BAB IV Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan...

42
BAB IV Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton a. Terbentuknya Barata Kulisusu 1. Pengertian Barata dan Awal Terbentuknya Dalam penelitian ini mengapa masih perlu penjelasan tentang Buton Utara setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur setelah terintegrasi dengan Kesultanana Buton yakni dengan terbentuknya barata Kulisusu. Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah “buritan” maupun dari “haluan”, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “ negara” Buton (darul butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada masa sultan La Elangi. (waktu itu pula, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa dilakukan keluar wilayahnya). Ada hubungan perluasan antara pengaruh Ternate dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah yang di kendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata, perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, dapat dipahami munculnya gagasan bahwa konsepsi mengenai kerajaan buton diambil dari struktur perahu. Perahu di anggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita- cita yang di harapkan.

Transcript of BAB IV Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan...

BAB IV

Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton

a. Terbentuknya Barata Kulisusu

1. Pengertian Barata dan Awal Terbentuknya

Dalam penelitian ini mengapa masih perlu penjelasan tentang Buton Utara

setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa

Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur

setelah terintegrasi dengan Kesultanana Buton yakni dengan terbentuknya barata

Kulisusu. Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah “buritan” maupun

dari “haluan”, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “

negara” Buton (darul butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal

menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada

masa sultan La Elangi. (waktu itu pula, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa

dilakukan keluar wilayahnya). Ada hubungan perluasan antara pengaruh Ternate

dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah

yang di kendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata,

perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, dapat dipahami munculnya gagasan

bahwa konsepsi mengenai kerajaan buton diambil dari struktur perahu. Perahu di

anggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita-

cita yang di harapkan.

Layaknya sebuah perahu yang mempunyai keseimbangan sehingga tidak

mudah goyang apalagi sampai terbalik. Konsepsi perahu yang dibayangkan

Kerajaan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang mempunyai dua sayap di

kanan dan dua sayap di kiri. Pada setiap pertemuan dua sayap dan pengapitnya

ada ikatan berfungsi sebagai penguat. Ke empat penguat tersebut barata. Dalam

bahasa Wolio, barata selain berarti “tenaga” atau “kekuatan” juga berarti ikatan

pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud dengan

penopang kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.

(Zuhdi, 2010:120). Ke empat barata itu dinamakan barata patapalena artinya

barata yang ke empat. Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu

membantu dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama dalam bidang

pertahanan dan keamanan.

Dalam buku dokumenta yang diterbitkan oleh DPD Sulawesi Tenggara

dinyatakan bahwa “barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang bersiri

sendiri dalam lingkungan Kesultanan Buton, terdiri dari Kerajaan Muna, kerjaan

Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa, yang masing mempunyai dan

mengatur pemerinthannya sendiri (Anonim, tt:198). La Ode Zaenu menjelaskan

bahwa “barata” artinya diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak

apabila ada musuh yang mengganggu Buton, bertanggung jawab atas keamanan

masing-masing. (La Ode Zaenu, 1985:36) selanjutnya ia mengatakan pula bahwa

barata berarti susah (bergabung) yabarata yolipu artinya negara berkabung bukan

berarti ada kematian akan tetapi berkabung di sini berarti menghadapi huru hara

besar sebagai keadaan Buton saat itu (La Ode Zaenu, 1985:36) walaupun agak

berbeda redaksinya, arti kedua pernyataan di atas sebenarnya mempunya maksud

yang sama, yaitu barata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk

terutama untuk mengantisipasi segala macam ancaman dan gangguan terhadap

integritas wilayah dan kedaulatan Kesultanan Buton. Istilah yabarata yolipu boleh

jadi muncul pada waktu buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu di

anggap berkabung.

Keempat barata itu berkewajiban melindungi dari serangan musuh yang

datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan dari arah

timur sementara itu Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah

barat. Kedudukan dari ke empat barata itu juga merupakan fasal atau daerah

taklukan yang memberi keuntungan bagi Buton.

Pada umumnya ke empat barata itu masuk kedalam kekuasaan Buton

melalui penaklukan kecuali Kulisusu. Wilayah bagian timur Buton ini masuk

kedalam kekuasan Buton dengan jalan damai. Penduduk Kulisusu menyatakan

diri memeluk Islam sekitar awal abad ke-17, ketika sultan La Elangi mengadakan

kunjungan ke Kulisusu. Ketika itu sudah ada dua kampung yang berdiri yakni

Lampani dan Kancuancua. Pada masa La Ode Ode di Kulisusu yang tidak lain

adalah putra Sultan La Elangi, mulailah ditetapkan hak kekusaan sendiri Kulisusu.

b. Latar Belakang Terbentuknya Barata Kulisusu

Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa dikukuhkan sebagai

barata atau basis pertahanan kesultanan buton setelah pemerintahan sultan Dayanu

Ikhsanudin (sultan ke-4 Buton), namun kerja sama dibidang pertahanan antara

wilayah-wilayah barata dengan Buton jauh sebelum sudah terjalin yakni sejak

Sultan Murhum (Sultan I). Kerja sama ini dilatarelakangi gangguan dari serangan

bajak laut Tobelo (Ternate). Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa Buton

pernah mengalami tiga kali serangan dahsyat dari bajak laut Tobelo. Serangan

pertama terjadi pada masa pemeriritahan Tua Rade (Raja IV), serangan kedua

yang dipimpin La Bolontio, terjadi pada masa pemenintahan Raja Mulae (Raja V),

sedangkan serangan ketiga terjadi setelah Sultan Murhum berkuasa di Buton.

Serangan ketiga dipimpin Iangsung oleh Sultan Ternate, Baabullah. Narnun

serangan ketiga ini tanpa diperkirakan sebelumnya (unintended resuIt) pada

akhirnya menimbulkan persahabatan yang erat antara Buton dan Ternate.

1. Serangan Tobelo Masa Pemerintahan Tua Rade (Raja IV)

Meskipun Ternate menjadi sekutu bagi Buton akan tetapi Ternate sewaktu-

waktu menjadi ancaman dan gangguan Buton selama beratus-ratus tahun. Susanto

Zuhdi mengatakan bahwa di bawah komando VOC, Buton dan Ternate bersekutu

melawan Gowa. Akan tetapi pada waktu yang lain, keduanya berseteru. Ternate

selalu berusaha menganeksasi Kulisusu dan Pulau Wawoni yang dianggapnya

sebagai wilayah bagian utara kekuasaan Buton (Zuhdi, 2010: 11). Sampai abad

ke-19 ada tiga wilayah yang menjadi sumber sengketa Buton dan Ternate, yaitu

Wawoni, Tiworo, dan Kulisusu (Zuhdi, 2010 : 38-39).

Pasukan Ternate yang selalu mengganggu wilayah Buton adalah “bajak

laut” Tobelo. Susanto Zuhdi mengatakan bahwa bajak laut merupakan gejala yang

rnenjadi ancaman bagi kedaulatan Buton, terutarna dalarn segi ekonomi dan

peduduk. Bajak laut merampok dn merampas harta benda dan menculik orang-

orang sebagai budak maupun untuk komoditas perdagangan. Dalam ingatan orang

Buton, yang juga didukung sumber VOC, bajak laut merupakan trauma yang

berkepanjangan. Ancaman itu dirasakan baik oleh penguasa, maupun orang

kebanyakan terutama yang tinggal di pantai. Sumber tradisional banyak mencatat

kisah tentang “kepahlawanan” di lingkungan kekuasaan Baton yang berhasil

membebaskan suatu negeri dan serangan bajak laut, yaitu Tobelo (Zuhdi, 2013 :

14).

Di masa pemenintahan Tua Rade atau Raja IV untuk pertamakali Tobelo

melakukan serangan ke Buton. Sasaran utama dalam serangan ini adalah daerah-

daerah pesisir, utamanya Siompu dan Kadatua. Rakyat kedua daerah ini

rnenyelamatkan diri dari marabahaya dengan cara meminta perlindungan di

Kraton Buton. Orang-orang yang melarikan diri mendapat perlindungan dari raja

dan diberikan tempat pemukiman di Kraton Buton. Perkampungan-perkampungan

itu kemudian dikenal dengan nama Limbo Sambali, Limbo Melai, Limbo Rakia,

Limbo Gama, Limbo Wandailolo. Seluruh kekuatan kerajaan bersatu padu

menumpas bajak laut tersebut melalui pertempuran yang sengit. Penamaan limbo

(kampung) tersebut masing-masing rnengandung pengertian tersendiri sesuai

peristiwa yang terjadi pada saat itu.

Limbo Sambali artinya kampung luar (limbo=kampung; sambali=Iuar).

Dinamakan demikian karena bajak laut datangnya dari luar. Limbo Melai artinya

kampung mulai (melai=mulai), artinya bajak laut mulai menggempur Buton.

Limbo Rakia artinya kampung bagian (turakia=bagian) artinya bahwa orang-orang

yang ada di Siompu dan Kadatua adalah bagian dari Wolio (Buton) karena itu

harus dibela. Limbo Gama artinya kampung gema (goma=gema), artinya bahwa

peristiwa yang menggemparkan tersebut menggema di seluruh penjuru kerajaan.

