BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Bentuk Seni ...repository.ub.ac.id/1872/5/BAB IV.pdf ·...
Transcript of BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Bentuk Seni ...repository.ub.ac.id/1872/5/BAB IV.pdf ·...
38
BAB IV
DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Bentuk Seni Pertunjukan Seblang Olehsari
Jazuli (2008:7) mengatakan bahwa bentuk tidak lepas dari keberadaan
struktur, yaitu susunan dari unsur atau aspek (bahan atau material, buku dan aspek
pendukung lainnya) sehingga mewujudkan suatu bentuk. Berdasarkan pendapat
tersebut, bentuk pertunjukan Seblang Olehsari lebih jelasnya adalah sebagai berikut.
4.1.1 Pelaksana Seblang Olehsari
Seblang ditarikan oleh seorang perempuan muda yang baru mengalami
menstruasi pertama. Penari melakukan gerakan dengan tidak sadarkan diri. Penari
tidaklah melakukan pertunjukan seorang diri, melaikan dibantu dengan peranan
sinden yang membacakan narasi dengan cara menyanyikannya. Sinden merupakan
narator yang menjalankan alur dari cerita yang diperankan oleh penari. Seorang
sinden akan duduk timpuh atau duduk bertumpu pada kedua kaki yang ditekuk
kebelakang layaknya sinden pada umumnya.
Sinden dalam pertunjukan Seblang Olehsari berjumlah 21-28 orang, yang juga
termasuk keturunan para sinden terdahulu. Jumlah sinden ditentukan dengan adanya
keturunn dari sinden sebelumnya. Selain sinden juga terdapat pemusik yang
mengiringi jalannya pertunjukan. Alat-alat musik yang digunakan cukuplah
sederhana terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua
buah saron ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal.
38
39
Pertunjukan Seblang Olehsari dari dulu sampai dengan sekarang tidaklah
berubah, tetap pada keadaan aslinya. Hanya saja tempat pertunjukan mengalami
renovasi yang dibiayai oleh pemerintah. Dalam penyajian pertunjukan Seblang
terdapat beberapa prosesi. Singodimayan (2006:27) menyatakan bahwa terdapat dua
tahapan yaitu tahap upacara dan pelaksanaan pertunjukan Seblang di panggung
penghormatan.
4.1.1.1 Tahapan Upacara
Tahapan upacara merupakan tahapan yang harus dilakukan sebelum
pertunjukkan Seblang dilangsukan. Pada tahap ini, upacara yang dikaukan lebih
kepada makna dan tujuan kegitan yang akan dilaksanakan. Tujuan yang dimaksud
adalah menghubungkan antara manusia dengan Sang pencipta. Adapun upacara,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V (2016) (menurut adat istiadat) adalah
rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau
agama. Sejalan dengan hal tersebut, pelaksanaan Seblang Olehsari juga memiliki
sejumlah rangakaian. Rangkaian ini merupakan bagian dari tahapan upacara, antara
lain: kejiman, proses persiapan, dan slametan.
a) Kejiman
Sebelum pertunjukan Seblang dilakukan, para dukun dan warga desa
berkumpul. Terhitung dua minggu sebelum tahap kejiman ini dilakukan. Pada saat
kejiman, para sesepuh Seblang baik penari, dukun, maupun sinden berkumpul dan
disaksikan para pejabat desa. Kejiman memiliki arti memasukan roh leluhur kepada
para sesepuh Seblang. Dalam proses ini sesepuh yang kemasukan roh akan bernyanyi
40
Seblang Seblang yo lukinto, kemudian akan menunjuk keturunan yang akan menjadi
penari Seblang. Proses yang penuh kesakralan ini dilakukan dirumah dukun, dengan
membuat perapian dari kulit kelapa kering yang berisi menyan. Kejiman ini dilakukan
pada malam hari agar leluhur mudah terpanggil.
Ritual semacam ini sering ditemukan dalam seni-seni tradisional. Seperti yang
diungkapkan oleh Sumardjo (2013) bahwa seni tradisional lebih menekankan alasan
yang bersifat metafisik. Kehadiran daya-daya metafisik dipercayai lebih banyak
terjadi malam hari, seperti hadirnya hantu-hantu dalam kepercayaan masyarakat. Di
samping itu, tahapan ini dilakukan tertutup, sehingga yang mengetahui hanya orang-
orang yang mengikuti proses kejiman. Menurut Singodimayan (2006:27) dalam
proses kejiman, salah satu sesepuh Seblang akan mengucapkan suatu ketentuan dalam
bahasa Besuki yang digendingkan dan terdengar sangat monoton tanpa
menggerakkan lidah dan bibir. Nenek Mas Suryono, nek senen badhe ngeriki, nek
jumat, dino jumat mboten ngeriki ‗Nenek Mas Suryano, kalau senin mau datang ke
sini, kalau jumat, hari jumat tidak ke sini‘. Selain itu, dalam proses kejiman terdapat
aturan harus diperhatikan, seperti aturan dalam memasuki ruangan. Dalam konteks
ini, sesepuh yang mengikuti proses kejiman harus bersih. Artinya, bersih dari dalam
hal pakaian yang dikenakan, bersih badan yaitu mandi kembang dan berwudu.
b) Proses Persiapan
Tahapan selanjutnya yaitu proses persiapan. Dalam proses persiapan ini ada
beberapa yang harus disiapkan seperti mental penari, kesiapan properti yang
digunakan, serta pembutan panggung yang akan digunakan saat pelaksanaan. Para
41
sesepuh membagi tugas dengan dibantu oleh warga lainnya. Beberapa sesepuh
Seblang yang perempuan akan mempersiapkan penari dan dengan segala bentuk
sesajen juga pakaian yang digunakan penari. Para sesepuh laki-laki akan mengatur
panggung dan persiapan lainnya.
Selanjutnya, penari Seblang akan diberi wejangan agar tidak kaget ketika
nanti kerasupan. Pembuatan omprok juga dilakukan oleh para sesepuh Seblang
perempuan. Omprok merupakan tutup kepala yang digunakan Seblang. Mulai dari
pengumpulan bunga, pembuatan rambut Seblang yang terbuat dari janur (daun kelapa
muda), sampai dengan menyiapkan pakaian Seblang yang terdiri atas kemben dan
sewek. Omprok yang sudah siap diberikan kepada dukun, yang kemudian akan diberi
mantra dengan menggunakan asap kemenyan yang dibakar dengan kulit kelapa
kering.
Persiapan panggung penghormatan yang dilakukan para sesepuh laki-laki juga
dibantu dengan warga sekitar. Hal yang perlu dipersiapkan yaitu arena pertunjukan
dan singgasana penari Seblang. Pada tahap ini, menurut Singodimayan (2006:28)
proses persiapan yaitu mempersiapkan arena pelaksanaan dengan memasang
sejumlah properti berupa tiang kayu setinggi tiga meter untuk membentangkan
payung Agung, yang di sekitarnya ditempati sejumlah gamelan pengiring terdiri dari
kendang, gong, saron, kempul dan selentem.
