah seluruh informasi mengenai daerah baru dapat
dikumpulkan, para komunitas penjelajah yang melakukan penjajakan akan
kembali ke tanah asal mereka untuk menyebarluaskan informasi tersebut.
38 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 326.
133
Pada saat komunitas inti yang berada di daerah asal mengalami tekanan
yang sudah tidak dapat ditoleransi, informasi mengenai daerah baru yang telah
dikumpulkan oleh para penjelajah akan dimanfaatkan untuk menuntun komunitas
tersebut ke daerah baru (tujuan). Berdasarkan bukti linguistik, bahasa Melayu-
Polinesia Barat (WMP) yang dituturkan di Indonesia bagian barat dan bahasa
Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) yang dituturkan di Indonesia Timur
berasal dari bahasa Proto Melayu-Polinesia yang berada di Luzon (Filipina) pada
3500 SM. Berdasarkan bukti arkeologis, situs-situs yang mengindikasikan
kolonisasi Austronesia cukup padat ditemukan di lembah sungai Cagayan (Luzon
Utara), seperti: Dimolit (2500 SM), Rabel dan Laurente (2800 SM), Arku dan
Musang (1500 SM) serta Lal-lo dan Magapit (2000 SM).39 Data arkeologi dari
situs-situs tersebut memiliki banyak persamaan dengan tinggalan budaya neolitik
dari Maluku Utara, khususnya gerabah slip merah.40 Berdasarkan kedua data
tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa arus migrasi orang Austronesia yang berada
di kepulauan Indonesia Timur bagian utara berasal dari daerah Filipina.
Setelah informasi yang didapatkan mengenai daerah tujuan dan rute yang
harus dilewati sudah jelas, maka komunitas Austronesia akan mulai dengan arus
migrasi. Secara arkeologis, bukti mengenai kolonisasi orang Austronesia dapat
dilihat berdasarkan persebaran karakteristik data yang dihasilkannya. Di Maluku
Utara, data arkeologi yang merepresentasikan awal kolonisasi orang Austronesia
di kawasan tersebut dihasilkan oleh Fase I situs Uattamdi (3300 BP). Pertanggalan
39 Periksa: Ibid., hlm. 322-328. 40 Lihat pembahasan persamaan gerabah Maluku Utara dengan kawasan
lainnya pada Bab III.
134
yang dihasilkan situs tersebut sampai saat ini merupakan yang tertua di kawasan
Maluku Utara. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah
tujuan awal migrasi Austronesia di Maluku Utara. Keberadaan Pulau Kayoa
dalam rangkaian kepulauan busur vulkanis Zona Ternate menjadikan kepulauan
tersebut merupakan daerah yang kaya sumberdaya alam.41 Sifat vulkanis
menyebabkan jenis tanahnya subur, di lain pihak perairan dangkalnya kaya akan
sumberdaya laut. Tanah yang subur dan hasil laut merupakan faktor penarik bagi
tujuan migrasi orang Austronesia.
Setelah menghuni bagian tengah Zona Ternate, kemungkinan besar
masyarakat Austronesia menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan tersebut
sampai ke tepian kepulauan Zona Ternate di Morotai.42 Hal tersebut terekam dari
kehadiran gerabah hias gores di situs Tanjung Pinang pada 2300 BP. Selain di
Tanjung Pinang, indikasi kehadiran budaya neolitik juga terdapat di Daeo,
Sambiki Tua dan Sabatai Tua (Morotai), Bukit Keramat (Waidoba), Mare, dan
Taneti. Selain menghuni rangkaian kepulauan Zona Ternate, kemungkinan
mereka juga menghuni pantai barat Pulau Halmahera.
Setelah menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan Zona Ternate hingga
tepiannya, mereka kemudian memutari Pulau Halmahera dan menduduki pantai
bagian timur Halmahera. Bukti keberadaan Austronesia di daerah ini adalah
temuan gerabah hias gores di situs Siti Nafisah dengan pertanggalan 2100 BP dan
41 Lihat kondisi lingkungan Maluku Utara pada Bab II dan faktor
penyebab migrasi pada pembahasan sebelumnya. 42 Lihat peta 2.2 pada Bab II dan 4.4.
135
beliung persegi di Tobelo. Setelah itu, kemudian mereka menuju ke gugusan
Kepulauan Raja Empat dan mengkoloni daerah tersebut. Hal tersebut berdasarkan
temuan gerabah di situs-situs di Pulau Gebe, yang antara lain adalah: Golo (2000
BP), Um Kapat Papo (1500) dan Buwawansi (1400 BP). Dari bukti linguistik
sampai saat ini masyarakat penduduk kepulauan Raja Empat masih menggunakan
bahasa Raja Empat yang termasuk dalam sub stratum rumpun bahasa Austronesia.