Limbo Wandailolo artinya kampung angin laut (wondailolo=angin laut)

mengingatkan bahwa peristiwa tersebut datangnya dari arah laut, diantar oleh

angin laut (La Ode Zaenu, 1990 dalam Amasa, 1991: 45). Dalam pertempuran

tersebut para bajak laut dapat ditaklukan oleh pasukan Buton.

Setelah keadaan stabil kembali maka struktur pemerintahan mengalami

perubahan sesuai dengan pertambahan limbo-limbo tersebut. Sebelum kedatangan

bajak laut wilayah kerajaan hanya dibagi atas empat limbo (kampung) yaitu

kampung-kampung; Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, dan Barangkatopa yang biasa

disebut dengan istilah Pato Limbona (empat kampung). Dari Pata Limbona

ditingkatkan menjadi Sio Limbona (sembilan kampung) yang ditambah dengan

limbo-limbo tersebut di atas sehingga dijadikan sebagai Bonto Sio Limbona, yang

terdiri dari; Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Gundu-gundu, Bontona

Barangkatopa, Bontona Siompu, Bontona Melai, Bontona Rakia, Bontona Gama,

dan Bontona Wandailolo. Kesembilan bonto tersebut diangkat sebagai pengawas

dan pelaksana adat.

2. Serangan La Bolontio di Masa Pemerintahan Raja Mulae (Raja V)

Pada masa pemenintahan Raja Mulae, kehidupan rakyatnya sangat

makmur. OIeh karena itu Raja Mulae mendapat julukan Sangia Igola yang artinya

keramat yang manis (sangia=keramat/yang dihormati; igolo=gula/manis).

Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa hasil panen pada waktu itu

melimpah ruah. Kraton banyak sekali menerima pemberian-pemberian hasil bumi

sebagai tanda syukur rakyatnya. Namun pada saat ia memerintah ada suatu kabar

yang tidak menyenangkan, yaitu akan ada serangan besar-besaran di bawah

pimpinan salah seorang panglima perang Ternate yang berkedudukan di Banggai

bernama La Bolontio. Diriwayatkan bahwa La Bolontio adalah seorang panglima

yang sakti dan kebal. Dengan demikian ia digelari La Bolontio Kakadona

Banggai, artinya La Bolontio yang paling diandalkan di Banggai. Berita yang

menggemparkan seluruh wilayah Kerajaan Buton, bahwa suatu armada dari

Ternate yang dipimpin oleh Panglima La Bolontio, datang menggempur Buton. Ia

berhasil merampas setiap wilayah yang dilaluinya. Tujuannya ke Buton adalah

untuk menghukum atau membalas dendam terhadap pasukan Buton atas

kehancuran Tobelo pada waktu serangan pertama.

Mendengar berita yang menggemparkan itu, Raja Mulae menyusun

kekuatan untuk menghadapi armada Ternate. Diputuskan bahwa musuh yang

dihadapi harus dihadang di luar Kraton Buton. Keputusan ini diambil dengan

alasan bahwa, karena pasukan yang dihadapi itu sangat kuat. Apabila meluas

sampai di kraton akan terjadi kcpanikan di kalangan masyarakat, utamanya kaum

wanita dan anak-anak, bahkan diperkirakan akan menmbulkan kehancuran total,

sekalipun dihadapi dengan penuh ksatria dan dapat memenangkan pertempuran.

Sebagai medan pertempuran maka dipilihnya suatu tempat yang baik

sekali untuk mengadakan perang tanding di Boneatiro, suatu daratan luas dan rata.

Lokasinya di pinggir pantai, dasarnya pasir melulu, ditumbuhi alang-alang tandus.

Suatu tempat yang tepat sekali untuk permainan para ksatria untuk mengadu

kekuatannya. Raja Mulae serta seluruh pasukannya segera berangkat ke Boneatiro

menyongsong kedatangan armada panglima La Bolontio. Setelah Beberapa hari

armada Buton berada di Boneatiro maka datanglah bala bantuan dari kerajaan-

kerajaan tetangga seperti yang dituturkan oleh La Ode Zaenu, 1990 (dalarn Amasa

1991 : 48) bahwa, dalam menunggu kedatangan pasukan La Bolontlo datanglah

tiga orang ksatria yang membantu Buton yaitu Manjawari sebagai Oputa dari

Selayar, yang waktu itu Selayar dan Kabaena rnasih bersatu di bawah kekuasaan

Manjawari, Betoambari sebagai Raja Wajo yang daerahnya meliputi pantai-pantai

Boepinang sampai di Sua-sua, dan Lakilaponto sebagai anak dari Raja Muna.

Ketiga hulubalang tersebut datang bersama-sama untuk membantu Buton. Dalam

peperangan ini musuh dapat ditaklukan. Panglima La Bolontio tewas dalam suatu

perang tanding antara Lakilaponto (Murhum) dan La Bolontio. Sedangkan

pengikut La Bolontio langsung ditawan oleh Raja Mulae.

Seusai pertempuran tersebut Manjawari, Betoambari, dan Lakilaponto

diajak oleh raja untuk bersama-sama kembali ke Kraton Buton, yang disambut

dengan senang hati oleh seluruh masyarakat. Dalam kemenangan ini, Raja Mulae

rnemeritahkan untuk mengundang para ksatria Kabaena utamanya anak istri

Manjawari. Demikian pula halnya dengan Betoambari Raja Wajo. Utusan

istimewa dasampaikan untuk mengundang Sugimanuru Raja Muna sekeluarga

bersama Raja Tiworo sebagai kakek dan Lakilaponto yang bernama Kiy Jola

dengan memperistrikan Wa Randea. Kedua suami istri ini meninggal di Buton

yang dikuburkan di Gunung Wa Nepa-Nepa, Kecamatan Gu sekarang.

Kerajaan Tiworo, Muna, dan Buton sejak awal sudah membina

persahabatan yang erat, merupakan kerajaan bersaudara. Sebab sesungguhnya bila

ditelusuri silsilah raja-rajanya sesuai versi Buton maka ketiga kerajaan ini

memiliki pertalian darah. Lakilaponto yang lebih dikenal dan mashur dengan

nama Murhum, adalah anak dan Raja Muna Sugi Manuru dengan Watubapala.

Sugi Manuru berasal dan Sugi La Ende Raja Muna II atau juga dikenal beliau ini

dengan nama Sugi Mpeari, sedangkan Watubala berasal dan Kiy Jola dengan Wa

Randea. Sugi La Ende adalah anak dan La Eli Bata Laiworu yang juga disebut

Mobeteno Itombule atau juga Sugi Mpatani Raja Muna pertama. L.a Eli adalah

putra dari Sibatara dengan Wa Bokeo dan bersaudara sebapak dengan

Bulawambona Raja Buton II. Sedangkan Kiy Jola berasal dan Bataraguru Raja

Buton III, lalu Wa Randea dan La Tiworo Mobeteno Iparia dengan istrinya Wa

Sitao adalah putri bangsawan dari Konawe (Zahani, 1980, dalam Alihadara,

2010:54).

Selain adanya hubungan pertalian darah yang telah terjalin sebelumnya

para pembesar kerajaan secara bersama-sama mengadakan pendekatan dengan

kerajaan-kerajaan di sekitarnya demi keutuhan dan kesatuan kerajaan secara

keseluruhan terutama melalui pendekatan asimilasi. Untuk mengadakan

pendekatan dengan Kerajaan Kaledupa, maka anak raja Manguntu yang bernama

La Kuku dikawinkan dengan anak Raja Kaledupa, selanjutnya anaknya yang

perempuan dikawinkan dengan Kasawari anak Lakina Mancuana dan La Kabaura

anak La Maindo. Betoambari kawin dengan Wa Guruncangia anak raja

Manguntu, sedangkan anak perempuan Manjawari kawin dengan cucu raja

Manguntu. Demikian jalinan persahabatan masa Raja Mulae, sehingga setelah

kegagalan dan tewasnya La Bolontio, terjadilah perubahan struktur pemerintahan

demi rnemperkokoh persatuan dan kesatuan wilayah Kerajaan Buton. Sebagai

imbalan atas jasa para pahlawan yang secara langsung ikut dalam pertempuran

untuk mempertahankan Kerajaan Buton, maka untuk memperkuat hubungan,

selain dengan jalan perkawinan, juga dengan pemberian penghargaan berupa

jabatan-jabatan istimewa seperti Lakilaponto dikawinkan dengan anak Raja Mulae

bernama Wa Tampaidonga. Tidak lama sesudah perkawinan tersebut Raja Mulae

menyerahkan kekuasaan kepada Lakilaponto menjadi Raja Buton VI. Manjawani

diangkat sebagai Sapati I Kerajaan Buton merangkap dengan tugasnya semula

sebagai Opu di Selayar dan Kabaena. Begitu pula halnya dengan Betoambari,

selain diangkat sebagai Kenepulu I juga merangkap sebagai Raja Wajo.