Setelah itu, dilanjutkan dengan membuat pondok yang menghadap ke arah
timur. Hal ini dilakukan karena arah matahari yang berasal dari timur dan tenggelam
di barat. Dihadapkannya pondok dengan cara seperti ini karena pelaksaan Seblang
42
tepat pada pukul dua siang, sehingga matahari tidak akan menyilaukan pertunjukan
tersebut. Pondok atau singgasana ini berukuran 2x3 meter dan dihiasi dengan janur
kuning dan sejumlah para bungkil seperti laos, bentul, gembili, sawi, ketela, dan
aneka buah-buahan yang ada di desa Olehsari. Buah-buahan tersebut seperti durian,
rambutan, mangga, dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat untaian padi, jagung,
cabe, terong dan kacang. Pondok yang sudah dihiasi dengan berbagai macam properti
inilah yang kemudian menjadi singgasana penari Seblang.
c) Slametan
Tahap terakhir dalam upacara yaitu prosesi slametan yang bertujuan agar
acara yang diselenggarakan dapat berjalan dengan baik. Singodimayan (2006:27)
berpendapat bahwa bagi warga Olehsari slametan merupakan acara tersendiri, sebab
selametan merupakan bagian dari upacara adat Seblang untuk memohon keselamatan
dan terhindar marabahaya yang akan menimpa desanya. Prosesi selametan dilakukan
di dua tempat yaitu di tempat penari Seblang dan tempat dukun yang mendatangkan
jim (sebutan jin bagi masyarakat Banyuwangi) atau roh leluhur. Dalam hal ini,
Sumardjo (2013) menegaskan bahwa pertunjukan cenderung dilakukan di ruang
rumah yang amat dihormati atau dianggap keramat. Jika tidak dilakukan di rumah,
pertunjukan juga dapat dilakukan dimana saja di perkampungan, seperti di lapangan,
di sawah, di kebun, di mata air, dan lain sebagainya.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan saat prosesi slametan ini yaitu nasi
tumpeng, kuluban (sayuran yang dikukus), dan jenang abang (ketan merah).
Sebagian jenang abang ditempatkan di tengah, karena dipercaya bagian tengah
43
adalah tempat bermainnya para Shang Hyang. Di sisi lain, Sutiyono (2013:41)
mengatakan bahwa selametan merupakan bentuk aktivitas sosial berwujud upacara
yang dilakukan secara tradisional. Dalam konteks ini, pendapat tersebut dapat
dijadikan latar belakang alasan adanya selametan dalam tahap upacara pertunjukan
Seblang Olesari. Sebagai bentuk tradisi, slametan ini sudah ada sejak awal
dilangsungkannya pertunjukan Seblang, sehingga selametan ini terus dilakukan.
4.1.1.2 Tahap Penyajian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V Online (2016), penyajian adalah
susunan atau urutan proses atau cara menyajikan dalam suatu penampilan dari sebuah
seni pertunjukan. Dalam konteks ini, tahap penyajian adalah tahapan yang menjadi
inti pelaksanaan Seblang Olehsari. Pertunjukan dimulai pada pukul 14.00 WIB
sampai menjelang terbenamnya matahari. Pertama penari Seblang diarak keliling
Desa Olehsari sampai dengan tujuan terakhir yaitu panggung pementasan.
Pada saat pengarakan tersebut dilakukan, penari Seblang diapit oleh dua
sinden, dan diikuti sinden-sinden yang lain dengan berbaris dua banjar di belakang
penari Seblang. Di belakang sinden terdapat barisan para pemusikdan disusul oleh
para sesepuh Seblang serta keluarga penari yang membawa seluruh sesajen.
Sebelumnya, penyajian Seblang berada di tengah desa dengan penonton yang akan
melingkarinya. Namun, pada tahun 2003 arena penyajian diubah, yaitu berupa
panggung yang berbentuk ligkaran dan menghadap ke timur. Singodimayan
(2006:28) menyatakan bahwa penyajian di atas pentas di bawah payung Agung
sebanyak 27 adegan. Hal ini dibuktikan dengan adanya 27 gending yang dinyanyikan
44
oleh para sinden dengan iringan dari pemusik. Setelah itu, Seblang akan dipasangkan
omprok kembali setelah duduk di singgasana, kemudian akan dimasukan roh leluhur
yaitu roh mbah Semi. Kemudian Seblang akan menari mengikui iringan musik dan
akan melakukan adegan yang disampaikan sinden melalui gending.
4.1.1.3 Narasi Pertunjukan Seblang Olehsari
Gending atau lagu yang dinyanyikan sinden merupakan narasi dari jalannya
pertunjukan Seblang Olehsari. Salah satu struktur terbentuknya pertunjukan Seblang
adalah narasi. Pada narasi pertunjukan, terdapat banyak hal yang terungkap baik dari
maksud cerita, makna gerakan, sampai dengan fakta sejarah Banyuwangi. Narasi
pertama yaitu gending lukinto. Gending ini merupakan gending yang sakral dan
digunakan untuk memasukkan arwah atau roh mbah Semi ke dalam tubuh penari
Seblang.
Seblang-Seblang yo lukento sing dadi encakono
‗Seblang-Seblang ya lukento yang jadi (beri kesiapan)‘
(PSO/BSP/NP/G)
Biasanya dinyanyikan sebanyak sepuluh kali sampai roh masuk kedalam
tubuh penari. Berdasarkan wawancara (21 Desember 2016) kepada ketua dukun
Olehsari, terdapat penambahan jumlah pelantunan gending lukinto pada pertunjukan
Seblang tahun 2015 dikarenakan roh yang masuk ke dalam tubuh penari tidak
kunjung merasuki penari. Selain itu, terdapat pula pemotongan jumlah gending yang
dilantunkan pada pertunjukan Seblang pada tahun 2010. Alasan pemotongan gending
dikarenakan Seblang sudah kerasukan roh mbah Semi. Berdasarkan teori struktur
45
narasi milik Herman dan Verveack (dalam Darihastining, 2016: 17) kejadian tersebut
termasuk dalam unsur pelesapan, dimana gending “lukinto” sengaja tidak
dilantunkan sepuluh kali karena kondisi Seblang yang sudah mengalami kerasukan.
Bentuk gerakan yang dilakukan oleh Seblang merupakan bentuk tari
dramatik. Jacqueline Smith (dalam Hidayat, 2005:38) tari dramatik akan memusatkan
perhatian pada sebuah kejadian atau suasana yang tidak mengakhiri cerita. Pada
adegan ini Seblang mengayunkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sehingga gerakan
tersebut merupakan gerakan yang bermakna bahwa diri Seblang pada saat itu sudah
kerasukan. Kemudian Seblang melambaikan tangan kanannya sambil mengeliling
arena pertunjukan.
‗Seblang mulai melambaikan tangan kanannya ke atas dalam bentuk
tarian sebagai simbol sapaan kepada semua penonton yang datang.
Seblang tidak membatasi penonton, Seblang menerima semua penonton
dengan baik, kaya ataupun miskin.‘ (PSO/BSP/NP)
Berdasarkan data tersebut dapat dianalisis mengenai makna gerakan yang
dilakukan oleh Seblang. Tangan dilambaikan ke atas memiliki makna menyapa.
Objek yang disapa adalah penonton. Hal ini juga dapat di buktikan melalui makna
yang terdapat dalam gending yang mengiringi adegan tersebut.
Liliro kantun sak kanune liliro
Yugo yo sepanen yo dayo riko
Mbok surgubo milu tomo
‗Pejamkan mata tak sadarkan diri tak sadarkan diri pejamkan mata
Meski satu panen ya tamu kamu
Mbok surgubo ikut bertamu‘ (PSO/BP/NP/G2)
46
Berdasarkan arti yang ada pada gending liliro kantun dapat dimaknai secara
subjektif, yaitu Seblang bercerita bahwa dirinya akan memejamkan mata saat
pertunjukan berlangsung yang artinya tidak sadarkan diri. Kemudian pada lirik ke dua
menjelaskan tentang tamu yang datang pada pertunjukan. Seblang tidak membedakan
tamu manapun yang datang. Adegan berikutnya memasuki inti pertunjukan yaitu
mengajak penonton untuk mengenang sejarah Banyuwangi.
Podo nonton. Pundak sempal ring lurung yo pandite. Pundak sempal,
lambeyane poro putro. Poro putro kajala ring kedung lewung. Yo jalane
jala sutra. Tampangnge tampang kencono
‗Semua melihat.Pandan wangi di jalan raya ya katanya.Pandan wangi,
lambaiannya para putra.Para putra tertangkap jala pada pusaran air.
Jalanya seperti sutra. Tampangnya tampang kencana‘
(PSO/BP/NP/G3)
Makna pada gending diatas yaitu Seblang mengajak penonton untuk
mengenang sejarah Banyuwangi. Menggambarkan keadaan Banyuwangi pada saat
Penjajahan. Berdasarkan arti yang terdapat pada gending podo nonton pundak sempal
dapat diambil makna bahwa para putra Belambangan terkena hasutan oleh penjajah.
