BAB IV Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan...
Transcript of BAB IV Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan...
BAB IV
Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton
a. Terbentuknya Barata Kulisusu
1. Pengertian Barata dan Awal Terbentuknya
Dalam penelitian ini mengapa masih perlu penjelasan tentang Buton Utara
setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa
Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur
setelah terintegrasi dengan Kesultanana Buton yakni dengan terbentuknya barata
Kulisusu. Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah “buritan” maupun
dari “haluan”, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “
negara” Buton (darul butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal
menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada
masa sultan La Elangi. (waktu itu pula, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa
dilakukan keluar wilayahnya). Ada hubungan perluasan antara pengaruh Ternate
dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah
yang di kendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata,
perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, dapat dipahami munculnya gagasan
bahwa konsepsi mengenai kerajaan buton diambil dari struktur perahu. Perahu di
anggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita-
cita yang di harapkan.
Layaknya sebuah perahu yang mempunyai keseimbangan sehingga tidak
mudah goyang apalagi sampai terbalik. Konsepsi perahu yang dibayangkan
Kerajaan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang mempunyai dua sayap di
kanan dan dua sayap di kiri. Pada setiap pertemuan dua sayap dan pengapitnya
ada ikatan berfungsi sebagai penguat. Ke empat penguat tersebut barata. Dalam
bahasa Wolio, barata selain berarti “tenaga” atau “kekuatan” juga berarti ikatan
pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud dengan
penopang kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
(Zuhdi, 2010:120). Ke empat barata itu dinamakan barata patapalena artinya
barata yang ke empat. Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu
membantu dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama dalam bidang
pertahanan dan keamanan.
Dalam buku dokumenta yang diterbitkan oleh DPD Sulawesi Tenggara
dinyatakan bahwa “barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang bersiri
sendiri dalam lingkungan Kesultanan Buton, terdiri dari Kerajaan Muna, kerjaan
Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa, yang masing mempunyai dan
mengatur pemerinthannya sendiri (Anonim, tt:198). La Ode Zaenu menjelaskan
bahwa “barata” artinya diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak
apabila ada musuh yang mengganggu Buton, bertanggung jawab atas keamanan
masing-masing. (La Ode Zaenu, 1985:36) selanjutnya ia mengatakan pula bahwa
barata berarti susah (bergabung) yabarata yolipu artinya negara berkabung bukan
berarti ada kematian akan tetapi berkabung di sini berarti menghadapi huru hara
besar sebagai keadaan Buton saat itu (La Ode Zaenu, 1985:36) walaupun agak
berbeda redaksinya, arti kedua pernyataan di atas sebenarnya mempunya maksud
yang sama, yaitu barata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk
terutama untuk mengantisipasi segala macam ancaman dan gangguan terhadap
integritas wilayah dan kedaulatan Kesultanan Buton. Istilah yabarata yolipu boleh
jadi muncul pada waktu buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu di
anggap berkabung.
Keempat barata itu berkewajiban melindungi dari serangan musuh yang
datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan dari arah
timur sementara itu Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah
barat. Kedudukan dari ke empat barata itu juga merupakan fasal atau daerah
taklukan yang memberi keuntungan bagi Buton.
Pada umumnya ke empat barata itu masuk kedalam kekuasaan Buton
melalui penaklukan kecuali Kulisusu. Wilayah bagian timur Buton ini masuk
kedalam kekuasan Buton dengan jalan damai. Penduduk Kulisusu menyatakan
diri memeluk Islam sekitar awal abad ke-17, ketika sultan La Elangi mengadakan
kunjungan ke Kulisusu. Ketika itu sudah ada dua kampung yang berdiri yakni
Lampani dan Kancuancua. Pada masa La Ode Ode di Kulisusu yang tidak lain
adalah putra Sultan La Elangi, mulailah ditetapkan hak kekusaan sendiri Kulisusu.
b. Latar Belakang Terbentuknya Barata Kulisusu
Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa dikukuhkan sebagai
barata atau basis pertahanan kesultanan buton setelah pemerintahan sultan Dayanu
Ikhsanudin (sultan ke-4 Buton), namun kerja sama dibidang pertahanan antara
wilayah-wilayah barata dengan Buton jauh sebelum sudah terjalin yakni sejak
Sultan Murhum (Sultan I). Kerja sama ini dilatarelakangi gangguan dari serangan
bajak laut Tobelo (Ternate). Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa Buton
pernah mengalami tiga kali serangan dahsyat dari bajak laut Tobelo. Serangan
pertama terjadi pada masa pemeriritahan Tua Rade (Raja IV), serangan kedua
yang dipimpin La Bolontio, terjadi pada masa pemenintahan Raja Mulae (Raja V),
sedangkan serangan ketiga terjadi setelah Sultan Murhum berkuasa di Buton.
Serangan ketiga dipimpin Iangsung oleh Sultan Ternate, Baabullah. Narnun
serangan ketiga ini tanpa diperkirakan sebelumnya (unintended resuIt) pada
akhirnya menimbulkan persahabatan yang erat antara Buton dan Ternate.
1. Serangan Tobelo Masa Pemerintahan Tua Rade (Raja IV)
Meskipun Ternate menjadi sekutu bagi Buton akan tetapi Ternate sewaktu-
waktu menjadi ancaman dan gangguan Buton selama beratus-ratus tahun. Susanto
Zuhdi mengatakan bahwa di bawah komando VOC, Buton dan Ternate bersekutu
melawan Gowa. Akan tetapi pada waktu yang lain, keduanya berseteru. Ternate
selalu berusaha menganeksasi Kulisusu dan Pulau Wawoni yang dianggapnya
sebagai wilayah bagian utara kekuasaan Buton (Zuhdi, 2010: 11). Sampai abad
ke-19 ada tiga wilayah yang menjadi sumber sengketa Buton dan Ternate, yaitu
Wawoni, Tiworo, dan Kulisusu (Zuhdi, 2010 : 38-39).
Pasukan Ternate yang selalu mengganggu wilayah Buton adalah “bajak
laut” Tobelo. Susanto Zuhdi mengatakan bahwa bajak laut merupakan gejala yang
rnenjadi ancaman bagi kedaulatan Buton, terutarna dalarn segi ekonomi dan
peduduk. Bajak laut merampok dn merampas harta benda dan menculik orang-
orang sebagai budak maupun untuk komoditas perdagangan. Dalam ingatan orang
Buton, yang juga didukung sumber VOC, bajak laut merupakan trauma yang
berkepanjangan. Ancaman itu dirasakan baik oleh penguasa, maupun orang
kebanyakan terutama yang tinggal di pantai. Sumber tradisional banyak mencatat
kisah tentang “kepahlawanan” di lingkungan kekuasaan Baton yang berhasil
membebaskan suatu negeri dan serangan bajak laut, yaitu Tobelo (Zuhdi, 2013 :
14).
Di masa pemenintahan Tua Rade atau Raja IV untuk pertamakali Tobelo
melakukan serangan ke Buton. Sasaran utama dalam serangan ini adalah daerah-
daerah pesisir, utamanya Siompu dan Kadatua. Rakyat kedua daerah ini
rnenyelamatkan diri dari marabahaya dengan cara meminta perlindungan di
Kraton Buton. Orang-orang yang melarikan diri mendapat perlindungan dari raja
dan diberikan tempat pemukiman di Kraton Buton. Perkampungan-perkampungan
itu kemudian dikenal dengan nama Limbo Sambali, Limbo Melai, Limbo Rakia,
Limbo Gama, Limbo Wandailolo. Seluruh kekuatan kerajaan bersatu padu
menumpas bajak laut tersebut melalui pertempuran yang sengit. Penamaan limbo
(kampung) tersebut masing-masing rnengandung pengertian tersendiri sesuai
peristiwa yang terjadi pada saat itu.
Limbo Sambali artinya kampung luar (limbo=kampung; sambali=Iuar).
Dinamakan demikian karena bajak laut datangnya dari luar. Limbo Melai artinya
kampung mulai (melai=mulai), artinya bajak laut mulai menggempur Buton.
Limbo Rakia artinya kampung bagian (turakia=bagian) artinya bahwa orang-orang
yang ada di Siompu dan Kadatua adalah bagian dari Wolio (Buton) karena itu
harus dibela. Limbo Gama artinya kampung gema (goma=gema), artinya bahwa
peristiwa yang menggemparkan tersebut menggema di seluruh penjuru kerajaan.
Limbo Wandailolo artinya kampung angin laut (wondailolo=angin laut)
mengingatkan bahwa peristiwa tersebut datangnya dari arah laut, diantar oleh
angin laut (La Ode Zaenu, 1990 dalam Amasa, 1991: 45). Dalam pertempuran
tersebut para bajak laut dapat ditaklukan oleh pasukan Buton.
