BAB IV Analisis Situasi Agroindustri Gambar di Kabupaten Lima ...
Transcript of BAB IV Analisis Situasi Agroindustri Gambar di Kabupaten Lima ...
4 ANALISIS SITUASI AGROINDUSTRI GAMBIR DI
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA, SUMATERA BARAT
Dalam bab ini disajikan gambaran agroindustri gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota, Sumatera Barat yang meliputi teknologi proses yang digunakan,
gambaran mutu produk gambir masyarakat, rantai pasok dan pemasaran gambir.
Selanjutnya, dilakukan evaluasi permasalahan dalam agroindustri gambir
masyarakat. Pada bagian akhir bab ini dikemukakan pemetaan kondisi bisnis
gambir Indonesia secara umum dan beberapa negara utama dalam bisnis gambir
dunia dengan Analisis SWOT serta audit teknologi terhadap agroindustri gambir
masyarakat.
4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Lima Puluh Kota
Kabupaten Lima Puluh Kota terletak di antara 0o25’28.71”LU sampai
0o22’14.52”LS dan 100
o15’44.10”BT sampai 100
o50’47.80”BT dengan daratan
seluas 3354.30 km2 (7.94 persen dari daratan Provinsi Sumatera Barat yang
luasnya 42,229.64 km2). Posisinya yang berada di Pegunungan Bukit Barisan
menyebabkan Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari daerah-daerah dengan
berbagai ketinggian dan topografi bervariasi antara datar, bergelombang,
berbukit-bukit. Selain itu, di Kabupaten Lima puluh Kota terdapat tiga gunung
berapi yang tidak aktif yaitu Gunung Sago (2261 m), Gunung Bungsu (1253 m)
dan Gunung Sanggul (1495 m). Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki
ketinggian antara 110 hingga 791 meter di atas permukaan laut. Luas daerah di
Kabupaten Lima Puluh Kota menurut ketinggiannya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
Menurut Ketinggian dari Permukaan Laut
Ketinggian
(meter) Luas (Ha)
Persentase
(%)
100-1000 256,030.40 76.33
1000-1500 58,740.05 17.51
1500-2000 15,141.90 4.51
2000-2500 5,517.65 1.64
Total 335,430.00 100.00
Sumber: BPN Kabupaten Lima Puluh Kota di
dalam BPS Kabupaten Lima Puluh Kota
(2008)
48
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa seluas 76.33 persen daerah Kabupaten
Lima Puluh Kota berada pada ketinggian antara 100-1000 meter di atas
permukaan laut. Daerah dengan kisaran ketinggian tersebut sesuai untuk
tanaman gambir. Selain itu, posisinya di Pegunungan Bukit Barisan
menyebabkan daerah-daerah di Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki kelerengan
berbeda-beda mulai dari daerah yang relatif datar hingga daerah yang curam
dengan kelerengan yang lebih dari 40%. Daerah yang sebaiknya digunakan untuk
budidaya tanaman gambir adalah daerah yang memiliki kelerengan kurang dari
15% yakni seluas 136,161.40 hektar atau sebesar 40.59% dari keseluruhan daerah
di Kabupaten Lima Puluh Kota (Tabel 7).
Tabel 7. Luas Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
Menurut Kelerengannya
Kelerengan
(%) Luas (Ha)
Persentase
(%)
0 – 2 57,092.05 17.02
2 – 15 79,069.35 23.57
15 – 40 83,658.56 24.94
> 40 115,610.04 34.47
Total 335,430.00 100.00 Sumber: BPN Kabupaten Lima Puluh Kota di dalam
BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2008)
Secara administratif, Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari 13
kecamatan yang luas wilayahnya berbeda-beda (Lampiran 8). Di antara
kecamatan tersebut, yang paling luas adalah Kecamatan Kapur IX dan
Kecamatan Pangkalan Koto Baru yang luasnya berturut-turut 721.36 km2 dan
712.06 km2 (21.57% dan 21.23% dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Lima
Puluh Kota ). Kedua kecamatan tersebut juga merupakan daerah penghasil
gambir terpenting di provinsi Sumatera Barat.
Dari segi tekstur tanah, seluas 39,262.55 hektar (9.93%) lahan Kabupaten
Lima Puluh Kota memiliki takstur halus dan sisanya sedang dan kasar.
Selanjutnya, dari segi curah hujan, berdasarkan data Stasiun Klimatologi Sicincin
(tempat pemeriksaan Tanjung Pati) di dalam BPS Kabupaten Lima Puluh Kota
(2008) selama tahun 2007, Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki jumlah curah
hujan 3.120 mm dan 209 hari hujan yang tersebar dengan kisaran 12-24 hari
49
hujan/bulan sepanjang tahun. Data rinci mengenai kondisi geografis dan curah
hujan Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai
dengan Lampiran 17.
Gambar 16. Topografi dan Penutupan Lahan di Kecamatan Pangkalan dan
Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota
Sumber: Googleearth, 2011
Dengan persyaratan ketinggian, curah hujan, kelerengan lahan serta
kondisi tanah, serta adanya 13 sungai besar dan kecil yang mengalir di berbagai
kecamatan, maka cukup banyak daerah di Kabupaten Lima Puluh Kota yang
memenuhi persayaratan tumbuh tanaman gambir. Selanjutnya dengan persyaratan
kisaran suhu 20o–40
oC dan kisaran suhu tersebut umum bagi banyak daerah di
Indonesia, diduga suhu tidak menjadi masalah yang mengganggu pertumbuhan
tanaman gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Karena kondisi geografis dan
iklim di atas, Kabupaten Lima Puluh Kota telah terbukti sesuai untuk tanaman
gambir hingga menjadi komoditas penting di daerah tersebut sejak dahulu hingga
saat ini.
Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah bahwa dengan berbagai
kondisi geografis dan iklimnya, hingga saat ini Kabupaten Lima Puluh Kota tetap
menjadi sumber gambir yang penting, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga
bagi negara-negara pengimpor seperti India dan Singapura. Potensinya yang
sangat besar menyebabkan pengusaha India melakukan investasi dengan
50
mendirikan pabrik pengolahan daun gambir di Kecamatan Kapur IX dan
Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota (Survei Tim Riset Gambir IPB di
Kecamatan Harau dan Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota,
Agustus 2009, Gumbira-Said et al., 2009).
Tabel 8. Sungai-sungai yang Mengalir di Kabupaten Lima Puluh Kota
No
Nama Sungai
Lokasi (Kecamatan) Panjang
(km)
1
Batang Sinamar
Gunung Omeh, Suliki, Mungka,
Payakumbuh, Harau, Luak, Lareh
Sago Halaban 75
2 Batang Liki Suliki, Gunung Omeh 11
3
Batang Mahat
Bukik Barisan, Kapur IX, Pangkalan
Koto Baru 125
4 Batang Lampasi Akabiluru, Payakumbuh 30
5
Batang Agam
Akabiluru, Situjuah Limo Nagari,
Harau 25
6 Batang Kapur Kapur IX 40
7 Batang Mongan Kapur IX 72
8 Batang Paiti Kapur IX 31
9 Batang Mangilang Pangkalan Koto Baru, Kapur IX 20
10 Batang Namang Suliki, Guguk, Payakumbuh 22
11 Batang Mungo Harau 22
12 Batang Sanipan Harau 20
13 Batang Nenan Bukik Barisan 5
Sumber: BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2010)
4.2 Bangunan Produksi, Sumber Air dan Sumber Energi dalam Pengolahan
Gambir
Seluruh kegiatan produksi gambir dilakukan di unit-unit agroindustri
skala mikro yang disebut rumah kempa yang terletak di tengah-tengah kebun
gambir. Untuk setiap bidang kebun dengan luasan sekitar dua hektar, tedapat
satu rumah kempa. Tergantung pada kesuburan tanaman yang mempengaruhi
produksi daun gambir, setiap bidang kebun tersebut rata-rata dapat menyediakan
bahan baku untuk produksi selama tujuh sampai delapan minggu. Kebun-kebun
yang subur dapat mendukung produksi gambir selama sepuluh minggu. Pada
kebun-kebun yang ditumpangsarikan dengan tanaman karet dan tidak terawat
baik, daun gambir yang dihasilkan hanya mencukupi untuk mendukung produksi
selama empat minggu.
51
Setelah masa produksi tersebut, kebun gambir tersebut ditinggalkan
sampai tersedia kembali daun gambir untuk produksi berikutnya dalam tahun
yang sama. Umumnya, masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota tidak
melakukan pemeliharaan kebun gambir kecuali penyiangan yang dilakukan
beberapa saat setelah pemanenan daun. Jika semak-semak sangat banyak,
masyarakat biasanya menggunakan herbisida. Selain pemeliharaan berupa
penyiangan tersebut, masyarakat tidak melakukan pemupukan ladang gambir,
baik menggunakan pupuk kimia maupun pupuk kandang kecuali pembuangan
ampas daun sisa ekstraksi ke kebun sebagai pupuk organik yang dilakukan oleh
tenaga kerja pengolahan.
Untuk setiap rumah kempa dibutuhkan dua-tiga tenaga kerja, namun yang
terbanyak adalah tiga orang. Tenaga kerja pengolahan tersebut terdiri dari satu
orang tenaga kerja utama (di daerah Lima Puluh Kota disebut Nodo) dan satu
atau dua orang tenaga kerja pembantu (disebut Anak Kewi). Teknologi yang
digunakan masih tradisional dan diduga selama sekitar satu setengah abad, tidak
ada perubahan yang berarti kecuali penggunaan dongkrak hidrolik sebagai
pengganti penggunaan baji yang dipukul dengan palu kayu yang sebelumnya
digunakan (Gumbira Sa’id, et al., 2010). Rangka pengempa dan alas pengempa
umumnya masih menggunakan kayu-kayu bulat sebagaimana digunakan para
orang tua sebelumnya.
Rancangan tata letak bangunan produksi gambir (rumah kempa) yang
digunakan masyarakat di berbagai daerah di Kabupaten Lima Puluh Kota juga
hampir standar. Rumah kempa yang berukuran sekitar 4 m x 4 m tersebut terdiri
dari bangunan kayu berdinding papan dan beratap seng atau daun rumbia.
Separuh bagian pertama rumah kempa terdiri dari dua lantai dengan lantai atas
terbuat dari papan (Lantai A2) untuk tempat istirahat pengempa dan lantai dasar
(Lantai A1) berupa lantai tanah. Tinggi lantai papan tersebut sekitar dua meter
dari lantai dasar. Tata letak rumah kempa disajikan pada Gambar 17.