Pada gending ―podo nonton pundak sempal‖ Seblang melakukan adegan berikut.
‗Seblang menari melambaikan tangan kanannya sambil mengelilingi
arena pertunjukan dengan cara mundur setengah lingkaran kemudian
melanjutkan langkahnya ke depan.‘ (PSO/BP/NP2)
Gerakan Seblang mundur ke belakang menandakan bahwa waktu yang akan
diceritakan adalah masa lalu atau sejarah. Tepatnya tentang kesengsaraan masyarakat
Banyuwangi pada masa penjajahan. Berdasarkan struktur analisis Herman Verveack
(dalam Darihastining, 2016) dalam unsur jarak pertunjukan ini berada pada jarak
47
sekitar tiga abad lalu, tepat pada masa penjajahan sekitar tahun 1700-an. Hal ini
terdapat dalam fakta sejarah, yaitu dokumen sejarah yang berjudul ‗Babad
Belambangan‘. Gambaran kesengsaraan atau penderitaan masyarakat Banyuwangi
terdapat pada kutipan gending berikut.
‗Seblang menari menggunakan selendang dengan mengibaskannya ke
kanan dan ke kiri sambil berjalan mengelilingi arena pertunjukan,
ditambah dengan goyangan pinggul ke kanan dan ke kiri.‘
(PSO/BP/NP3)
Pada gerakan ini Seblang mencoba untuk menggambarkan kehancuran yang
terjadi pada ‗gending podo nonton pundak sempal‘. La Meri (dalam Soedarsono,
1972:39) mengatakan bahwa desain horizontal adalah desain yang menggunakan
sebagian besar dari anggota badan mengarah ke garis horizontal. Desain yang di
maksud dalam hal ini yaitu bentuk gerakan. Desain horizontal berarti gerakan yang
dilakukan secara horizontal. Kesan yang muncul dalam desain ini adalah kesan
mecurahkan kehancuran. Gerakan yang dilakukan Seblang termasuk gerakan desain
horizontal karena menggerakkan tangannya dengan selendang secara horizontal,
sehingga makna yang ditekankan pada gerakan Seblang yaitu kehancuran. Seblang
melakukan gerakan desain horizontal pada setiap gending yang mengkisahkan
kehancuran pada masa penjajahan.
Selanjutnya Seblang memasuki adegan ‗penjualan bunga‘. Pada adegan ini
Seblang akan di bantu oleh para sesepuh untuk menjualkan bunga kepada penonton.
Bunga yang dijual Seblang merupakan sari pertunjukan Seblang, karena masyarakat
Banyuwangi mempercayai bahwa bunga tersebut dapat digunakan sebagai tolak bala’
48
atau biasanya disebut ‗berkat Seblang‘. Berikut merupakan kutipan adegan saat
Seblang menjual bunga.
‗Seblang membawa tampah yang berisi bunga kebaikan keliling arena
pertunjukan. Transaksi jual beli di bantu oleh para sesepuh Seblang.
Sinden melantunkan gending kembang dermo‘ (PSO/BP/NP4)
‗Berkat Seblang‘ merupakan sebutan bagi masyarakat Banyuwangi. Kata
berkat memiliki makna suatu yang diberikan Tuhan untuk kebaikan. Kamus Besar
Bahasa Indonesia V Online (2016) memaknai kata berkat yaitu karunia Tuhan yang
membawa kebagikan bagi kehidupan manusia. Berkat juga bermakna doa restu dan
pengaruh baik. Bunga uang dijual terdiri dari bunga sedap malam dan bunga kantil.
Kedua bunga tersebut dirangkai menggunakan tusuk sate dan dijual dengan harga Rp
2500. Di sela-sela pertunjukan, Seblang juga menggambarkan kebahagiannya dengan
mengajak penonton untuk menari bersama Seblang.
‗Terdapat beberapa sisipan rasa syukur Seblang dengan mengajak
penonton menari ke atas arena pertunjukan. Seblang membawa selendang
yang nantinya akan dilemar kepada penonton, bagi penonton yang terkena
selendang akan ikut menari bersama Seblang. Adegan ini di iringi oleh
gending tambak, petung, punjari, dan sembung laras‘ (PSO/BP/NP5)
Seblang akan mengangkat tangannya yang memegang selendang sambil
melambaikannya ke atas. Ssesekali selendang di lempar untuk mencari penonton
yang akan menari bersama Seblang. Lambaian tangan Seblang memiliki makna
ajakan, seperti halnya orang melambaikan tangannya untuk mengajak orang. Gerakan
ini juga termasuk dalam gerakan dramatik mencoba menarikan sebuah gerakan yang
biasa digunakan dalam kehidupan.
49
Adegan berikutnya Seblang menceritakan penjajah yang hancur karena kuasa
Tuhan atau balasan Tuhan. Adegan ini terdapat pada gending berikut.
Gebyar-gebyur
Geni murup ring perahu
Urubno ring wono cinde
Kang tumandang nglasani
‗Gebyar gebyur
Api hidup di perahu
Tukarkan di wono cinde
Yang tumandang nglasani‘ (PSO/BP/NP/G4)
Api merupakan lambang kehancuran atau amarah menggunakan kata Api
karena Api memiliki sifat yang menghabiskan. Maksud dari Api digunakan untuk
menyimbolkan penjajah yang hangus terbakar atau kalah. Latar yang digunakan yaitu
lautan. Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan kata perahu. Perahu adalah alat
tranportasi yang digunakan di jalur air. Menggunakan latar laut juga memiliki makna
bahwa penjajah memasuki Banyuwangi melalui jalur laut (wawancara, 12 Desember
2016).
‗Pada akhirnya penjajah hancur atas kuasa Tuhan, Seblang menari dengan
lembut dan memperlambat gerakannya dengan tangan yang melambai
keatas untuk menyimbolkan kekalahan para penjajah‘
(PSO/BP/NP6)
Gerakan Seblang yang semakin lemas menandakan telah usai perjuangan
putra Belambangan dalam melawan penjajah. Tangan yang melambai ke atas dengan
lemas termasuk dalam desain gerak vertikal yang artinya kekalahan. La Meri (dalam
Soedarsono, 1972:39) mengatkan desain vertikal adalah desain yang menggunakan
anggota badan yaitu tungkai dan lengan menjulur ke atas atau ke bawah. Desain ini
50
memberi kesan egosentris dan juga menyerah. Pendapat ini mendukung pengertian
makna gerakan dan narasi pertunjukan Seblang.
4.2 Makna Seni Pertunjukan Seblang Olehsari
Dalam setiap pertunjukan memiliki makna tersendiri bagi siapapun yang
terdapat di dalamnya, seperti pelaku seni pertunjukan, masyarakat sekitar, dan
penonton. Untuk memaknai sebuah seni pertunjukan tidak dapat dibatasi karena
semua itu bergantung pada sudut pandang siapa yang melihat (wawancara,12 Januari
2017).
4.2.1 Makna Penyajian Seblang Olehsari
Seni Pertunjukan Seblang Olehsari memiliki dua unsur pembentuk dalam
setiap pertunjukannya, yang disebut dengan pelaksanaan dan penyajian. Pelaksanaan
pertunjukan Seblang merupakan seluruh tahapan yang dilakukan dalam mengadakan
pertunjukan, sedangkan penyajian Seblang merupakan suatu yang disajikan untuk
dipertontonkan yaitu mulainya penari Seblang melakukan tariannya. Di dalamnya
juga terdapat makna, yang terdiri atas (a) makna simbolik, (b) makna ritus, dan (c)
makna sosial. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut.
4.2.1.1 Makna Simbolik
Simbol merupakan hubungan yang dikaitkan dengan acuannya. Dalam hal ini
yaitu pertunjukan Seblang. Pertunjukan Seblang memiliki ikon penari Seblang
dengan simbol omprok. Omprok adalah hiasan kepala yang melekat pada seorang
51
penari. Omprok juga merupakan lambang dari kesejahteraan. Hubungan dengan
kesejahteraan yaitu omprok merupakan bentuk lain dari mahkota.
