BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN...
Transcript of BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN...
76
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN DADANG HAW ARI
TENTANG CARA MENDIDIK ANAK DALAM KELUARGA DAN
SUMBANGANNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Kelebihan dan Kelemahan Konsep M. Quraish Shihab dan Dadang
Hawari tentang Pendidikan Anak
1. Pemikiran M. Quraish Shihab
a. Al-Qur'an Sebagai Kitab Pendidikan
Menurut Shihab (2007: 93):
"Tidaklah keliru jika dinyatakan bahwa Al-Quran adalah kitab pendidikan. Hampir semua unsur yang berkaitan dengan kependidikan disinggung secara tersurat atau tersirat oleh Al-Quran. Rasulullah Saw., yang menerima dan bertugas untuk menyampaikan dan mengajarkannya, menamai dirinya "guru". "bu'itstu mu'aliman," demikian sabda beliau. Dalam rangka suksesnya pendidikan, Kitab Suci Al-Quran menguraikan banyak hal, antara lain, pengalaman para nabi, rasul, dan mereka yang memperoleh hikmah dari Allah Swt. Salah seorang dari yang memperoleh hikmah itu adalah Luqman a.s."
Pernyataan Shihab tersebut menunjukkan bahwa dalam
pandangannya konsep mendidik anak secara global sudah tersirat dan
tersurat dalam beberapa ayat al-Qur'an. Karena memang al-Qur'an
sebagaimana dikatakan al-Qattan (1973: 1) dalam kitabnya Mabahis fi
Ulum al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya
selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah
kepada Rasulullah, Muhammad Saw untuk mengeluarkan manusia
dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Semua isi Al-Qur’an merupakan syari’at,
pilar dan azas agama Islam, serta dapat memberikan pengertian yang
komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi dalam
77
menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah
kebenarannya oleh siapa pun (Az-Zuhaili, 1996: 16)
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu cara mendidik anak
dapat dilihat dalam al-Qur'an. Hal itu bukan berarti buku lain tidak
penting. Al-Qur'an hanya bersifat global, karena itu harus dilengkapi
dengan tuntunan ilmu psikologi pendidikan dan ilmu-ilmu lainnya
yang relevan dengan masalah anak.
b. Nasihat Lukman kepada Anaknya
Menurut Shihab (2007: 95):
"Menarik disimak bahwa pengajaran ini diabadikan Al-Quran setelah dalam ayat sebelumnya Al-Quran menegaskan bahwa sebagian dari hikmah yang dianugerahkan kepada Luqman itu adalah perintah untuk bersyukur atas nikmat-Nya. Tentu saja, salah satu nikmat tersebut adalah anak, dan mensyukuri kehadiran anak adalah dengan mendidiknya. Perhatikanlah bagaimana Al-Qur'an merestui bahkan mengabadikan ucapan-ucapan Luqman ketika mendidik anaknya. Perhatikan juga bagaimana Luqman memanggil anaknya dengan panggilan mesra, "Ya Bunayya," sebagai isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih-sayang terhadap peserta didik."
Di dalam al-Qur'an ada satu surat yang bernama surat Luqman,
dimana Tuhan memberikan contoh kepada ibu-bapa untuk membentuk
anak-anaknya, seperti yang sudah dilakukan di zaman dahulu oleh
Luqmanul Hakim terhadap anak-anaknya. Ada dua keterangan dari
Ahli-ahli Tafsir mengenai Luqmanul Hakim itu. Pertama, yang
menyatakan bahwa Luqman itu seorang Nabi; kedua, yang
menyatakan bahwa dia hanya seorang Ahli Hikmat.
Terlepas dari soal mana di antara yang dua itu yang benar,
tetapi yang sudah jelas, bahwa Tuhan telah menunjukkan contoh yang
ber-nash dari cara-cara Luqman mendidik anak-anaknya, untuk
dijadikan pedoman dan petunjuk bagi orang tua anak-anak (Nasution,
1989: 56).
78
Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Luqmanul Hakim dalam
nasehat (pengajaran) kepada anak-anaknya, dalam garis besarnya
terdiri dari lima hal, yaitu :
(1) Pendidikan aqidah;
(2) Pendidikan berbakti (ubudiyah);
(3) Pendidikan kemasyarakatan (sosiologi);
(4) Pendidikan mental; dan
(5) Pendidikan akhlak (budi-pekerti).
c. Pandangan al-Qur'an tentang Anak
Menurut Shihab (2007: 97):
"Hal lain yang penting pula untuk digarisbawahi adalah kenyataan yang berkaitan dengan petunjuk-petunjuk Al-Quran yang mengundang pelaksanaan. Kenyataan tersebut adalah bahwa petunjuk dimaksud hampir selalu dibarengi atau dirangkaikan dengan kewajiban takwa serta anjuran untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Dari sinilah bergabung takwa yang menyinari hati dengan hikmah yang ditunjang oleh nalar sehingga petunjuk tersebut terlaksana atas dasar kesadaran, bukan oleh dorongan rasa takut."