52
Gambar 17. Tata Letak Bangunan Rumah Kempa di Kabupaten Lima Puluh
Kota
Pada lantai dasar (Lantai A1), terdapat dasar tungku, bak penampung
getah hasil ekstraksi (pengempaan) serta rak untuk penempatan bak kayu untuk
pengendapan getah gambir. Pada area sisanya di lantai dasar tersebut terdapat
tempat penirisan dan tempat dilaksanakannya aktivitas pencetakan gambir. Di
bawah area penirisan terdapat saluran untuk mengalirkan cairan sisa penirisan ke
bak penampung yang ada kalanya berada di lantai dasar dalam rumah kempa
tersebut, atau di luar rumah kempa. Cairan sisa penirisan tersebut (di Kabupaten
Lima Puluh Kota disebut “Kalencong”) akan digunakan kembali untuk perebusan
daun gambir. Cairan tersebut juga akan digunakan pada waktu pengolahan
periode berikutnya setelah ladang gambir ditinggalkan selama empat sampai lima
bulan.
Keterangan:
1 : Kuali Pemasakan
2 : Area Persiapan Pengempaan
3 : Alas Pengempaan (hanya berupa lantai dari kayu-kayu bulat)
4 : Bak Penampung Hasi Ekstraksi
5 : Bak Kayu untuk Pengendapan Getah Gambir (berkaki, tiga tingkat)
6 : "Keranjang" Bambu Penirisan
7 : Area Pencetakan
8 : Area "Mulut" Tungku, tempat pengisian kayu bakar ke tungku
(c) Ruang di atas Lantai B 9 : Area Beralas Tanah Tempat Pengempa Memasak
10 : Rak Penempatan Tray untuk Pengeringan Gambir ("Samie")
(a) Denah Lantai (b) Lantai A1
Lantai A2
Lantai B
(e) Lantai A2
Lantai A1
(d) Tinggi Lantai
5
7
6
1
2 3 4
8
9
10
10
53
Separuh bagian kedua rumah kempa terdiri dari satu lantai (Lantai B)
yang posisinya +70 cm lebih rendah dari lantai papan (lantai atas dari separuh
bangunan yang pertama). Bibir kuali untuk perebusan daun gambir rata dengan
lantai ini. Di lantai tersebut terdapat area persiapan pengempaan yakni proses
penggulungan daun gambir yang telah direbus dan mengikat gulungan daun
tersebut dengan tali plastik dengan diameter berukuran + 2 cm. Pada salah satu
bagian lantai ini, yakni dekat area penggulungan, terdapat alas pengempaan yang
rata dengan lantai. Rancangan tata letak tersebut hanya melanjutkan kearifan
lokal yang telah digunakan secara turun temurun.
Untuk kegiatan produksi, pada saat perebusan daun gambir (+ 50-60 kg
per perebusan) dibutuhkan sekitar 20 liter air sehingga pengolahan gambir di
rumah kempa sebanyak 5-6 kali perebusan/hari akan membutuhkan sekitar 100 –
120 liter air. Pada saat pengempaan (ekstraksi) ditambahkan air rebusan tersebut
dengan menyiramkannya kepada daun yang diperas. Tergantung pada lokasi
masing-masing bidang kebun gambir, sumber air ini dapat berupa sungai, mata
air, atau kolam, di samping adanya petani yang menempatkan drum penampung
air hujan di rumah-rumah kempa mereka. Air tersebut digunakan langsung
dalam proses perebusan tanpa perlakuan tertentu seperti penyaringan,
pengendapan dan sebagainya.
Kebutuhan energi panas untuk perebusan daun diperoleh dari penggunaan
kayu bakar yang diambil dari kayu-kayu hutan yang sengaja disisakan dalam
luasan tertentu dari lahan perkebunan gambir. Untuk pengadaan bahan bakar
tersebut, tidak dilakukan penanaman tanaman sumber kayu bakar secara khusus.
Pada saat penyiapan kebun gambir, biasanya petani menyisakan sekitar 0.5-1 ha
lahan yang tidak dibuka untuk penyediaan kayu bakar untuk kebun gambir
dengan luas sekitar 2-3 hektar.
4.3 Teknologi Pengolahan Produk Gambir
Proses produksi gambir yang dilaksanakan masyarakat pada dasarnya
terdiri dari beberapa tahapan yaitu pemetikan daun, perebusan daun, ekstraksi
getah gambir, pengendapan dan penirisan air, pencetakan dan pengeringan.
54
Untuk mempercepat pengendapan, di Kecamatan Kapur IX pengempa biasa
menambahkan air perasan dari daun gambir (disebut “Ketapang”) yang ditumbuk
menggunakan lumpang kayu atau batu. Teknologi yang digunakan masih
sederhana dan seluruhnya menggunakan tenaga manusia. Peralatan yang
digunakan untuk setiap tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tahapan dan Peralatan Proses Produksi Gambir
Tahapan Proses Peralatan
Pemetikan daun Alat tuai
Pengangkutan daun Keranjang rotan
Perebusan daun Anyaman bambu atau drum yang dibagi dua (disebut
Kapuk).
Anyaman tali yang berfungsi sebagai “keranjang”
untuk membantu pemadatan daun di dalam kapuk dan
mempertahankan daun saat dikempa.
Kuali besi (Diameter sekitar 100 cm)
Tungku berbahan bakar kayu
Pengempaan Kempa horizontal dengan dongkrak hidrolik atau kempa
vertikal dengan katrol
Pembentukan pasta
gambir
Bak pengendapan dari papan
Pengurangan kadar
air pasta gambir
Keranjang bambu dengan karung dan batu-batu pemberat
untuk penirisan air.
Pencetakan Sepasang cetakan dari bambu (panjang + 15 cm) yang
terdiri dari pembentuk (diameter luar + 5 cm) dan
pendorong (diameter luar + 4 cm)
Pengeringan Menggunakan tray bambu (disebut “samie”) untuk
penjemuran di panas matahari atau memanfaatkan panas
dari tungku.
Tahapan proses dan peralatan yang disajikan pada Tabel 9 tersebut
digunakan pada rumah-rumah kempa di Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Harau,
Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kecamatan XI Koto Tarusan, Kabupaten Pesisir
Selatan serta Kecamatan X Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Secara rinci,
tahapan produksi gambir asalan adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Perebusan
Setelah daun gambir tersedia di rumah kempa, proses pertama adalah
persiapan perebusan. Pada tahap ini, daun dan ranting gambir dari kebun
55
dimasukkan kedalam wadah perebusan (dikenal masyarakat setempat dengan
sebutan “Kapuk”) yang telah diberi semacam jaring dari tali plastik untuk
mengikat daun dalam “kapuk” tersebut setelah pemadatan selesai. Di dalam
“kapuk” tersebut, daun dan ranting gambir muda dinjak-injak dan terus diisi
sampai penuh agar kepadatannya cukup merata dan jumlah daun yang direbus
lebih banyak. Setelah “kapuk” penuh, keranjang tali tadi diikatkan untuk
mempertahankan agar daun tetap padat selama penanganan dan perebusan.
b. Perebusan
“Kapuk” berisi daun gambir yang telah dipadatkan dan keranjang talinya
diikat, dimasukkan ke dalam kuali perebusan. Sekitar seperempat bagian
“kapuk” berada dalam kondisi terendam di dalam air perebusan. Air perebus
dipertahankan mendidih selama sekitar 30 menit sampai uap menembus “kapuk”
dan muncul di permukaan atas kapuk. Setelah itu “kapuk” dibalik, dan perebusan
dilanjutkan.
c. Persiapan Pengempaan
Daun yang telah direbus dikeluarkan dari “kapuk” sehingga terhampar (tebal
hamparan + 10 cm) di lantai dalam jala dari tali plastik. Dengan bantuan dua
buah kayu berujung runcing, kekuatan dan bobot badan pengempa, daun tersebut
digulung sedikit demi sedikit dan diikat dengan tali plastik berdiameter + 2 cm.
Dengan proses di atas, daun kembali berbentuk silinder seperti dalam “kapuk”
dan siap dikempa. Perbedaannya adalah bahwa “kapuk” digantikan oleh
gulungan tali.
d. Pengempaan
Pengempaan dilakukan untuk memisahkan getah gambir dari daunnya untuk
diproses menjadi produk gambir. Pada tahap ini, daun gambir hasil perebusan
yang telah digulung ditempatkan pada dasar pengempa dan diatasnya
ditempatkan balok kayu yang berukuran kira-kira 25 cm x 25 cm x 15 cm. Di
atas balok tersebut ditempatkan dongkrak hidrolik, dan mulai ditekan (dipres)
dengan menaikkan kaki dongkrak sacara perlahan hingga tertahan pada balok
56
kayu bagian atas kerangka alat kempa. Dengan semakin panjangnya kaki
dongkrak, maka daun gambir mulai terperas oleh balok kayu berukuran 25 cm x
25 cm x 15 cm dan di bawah alas kempa mulai mengalir cairan getah gambir
yang diterima oleh lembaran plastik dan selanjutnya mengalirkannya ke dalam
bak penampung getah.
Pada cairan (getah) hasil ekstraksi daun gambir, pengempa biasa
menambahkan air perasan daun gambir yang sebelumnya ditumbuk
menggunakan lumpang kayu. Menurut mereka, penambahan air perasan tersebut
akan mempercepat pengendapan getah gambir.
e. Pengendapan Getah dan Penirisan Air
Ekstrak gambir yang diperoleh dari proses pengempaan daun gambir belum
dapat dicetak karena masih dalam fase cair. Oleh karena itu, cairan tersebut
ditempatkan dalam bak-bak kayu dan didiamkan semalaman. Setelah didiamkan
semalam, getah gambir akan berubah menjadi berupa pasta, namun masih terlalu
basah untuk pencetakan. Pada tahap selanjutnya, dilakukan penirisan untuk
mengurangi kembali air yang masih tersisa dan getah dapat dicetak. Penirisan
dilakukan dengan membungkus pasta yang masih banyak mengandung air
tersebut dengan kain, dimasukkan ke dalam semacam keranjang dari bilah-bilah
bambu dan dihimpit dengan batu atau coran semen.
f. Pencetakan dan Pengeringan
Setelah penirisan, ekstrak gambir yang telah berbentuk pasta kental tersebut
dicetak sesuai bentuk gambir yang diinginkan kemudian dikeringkan. Setelah
pengeringan beberapa hari, akan diperoleh gambir yang siap dijual. Di Kabupaten
Lima Puluh Kota, secara turun temurun produk gambir yang dikenal dunia adalah
Gambir Bootch dan Gambir Lumpang (Gambar 18). Kedua bentuk produk
gambir tersebut juga merupakan bentuk yang telah digunakan sejak lama. Di
samping itu, terdapat juga produk gambir yang berbentuk bootch dengan
diameter yang lebih besar namun lebih tipis yang biasa dikenal sebagai gambir
koin. Sebagian eksportir melakukan pemrosesan ulang gambir asalan dari
masyarakat dan mencetaknya kembali dengan bentuk wafer block atau cube
gambir.