Setelah keadaan stabil kembali maka struktur pemerintahan mengalami
perubahan sesuai dengan pertambahan limbo-limbo tersebut. Sebelum kedatangan
bajak laut wilayah kerajaan hanya dibagi atas empat limbo (kampung) yaitu
kampung-kampung; Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, dan Barangkatopa yang biasa
disebut dengan istilah Pato Limbona (empat kampung). Dari Pata Limbona
ditingkatkan menjadi Sio Limbona (sembilan kampung) yang ditambah dengan
limbo-limbo tersebut di atas sehingga dijadikan sebagai Bonto Sio Limbona, yang
terdiri dari; Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Gundu-gundu, Bontona
Barangkatopa, Bontona Siompu, Bontona Melai, Bontona Rakia, Bontona Gama,
dan Bontona Wandailolo. Kesembilan bonto tersebut diangkat sebagai pengawas
dan pelaksana adat.
2. Serangan La Bolontio di Masa Pemerintahan Raja Mulae (Raja V)
Pada masa pemenintahan Raja Mulae, kehidupan rakyatnya sangat
makmur. OIeh karena itu Raja Mulae mendapat julukan Sangia Igola yang artinya
keramat yang manis (sangia=keramat/yang dihormati; igolo=gula/manis).
Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa hasil panen pada waktu itu
melimpah ruah. Kraton banyak sekali menerima pemberian-pemberian hasil bumi
sebagai tanda syukur rakyatnya. Namun pada saat ia memerintah ada suatu kabar
yang tidak menyenangkan, yaitu akan ada serangan besar-besaran di bawah
pimpinan salah seorang panglima perang Ternate yang berkedudukan di Banggai
bernama La Bolontio. Diriwayatkan bahwa La Bolontio adalah seorang panglima
yang sakti dan kebal. Dengan demikian ia digelari La Bolontio Kakadona
Banggai, artinya La Bolontio yang paling diandalkan di Banggai. Berita yang
menggemparkan seluruh wilayah Kerajaan Buton, bahwa suatu armada dari
Ternate yang dipimpin oleh Panglima La Bolontio, datang menggempur Buton. Ia
berhasil merampas setiap wilayah yang dilaluinya. Tujuannya ke Buton adalah
untuk menghukum atau membalas dendam terhadap pasukan Buton atas
kehancuran Tobelo pada waktu serangan pertama.
Mendengar berita yang menggemparkan itu, Raja Mulae menyusun
kekuatan untuk menghadapi armada Ternate. Diputuskan bahwa musuh yang
dihadapi harus dihadang di luar Kraton Buton. Keputusan ini diambil dengan
alasan bahwa, karena pasukan yang dihadapi itu sangat kuat. Apabila meluas
sampai di kraton akan terjadi kcpanikan di kalangan masyarakat, utamanya kaum
wanita dan anak-anak, bahkan diperkirakan akan menmbulkan kehancuran total,
sekalipun dihadapi dengan penuh ksatria dan dapat memenangkan pertempuran.
Sebagai medan pertempuran maka dipilihnya suatu tempat yang baik
sekali untuk mengadakan perang tanding di Boneatiro, suatu daratan luas dan rata.
Lokasinya di pinggir pantai, dasarnya pasir melulu, ditumbuhi alang-alang tandus.
Suatu tempat yang tepat sekali untuk permainan para ksatria untuk mengadu
kekuatannya. Raja Mulae serta seluruh pasukannya segera berangkat ke Boneatiro
menyongsong kedatangan armada panglima La Bolontio. Setelah Beberapa hari
armada Buton berada di Boneatiro maka datanglah bala bantuan dari kerajaan-
kerajaan tetangga seperti yang dituturkan oleh La Ode Zaenu, 1990 (dalarn Amasa
1991 : 48) bahwa, dalam menunggu kedatangan pasukan La Bolontlo datanglah
tiga orang ksatria yang membantu Buton yaitu Manjawari sebagai Oputa dari
Selayar, yang waktu itu Selayar dan Kabaena rnasih bersatu di bawah kekuasaan
Manjawari, Betoambari sebagai Raja Wajo yang daerahnya meliputi pantai-pantai
Boepinang sampai di Sua-sua, dan Lakilaponto sebagai anak dari Raja Muna.
Ketiga hulubalang tersebut datang bersama-sama untuk membantu Buton. Dalam
peperangan ini musuh dapat ditaklukan. Panglima La Bolontio tewas dalam suatu
perang tanding antara Lakilaponto (Murhum) dan La Bolontio. Sedangkan
pengikut La Bolontio langsung ditawan oleh Raja Mulae.
Seusai pertempuran tersebut Manjawari, Betoambari, dan Lakilaponto
diajak oleh raja untuk bersama-sama kembali ke Kraton Buton, yang disambut
dengan senang hati oleh seluruh masyarakat. Dalam kemenangan ini, Raja Mulae
rnemeritahkan untuk mengundang para ksatria Kabaena utamanya anak istri
Manjawari. Demikian pula halnya dengan Betoambari Raja Wajo. Utusan
istimewa dasampaikan untuk mengundang Sugimanuru Raja Muna sekeluarga
bersama Raja Tiworo sebagai kakek dan Lakilaponto yang bernama Kiy Jola
dengan memperistrikan Wa Randea. Kedua suami istri ini meninggal di Buton
yang dikuburkan di Gunung Wa Nepa-Nepa, Kecamatan Gu sekarang.
Kerajaan Tiworo, Muna, dan Buton sejak awal sudah membina
persahabatan yang erat, merupakan kerajaan bersaudara. Sebab sesungguhnya bila
ditelusuri silsilah raja-rajanya sesuai versi Buton maka ketiga kerajaan ini
memiliki pertalian darah. Lakilaponto yang lebih dikenal dan mashur dengan
nama Murhum, adalah anak dan Raja Muna Sugi Manuru dengan Watubapala.
Sugi Manuru berasal dan Sugi La Ende Raja Muna II atau juga dikenal beliau ini
dengan nama Sugi Mpeari, sedangkan Watubala berasal dan Kiy Jola dengan Wa
Randea. Sugi La Ende adalah anak dan La Eli Bata Laiworu yang juga disebut
Mobeteno Itombule atau juga Sugi Mpatani Raja Muna pertama. L.a Eli adalah
putra dari Sibatara dengan Wa Bokeo dan bersaudara sebapak dengan
Bulawambona Raja Buton II. Sedangkan Kiy Jola berasal dan Bataraguru Raja
Buton III, lalu Wa Randea dan La Tiworo Mobeteno Iparia dengan istrinya Wa
Sitao adalah putri bangsawan dari Konawe (Zahani, 1980, dalam Alihadara,
2010:54).
Selain adanya hubungan pertalian darah yang telah terjalin sebelumnya
para pembesar kerajaan secara bersama-sama mengadakan pendekatan dengan
kerajaan-kerajaan di sekitarnya demi keutuhan dan kesatuan kerajaan secara
keseluruhan terutama melalui pendekatan asimilasi. Untuk mengadakan
pendekatan dengan Kerajaan Kaledupa, maka anak raja Manguntu yang bernama
La Kuku dikawinkan dengan anak Raja Kaledupa, selanjutnya anaknya yang
perempuan dikawinkan dengan Kasawari anak Lakina Mancuana dan La Kabaura
anak La Maindo. Betoambari kawin dengan Wa Guruncangia anak raja
Manguntu, sedangkan anak perempuan Manjawari kawin dengan cucu raja
Manguntu. Demikian jalinan persahabatan masa Raja Mulae, sehingga setelah
kegagalan dan tewasnya La Bolontio, terjadilah perubahan struktur pemerintahan
demi rnemperkokoh persatuan dan kesatuan wilayah Kerajaan Buton. Sebagai
imbalan atas jasa para pahlawan yang secara langsung ikut dalam pertempuran
untuk mempertahankan Kerajaan Buton, maka untuk memperkuat hubungan,
selain dengan jalan perkawinan, juga dengan pemberian penghargaan berupa
jabatan-jabatan istimewa seperti Lakilaponto dikawinkan dengan anak Raja Mulae
bernama Wa Tampaidonga. Tidak lama sesudah perkawinan tersebut Raja Mulae
menyerahkan kekuasaan kepada Lakilaponto menjadi Raja Buton VI. Manjawani
diangkat sebagai Sapati I Kerajaan Buton merangkap dengan tugasnya semula
sebagai Opu di Selayar dan Kabaena. Begitu pula halnya dengan Betoambari,
selain diangkat sebagai Kenepulu I juga merangkap sebagai Raja Wajo.
3. Serangan Ternate di Masa Pemerintahan Raja VI (Sultan I)
Tradisi lisan menuturkan bahwa kekalahan Panglima La Bolontio sangat
berpengaruh terhadap Kerajaan Ternate. Seluruh daerah-daerah kekuasaan
Kerajaan Ternate bertekad bulat untuk menghancurkan Kerajaan Buton. Penguasa
Ternate pada saat itu adalah Sultan Baabullah. Dan nama ini berarti bahwa
Ternate saat itu sudah menganut islam. Sultan Baabullah dan seluruh
masyarakatnya sangat marah atas tewasnya La Bolontio, sehinga sultan bersama
rakyatnya sepakat untuk rnenggempur Buton. Dalam pertempuran ini sultan
sendiri yang akan memimpinnya. Panglima besar serta sebahagian besar angkatan
perangnya diperintahkan berangkat lebih dahulu menuju Buton, menyusun
formasi pertempuran di wilayah Buton, sambil menunggu kedatangan panglima
tertinggi yaitu Sultan Baabullah.