Setelah seorang anak mempunyai landasan yang kuat dalam
kehidupannya, haruslah dibentuk pula supaya dia berbakti kepada
Tuhan dengan mengerjakan sembahyang (shalat). Sebab shalat itu,
selain sebagai satu tatacara ubudiyah dan berbakti kepada Tuhan,
menunjukkan syukur kepada nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya,
pun pengaruh (effek) sembahyang (shalat) itu membawa nilai-nilai
yang menguntungkan kepada manusia sendiri, baik menyangkut
dengan soal-soal jasmaniah maupun masalah-masalah rohaniah.
Ketiga, pada sambungan ayat tersebut dinyatakan pula:
)17وأمر بالمعروف وانه عن المنكر(لقمان: "Suruhlah mengerjakan (perbuatan) yang ma'ruf (baik-baik), dan laranglah dari (perbuatan) yang mungkar (buruk)." (Q.S. Lukman:17).
79
Hendaklah ibu-bapa mendidik anak-anaknya supaya mereka
membiasakan diri memperbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain atau masyarakat. Juga supaya menjauhi
perbuatan-perbuatan yang buruk, yang merugikan kepada diri sendiri
dan merusak kepada orang lain
d. Kewajiban Orangtua dan Masyarakat
Menurut Shihab (2007: 100):
"Menjadi kewajiban orangtua dan masyarakatlah memberi perlindungan kepada anak agar fitrah kesucian itu tidak pudar atau hilang sama sekali. Apalagi, seperti yang dikemukakan di atas, anak sebelum dewasa belum mampu menentukan pilihan, bahkan dalam banyak hal tidak mampu memahami persoalan-persoalan pelik, termasuk memilih sendiri agamanya."
Di antara kewajiban orang tua terhadap anak adalah:
1. Mengajarkannya menulis
Pada masa abad permulaan berdirinya sistem pendidikan
klasikal, tugas kependidikan adalah mencerdaskan daya pikir
(intelek) manusia dengan melalui mata pelajaran menulis,
membaca dan berhitung. Akan tetapi, sesuai dengan
perkembangan tuntutan hidup manusia maka tugas tersebut
semakin bertambah dan luas, yaitu selain mencerdaskan otak yang
terdapat di dalam kepala (head) juga mendidik akhlak atau
moralitas yang berkembang di dalam hati atau dada (heart). Oleh
karena itu, semakin meningkatnya rising demand (kebutuhan yang
meningkat) maka akhirnya manusia mendidik kecekatan atau
ketrampilan untuk bekerja terampil.
Ketrampilan tersebut pada prinsipnya terletak pada
kemampuan tangan manusia (hand). Pada akhirnya proses
pendidikan atau berlangsung pada titik kemampuan
berkembangnya tiga hal, yaitu head, heart and hand. Mungkin
pada masa selanjutnya, sasaran pokok proses pendidikan tersebut
80
masih mengalami perubahan atau penambahan lagi (Arifin, 2003:
33).
2. Berenang dan memanah
Begitu pula berenang dan memanah, selain sebagai
keterampilan, berenang dan memanah itu mengisyaratkan kepada
seorang muslim untuk menjadi seorang patriot yang tangguh.
Sehingga selain untuk sebagai olah raga, juga sebagai cara untuk
menjaga diri sendiri dari musuh agama, bangsa dan juga Negara.
3. Memberikan rizki yang baik kepada anak
Dalam hadits ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
"memberikan rizqi yang baik kepada anak", memberikan
pendidikan ekonomi agar supaya anak tidak lemah dalam segi
ekonomi. Rasulullah saw bersabda: "Semua manusia itu fakir
karena ketakutan mereka kepada kefakiran". Para pelajar pada
masa lalu lebih dahulu mempelajari cara bekerja kemudian bam
mencari ilmu sehingga mereka tidak tamak terhadap harta orang
lain, kata orang bijak "Barang siapa merasa cukup dengan harta
orang lain berarti dia melarat".