Para raja selalu menggunakan mahkota, bahkan hingga kini pemakaian
mahkota merupakan simbol penghormatan pada penerima mahkota sehingga, omprok
dipercaya masyarakat Banyuwangi sebagai sebuah kesejahteraan. Di dalam omprok
terdapat bunga tujuh rupa dan daun kelapa muda yang mengelingi omprok sehingga
terlihat seperti rambut yang berwarna hijau. Semua yang ada pada bagian omprok
mempunyai makna tersendri.
Kembang tujuh rupa memiliki makna simbolik dari kepercayaan orang Jawa
mengenai kata ‗pitu‘ yang artinya tujuh. Darihastining (2016: 139) mengatakan
bahwa simbol kembang tujuh rupa mengacu pada angka pitu (tujuh), yang dalam
masyarakat Jawa sering diidentikkan dengan pitulungan (pertolongan), pitudoh atau
pitedah (petunjuk). Dengan demikian, kehadiran bunga tujuh rupa dapat diartikan
sebagai semua harapan yang diletakkan pada kepala penari yang saat itu digunakan
dalam pertunjukan.
Kemudian penggunaan ‗janur‘ (daun kelapa muda) yang dijadikan rambut
oleh penari. Terdapat dua makna dalam penggunaan janur ini, yang pertama, janur
dibuat untuk menutupi wajah. Hal ini dilakukan untuk membuat penari mudah
dirasuki roh leluhur. Makna kedua yaitu alam, artinya masyarakat Banyuwangi
melakukan persembahan kepada alam yang di simbolkan dengan janur kuning. Selain
itu, janur kuning juga dipercaya sebagai tanda adanya semua acara seperti pernikahan
slametan, dan yang lainnya. Dalam omprok terdapat detail-detail kecil yang memiliki
52
makna. Menurut Sanyoto (dalam Negara, 2011:4) bagian detail omprok antara lain
sebagai berikut.
1. Ornamen Kaca
Ornamen kaca memiliki bentuk seperti pecahan cermin kecil-kecil yang ditata
rapi di bagian tengah dan sekitar mahkota. Kaca dalam Gandrung tersebut
dipercaya mempunyai makna sebagai tolak balak dan sihir hitam.
Perbedaannya dalam Seblang ornamen kaca hanya di letakkan di pagian
depan.
2. Pilisan
Pilisan yaitu bentuk setengah lingkaran pada mahkota. Dalam
pemasangannya, pilis stanles ini sebagai pembatas antara wajah dan omprok.
Pilisan mengandung makna dalam terdapat suatu batasan-batasan norma yang
harus dijaga pada pementasan dan di kalangan masyarakat. Omprok Seblang
terdapat pelisan yang terbuat dari kain beludru, pelisan omprok Seblang
berfungsi sebagai pembatas antara wajah dan omprok. Maknanya sama seperti
pembatas dalam omprok gandrung yaitu adanya batasan norma yang harus
tetap dijaga pada pementasan Seblang.
Selain omprok, arena bermain atau yang dikenal dengan panggung
pertunjukan memiliki makna bahwa pertunjukan itu bertujuan untuk
melindungi desa dangan mengelilingi area atau panggung yang sengaja dibuat
lingkaran. Lingkaran menyimbolkan bentuk bumi yang bulat, sehingga
53
penggunaan simbol lingkaran adalah lingkungan yang diselamatkan (melalui
proses adat).
4.2.1.2 Makna Ritus
Ritus memiliki arti segala sesuatu yang dilakukan dalam bidang keagamaan.
Pertunjukan Seblang merupakan Seni pertunjukan yang mengandung ritus yaitu
dengan mengadakannya tahap upacara adat. Tahapan upacara yang ada dalam
pertunjukan Seblang yaitu, kejiman, prosesi persiapan properti, dan selametan yang
dilakukan di rumah penari dan dukun. Kejiman merupakan tindakan para sesepuh
Seblang yang memanggil roh leluhur untuk menentukan siapa yang akan menjadi
penari Seblang dalam pertunjukan Seblang yang akan diselenggarakan. Hal ini
mengandung ritus, karena adanya pemangilan roh yang dilakukan oleh para sesepuh.
Makna yang terkandung dalam prosesi kejiman yaitu menghormati para
leluhur dengan cara memeberikan kesempatan agar turut andil dalam
penyelenggaraan pertunjukan Seblang. Selain itu, kejiman merupakan tindakan
dimana masyarakat Olehsari mengenang jasa para leluhur dalam pembagunan desa
Olehsari maupun dalam usahanya memperjuangkan tanah Belambangan. Selanjutnya,
yaitu prosesi persiapan properti. Pada pertunjukan Seblang properti yang sangat
penting dan harus ada yaitu omprok, pondok atau singgasana penari, dan panggung.
Berdasarkan properti yang harus dipersiapakan, dua diantaranya sudah
dijelaskan sebeleumnya pada makna simbolik. Ritus yang terkandung dalam
pembuatan omprok yaitu omprok yang sudah jadi diasapi dengan kemenyan yang
dibakar menggunakan sabut kelapa kering. Makna yang terkandung didalammnya
54
yaitu memohon perlindungan kepada lelehur agar omprok mampu membuat penari
dalam kondisi tidak sadarkan diri atau dimasuki roh dan tetap dalam lindungan (tidak
sakit). Pembakaran kemenyan dikenal dengan maksud pemangilan roh atau apapun
yang bersifat gaib.
Kemudian pada saat masyarakat membuat pondok atau singgasana,
masyarakat akan menghiasnya dengan menggunakan semua hasil alam yang ada di
desa Olehsari. Makna yang ada dalam prosesi ini yaitu menunjukan rasa syukur yang
tak terhingga atas limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada desa Olehsari.
Semua hasil bumi yang ada pada singgasana penari nantinya akan direbut oleh para
penonton, yang kemudian akan dibawa pulang. Masyarakat Banyuwangi percaya
akan kemistisan hal tersebut. Semua yang telah di pegang oleh Seblang akan
mendapatkan kebaikan bagi yang menerimanya.
Lebih dari itu, Sutiyono (2013:41) mengungkapkan bahwa slametan
merupakan bentuk aktivitas sosial berwujud upacara yang dilakukan secara
tradisional. Slametan dalam pelaksanaan Seblang memiliki maksud agar pertunjukan
ini berjalan dengan lancar. Agar slametan dapat diterima oleh Sang Maha Agung,
slametan memiliki syarat yaitu dengan menggunakan nasi tumpeng yang membentuk
kerucut dan jenang merah yang diletakkan di tengah. Maknanya adalah nasi tumpeng
yang menjulang keatas yaitu menunjukkan bahwa yang dituju semua ada di atas,
yaitu Tuhan. Adapun jenang abang yang diletakkan di tengah merupakan syarat agar
para gaib datang, karena dipercaya bahwa para gaib akan berada di tengah
pemenyanan (wawancara,12 Januari 2017).
55
4.2.1.3 Makna Sosial
Makna sosial merupakan makna yang terkandung dalam pertunjukan Seblang
dalam hal sosial, yaitu bersangkutan dengan masyarakat dan lingkungan. Pada
pertunjukan Seblang didapatkan makna sosial berdasarkan beberapa unsur yaitu
makna seni pertunjukan bagi pelaku seni, pencipta seni, dan pendukung seni. Makna
pertunjukan Seblang bagi para pelaku seni, seperti dukun, para sesepuh, penari, dan
sinden, adalah sebuah ritual yang dilakukan untuk kepentingan desa berupa tolak bala
dan kepentingan para leluhur Seblang. Kepentingan para leluhur Seblang yaitu
dengan mengenang perjuangan yang dilakukan para leluhur untuk tanah
kelahirannya.