Berita yang cukup menggetarkan itu tiba pula di telinga penguasa Buton.
Sultan Buton, Murhum saat itu sangat risau mendengar berita yang sangat
menggemparkan itu. Meninjau situasi yang sangat genting saat itu, sultan merasa
perlu mengangkat pejabat tinggi pemerintahan di bidang pertahanan yakni kepala
angkatan perang serta menetapkan daerah-daerah otonom untuk sewaktu-waktu
dapat bertindak sendiri jika ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba. Maka
diangkatlah dua orang kepala angkatan perang yang disebut Kapitalao Matanaeo
(motanaeo=tempat terbit matahari atau timur) dan Kapitolao Sukanaeo
(sukanaeo=tempat terbenam matahari atau barat). Sebagai Kapitalao Matanaeo I
dangkat La Kabaura, sedangkan Kapitalao Sukanaeo I diangkat Katimanuru.
Daerah oparasi Kapitalao Matanaeo meliputi daerah Buton bagian timur,
sedangkan Kapitalao Sukanaeo meliputi wilayah Buton bagian barat. Kemudian
mengangkat pula empat daerah yang diberi tanggung jawab atas keamanan serta
keutuhan daerah masing-masing sekalian keutuhan Kesultanan Buton secara
keseluruhan, yang kemudian wilayah-wilayah tersebut diistilahkan Barata
Patapalena (barata empat bagian), yaitu Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Langkah selanjutnya adalah mengadakan musyawarah tertinggi yang
dihadiri oleh Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalao Matanaeo, dan Kapitalao
Sukanaeo. Dalam musyawarah itu ada beberapa keputusan yang langsung
diketengahkan dalam majelis, yaitu : (1) Pusat pertempuran adalah di Kulisusu;
(2) Kapitalao Matanaeo dan Kapitalao Sukanaeo supaya segera ke Kulisusu
menyusun garis strategi dan mengurus semua persiapan lainnya; (3) Seluruh
kekuatan kerajaan dipusatkan di Kulisusu; (4) Yang menjadi pemimpin
pertempurari adalah sultan sendiri (La Ode Zaenu, 1990, dalam Amasa, 1991: 52).
Setelah selesai musyawarah tersebut kapitalao dan rombongan
diperintahkan berangkat terlebih dahulu ke Kulisusu menyusun formasi tempur.
Tempat berlabuhnya pasukan Buton ini kelak diabadikan dengan nama Labuan
Wolio artinya tempat berlabuhnya orang-orang atau pasukan Buton (Wolio).
Sampai di ujung utara Kulisusu kapitalao serta rombongan melihat adanya kapal
Belanda berlabuh di Tampunakoro, ujung utara Kulisusu. Hal mana oleh armada
Buton menyangka bahwa kapal Belanda tersebut adalah bagian dari armada
Ternate. Maka tanpa pikir panjang serentak menggempur kapal Belanda tersebut
dan berhasil melumpuhkannya serta semua muatan kapal disita sebagai rampasan
perang, sedangkan anak buah kapal dibawa ke Kraton Buton sebagai tawanan
perang.
Sesudah peristiwa tersebut pasukan Ternate datang ke Buton. Mereka
tidak langsung mengadakan pertempuran, akan tetapi menunggu komando
Iangsung dari Raja (Sultan Baabullah) yang sementara ditunggu kedatangannya.
Panglima perang dan pasukan Ternate berlabuh di suatu teluk yang kelak
diabadikan dalam sejarah dengan nama Labuan Tobelo artinya pelabuhan orang-
orang atau pasukan Tobelo (Ternate).
Berselang beberapa lama datang tiga buah kapal tempur Belanda berlabuh
di sebuah tempat yang kelak dinamakan Labuan Walanda artinya pelabuhan
orang-orang atau pasukan Belanda, dengan tujuan menggempur Buton sebagai
balasan atas penyerangan kapal Belanda di Kulisusu serta hendak menyelamatkan
orang-orang Belanda yang tertawan. Setelah sampai di Buton Utara (sekitar
Kulisusu) mereka rnenyaksikan armada Ternate telah berlabuh di tempat tersebut,
ditandai dengan panji-panji yang ditancapkan di sepanjang pantai tempat mereka
berlabuh. Panji kebesaran Ternate di Labuan Tobelo menandakan disana ada
panglima besar Ternate.
Melihat keadaan yang demikian, Belanda menduga bahwa Buton
bersekutu dengan Ternate, dan sebaliknya pula Ternate menyangka bahwa ketiga
buah kapal perang ini adalah utusan Belanda untuk membantu Buton melawan
Ternate. Akibat dan kesalahdugaan tersebut maka pecahlah perang antara Belanda
dan Ternate. Dalam peristiwa tersebut Sultan Buton sempat bertemu dengan
Sultan Ternate, dan disaat itulah Sultan Ternate mendapatkan kepastian tentang
tujuan sesungguhnya ketiga kapal Belanda tersebut yaitu untuk menggempur
Buton. Olehnya itu pasukan Buton dan Ternate pada saat itu kemudian bersatu
melawan Belanda. Dalam pertempuran tersebut sebuah kapal Belanda dapat
ditenggelamkan, dan kedua kapal lainnya lolos mengundurkan diri. Sejak
peristiwa inilah awal terjadinya hubungan kerja sama antara Buton dan Ternate.
Sekembalinya Sultan Baabullah ke Tarnate dikawal oleh Kapitalao Matanaeo, La
Kabaura, dan beberapa hulubalang lainnya. lnilah yang disebut dalam sejarah
dengan istilah unintended result, artinya sesuatu yang terjadi tanpa diperkirakan
sebelumnya, sesuatu yang tidak terduga dan tidak direncanakan, terjadi di luar
skenario atau secara kebetulan yang dapat mengubah jalan sejarah.
Namun demikian Ternate selalu mengganggu Kulisusu. Artinya pada suatu
saat Ternate menjadi sekutu Buton dan saat yang lain Ternate tampil sebagai
seteru Buton yang harus dilawan, sasarannya selalu wilayah paling ujung uatar
Buton, yakni Kulisusu dan Pulau Wawonii. Karena wilayah ini secara langsung
berbatasan dengan Kerajaan Ternate. Labuan Tobelo, Labuan Walanda, dan
Labuan Wolio adalah daerah-daerah yang berada di daratan bagian barat laut
Buton Utara menghadap ke Pulau Wawonii. Hingga abad ke-19, Kulisusu dan
Pulau Wawonii selalu menjadi incaran Ternate. Dalam kaitan sekutu sekaligus
seteru ini, Ternate pernah diminta bantuannya oleh Sultan Buton, La Awu (1654-
1664), untuk membebaskan dua negeri Kulisusu dan Kumbewaha yang jatuh ke
tangan kelompok yang masuk ke jalan pengaruh Makassar. Gubernur Banda juga
meminta kepada Gubernur Ambon dan Gubernur Ternate untuk menghadapi
Kulisusu, karena seorang warga bebas (burger) Banda dibunuh oleh orang
Kulisusu. Maka Sultan Ternate, Mandarsyah, pada tahun 1663 merencanakan
untuk mengirim satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora dari Kepulauan Sula ke
Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu. Hasil
ekspedisi ini tidak diketahui. Akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk Kulisusu
tidak dikirim ke Ternate (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119). Sementara itu,
sesudah penandatanganan Perjanjian Bungaya tahun 1667, Kapitan Laut Reti
(Ternate) telah membawa orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690. Persoalan
yang menimbulkan konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan Buton dan
Ternate. Bagi Buton, Kulisusu merupakan salah satu baratanya, sedangkan bagi
Ternate orang Kulisusu dapat menarnbah penduduknya yang minim. Akan tetapi
tampaknhya, mereka dijadikan budak oleh orang Ternate di bawah para bobato.
Keluhan orang Kulisusu didengar oleh VOC dan menetapkan bahwa penduduk
Kulisusu tidak lagi menjadi warga VOC, tetapi warga Ternate, menjadi orang
bebas di dalam soa-siu (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119).
Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta historis sebagaimana dijelaskan
di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi cikal bakal terbentuknya Barata
Patapalena adalah karena adanya serangkaian gangguan dan serangan bajak laut
Tobelo (Ternate). Pembentukan barata sebagai salah satu basis pertahanan
Kesultanan Buton sudah dimulai sejak serangan Ternate di masa pemerintahan
Sultan I. Ketika itu penguasa Buton mulai mengadakan politik aliansi dengan
kerajaan-kerajaan disekitarnya yang bertujuan membina ketentraman bersama dan
menghadapi ancaman yang datang dari luar. Kerajaan pertama yang ditarik untuk
bergabung adalah Muna, kemudian menyusul Tiworo dan Kaledupa. Pada masa
pemerintahan Sultan IV, Dayanu lkhsanuddin, Kerajaan Kulisusu berhasil ditarik
secara damai melalui jalur perkawinan dan menyatakan diri bergabung dengan
Buton. Keempat kerajaan tersebut kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari
kerajaan Buton dengan status masing-masing sebagai barata. Ketentuan mengenai
struktur, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing barata tertuang dalam
Undang-U ndang Barata, bagian dan Konstitusi Martabat Tujuh.
c. Fungsi Barata Kulisusu
1. Bagian Strategi Perjuangan Islam
Ekspansi Buton ke wilayah-wilayah disekitarnya bukan didorong oleh
nafsu imperilisme seperti yang dilakukan oleh orang-orang Eropa, melainkan
yang menjadi motivasi utama adalah syiar Islam, perluasan dan pengembangan
Islam melalui apa yang dinamakan falsafah perjuangan Islam. Falsafah ini
sekaligus digunakan untuk menempa sernangat prajurit Buton dalam menghadapi
ancaman dari luar. Falsafah perjuangan Islam di Buton untuk pertama kali
dicetuskan oleh Sultan I, Murhum. Urutan-urutan falsafah perjuangan Islam
sebagaimana dikemukakan oleh Moersidi (1990) dalam Amasa (1991: 60) adalah
sebagal berikut:
Yinda-yindamo aratao somanomo karo;
Yindo-yindomo karo somanamo lipu;
Yinda-yindamo lipu somonomo yara;
Yinda-yindamo syaro somanamo agama.
Yindo-yindamo arataa somanamo koro artinya hilang-hilanglah harta
asalkan diri pribadi selamat. Arotaa (harta benda) baik yang dimiliki oleh orang
seorang maupun yang dimiliki oleh sekelompok orang wajib dipelihara. Namun
sewaktu-waktu harta benda dapat dikorbankan demi kesalamatan diri (karo).
Yindo-yindamo karo somanamo lipu artinya hilang-hilanglah diri asalkan
negara selamat. Setiap diri pribadi wajib dilindungi keselamatannya oleh negara
atau pemerintah akan tetapi setiap diri pribadi dapat dikorbankan demi
keselamatan bangsa dan negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa, bila
negara dalam keadaan bahaya, misalnya perang, maka rakyat wajib membela
negaranya walaupun dengan mengorbankan jiwa raganya. Azas ini bersumber dari
semangat juang dari para ksatria yang selalu menyiapkan jiwa raganya untuk
berjihad bagi keselamatan bangsa dan negaranya.
Yinda-yindamo lipu somanamo syara artinya hilang-hilanglah negara
asalkan pamenintahan selamat. Lipu atau negara adalah milik bersama seluruh
rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu negara wajib dipelihara, dilindungi dan
dipertahankan keutuhannya dan bahaya-bahaya yang mengancam dari manapun
datangnya. Namun apabila kepentingan yang lebih tinggi dan lebih utama
menghendaki yaitu keselamatan pemerintah (syara) maka bagian-bagian negara
tertentu bila keadaan terpaksa boleh dikorbankan.
Yinda-yindamo syara somanamo agamo artinya hilang-hilanglah
pemerintah asalkan agama selamat. Syara (pemerintah) menduduki urutan
tertinggi yang wajib diselamatkan sesudah lipu (regara). Namuri bila ada keadaan
yang sangat genting dimana keselamatan syara benar-benar sudah terancam, maka
pemenintah terpaksa menyerah demi keselamatan Agama Islam. Jadi, keselamatan
agama menjadi cita-cita tertinggi Kesultanan Buton. Kulisusu sebagai salah satu
barata Kesultanan Buton tentunya mengemban amanah tersebut. Artinya bahwa
apapun yang dimiliki oleh Kulisusu harus rela dikorbankan demi tegaknya Agama
Islam di Barata Kulisusu. Pengorbanan dimulai dari pengorbanan harta, diri,
negara, dan terakhir adalah pengorbanan pemerintah (syara). Apa saja yang
dimiliki oleh Barata Kulisusu boleh dikorbankan asalkan Agama Islam tetap tegak
berdiri. Disinilah letaknya Buton dengan perangkat baratanya sebagai negara
berdasarkan Islam.
2. Sebagai Bagian Strategi Pertahanan
Mengingat luasnya wilayah Kesultanan Buton maka dibangun suatu
strategi pertahanan yang kokoh dan tangguh. Sistem pertahanan yang dimaksud
adalah sistem pertahanan berlapis yaitu Bisa Potamiana, Lakina/Bobata, Matona
Soromba, Barata Patapaleno. Keempat basis pertahanan tersebut dikoordinasikan
oleh Kapitalao/Kapitaraja dari pusat. Jabatan Kapitalao/Kapitaraja sebagai
pemimpin di bidang pertahanan dan keamanan berjumlah dua orang, yaitu
bertugas di sebelah barat dan di sebelah timur kesultanan. Keduanya mengepalai
tentara yang berjumlah 77 orang. Kapitaraja hanya mengenal satu kali perintah
saja dari sultan, artinya tidak dapat kembali sebelum dapat melaksanakan
tugasnya. Kapitaraja membawahi beberapa jabatan keamanan seperti Barata,
Matana Sorumba, Lakina/t3obato, dan Bisa Patamiana.
Barata adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Keempatnya
disebut barata Potapaleno (barata empat bagian). Keempat borata ini diberikan
kekuasaan mengatur daerahnya sendiri, dengan Undang-Undangnya sendiri yang
dibuat atas persetujuan syara Buton. Diberikannya kekuasaan itu atas
pertimbangan keamanan, karena letaknya yang strategis bagi Kesultanan Buton.
Masing-masing barata berfungsi sesuai letaknya. Dikemukakan oleh Hazirun
Kudus dalam Amasa (1991: 68) bahwa, di bagian utara merupakan wilayah patroli
Barata Muna, di bagian timur wiayah patroli Barata Kulisusu, di bagian selatan
wilayah patroli Barata Kaledupa, sedangkan di bagian Barat wilayah patroli
Barata Tiworo. Maka jelaslah bahwa
Barata Kulisusu sebagai salah satu komponen dalam sistem pertahanan
Buton bertanggungjawab untuk mempertahankan Buton dari berbagai ancaman
dan gangguan yang datang dari arah timur seperti ancaman Ternate. Secara
geografis kawasan Barata Kulisusu secara Iangsung bersentuhan dengan wilayah
Kerajaan Ternate. Karena itu beberapa peristiwa penting serangan Ternate
terhadap Buton selalu terlehih dahulu diarahkan ke Barata Kulisusu.
Dalam tugas patroli setiap barato diwajibkan untuk memakai identitas
yang disebut dayalo dan sebuah bendera yang disebut tombi pagi sebagai tanda
pengenal dengan ketentuan bahwa apabila dari kejauhan diperkirakan telah
nampak ibukota Kraton Buton, maka doyalo dan tompi pagi tersebut harus
diturunkan. Sebagai pengenal lainnya masing-masing barata pula telah ditetapkan
tempat pelabuhannya yaitu: Muna berlabuh di Kanakea, Tiworo di Bonesala,
Kulisusu di Loji, dan Kaledupa di Kalampa. Aturan-aturan seperti ini merupakan
tindakan preventif untuk tetap menjaga keamanan.
Matana Sorumbo adalah suatu daerah kadie yang berfungsi sebagai ujung
tombak dalam menyerang musuh. Yang termasuk wilayah Matano Sorumba
adalah Lapandewa yang bertugas mengawasi keamanan dari arah utara, Wabua
mengawasi keamanan dari arah selatan, Mawasangka mengawasi keamanan dari
arah barat, dan Watumatobe mengawasi dari arah timur (La Boci, 1988, dalam
Alihadara, 2010:62). Daerah ini dijadikan Matana Sorumba, juga atas
pertimbangan keamanan karena letaknyapun strategis. Melalui Matona Sorumba
inilah, apabila daerah barata tidak dapat mempertahankan diri dari serangan
musuh, maka segera diutus untuk membantu, sesuai dengan pembagian wilayah
patrolinya masing-masing.
Bisa Potamiano sebagai salah satu pertahanan keamanan yang melindungi
negara dan pemerintah bersama rakyatnya dari ancaman musuh yang datang dari
luar maupun dari dalam kesultanan. Pertahanan mi dilakukan secara batiniah
dalam arti bahwa, meramalkan situasi yang akan terjadi di masa mendatang.
Jumlah bisa ini ada empat orang sehingga disebut Bisa Patamiana (bisa empat
orang), masing-masing adalah Mojina Silea, Mojina Peropa, Mojina Kalau, dan
Mojina Waberongalu. Talombo berfungsi sebagai pengamanan dan pelaksana
hukuman potong tangan (pande tatolima). Hukuman potong tangan ini
dilaksanakan bila seseorang melakuan pencurian. Selain itu Talombo juga
berfungsi sebagai pengamanan jalannya suatu pertemuan resmi. Sebagai lapisan
terakhir pertahanan adalah benteng kerajaan yang sekaligus sebagai tempat
peralatan dan persenjataan dilengkapi dengari gode, yaitu suatu tempat untuk
peralatan senjata, baluara, sebagai tempat pertahanan bila ada musuh yang datang
menyerang; Lowana Kompebuni (pintu rahasia) sebuah pintu yang langsung ke
tempat lain di luar benteng.