Bila orang berilmu itu tamak maka ia tidak 'mendapat
kehormatan ilmu dan tidak berkata kepada kebenaran. Oleh
karena itu Rasulallah saw bersabda: "Aku berlindung kepada
Allah dari ketamakan yang mendekatkan diri kepada aib" (Asrori,
1996), hlm. 81).
2. Pemikiran Dadang Hawari
a. Makna Pendidikan
Menurut Hawari (1996: 195):
"Makna pendidikan tidaklah semata-mata hanya menyekolahkan anak ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas daripada itu. Seorang anak akan tumbuh berkembang dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif), agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian ini
81
adalah anak yang sehat dalam arti luas, yaitu sehat fisik, mental-emosional, mental-intelektual, mental-sosial dan mental-spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar rumah, formal di institut pendidikan dan non formal di masyarakat."
Pernyataan Hawari menunjuk kepada pentingnya aspek
kesehatan mental anak. Jadi pendidikan bukan hanya meningkatnya
aspek kognitif tetapi juga harus yang berorientasi pada pendidikan
yang dapat membentuk mental anak yang sehat.
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia
menyadari adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh
karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi
problema tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik
yang irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan
ilmiah (Mubarok, 2000: 13). Pada masyarakat Barat modern atau
masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan
menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental.
Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin)
pada awal sejarahnya telah mengalami problem psikologis seperti
yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan
lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya
menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan
pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna.
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk
memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan.
Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan
kesehatan. Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap
batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt). Hal itu
disebabkan antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan
sistem pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat
82
dan pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep
kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya
perbedaan implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental
yang sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena
sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan
memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan
mental (Msnamar, 1992: XIII).
b. Mendidik Anak
Menurut Hawari:
"Kritik yang sering dilontarkan pada sistem dunia pendidikan saat ini, adalah banyak lulusan universitas maupun akademi yang tidak siap pakai. Mereka lulus dengan angka baik (ilmu pengetahuan/aspek kognitif), namun kurang atau gagal dalam segi afektif dan psikomotornya."
Kegagalan dalam segi afektif dan psikomotornya ditindai di
antaranya oleh krisis kewibawaan orang tua. Menurut Nasution (1990:
50) kenyataan menunjukkan bahwa salah satu problema yang dihadapi
bangsa Indonesia pada zaman kemajuan ini, terutama di kota-kota
besar ialah gejala-gejala yang menunjukkan hubungan yang agak
terlepas antara ibu-bapak dengan anak-anaknya. Seorang ahli sosiologi
menamakannya krisis kewibawaan orang tua.
Banyak orang tua yang tidak dapat mengendalikan putera-
putrinya, kalau tidak boleh dikatakan sudah seperti hujan berbalik ke
langit, yaitu putra putri itulah dalam prakteknya yang mengendalikan
orang tua mereka. Yang agak membangunkan pikiran dalam hal ini
ialah bahwa peristiwa itu banyak dijumpai di kalangan keluarga-
keluarga yang disebut cabang atas yang mempunyai kedudukan sosial
ekonomi yang baik, dan pada umumnya terdiri dari orang-orang
terpelajar dan berpendidikan tinggi. Bahkan ada pula di antaranya
yang memegang fungsi penting dalam jabatan negara. Hal itu semua
disebabkan pendidikan yang hanya menitikberatkan agama sebagai
83
ilmu pengetahuan, dan bukan pengamalannya. Selain itu karena
pendidikan agama tidak sampai esensinya melainkan hanya berada
pada garis permukaan. Di samping itu tertinggalnya pemahaman
akhlak dibandingkan kemajuan sains dan teknologi.
Dari sini tampaklah adanya kesenjangan; di satu pihak antara
keharusan membangun anak yang beriman dan taqwa sebagai das
sollen dengan kenyataan makin rapuhnya moralitas dan atau akhlak
anak sebagai das sein. Kesenjangan ini akan makin tampak manakala
persoalan pendidikan anak ditolerir tanpa adanya upaya sedini
mungkin mencari solusi dengan mempertemukan para pakar yang
melihat persoalan pendidikan anak dan keluarga secara integral
komprehensif yang dilihat dari berbagai dimensi disiplin ilmu.
c. Pendekatan Holistik pada Anak
Menurut Hawari:
"Pendekatan Holistik pada perkembangan anak, yaitu dalam mempersiapkan anak menyongsong abad Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dalam era globalisasi, maka "design" atau "blue print" anak hendaknya memperhatikan keempat faktor. Selain dari faktor organo-biologik (konstitusi biologik), maka faktor psikososial-budaya dan agama tidak kalah pentingnya, dan hal ini mempunyai unsur psiko-edukatif di dalamnya."