Makna yang ditangkap oleh para pendukung seni pertunjukan, masayarakat
dan warga sekitar, adalah ucapan rasa syukur atas nikmat yang didapat selama lahir
dan tinggal di desa Olehsari. Kemudian rasa syukur itu dikemas dalam bentuk
pertunjukan sakral yang mengundang leluhur masuk dalam tubuh penari Seblang.
Makna lain bagi penonton, yaitu bentuk hiburan yang memiliki kesakralan berupa
sari (bunga) yang didapat dari Seblang yang mampu dan dipercaya menjadi jimat
penyelamat jika dibawa pulang (wawancara, 08 Juli 2016).
4.2.2 Makna Narasi Seblang Olehsari
Narasi merupakan isi cerita yang ingin disampaikan dalam pertunjukan
Seblang. Memaknai sebuah narasi merupakan cara yang dikakukan untuk lebih
memahami bagaimana isi dalam cerita tersebut. Makna yang terlihat dalam narasi
56
dilakukan dengan menggunakan teori stuktur narasi, yaitu tentang karakterisasi milik
Herman dan Verveack.
Karakterisasi merupakan bagian kedua dari narasi. Karaterisasi merupakan
bentuk abstrak dari narasi. Karakterisasi akan dibagi menjadi tiga yaitu karakterisasi
langsung, karakterisasi tidak langsung, dan karakterisasi melalui analog.
1. Karakterisasi Langsung
Merupakan karakterisasi fisik yang sudah tampak dari awal. Karakter ini tidak
hanya pada aktor, tetapi karakter cerita yang diciptakan. Pada pertunjukan
Seblang Olehsari karakterisasi langsung dapat dilihat diantaranya adalah
penari Seblang dan karakteristik yang menggambarkan penjajah atau
seseorang yang diceritakan dalam narasi.
Liliro kantun sak kanune liliro.Yugo yo sepanen yo dayo riko. Mbk
surgubo milu tomo
‗Pejamkan mata tak sadarkan diri tak sadarkan diri pejamkan mata. Mesti
satu panen ya tamu kamu. Mbok surgubo ikut bertamu‘
(PSO/MSP/KL1)
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa penari Seblang menari dengan
tidak sadarkan diri. Tak sadarkan diri disini yaitu sedang dirasuki roh leluhur
Seblang. Hal ini jelas dikatakan pada awal pertunjukan setelah penari Seblang
kerasukan roh dalam tubuhnya.
Selain itu, terdapat karakterisasi langsung yang diceritakan melalui narasi
pertunjukan sebagai berikut.
Poro putro kajala ring kedung lewung. Yo jalane jala sutra. Tampangnge
tampang kencono
57
‗Para putra terperangkap di kedung lewung (air yang berputar). Ya
perangkapnya perangkap sutra‘ (PSO/MSP/KL2)
Tampang Kencono adalah sebutan untuk penjajah, seperti yang sudah
dijelaskan diatas. Pada karakterisasi langsung, sebutan ‗Tampang Kencono‘
sudah menggambarkan penampilan penjajah. Kencono merupakan
kemehawan yang dimiliki raja pada masa kerajaaan. Kencono dalam bahasa
Indonesia yaitu kencana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V Online
(2016) kencana berarti emas. Emas adalah suatu benda yang di anggap mewah
bagi masyarakat, sehingga kencono merupakan lambang kemewahan.
Berdasakan penjelasan tersebut bisa dikatakan bahwa ―tampang kencono‖
maksudnya wajah yang rupawan, sehingga karakter yang ada pada penjajah
yaitu berwajah tampan.
2. Karakterisasi Tidak Langsung
Karakterisasi Tidak Langsung merupakan hubungan dengan berbagai istilah
yang ada dalam Seblang. Akan tetapi, istilah tersebut mengandung fakta-fakta
dari konsep sosiologi, psikologi, dan historis. Pertunjukan Seblang memiliki
fakta unik yang mengambarkan bentuk sosiologi masyarakat Banyuwangi.
Apabila ditinjau berdasarkan pengertian sosiologi, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang perilaku manusia satu dengan lainnya. Pada pertunjukan
Seblang hal ini jelas sangat terlihat. Pertama, dapat dilihat melalui
penyelengaraan pertunjukan sakral tersebut. Semua masyarakat mendukung
58
satu dengan yang lain agar pertunjukan tersebut berjalan dengan lancar dan
dapat menyelesakan prosesi bersih desa dengan baik.
Kedua, dalam tahap pertunjukan dilihat berdasarkan bentuk panggung,
yaitu saat pertunjukan berlangsung. Panggung yang digunakan oleh Seblang
berbentuk lingkaran. Lingkaran melambang suatu hal yang menyatu dalam
satu garis. Maksudnya adalah semua yang ada dalam pertunjukan Seblang dari
pelaku, penyelenggara, dan penonton, merupakan sebuah lingkaran yang
berada dalam satu tujuan yaitu usaha menolak bala. Lebih dalam, berdasarkan
wawancara yang dilakukan pada (21 Desember 2016) kepada salah seorang
warga yang saat itu menjadi penonton, tujuan utama datang dalam
pertunjukan Seblang adalah untuk mendapatkan sari dari Seblang, yaitu
bunga yang di jual Seblang dalam Gending Kembang Dermo.
Menurut penyelenggara pertunjukan Seblang, pertunjukan ini diadakan
karena tujuan utama yaitu untuk membersihkan desa dari segala sesuatu yang
bersifat negatif. Ini membuktukan bahwa pertunjukan Seblang dilakukan
dengan tujuan utama sebagai upaya membersihkan desa dari bala. Perilaku
sosial juga tampak dalam antusiasme warga desa Olehsari dengan
mengorbankan waktu mereka untuk mengurus penyelenggaraan hingga turut
dalam pelaksanaannya. Termasuk para tamu undangan dari daerah lain atau
dari manca negara yang ingin mengenal suku dan budaya Banyuwangi.
Selanjutnya, berdasarkan narasi yang diceritakan saat pertunjukan,
Seblang merupakan wujud perilaku sosial yang dilakukan oleh masyarakat
59
Banyuwangi pada masa penjajahan. Sebagai contoh penggambaran adalah
para putra Belambangan yang tergeletak di jalan demi melindungi tanah
Belambangan dari para penjajah. Perilaku sosial yang ditunjukan para putra
Belambangan berupa perjuangan dalam perang melawan penjajah untuk
melindungi Belambangan.
Selain tampak pada sisi sosiologi, fakta-fakta psikologi masyarakat juga
tergambar dan terekspresikan dalam pertunjukan Seblang. Dakir (1993)
mengatakan bahwa psikologi membahas tingkah laku manusia dalam
hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan sendiri memiliki makna segala
sesuatu yang ada di sekitar manusia dan akan mempengaruhi kehidupan
manusia tersebut. Pendapat ini memberikan penegasan bahwa pertunjukan
Seblang oleh masyarakat desa Olehsari sangat mempercayai kemistisan yang
ada dalam prosesi Seblang tersebut. Seperti pendapat Sutiyono (2013:2) yang
mengungkapkan bahwa sejak zaman prasejarah, orang Jawa memiliki
kepercayan animisme terhadap adanya roh pada benda, binatang, tumbuhan,
dan manusia itu sendiri.
Selanjutnya fakta mengenai tolak bala atau ‗bersih desa‘, merupakan
wujud perilaku manusia terhadap lingkungannya. Perlu digaris bawahi
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan tempat tinggal. Sutiyono
(2013:64) mengatakan bersih desa mempunyai dua arti. Petama, ditinjau dari
segi jasmaniah, bersih desa memiliki arti harfiah yaitu masyarakat beramai-
ramai membersihkan desa (yang sesungguhnya), seperti membersihkan jalan,
60
makam, selokan, membuat lubang tanah untuk pembuangan sampah,
mengecat pagar, gardu, dan rumah. Bersih desa menjadikan keadaan desa
benar-benar bersih. Kedua, ditinjau dari rohaniah, manusia hidup di dunia ini
ada yang menciptakan, yaitu Tuhan. Manusia perlu membersihkan diri atau
bersyukur (syukuran), karena ia merasa telah dianugerahi kesehatan dan
rezeki.