3. Serangan Ternate di Masa Pemerintahan Raja VI (Sultan I)

Tradisi lisan menuturkan bahwa kekalahan Panglima La Bolontio sangat

berpengaruh terhadap Kerajaan Ternate. Seluruh daerah-daerah kekuasaan

Kerajaan Ternate bertekad bulat untuk menghancurkan Kerajaan Buton. Penguasa

Ternate pada saat itu adalah Sultan Baabullah. Dan nama ini berarti bahwa

Ternate saat itu sudah menganut islam. Sultan Baabullah dan seluruh

masyarakatnya sangat marah atas tewasnya La Bolontio, sehinga sultan bersama

rakyatnya sepakat untuk rnenggempur Buton. Dalam pertempuran ini sultan

sendiri yang akan memimpinnya. Panglima besar serta sebahagian besar angkatan

perangnya diperintahkan berangkat lebih dahulu menuju Buton, menyusun

formasi pertempuran di wilayah Buton, sambil menunggu kedatangan panglima

tertinggi yaitu Sultan Baabullah.

Berita yang cukup menggetarkan itu tiba pula di telinga penguasa Buton.

Sultan Buton, Murhum saat itu sangat risau mendengar berita yang sangat

menggemparkan itu. Meninjau situasi yang sangat genting saat itu, sultan merasa

perlu mengangkat pejabat tinggi pemerintahan di bidang pertahanan yakni kepala

angkatan perang serta menetapkan daerah-daerah otonom untuk sewaktu-waktu

dapat bertindak sendiri jika ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba. Maka

diangkatlah dua orang kepala angkatan perang yang disebut Kapitalao Matanaeo

(motanaeo=tempat terbit matahari atau timur) dan Kapitolao Sukanaeo

(sukanaeo=tempat terbenam matahari atau barat). Sebagai Kapitalao Matanaeo I

dangkat La Kabaura, sedangkan Kapitalao Sukanaeo I diangkat Katimanuru.

Daerah oparasi Kapitalao Matanaeo meliputi daerah Buton bagian timur,

sedangkan Kapitalao Sukanaeo meliputi wilayah Buton bagian barat. Kemudian

mengangkat pula empat daerah yang diberi tanggung jawab atas keamanan serta

keutuhan daerah masing-masing sekalian keutuhan Kesultanan Buton secara

keseluruhan, yang kemudian wilayah-wilayah tersebut diistilahkan Barata

Patapalena (barata empat bagian), yaitu Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.

Langkah selanjutnya adalah mengadakan musyawarah tertinggi yang

dihadiri oleh Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalao Matanaeo, dan Kapitalao

Sukanaeo. Dalam musyawarah itu ada beberapa keputusan yang langsung

diketengahkan dalam majelis, yaitu : (1) Pusat pertempuran adalah di Kulisusu;

(2) Kapitalao Matanaeo dan Kapitalao Sukanaeo supaya segera ke Kulisusu

menyusun garis strategi dan mengurus semua persiapan lainnya; (3) Seluruh

kekuatan kerajaan dipusatkan di Kulisusu; (4) Yang menjadi pemimpin

pertempurari adalah sultan sendiri (La Ode Zaenu, 1990, dalam Amasa, 1991: 52).

Setelah selesai musyawarah tersebut kapitalao dan rombongan

diperintahkan berangkat terlebih dahulu ke Kulisusu menyusun formasi tempur.

Tempat berlabuhnya pasukan Buton ini kelak diabadikan dengan nama Labuan

Wolio artinya tempat berlabuhnya orang-orang atau pasukan Buton (Wolio).

Sampai di ujung utara Kulisusu kapitalao serta rombongan melihat adanya kapal

Belanda berlabuh di Tampunakoro, ujung utara Kulisusu. Hal mana oleh armada

Buton menyangka bahwa kapal Belanda tersebut adalah bagian dari armada

Ternate. Maka tanpa pikir panjang serentak menggempur kapal Belanda tersebut

dan berhasil melumpuhkannya serta semua muatan kapal disita sebagai rampasan

perang, sedangkan anak buah kapal dibawa ke Kraton Buton sebagai tawanan

perang.

Sesudah peristiwa tersebut pasukan Ternate datang ke Buton. Mereka

tidak langsung mengadakan pertempuran, akan tetapi menunggu komando

Iangsung dari Raja (Sultan Baabullah) yang sementara ditunggu kedatangannya.

Panglima perang dan pasukan Ternate berlabuh di suatu teluk yang kelak

diabadikan dalam sejarah dengan nama Labuan Tobelo artinya pelabuhan orang-

orang atau pasukan Tobelo (Ternate).

Berselang beberapa lama datang tiga buah kapal tempur Belanda berlabuh

di sebuah tempat yang kelak dinamakan Labuan Walanda artinya pelabuhan

orang-orang atau pasukan Belanda, dengan tujuan menggempur Buton sebagai

balasan atas penyerangan kapal Belanda di Kulisusu serta hendak menyelamatkan

orang-orang Belanda yang tertawan. Setelah sampai di Buton Utara (sekitar

Kulisusu) mereka rnenyaksikan armada Ternate telah berlabuh di tempat tersebut,

ditandai dengan panji-panji yang ditancapkan di sepanjang pantai tempat mereka

berlabuh. Panji kebesaran Ternate di Labuan Tobelo menandakan disana ada

panglima besar Ternate.

Melihat keadaan yang demikian, Belanda menduga bahwa Buton

bersekutu dengan Ternate, dan sebaliknya pula Ternate menyangka bahwa ketiga

buah kapal perang ini adalah utusan Belanda untuk membantu Buton melawan

Ternate. Akibat dan kesalahdugaan tersebut maka pecahlah perang antara Belanda

dan Ternate. Dalam peristiwa tersebut Sultan Buton sempat bertemu dengan

Sultan Ternate, dan disaat itulah Sultan Ternate mendapatkan kepastian tentang

tujuan sesungguhnya ketiga kapal Belanda tersebut yaitu untuk menggempur

Buton. Olehnya itu pasukan Buton dan Ternate pada saat itu kemudian bersatu

melawan Belanda. Dalam pertempuran tersebut sebuah kapal Belanda dapat

ditenggelamkan, dan kedua kapal lainnya lolos mengundurkan diri. Sejak

peristiwa inilah awal terjadinya hubungan kerja sama antara Buton dan Ternate.

Sekembalinya Sultan Baabullah ke Tarnate dikawal oleh Kapitalao Matanaeo, La

Kabaura, dan beberapa hulubalang lainnya. lnilah yang disebut dalam sejarah

dengan istilah unintended result, artinya sesuatu yang terjadi tanpa diperkirakan

sebelumnya, sesuatu yang tidak terduga dan tidak direncanakan, terjadi di luar

skenario atau secara kebetulan yang dapat mengubah jalan sejarah.

Namun demikian Ternate selalu mengganggu Kulisusu. Artinya pada suatu

saat Ternate menjadi sekutu Buton dan saat yang lain Ternate tampil sebagai

seteru Buton yang harus dilawan, sasarannya selalu wilayah paling ujung uatar

Buton, yakni Kulisusu dan Pulau Wawonii. Karena wilayah ini secara langsung

berbatasan dengan Kerajaan Ternate. Labuan Tobelo, Labuan Walanda, dan

Labuan Wolio adalah daerah-daerah yang berada di daratan bagian barat laut

Buton Utara menghadap ke Pulau Wawonii. Hingga abad ke-19, Kulisusu dan

Pulau Wawonii selalu menjadi incaran Ternate. Dalam kaitan sekutu sekaligus

seteru ini, Ternate pernah diminta bantuannya oleh Sultan Buton, La Awu (1654-

1664), untuk membebaskan dua negeri Kulisusu dan Kumbewaha yang jatuh ke

tangan kelompok yang masuk ke jalan pengaruh Makassar. Gubernur Banda juga

meminta kepada Gubernur Ambon dan Gubernur Ternate untuk menghadapi

Kulisusu, karena seorang warga bebas (burger) Banda dibunuh oleh orang

Kulisusu. Maka Sultan Ternate, Mandarsyah, pada tahun 1663 merencanakan

untuk mengirim satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora dari Kepulauan Sula ke

Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu. Hasil

ekspedisi ini tidak diketahui. Akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk Kulisusu

tidak dikirim ke Ternate (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119). Sementara itu,

sesudah penandatanganan Perjanjian Bungaya tahun 1667, Kapitan Laut Reti

(Ternate) telah membawa orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690. Persoalan

yang menimbulkan konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan Buton dan

Ternate. Bagi Buton, Kulisusu merupakan salah satu baratanya, sedangkan bagi

Ternate orang Kulisusu dapat menarnbah penduduknya yang minim. Akan tetapi

tampaknhya, mereka dijadikan budak oleh orang Ternate di bawah para bobato.

Keluhan orang Kulisusu didengar oleh VOC dan menetapkan bahwa penduduk

Kulisusu tidak lagi menjadi warga VOC, tetapi warga Ternate, menjadi orang

bebas di dalam soa-siu (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119).

Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta historis sebagaimana dijelaskan

di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi cikal bakal terbentuknya Barata

Patapalena adalah karena adanya serangkaian gangguan dan serangan bajak laut

Tobelo (Ternate). Pembentukan barata sebagai salah satu basis pertahanan

Kesultanan Buton sudah dimulai sejak serangan Ternate di masa pemerintahan

Sultan I. Ketika itu penguasa Buton mulai mengadakan politik aliansi dengan

kerajaan-kerajaan disekitarnya yang bertujuan membina ketentraman bersama dan

menghadapi ancaman yang datang dari luar. Kerajaan pertama yang ditarik untuk

bergabung adalah Muna, kemudian menyusul Tiworo dan Kaledupa. Pada masa

pemerintahan Sultan IV, Dayanu lkhsanuddin, Kerajaan Kulisusu berhasil ditarik

secara damai melalui jalur perkawinan dan menyatakan diri bergabung dengan

Buton. Keempat kerajaan tersebut kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari

kerajaan Buton dengan status masing-masing sebagai barata. Ketentuan mengenai

struktur, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing barata tertuang dalam

Undang-U ndang Barata, bagian dan Konstitusi Martabat Tujuh.

c. Fungsi Barata Kulisusu

1. Bagian Strategi Perjuangan Islam

Ekspansi Buton ke wilayah-wilayah disekitarnya bukan didorong oleh

nafsu imperilisme seperti yang dilakukan oleh orang-orang Eropa, melainkan

yang menjadi motivasi utama adalah syiar Islam, perluasan dan pengembangan

Islam melalui apa yang dinamakan falsafah perjuangan Islam. Falsafah ini

sekaligus digunakan untuk menempa sernangat prajurit Buton dalam menghadapi

ancaman dari luar. Falsafah perjuangan Islam di Buton untuk pertama kali

dicetuskan oleh Sultan I, Murhum. Urutan-urutan falsafah perjuangan Islam

sebagaimana dikemukakan oleh Moersidi (1990) dalam Amasa (1991: 60) adalah

sebagal berikut:

Yinda-yindamo aratao somanomo karo;

Yindo-yindomo karo somanamo lipu;

Yinda-yindamo lipu somonomo yara;

Yinda-yindamo syaro somanamo agama.

Yindo-yindamo arataa somanamo koro artinya hilang-hilanglah harta

asalkan diri pribadi selamat. Arotaa (harta benda) baik yang dimiliki oleh orang

seorang maupun yang dimiliki oleh sekelompok orang wajib dipelihara. Namun

sewaktu-waktu harta benda dapat dikorbankan demi kesalamatan diri (karo).

Yindo-yindamo karo somanamo lipu artinya hilang-hilanglah diri asalkan

negara selamat. Setiap diri pribadi wajib dilindungi keselamatannya oleh negara

atau pemerintah akan tetapi setiap diri pribadi dapat dikorbankan demi

keselamatan bangsa dan negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa, bila

negara dalam keadaan bahaya, misalnya perang, maka rakyat wajib membela

negaranya walaupun dengan mengorbankan jiwa raganya. Azas ini bersumber dari

semangat juang dari para ksatria yang selalu menyiapkan jiwa raganya untuk

berjihad bagi keselamatan bangsa dan negaranya.

Yinda-yindamo lipu somanamo syara artinya hilang-hilanglah negara

asalkan pamenintahan selamat. Lipu atau negara adalah milik bersama seluruh

rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu negara wajib dipelihara, dilindungi dan

dipertahankan keutuhannya dan bahaya-bahaya yang mengancam dari manapun

datangnya. Namun apabila kepentingan yang lebih tinggi dan lebih utama

menghendaki yaitu keselamatan pemerintah (syara) maka bagian-bagian negara

tertentu bila keadaan terpaksa boleh dikorbankan.

Yinda-yindamo syara somanamo agamo artinya hilang-hilanglah

pemerintah asalkan agama selamat. Syara (pemerintah) menduduki urutan

tertinggi yang wajib diselamatkan sesudah lipu (regara). Namuri bila ada keadaan

yang sangat genting dimana keselamatan syara benar-benar sudah terancam, maka

pemenintah terpaksa menyerah demi keselamatan Agama Islam. Jadi, keselamatan

agama menjadi cita-cita tertinggi Kesultanan Buton. Kulisusu sebagai salah satu

barata Kesultanan Buton tentunya mengemban amanah tersebut. Artinya bahwa

apapun yang dimiliki oleh Kulisusu harus rela dikorbankan demi tegaknya Agama

Islam di Barata Kulisusu. Pengorbanan dimulai dari pengorbanan harta, diri,

negara, dan terakhir adalah pengorbanan pemerintah (syara). Apa saja yang

dimiliki oleh Barata Kulisusu boleh dikorbankan asalkan Agama Islam tetap tegak

berdiri. Disinilah letaknya Buton dengan perangkat baratanya sebagai negara

berdasarkan Islam.

2. Sebagai Bagian Strategi Pertahanan

Mengingat luasnya wilayah Kesultanan Buton maka dibangun suatu

strategi pertahanan yang kokoh dan tangguh. Sistem pertahanan yang dimaksud

adalah sistem pertahanan berlapis yaitu Bisa Potamiana, Lakina/Bobata, Matona

Soromba, Barata Patapaleno. Keempat basis pertahanan tersebut dikoordinasikan

oleh Kapitalao/Kapitaraja dari pusat. Jabatan Kapitalao/Kapitaraja sebagai

pemimpin di bidang pertahanan dan keamanan berjumlah dua orang, yaitu

bertugas di sebelah barat dan di sebelah timur kesultanan. Keduanya mengepalai

tentara yang berjumlah 77 orang. Kapitaraja hanya mengenal satu kali perintah

saja dari sultan, artinya tidak dapat kembali sebelum dapat melaksanakan

tugasnya. Kapitaraja membawahi beberapa jabatan keamanan seperti Barata,

Matana Sorumba, Lakina/t3obato, dan Bisa Patamiana.

Barata adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Keempatnya

disebut barata Potapaleno (barata empat bagian). Keempat borata ini diberikan

kekuasaan mengatur daerahnya sendiri, dengan Undang-Undangnya sendiri yang

dibuat atas persetujuan syara Buton. Diberikannya kekuasaan itu atas

pertimbangan keamanan, karena letaknya yang strategis bagi Kesultanan Buton.

Masing-masing barata berfungsi sesuai letaknya. Dikemukakan oleh Hazirun

Kudus dalam Amasa (1991: 68) bahwa, di bagian utara merupakan wilayah patroli

Barata Muna, di bagian timur wiayah patroli Barata Kulisusu, di bagian selatan

wilayah patroli Barata Kaledupa, sedangkan di bagian Barat wilayah patroli

Barata Tiworo. Maka jelaslah bahwa

Barata Kulisusu sebagai salah satu komponen dalam sistem pertahanan

Buton bertanggungjawab untuk mempertahankan Buton dari berbagai ancaman

dan gangguan yang datang dari arah timur seperti ancaman Ternate. Secara

geografis kawasan Barata Kulisusu secara Iangsung bersentuhan dengan wilayah

Kerajaan Ternate. Karena itu beberapa peristiwa penting serangan Ternate

terhadap Buton selalu terlehih dahulu diarahkan ke Barata Kulisusu.

Dalam tugas patroli setiap barato diwajibkan untuk memakai identitas

yang disebut dayalo dan sebuah bendera yang disebut tombi pagi sebagai tanda

pengenal dengan ketentuan bahwa apabila dari kejauhan diperkirakan telah

nampak ibukota Kraton Buton, maka doyalo dan tompi pagi tersebut harus

diturunkan. Sebagai pengenal lainnya masing-masing barata pula telah ditetapkan

tempat pelabuhannya yaitu: Muna berlabuh di Kanakea, Tiworo di Bonesala,

Kulisusu di Loji, dan Kaledupa di Kalampa. Aturan-aturan seperti ini merupakan

tindakan preventif untuk tetap menjaga keamanan.

Matana Sorumbo adalah suatu daerah kadie yang berfungsi sebagai ujung

tombak dalam menyerang musuh. Yang termasuk wilayah Matano Sorumba

adalah Lapandewa yang bertugas mengawasi keamanan dari arah utara, Wabua

mengawasi keamanan dari arah selatan, Mawasangka mengawasi keamanan dari

arah barat, dan Watumatobe mengawasi dari arah timur (La Boci, 1988, dalam

Alihadara, 2010:62). Daerah ini dijadikan Matana Sorumba, juga atas

pertimbangan keamanan karena letaknyapun strategis. Melalui Matona Sorumba

inilah, apabila daerah barata tidak dapat mempertahankan diri dari serangan

musuh, maka segera diutus untuk membantu, sesuai dengan pembagian wilayah

patrolinya masing-masing.

Bisa Potamiano sebagai salah satu pertahanan keamanan yang melindungi

negara dan pemerintah bersama rakyatnya dari ancaman musuh yang datang dari

luar maupun dari dalam kesultanan. Pertahanan mi dilakukan secara batiniah

dalam arti bahwa, meramalkan situasi yang akan terjadi di masa mendatang.