3. Tahap Kolonisasi
Setelah proses perpindahan, kemungkinan besar kolonisasi Austronesia di
Maluku Utara juga mengalami tiga tahapan seperti model yang diajukan oleh
Keegen dan Diamond. Dalam tahapan kolonisasi tersebut, mungkin komunitas
Austronesia mengalami banyak proses yang implikasinya dapat dilihat dalam
pembahasan berikutnya. Tetapi yang jelas, berdasarkan bukti etnografi dan
linguistik, saat ini komunitas Austronesia secara mayoritas menduduki bagian
selatan Kepulauan Maluku Utara berdampingan dengan komunitas Non-
Austronesia di bagian utara kepulauan tersebut.43 Pada Fase II situs Uattamdi
(2300 BP), data arkeologi mengenai penguburan tempayan lebih jelas
membuktikan adanya kolonisasi masyarakat Austronesia di kawasan tersebut.
Menurut Anthony, migrasi adalah sebuah kasus two-way street, dan pada
umumnya arus migrasi yang besar berimplikasi pada berkembangnya arus balik.44
43 Periksa: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo,
Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 220-221. 44 David W. Anthony, op.cit., hlm. 904.
136
Secara sosiologis menurut Ida Bagoes Mantra45, komunitas yang melakukan
migrasi pada dasarnya merupakan kelompok manusia yang bersifat bi local
population, sehingga kemanapun mereka melakukan migrasi, pasti akan
mengadakan hubungan dengan daerah asal. Hubungan tersebut dapat berbentuk
material, seperti barang-barang yang berharga baik secara praktis maupun prestis,
dan berbentuk imaterial berupa sistem pengetahuan, ide dan gagasan. Intensitas
hubungan tersebut antara lain ditentukan oleh jarak, transportasi, jangka waktu
bermigrasi, status perkawinan dan jarak hubungan kekeluargaan. Walaupun secara
arkeologis hal tersebut agak sulit untuk direkonstruksi, tetapi model tersebut
cukup baik untuk dilontarkan sebagai wacana.
Pada kasus migrasi orang Austronesia, kemungkinan terjadinya migrasi
balik sangat besar, karena berhubungan dengan tujuan migrasi yaitu hasrat
mencari daerah yang kaya akan sumber barang berharga dan jaringan
perdagangan. Dalam hal ini migrasi balik yang terjadi sering kali dalam bentuk
jaringan pelayaran dan perdagangan. Ditemukannya obsidian dari Talasea (New
Britain) pada 1000 SM di situs Bukit Tengkorak (Sabah) mengindikasikan adanya
jaringan pelayaran dan perdagangan sejauh 6500 km. Di Mikronesia Barat,
walaupun penghunian pertama kali telah ada sejak 3700 BP (Mariana), tetapi
beliung kerang baru muncul pada 100 BC-100 AD. Kepulauan Mariana memang
minim akan sumber daya kerang, kemungkinan besar beliung kerang Tridacna
yang ada di daerah tersebut didatangkan dari Melanesia Barat, setelah semakin
45 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), hlm. 236-237.
137
berkembangnya pelayaran antar pulau di kawasan Pasifik pada masa Lapita,
setelah kedatangan orang Austronesia. Berdasarkan pada data tersebut
diperkirakan bahwa, orang Austronesia yang bermigrasi mengangkut sumberdaya
yang didapatkan di daerah tujuan kepada kerabat komunitasnya di tanah asal
mereka.
Kemungkinan besar, hubungan antar jaringan tersebut semakin
berkembang pada jaman logam. Beberapa data arkeologis dari berbagai situs di
Indonesia, mengisyaratkan terjalinnya hubungan antara Kepulauan Indonesia
dengan Asia Daratan, India dan Pasifik (bahkan mungkin juga dengan Timur
Tengah).46 Pada kondisi seperti ini, Indonesia sudah berhadapan dengan proses
globalisasi, yang dapat menyeret Indonesia pada budaya global. Pada awal abad
Masehi hubungan antara kawasan India dan Indonesia semakin kuat, dan pada
abad-abad berikutnya kita dapat menyaksikan peradaban yang bercorak Hindu-
Budha tumbuh di Sumatra dan Jawa dengan monumen-monumen keagamaannya
yang megah.
46 Lihat: Matthew Spriggs, op.cit., hlm.69.
138
Keterangan:
Migrasi Austronesia di Kepulauan Maluku Utara berasal dari Filipina Utara, kawasan persebaran tahap kedua komunitas tersebut (Daerah asal bahasa PMP), digambarkan dengan lingkaran merah. Ketika terjadi tekanan pada daerah tersebut, sebagian komunitas mereka (para penjelajah), akan melakukan penjajagan guna mendapatkan informasi mengenai daerah tujuan, teknologi serta rute transportasi, yang digambarkan dengan lingkaran kuning. Setalah informasi tersebut dapat dikumpulkan, mereka kembali ke daerah asal untuk menyebarluaskan informasi tersebut. Arus migrasi terjadi dari daerah asal menuju daerah yang telah ditentukan (panah hitam). Tentunya, arus migrasi tersebut bukan merupakan satu-satunya arus migrasi yang terjadi Asia Tenggara Kepulauan. Pada tahap selanjutnya terjadi kolonisasi Austronesia di daerah baru, Maluku Utara (Daerah persebaran bahasa PCEMP), digambarkan dengan lingkaran hijau. Kemudian terjadi migrasi balik dari daerah baru menuju daerah asal dalam bentuk jaringan pelayaran dan pertukaran.