Berdasarkan pendapat Sutiyono, pertunjukan Seblang termasuk dalam
kedua hal yang dimaksud. Dalam segi psikologisnya masyarakat Olehsari
benar-benar melakukan bersih desa selain menyambut hari Raya Idul Fitri
juga sebagai rasa syukut terhadap Tuhan atas pemberian berupa lingkungan
yang selama ini menjadi tempat tinggal meraka. Selain itu, mengadakan
pertunjukan Seblang juga memiliki tujuan mengucapan rasa syukur atas apa
yang Tuhan berikan pada masyarakat berupa lingkungan yang subur. Hal ini
dibuktikan dalam pertunjukan terdapat pondok yang merupakan singgasana
bagi penari Seblang. Properti yang ada pada singgasana tersebut berupa hasil
panen yang ada di desa Olehsari.
Selanjutnya, adalah fakta yang terdapat dalam sejarah tanah Belambangan
(Banyuwangi). Menyoal mengenai Banyuwangi maka akan tergambarkan
pahlawan yang membela Banyuwangi dengan mengorbankan nyawanya.
Salah satu pahlawan yang digambarkan pada pertunjukan Seblang adalah
Sayu Wiwit dan para pahlawan ‗45. Sayu Wiwit merupakan pahlawan yang
diceritakan dalam narasi pertunjukan, sedangkan sebutan pahlawan ‗45
61
merupakan simbol pahlawan yang membela kemerdekan. Karakterisasi yang
diciptakan yaitu bayangan kehancuran Banyuwangi pada masa itu.
Pada gending podo nonton pundak sempal diceritakan bagaimana para
putra Belambangan penuh kesengsaraan yang diakibatkan oleh penjajahan.
Kemudian pada ‗kembang menur‘ dan ‗kembang gadung‘, kedua gending
tersebut saling berkaitan dimana makna keduanya menggambarkan
kesengsaraan wanita Banyuwangi pada masa penjajahan, yaitu digunakan
sebagai gundik oleh para penjajah. Pada gending layar kumendung yang
menceritakan tentang datangnya penjajah ke tanah Belambangan menjadikan
suasana menjadi mendung, yang artinya akan tiba hujan. Hujan
menyimbolkan suatu yang akan jatuh tajam menukik dan menyakiti kulit atau
masyarakat Banyuwangi (wawancara, 21 Desember 2016). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya menegenai awal mula para penjajah masuk ke tanah
Belambangan. Hal ini juga dirasakan dalam karakterisasi melalui fakta fakta
historis yang ada dalam pertunjukan Seblang.
3. Karakterisasi Analogis
Karakterisasi analogis merupakan karakterisasi tahapan cerita yang bertujuan
untuk memberikan informasi tentang fakta –fakta makna dibalik analog.
Kembang menur. Melik-melik ring bebentur. Isun siram-siram alum. Sun
petik mencirat ring ati
‗Bunga melati. Tampak mungil di sudut halaman. Saya siram-siram layu.
Saya petik menyentuh hati‘ (PSO/MSP/KA1)
62
Pada gending diatas menggambarkan keindahan bunga melati yang
lembut mungil berada pada beranda rumah masyarakat. Makna yang dapat
dalam lagu itu tidak hanya sebagai sosok melati yang elok rupanya, akan
tetapi bagaimana bunga melati yang tertindas karena penjajah. Pada gending
tersebut tujuan utamanya berupa penggambaran para sinden tentang wanita
pada masa penjajahan.
Erang erang. Yo wong adang kayune merang. Mambu kukus mambu
kukus ketongkol. Nggodek wong bagus
‗Arang terbakar. Ya orang menanak nasi kayunya jerami. Bau kukusan
bau kukusan tercium jelas. Terkesima perjaka cakap‘ (PSO/MSP/KA2)
Makna yang tergambarkan yaitu bagaimana seorang perumpuan jatuh
cinta pada perjaka yang memiliki wajah rupawan. Akan tetapi, makna
sebenarnya adalah sindiran terhadap penjajah yang saat itu mempengaruhi
masyarakat Banyuwangi sampai seperti orang jatuh cinta. Kemudian beberapa
kutipan pendukung seperti berikut.
Tebu gala. Ditandur pinggir pendopo. Niba niba. Yo polahe wong keneng
guna
―Tebu gala. Ditanam di pinggir pendapa. Jatuh bangunnya. Ya karena
orang terkena guna-guna‖ (PSO/MSP/KA3)
Tebu mangli. Yo ditandur pinggir kali. Mbrebes mili. Njaluk kawin ulan
aji
‗Tebu Mangli. Ya ditanam dipinggir sungai. Menangis. Minta kawin di
bulan haji‘ (PSO/MSP/KA4)
63
Gending ini mengisyaratkan bahwa saat penjajah datang masyarakat
Banyuwangi, khususnya para pejabat daerah, terpengaruh dengan omongan
mereka, sehingga Banyuwangi dijajah dan diberi kesengsaraan.
4.3 Fungsi Seni Pertunjukan Seblang Olehsari
Selain memiliki makna seni pertunjukan, Seblang juga memiliki fungsi
petunjukan. Secara umum, pertunjukan Seblang memiliki fungsi yang beragam.
Beberapa fungsi pertunjukan yang terdapat pada Seblang Olehsari antara lain: (a)
fungsi sipritual, (b) fungsi sosial, (c) fungsi pendidikan, dan (d) fungsi estetis. Lebih
jelasnya adalah sebagai berikut.
4.3.1 Fungsi Spiritual
Spriritual memiliki arti sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan (rohani,
batin). Fungsi spiritual dalam pertunjukan Seblang yaitu sebagai tolak bala. Selain
itu, pertunjukan ini memberikan ketenangan bagi warga agar tidak was-was (cemas)
akan datangnya bahaya pada desa Olehsari. Di samping itu, pertunjukan Seblang juga
berfungsi sebagai pengenang jasa para leluhur atau pahlawan yang saat itu berjuang
untuk tanah Belambangan.
Leach (dalam Rostiyanti, 1994/1995: 109) mengatakan melalui diagram
gambar tentang fungsi spiritual yaitu manusia melalui upacara kemudian sampai
kepada Tuhan. Berdasarkan diagram tersebut, fungsi spiritual adalah suatu yang
berguna untuk mengkomunikasikan antara manusia dan Tuhan. Terdapat beberapa
kutipan dalam narasi Seblang yang terkait dengan fungsi spiritual.
64
Gebyar-gebyur. Geni murup ring perahu. Urubno ring wono cinde. Kang
tumandang nglasani
‗Gebyar gebyur. Api hidup di perahu. Tukarkan di wono cinde. Yang
tumandang nglasani‘ (PSO/FSP/FR1)
Makna gending diatas yaitu api yang membara di perahu, tukarkanlah dengan
kesabaran, kekuatan, dan kemampuan yang maksimal karena yang Maha Melihat
akan meridhoi. Dengan mengetahui maknanya maka akan terlihat fungsi spiritual di
sini, yaitu dimana manusia hanya bisa berusaha sekuat mungkin dan Tuhan yang
akan memberikan mengatur segalanya. Arti kata Yang Maha Melihat yaitu Tuhan,
dan yang melakukan ikhtiar adalah manusia dengan cara melakukan apapun
semaksimal mungkin.
Selain itu, fungsi spiritual juga terdapat pada kutipan-kutipan gending berikut.
Condro dewi. Morto siyam. Moro mundur. Moro mundur. Kembyang
petetan”
‗Dewi Rembulan. Datanglah. Tiba tiba tumbuh bibit bunga‘
(PSO/FSP/FR2)
Pada gending condro dewi juga terdapat fungsi spriritual yaitu berisi tentang
permohonan kepada ‗Condro Dewi‘ agar mendatangkan kebaikan. Condro dewi
adalah dewi bulan. Masyarakat percaya bahwa dewi bulan merupakan sebutan bagi
sang penguasa jagat ini (wawancara, 12 Januari 2017). Fungsi tersebut terdapat juga
dalam gending berikut.