Jumlah bisa ini ada empat orang sehingga disebut Bisa Patamiana (bisa empat

orang), masing-masing adalah Mojina Silea, Mojina Peropa, Mojina Kalau, dan

Mojina Waberongalu. Talombo berfungsi sebagai pengamanan dan pelaksana

hukuman potong tangan (pande tatolima). Hukuman potong tangan ini

dilaksanakan bila seseorang melakuan pencurian. Selain itu Talombo juga

berfungsi sebagai pengamanan jalannya suatu pertemuan resmi. Sebagai lapisan

terakhir pertahanan adalah benteng kerajaan yang sekaligus sebagai tempat

peralatan dan persenjataan dilengkapi dengari gode, yaitu suatu tempat untuk

peralatan senjata, baluara, sebagai tempat pertahanan bila ada musuh yang datang

menyerang; Lowana Kompebuni (pintu rahasia) sebuah pintu yang langsung ke

tempat lain di luar benteng.

4. Fungsi Politik

Barata Kulisusu secara struktural mengakui Buton sebagai pusat

pemerintahannya. Meskipun barata diberikan hak otonorn untuk mengatur

pemerintahannya sendiri, undang-undangnya sendri namun dilakukan atas

persetujuan Sultan Buton. Dalam UU Barata ditetapkan pejabat-pejabat yang

nama dan fungsinya sama seperti yang ada pada Syara Kesultanan Buton namun

tidak lengkap seperti yang ada dalam pemerintah pusat, bisa lengkap bila keempat

barata tersebut disatukan. Dengan kondisi seperti ini maka tiap-tiap barata

diwajibkan untuk selalu berkonsultasi dengan aparat pemerintahan pusat.

Pejabat Barata Kulisusu dipilih dan diangkat dari barata itu sendiri namun

atas persetujuan Sultan Buton. Pada saat-saat tertentu jabatan Lakina Barata dapat

diambil alih oleh penguasa pusat dalam rangka pengamanan wilayah, namun bila

keadaan mulai stabil maka jabatan tersebut diserahkan kembali pada barata. Hal

ini pernah terjadi pada saat Muna ingin melepaskan diri dari Kesultanan Buton.

5. Fungsi Ekonomi

Fungsi Barata Kulisusu di bidang perekonomian dapat dilihat dan sistem

perpajakan yang ditetapkan oleh Kesultanan Buton. Khusus wilayah barata,

termasuk Kulisusu pajak yang paling diutamakan adalah pajak perdagangan.

Ketetapan pajak yang telah digariskan dalam Undang-Undang Barata tidak sama

untuk setiap barata, tetap disesuaikan dengan penghasilan yang ada di tiap-tiap

barata tersebut. Ketetapan pajak khususnya di bidang perdagangan biasa disebut

dengan istilah Jawana Barata. Jawana Barata Kulisusu untuk setiap tahunnya

adalah sebesar 45 boka (Zahari, 1980: 131 — 132).

Selain ketetapan-ketetapan di atas terdapat pula ketetapan-ketetapan

lainnya yang ada kaitannya dengan perekonomian. Dalam UU Barata dinyatakan

bahwa semua pedagang asing yang ada di perairan barata tidak diperkenankan

dimintai bea, sekalipun kapitalao dari kesultanan sementara bertugas, kecuali atas

izin Sultan Buton. Demikian pula halnya dengan pedagang-pedagang dari Buton

yang berada di barata tidak dibenarkan untuk tinggal di barata tanpa ada suatu

keterangan dari Sultan Buton secara resmi.

6. Fungsi Sosial Budaya

Barata Kulisusu yang sebelumnya merupakan kerajaan yang berdiri sendiri

telah memiliki kader-kader prajurit yang tangguh dalam persiapan terjun ke

medan perang. Kerajaan Kulisusu sejak dahulu kala sudah merupakan pelaut-

pelaut yang ulung. Strategi perang kemaritiman bukanlah hal yang baru bagi

mereka. Oleh karena itu di samping letaknya yang strategis sebagai barata juga

memiliki manusia-manusia yang punya potensi di bidang pertahanan dan

keamanan. Di lain pihak Barata Kulisusu memiliki andil besar dalam siar Islam,

yang mana dalam benteng istana barata dilengkapi dengan sebuah bangunan

masjid yang cukup megah untuk ukuran saat itu yang merupakan pusat kegiatan

pengembangan Islam, dalam kaitannya dengan upaya pembinaan kader mubaligh

yang menjadi motor penggerak Islam ke seluruh wilayah kekuasaan barata. Para

mubaligh menduduki posisi yang terhormat dalam masyarakat, lebih-lebih karena

kemampuan menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat dan dapat menyatu

dengan mereka.

d. Benteng Lipu, Kraton Kulisusu

1. Sebagai Pusat Pemerintahan Barata Kulisusu

Barata Kulisusu sebagai suatu unit pemerintahan tentu mempunyai pusat

kegiatan dan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamakan Kraton Kulisusu

yang dilindungi oleh sebuah benteng yang sangat kokoh. Benteng Kraton

Kulisusu atau Benteng Lipu yang terletak di lingkungan Wapala Lakonea

Kecamatan Kulisusu merupakan salah satu peninggalan sejarah dan budaya yang

mulai dibangun sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 oleh Lakina

Kulisusu pertama, La Ode-Ode.

Nama Benteng Lipu berasal dari kata “Lipu” yang berarti pusat

pemukiman masyarakat. Dari tempat ini kehidupan masyarakat berkembang

sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Pemukiman ini muncul sebagai

jawaban atas tuntutan dan tantangan masyarakat yang tadinya hidup berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan mereka.

Perkembangan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan yang harus

dipenuhi adalah tuntutan secara alamiah dan manusiawi untuk dipenuhi.

Pemenuhan tersebut hanya dapat dilaksanakan manakala masyarakat terintegrasi

dalam bentuk organisasi sosial yang terpusat pada suatu ruang atau tempat yang

dianggap strategis. Ini merupakan faktor internal yang merupakan latar belakang

serta motivasi dasar dibangunnya Benteng Lipu. Sejalan dengan hal tersebut maka

pada saat yang bersamaan muncul kebutuhan akan perlunya stabilitas dan

keamanan dalam kehidupan masyarakat dari berbagai tantangan, ancaman, dan

gangguan baik dari dalam maupun dari luar.

Serangan bajak laut dari utara dan timur yang disebut Tobelo merupakan

gangguan dan ancaman stabilitas yang datangnya dari luar sehingga untuk

melindungi masyarakat Kulisusu yang terkosentrasi di Lipu diperlukan kekuatan

untuk melindungi masyarakat dalam bentuk benteng. Tradisi lisan menuturkan

bahwa ide awal untuk membangun benteng muncul dari La Kodangku yang

rancangannya lebih luas dan yang ada sekarang dengan mempertimbangkan

berbagai aspek perkembangan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan

budaya serta pertahanan dan keamanan. Rancangan tersebut membutuhkan waktu,

tenaga, serta biaya yang cukup besar. Oleh tokoh Gaumalanga menganggap

bahwa pemikiran tersebut terlalu ideal sementara kebutuhan masyarakat akan

terbangunnya sebuah benteng semakin mendesak sehingga pada saat La

Kodangku turun ke laut mencari tempat untuk pemasangan sero (toamano bala),

kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gaumalanga untuk mengerahkan tenaga guna

membangun benteng tersebut (Abu Hasan, 1989: 54). Namun demikian ukurannya

diperkecil dari ukuran yang telah dirancang oleh La Kodangku yang mencakup

dari ee bula di sebalah barat hingga ee mataoleo di sebalah timur masuk dalam

kawasan benteng yang direncanakan oleh Kodangku. Akibat perubahan itu

Kodangku marah besar dan berwasiat kepada syara bahwa kelak ketika ia wafat

jangan dikebumikan di dalam benteng (Rahmat, Desember 2010). Karena itu

makam Kodangku masih dapat disaksikan keberadaannya di luar benteng pada

posisi sekitar 150 meter dari benteng Lipu.

e. Struktur Pemerintahan Barata Kulisusu

Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kerajaan-kerajaan Muna,

Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa telah mengadakan persekutuan dalam hal

petahanan dan keamanan bersama, untuk mempertahankan diri dari berbagai

serangan yang datang dari luar. Semula persekutuan ini dibentuk atas dasar

persetujuan dan kepentingan bersama tanpa ada aturan yang sifatnya mengikat.

Akan tetapi pada masa kekuasaan Sultan Dayanu lkhsanuddin, kerajaan-kerajaan

tersebut dikukuhkan sebagai bagian dan Kesultanan Buton dengan status dan

nama Barata Patapalena.

Untuk mengatur dan mengendalikan sistem pemerintahan maka pertama-

tama Lakina Barata harus berkedudukan di dalam benteng (Kraton Barata), di

dalam sebuah istana yang dinamakan kamali sedangkan tempat musyawarah atau

balai pertemuannya dinamakan baruga di depan mesjid kuno di Benteng Lipu. Di

kedua tempat inilah ditetapkan berbagai kebijakan pemerintahan barata

berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yaitu Syarana Barata (Undang-

Undang Barata). Untuk melaksanakan setiap keputusan syara (pemerintah), maka

struktur pemerintahan disusun sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh

pemerintah dengan pertimbangan aspirasi yang berkembang dan setiap wilayah

pemerintahan yang lebih kecil.