57
(a) Bootch (b) Lumpang (c) Koin
(d) Wafer Block (e) Cube gambir
Gambar 18. Bentuk-bentuk Produk Gambir
Di samping teknologi proses yang dilakukan masyarakat tersebut, terdapat
teknologi mekanis yang digunakan di pabrik pengolahan bantuan pemerintah
maupun milik perusahaan PMA yang menggunakan mesin-mesin bertenaga
listrik. Pabrik pengolahan gambir bantuan pemerintah terdapat di nagari Lubuk
Alai (Kabupaten Lima Puluh Kota) dan nagari Siguntur Muda (Kecamatan XI
Koto Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan), serta di Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau. Tahapan proses di pabrik-pabrik bantuan pemerintah tersebut sama dengan
yang digunakan masyarakat. Kenyataannya sejak awal didirikan, pabrik tersebut
tidak lama beroperasi akibat perolehan gambirnya lebih rendah dari produksi
masyarakat sehingga dinilai tidak menguntungkan dan masyarakat tidak bersedia
mengirim daun gambir dan pabrik kekurangan bahan baku.
Pabrik pengolahan milik PT X, berlokasi di nagari Pilubang (Kecamatan
Arau) dan Nagari Lubuk Alai (Kecamatan Kapur IX) serta di Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Berbeda dengan teknologi proses yang digunakan masyarakat, di
pabrik-pabrik tersebut, daun gambir dikeringkan (menggunakan kayu bakar dan
batu bara sebagai sumber panas) dan digiling sampai berbentuk bubuk. Pabrik ini
berkapasitas 750 kg daun basah/jam, dan ditargetkan beroperasi setiap hari
selama 16 jam/hari. Karena terbatasnya pasokan daun basah, maka target
produksi tersebut tidak tercapai. Dari 100 kg daun basah akan diperoleh + 35 kg
bubuk daun gambir yang selanjutnya dikirim ke pabrik pengolahan di Medan.
58
Tahapan proses yang dilakukan di Medan belum diketahui, namun diduga
dilakukan ektraksi dengan menggunakan pelarut. Dari Medan, setelah menjalani
pengolahan lanjut, produk gambir diekspor ke India (Wawancara dengan staf PT
X, Juli 2009).
4.4 Gambaran Mutu Produk Gambir Masyarakat
Kondisi rumah kempa, teknologi sederhana sera peralatan yang digunakan
dalam aktivitas produksi menyebabkan gambir produksi masyarakat bermutu
rendah dan sangat bervariasi. Kondisi tersebut diperparah oleh adanya
masyarakat yang mencampurkan berbagai bahan seperti pupuk, tanah, tepung,
garam dan sebagainya ke dalam produk gambir. Dalam jumlah terbatas
(biasanya sebanyak 5 kg per minggu dinilai normal) pupuk SP36 biasa digunakan
masyarakat Kecamatan Kapur IX untuk memberikan warna gambir yang cerah.
Gambir yang tidak diberi pupuk akan berwarna hitam selama penjemuran. Selain
itu, masyarakat biasa menggunakan air sisa penirisan dalam perbebusan daun
gambir sebelum ekstraksi yang menyebabkan gambir berwarna lebih gelap dan
lebih berat meskipun proses pengeringan lebih lambat.
Pengembangan industri gambir masyarakat menuntut pengembangan
pasar produk gambir maupun produk turunannya untuk pasar domestik maupun
pasar ekspor. Untuk itu, permasalahan variasi mutu gambir rakyat merupakan
permasalahan mendesak yang harus ditangani secara cermat. Tanpa perbaikan
mutu, maka eksportir Indonesia akan sangat tergantung pada negara tujuan
ekspor yang telah ada seperti India dan Singapura.
Di antara persyaratan mutu gambir yang sangat mudah untuk
memperlihatkan variasi produk adalah bentuk, ukuran dan warna. Hasil survei
yang telah dilakukan pada bulan Agustus 2009 di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan Kabupaten Pesisir Selatan menunjukkan bahwa gambir asalan dari berbagai
lokasi memiliki bentuk, ukuran dan warna yang sangat beragam. Bahkan, dalam
satu butir gambir asalan, ukuran untuk suatu dimensi tertentu (seperti tinggi dan
diameter) antar berbagai lokasi pengukuran juga sangat berbeda. Hal ini terjadi
karena setelah pengeringan, bentuk gambir asalan menjadi tidak beraturan.
59
Dalam penelitian ini dikemukakan data hasil pengukuran dan penimbangan tiga
macam sampel gambir yang diperoleh dari CVR, salah satu eksportir gambir di
kota Padang.
Karena bentuk dan ukuran antar butir gambir yang sangat beragam, maka
untuk setiap sampel gambir Bootch dan gambir lumpang dikemukakan tinggi dan
diameter maksimum serta rentang tinggi dan diameter dari tiga kali pengukuran.
Di lain pihak, untuk gambir Wafer Block selain penimbangan bobot masing-
masing sampel, karena berbentuk balok dengan ukuran yang lebih seragam,
dilakukan pengukuran panjang, lebar dan tebal. Ringkasan hasil pengukuran
dimensi, penimbangan bobot serta perhitungan volume dan kerapatan sampel
gambir yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengukuran Sampel Gambir Bootch, Gambir Lumpang dan
Wafer Block dari CVR, Padang
No Sampel Dimensi Satuan Rata-
rata
Standar
Deviasi
Max Min
1 Gambir
Bootch
(n=44)
Tinggi Max Cm 3.2025 0.4028 3.90 1.75
Diameter Max Cm 3.6857 0.3292 4.54 3.09
Bobot Gram 22.7627 3.2299 31.99 16.17
2 Gambir
Lumpang
(n=78)
Tinggi Max Cm 3.2309 0.4966 4.47 1.86
Diameter Max Cm 2.8858 0.2019 3.36 2.38
Bobot Gram 12.9960 2.2690 17.69 8.05
3 Gambir
Wafer
Block
(n=65)
Panjang Cm 4.8571 0.0816 5.00 4.61
Lebar Cm 4.7511 0.1641 4.97 4.15
Tebal Cm 0.7251 0.0869 0.87 0.51
Volume cm3 16.7345 2.1408 21.36 12.05
Bobot Gram 10.4720 1.3192 13.11 7.69
Kerapatan gram/cm3 0.6283 0.0556 0.79 0.50
Di samping pengukuran dimensi dan penimbangan, dilakukan analisis
proksimat berbagai contoh gambir. Analisa proksimat yang meliputi kadar air,
kadar lemak, kadar protein, kadar serat, kadar abu serta kadar bahan lain tersebut
akan dapat memperlihatkan variasi mutu gambir secara kimia. Hasil analisis
proksimat dapat menunjukkan kemungkinan adanya bahan lain yang tidak
diharapkan dalam gambir (Tabel 11).
60
Tabel 11. Hasil Analisis Proksimat Sampel Gambir dari Eksportir di Padang dan
Kabupaten Lima Puluh Kota
No Sampel Air
(%)
Lema
k (%)
Protein
(%)
Serat
(%)
Abu
(%)
Bahan
Lain
(%)
1 Gambir Lumpang CVA 11.82 0.02 2.51 1.87 5.12 78.86
2 Gambir Lumpang CVR 16.14 0.02 2.26 6.54 11.76 63.28
3 Gambir Koin CVA 3.33 0.01 2.41 5.15 38.93 50.17
4 Gambir Bootch CVR 19.58 0.15 2.55 0.43 4.09 73.20
5
Gambir Wafer Block
CVR 8.91 0.23 3.56 2.24 4.98 80.08
6 Gambir Bootch CVA 2.43 0.01 1.03 4.77 75.64 16.12
Persyaratan Maksimum
Mutu I 14.00 5.00
Mutu II 16.00 5.00
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa di antara keenam jenis sampel gambir
yang dianalisis, dua macam di antaranya (Gambir Lumpang CVA dan Gambir
Bootch CVR) memiliki kadar air yang melebihi persyaratan mutu yang
ditetapkan. Dari segi kadar abu, hanya dua jenis sampel gambir (Gambir Bootch
CVR dan Wafer Block CVR) yang memenuhi persyaratan, bahkan Gambir Coin
dan Gambir Bootch CV Arida memiliki kadar abu yang sangat tinggi (38.93
persen dan 75.64 persen). Data mentah pengukuran kadar serat kedua sampel
tersebut menunjukkan bahwa sisa bahan yang terukur sebagai bahan yang tidak
larut dalam asam hanya sedikit lebih rendah dari pada nilai kadar abu tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar abu tersebut merupakan mineral yang
tidak larut dalam asam. Sumber mineral tersebut diduga tanah yang banyak
ditambahkan pengempa (Tabel 13). Kadar abu yang lebih rendah dapat berasal
dari kotoran yang mengkontaminasi pada saat pengolahan maupun penanganan
gambir di tingkat petani, pedagang pengumpul hingga eksportir.
Permasalahan kadar air mudah diatasi dengan pengeringan, namun
permasalahan kadar abu yang terbentuk selama proses produksi tidak mudah
diatasi. Oleh karena itu, perbaikan mutu gambir tersebut harus dilakukan melalui
pemrosesan ulang yang diawali dengan pembersihan kotoran. Hal ini dapat
dilihat dari terpenuhinya persyaratan mutu kadar abu pada gambir Wafer Block
CVR yang merupakan gambir asalan yang telah diproses ulang dan dicetak dalam
61
bentuk Wafer Block. Rendahnya kadar abu gambir Bootch CVR juga diduga
karena gambir tersebut telah diproses ulang.
Pada Tabel 11 juga terlihat kadar bahan lain yang bervariasi. Senyawa
yang diharapkan dalam gambir adalah Katekin dan Tanin yang termasuk dalam
kelompok bahan lain tersebut. Dengan demikian, pada gambir dengan kadar
bahan lain yang rendah secara langsung menunjukkan kadar katekinnya rendah.