Peta 4.3. Model Migrasi Austronesia Menuju Maluku Utara
Arus Migrasi
Migrasi Balik
Daerah Asal Bahasa PMP
Daerah Persebaran Bahasa PCEMP
Wilayah Penjajagan komunitas Penjelajah
139
Keterangan: : Arus migrasi kedatangan Austronesia dari Philipina : Persebaran pertama menuju ke seluruh rangkaian busur kepulauan vulkanis
Zona Ternate : Persebaran kedua pada pesisir pantai timur Pulau Halmahera : Persebaran ketiga menuju Kepulauan Raja Empat.
Peta 4.4. Model Migrasi Austronesia Di Maluku Utara
140
Berdasarkan pada model migrasi-kolonisasi Austronesia yang telah
direkonstruksi, maka dapat disusun alur proses migrasi-kolonisasi orang
Austronesia, sebagai berikut:
Daerah asal: • Faktor Pendorong dan Penarik • Biaya dan Keuntungan
Dalam batas toleransi Di luar batas toleransi
Penjelajah (scout): Migrasi
Lompat Katak
Komunitas inti: Tidak pindah
Ulang-alik Singgah
Informasi: • Daerah tujuan • Transportasi
Pindah:
Arus Migrasi
Kolonisasi
Migrasi Balik: Jaringan
Perdagangan
Proses Autocatalysis
Bagan 4.1. Model migrasi-kolonisasi Austronesia di Maluku Utara
141
C. IMPLIKASI KASUS MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA
DI MALUKU UTARA
Pada saat orang Austronesia datang di Kepulauan Maluku Utara, kawasan
tersebut bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Pada beberapa pulau di
kawasan tersebut telah dihuni oleh komunitas Non-Austronesia. Pada kondisi
seperti ini, terjadinya kontak antar budaya merupakan peluang yang sangat besar.
Dalam bagian ini akan dibahas akibat interaksi tersebut yang tercermin pada
teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan. Selain
interaksi antar budaya, proses migrasi-kolonisasi Austronesia juga memunculkan
ideologi cikal bakal pada masyarakat Austronesia. Hal tersebut masih dapat
ditelusuri pada catatan etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik pada
masyarakat Austronesia di Maluku Utara maupun masyarakat Austronesia lain
pada umumnya.
Tahapan interaksi antar budaya untuk kasus migrasi-kolonisasi
Austronesia di Kepulauan Maluku Utara dapat dirangkum sebagai berikut: Intrusi
budaya baru yang datang di Maluku utara di bawa oleh orang Austronesia. Akibat
dari peristiwa tersebut, di kawasan Maluku Utara muncul budaya neolitik.
Kemudian, setelah terjadi kolonisasi oleh orang Austronesia, budaya neolitik di
Maluku Utara mengalami inovasi yang disebabkan oleh evolusi budaya dan
interaksi antara komunitas pendatang Austronesia dengan komunitas Non-
Austronesia yang telah menghuni kawasan tersebut sejak masa sebelumnya.
Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya
Austronesia dan Non-Austronesia di Maluku Utara.
142
1. Interaksi Austronesia dengan Non Austronesia
Menurut Green47, sebelum kedatangan Austronesia, di kawasan Indo-
Pasifik telah berkembang teknologi alat kerang dan tulang, pelayaran dan
navigasi, serta domestikasi tanaman dan hewan. Pada saat orang Austronesia
datang di kawasan tersebut, komunitas Non-Austronesia juga telah memiliki
pengetahuan yang kurang lebih sama dalam beberapa hal di atas. Dalam bagian ini
akan dibicarakan akibat dari interaksi antar budaya yang tercermin pada beberapa
aspek budaya tersebut
a. Teknologi alat kerang
Teknologi alat kerang yang sumberdayanya sangat berlimpah di kawasan
Maluku Utara, selain hasil adaptasi dan inovasi Austronesia di kawasan ini,
mungkin juga dipelajari dari komunitas Non-Austronesia yang telah mengenal
teknologi ini pada masa sebelumnya. Persebaran beliung kerang yang asalnya dari
kawasan Maluku Utara, juga ditemukan sampai di Kepulauan Ryukyu (Jepang) di
utara, dan di hampir seluruh kawasan Kepulauan Pasifik. Persebaran beliung
kerang pada masa pra-neoitik sangat terbatas hanya meliputi kawasan kepulauan
Maluku (Golo, 14.000 BP), Melanesia barat (Pamwak, 10.000 BP)dan Filipina
(Duyong, 4500 BP).48 Tetapi setelah kedatangan bangsa Austronesia, wilayahnya
persebarannya meluas sampai ke Jepang (Okinawa, 2500 BP), Polinesia
47 Matthew Spriggs, “What is Southeast Asian about Lapita?”, hlm. 325. 48 Rintaro Ono, A Typological Study of Micronesia Shell Adze: Their
Origin and Cultural-Historical Relationships in the Pacific and Southeast Asian World, (tidak dipublikasikan).