4. Fungsi Politik
Barata Kulisusu secara struktural mengakui Buton sebagai pusat
pemerintahannya. Meskipun barata diberikan hak otonorn untuk mengatur
pemerintahannya sendiri, undang-undangnya sendri namun dilakukan atas
persetujuan Sultan Buton. Dalam UU Barata ditetapkan pejabat-pejabat yang
nama dan fungsinya sama seperti yang ada pada Syara Kesultanan Buton namun
tidak lengkap seperti yang ada dalam pemerintah pusat, bisa lengkap bila keempat
barata tersebut disatukan. Dengan kondisi seperti ini maka tiap-tiap barata
diwajibkan untuk selalu berkonsultasi dengan aparat pemerintahan pusat.
Pejabat Barata Kulisusu dipilih dan diangkat dari barata itu sendiri namun
atas persetujuan Sultan Buton. Pada saat-saat tertentu jabatan Lakina Barata dapat
diambil alih oleh penguasa pusat dalam rangka pengamanan wilayah, namun bila
keadaan mulai stabil maka jabatan tersebut diserahkan kembali pada barata. Hal
ini pernah terjadi pada saat Muna ingin melepaskan diri dari Kesultanan Buton.
5. Fungsi Ekonomi
Fungsi Barata Kulisusu di bidang perekonomian dapat dilihat dan sistem
perpajakan yang ditetapkan oleh Kesultanan Buton. Khusus wilayah barata,
termasuk Kulisusu pajak yang paling diutamakan adalah pajak perdagangan.
Ketetapan pajak yang telah digariskan dalam Undang-Undang Barata tidak sama
untuk setiap barata, tetap disesuaikan dengan penghasilan yang ada di tiap-tiap
barata tersebut. Ketetapan pajak khususnya di bidang perdagangan biasa disebut
dengan istilah Jawana Barata. Jawana Barata Kulisusu untuk setiap tahunnya
adalah sebesar 45 boka (Zahari, 1980: 131 — 132).
Selain ketetapan-ketetapan di atas terdapat pula ketetapan-ketetapan
lainnya yang ada kaitannya dengan perekonomian. Dalam UU Barata dinyatakan
bahwa semua pedagang asing yang ada di perairan barata tidak diperkenankan
dimintai bea, sekalipun kapitalao dari kesultanan sementara bertugas, kecuali atas
izin Sultan Buton. Demikian pula halnya dengan pedagang-pedagang dari Buton
yang berada di barata tidak dibenarkan untuk tinggal di barata tanpa ada suatu
keterangan dari Sultan Buton secara resmi.
6. Fungsi Sosial Budaya
Barata Kulisusu yang sebelumnya merupakan kerajaan yang berdiri sendiri
telah memiliki kader-kader prajurit yang tangguh dalam persiapan terjun ke
medan perang. Kerajaan Kulisusu sejak dahulu kala sudah merupakan pelaut-
pelaut yang ulung. Strategi perang kemaritiman bukanlah hal yang baru bagi
mereka. Oleh karena itu di samping letaknya yang strategis sebagai barata juga
memiliki manusia-manusia yang punya potensi di bidang pertahanan dan
keamanan. Di lain pihak Barata Kulisusu memiliki andil besar dalam siar Islam,
yang mana dalam benteng istana barata dilengkapi dengan sebuah bangunan
masjid yang cukup megah untuk ukuran saat itu yang merupakan pusat kegiatan
pengembangan Islam, dalam kaitannya dengan upaya pembinaan kader mubaligh
yang menjadi motor penggerak Islam ke seluruh wilayah kekuasaan barata. Para
mubaligh menduduki posisi yang terhormat dalam masyarakat, lebih-lebih karena
kemampuan menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat dan dapat menyatu
dengan mereka.
d. Benteng Lipu, Kraton Kulisusu
1. Sebagai Pusat Pemerintahan Barata Kulisusu
Barata Kulisusu sebagai suatu unit pemerintahan tentu mempunyai pusat
kegiatan dan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamakan Kraton Kulisusu
yang dilindungi oleh sebuah benteng yang sangat kokoh. Benteng Kraton
Kulisusu atau Benteng Lipu yang terletak di lingkungan Wapala Lakonea
Kecamatan Kulisusu merupakan salah satu peninggalan sejarah dan budaya yang
mulai dibangun sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 oleh Lakina
Kulisusu pertama, La Ode-Ode.
Nama Benteng Lipu berasal dari kata “Lipu” yang berarti pusat
pemukiman masyarakat. Dari tempat ini kehidupan masyarakat berkembang
sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Pemukiman ini muncul sebagai
jawaban atas tuntutan dan tantangan masyarakat yang tadinya hidup berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan mereka.
Perkembangan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan yang harus
dipenuhi adalah tuntutan secara alamiah dan manusiawi untuk dipenuhi.
Pemenuhan tersebut hanya dapat dilaksanakan manakala masyarakat terintegrasi
dalam bentuk organisasi sosial yang terpusat pada suatu ruang atau tempat yang
dianggap strategis. Ini merupakan faktor internal yang merupakan latar belakang
serta motivasi dasar dibangunnya Benteng Lipu. Sejalan dengan hal tersebut maka
pada saat yang bersamaan muncul kebutuhan akan perlunya stabilitas dan
keamanan dalam kehidupan masyarakat dari berbagai tantangan, ancaman, dan
gangguan baik dari dalam maupun dari luar.
Serangan bajak laut dari utara dan timur yang disebut Tobelo merupakan
gangguan dan ancaman stabilitas yang datangnya dari luar sehingga untuk
melindungi masyarakat Kulisusu yang terkosentrasi di Lipu diperlukan kekuatan
untuk melindungi masyarakat dalam bentuk benteng. Tradisi lisan menuturkan
bahwa ide awal untuk membangun benteng muncul dari La Kodangku yang
rancangannya lebih luas dan yang ada sekarang dengan mempertimbangkan
berbagai aspek perkembangan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan
budaya serta pertahanan dan keamanan. Rancangan tersebut membutuhkan waktu,
tenaga, serta biaya yang cukup besar. Oleh tokoh Gaumalanga menganggap
bahwa pemikiran tersebut terlalu ideal sementara kebutuhan masyarakat akan
terbangunnya sebuah benteng semakin mendesak sehingga pada saat La
Kodangku turun ke laut mencari tempat untuk pemasangan sero (toamano bala),
kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gaumalanga untuk mengerahkan tenaga guna
membangun benteng tersebut (Abu Hasan, 1989: 54). Namun demikian ukurannya
diperkecil dari ukuran yang telah dirancang oleh La Kodangku yang mencakup
dari ee bula di sebalah barat hingga ee mataoleo di sebalah timur masuk dalam
kawasan benteng yang direncanakan oleh Kodangku. Akibat perubahan itu
Kodangku marah besar dan berwasiat kepada syara bahwa kelak ketika ia wafat
jangan dikebumikan di dalam benteng (Rahmat, Desember 2010). Karena itu
makam Kodangku masih dapat disaksikan keberadaannya di luar benteng pada
posisi sekitar 150 meter dari benteng Lipu.
e. Struktur Pemerintahan Barata Kulisusu
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kerajaan-kerajaan Muna,
Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa telah mengadakan persekutuan dalam hal
petahanan dan keamanan bersama, untuk mempertahankan diri dari berbagai
serangan yang datang dari luar. Semula persekutuan ini dibentuk atas dasar
persetujuan dan kepentingan bersama tanpa ada aturan yang sifatnya mengikat.
Akan tetapi pada masa kekuasaan Sultan Dayanu lkhsanuddin, kerajaan-kerajaan
tersebut dikukuhkan sebagai bagian dan Kesultanan Buton dengan status dan
nama Barata Patapalena.
Untuk mengatur dan mengendalikan sistem pemerintahan maka pertama-
tama Lakina Barata harus berkedudukan di dalam benteng (Kraton Barata), di
dalam sebuah istana yang dinamakan kamali sedangkan tempat musyawarah atau
balai pertemuannya dinamakan baruga di depan mesjid kuno di Benteng Lipu. Di
kedua tempat inilah ditetapkan berbagai kebijakan pemerintahan barata
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yaitu Syarana Barata (Undang-
Undang Barata). Untuk melaksanakan setiap keputusan syara (pemerintah), maka
struktur pemerintahan disusun sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dengan pertimbangan aspirasi yang berkembang dan setiap wilayah
pemerintahan yang lebih kecil.