Namun kadar bahan lain yang tinggi tidak otomatis menunjukkan kadar
katekinnya tinggi.
Sebagai informasi penunjang untuk mengevaluasi proses pengolahan,
dilakukan analisis kandungan kimia tiga jenis cairan yang ada di rumah kempa
yaitu cairan hasil ekstraksi (getah) gambir, air perebusan serta cairan sisa
penirisan. Cairan hasil ekstraksi diambil dari bak pengendapan, air perebusan
diambil dari kuali perebusan dan air sisa penirisan diambil dari bak penam-
pungnya. Hasil analisis ketiga sampel cairan tersebut disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Sampel Cairan pada Pengolahan Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota
No Parameter Satuan Hasil
Ekstraksi
Air
Rebusan
Air Sisa
Penirisan
1 pH - 5.78 5.77 5.85
2 BOD mg/l 14,385 12,844 13,615
3 COD mg/l 141,232 88,464 101,656
4 TSS (Zat padat terlarut) mg/l 15,200 26,750 19,600
5 TKN mg/l 690.06 675.12 875.00
6 NO3 (Nitrat) mg/l 96.45 265.50 96.54
7 NO2 (Nitrit) mg/l 0.34 0.151 0.001
8 Kadar Abu % b.b 1.26 2.70 0.132
9 Kadar Air % b.b 82.90 80.80 87.57
10 Timbal (Pb) mg/l 1.39 1.65 1.22
11 Cadmium (Cd) mg/l <0.005 <0.005 <0.005
12 Air Raksa (Hg) mg/l <0.001 <0.001 <0.001
13 Tembaga (Cu) mg/l 0.95 0.790 0.91
14 Mangan Terlarut (Mn) mg/l 11.97 16.64 12.57
15 Selenium (Se) mg/l <0.001 <0.001 <0.001
16 Besi Terlarut (Fe) mg/l 843.60 430.80 1,509.50
17 Calsium (Ca) mg/l 2,251.50 2,323.50 2,779.50
Tabel 13. Rekapitulasi Hasil Pengamatan dari Sampel Rumah Kempa di Kabupaten Lima Puluh Kota
No Kode Jumlah Pema-
sakan per Hari
Gambir yang ditimbang* Sumber
Air
Penggunaan
Campuran
Keterangan lain
Jumlah Harga
1 LA1 4 kali (jika 2
orang), atau 6 kali
(jika 3 orang)
189 kg (3
orang),
Rp. 28,000/kg Mata aIr Zeolit + 0.5 kg/hari Ladang yang dikempa diperkirakan dapat dikempa selama 7
minggu (7 kali menimbang gambir), Pemakaian air: + 1.25
jirigen air/pemasakan. Dulu menggunakan campuran tanah,
saat ini tidak.
2 LA2 4 kali (jika 2
orang), atau 6 kali
(jika 3 orang)
173 kg (3
orang),
Rp. 29,500/kg Mata aIr Tanpa campuran bahan
lain.
Memiliki 2 bidang kebun gambir (16 minggu+4 minggu
pengempaan). Pemasakan: 6 jirigen "kalencong" dan 2
jirigen terakhir air baru.
3 LA3 6 kali (3 orang) 123 kg (2
orang),
Rp. 29,000/kg Mata aIr Pupuk SP36 5
kg/minggu
Hari kerja: 7 hari/minggu. Ladang yang dikempa
diperkirakan hanya untuk 4 minggu pengempaan (banyak
rumpun yang kosong karena banyak alang-alang).
4 MP1 4 kali (2 orang)
atau 5 kali (3
orang)
+ 200 kg Rp. 26,000/kg Mata air Tanah liat kuning (+ 2
kg/hari).
Ladang bersih, diperkirakan dapat dikempa selama 10
minggu (10 kali menimbang). Karena milik sendiri,
diperlukan modal sekitar Rp. 500 rb/minggu untuk
pengempa dan bahan lain. Menginginkan adanya bantuan
mesin press otomatis yang dapat digunakan untuk melayani
4 bidang ladang milik keluarga yang lokasinya berdekatan.
5 MP2 4 kali (3 orang) >200 kg Rp. 15,000/kg Sungai Tanah liat putih (60 - 70
kg/minggu), pupuk 5
kg/minggu.
Gambir kuning. Ada penyemprotan gambir yang hampir
kering dengan cairan berwarna coklat tua (menurut
pernyataan pekerja adalah moca). Enam hari kerja/minggu
6 MP3 4 kali (2 orang), +
15 kg gambir/hari
belum
menimbang,
baru mulai
mengempa
- Sungai Tanah: + 3 kg/hari Saat dikunjungi belum diperoleh gambir cetak, maupun
kering, pasta sedang ditiriskan. Frame untuk press: 2 Balok
6x15, disatukan dengan baud, bukan kayu 1/2 bulat yang
dilubangi ditengah untuk jalur balok press daun.
7 DT1 3-4 kali + 120 kg - Kolam Pupuk Super Phos
(P2O5, produksi
Petrokimia Gresik) 2
kg/hari
Lama pengempaan: + 4 minggu (karena ladang gambir
berada di bawah tegakan karet. Penggunaan air: 2 jirigen
per pemasakan. Dalam pasta, terlihat seperti butiran2
berwarna hitam (arang?). Pada saat survei, nampaknya ada
yang disembunyikan dan tidak ingin diketahui.
63
Tabel 13. (Lanjutan)
No Kode Jumlah
Pemasakan per
Hari
Gambir yang ditimbang* Sumber
Air
Penggunaan
Campuran
Keterangan lain
Jumlah Harga
8 DT2 4-5 kali 236 kg, (10
hari kerja)
Rp. 28,500/kg Sungai Pupuk 2 kg/hari. Untuk pengempaan awal, dua minggu pertama baru
menimbang satu kali. Penggunaan air: 2 jirigen per
pemasakan. Lama pengempaan: + 8 minggu.
9 DT3 5 kali 195 kg Rp. 31,000/kg Mata air Tanpa campuran. Pembagian, 2 (pemilik):3 (pengempa). Lama pengempaan:
+ 8 minggu mengempa
10 SL1 4 kali + 100 kg, (20
kali pema-
sakan)
Rp. 32,000/kg Mata air Tanpa campuran Pemiliknya memiliki 4 bidang kebun gambir. Umur kebun:
+ 15 tahun.
11 SL2 4 kali 168 kg, Rp. 21,000/kg Mata air Pupuk TSP 5 kg/hari,
ada kalanya sampai 10
kg/hari
Harga gambir ditentukan oleh pedagang, dapat terjadi harga
gambir hitam Rp. 17,000/kg dan harga gambir kuning Rp.
25,000/kg. Ada kalanya di bulan Ramadhan, pedagang tidak
datang ke Sialang (shg gambir terpaksa dijual dengan harga
rendah). Lama pengempaan: + 10 minggu. Umur ladang
gambir sekitar 25 tahun (meskipun sudah ada bagian kebun
yang diremajakan. Hari kerja: 6 hari /minggu
12 SL3 4 kali + 100 kg, Rp. 22,000/kg Mata air Pupuk SP36 5 kg/hari. Ladang gambir tersebut baru panen pertama (umur 17
bulan), belum ada rumah kempa sehingga menumpang di
rumah kempa lain. Berdasarkan pengamatan kesuburan
tanaman, peruduksi daun diperkirakan mencukupi untuk
pengempaan se lama 8 minggu. Masalah kebun gambir
yang muda adalah banyaknya gagang dan getah gambirnya
sedikit. Berbeda dengan tanaman yang memilki cabang
kecil yang banyak (disebut "Carang Lada”), daun seperti
itu, getahnya lebih banyak.
* Minggu I, Agustus 2010
64
4.5 Rantai Pasok dan Pemasaran Produk Gambir
Pemasaran produk gambir milik petani biasanya dilakukan setiap minggu
setelah pengempa bekerja selama enam hari. Hasil yang diperoleh bervariasi sekitar
100 sampai 150 kg/minggu, bahkan ada yang lebih tinggi lagi. Perolehan di atas
tergantung pada kemampuan pengempa dalam mengolah gambir setiap hari
disamping adanya penggunaan bahan campuran yang ditambahkan ke dalam cairan
(filtrat) gambir hasil pengempaan. Pengempa dengan tiga tenaga kerja dapat
melaksanakan lima-enam kali pemasakan setiap hari, sedang pengempa dengan dua
orang pengempa dapat melaksanakan empat-lima kali pemasakan setiap hari.
Perolehan gambir yang sangat tinggi kemungkinan terjadi karena pencampuran getah
gambir dengan bahan lain seperti tepung atau tanah.
Di daerah Kecamatan Harau, petani atau pengempa langsung menjual
produknya kepada pengumpul di lokasi masing-masing pengumpul. Untuk rumah
kempa yang berlokasi dekat jalan raya, ada kalanya pengempa menjual langsung
kepada pengumpul di tepi jalan saat pedagang pengumpul berkeliling kepada
pengempa dengan kendaraan bak terbuka. Di daerah lain di Kabupaten Lima Puluh
Kota, masih banyak pedagang pengumpul yang menerima penjualan gambir petani di
gudangnya. Namun yang terbanyak adalah kombinasi antara pedagang mendatangi
petani ataupun petani mendatangi pedagang.
Di Kecamatan Kapur IX, khususnya di nagari Lubuk Alai, penjualan gambir
oleh petani dilaksanakan di pasar Nagari Lubuk Alai pada setiap hari Minggu. Untuk
setiap transaksi penjualan, bobot kotor akan dikurangi dengan bobot karung serta
pengurangan bobot untuk mempertimbangkan kadar air yang akan menyebabkan
penyusutan bobot saat pengeringan gambir. Selanjutnya, dari bobot bersih tersebut,
nagari akan mendapatkan 1 kg gambir untuk setiap kelipatan 50 kg gambir petani
sebagai bentuk retribusi bagi penerimaan nagari. Selama penelitian (periode Agustus
2009 - Juli 2010), di nagari Lubuk Alai, pendapatan kotor nagari dari retribusi
gambir ini berkisar antara Rp. 6 – 7 juta per minggu (sekitar Rp. 300 juta/tahun).
Penjualan gambir oleh petani kepada pengumpul yang dilakukan di pasar gambir
juga dilakukan di Nagari Muaro Paiti, Sialang di Kecamatan Kapur IX, namun
65
pendapatan nagari dari cukai gambir di kedua tempat tersebut tidak sebesar di Lubuk
Alai.