143
(Tongatapu dan Niuatotapu, 3000 BP) dan Micronesia (Guam, 2000 BP).49 Di
Melanesia Barat, perkembangan teknologi beliung kerang semakin bervariasi pada
konteks budaya Lapita.
b. Domestikasi Tanaman
Sudah banyak para ahli yang mengaitkan persebaran budaya neolitik di
Asia Tenggara dan Pasifik dengan ekspansi orang Austronesia. Walaupun
demikian, domestikasi tanaman telah berkembang secara mandiri di daratan Papua
sejak masa yang cukup tua. Hasil penelitian Golson50 di Kuk (dataran tinggi
bagian barat Nugini), telah menemukan indikasi perusakan vegetasi yang
diakibatkan oleh aktivitas di tanah basah. Hal tersebut diasosiasikan adanya
aktifitas pertanian sejak 9000 BP dengan memanfaatkan rawa. Bahkan sistem
drainase telah dikenal di situs ini sejak 4000 BP, untuk mengendalikan ketinggian
air rawa, mereka membuat parit dengan panjang 500 m, dalam 3 m, dan lebar 4,5
m. Kemudian pada 3000 BP terdapat indikasi pertanian intensif dengan
pembukaan lahan. Tanaman yang didomestikasi di situs tersebut adalah ketela
rambat. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, di kepulauan Filipina, Indonesia
dan Melanesia telah muncul domestikasi tanaman tropis, seperti: keladi atau talas
(Colocasia esculenta), ubi (Discorea sp), birah (Alocasia Microrhiza), sukun
(Artocarpus altilis), tebu (Saccarum officinarium), sagu (Metroxylon sp.), kelapa
49 Lihat pembahasan perbandingan tipologi beliung kerang pada Bab
sebelumnya. 50 Lihat: J. Golson, “No Room at the Top: Agriculture Intensification in
New Guinea Highland”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul, (London: Academic press, 1990), hlm. 401.
144
(Cocos nucifera) dan beberapa spesies pisang (Musa sapientum dan Musa
traglogytarum).51
Berdasarkan kondisi lingkungan, kawasan Maluku Utara memiliki curah
hujan rata-rata mencapai 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara
153-266 hari per tahun, dan suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara
maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C, kondisi tersebut memang ideal
bagi pertanian biji-bijian. Meskipun demikian, kecepatan angin yang tinggi dan
intensitas penyinaran yang tinggi, membuat kawasan ini menjadi lebih kering,
sedangkan iklim basah dengan curah hujan yang melebihi penguapan tidak terjadi
di sini. Hal tersebut menyebabkan kegagalan dalam proses penyerbukan dan
pembuahan.52 Berdasarkan bukti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
kawasan tersebut kurang cocok untuk mengembangkan pertanian biji-bijian.
Berdasarkan data polen dari Teluk Kau di Pulau Halmahera,
meningkatnyan polen palma terjadi di kawasan Maluku Utara pada 6000 BP. Hal
tersebut merupakan indikasi adanya pertanian jenis tanaman palma tersebut.
Kemungkinan besar, pertanian menyebar ke Maluku Utara dari kawasan Nugini,
walaupun tidak dalam bentuk yang sepenuhnya sama.53 Berdasarkan bukti
etnografi, sampai saat ini sagu yang merupakan salah satu jenis tanaman palma,
masih merupakan makanan pokok yang di konsumsi pada masyarakat di Maluku
51 Periksa: Peter Bellwood, Man Conquest of the Pacific, (Auckland:
Collins, 1975), hlm. 136-140. 52 Untuk persyraratan kondisi lingkungan yang ideal bagi pertanian biji-
bijian, periksa: Wasita, “Faktor Pendukung Budidaya Padi Masa Prasejarah”, Naditira Widya No. 03, (Banjarmasin: Balar, 1999), hlm. 61-69.
53 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 341.
145
Utara, selain padi gogo dan umbi-umbian.54 Berdasarkan beberapa bukti tersebut
ada kemungkinan bahwa komunitas pendukung budaya situs ceruk Uattamdi juga
mengenal budidaya tanaman.
Pengetahuan mengenai domestikasi tanaman yang dimiliki oleh komunitas
Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia, berimplikasi pada
interaksi antar budaya yang terjadi akibat datangnya budaya baru di kawasan yang
telah memiliki latar belakang budaya. Kenyataannya di kawasan Pasifik, bangsa
Austronesia mengganti pertanian biji-bijian seperti yang dibawa dari daerah
subtropis dengan tanaman umbi-umbian yang banyak terdapat di kawasan Tropis.
Padi (Oryza sativa) di kawasan timur Indonesia hanya sampai di Maluku.55
Berdasarkan pengamatan etnografis oleh Teljeur56, sampai saat ini masyarakat
Maluku Utara mengembangkan pertanian campuran antara padi gogo, umbi-
umbian, buah-buahan, dan sagu. Di Kepulauan Pasifik, pertanian orang
Austronesia lebih didominasi dengan tanaman buah-buahan dan umbi-umbian
tropis, tanpa pertanian biji-bijian.57
54 Santosa Soegondho, “Tradisi Neolitik di Halmahera: Bagian dari
Budaya Pasifik”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 262-264.
55 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm.358. 56 Dik Teljeur, “Masalah Praktis Dalam Penelitian Antropologi Budaya di
Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hal. 11.