Undang-Undang Barata dibuat dan ditetapkan oleh Syara Buton dengan

selalu mempertimbangkan kondisi setiap barata itu sendiri. Pada tiap-tiap barata

dibentuk pula jabatan-jabatan yang nama dan gelarnya seperti yang ada pada

Syora Buton, akan tetapi tidak lengkap seperti yang ada pada pemerintahan pusat

kecuali keempat barata itu disatukan semua baru bisa sama dengan struktur

pemerintahan pusat Kesultanan Buton. Misalnya di Barata Muna hanya ada

jabatan kopitalao, sedangkan jabatan-jabatan lainnya seperti kenepulu ataupun

bonto ogena tidak ada. Di Tiworo hanya ada jabatan sapati, di Kulisusu hanya ada

kenepulu dan di Kaledupa hanya ada bonto ogena. Struktur inti pemerintahan

Barata Kulisusu menurut Syarana Barata menurut Zahari, 1980 (dalam Alhadara

2010:83). adalah sebagai berikut:

(1) Lakina Kulisusu (Raja Kulisusu).

(2) Kenepulu.

(3) Bontona Kampani.

(4) Bontona Kancua-ncua.

(5) Kapitana Lipu

Berikut adalah daftar nama-nama Lakina Kulisusu dan periode

kekuasaannya; La Ode-Ode gelar Sangia Eh (1620-1670), La Ode Kampulu gelar

Tasau Ea (1670- 1710), La Ode Murhum gelar Sangla Ibangkudu (1710-1745), La

Ode Bahira gelar Mokawana Lelena (1745-1775), La Ode Sampe gelar Sangia

Mataoleo (1775.1800), Saynonda (1800-1830), La Ode Manja gelar Waopu

Ilabunia (1830-1850), La Ode Eru gelar Waopu Ilemo (1850-1865), La Ode

Ahmadi gelar Waopu Ilabuara (1865.1875), La Ode Gola gelar Waopu Iloji

(1875-1890), La Ode Zalymu (1890-1905), La Ode Gola gelar Waopu Loji (1905-

1913), La Ode Falihi gelar Waopu Ibale (1913-1918), La Ode Aero (1918-1927),

La Ode Mihi (1927-1939), La Ode Tibi (1939-1940), La Ode Husaeni (1940-

1942), La Ode Tibi (1942), La Ode Ganiiru (1942-1949), La Ode Ampo (1949-

1950), La Ode Ganiiru (1950-1955). (Abu Hasan, 1989 : 99). Setelah itu jabatan

Lakina Kulisusu diganti dengan jabatan Kepala Distrik Kulisusu hingga tahun

1964 (Alam Syabdu, 2010: 34).

Pada dasarnya tugas dan kewajiban Syara Barata sama dengan tugas

aparat kesultanan di wilayah inti, tetapi Syara Barata hanya terbatas dalam

wilayahnya masing-masing. Pada tiap-tiap wilayah barata terdapat benteng istana

yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan, dan sekaligus

sebagai pusat pengembangan Islam. Dikatakan bahwa benteng tersebut

merupakan pusat pemerintahan, sebab di dalam benteng itulah bermukim Lakina

Barata (Raja Barata) dan para pembantunya. Adapun struktur lengkap pemerintah

Barata Kulisusu adalah sebagai berikut:

1) Lakino Kulisusu, didampingi oleh:

a. Kinipulu, jabatan untuk kaomu (kaum bangsawan), dibantu seorang juru

bicara (pandegau).

b. Kopitano Lipu, jabatan untuk kaomu, dibantu seorang juru penerang

(talombo).

c. Kopitano Suludadu, jabatan untuk kaomu, memimpin dua regu prajurit

(saragenti).

d. Bonto Ea (Bontono Kampani, Bontono Kancua-ncua), jabatan untuk

walaka.

2) Bonto Slolimbona, jabatan walaka, terdiri dan:

a. Bontono Langkaudu.

b. Bontono Mowuru.

c. Bontono Rotawo.

d. Bontano Kalibu.

e. Bontono Sakau dan

f. Bontono Kodaawu.

3) Bobato, jabatan untuk kaomu, terdiri dan:

a. Lakino Lemo, merangkap todulako atau panglima perang darurat, dibantu

dua orang juru bicara (pandegau) yaitu pandegau Ea (juru bicara besar)

dan pandegau ete (juru bicara kecil).

b. Lakino Bone, dibantu seorang pandegau.

c. Lakino Kalibu, dibantu seorang pandegau.

d. Lakino Mataoleo, dibantu seorang pandegau.

e. Lakino Kotawo, dibantu seorang pandegau.

f. Lakino Tomoahi, dibantu seorang pandegau.

g. Lakino Sampu, dibantu seorang pandegau.

h. Lakino Wela-Welalo, dibantu seorang pandegau.

4) Sabandaro, satu orang, jabatan untuk kaum bangsawan, dibantu seorang juru

bahasa (juru bahasa).

5) Juru bahasa, enam orang, jabatan untuk walaka.

6) Talombo, dua orang, jabatan untuk walaka, terdiri dari : (1) Talombono

Kompania dan (2) Talombono Kancua-ncua.

7) Pandegau, 11 orang, jabatan untuk walaka yang meliputi:

a. Pandegauno Kampani.

b. Pandegauno Kancua-ncua.

c. Pandegauno Lemo.

d. Pandegauno Bone.

e. Pandegauno Tomoahi.

f. Pandegauno Sampu.

g. Pandegauno Wela-Welalo.

h. Pandegauno Kalibu.

i. Pandegauno Mataoleo.

j. Pandegauno Kotawo.

k. Pondegauno Sakau.

8) Belobaruga, empat orang, jabatan untuk walaka yang terdiri atas:

a. Belobarugano Kinipulu.

b. Belobarugano Kapitano Lipu.

c. Belobarugano Kampani.

d. Belobarugono Kancua-ncua.

9) Syaragenti, 28 orang, jabatan untuk walaka yang terdiri dari dua orang

Albahidiri, dua orang Alpirisi, dan 24 orang anggota pasukan. (Abu Hasan,

1989 :67-69).

Di samping pemerintahan yang disebut kabonto dan kabobato, masih ada

syara yang disebut syarano hukumu yang dikepalai oleh Lakino Agama, terdiri

dan dua syarano, yaitu syarano hukumu bidang adat dan syarano hukumu bidang

agama. Lakina Agama pertama bernama La Ode Rustam dengan gelar Sangia Yi

Agama Bangkudu mantan Lakina Kulisusu kedua (Abusaru, 2005 (dalam

Alihadara, 2010:86). Selanjutnya menurut Abusaru bahwa La Ode Rustam

menerima Agama Islam dari Sultan Murhum untuk dikembangkan di Kulisusu,

diterima oleh Lakina Lemo I Wa Ode Bilahi dan Kopasarano. Keislaman rakyat

Kulisusu diresmikan oleh Sultan Buton IV, Dayanu Ikhsanuddin, (Abusaru 2005,

dalam Alihadara 2010:86).

Dalam pelaksanaan pemerintah, Lakino Lipu (Lakino Kulisusu),

Mansuana (Lakino Kulisusu secara batin), Kinipulu, Kapitano Lipu, Bontono

Kampani dan Bontono Kancua-ncua merupakan presidium aparat kerajaan yang

mewakili semua unsur dan dipilih secara demokratis. Dan enam orang anggota

presidium, tiga diantaranya mewakili golongan kaomu yakni : Lakino Lipu,

Kapitano Lipu. dan Kinipulu, sedang tiga orang lainnya mewakli golongan

walaka dan papara yakni Mansuana, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-

ncua (Abu Hasan, 1989 69). Sebagai satu kesatuan kepemimpinan kolektif di

bawah pimpinan Lakino Lipu masing-masing mempunyai tugas khusus. Adapun

tugas masing-masing aparat kerajaan (Barata Kulisusu) meliputi:

1) Lakino Lipu (Lakino Kulisusu) merupakan kepala wilayah dan sekaligus

kepala pemerintahan, penentu kebijakan dalam pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan dan kemasyarakatan. Walaupun Lakino Lipu adalah jabatan

untuk kaum bangsawan tetapi yang memillh dan mengangkatnya adalah kaum

walaka.

2) Mansuana, merupakan kepala negeri di bidang kebatinan yang memelihar3

dan mengatur keselamatan dan kesulitan hidup yang diakibatkan oleb

gangguan alam atau pun gangguan yang datangnya dari makhluk-makhluk

halus secara gaib seperti wabah penyakit, kekurangan hasil panen,

merajalelanya hama tanaman, banyaknya anak usia di bawah umur yang

meninggal merupakan bahagian dari tugas-tugas Mansuana untuk dicarikan

cara mengatasinya. Jabatan ini merupakan jabatan yang diwariskan secara

turun temurun dengan mempertimbangkan kematangan generasi yang

menerimanya.

3) Kinipulu adalah aparat pembantu Lakino Lipu dalam tugas pererintah

utamanya yang berkaitan dengan pengawasan jalannya pemerintah baik

dalam tubuh aparat kerajaan maupun pemimpin kadie (desa) yang secara ex

officio adalah aparat kerajaan.