Kebanyakan petani telah memiliki pedagang pengumpul langganan tempat
mereka menjual gambirnya. Bahkan, ada petani yang telah terikat untuk menjual
produknya kepada pedagang pengumpul tertentu karena petani/pengempa memiliki
pinjaman kepada pedagang yang bersangkutan. Pinjaman tersebut dapat berupa
pinjaman untuk penyiapan rumah kempa, biaya makan dan keperluan mengempa
ataupun pinjaman konsumsi keluarga petani ataupun pengempa.
Selanjutnya, pengumpul akan mengirimkan gambirnya kepada pedagang
pengumpul lain atau kepada eksportir. Dalam prakteknya, rantai perdagangan
tersebut mungkin lebih panjang karena berpindah dari satu pedagang ke pedagang
lain hingga sampai ke eksportir. Dari Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagian gambir
dikirimkan kepada eksportir di Padang atau Medan dan sebagaian lain dikirimkan
kepada pedagang lain di Pekanbaru. Dari Kabupaten Pesisir Selatan, umumnya
pengumpul mengirimkan gambirnya kepada eksportir di Padang. Di samping ekspor,
sejumlah kecil gambir diperdagangkan antar daerah untuk konsumsi di dalam negeri.
Secara rangkas, rantai perdagangan gambir sampai ke eksportir dan konsumen
domestik disajikan pada Gambar 19.
Panjangnya rantai perdagangan gambir (Gambar 19) menyebabkan tidak
efisiennya kegiatan transportasi. Secara keseluruhan, aktivitas transportasi material
khususnya untuk tujuan ekspor terjadi pada beberapa tahap sebagai berikut:
1) Pengangkutan daun hasil pemetikan di ladang ke rumah kempa,
2) Pengangkutan gambir asalan dari ladang ke rumah petani,
3) Pengangkutan gambir asalan dari rumah petani ke pasar atau lokasi penjualan,
4) Pengangkutan gambir asalan dari pasar/lokasi pengumpulan sampai ke
gudang pedagang pengumpul
5) Pengangkutan gambir asalan dari dan ke lokasi gudang pengumpul dengan
lokasi penjemuran
6) Pengangkutan gambir asalan antar pedagang pengumpul
7) Pengangkutan gambir asalan ke eksportir
8) Pengangkutan gambir asalan dari lokasi eksportir ke pelabuhan ekspor
66
Kondisi tersebut tidak menyebabkan berkurangnya keuntungan pedagang
maupun eksportir, karena mereka telah memperhitungkan harga beli, biaya
penanganan dan transportasi serta keuntungan dalam bisnis mereka. Berbeda dengan
pedagang yang memiliki posisi tawar untuk menetapkan harga, petani hanya
menerima harga pembelian yang telah ditentukan oleh pedagang. Dengan demikian
pihak yang akan tertekan adalah petani.
(a) Dari Petani sampai Eksportir/Pedagang (b) Dari Pedagang sampai Konsumen
Domestik
Gambar 19. Rantai Perdagangan Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Dalam penentuan harga jual gambir, petani hanya menerima harga yang
ditetapkan pedagang atas gambir yang dimilikinya. Menurut salah seorang eksportir
di Padang, importer dari India secara rutin datang ke Padang dan menentukan harga
untuk pembelian pada waktu-waktu yang akan datang. Berdasarkan harga tersebut,
maka harga beli ke pedagang sampai ke petani ditentukan. Posisi tawar tersebut
dapat menjadi semakin lemah karena ada kalanya pedagang pengumpul tidak datang
ke pasar pada waktu tertentu, agar petani yang membutuhkan uang bersedia menjual
gambirnya meskipun dengan harga yang rendah.
Sebenarnya petani dapat memproduksi gambir yang lebih murni dengan tidak
menambahkan bahan lain seperti pupuk, tanah dan sebagainya, ataupun membuat
gambir dengan mutu yang lebih baik. Namun demikian, perbedaan harga jual antara
produk yang lebih murni dibandingkan dengan produk campuran tidak signifikan
67
(Tabel 14). Di sisi lain, ada kalanya pedagang meminta kepada petani untuk
menghasilkan gambir sesuai dengan keinginan mereka. Karena kondisi tersebut,
adanya pencampuran gambir dengan bahan lain sulit diatasi dan tuntutan agar
pemerintah memberlakukan SNI untuk gambir tidak mudah dilaksanakan.
Tabel 14. Perbandingan Pendapatan Petani dengan Perbedaan Harga Gambir Saat Ini
Mutu Jumlah produk
(kg/minggu)
Harga
(Rp/kg)
Total Pendapatan
per Minggu (Rp)
Seperti yang ada saat ini 120 27.500 3.300.000
Mutu diperbaiki 80 30.000 2.400.000
Dicampur bahan lain 150 24.000 3.600.000
Sumber: Wawancara dengan petani Kecamatan Kapur IX (Juni 2010)
Untuk perbaikan pada masa yang akan datang, mutlak diperlukan pembedaan
harga yang signifikan antara gambir bermutu baik dari gambir campuran yang
bermutu rendah. Apabila perbedaan harga tersebut cukup baik, maka petani akan
lebih senang memproduksi gambir bermutu baik karena bobotnya lebih ringan dan
pekerjaan pengempa lebih ringan, namun pendapatan mereka sama atau bahkan lebih
baik (Tabel 15). Di sisi lain, adanya tuntutan dari konsumen untuk gambir bermutu
baik akan memaksa pedagang hanya mau membeli gambir yang bermutu baik kepada
petani. Kondisi tersebut mungkin dicapai jika terdapat alternatif pasar di luar jalur
pemasaran yang berlaku selama ini.
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa pada tingkat harga untuk gambir yang
mutunya diperbaiki adalah Rp. 41.250,00/kg, maka total pendapatan petani masih
lebih rendah daripada pendapatannya jika gambir dicampur bahan lain. Namun, jika
harga gambir dengan mutu yang diperbaiki adalah Rp. 45.000,00/kg, maka
pendapatan petani akan sama dengan pendapatannya jika mencampur gambir dengan
bahan lain. Pada kondisi seperti ini, maka petani pasti akan memproduksi gambir
dengan mutu yang diperbaiki karena pekerjaan yang lebih ringan.
68
Tabel 15. Usulan Pembedaan Harga Gambir Menurut Mutu (Kondisi Agustus 2010)
Mutu Jumlah produk
(kg/minggu)
Harga
(Rp/kg)
Total Pendapatan
per Minggu (Rp)
Seperti yang ada saat ini 120 27.500 3.300.000
Mutu diperbaiki (1) 80 41.250 3.300.000
Mutu diperbaiki (2) 80 45.000 3.600.000
Dicampur bahan lain 150 24.000 3.600.000
Pada saat transaksi, hasil penimbangan gambir petani akan dipotong dengan
bobot karung dan antisipasi susut pengeringan. Kedua potongan tersebut dilakukan
berdasarkan ketetapan pedagang dan bukan didasarkan atas hasil pengukuran. Pada
kondisi cuaca cerah, pengeringan gambir di ladang yang dilakukan selama tiga
sampai empat hari telah menghasilkan gambir yang cukup kering untuk dijual.
Namun jika hari hujan, atau cuaca mendung, kadar air gambir masih cukup tinggi
sehingga jumlah potongan akibat kadar air cukup besar. Petani yang terdesak
terpaksa menjual gambirnya dalam kondisi basah tersebut. Petani yang lebih
mampu, baik untuk kelurganya sendiri maupun tenaga pengempa akan menahan
gambirnya untuk dijual setelah gambir menjadi lebih kering.
Pada waktu penelitian berlangsung, diketahui bahwa seluruh produk gambir
dalam rantai perdagangan (Gambar 19) bahkan hingga gambir diekspor adalah
dalam bentuk gambir asalan dengan mutu yang sangat beragam. Meskipun
demikian, ditemukan juga adanya eksportir yang melakukan pemrosesan ulang
gambir asalan menjadi bentuk wafer block atau cube gambier, namun pemasarannya
terbatas. Dalam rantai perdagangan tersebut, aktivitas yang dilakukan pedagangan
pengumpul maupun eksportir adalah pengeringan dan pengemasan ulang.
Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari ataupun
menggunakan oven pengering berbahan bakar minyak.
Sejalan dengan sedikitnya proses nilai tambah dalam seluruh rantai
perdagangan, aktivitas pengemasan dilakukan sebatas fungsi kemudahan penanganan
sehingga gambir asalan umumnya disimpan dalam karung plastik ataupun karung
goni. Dengan perdagangan gambir sebagai komoditas yang telah berlangsung
berpuluh-puluh tahun tersebut, aktivitas promosi serta pencarian pasar ke negara-
negara calon importir baru sangat sedikit dilakukan. Akibat kondisi tersebut,
69
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap India sebagai negara importir gambir
utama telah menyulitkan Indonesia untuk mengembangkan dan membangun pasar
sendiri yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam bisnis gambir internasional.
4.6 Evaluasi Teknologi
Pelaku dalam agroindustri gambir di Indonesia terdiri dari petani/pengempa,
pedagang pengumpul dan eksportir. Petani/pengempa merupakan produsen gambir
yang memasok pedagang pengumpul sampai gambir diekspor oleh eksportir. Karena
itu, audit teknologi agroindustri gambir Indonesia dilakukan dengan mengkaji
berbagai aktivitas yang dilakukan dan teknologi yang digunakan pada masing-masing
pelaku tersebut.
Tahapan awal dari aktivitas audit teknologi yang dilakukan adalah pengkajian
setiap tahapan proses sejak pengadaan bahan baku berupa pemanenan daun gambir
hingga gambir diekspor ke negara tujuan. Rincian teknologi yang digunakan pada
setiap tahapan produksi pada masing-masing pelaku tersebut dapat dilihat pada
Tabel 16.