57 Periksa: Patrick V. Kirch, “Subsistence and Ecology”, dalam The Prehistory of Polynesia, (London: Harvard University press), hlm. 286-307.
146
Berdasarkan rekontruksi bukti linguistik, kata *pajei (Ina. Padi) ditemukan
di Taiwan, Philipina dan Indonesia. Tetapi beberapa kosa kata yang menunjukkan
umbi-ubian seperti *tales (Ina. Talas), *quBi (Ina. Ubi) dan *BiRaq (Ina. Birah)
yang dibudidayakan di Kepulauan Pasifik hanya ditemukan di Indonesia dan di
beberapa bagian Philipina. Selain itu, kata *nieur (Ina. Nyiur) di temukan di
seluruh Asia Tenggara Kepulauan dan kepulauan Pasifik kecuali Taiwan.58 Hal
tersebut jelas membuktikan bahwa, walaupun pertanian padi merupakan sistem
pertanian yang dikembangkan nenek moyang Austronesia di Asia Tenggara
Daratan dan Taiwan, tetapi mereka menanam beberapa jenis tanaman umbi-
umbian sejak mereka mendiami Kepulauan Filipina bagian selatan, Indonesia
bagian timur dan kepulauan Pasifik. Ada kemungkinan bahwa orang Austronesia
yang datang di kepulauan Indonesia bagian timur dari Filipina mengadopsi sistim
pertanian yang dimiliki oleh orang Non-Austronesia yang telah mendiami daerah
ini sejak masa sebelumnya.
c. Domestikasi Hewan
Menurut Bulmer, berdasarkan temuan dari sebuah situs ceruk peneduh di
dataran tinggi Nugini, kehadiran babi di Nugini sudah sejak 10.000 BP.
Pertanggalan yang dihasilkan tersebut diragukan validitasnya, berdasarkan
penelitian terbaru oleh Gorecki, dkk di Pantai Utara Nugini, keberadaan babi di
58 Robert Blust, “Austronesian Culture History: Some Linguistic
Inferences and their Relations to the Archaeological Record”, dalan Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984), hlm. 220.
147
kawasan tersebut hanya 4000 SM.59 Babi bukan merupakan hewan asli kawasan
ini, melainkan spesies dari kawasan oriental. Kemungkinan besar babi
didatangkan oleh manusia dari kepulauan Asia Tenggara yang ada didekatnya.
Spesies babi yang didomestikasi di Nugini merupakan hibridisasi60 antara spesies
dari oriental dan spesies endemik kepulauan Indonesia yang liar, seperti yang
terdapat di kepulauan Sulawesi, Roti, Flores, dan Halmahera. Keberadaan
domestikasi babi di kepulauan Pasifik dijadikan indikasi bagi kedatangan
Austronesia di kawasan tersebut.
Selain dari bukti arkeologis, bukti mengenai domestikasi hewan dapat
diketahui dari rekontruksi kosa kata dalam bahasa proto-Austronesia. Kata *beRek
(Ina. Domestikasi babi) dan *Wasu[ ] (Ina. Anjing) ditemukan sejak dari Taiwan
sampai ke seluruh kawasan persebaran bangsa Austronesia, sedangkan kata *laluy
(Ina. Ayam) juga ditemukan selain di Taiwan.61 Groves62 berpendapat bahwa
domestikasi babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies Sus scrofa vittatus
yang hidup liar di kawasan barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga
ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Admiralty serta Vanuatu, dan bukan
berasal dari jenis yang liar di Cina atau Asia Tenggara daratan. Hal ini
59 Periksa: Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian
Prehistory in Oceania” dalam Peter Bellwood, James J Fox dan Darell Tryon, ed., The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, (Canbera: ANU, 1995), hlm. 115.
60 Proses persilangan antara dua individu yang secara genetis tidak identik. Sumber: Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson and H. Thain, Kamus Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 320.
61 Robert Blust, op.cit., hlm. 220. 62 Colin P. Groves, loc.cit.
148
membuktikan bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang beserta budaya yang
mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Babi yang mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan
kemungkinan besar tidak cocok hidup di daerah tropis.
Di Maluku Utara, translokasi fauna kuskus (Phalanger ornatus) dan
wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) antar pulau telah dikenal oleh komunitas
Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia. Di lain pihak
berdasarkan data lingustik, kosa kata *kandoRa (kus-kus) dan *mansar
(bandikoot) ditemukan pada bahasa PCEMP (Proto Melayu-Polinesia Tengah-
Timur) yang dituturkan di kepulauan Maluku Utara, tetapi tidak pada bahasa PMP
(Proto Melayu-Polinesia) yang dituturkan di Philipina dari masa sebelumnya.63
Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Maluku Utara memiliki peranan penting
pada strategi adaptasi orang Austronesia di kawasan tropis.
Keseluruhan data tersebut membuktikan bahwa manusia Non-Austronesia
telah mengenal translokasi hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua. Di
Pasifik, orang Austronesia selain memelihara anjing, babi dan ayam, walabi dan
kus-kus juga ikut diangkut dalam pertukaran atau barter antar pulau. Hal tersebut
juga mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum
kedatangan bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara dan semakin
berkembang setelah kedatangan orang Austronesia.