Agung agung. Kulo nyuwun sepuro. Mendung wetan, mendung kulon.
Udan-udan sore resa-rese
‗Agung-agung. Saya mohon ampun. Mendung dari selatan, mendung dari
barat. Hujan sore rintik-rintik‘ (PSO/FSP/FR3)
65
Agung-agung yang atinya Yang Maha Besar. Agung adalah sebutan yang
diberikan masyarakat untuk Tuhan. Kalimat kedua disusul dengan kata kulo yuwun
sepuro yang artinya ‗saya minta ampunan‘. Di sini juga tergambarkan bagaimana
hubungan manusia dengan Tuhan. Dua kutipan terakhir diatas juga berhubungan
kepercayaan masyarakat Banyuwangi yang pada jaman dahulu masih sangat kental
dengan kepercayaan animisme, sehingga pengaruh tersebut masih sangat besar bagi
masyarakat Banyuwangi.
4.3.2 Fungsi Sosial
Berdasarkan makna sosialnya, fungsi sosial juga memiliki beberapa unsur
yaitu fungsi pertunjukan Seblang bagi para pelaku seni, para pendukung seni, dan
para penikmat seni. Fungsi pertama dilihat berdasarkan pendapat dari para pelaku
seni. (1) bagi dukun, Seblang adalah cara berkomunikasinya masyarakat dengan para
leluhur. Ditandai dengan adanya kejiman yang dianggap tolok ukur komunikasi yang
harus dilakukan sebelum melakukan persiapan pertunjukan Seblang. (2) fungsi
pertunjukan bagi penari Seblang, pertama penari akan mendapatkan berkah yang
banyak dari para leluhur. Kedua, penari akan mendapatkan uang dari penonton,
warga sekitar dan pejabat desa. Ketiga, penari akan menjadi ikon Seblang dalam
rangkaian acara hari jadi Banyuwangi selama satu tahun. (3) bagi masyarakat sekitar,
fungsi Seblang yaitu untuk mempererat tali solidaritas antar masyarakat baik dalam
desa maupun luar desa. Selain itu masyarakat juga percaya semua rangkaian
pertunjukan Seblang, sehingga bagi masarakat fungsi Seblang juga sebagai tolak bala
66
dengan mengadakan syukuran. Bagi para pejabat desa dengan diadakannya
pertunjukan ini maka akan menjadi sebuah pelestarian seni dan adat kebudayaan
masyarakat Banyuwangi. (4) bagi para penonton khususnya luar desa selain menjadi
hiburan juga menjadi ladang berkah, baik dalam urusan pribadi maupun keluarga.
Selain itu beberapa penjual yang besaral dari dalam maupun luar desa, pertunjukan
ini berfungsi sebagai tambahan pemasukan dihari Raya Idul Fitri.
Terlepas dari itu, dari sisi narasi yang disampaikan dalam pertunjukan juga
terdapat fungsi sosial seperti dalam gending berikut.
Petung wuluh barise. Sifat kang kumandung. Yo rengcotet akeh wong
bagus. Ngelakoni loleng-loleng
‗hitung gading bambu banyaknya. Sifat yang tidak baik. Ya meskipun
banyak orang bagus (ganteng). Melakukan yang tidak-tidak‘
(PSO/FSP/FS1)
Pada lagu diatas terdapat pesan yang ingin disampaikan yaitu sifat kang
kumandang yang artinya sifat yang tidak baik, yang harus dibuang, karena orang
bagus (ganteng) masih banyak yang menyimpang. Petung wuluh barise memiliki
maksud jangan suka menghitung kebaikan diri sendiri. Fungsi sosial dari penggalan
gending adalah memberikan peringatan bahwa tidak akan baik jadinya jika, tetap
melakukan hal yang menyimpang.
Punjari. Kembang pengastul. Kang becik yo riko kembang. Duren
sangkal yo layan-layun. Lentak-lentok
‗Punjari. Bunga Keramat. Yang baik ya kamu bunga. Duren bertangkai
kapak ya berayun ayun. Goyang-goyang‘ (PSO/FSP/FS2)
67
Gending di atas merupakan simbol dari diri manusia yang harus selalu
menjaga sikap kepada sesama manusia. Karena pada dasarnya, manusia adalah
makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Gending ini
diceritakan bagaimana jika suatu yang keramat haruslah dijaga seperti saling
menghormati kepada sesama maupun kepada lingkungan. Artinya, pada para
pahlawan yang begitu suci sebab pengorbanannya yang dirasakan sampai sekarang
(wawancara, 12 Januari 2017).
4.3.3 Fungsi Pendidikan
Pendidikan yaitu upaya pengajaran, pelatihan, dan proses menjadi lebih baik.
Fungsi pendidikan sangat terlihat jelas pada unsur-unsur yang ada pada pertunjukan
Seblang. Dalam narasi Seblang, akan didapatkan pendidikan berupa sejarah tanah
Belambangan hingga sekarang menjadi Banyuwangi. Hal ini dibuktikan melalui
gending gending yang dilantunkan oleh para sinden. Sebagai pelajaran yang bisa
dipetik yaitu agar tidak terjadi hal serupa di Banyuwangi—seperti yang terdapat pada
narasi—dengan masa depan yang putra putrinya semakin cerdas. Selain itu, dapat
dipelajari juga bagaimana kebudayaan yang ada di Banyuwangi menjadi anugerah
dan harta paling indah yang dimiliki Banyuwangi. Dalam narasi Seblang ini terdapat
kutipan-kutipan yang diduga kuat mengandung unsur fungsi pendidikan, seperti
pendidikan agama, budi pekerti, serta sejarah Bayuwangi.
Agung agung. Kulo nyuwun sepuro. Mendung wetan, mendung kulon.
Udan-udan sore resa-rese
‗Agung-agung. Saya mohon ampun. Mendung dari selatan, mendung dari
barat. Hujan sore rintik-rintik‘ (PSO/FSP/FP1)
68
Pada gending diatas, terdapat pengetahun agama yaitu tentang memohon
ampunan kepada Tuhan. Makna tersirat dalam gending tersebut yaitu permohonan
ampun kepada Tuhan Yang Agung agar terhindar dari mendung wetan mendung
kulon yang artinya bahaya dari timur maupun barat. Selain itu, terdapat pula
pendidikan karakter yang disampaikan dalam narasi Seblang.
Petung wuluh barise. Sifat kang kumandung. Yo reng cotet akeh wong
bagus. Ngelakoni loleng-loleng
‗Hitung gading bambu banyaknya. Sifat yang tidak baik. Ya meskipun
banyak orang bagus (ganteng). Melakukan yang tidak-tidak‘
(PSO/FSP/FP2)
Sangat jelas terlihat pendidikan karakter yang disampaikan dalam gending di
atas yaitu tentang sifat buruk yang harus dibuang. Gending tersebut bercerita tentang
sifat manusia yang meski terlihat bagus tetapi melakukan hal yang buruk. Hal yang
dimaksud adalah perbuatan yang melenceng atau semua hal yang bersifat negatif.
Selain itu fungsi pendidikan yang terdapat dalam narasi Seblang yaitu pengetahuan
tentang sejarah Banyuwangi.
Podo nonton. Pundak sempal ring lurung yo pandite. Pundak sempal,
lambeyane poro putro
‗Sama-sama menyaksikan.Bunga pudak(pandan wangi) berserakan
dijalan kebanyakan.Bunga pudak(pandan wangi) lambaiannya para putra
(Belambangan)‘ (PSO/FSP/FP3)
Bersadarkan makna yang dalam gending podo nonton pundak sempal yaitu
Seblang mengajak para penonton untuk menjadi saksi perjuangan putra Belambangan
yang gugur dalam peperangan melawan penjajah. Hal ini menjadi sumber
69
pembelajran sejarah yang diterima oleh penonton dalam petunjukan Seblang.
Kemudian terdapat gambaran perempuan Belambangan yang saat itu hidupnya dalam
tekanan.