Undang-Undang Barata dibuat dan ditetapkan oleh Syara Buton dengan
selalu mempertimbangkan kondisi setiap barata itu sendiri. Pada tiap-tiap barata
dibentuk pula jabatan-jabatan yang nama dan gelarnya seperti yang ada pada
Syora Buton, akan tetapi tidak lengkap seperti yang ada pada pemerintahan pusat
kecuali keempat barata itu disatukan semua baru bisa sama dengan struktur
pemerintahan pusat Kesultanan Buton. Misalnya di Barata Muna hanya ada
jabatan kopitalao, sedangkan jabatan-jabatan lainnya seperti kenepulu ataupun
bonto ogena tidak ada. Di Tiworo hanya ada jabatan sapati, di Kulisusu hanya ada
kenepulu dan di Kaledupa hanya ada bonto ogena. Struktur inti pemerintahan
Barata Kulisusu menurut Syarana Barata menurut Zahari, 1980 (dalam Alhadara
2010:83). adalah sebagai berikut:
(1) Lakina Kulisusu (Raja Kulisusu).
(2) Kenepulu.
(3) Bontona Kampani.
(4) Bontona Kancua-ncua.
(5) Kapitana Lipu
Berikut adalah daftar nama-nama Lakina Kulisusu dan periode
kekuasaannya; La Ode-Ode gelar Sangia Eh (1620-1670), La Ode Kampulu gelar
Tasau Ea (1670- 1710), La Ode Murhum gelar Sangla Ibangkudu (1710-1745), La
Ode Bahira gelar Mokawana Lelena (1745-1775), La Ode Sampe gelar Sangia
Mataoleo (1775.1800), Saynonda (1800-1830), La Ode Manja gelar Waopu
Ilabunia (1830-1850), La Ode Eru gelar Waopu Ilemo (1850-1865), La Ode
Ahmadi gelar Waopu Ilabuara (1865.1875), La Ode Gola gelar Waopu Iloji
(1875-1890), La Ode Zalymu (1890-1905), La Ode Gola gelar Waopu Loji (1905-
1913), La Ode Falihi gelar Waopu Ibale (1913-1918), La Ode Aero (1918-1927),
La Ode Mihi (1927-1939), La Ode Tibi (1939-1940), La Ode Husaeni (1940-
1942), La Ode Tibi (1942), La Ode Ganiiru (1942-1949), La Ode Ampo (1949-
1950), La Ode Ganiiru (1950-1955). (Abu Hasan, 1989 : 99). Setelah itu jabatan
Lakina Kulisusu diganti dengan jabatan Kepala Distrik Kulisusu hingga tahun
1964 (Alam Syabdu, 2010: 34).
Pada dasarnya tugas dan kewajiban Syara Barata sama dengan tugas
aparat kesultanan di wilayah inti, tetapi Syara Barata hanya terbatas dalam
wilayahnya masing-masing. Pada tiap-tiap wilayah barata terdapat benteng istana
yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan, dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan Islam. Dikatakan bahwa benteng tersebut
merupakan pusat pemerintahan, sebab di dalam benteng itulah bermukim Lakina
Barata (Raja Barata) dan para pembantunya. Adapun struktur lengkap pemerintah
Barata Kulisusu adalah sebagai berikut:
1) Lakino Kulisusu, didampingi oleh:
a. Kinipulu, jabatan untuk kaomu (kaum bangsawan), dibantu seorang juru
bicara (pandegau).
b. Kopitano Lipu, jabatan untuk kaomu, dibantu seorang juru penerang
(talombo).
c. Kopitano Suludadu, jabatan untuk kaomu, memimpin dua regu prajurit
(saragenti).
d. Bonto Ea (Bontono Kampani, Bontono Kancua-ncua), jabatan untuk
walaka.
2) Bonto Slolimbona, jabatan walaka, terdiri dan:
a. Bontono Langkaudu.
b. Bontono Mowuru.
c. Bontono Rotawo.
d. Bontano Kalibu.
e. Bontono Sakau dan
f. Bontono Kodaawu.
3) Bobato, jabatan untuk kaomu, terdiri dan:
a. Lakino Lemo, merangkap todulako atau panglima perang darurat, dibantu
dua orang juru bicara (pandegau) yaitu pandegau Ea (juru bicara besar)
dan pandegau ete (juru bicara kecil).
b. Lakino Bone, dibantu seorang pandegau.
c. Lakino Kalibu, dibantu seorang pandegau.
d. Lakino Mataoleo, dibantu seorang pandegau.
e. Lakino Kotawo, dibantu seorang pandegau.
f. Lakino Tomoahi, dibantu seorang pandegau.
g. Lakino Sampu, dibantu seorang pandegau.
h. Lakino Wela-Welalo, dibantu seorang pandegau.
4) Sabandaro, satu orang, jabatan untuk kaum bangsawan, dibantu seorang juru
bahasa (juru bahasa).
5) Juru bahasa, enam orang, jabatan untuk walaka.
6) Talombo, dua orang, jabatan untuk walaka, terdiri dari : (1) Talombono
Kompania dan (2) Talombono Kancua-ncua.
7) Pandegau, 11 orang, jabatan untuk walaka yang meliputi:
a. Pandegauno Kampani.
b. Pandegauno Kancua-ncua.
c. Pandegauno Lemo.
d. Pandegauno Bone.
e. Pandegauno Tomoahi.
f. Pandegauno Sampu.
g. Pandegauno Wela-Welalo.
h. Pandegauno Kalibu.
i. Pandegauno Mataoleo.
j. Pandegauno Kotawo.
k. Pondegauno Sakau.
8) Belobaruga, empat orang, jabatan untuk walaka yang terdiri atas:
a. Belobarugano Kinipulu.
b. Belobarugano Kapitano Lipu.
c. Belobarugano Kampani.
d. Belobarugono Kancua-ncua.
9) Syaragenti, 28 orang, jabatan untuk walaka yang terdiri dari dua orang
Albahidiri, dua orang Alpirisi, dan 24 orang anggota pasukan. (Abu Hasan,
1989 :67-69).
Di samping pemerintahan yang disebut kabonto dan kabobato, masih ada
syara yang disebut syarano hukumu yang dikepalai oleh Lakino Agama, terdiri
dan dua syarano, yaitu syarano hukumu bidang adat dan syarano hukumu bidang
agama. Lakina Agama pertama bernama La Ode Rustam dengan gelar Sangia Yi
Agama Bangkudu mantan Lakina Kulisusu kedua (Abusaru, 2005 (dalam
Alihadara, 2010:86). Selanjutnya menurut Abusaru bahwa La Ode Rustam
menerima Agama Islam dari Sultan Murhum untuk dikembangkan di Kulisusu,
diterima oleh Lakina Lemo I Wa Ode Bilahi dan Kopasarano. Keislaman rakyat
Kulisusu diresmikan oleh Sultan Buton IV, Dayanu Ikhsanuddin, (Abusaru 2005,
dalam Alihadara 2010:86).
Dalam pelaksanaan pemerintah, Lakino Lipu (Lakino Kulisusu),
Mansuana (Lakino Kulisusu secara batin), Kinipulu, Kapitano Lipu, Bontono
Kampani dan Bontono Kancua-ncua merupakan presidium aparat kerajaan yang
mewakili semua unsur dan dipilih secara demokratis. Dan enam orang anggota
presidium, tiga diantaranya mewakili golongan kaomu yakni : Lakino Lipu,
Kapitano Lipu. dan Kinipulu, sedang tiga orang lainnya mewakli golongan
walaka dan papara yakni Mansuana, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-
ncua (Abu Hasan, 1989 69). Sebagai satu kesatuan kepemimpinan kolektif di
bawah pimpinan Lakino Lipu masing-masing mempunyai tugas khusus. Adapun
tugas masing-masing aparat kerajaan (Barata Kulisusu) meliputi:
1) Lakino Lipu (Lakino Kulisusu) merupakan kepala wilayah dan sekaligus
kepala pemerintahan, penentu kebijakan dalam pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan kemasyarakatan. Walaupun Lakino Lipu adalah jabatan
untuk kaum bangsawan tetapi yang memillh dan mengangkatnya adalah kaum
walaka.
2) Mansuana, merupakan kepala negeri di bidang kebatinan yang memelihar3
dan mengatur keselamatan dan kesulitan hidup yang diakibatkan oleb
gangguan alam atau pun gangguan yang datangnya dari makhluk-makhluk
halus secara gaib seperti wabah penyakit, kekurangan hasil panen,
merajalelanya hama tanaman, banyaknya anak usia di bawah umur yang
meninggal merupakan bahagian dari tugas-tugas Mansuana untuk dicarikan
cara mengatasinya. Jabatan ini merupakan jabatan yang diwariskan secara
turun temurun dengan mempertimbangkan kematangan generasi yang
menerimanya.
3) Kinipulu adalah aparat pembantu Lakino Lipu dalam tugas pererintah
utamanya yang berkaitan dengan pengawasan jalannya pemerintah baik
dalam tubuh aparat kerajaan maupun pemimpin kadie (desa) yang secara ex
officio adalah aparat kerajaan.
4) Kapitono Lipu adalah aparat kerajaan yang bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat. Selain daripada itu Kapitano Lipu juga merupakan
penegak hukum dan pembina masyarakat. Dalam tugas-tugas yang lebih berat
Kapitano Lipu bekerja sama dengan Kapitano Suludadu dengan pasukan
syaragenti.