Tabel 16. Tahapan Proses dan Teknologi Produksi Gambir Pada Setiap Pelaku Usaha
Tahapan Proses Alat Kerja Teknologi yang
digunakan saat ini
TEKNOLOGI PRODUKSI GAMBIR OLEH PENGOLAH SKALA MIKRO
Pengambilan daun gambir Pisau khusus (Ani-ani) Manual
Transportasi daun ke
pengolah
Keranjang rotan Manual (digendong)
Memampatkan daun untuk
dimasak
Kranjang dari logam atau dan
tali pengikat
Manual, (dengan bobot
badan)
Memasak daun Bejana logam dan kompor dari
semen
Manual, proses
memasak ditentukan
secara visual
Persiapan untuk pengempaan
(Pemutaran)
Batang Kayu Manual (bobot badan)
Ekstraksi Daun Hydraulic Press Manual
Penyimpanan ektrak daun Kotak Kayu (Parap-para) Manual, pengendapan
Penirisan ekstrak gambir Kantong plastik dan karung
pasir
Manual
70
Tabel 16. (lanjutan)
Tahapan Proses Alat Kerja Teknologi yang
digunakan saat ini
Pencetakan gambir Alat cetak dari bambu (Cupak) Manual
Pengeringan matahari Nampan bambu Manual
Pengemasan gambir blok Kantong plastik Manual
TAHAPAN PROSES OLEH PENGUMPUL
Pengeringan matahari gambir
blok
Lantai semen atau jalanan
aspal
Manual
Pengemasan gambir blok Kantong plastik Manual
TAHAPAN PEMROSESAN ULANG OLEH EKSPORTIR
Gambir blok
Penerimaan gambir blok Timbangan Manual
Penyortiran dan grading
gambir blok
Penyortiran dengan tangan Manual
Pemrosesan ulang gambir
blok yang ditolak
Dilarutkan air panas Bak plastik tahan panas Manual
Penirisan Karung plastik/kain Manual
Pencetakan ulang
gambir blok
Alat cetak dari bambu Manual
Pengeringan Nampan dari bambu Manual
Pengeringan ulang gambir Lantai semen Manual
Oven listrik atau oven minyak
tanah
Mekanis
Produksi Gambir Cube dan Wafer Blocks
Pelarutan gambir blok dalam
air panas
Bejana logam Mekanis
Pemisahan kotoran Bejana logam dan saringan Manual
Pencucian dengan air
beberapa kali
Tangki logam Manual /
Mekanis
Pencetakan pasta gambir Cetakan kayu dan cetakan
logam
Manual
Pemotongan gambir Pisau Manual
Pengeringan Oven listrik atau oven minyak
tanah
Mekanis
PABRIK PENGOLAH DAUN GAMBIR “PT X”
Perajangan daun gambir Chopper Mekanis
Pengeringan daun yang
dirajang
Tunnel Dryer Mekanis dengan suhu
terkendali otomatis
Penggilingan Mills Mekanis
71
Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa hampir semua aktivitas produksi dan
penanganan gambir dilakukan secara manual dan teknologi sederhana. Teknologi
yang sederhana tersebut merupakan kelemahan utama dalam agroindustri gambir
Indonesia selama ini di samping pasar internasional yang sangat dikuasai oleh
Negara India. Sebagai pembanding, dilakukan juga pengkajian teknologi pengolahan
daun gambir yang digunakan perusahaan pengolah daun gambir milik pengusaha
India yang berlokasi di Kabupaten Lima Puluh Kota. Hasil penilaian untuk indikator
transformasi teknologi disajikan pada Gambar 20, sedang hasil penilaian untuk
indikator kapabilitas teknologi disajikan pada Gambar 21. Hasil selengkapnya
disajikan pada Lampiran 18.
Gambar 20. Indikator Transformasi Teknologi Setiap Pelaku Agroindustri Gambir
Pada Gambar 20 dapat dilihat bahwa dari keempat indikator, seluruh pelaku
dalam rantai pasok gambir memiliki tingkat tingkat tranformasi teknologi yang harus
ditingkatkan sehingga tercapai tingkat teknologi yang diharapkan. Hal ini terjadi
pada keempat komponen yaitu technoware, infoware, humnware dan orgaware. Unit
7
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7
Orgaware Humanware
Technoware Transformasi Teknologi
yang Diharapkan
Tranformasi Teknologi di
Tingkat EKsportir
(Gambir Asalan)
Transformasi Teknologi di
Tingkat Eksportir (Wafer Block/
Cube Gambier)
Infoware
Tranformasi Teknologi di Tingkat
Petani/Pengempa
Transformasi Teknologi
di Tingkat Pengumpul
72
pengolahan gambir skala mikro memiliki tingkat transformasi teknologi yang paling
rendah dan harus diberikan usaha yang labih besar untuk peningkatannya. Usaha
tersebut menghadapi tantangan yang besar karena dalam rantai pasok agroindustri
gambier, unit pengolah gambir skala mikro merupakan pemasok dari semua unit di
atasnya, dan jumlahnya paling besar. Karena itu, perbaikan teknologi pada tingkat
usaha mikro akan melibatkan pelaku usaha yang sangat besar jumlahnya sehingga
memerlukan biaya yang besar. Namun jika perbaikan teknologi tersebut berhasil,
maka manfaatnya bagi keberlanjutan agroindustri gambir dalam jangka panjang juga
sangat besar. Perbaikan teknologi pada tingkat usaha mikro secara langsung akan
memperbaiki kemampuan produk dan mutu produk gambir yang dihasilkan.
Selanjutnya, perbaikan pada tingkat usaha mikro akan berpengaruh pada kegiatan
transportasi dan pemrosesan ulang pada pelaku dalam rantai pasok gambir
berikutnya. Sebaliknya, perbaikan teknologi di tingkat eksportir adalah yang paling
mudah dilakukan, namun keberhasilannya akan dinikmati oleh pengusaha/eksportir
yang bersangkutan, sedang petani tidak memperoleh keuntungan ekonomi dari
perbaikan tersebut. Bahkan hal ini dapat menimbulkan upaya pihak eksportir dan
pengumpul untuk membiarkan masyarakat tetap memproduksi gambir bermutu
rendah karena harga gambir di tingkat petani dapat ditekan tetap rendah.
Selanjutnya, karena melibatkan eksportir dengan skala usaha yang besar dan
jumlahnya sedikit, maka perbaikan di tingkat eksportir akan membutuhkan biaya
yang relatif rendah dibandingkan dengan biaya keseluruhan yang harus disediakan
jika akan dilakukan perbaikan teknologi untuk masing-masing unit usaha
agroindustri gambir skala mikro.
Seperti halnya pada indikator transformasi teknologi, seluruh pelaku dalam
agroindustri gambir juga memiliki tingkat penguasaan teknologi yang lebih rendah
dari pada tingkat penguasaan teknologi yang diharapkan (Gambar 21). Pada
Gambar 21, dapat dilihat bahwa segi empat semua pelaku berada di dalam tingkat
penguasaan teknologi yang diharapkan dan nilai-nilai masing-masing pelaku intuk
tiap indikator kapabilitas lebih kecil daripada nilai-nilai untuk tiap indicator
kapabilitas teknologi yang diharapkan. Pada Gambar 21 juga terlihat bahwa segi
empat untuk pengolah gambir skala mikro berada pada posisi paling dalam, dan
73
selanjutnya berturut-turut makin keluar adalah pedagang pengumpul, eksportir (untuk
produk gambir asalan) dan eksportir untuk produk cube gambier dan wafer block
terletak paling luar, namun masih berada di dalam tingkat kapabilitas teknologi yang
diharapkan.
Gambar 21. Indikator Kemampuan Teknologi Setiap Pelaku Agroindustri Gambir
Berdasarkan Gambar 20 dan Gambar 21, maka dapat disimpulkan bahwa
secara umum tingkat transformasi dan penguasaan teknologi proses dalam
agroindustri gambir masih perlu ditingkatkan. Mengingat banyaknya pelaku yang
terlibat dalam agroindustri gambir, maka disamping berbagai perbaikan yang perlu
dilaksanakan, maka pembinaan sumberdaya manusia harus dilakukan. Tanpa
perbaikan sumberdaya manusia, maka berbagai strategi perbaikan akan sulit
dijalankan dan memberikan hasil yang diharapkan.
4.7 Analisis SWOT
Pada tahap ini dilakukan identifikasi SWOT Indonesia dalam bisnis gambir
yang disajikan pada Tabel 17. Dari hasil identifikasi SWOT pada Tabel 17
diketahui bahwa Indonesia memiliki kekuatan dalam penyediaan bahan baku, namun
lemah dalam penguasaan pasar dan teknologi serta permodalan. Di sisi lain, terdapat
7
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6
Operative
Capabilities
Acquisitive
Capabilities
Supportive
Capabilities
Innovative
Capabilities
Kapabilitas Teknologi di
Tingkat Petani/Pengempa
Kapabilitas Teknologi di
Tingkat Pengumpul
Kapabilitas Teknologi di Tingkat
Eksportir (Wafer Block/Cube Gambier)
Kapabilitas Teknologi di Tingkat
Eksportir (Gambir Asalan)
Kapabilitas Teknologi
yang DIharapkan
74
kesempatan untuk melaksanakan pengembangan pasar baik di dalam negeri dan pasar
Internasional di samping peningkatan teknologi pengolahan gambir Indonesia. Pada
masa yang akan datang, keunggulan dan kesempatan yang ada tersebut diharapkan
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat khususnya
petani dan pengolah gambir. Di sisi lain, diperlukan langkah untuk mengatasi
kelemahan yang ada serta antisipasi tantangan yang dihadapi pada masa yang akan
datang.