Pendidikan agama tidak dapat dipahami secara terbatas hanya
kepada pengajaran agama. Karena itu keberhasilan pendidikan agama
bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak
itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang
ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Justru yang lebih
penting, berdasarkan ajaran Kitab dan Sunnah sendiri, ialah seberapa
jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa anak, dan
seberapa jauh pula nilai-nilai itu mewujud-nyata dalam tingkah laku
dan budi pekertinya sehari-hari. Perwujudan nyata nilai-nilai tersebut
dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi
luhur atau al-akhlaq al-karimah.
84
Keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur itu adalah
juga makna keterkaitan antara iman dan amal saleh, salat dan zakat,
hubungan dengan Allah (habl-un min al-Lah) dan hubungan dengan
sesama manusia (habl-un min al-nas), bacaan takbir (lafal Allahu
Akbar) pada pembukaan salat dan bacaan taslim (lafal Al-salam-u
'alaykum) pada penutupan salat. Pendeknya, terdapat keterkaitan yang
mutlak antara Ketuhanan sebagai dimensi hidup pertama manusia
yang vertikal dengan Kemanusiaan sebagai dimensi kedua hidup
manusia yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya penegasan-
penegasan dalam sumber-sumber suci agama (Kitab Suci dan Sunnah
Nabi) mengenai keterkaitan antara kedua dimensi itu, maka
pendidikan agama, baik di rumah tangga maupun di sekolah, tidak
dapat disebut berhasil kecuali jika pada anak didik tertanam dan
tumbuh dengan baik kedua nilai itu: ketuhanan dan kemanusiaan,
taqwa dan budi luhur.1
d. Pengaruh Keluarga terhadap Anak
Menurut Hawari:
"Proses tumbuh kembang anak terganggu dikarenakan faktor kutub keluarga yang tidak baik, kutub sekolah yang tidak memenuhi syarat, serta kutub masyarakat yang rawan? Maka, anak akan mempunyai resiko lebih besar untuk tumbuh kembang menjadi anak dengan kepribadian antisosial."
Dalam konteks ini, menurut peneliti bahwa meskipun pendidikan
agama dan peranan orang tua belum cukup dalam mendidik anak, tetapi
setidaknya merupakan modal awal dan fandasi utama dalam membangun
kepribadian anak.
Pendapat para ahli sebagaimana telah diketengahkan dalam bab dua
tesis ini, bahwa orang tua atau keluarga merupakan lembaga pertama dalam
kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk
sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang
1Ibid.,
85
intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan
sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku, watak,
moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga
akan menentukan pula pola tingkah-laku anak terhadap orang lain dalam
masyarakat (Kartono, 1985: 19).
Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak
pengaruh-pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi
kejiwaan orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,
ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi pengaruh. Juga
kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi pengaruh terhadap bayi
tentu saja mengakibatkan kurangnya perhatian, pemeliharaan, kasih sayang.
Padahal segala perlakuan sikap sekitar itu akan memberi andil terhadap
pembentukan pribadi anak, bila bayi sering mengalami kekurangan,
kekecewaan, tak terpenuhinya kebutuhan secara wajar tentu saja akan
memberi pengaruh yang tidak sedikit dalam penyesuaian selanjutnya. Pada
masa anak sangat sensitif apa yang dirasakan orang tuanya. Dengan
kedatangan kelahiran adiknya sering perhatian orang tua berkurang, hal ini
akan dirasakan oleh anak dan mempengaruhi perkembangan (Sundari, 2005:
65).
Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut membutuhkan
beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua. Kebutuhan ini mencakup
rasa aman, dihargai, disayangi, dan menyatakan diri. Rasa aman ini
dimaksudkan rasa aman secara material dan mental. Aman secara material
berarti orang tuanya memberikan kebutuhannya seperti pakaian, makanan dan
lainnya. Aman secara mental berarti harus memberikan perlindungan
emosional, menjauhkan ketegangan-ketegangan, membantu dalam
menyelesaikan problem mental emosional (Simanjuntak dan I.L. Pasaribu,
1984: 282).