5) Bonto seperti diuraikan di muka merupakan pimpinan kadie (desa) dan kaum
walaka. Suatu kadie di pimpin oleh bonto manakala kadie tersebut hanya
terdiri dari satu kampung. Bonto selain sebagai pimpinan kadie juga secara ex
officio merupakan aparat kerajaan.
6) Bonto atau lakino pada prinsipnya sama dengan bonto dimana berfungi
sebagai pimpinan kadie yang terdiri beberapa kampung yang berasal dari
kaurn bangsawan. Seperti halnya bonto, lakino juga secara ex officio
merupakan aparat kerajaan.
7) Sabandara sebagai alat atau aparat kerajaan yang bertugas sebagai kepala
pelabuhan yang mengawasi perkembangan wilayah teritorial laut dan
berbagai kemungkinanan yang dapat mengganggu stabililtas dan keamanan.
Semua perkembangan yang ditemukan senantiasa dilaporkan kepada Lakino
Lipu untuk dimusyawarakan dengan presidium kerajaan dalam rangka
penentuan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan selanjutnya.
8) Juru Bahasa adalah aparat pembantu sabandara secara operasional
mengadakan kontak di lapangan dengan oknum-oknum yang mencurigakan.
Karena tugas tugasnya yang sangat teknis operasional, maka Juru Bahasa
disebut biri, mata dan elo lakino (raja). Biri artinya Juru Bahasa merupakan
“telinga” atau alat pendengaran raja. Mata artinya Juru Bahasa merupakan
“mata” alat penglihatan raja. Elo artinya Juru Bahasa merupakan “lidah” atau
alat perasaan raja.
9) Talombo adalah aparat yang membantu pelaksanaan tugas-tugas daripada
bonto. Talombo bekerja atas nama bonto dan melaksankan tugas setelah
mendapat mandat dimana setelah tugas-tugasnya selesai dilaksanakan harus
menyampaikan hasilnya serta berbagai masalah yang ditemukan dalam
pelaksanaannya. Tugas talombo antara lain mengurus upeti dan setiap kadie,
untuk kesejahteraan dan kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas aparat kerajaan.
10) Pandegau adalah merupakan aparat kerajaan yang bertugas mendampingi
bonto yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
umum yang berkaitan dengan pengumuman atau instruksi pemerintah atau
syara. Selain daripada itu pandegau juga bertugas untuk mengkomunikasikan
berbagai kebijaksanaan pemerintah kerajaan kepada aparat kadie. Dengan
fungsinya sebagai mediator maka berbagai aspirasi dari bawah juga
dikomunikasikan oleh pandegau kepada bonto yang selanjutnya menjadi
bahan atau agenda musyawarah dalam pertemuan syara atau aparat kerajaan.
11) Belobaruga adalah aparat yang bertugas melayani berbagai urusan atau
kepentingan presidium kerajaan dimana masing-masing anggota presidium
mempunyai seorang belobaruga atau ajudan. Sesuatu urusan sebelum sampai
di tangan anggota presidium harus diperiksa terlebih dahulu oleh belobaruga
dan untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat yang dimaksud.
12) Syaragenti adalah aparat yang bertugas menjaga stabilitas dan keamanaan
utamanya dalam soal-soal yang berhubungan dengan perang, gangguan
keamanan yang bersifat politik. Syaragenti ini di bawah pimpinan Kopitano
Suludadu yang diturunkan oleh syara pada saat menghadapi keadaan-keadaan
genting. Nama syaragenti berarti aparat yang menangani masalah-masalah
genting. Sistem pemerintah seperti yang dikemukakan di atas berjalan terus
hingga tahun 1951 dan tetap menjadikan Benteng Lipu sebagai pusat
kedudukan pemenintah. Pemerintah yang berpusat dalam benteng ini baru
berakhir setelah pemerintah La Ode Ompo yang masih bergelar Lakino
digantikan oleh La Ode Abdul Gani dengan gelar Jabatan Kepala Distrik yang
memerintah tahun 1951-1956 (Abu Hasan, 1989: 69-73).
F. Falsafah Pemerintahan
Abusaru (dalam Alihadara, 2010: 90) menjelaskan bahwa sejak pertemuan
La Ode-Ode dengan ayahnya di Wolio, ia telah diberikan kekuasaan untuk
menjadi Lakina Kulisusu I. Dalam pelaksanaan pemerintahannya ia mengacu pada
dua buku yang berjuduI Mir’atuttama dan Martabat Tujuh. Di dalam Martabat
Tujuh antara lain dilukiskan beberapa petunjuk mengenai sifat laku atau sifat
hidup dalam kekeluargaan islam, dalam bermasyarakat dan berpemerintahan serta
sifat batin dalam bertanah air dilengkapi dengan pengertian amanah Tuhan. Islam
dalam bermasyarakat dan berpemerintahan dilandaskan pada:
1. Tokonukui Kulinto, merupakan azas tenggang rasa, tidak saling menyakiti.
Dalam pelaksanaannya hendaknya setiap orang, setiap pejabat senantiasa
bersikap dalam suasana peka maa maasiako atau saling mengasihi,
pekaengka-engkaako atau saling hormat-menghormati, pekapia piara atau
saling memelihara, pekameme toko atau saling takut-menakuti. Seperti anak-
anak kita sayangi, yang tua kita hormati, sesama umur kita asuh dan orang tua
kita takuti, jadi saling asih, saling hormat-menghormati, saling asuh dan
saling toleransi, malunya orang adalah malunya semua sebagai satu kesatuan.
2. Topamentoso larondo mia atau sebagai azas mengasah hati segala manusia
dalam wujud pemberian anugrah dapat berupa pengangkatan dalam suatu
kedudukan jabatan, juga pemberian fasilitas kerja. Beberapa persyaratan yang
menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan yang diberikan anugrah
itu adalah:
a. Karena ikut membantu melawan musuh.
b. Karena ilmu pengetahuan.
c. Karena kepahaman dan kemahiran tentang seluk beluk sejarah Kulisisu
serta seluk beluk tata pemerintahan.
d. Karena pengorbanan harta bendanya.
e. Karena mengorbarikan kepandalan, keahlian, dan kesetiaannya.
Kesemdanya dalam rangka keikhlasan pengabdiannya kepada pemerintah
tanah air Kulisusu.
Mengenai sikap batin dalam bertanah air dilandaskan pada azas berikut:
a. Hina hinomo idaa arataa sumano wuto (kepentingan diri di atas
kepentingan harta benda).
b. Hina hinamo wuto sumono lipu (kepentingan negeri di atas kepentingan
diri).
c. Hina hinamo lipu sumano sara (kepentingan pemerintah di atas
kepentingan negeri).
d. Hina hinamo sara sumano agama (kepentingan agama di atas kepentingan
pemenintah).
Adapun maksud falsafah tersebut adalah apalah arti harta benda
dibandingkan dengan arti manusia, apalah arti manusia pribadi dibandingkan
dengan tanah air, apa arti tanah air jika hukum dan pemerintah tidak ditegakkan
dan apa arti semuanya itu jika manusianya tidak beragama.
Sedangkan azas yang berbentuk semboyang yang dituturkan Abusaru,
2005(dalam Alihadara, 2010:92) adalah:
a. Ydaa umowoseno kadio sara, artinya tidak ada yang lebih kuasa selain dari
pemerintah.
b. Ydaa umentaano kadlo sara, artinya tidak ada yang lebih tinggi seain
pemerintah.
c. Ydaa mokorano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih kuat selain
pemerinah.
d. Ydaa mosegano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih berani selain
pemeintah.
Amanat yang “tujuh” yang diturunkan Tuhan kepada manusia adalah:
a. Hidup, laksana permata bagi manusia, wajib senantiasa memperbaikinya,
tidak dibawa kehidupan itu dalam kerusakan.
b. Ilmu pengetahuan, wajib atas kita menggunakannya pengetahuan untuk
memiliki keadaan diri sendiri dan mengetahui kebesaran Tuhannya dan
segala sesuatu yang wajib diketahui, dipelihara, dipahami dengan baik
agar tidak salah mengerti.
c. Kekuasaan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat.
d. Kamauan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat.
e. Pendengaran, wajib kita menggunakannya untuk mendengarkan petunjuk,
suruhan, perintah Tuhan dan Rasulullah, jangan sekali-kali digunakan
untuk mendengarkan yang tidak benar, baik berupa perkataan, ucapan
bohong maupun berupa makian nista dan dengki.
f. Penglihatan, wajib kita menggunakannya bagi hayat sendiri, dan
janganlah digunakan untuk melihat atau memandang yang tidak benar.
1.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masa Prabarata
3.2.1 Kehidupan Sosial
Pada masyarakat Buton Utara pada Masa Prabarata memiliki kehidupan
sosialnya sangat nampak baik dalam proses interaksi sesama masyarakat maupun
interkasi dengan pemimpin (Sangiano). Masyarakat dalam hari-harinya Sangat
mengedepankan rasa solidaritas yang tinggi ketimbang kepentingan pribadinya.