4) Kapitono Lipu adalah aparat kerajaan yang bertugas menjaga keamanan dan

ketertiban masyarakat. Selain daripada itu Kapitano Lipu juga merupakan

penegak hukum dan pembina masyarakat. Dalam tugas-tugas yang lebih berat

Kapitano Lipu bekerja sama dengan Kapitano Suludadu dengan pasukan

syaragenti.

5) Bonto seperti diuraikan di muka merupakan pimpinan kadie (desa) dan kaum

walaka. Suatu kadie di pimpin oleh bonto manakala kadie tersebut hanya

terdiri dari satu kampung. Bonto selain sebagai pimpinan kadie juga secara ex

officio merupakan aparat kerajaan.

6) Bonto atau lakino pada prinsipnya sama dengan bonto dimana berfungi

sebagai pimpinan kadie yang terdiri beberapa kampung yang berasal dari

kaurn bangsawan. Seperti halnya bonto, lakino juga secara ex officio

merupakan aparat kerajaan.

7) Sabandara sebagai alat atau aparat kerajaan yang bertugas sebagai kepala

pelabuhan yang mengawasi perkembangan wilayah teritorial laut dan

berbagai kemungkinanan yang dapat mengganggu stabililtas dan keamanan.

Semua perkembangan yang ditemukan senantiasa dilaporkan kepada Lakino

Lipu untuk dimusyawarakan dengan presidium kerajaan dalam rangka

penentuan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan selanjutnya.

8) Juru Bahasa adalah aparat pembantu sabandara secara operasional

mengadakan kontak di lapangan dengan oknum-oknum yang mencurigakan.

Karena tugas tugasnya yang sangat teknis operasional, maka Juru Bahasa

disebut biri, mata dan elo lakino (raja). Biri artinya Juru Bahasa merupakan

“telinga” atau alat pendengaran raja. Mata artinya Juru Bahasa merupakan

“mata” alat penglihatan raja. Elo artinya Juru Bahasa merupakan “lidah” atau

alat perasaan raja.

9) Talombo adalah aparat yang membantu pelaksanaan tugas-tugas daripada

bonto. Talombo bekerja atas nama bonto dan melaksankan tugas setelah

mendapat mandat dimana setelah tugas-tugasnya selesai dilaksanakan harus

menyampaikan hasilnya serta berbagai masalah yang ditemukan dalam

pelaksanaannya. Tugas talombo antara lain mengurus upeti dan setiap kadie,

untuk kesejahteraan dan kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas aparat kerajaan.

10) Pandegau adalah merupakan aparat kerajaan yang bertugas mendampingi

bonto yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat

umum yang berkaitan dengan pengumuman atau instruksi pemerintah atau

syara. Selain daripada itu pandegau juga bertugas untuk mengkomunikasikan

berbagai kebijaksanaan pemerintah kerajaan kepada aparat kadie. Dengan

fungsinya sebagai mediator maka berbagai aspirasi dari bawah juga

dikomunikasikan oleh pandegau kepada bonto yang selanjutnya menjadi

bahan atau agenda musyawarah dalam pertemuan syara atau aparat kerajaan.

11) Belobaruga adalah aparat yang bertugas melayani berbagai urusan atau

kepentingan presidium kerajaan dimana masing-masing anggota presidium

mempunyai seorang belobaruga atau ajudan. Sesuatu urusan sebelum sampai

di tangan anggota presidium harus diperiksa terlebih dahulu oleh belobaruga

dan untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat yang dimaksud.

12) Syaragenti adalah aparat yang bertugas menjaga stabilitas dan keamanaan

utamanya dalam soal-soal yang berhubungan dengan perang, gangguan

keamanan yang bersifat politik. Syaragenti ini di bawah pimpinan Kopitano

Suludadu yang diturunkan oleh syara pada saat menghadapi keadaan-keadaan

genting. Nama syaragenti berarti aparat yang menangani masalah-masalah

genting. Sistem pemerintah seperti yang dikemukakan di atas berjalan terus

hingga tahun 1951 dan tetap menjadikan Benteng Lipu sebagai pusat

kedudukan pemenintah. Pemerintah yang berpusat dalam benteng ini baru

berakhir setelah pemerintah La Ode Ompo yang masih bergelar Lakino

digantikan oleh La Ode Abdul Gani dengan gelar Jabatan Kepala Distrik yang

memerintah tahun 1951-1956 (Abu Hasan, 1989: 69-73).

F. Falsafah Pemerintahan

Abusaru (dalam Alihadara, 2010: 90) menjelaskan bahwa sejak pertemuan

La Ode-Ode dengan ayahnya di Wolio, ia telah diberikan kekuasaan untuk

menjadi Lakina Kulisusu I. Dalam pelaksanaan pemerintahannya ia mengacu pada

dua buku yang berjuduI Mir’atuttama dan Martabat Tujuh. Di dalam Martabat

Tujuh antara lain dilukiskan beberapa petunjuk mengenai sifat laku atau sifat

hidup dalam kekeluargaan islam, dalam bermasyarakat dan berpemerintahan serta

sifat batin dalam bertanah air dilengkapi dengan pengertian amanah Tuhan. Islam

dalam bermasyarakat dan berpemerintahan dilandaskan pada:

1. Tokonukui Kulinto, merupakan azas tenggang rasa, tidak saling menyakiti.

Dalam pelaksanaannya hendaknya setiap orang, setiap pejabat senantiasa

bersikap dalam suasana peka maa maasiako atau saling mengasihi,

pekaengka-engkaako atau saling hormat-menghormati, pekapia piara atau

saling memelihara, pekameme toko atau saling takut-menakuti. Seperti anak-

anak kita sayangi, yang tua kita hormati, sesama umur kita asuh dan orang tua

kita takuti, jadi saling asih, saling hormat-menghormati, saling asuh dan

saling toleransi, malunya orang adalah malunya semua sebagai satu kesatuan.

2. Topamentoso larondo mia atau sebagai azas mengasah hati segala manusia

dalam wujud pemberian anugrah dapat berupa pengangkatan dalam suatu

kedudukan jabatan, juga pemberian fasilitas kerja. Beberapa persyaratan yang

menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan yang diberikan anugrah

itu adalah:

a. Karena ikut membantu melawan musuh.

b. Karena ilmu pengetahuan.

c. Karena kepahaman dan kemahiran tentang seluk beluk sejarah Kulisisu

serta seluk beluk tata pemerintahan.

d. Karena pengorbanan harta bendanya.

e. Karena mengorbarikan kepandalan, keahlian, dan kesetiaannya.

Kesemdanya dalam rangka keikhlasan pengabdiannya kepada pemerintah

tanah air Kulisusu.

Mengenai sikap batin dalam bertanah air dilandaskan pada azas berikut:

a. Hina hinomo idaa arataa sumano wuto (kepentingan diri di atas

kepentingan harta benda).

b. Hina hinamo wuto sumono lipu (kepentingan negeri di atas kepentingan

diri).

c. Hina hinamo lipu sumano sara (kepentingan pemerintah di atas

kepentingan negeri).

d. Hina hinamo sara sumano agama (kepentingan agama di atas kepentingan

pemenintah).

Adapun maksud falsafah tersebut adalah apalah arti harta benda

dibandingkan dengan arti manusia, apalah arti manusia pribadi dibandingkan

dengan tanah air, apa arti tanah air jika hukum dan pemerintah tidak ditegakkan

dan apa arti semuanya itu jika manusianya tidak beragama.

Sedangkan azas yang berbentuk semboyang yang dituturkan Abusaru,

2005(dalam Alihadara, 2010:92) adalah:

a. Ydaa umowoseno kadio sara, artinya tidak ada yang lebih kuasa selain dari

pemerintah.

b. Ydaa umentaano kadlo sara, artinya tidak ada yang lebih tinggi seain

pemerintah.

c. Ydaa mokorano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih kuat selain

pemerinah.

d. Ydaa mosegano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih berani selain

pemeintah.

Amanat yang “tujuh” yang diturunkan Tuhan kepada manusia adalah:

a. Hidup, laksana permata bagi manusia, wajib senantiasa memperbaikinya,

tidak dibawa kehidupan itu dalam kerusakan.

b. Ilmu pengetahuan, wajib atas kita menggunakannya pengetahuan untuk

memiliki keadaan diri sendiri dan mengetahui kebesaran Tuhannya dan

segala sesuatu yang wajib diketahui, dipelihara, dipahami dengan baik

agar tidak salah mengerti.

c. Kekuasaan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat.

d. Kamauan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat.

e. Pendengaran, wajib kita menggunakannya untuk mendengarkan petunjuk,

suruhan, perintah Tuhan dan Rasulullah, jangan sekali-kali digunakan

untuk mendengarkan yang tidak benar, baik berupa perkataan, ucapan

bohong maupun berupa makian nista dan dengki.

f. Penglihatan, wajib kita menggunakannya bagi hayat sendiri, dan

janganlah digunakan untuk melihat atau memandang yang tidak benar.

1.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masa Prabarata

3.2.1 Kehidupan Sosial

Pada masyarakat Buton Utara pada Masa Prabarata memiliki kehidupan

sosialnya sangat nampak baik dalam proses interaksi sesama masyarakat maupun

interkasi dengan pemimpin (Sangiano). Masyarakat dalam hari-harinya Sangat

mengedepankan rasa solidaritas yang tinggi ketimbang kepentingan pribadinya.