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peranan keluarga
sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai perilaku anak, karena itu keluarga
merupakan benteng utama dalam membangun pribadi anak. Kesimpulan lain
86
yang dapat diambil yaitu apabila pendapat kedua ahli tersebut (M. Quraish
Shihab dan Dadang Hawari) dibandingkan, maka persamaannya, kedua tokoh
ini menganggap komponen utama yang dapat membentuk perilaku anak yaitu
pertama, peran pendidikan agama; kedua, orang tua yang paling berperan
dalam meletakkan fandasi awal pendidikan moral dan akhlak anak.
Adapun perbedaan konsep kedua tokoh ini yaitu pertama, Shihab lebih
banyak pendekatannya bersandar pada al-Qur'an utamanya surat Lukman, hal
ini dapat dimengerti karena ia memiliki latar belakang pendidikan spesialis
dibidang kajian tafsir al-Qur'an. Salah satu keistimewaan M Quraish Shihab
bisa membumikan al-Qur'an yang merupakan sesuatu mormatif atau
transenden itu menjadi sesuatu yang empiris atau objektif kebenarannya.
Artinya kebenatran al-Qur'an yang hanya diakui oleh orang Islam yang
bersifat notmatif menjadi kebenaran yang bersifat objektif dan rasional yang
bisa digunakan sebagai landasan teori.
Sedangkan Hawari lebih banyak merujuk pada disiplin psikologi, hal
ini dapat dimengerti karena ia memiliki latar belakang pendidikan spesialis di
bidang psikiatri. Pemikiran yang mendasar bagi pendidikan anak adalah
pentingnya kesehatan mental yang tidak bisa dilepaskan dari kesehatan mental
orang tua dan keluarga.
Orang tua dan keluarga harus memahami perkembangan anak, karena
perkembangan anak sangat berkaitan dengan aspek kesehatan mental.
Menurut Hurlock (tth: 2), Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan mengutip perkataan Van den Daele
bahwa perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa
perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi
badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada
dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi
secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan
kemunduran atau involusi.
87
Perbedaan yang kedua, bahwa Shihab lebih mengedepankan
pendidikan agama berupa esensinya atau substansinya dengan
mengetengahkan hikmah dibalik ajaran agama itu. Sedangkan hal-hal yang
menyangkut ritual atau seremonial dalam pandangan Shihab meskipun sangat
penting tetapi tidak boleh pemahaman agama sampai di situ. Jika pendidikan
agama hanya mencapai target ritual maka peran dan fungsi agama menjadi
kabur tidak membekas pada anak. Sedangkan Hawari tidak
mempermasalahkan ajaran yang hanya menyangkut ritual atau esensi agama,
tetapi yang penting bahwa pendidikan agama harus mencakup tiga dimensi
yaitu akidah, syari'ah dan akhlak sehingga melahirkan aspek kognitif, afektif,
dan psikomotoris.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua tokoh ini, namun inti
yang utama bahwa kedua tokoh ini sependapat dalam mendidik anak harus
memperhatikan dan menanamkan dua hal yaitu (1) pendidikan agama; dan (2)
pentingnya peranan orang tua.
B. Sumbangan Pemikiran M. Quraish Shihab dan Dadang Hawari tentang
Cara Mendidik Anak dalam Pendidikan Islam
1. Sumbangan Pemikiran M. Quraish Shihab
Sumbangan pemikiran M. Quraish Shihab tentang cara mendidik anak
terhadap pendidikan Islam, M.Quraish Shihab sangat dekat dengan aktivitas
pendidikan, bahkan sebagai pemikir dan praktisi pendidikan. Quraish Shihab
ingin menyampaikan pesan moral dan pendidikan kepada umat. Oleh sebab
itu, pada setiap topik kajian yang dikemukakan ia selalu mengemukakan nilai-
nilai edukatif yang terdapat di dalamnya.
Pemikiran H.M.Quraish Shihab dalam bidang pendidikan tersebut
tampak sangat dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang tafsir Al-Qur'an
yang dipadukan dengan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai
ilmu lainnya baik ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu pengetahuan umum serta
konteks masyarakat Indonesia. Dengan demikian, ia telah berhasil
88
membumikan gagasan Al-Qur'an tentang pendidikan dalam arti yang
sesungguhnya, yakni sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia.
Pemikiran dan gagasan H.M. Quraish Shihab tersebut telah pula
menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang
memiliki implikasi terhadap munculnya konsep pendidikan menurut Al-
Qur'an yang pada gilirannya dapat menjadi salah satu bidang kajian yang
cukup menarik. Upaya ini perlu dilakukan mengingat bahwa di dalam
pemikiran H.M. Quraish Shihab tersebut mengisyaratkan perlunya melakukan
studi secara lebih mendalam tentang pendidikan dalam perspektif Al-Qur'an.