Misalnya salah satu dari pemukiman yang ada pada Buton Utara pada masa
Prabarata yaitu perkampungan Doule setelah panen hasil pertanian padi, maka
akan mengadakan pesta panen sebagai wujud rasa sukur, maka semua masyrakat
yang ada di pemukiman lain akan menghadiri pesta ini dan turun serta dalam
membantu masyarakat pemukiman Doule demi untuk terselenggaranya acara
tersebut. Hal ini terjadi bukan hanya satu daerah tapi seluruh pemukiman yang ada
di Buton Utara pada masa Prabarata dan itu sangat nampak dalam acara apapun
baik dalam rangka pembukaan lahan, acara perkawinan maupun pertujukan acara
acara lain yang mencirikan kekhasan Buton Utara pada masa Prabarata, seperti
alionda. Alionda ini adalah pertunjukan masyarakat Buton utara pada masa
Prabarata, sebagai satu pertunjukan yang sangat menarik disetiap acara-acara
keramaian yang akan menghibur para penyelenggra acara maupun para pendatang
dari pemukiman atau daerah lain.
Beberapa sumber lain menurut hasil cerita rakyat yang diperoleh menjelaskan
bahwa kenampakan dari wujud rasa sosial masyarakat Buton Utara pada masa
Prabarata, akan sangat dirasakan ketika keluarga yang mengadakan acara
perkawinan, berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu, maka semua
kalangan baik sebagai pemimpinnya pemukiman, Sangia, maupun dari kalangan
rakyat akan turut membantu demi suksesnya acara. Bantuan-bantuan yang
diberikan kepada keluarga tergantung dari apa yang mereka miliki, kalau tidak
ada barang yang diberikan maka akan membantu dengan tenaganya.
Adapun sumber dari hasil informan peneliti juga sangat nampak ketika ada
keluarga yang berduka, maka semua masyarakat akan turut mengulurkan tangan,
memberikan bantuan yang dimiliki untuk keluarga yang menderita musibah.
Modelnya bukan hanya keluarganya yang ditimpa musibah yang akan dibantu,
akan tetapi masyarakat secara umum, pada saat seperti ini sangat nampak akan
rasa solidaritasnya. Rasa solidaritas sebagai wujud rasa sosialnya masyarakat
Buton Utara Pada Masa Prabarata sesuai salah satu informan mengatakan bahwa :
Kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa prabarata, sangat
nampak ketika masyarakat mengadakan aktivitas, baik itu pembukaan lahan
pertanian, acara perkawinan, acara kedukaan, dan acara pesta panen. Pada saat itu
saling memberi antara sesama, dan bekerja tanpa mengharapkan imbalan jasa.
(wawanca dengan informan Waumbe tanggal 22-april 2013)
Menurut informan lain mengatakan bahwa :
Hal yang diutamakan pada masa Buton Utara pada masa prabata hal yang
paling diutamakan dalam kehidupan keseharianya dalam bermasyakat saling
memberi tanpa mengenal keluarga akan tetapi secara umum sesuai atas apa yang
dimilikinya. (wawancara dengan Lambeke pada tanggal 23 April 2013).
Sedangkan menurut informan lain mengatakan bahwa :
Model dari wujud rasa solidaritas dalam keseharian masyarakat Buton Utara
pada masa prabarata bukan hanya kalangan Sangia (pemimpin) yang akan merasa
dihargai akan tetapi semua kalangan masyarakat pada umumnya mengutamakan
rasa kebersamaan. ( wawancara dengan informan Lahanu pada tanggal 4 April
2013).
4.3.2 Kehidupan Ekonomi
Adapun yang menjadi kehidupan ekonomi masyarakat pada masa
prabarata belum adanya sistem pasar yang menjadi pusat perekonomian
kehidupannya, akan tetapi hanya megandalkan hasil pertanian untuk menyambung
kelangsungan kehidupan hari-harinya, seperti bertani padi ladang, dan berbagai
macam ubi-ubian. Model proses pertukaran pada masa ini, ketika diantara
pemukiman yang ada masa ini ada yang kekurangan pasokan makan karena masih
menunggu tiba saatnya panen maka kebiasaan masyarakat akan datang kedaerah
yang sudah panen untuk meminjam padi atau ubi-ubian, akan tetapi ketika
daerahnya sudan tiba saatnya panen maka wajib untuk menggantikan sesuai
dengan hasil panen yang dipinjamnya pada saat kehabisan pasokan makanan.
Dalam perkembangan Buton Utara pada masa Prabarata proses perekonomiannya,
dengan bertambahnya hasil pertanian, dan bertambahnya jumlah masyarakat
sehingga bertambah pula kebutuhan masyarakat akan bahan pangan dalam
kelangsungan hidupnya. Atas dasar inilah maka perkembangan mengarah kepada
sistem perekonomian yang disebut Sungku Dalo. Makna dari Sungkudalo saling
menukar rezki yang dimiliki dan dibagikan antara sesama. Artinya ketika musim
panen tiba dan datang tidak bersamaan di antara beberapa pemukiman, untuk
mempertahankan kehidupan atau prinsip subsistensi, maka penduduk yang duluan
panen akan meminjamkan hasil penennya pada penduduk lain yang belum panen,
dan akan dikembalikan setelah musim yang meminjam sebelumnya telah menuai
hasil panennya. Prinsip subsistensi ini menggambarkan keselarasan dan
keharmonisan kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata. Hal
ini seperti yang dikutip dari wawancara dibawah ini:
Model awal proses perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa
Prabarata, dengan mekansaaru (meminjam) hasil panen pada daerah lain untuk
memenuhi kebutuhannya, hal ini dilakukan untuk mempertahankan kehidupannya,
sambil menunggu daerahnya tiba sasatnya panen, ketika daerahnya panen maka
akan menggantinya sesuai dengan hasil pangan yang dipinjamnya misalnya padi-
padian. (wawancara dengan informan Waumbe tangagal 22 april 2013).
Informan lain mengatakan bahwa:
Model perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata, dalam
prosesnya hanya mengharapkan hasil panen, dari tanaman yang masyarakat
panen, ada pemukiman hanya yang berhasil dengan panen ubi-ubian dan daerah
lain berhasil panen padi-padian maka maka dari kedua model ini akan saling
menukarkan barangnya . (wawancara dengan informan Lambeke tanggal 23 april
2013).
Sedangkan menurut informan lainnya mengatakan bahwa:
Model proses pertukaran pada masyarakat Buton Utara pada masa
Prabarata dengan saling menukarkan rezki atau hasil panen kepada sesama, seperti
Ubi dengan padi atau sungkudalo (wawancara dengan Informan Lahanu tanggal 4
april 2013).
Berdasarkan model perekonomian masyarakat Buton Utara pada Prabarata
menurut analisis peneliti. Belum mengenal dunia pasar akan tetapi Bahwa pada
masa ini berangkat dari rasa solidaritasnya yang begitu tinggi dan sangat nampak
dalam kehidupan sehari-harinya, maka mengarah juga dalam menentukan
kehidupan ekonominya, saling menolong dan kerja sama untuk kelangsungan
hidupnya, cukup nampak mewarnai kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara
pada masa Prabarata. Sehingga Pada masa ini sangat ketergantung pada hasil
panen untuk mempertahankan hidup, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
mereka yaitu dengan menggunakan model mekasansaru (simpan pinjam) hasil
penen, karena pada masa ini hanya mengharapkan dukungan cuaca, berhasil dan
tidaknya yang menjadi sumber penghidupannya.
Pada saat Buton Utara terintegrasi dengan kesultanan Buton daerah ini
baru mengenal alat tukar yakni “ringgit” hal ini berdasarkan hasil wawancara
dengan informan mengatakan bahwa masyarakat Buton Utara mengenal doi
(uang) pada saat bersatunya dengan kerajan Kesultanan Buton, yang
diperkenalkan oleh bangsa Belanda di Buton (hasil wawancara dengan Waumbe
tanggal 22 april 2013)
Adapun kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara pada masa sekarang,
tidak pernah terlepas dari sejarahnya yakni, belum pernah terlepas dari keadaan
geografi setempat, karena mayoritas penduduknya masih banyak menjadi petani
akan tetapi modelnya sudah berubah yakni sudah mulai menanam tanaman jangka
panjang seperti, kelapa, jambu mete, kopi, akan tetapi juga menam tanaman jang
pendek seperti ubi-ubian padi tada hujan. (Alihadara, 2010:25) dan sudah
mengenal dunia pasar, untuk menjual hasil tanaman mereka sehingga
menghasilkan uang. Perkembangan ini tidak terlepas dari perjalan sejarahnya pada
Buton Utara pada masa prabarata. Perbedaan mekanismenya, dimana pada masa
prabarata tidak menanam tanaman jangka panjang, hanya menam tanaman jangka
pendek untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan belum mengenal
dunia pasar seperti halnya Buton Utara pada masa sekarang.