63 Darrell Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian
Subgroup”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 30.
149
d. Pelayaran Antar Pulau
Nusantara64 telah melakukan korelasi antara data hasil ekskavasi dari
Leang Burung 2 dengan lukisan gua yang ada di kompleks budaya Toala. Di
Leang Burung 2 terdapat temuan berupa hematit yang pemanfaatannya untuk
dijadikan bahan pewarna. Data tersebut berasal dari lapisan budaya Toala III
(bawah) yang memiliki pertanggalan 32.160 ±330 BP sampai dengan 20.450 ±250
BP. Lukisan perahu yang ada di gua Bulumpong (Pangkep), juga menggunakan
warna merah, sehingga ada kemungkinan bahwa pertanggalan lukisan perahu
tersebut juga memiliki pertanggalan yang tidak jauh berbeda dengan kronologi
lapisan budaya Toala III.
Di kepulauan Melanesia bukti pelayaran antar pulau sudah dimulai sejak
Kala Pleistosen, dengan komoditi obsidian. Ada dua tempat yang merupakan
sumber obsidian dengan mutu yang baik, yaitu di Lou Island (Kepulauan
Admiralty) dan Talasea (New Britain). Pada 12.000 BP, obsidian tersebut telah
didistribusikan sampai ke Matenkupkum di New Ireland dan di Matenbek sejak
sebelum 5000 BP. Di situs Balof, obsidian didatangkan dari Talasea dan Lou
Island pada 7000 BP. Bukti tersebut mengindikasikan adanya pelayaran antar
pulau di Kepulauan Melanesia dengan jarak sampai sejauh 350 km.65 Pada masa
pra-Lapita sebelum kedatangan bangsa Austronesia, obsidian Talasea hanya
didistribusikan secara terbatas pada kepulauan Admiralti, New Guinea Daratan
64 Ariobimo Nusantara, “Kronologi Lukisan Dinding Gua di Kab. Maros
dan Pangkep, Sulawesi Selatan, Tinjauan Berdasarkan Analisis Kontekstual”, Skripsi, (Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 1989), hlm. 59.
65 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 554-555.
150
(Sepik-Ramu Basin), New Ireland, pulau Nissan, dan kepulauan antara New
Ireland dan Kepulauan Solomon bagian utara. Tetapi, pada masa Lapita
distribusinya meluas dari Bukit Tengkorak, Sabah (Borneo) di sebelah barat,
sampai ke Kepulauan Fiji di sebelah timur sejauh 6500 km.66
Berdasarkan bukti linguistik, telah direkonstruksi kosa kata mengenai
aspek-aspek teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan Pasifik. Rekonstruksi
kosa kata tersebut menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia yang berasal
dari Filipina bagian selatan dan Sulawesi bagian utara. Kata *qaban (Ina. Perahu)
tersebar mulai dari Taiwan, tetapi kata *(sc)a-R-man, (Ina. Cadik) *be-R-say (Ina.
Dayung), *lane(nN) (Ina. Roda), *layaR (Ina. Layar), *limas (Ina. Timba), *qulin
(Ina. Kemudi), dan *teken (Ina. Galah) hanya ditemukan di kawasan barat dan
timur tidak di Taiwan.67 Padahal kosa kata tersebut mengindikasikan aspek-aspek
teknologi navigasi yang lebih modern dari pada di Taiwan.
Ada kemungkinan bahwa pengetahuan orang Austronesia mengenai
teknologi pelayaran semakin berkembang di daerah Asia Tenggara Kepulauan.
Hal ini dapat diketahui dengan mengamati persamaan bentuk perahu yang
digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel Tobago (bernama Yamis) dengan
yang terdapat di Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat dugaan bahwa
Maluku merupakan daerah yang penting bagi perkembangan teknologi navigasi
dalam hubungannya dengan persebaran orang Austronesia.
66 Matthew Spriggs, op.cit., (1995), hlm. 116. 67 Matthew Spriggs, op.cit., (2000), hlm. 63 dan Robert Blust, op.cit., hlm.
220.
151
2. Ideologi Cikal Bakal
Pada umumnya manusia yang melakukan mobilitas memiliki kebutuhan
akan identitas. Hal tersebut akan muncul pada saat suatu komunitas migran
berhadapan dengan orang asing yang tidak mengenal sistem budaya komunitas
mereka dan ketika mereka memerlukan suatu perangkat identitas diri yang dapat
dipergunakan untuk menunjukkan bahwa mereka bagian dari suatu kelompok
tertentu.68 Inovasi di daerah baru memungkinkan para migran untuk menciptakan
artefak penanda sebagai perangkat simbol untuk menunjukkan identitas kelompok
mereka kepada komunitas lain.
Pada etnis Minang, Batak dan Badui dikenal adanya sistem kesatuan tiga.