2. Sumbangan Pemikiran Dadang Hawari
Menurut Hawari (1996: 195), makna pendidikan tidaklah semata-mata
hanya menyekolahkan anak ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan,
namun lebih luas daripada itu. Seorang anak akan tumbuh berkembang
dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna
(komprehensif), agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat,
bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat
dalam arti luas, yaitu sehat fisik, mental-emosional, mental-intelektual,
mental-sosial dan mental-spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus
dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar rumah, formal di institut
pendidikan dan non formal di masyarakat.
Keterangan utama Dadang Hawari di atas, menjadi petunjuk bahwa ia
sangat menekankan pendidikan anak yang bisa membentuk mental yang sehat.
Dari sini tampak sumbangan pemikiran Dadang Hawari terhadap pendidikan
Islam yaitu konsep kesehatan mental. Dapat dimengerti pendapat Dadang
Hawari yang menyoroti cara mendidik anak dengan melihat dalam aspek
kesehatan mental, karena dewasa ini ketidakberdayaan manusia bermain
dalam pentas peradaban modern yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu,
menyebabkan sebagian besar "manusia modern" itu terperangkap dalam
situasi yang menurut istilah Psikolog Humanis terkenal, Rollo May sebagai
"Manusia dalam Kerangkeng", satu istilah yang menggambarkan "satu derita
89
manusia modern". Manusia modern seperti itu sebenarnya manusia yang
sudah kehilangan makna, manusia kosong, The Hollow Man. Ia resah setiap
kali harus mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang diinginkan, dan tidak
mampu memilih jalan hidup yang diinginkan. Para sosiolog menyebutnya
sebagai gejala keterasingan, alienasi, yang disebabkan oleh (a) perubahan
sosial yang berlangsung sangat cepat, (b) hubungan hangat antar manusia
sudah berubah menjadi hubungan yang gersang, (c) lembaga tradisional sudah
berubah menjadi lembaga rasional, (d) masyarakat yang homogen sudah
berubah menjadi heterogen, dan (e) stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas
sosial (Mubarok, 2001: 27).
Seiring dengan kondisi tersebut muncul konflik-konflik batin yang
pada puncaknya menimbulkan mental disorder (kekacauan mental, penyakit
mental) yaitu ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya, yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber kekacauan tersebut bisa
bersifat psikogenis maupun organis dan mencakup reaksi psikotis maupun
reaksi neurotis yang lebih serius (Chaplin, 1993: 298). Gangguan mental, dan
ciri-ciri gangguan mental yang diderita orang-orang modern menurut seorang
psikoanalis yang membuka praktek di New York yaitu May (1996: 1) adalah
ketidakbahagiaan hidup dan ketidakmampuan membuat keputusan.
Mental disorder itu mempunyai pertanda awal, antara lain ialah cemas
atau ketakutan, dengki, apatis, cemburu, iri hati, marah-marah secara
eksplosif, a-sosial, ketegangan kronis dan lain-lain. Ringkasnya,
kekacauan/kekalutan mental merupakan bentuk gangguan pada ketenangan
batin dan harmoni dari struktur kepribadian.
Bila keluarga, dalam hal ini orang tua mengalami mental disorder
maka sudah bisa dibayangkan bagaimana dengan mental anaknya. Anak yang
mengalami mental disorder harus segera ditangani, karena itu para ahli telah
berupaya mencari solusi menanggulangi mental anak yang disorder.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami jika Dadang Hawari
meminta kepada semua pihak terutama kalangan orang tua dan pendidik untuk
memperhatikan kesehatan mental anak.
90
Salah satu problema yang dihadapi oleh masyarakat kita pada zaman
kemajuan ini, terutama di kota-kota besar ialah gejala-gejala yang
menunjukkan hubungan yang "agak terlepas" antara Ibu-Bapa dengan anak-
anaknya. Seorang ahli sosiologi menamakannya krisis kewibawaan orang tua.
Krisis ini telah mengarah pada masalah moral atau akhlak.
Banyak orang tua yang tidak dapat mengendalikan putera-puterinya
terutama ketika putra putrinya menginjak remaja, kalau tidak boleh dikatakan
sudah seperti hujan berbalik ke langit, yaitu putera-puteri itulah dalam
prakteknya yang mengendalikan orang-tua mereka. Yang agak
membangunkan pikiran dalam hal ini, ialah bahwa peristiwa itu banyak
dijumpai dikalangan keluarga-keluarga yang disebut "cabang atas", yang
.mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang baik, dan pada umumnya terdiri
dari orang-orang terpelajar dan berpendidikan tinggi. Bahkan ada pula di
antaranya yang memegang fungsi yang penting dalam jabatan negara.