Misalnya salah satu dari pemukiman yang ada pada Buton Utara pada masa

Prabarata yaitu perkampungan Doule setelah panen hasil pertanian padi, maka

akan mengadakan pesta panen sebagai wujud rasa sukur, maka semua masyrakat

yang ada di pemukiman lain akan menghadiri pesta ini dan turun serta dalam

membantu masyarakat pemukiman Doule demi untuk terselenggaranya acara

tersebut. Hal ini terjadi bukan hanya satu daerah tapi seluruh pemukiman yang ada

di Buton Utara pada masa Prabarata dan itu sangat nampak dalam acara apapun

baik dalam rangka pembukaan lahan, acara perkawinan maupun pertujukan acara

acara lain yang mencirikan kekhasan Buton Utara pada masa Prabarata, seperti

alionda. Alionda ini adalah pertunjukan masyarakat Buton utara pada masa

Prabarata, sebagai satu pertunjukan yang sangat menarik disetiap acara-acara

keramaian yang akan menghibur para penyelenggra acara maupun para pendatang

dari pemukiman atau daerah lain.

Beberapa sumber lain menurut hasil cerita rakyat yang diperoleh menjelaskan

bahwa kenampakan dari wujud rasa sosial masyarakat Buton Utara pada masa

Prabarata, akan sangat dirasakan ketika keluarga yang mengadakan acara

perkawinan, berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu, maka semua

kalangan baik sebagai pemimpinnya pemukiman, Sangia, maupun dari kalangan

rakyat akan turut membantu demi suksesnya acara. Bantuan-bantuan yang

diberikan kepada keluarga tergantung dari apa yang mereka miliki, kalau tidak

ada barang yang diberikan maka akan membantu dengan tenaganya.

Adapun sumber dari hasil informan peneliti juga sangat nampak ketika ada

keluarga yang berduka, maka semua masyarakat akan turut mengulurkan tangan,

memberikan bantuan yang dimiliki untuk keluarga yang menderita musibah.

Modelnya bukan hanya keluarganya yang ditimpa musibah yang akan dibantu,

akan tetapi masyarakat secara umum, pada saat seperti ini sangat nampak akan

rasa solidaritasnya. Rasa solidaritas sebagai wujud rasa sosialnya masyarakat

Buton Utara Pada Masa Prabarata sesuai salah satu informan mengatakan bahwa :

Kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa prabarata, sangat

nampak ketika masyarakat mengadakan aktivitas, baik itu pembukaan lahan

pertanian, acara perkawinan, acara kedukaan, dan acara pesta panen. Pada saat itu

saling memberi antara sesama, dan bekerja tanpa mengharapkan imbalan jasa.

(wawanca dengan informan Waumbe tanggal 22-april 2013)

Menurut informan lain mengatakan bahwa :

Hal yang diutamakan pada masa Buton Utara pada masa prabata hal yang

paling diutamakan dalam kehidupan keseharianya dalam bermasyakat saling

memberi tanpa mengenal keluarga akan tetapi secara umum sesuai atas apa yang

dimilikinya. (wawancara dengan Lambeke pada tanggal 23 April 2013).

Sedangkan menurut informan lain mengatakan bahwa :

Model dari wujud rasa solidaritas dalam keseharian masyarakat Buton Utara

pada masa prabarata bukan hanya kalangan Sangia (pemimpin) yang akan merasa

dihargai akan tetapi semua kalangan masyarakat pada umumnya mengutamakan

rasa kebersamaan. ( wawancara dengan informan Lahanu pada tanggal 4 April

2013).

4.3.2 Kehidupan Ekonomi

Adapun yang menjadi kehidupan ekonomi masyarakat pada masa

prabarata belum adanya sistem pasar yang menjadi pusat perekonomian

kehidupannya, akan tetapi hanya megandalkan hasil pertanian untuk menyambung

kelangsungan kehidupan hari-harinya, seperti bertani padi ladang, dan berbagai

macam ubi-ubian. Model proses pertukaran pada masa ini, ketika diantara

pemukiman yang ada masa ini ada yang kekurangan pasokan makan karena masih

menunggu tiba saatnya panen maka kebiasaan masyarakat akan datang kedaerah

yang sudah panen untuk meminjam padi atau ubi-ubian, akan tetapi ketika

daerahnya sudan tiba saatnya panen maka wajib untuk menggantikan sesuai

dengan hasil panen yang dipinjamnya pada saat kehabisan pasokan makanan.

Dalam perkembangan Buton Utara pada masa Prabarata proses perekonomiannya,

dengan bertambahnya hasil pertanian, dan bertambahnya jumlah masyarakat

sehingga bertambah pula kebutuhan masyarakat akan bahan pangan dalam

kelangsungan hidupnya. Atas dasar inilah maka perkembangan mengarah kepada

sistem perekonomian yang disebut Sungku Dalo. Makna dari Sungkudalo saling

menukar rezki yang dimiliki dan dibagikan antara sesama. Artinya ketika musim

panen tiba dan datang tidak bersamaan di antara beberapa pemukiman, untuk

mempertahankan kehidupan atau prinsip subsistensi, maka penduduk yang duluan

panen akan meminjamkan hasil penennya pada penduduk lain yang belum panen,

dan akan dikembalikan setelah musim yang meminjam sebelumnya telah menuai

hasil panennya. Prinsip subsistensi ini menggambarkan keselarasan dan

keharmonisan kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata. Hal

ini seperti yang dikutip dari wawancara dibawah ini:

Model awal proses perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa

Prabarata, dengan mekansaaru (meminjam) hasil panen pada daerah lain untuk

memenuhi kebutuhannya, hal ini dilakukan untuk mempertahankan kehidupannya,

sambil menunggu daerahnya tiba sasatnya panen, ketika daerahnya panen maka

akan menggantinya sesuai dengan hasil pangan yang dipinjamnya misalnya padi-

padian. (wawancara dengan informan Waumbe tangagal 22 april 2013).

Informan lain mengatakan bahwa:

Model perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata, dalam

prosesnya hanya mengharapkan hasil panen, dari tanaman yang masyarakat

panen, ada pemukiman hanya yang berhasil dengan panen ubi-ubian dan daerah

lain berhasil panen padi-padian maka maka dari kedua model ini akan saling

menukarkan barangnya . (wawancara dengan informan Lambeke tanggal 23 april

2013).

Sedangkan menurut informan lainnya mengatakan bahwa:

Model proses pertukaran pada masyarakat Buton Utara pada masa

Prabarata dengan saling menukarkan rezki atau hasil panen kepada sesama, seperti

Ubi dengan padi atau sungkudalo (wawancara dengan Informan Lahanu tanggal 4

april 2013).

Berdasarkan model perekonomian masyarakat Buton Utara pada Prabarata

menurut analisis peneliti. Belum mengenal dunia pasar akan tetapi Bahwa pada

masa ini berangkat dari rasa solidaritasnya yang begitu tinggi dan sangat nampak

dalam kehidupan sehari-harinya, maka mengarah juga dalam menentukan

kehidupan ekonominya, saling menolong dan kerja sama untuk kelangsungan

hidupnya, cukup nampak mewarnai kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara

pada masa Prabarata. Sehingga Pada masa ini sangat ketergantung pada hasil

panen untuk mempertahankan hidup, untuk mempertahankan kelangsungan hidup

mereka yaitu dengan menggunakan model mekasansaru (simpan pinjam) hasil

penen, karena pada masa ini hanya mengharapkan dukungan cuaca, berhasil dan

tidaknya yang menjadi sumber penghidupannya.

Pada saat Buton Utara terintegrasi dengan kesultanan Buton daerah ini

baru mengenal alat tukar yakni “ringgit” hal ini berdasarkan hasil wawancara

dengan informan mengatakan bahwa masyarakat Buton Utara mengenal doi

(uang) pada saat bersatunya dengan kerajan Kesultanan Buton, yang

diperkenalkan oleh bangsa Belanda di Buton (hasil wawancara dengan Waumbe

tanggal 22 april 2013)

Adapun kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara pada masa sekarang,

tidak pernah terlepas dari sejarahnya yakni, belum pernah terlepas dari keadaan

geografi setempat, karena mayoritas penduduknya masih banyak menjadi petani

akan tetapi modelnya sudah berubah yakni sudah mulai menanam tanaman jangka

panjang seperti, kelapa, jambu mete, kopi, akan tetapi juga menam tanaman jang

pendek seperti ubi-ubian padi tada hujan. (Alihadara, 2010:25) dan sudah

mengenal dunia pasar, untuk menjual hasil tanaman mereka sehingga

menghasilkan uang. Perkembangan ini tidak terlepas dari perjalan sejarahnya pada

Buton Utara pada masa prabarata. Perbedaan mekanismenya, dimana pada masa

prabarata tidak menanam tanaman jangka panjang, hanya menam tanaman jangka

pendek untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan belum mengenal

dunia pasar seperti halnya Buton Utara pada masa sekarang.