Kembang gadung. Segulung ditawa sewu. Nora murah nora larang. Kang
nowo kang adol kembang. Yo bariso neng temenggungan. Sun iring iring
payung agung. Lakonane membyat mayun
‗Bunga gadung. Seikat ditawar seribu. Tidak murah tidak mahal. Yang
menawar yang menjual bunga. Ya barisnya di depan. aku iringi payung
yang besar. Jalannya berayun ayun‖ (PSO/FSP/FP4)
Perempuan Belambangan pada masa penjajahan dijadikan gundik atau
diperjual belikan karena mereka dipaksa oleh para penjajah. Saat penjajahan banyak
para perempuan yang mati bunuh diri karena tertekan batinnya. Mereka lebih
memilih mati dari pada harus dijual kepada penjajah (wawancara, 21 Desember
2016).
Layar kumendung. Ombak umbul ring segoro. Segarane yo tuan Agung.
Tumenggung nunggang kereta
‗Layar yang tertutup mendung.Gelora ombak di samudra. Samudranya
tuan penguasa. Para penguasa menaiki kereta‘(PSO/FSP/FP5)
Gending layar kumendung menceritakan sejarah masukanya penjajah ke tanah
Belambangan melalui jalur laut dengan menggunakan perahu.
Kembang Abang. selebrang tiba ring kasur Mbah Teji balenana. sun
enteni ning paseban. Paseban Agung, Kidemang mangan nginum.
Sleregan wong ngunus keris. Gendam gendis kurang abyur
‗Kembang merah. Bertaburan jatuh ke tempat peristirahatan Mbah Teji.
kutunggu di depan sekali. Di Pendapa Agung. Para penguasa makan dan
minum. Gemerincing senjata (keris) dihunus. Laksana gula Jawa yang
mencair‘ (PSO/FSP/FP6)
70
Mbah Teji merupakan sosok pahlawan yang membela Belambangan hingga
titik darah penghabisan. Kata teji merupakan implementasi yang melekat pada
pahlawan yang menaiki kuda atau disebut pahlawan berkuda. Teji adalah kuda dalam
bahasa sansekerta. Kata yang mengambarkan makam yaitu Selebrang tibo ring kasur
Mbah Teji Balenana yang artinya ‗bertaburan jatuh ke tempat tidur Mbah Teji‘.
Dalam gending ini juga terdapat fungsi pendidikan—selain mengenal Mbah
Teji yang merupakan istilah dari pahlawan yang menungangi kuda—terdapat juga
ungkapan bahwa kita harus mengulangi lagi untuk terus menaburkan bunga pada
makamnya sebagai rasa terima kasih.
Tebu gala. Ditandur pinggir pendopo. Niba niba. Yo polahe wong keneng
guna
‗Tebu gala. Ditanam di pinggir pendapa. Jatuh bangunnya. Ya karena
orang terkena guna-guna‘ (PSO/FSP/FP7)
Pada kutipan gending diatas menunjukkan bahwa pada saat penjajahan
tersebut, masyarakat Banyuwangi terkena hasutan dan guna-guna dari para penjajah.
Hal ini juga dibuktian dalam gending berikut.
Emping-emping.Emping lare cilik.Manjer keleng yo muduno.Polae wong
keneng guno
‗Emping-emping.Emping anak kecil.Pasang kiling ya turunlah.Karena
orang terkena guna‘ (PSO/FSP/FP8)
Kedua gending tersebut merupakan penggambaran hancurnya masyaakat pada
saat masa penjajahan. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh dan janji manis yang
diberikan penjajah kepada masyarakat. Masyarakat termakan janji yang bak emas
permata untuk Bayuwangi.
71
Berdasarkan pemaparan di atas fungsi pendidikan dalam pertunjukan Seblang
Olehsari sebagian besar ingin menunjukan sejarah Banyuwangi melalui seni
pertunjukan agar sejarah tesebut dapat dikenang sampai anak cucu dan generasi
berikutnya. Hal terpenting adalah masyarakat Banyuwangi masih sangat peduli
terhadap pendidikan sejarah. Masyarakat percaya kata bijak Ir. Soekarno bahwa
bangsa yang baik adalah bangsa yang mengenal sejarahnya.
4.3.4 Fungsi Estetis
Semua bentuk seni pertunjukan memiliki fungsi keindahan tertentu,
khususnya bagi yang menyaksiskan pertunjukkan tersebut. Setiap seni pertunjukan,
memiliki hal yang sangat ditunggu-tunggu, seperti pada bagian klimaks dalam
pertunjukan Jaranan. Pada pertunjukan Seblang Olehsari, fungsi estetik sudah
terlihat dari proses pertama kali memasuki panggung atau arena pertunjukan. Sisi
estetis yang murni telah dimiliki Seblang Olehsari, yaitu menari dengan tidak
sadarkan diri dan dilakukan 3-4 jam selama tujuh hari. Selain itu bentuk dan gerak
Seblang yang tetap pada setiap petunjukannya merupakan bentuk estetika gerak yang
muncul dalam pertunjukan Seblang Olehsari.
Seni pertunjukan akan memiliki fungsi estetis karena bertanggung jawab
kepada para pembeli karcis. Logikanya seseorang atau penonton membeli karcis
bertujuan untuk menikmati pertunjukan yang indah, dalam pandangan mereka. Oleh
sebab itu, gedung pertunjukan selalu mengalami renovasi untuk mengikti zaman.
Soedarsono (1998:113) mengatakan bahwa sebagai pertunjukan yang harus diatur
72
penikmatnya, gedung pertunjukan diubah mengikuti model panggung pertunjukan
prosenium yang datang dari Eropa.
Begitu pula dengan pertunjukan Seblang Olehsari, keindahan pertunjukan
akan berpengaruh bagi para penonton yang menikmati. Keindahan juga terlihat dari
pakaian yang digunakan penari Seblang dalam pertunjukan. Pakaian yang digunakan
Seblang mengalami perbaikan dari adanya hiasan tambahan pada aksesoris kemben
yang digunakan Seblang maupun sewek yang digunakan.
Pada masa penjajahan, baju yang digunakan Seblang adalah sewek yang
sekaligus menjadi kemben, hanya dibatasi oleh ikat pinggang atau biasanya disebut
stagen. Hal ini juga terjadi pada pakaian yang digunakan sesepuh dan sinden.
Sebelumnya pakaian yang digunakan sinden dan sesepuh bukanlah seragam seperti
sekarang tetapi baju yang digunakan sehari hari. Dalam perkembangannya, estetika
pakain yang dikenakan Seblang terletak pada baju yang dikenakan setiap harinya
memiliki warna yang berbeda dengan model dan warna yang seragam, serta sesuai
dengan kontras dengan warna pakaian Seblang (wawancara, 12 Januari 2017).
Selain itu, untuk kepentingan penikmat pertunjukan Seblang, tata pertunjukan
diubah menjadi lebih elok, seperti arena pertunjukan yang sekarang sudah berbentuk
bangunan dan membentuk lingkaran. Arena pertunjukan tersebut mendapat perbaikan
agar penonton yang menyaksikan dapat lebih leluasa. Dalam konteks ini, Bapak
Misro selaku dukun dalam pertunjukan Seblang memberikan alasan pembangunan
arena pertunjukan dilakukan demi kenyamanan penonton (Wawancara, 18 Juli 2016).
Dulu arena pertunjukan hanya dilakukan di tanah dengan penonton yang berdiri
73
membentuk lingkaran, sehingga banyak penonton yang berada pada bagian belakang
tidak leluasa melihat perunjukan.
Fungsi estetis lain terlihat dalam pementasan Seblang yang mengalami
perbaikan dari tahun ke tahun. Fungsi ini juga membuat para penonton menjadi lebih
antusias terhadap pertunjukan Seblang. Meski demikian, sisi estetis yang dimiliki seni
pertunjukan Seblang Olehsari tetap terjaga dari segi penyajiannya, yaitu menari
dengan tidak sadarkan diri.