Satu di antara contohnya yang jelas ialah aksi ngebut-ngebutan dan
“indehoy” dikalangan anak remaja, dimana orang-tua mereka nampaknya
tidak berdaya mengatasinya. Di samping itu masih banyak lagi ciri-ciri yang
lain yang melukiskan bahwa ada semacam "baut yang longgar" antara
hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Kondisi ini menimbulkan gejala
kenakalan remaja yang makin membahayakan.
Peristiwa yang demikian haruslah dicarikan pemecahan persoalannya,
karena kalau tidak, akan membawa akibat yang buruk dan luas bagi
pertumbuhan generasi dan bangsa kita. Soal itu tak dapat dipandang sebagai
masalah anak-anak orang kaya, bapa-bapa gede dan kaum "the haves" saja,
sebab akibatnya mempunyai mata rantai yang sambung-bersambung,
menyangkut dengan soal pembinaan negara dan kepribadian bangsa (nation
and character building). Ibarat penyakit harus diadakan diagnose untuk
menemukan terapinya, dicari sebab-musababnya, dilihat dari berbagai sudut
dan segi.
Ada orang-orang yang melemparkan tanggungjawab itu kepada ibu-
bapa saja; ada pula yang menyalahkan anak-anak saja dengan menamakan
91
mereka "anak-anak badung"; dan ada pula yang menghubungkan dengan
masalah desintegrasi dan demoralisasi dalam masyarakat, akibat dari zaman
pertumbuhan dan pancaroba. Bagaimanapun dibolak-balik, masalah itu pada
hakekatnya tali-bertali, berjalin-jalin (kompleks).
Tetapi, satu hal yang dirasakan oleh setiap orang kenyataan-kenyataan
yang pahit itu antara lain adalah karena kekosongan roh keagamaan, baik di
dalam jiwa dan kehidupan ibu-bapa maupun dikalangan anak-anak.
Kekosongan bimbingan keagamaan itu menyebabkan terlepas dari nilai-nilai
moral dan akhlak.
Pada saat-saat seperti sekarang semakin terasa perlunya
menyemangatkan dan memperluas doktrin-doktrin Islam bagaimana
seharusnya mengatur hubungan antara ibu-bapa dengan anak-anak,
kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab timbal-balik. Sebab dengan
penerapan ajaran-ajaran Islam tentang masalah tersebut, maka akan diperoleh
suatu landasan untuk memperbaiki keadaan-keadaan itu. Menurut ajaran
Islam, anak-anak itu adalah amanah Tuhan kepada ibu-bapa. Setiap amanah
haruslah dijaga dan dipelihara; dan setiap pemeliharaan mengandung unsur-
unsur kewajiban dan tanggung-jawab.
Adapun hakekat dan fungsi amanah tentang pemeliharaan anak-.anak
itu mengandung arti dan nilai yang jauh lebih dalam dan luas daripada
amanah-amanah yang lain. Sebab didalamnya berjalin dan melekat secara
langsung kepentingan manusia yang bersangkutan dalam hal ini ibu-bapa baik
dilihat dari sudut biologis maupun dari segi sosiologis.
Setiap ibu-bapa, terbawa oleh pertalian darah dan turunan (biologis),
dipertautkan oleh satu ikatan (unsur) yang paling erat dengan anak-anaknya,
yang tidak terdapat pada hubungan-hubungan yang lain. Hubungan itu
disebutkan naluri (instinct). Tiap-tiap ibu-bapa mempunyai naluri cinta dan
kasih kepada anak-anaknya. Cinta dan kasih itu adalah sedemikian rupa,
sehingga setiap ibu-bapa dengan rela mengorbankan segala apa yang ada
padanya untuk kepentingan anak-anaknya.
92
Dilihat dari sudut sosiologis, ibu-bapa menghendaki dan berusaha
supaya anak-anaknya menjadi orang-orang yang baik dalam masyarakat, yang
memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan mendatangkan manfaat kepada
orang lain (ummat manusia). Anak-anak itulah yang akan menyambung dan
meneruskan keturunan mereka.