Tabel 17. Identifikasi SWOT Agroindustri dan Bisnis Gambir Indonesia
KEMPONEN
SWOT
Uraian
KEKUATAN 1. Memiliki lahan yang cocok untuk perkebunan Uncaria gambir di Pulau
Sumatera
2. Memiliki lahan pengembagan area baru diluar Sumatera, yaitu Papua
(Merauke)
3. Memiliki pengalaman yang lama dalam pengolahan gambir secara
tradisional
4. Dikenal secara global sebagai produsen terbesar Gambir asalan
5. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk
meningkatkan devisa negara dari produk hilir gambir
KELEMAHAN 1. Teknologi pengolahan gambir pada tingkat petani masih sangat
tradisional dan tidak efisien
2. Mutu gambir asalan rendah dan tidak sama dari setiap petani
3. Memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap pasar India
4. Akses yang rendah terhadap lembaga pembiayaan
5. Nilai tambah gambir di dalam negeri sangat rendah
6. Litbang terhadap produk gambir sangat rendah
PELUANG 1. Ekstensifikasi area produksi gambir ke Papua
2. Perbaikan teknologi pengolahan gambir dengan mobile unit
3. Menciptakan produk bernilai tinggi dari gambir di dalam negeri seperti
katekin dan tanin
4. Meningkatkan penggunaan gambir di dalam negeri untuk industri
pangan, kesehatan dan kosmetik
5. Meningkatkan penggunaan gambir, katekin dan tanin untuk industri
batik dan penyamakan kulit serta berbagai produk farmasi dan kosmetik
TANTANGAN 1. Pengembangan produk substitusi gambir (katekin dan tanin dari Acacia
catechu dan lainnya)
2. Isu lingkungan terkait dengan kemiringan perkebunan gambir harus
lebih dari 40%
3. Konversi lahan gambir menjadi tanaman lain yang bernilai tinggi seperti
kelapa sawit, karet dan kakao
4. Bisnis gambir secara penuh dikuasai oleh pemain luar negeri,
khususnya India
75
Pada tahap selanjutnya dilakukan juga identifikasi SWOT untuk India,
Singapura, Malaysia dan Republik Rakyat Cina yang merupakan negara-negara
penting dalam bisnis gambir dunia, baik sebagai penghasil, pengolah ulang maupun
sebagai penghasil produk akhir gambir. Selanjutnya, hasil identifikasi SWOT
Indonesia dibandingkan dengan beberapa Negara pelaku dalam bisnis gambir dunia
(Lampiran 19). Dengan membandingkan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan
tantangan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tersebut, diharapkan
dapat dirumuskan strategi yang dapat lebih menjamin keberlanjutan bisnis gambir
Indonesia dalam jangka panjang. Ringkasan perbandingan kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan masing-masing negara setelah dikelompokkan menurut
beberapa faktor penentu dalam bisnis gambir disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Evaluasi Kondisi Bisnis Gambir Indonesia dan Negara Lainnya
Kriteria Indonesia India Singapura Malaysia RR Cina
Lahan Sangat baik Kurang Sangat kurang Baik Kurang
Bahan baku Sangat baik Kurang Sangat kurang Baik Kurang
Produk Hilir Kurang Sangat baik Baik Sedang Baik
Mutu Produk ~
Teknologi
Kurang Baik Baik Kurang Baik
Litbang Kurang Baik Sangat baik Baik Baik
SDM-jumlah Baik Baik Kurang Sedang Baik
SDM-teknologi Kurang Baik Baik Sedang Baik
Dukungan
Pemerintah
Baik Sangat Baik Baik Baik Baik
Pasar domestic Baik Sangat baik Sangat kurang Baik Baik
Pasar ekspor Baik Sangat baik Baik Kurang Baik
Pemodalan Kurang Baik Sangat baik Sedang Baik
Jaringan Kurang Sangat baik Sangat baik Kurang Kurang
Reputasi Sedang Sangat baik Baik Sedang Sangat baik
Kekuatan bisnis
gambir
Kurang Sangat baik Baik Kurang Sedang
76
Selanjutnya, hasil evaluasi pada Tabel 18 dikonversi menjadi skor sebagai
berikut: 1 (Sangat Kurang), 2 (Kurang), 3 (Sedang), 4 (Baik) dan 5 (Sangat Baik).
Skor-skor tersebut disajikan secara grafis untuk membandingkan posisi Indonesia
dengan masing-masing negara. Hasil perbandingaan kondisi bisnis gambir Indonesia
dengan beberapa negara tersebut disajikan pada Gambar 22.
(a) Indonesia – India (b) Indonesia – Singapura
(c) Indonesia – Malaysia (d) Indonesia – RR Cina
Gambar 22. Perbandingan Kekuatan Bisnis Gambir Indonesia dengan India,
Singapura, Malaysia dan Republik Rakyat Cina
Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan semua negara
lain, Indonesia unggul pada dua faktor yaitu ketersediaan lahan yang cocok untuk
0
1
2
3
4
5
Lahan
Bahan baku
Produk Hilir
Teknologi ~ Mutu Produk
Litbang
SDM-jumlah
SDM-teknologi
Dukungan Pemerintah
Pasar domestik
Pasar ekspor
Pemodalan
Jaringan
Reputasi
Kekuatan bisnis gambir
Indonesia
India
0
1
2
3
4
5
Lahan
Bahan baku
Produk Hilir
Teknologi ~ Mutu Produk
Litbang
SDM-jumlah
SDM-teknologi
Dukungan Pemerintah
Pasar domestik
Pasar ekspor
Pemodalan
Jaringan
Reputasi
Kekuatan bisnis gambir
Indonesia
Singapura
0
1
2
3
4
5
Lahan
Bahan baku
Produk Hilir
Teknologi ~ Mutu Produk
Litbang
SDM-jumlah
SDM-teknologi
Dukungan Pemerintah
Pasar domestik
Pasar ekspor
Pemodalan
Jaringan
Reputasi
Kekuatan bisnis gambir
Indonesia
Malaysia
0
1
2
3
4
5
Lahan
Bahan baku
Produk Hilir
Teknologi ~ Mutu Produk
Litbang
SDM-jumlah
SDM-teknologi
Dukungan Pemerintah
Pasar domestik
Pasar ekspor
Pemodalan
Jaringan
Reputasi
Kekuatan bisnis gambir
Indonesia
RR Cina
77
budidaya tanaman gambir dan penyediaan bahan baku industri gambir. Di samping
kedua faktor tersebut, dibandingkan dengan India, India lebih baik dari Indonesia
dalam semua hal kecuali dari segi sumberdaya manusia. Jumlah penduduk Indonesia
yang besar menyebabkan posisi Indonesia dalam bisnis gambir tidak terlalu berbeda
dengan India dari sisi sumberdaya manusia. Dibandingkan dengan Singapura,
keunggulan Indonesia terletak pada kedua hal tersebut serta ketersediaan sumberdaya
manusia untuk bisnis gambir dan potensi pasar domestik. Dibandingkan dengan
Malaysia, maka posisi Indonesia hampir sama karena dalam beberapa hal Malaysia
unggul, sedang dalam hal lain Indonesia lebih baik. Hampir sama dengan India,
posisi RR Cina lebih baik dalam banyak hal kecuali dalam potensi pasar domestik
dan dukungan pemerintah yang relatif sama. Dengan membandingkan kelima
negara, meskipun Indonesia unggul dalam ketersediaan dan kesesuaian lahan
sehingga unggul dalam penyediaan bahan baku, namun India merupakan negara
terkuat dalam bisnis gambir dunia. Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas jika faktor-
faktor penentu kekuatan bisnis di atas diringkaskan menjadi empat komponen dalam
Model Berlian Porter (Gambar 23). Hasil pemetaan kondisi agroindustri gambir
Indonesia dibandingkan dengan keempat negara lainnya (Gambar 23) diperoleh
dengan mengelompokkan faktor-faktor pada Tabel 18 dan Gambar 22 ke dalam
komponen Berlian Porter, dan dirata-ratakan untuk tiap komponen (Lampiran 22).
Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa India lebih unggul dari Indoesia dalam
keempat komponen berlian Porter. Hal yang sama terjadi pada RR Cina yang
mengungguli Indonesia dalam keempat komponen tersebut, namun India memiliki
skor yang lebih tinggi daripada RR Cina. Selanjutnya, dibandingka Singapura,
Indonesia unggul dalam permintaan khususnya potensi pasar domestik, namun kalah
dari Singapura dalam keterkaitan dengan industri pendukung dan strategi, struktur
dan kondisi persaingan antar unit usaha. Dibandingkan dengan Malaysia, posisi
Indonesia hampir sama. Fakta tersebut menunjukkan bahwa keunggulan Indonesia
dari segi sumberdaya alam (ketersediaan lahan yang sesuai untuk budidaya tanaman
gambir) tidak otomatis menyebabkan keunggulan kompetitif bagi Indonesia dalam
bisnis gambir dunia. Oleh karena itu, diperlukan perubahan pola kerja dan bisnis
78
masyarakat, pengusaha maupun dukungan dan peran pemerintah untuk
pengembangan bisnis gambir Indonesia pada masa yang akan datang.
(a) Indonesia – India (b) Indonesia – Singapura
(c) Indonesia – Malaysia (d) Indonesia – RR Cina
Gambar 23. Perbandingan Komponen Berlian Porter Indonesia dengan Beberapa
Negara Pelaku Bisnis Gambir Internasional
4.8 Permasalahan dalam Agroindustri Gambir
Berdasarkan hasil survei dan diskusi mendalam dengan pihak-pihak terkait
serta audit teknologi dan analisis SWOT dapat ditemukan berbagai permasalahan
dalam agroindustri dan bisnis gambir Indonesia umumnya dan Kabupaten lima Puluh
Kota khususnya. Dari hasil survei dan kajian tersebut, maka persoalan agroindustri
0
1
2
3
4
5
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Strategi perusahaan,
struktur persaingan
Keterkaitan dan industri pendukung
Indonesia
India
0
1
2
3
4
5
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Strategi perusahaan,
struktur persaingan
Keterkaitan dan industri pendukung
Indonesia
Singapura
0
1
2
3
4
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Strategi perusahaan,
struktur persaingan
Keterkaitan dan industri pendukung
Indonesia
Malaysia
0
1
2
3
4
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Strategi perusahaan,
struktur persaingan
Keterkaitan dan industri pendukung
Indonesia
RR Cina
79
gambir dapat dikelompokkan menjadi persoalan teknologi proses, mutu produk,
pasar, pemodalan, budidaya tanaman gambir, sumberdaya manusia serta berbagai
masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan agroindustri gambir Indonesia.
1. Permasalahan Teknologi
Seluruh aktivitas pengolahan gambir masyarakat menggunakan teknologi
sederhana dan manual. Hal tersebut sangat membatasi kemampuan produksi
serta rendahnya efisiensi proses pengolahan gambir. Hasil analisis ampas daun
gambir setelah ekstraksi menunjukkan masih tingginya kandungan katekin dan
tanin yang tersisa di dalamnya. Dari segi kapasitas produksi, karena seluruh
aktivitas menggunakan tenaga manusia, maka kapasitas produksi per hari
masing-masing rumah kempa menjadi terbatas. Dengan jumlah tenaga kerja
pengempa yang terbatas, banyak petani yang ladang gambirnya siap dipanen
harus menunggu sampai tenaga kerja pengempa tertentu menyelesaikan
pengempaan di rumah kempa milik petani lain. Kondisi tersebut menyebabkan
sulitnya memenuhi permintaan gambir jika pada waktu tertentu pasar
membutuhkan pasokan produk yang lebih tinggi. Di sisi lain, penggunaan
teknologi yang sederhana tersebut menyebabkan sulitnya menjamin mutu produk
agar tetap memenuhi standar tertentu baik dari segei bentuk, ukuran, warna
mamupun komposisinya.