Dalam konsep tersebut masing-masing daerah merupakan kekuasaan yang
independen, walaupun demikian satu sama lain dari mereka masih menganggap
satu kesatuan. Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Van Fraasen69 di
Halmahera Utara terdapat perbedaan pengelompokan antara masyarakat pantai
yang merupakan pendatang dengan komunitas pedalaman yang pada umumnya
merupakan penduduk pribumi. Mereka menyebut Soa Siu bagi masyarakat pantai
dan Soa Nyagimoi bagi komunitas pedalaman. Pembedaan penyebutan tersebut
kemungkinan juga merupakan cara untuk menunjukkan identitas masing-masing
kelompok. Walaupun demikian, karena keterbatasan penelitian mengenai migrasi-
68 Safri Sairin, op.cit., hlm. 116. 69 Ch. F. Van Freesen, “Types of Sociopolitical Structure in North
Halmahera History”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980). hlm. 90.
152
kolonisasi Austronesia di Maluku Utara maka sampai saat ini belum diketahui
budaya materi yang dapat menunjukkan ideologi cikal bakal tersebut.
Kemunculan gerabah Lapita yang khas di Kepulauan Melanesia pada 1600
BP, mengindikasikan adanya artefak ideologi cikal bakal tersebut. Tipologi
gerabah dengan bentuk karinasi dan motif hias geometris, mengindikasikan bahwa
pembuat gerabah tersebut memiliki hubungan secara kultural dengan komunitas
neolitik dari Asia Tenggara Kepulauan. Di lain pihak, teknik hias tera cap
bergerigi yang merupakan hasil inovasi mereka di Kepulauan Melanesia menjadi
menciri khusus yang membedakan komunitas Austronesia di kawasan ini dengan
saudara sepupu mereka di Asia Tenggara.70
Pada mulanya, ideologi cikal bakal mungkin merupakan implikasi dari
proses migrasi-kolonisasi di daerah baru. Hal tersebut terjadi pada saat komunitas
yang melakukan kolonisasi telah berkembang, dan kelompok keluarga yang
pertama kali mendiami tempat tersebut (membuka lahan) akan menjadi keluarga
terhormat dengan status khusus. Posisi penting yang dimiliki keluarga tersebut
adalah hak penguasaan lahan, posisi tetua adat, dan hak menentukan persekutuan
dengan kawan baru. Kemudian, setelah komunitas para kolonis tersebut semakin
berkembang, pada masyarakat tersebut akan terbentuk suatu stratifikasi sosial
tertentu. Berdasarkan analisis linguistik yang dilakukan oleh Supomo71, dapat
70 Daud Aris Tanudirjo, Arkeologi Indonesia Dalam Konteks Proses
Global, (makalah disampaikan dalam PIA IX dan Kongres IAAI 2002), hlm. 9. 71 Periksa: S. Supomo, “Indic Transformation: The Sanskritization Java
and Javanizationof the Bharata”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU printing Service, 1995).
153
diketahui institusi kerajaan yang berdiri di Jawa pada masa kuno tersusun
berdasarkan kekerabatan. Perlu dicatat bahwa, institusi politik lokal di Maluku
Utara juga berhubungan erat dengan sistem kekerabatan antar kerajaan dan
berkembang pada kawasan pantai dengan pola pemukiman dan klaster-klasternya
yang memanjang pada bentang lahan tersebut.
Pada pengamatan etnografi oleh Koagou pada tahun 197872, masyarakat
Modole di Halmahera Utara memiliki kepercayaan pada roh-roh orang mati yang
dianggap nenek moyangnya. Dengan bantuan Gomatere (shaman), mereka dapat
memanggil roh nenek moyang yang disebut Goma, Wongi, atau Wongemi. Pada
etnis Jawa sampai saat ini masih dilaksanakan tradisi bersih dusun (Rasulan),
dengan tujuan keselamatan bagi penduduk desa. Pada ritual ini, doa-doa ditujukan
bagi para penguasa gaib (Dhanyang) dan tokoh-tokoh yang diperdewakan. Tokoh-
tokoh tersebut merupakan orang terdahulu yang membuka dan membuat peraturan
(adat istiadat) di desa yang bersangkutan.73 Pada masa yang lebih kemudian,
ideologi cikal bakal justru menjadi salah satu faktor pendorong proses migrasi.
Pada budaya masyarakat Austronesia, ideologi tersebut memacu mereka untuk
menemukan daerah baru bagi masa depan keturunannya.
Selain berdasarkan data arkeologi, dari data linguistik dan jejak yang
ditinggalkan pada catatan etnografi yang kini masih hidup, dapat diketahui
72 Lihat: P.H. Koagou, “Suatu Pendekatan Teoretis Mengenai Penelitian
Shamanisme di Modole”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 325-336.
73 KRT. Partahadiningrat, Bersih Dhusun, Merti Dhusun, Merdi Dhusun utawi Rasulan sakeplasan, (Yogyakarta: Jarahnitra, 1987-1988), hlm. 3.
154
beberapa bukti yang mengisyaratkan adanya perpindahan nenek moyang
Austronesia dan akibat yang terjadi. Mitos-mitos yang menyelimuti petunjuk
mengenai kedatangan nenek moyang dari seberang lautan masih banyak dijumpai
pada berbagai kelompok etnis Austronesia. Walaupun demikian, transformasi
budaya yang terjadi pada tiap etnis yang bersangkutan menyebabkan mitos
tersebut tereduksi pada bentuk yang lebih beragam.
Fox74, mencatat beberapa mitos tersebut, seperti: mitos Raja dan Ikan Hiu
pada masyarakat Noikoro (Fiji), mitos Jaka Samodra di Gresik (Jawa) dan
Brahmana Ida Dalam Ketut Kresna Kepakisan di Bali. Di Maluku Utara, terdapat
mitos mengenai Bikoucigara dan Ular Naga yang bertelur empat. Dari keempat
telur ini lahir anak-anaknya yang menetap di Loloda, Ternate, Todore dan
Bacan.75 Masyarakat di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, selain memiliki
kepercayaan pada Ubila’a (Dewa Tertinggi) juga percaya pada Atuf, yaitu orang
yang pertama kali datang di Pulau Yamdena. Kepercayaan tersebut
dimanifestasikan dengan membangun Natar, yaitu monumen perahu batu yang
74Untuk pembahasan mengenai mitos-mitos tersebut, lihat: James J. Fox, “
Austronesian Societies and Their Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU printing Service, 1995).
75 Bikoucigara dalam bahasa Portugis, atau berarti Biksu Segara (?) menemukan empat telur naga yang kemudian lahir tiga putra yang menetap di Loloda (sebelah utara Jailolo), Ternate dan Tidore serta seorang putri yang kemudian menikah dengan orang Bacan. Bandingkan mitos ini dengan konsep Moluku Kie Raha. Sumber: Paramita R. Abdurrachman, “Kegunaan Sumber-Sumber Portugis dan Spanyol untuk Penulisan Sejarah Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 255.
155
berada di tengah-tengah desa, sebagai pusat penyelenggaraan upacara.76 Dengan
mempelajari konsep budaya mereka maka dapat disimpulkan bahwa pola kognisi
berbagai etnis masyarakat Austronesia yang telah terpisah masih dapat dilacak
keterkaitannya dengan mempelajari konsep budaya mereka yaitu memiliki nenek
moyang yang melakukan perjalanan lewat laut.
3. Integrasi Budaya Austronesia dan Non-Austronesia
Berdasarkan bukti linguistik, bahasa Austronesia digunakan di Maluku
Utara bagian selatan, dan bahasa non Austronesia yang merupakan rumpun Papua
digunakan di bagian Utara. Di beberapa yang termasuk teritorial kerajaan Ternate,
bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca oleh masyarakat setempat yang
berbahasa ibu bahasa Non-Austronesia. Akibat penggunaan bahasa perantara,
maka terbentuk bahasa Malayu Pasar sebagai bahasa pergaulan yang berlaku di
seluruh Maluku Utara.77 Studi etnografi yang dilakukan oleh Laksono78
menunjukan bahwa masyarakat Kepulauan Kei yang diikat oleh landasan bersama
berupa Pela (ikatan persaudaraan) ternyata masih terbagi dalam golongan-
76 Periksa: Soni Prasetia Wibawa, “Monumen Natar di Desa Sangliat Dol,
Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Maluku: Fungsi dan Kedudukannya dalam Pemukiman Tradisional”, Skripsi, (Yogyakarta: Fak. Ilmu Budaya, Univ. Gadjah Mada, 2002).
77 Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 70.
78 Periksa: P.M. Laksono, “The House of Ren-Ren: The Identity of the Host People in the Kei Islands,” dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 287-300.
156
golongan yang tercermin dari pola pemukiman mereka yaitu ren-ren (orang
kaya/pendatang), mel-mel (tuan tanah) dan iri-iri (budak).
Di Maluku Utara terdapat empat institusi politik yang disatukan dalam
konsep Moluku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Kempatnya memiliki independensi masing-masing walaupun dalam perjalanan
sejarahnya tiap institusi tersebut pernah saling mendominasi atas yang lainnya.
Berdasarkan ciri-ciri linguistiknya, Ternate, Tidore dan Jailolo termasuk dalam
kelompok Non-Austronesia, sedangkan Bacan merupakan komponen budaya
tersendiri yaitu Austronesia. Asumsi linguistik menyatakan bahwa perbedaan
bahasa merupakan indikasi perbedaan suku bangsa dan semakin jauh perbedaan
suku bangsa maka semakin jauh pula hubungan kognitif diantaranya. Namun yang
terjadi di Maluku Utara adalah sebaliknya, Bacan yang cenderung berbudaya
Austronesia diikat bersama Ternate, Tidore, dan Jailolo yang Non-Austronesia
dalam konsep Moluku Kie Raha. Di kawasan tersebut, Bacan merupakan bagian
integral dari pola pemikiran tradisional Maluku Utara.
Kelihatannya kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara tidak
menggusur komunitas Non-Austronesia yang telah ada di kawasan tersebut sejak
masa sebelumnya. Intrusi budaya yang dilakukan orang Austronesia menimbulkan
inovasi budaya yang berintegrasi dengan komunitas Non-Autronesia di Maluku
Utara. Walaupun demikian masing-masing budaya tersebut tidak benar-benar
melebur menjadi satu, karena masih dapat diamati dan dikelompokkan aspek-
aspek dari masing-masing budaya yang berintegrasi tersebut.