2. Permasalahan Mutu
Hasil survey dan analisis sampel gambir yang diproduksi masyarakat
menunjukkan bahwa mutu produk gambir asalan sangat beragam. Kondisi
tersebut sangat menyulitkan meningkatkan harga jual gambir serta memperluas
pasar gambir di luar pasar yang telah ada saat ini. Untuk pengembangan pada
masa yang akan datang, sangat diperlukan perbaikan mutu serta adanya sistem
manajemen yang mampu memberikan jaminan mutu produk gambir. Hal
tersebut diperlukan agar gambir yang diproduksi pada saat tertentu oleh rumah
kempa tertentu sama seperti produksinya pada waktu sebelumnya ataupun rumah
kempa lain dan daerah lain. Dengan sistem yang baik, dapat dijamin bahwa
80
agroindustri gambir mampu mempertahankan konsumen yang telah ada serta
mendapatkan konsumen yang baru untuk perluasan pasar.
3. Permasalahan Pasar
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, permasalahan yang menyangkut
mutu gambir menyebabkan terbatasnya kemampuan untuk melakukan perluasan
pasar. Bahkan mutu yang tidak konsisten diduga mempengaruhi permintaan
konsumen dari negara-negara di luar importir utama seperti India dan Pakistan.
Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada perkembangan ekspor ke Jepang
(Gambar 2). Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2005-2009,
volume ekspor gambir ke Jepang berfluktuasi, dan ekspor tiga tahun berikutnya
tidak jauh di bawah volume ekspor pada tahun 2006 Hal tersebut juga terlihat
dari ekspor ke negara lain seperti Inggris, Perancis, Saudi Arabia, Venezuela,
Taiwan dan sebagainya yang tidak berkelanjutan. (Lampiran 1).
4. Permasalahan Sumberdaya Manusia
Permasalahan sumberdaya manusia antara lain berupa budaya dan keterikatan
terhadap hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan hambatan serta keberanian
untuk menghadapi resiko ketika diperlukan perubahan atau pengembangan baru.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah pelaku dalam agroindustri gambir yang
memiliki keberanian untuk mencari terobosan baru dalam upaya perbaikan bisnis
gambir mereka. Di sisi lain, adanya pola berfikir sebagian masyarakat yang
menghendaki keuntungan sesaat walaupun mungkin dapat berakibat buruk pada
masa yang akan datang.
5. Permasalahan Permodalan
Lemahnya kemampuan pemodalan masyarakat telah menyebabkan
keterbatasan masyarakat untuk meningkatkan teknologi, pemeliharaan dan
peremajaan tanaman serta perluasan kebun gambir untuk peningkatan produksi.
Bahkan pada banyak petani, kelemahan tersebut telah menyebabkan
ketergantungan mereka kepada pedagang pengumpul yang semakin
memperlemah posisi tawar mereka dalam penjualan gambir asalan.
81
6. Permasalahan Budidaya Tanaman Gambir
Dalam penyiapan kebun gambir baru, petani hanya menanam bibit gambir
yang berasal dari buah gambir dari kebun mereka sendiri. Tidak ada seleksi buah
maupun tanaman induk yang baik. Banyak petani tidak mengetahui bahwa
terdapat lebih dari satu varietas tanaman gambir yang kemampuan produksinya
berbeda. Di sisi lain, akibat keterbatasan permodalan, banyak tanaman kebun
gambir yang dimiliki masyarakat telah tua dan sebaiknya diremajakan. Sebagian
petani menyadari bahwa produksi kebun mereka lebih rendah dari masa-masa
sebelumnya, namun mereka tidak dapat melakukan peremajaan, karena hal
tersebut berarti bahwa mereka tidak dapat memanen daun gambir dari kebun
mereka sampai 18 bulan. Hal ini berarti bahwa mereka baru dapat melakukan
pemanenan kembali pada periode panen ketiga setelah dua kali musim panen
mereka hanya menunggu. Dalam budidaya, petani gambir hanya melakukan
pemeliharaan kebun mereka dengan penyiangan tanpa penanganan hama maupun
penyakit dan pemupukan yang baik. Kondisi tersebut menyebabkan
produktivitas kebun mereka sepenuhnya tergantung pada alam.
7. Permasalahan yang Berkaitan dengan Keberlanjutan Bisnis Gambir
Permasalahan yang berkaitan dengan keberlanjutan dalam jangka panjang
seperti alih fungsi lahan seperti untuk pertambangan, alih komoditi, penurunan
minat generasi muda untuk bekerja dan berusaha di bidang pertanian dan
agroindustri dan sebagainya. Selanjutnya, terkait dengan keberlanjutan bisnis
gambir, dukungan pemerintah terhadap pengembangan agroindustri gambir
belum diwujudkan dalam kebijakan dan program-program yang dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat secara langsung. Di samping itu, terdapat berbagai
ancaman dan tantangan agroindustri gambir Sumatera Barat seperti isu
perkebunan gambir yang berada di lahan-lahan kritis dan menimbulkan ancaman
terhadap kelestarian lingkungan
8. Permasalahan Kelembagaan
Semua pelaku dalam agroindustri gambir, berjalan masing-masing dengan
koordinasi dan kerja sama yang sangat lemah. Hubungan antara petani dengan
82
pedagang pengumpul hanya terbatas pada jual beli gambir asalan, meskipun ada
sebagian petani yang terikat utang dengan pedagang. Hal yang sama terjadi
antara beberapa pedagang pengumpul dengan eksportir. Di sisi lain, lembaga
keuangan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian juga berjalan sendiri-sendiri.
Pada saat yang sama, masyarakat juga kurang merasakan dukungan pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah terhadap agroindustri gambir. Meskipun
pemerintah daerah sangat mendukung pengembangan gambir sebagai produk
unggulan daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, namun dalam kebijakan investasi
asing, pemerintah dinilai kurang berhati-hati saat ada pendirian industri pengolah
daun gambir. Padahal, berdirinya industri tersebut akan makin memperkuat
posisi India dalam bisnis gambir dan sebaliknya mengancam keberlanjutan
lapangan kerja bagi banyak pengempa dan pedagang pengumpul berserta tenaga
kerja pengeringan, penanganan dan pengangkutan produk gambir.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan dalam
agroindustri gambir sangat kompleks. Semua persoalan tersebut perlu diatasi
sehingga dalam jangka panjang, agroindustri gambir Indonesia benar-benar dapat
berkembang dan mampu mensejahterakan masyarakat dan menyumbang devisa
bagi negara. Namun karena ketersediaan sumberdaya untuk penanganan berbagai
permasalahan tersebut terbatas maka diperlukan kajian mengenai prioritas
permasalahan yang harus ditangani. Penentuan prioritas tersebut diperlukan agar
pemanfaatan sumberdaya untuk penanganan persoalan akan efektif. Di sisi lain,
jika dilakukan kajian lebih mendalam, diketahui bahwa berbagai persoalan
tersebut saling berkaitan sehingga ada persoalan yang terjadi akibat persoalan
lain. Oleh karena itu, perlu dikaji persoalan mendasar dalam agroindustri gambir
yang menyebabkan berbagai persoalan berikutnya. Di samping itu, terdapat
persoalan-persoalan yang berpengaruh terhadap munculnya permasalahan lain,
namun permasalahan tersebut juga ditimbulkan oleh permasalahan lain lagi.
Hasil kajian dengan metode ISM menunjukkan ketergantungan antar masalah dan
pengaruhnya terhadap berbagai masalah lain dalam agroindustri gambir
sebagaimana disajikan pada Gambar 24. Matriks Structural Self Interaction
83
Matrix (SSIM) dan Reachibility Matrix (RM) selengkapnya dalam ISM mengenai
permasalahan agroindustri gambir dapat dilihat pada Lampiran 23 dan 24.
Gambar 24. Di-graph Permasalahan dalam Agroindustri Gambir
Pada Gambar 24 tersebut, dapat dilihat bahwa masalah kelembagaan
merupakan permasalahan yang memiliki dampak tertinggi terhadap timbulnya
berbagai masalah lain. Di sisi lain, masalah keberlanjutan bisnis gambir merupakan
dampak dari berbagai masalah lain. Di antara permasalahan tersebut, permasalahan
mutu produk, produk hilir, pasar dan kepasitas produksi memiliki dampak terhadap
masalah posisi tawar Indonesia dalam bisnis gambir, pendapatan UMK gambir dan
berujung pada masalah jaminan keberlanjutan bisnis gambir Indonesia. Sebaliknya,
permasalahan mutu dan sebagainya tersebut membutuhkan penanganan masalah
kelembagaan, SDM, litbang dan permodalan. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dirumuskan hubungan antar berbagai permasalahan dalam agroindustri gambir
(Gambar 25).
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Da
ya
Do
ron
g
Ketergantungan
Kelembagaan
Permodalan
Litbang SDM
Pendapatan UMK Gambir
Keberlanjutan Bisnis
Posisi Tawar Indonesia
Pasar
Produk Hilir
Harga
Budidaya
Mutu Produk
Kapasitas Produksi
Teknologi Proses
84
Gambar 25. Keterkaitan Berbagai Permasalahan dalam Agroindustri Gambir
Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa akar persoalan dalam agroindustri
gambir adalah permasalahan kelembagaan yang menyebabkan berbagai persoalan
seperti permodalan, penelitian dan pengembangan, pemasaran yang berujung pada
persoalan jaminan keberlanjutan bisnis gambir dalam jangka panjang. Dengan
lemahnya kelembagaan selama ini, maka masing-masing pelaku dalam bisnis gambir
tidak memiliki pemahaman yang sama tentang permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya, kurangnya tantangan dalam pemasaran serta lemahnya akses ke pasar
baru yang potensial telah menyebabkan agroindustri gambir hampir tidak mengalami
perkembangan yang berarti untuk jangka waktu yang lama. Pada Gambar 25 juga
dapat dilihat bahwa persoalan mutu produk karena tidak dikembangkannya produk
antara maupun produk akhir dari gambir makin membatasi kesempatan
pengembangan pasar baru yang potensial, baik pasar domestik maupun pasar ekspor.
Kapasitas
Produksi
Teknologi
Proses
Produk
Hilir
Masalah
Harga Masalah
Pasar
Pendapatan
UMK Gambir
Keberlanjutan
Bisnis
Posisi
Indonesia
Mutu Produk
Budidaya
Kelembagaan
SDM Litbang Permodalan