Suami-isteri yang tidak mempunyai anak akan merasakan suatu
kekosongan atau kehampaan dalam kehidupan. Meskipun suami-isteri tersebut
hidup senang, harta banyak, segala kenikmatan lahiriah cukup, bintang terang
dan lain-lain, tetapi mereka memandang kehidupan ini dengan pandangan
yang gelap, laksana seorang yang tidak melihat sinar matahari terang diwaktu
pagi karena tertutup oleh kabut dan embun yang tebal. Suami-isteri yang
hidup dalam rumah tangga yang serba cukup tetapi tanpa anak tak ubahnya
laksana satu taman yang luas tanpa bunga atau kembang, Tidak terlihat dan
terasa keindahan, kenikmatan yang hakiki dan kebahagiaan. Tidak heran
apabila suami-isteri yang tidak mempunyai anak itu berusaha mencari anak
pungut atau anak-tiri.
Dalam proses pertumbuhan anak-anak, maka ibu-bapa memegang
peranan yang amat penting, malah boleh disebutkan yang paling menentukan.
Menurut ajaran Islam, begitu pula menurut ahli-ahli pendidik, anak-anak itu
adalah laksana kertas yang putih bersih, yang dapat dilukis dengan warna
yang dikehendaki: merah, hitam, hijau, ungu, dan lain sebagainya.
Baik-buruknya anak-anak itu, baik jasmaniah maupun rohaniah,
menjadi orang yang shalih atau fasik, bertindak konstruktif atau destruktif
dalam masyarakat dan lain-lain sebagainya, pada pokoknya banyak tergantung
kepada ibu-bapaknya. Peranan ibu-bapa itu dapat pula diumpamakan seperti
pandai besi, yang dapat menempa dan membentuk besi yang dibakar untuk
menjadi pisau, gunting, cangkul, gerendel pintu, kursi dan lain-lain.
Mengingat peranan ibu-bapa yang demikian penting maka pada tingkat-
pertama dan tingkat-terakhir, merekalah yang memikul kewajiban dan
tanggung-jawab yang langsung. Kewajiban dan tanggungjawab itu, dalam
93
garis besarnya ialah mendidik dan membentuk anak-anak tersebut dalam tiga
hal, yaitu:
1. Jasmaniah
2. Aqliyah (pikiran kecerdasan)
3. Rohaniah.
Mengenai soal jasmaniah, ialah berusaha supaya anak-anak itu
menjadi sehat badannya, dan jauh dari segala macam penyakit. Hal ini
menurutnya dapat dilakukan semenjak kecil anak-anak, dengan memelihara
makanannya, kebersihannya, permainannya dan lain-lain. Salah satu unsur
yang penting ialah menanamkan kegemaran untuk melakukan gerak badan
(riyadhah jasmaniah), sehingga menjadi satu adat dan kebiasaan.
Haruslah disadari sepenuhnya, bahwa kesehatan jasmaniah itulah
pokok-pangkal dari segala pertumbuhan. Bukankah ada peribahasa Latin yang
mengatakan: Men sana incorporo sano (Dalam tubuh yang sehat terdapat
pikiran yang sehat).
Adapun dibidang aqliyah, ialah mengusahakan supaya anak-anak itu
mempunyai kecerdasan, ilmu pengetahuan. Kecerdasan dan ilmu-pengetahuan
itu adalah masalah yang paling pokok dalam kehidupan manusia, sehingga
wahyu yang pertama sekali diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad
adalah berkenaan dengan soal baca dan tulis, soal belajar dan ilmu
pengetahuan. Tersebut dalam al-Qur'an:
نسان من علق {1اقـرأ باسم ربك الذي خلق { اقـرأ } 2} خلق الإنسان ما لم 4} الذي علم بالقلم {3وربك الأكرم { } علم الإ
)5-1} (العلق: 5يـعلم { "Bacalah dengan nama Tuhan engkau, Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah bacalah! Dan Tuhan engkau itu Maha Pemurah, Yang. Mengajarkan dengan pena (tulis-baca; Mengajarkan kepada manusia apa yang. belum diketahuinya". (Al-'Alaq: l-5).
94
Kaum ibu-bapak sudah sepantasnya bersyukur, sebab menurutnya
berkat pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kemajuan, dengan
adanya institut sekolah-sekolah, perguruan-perguruan dan lain-lam, maka
beban dan tanggungjawab memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak
untuk sebagiannya telah dapat diserahkan/didelegir kepada kaum guru-guru
dan pendidik. Tetapi pertanggungjawaban sepenuhnya tetap terpikul di atas
bahu ibu-bapa. Oleh sebab itu, pengertian dan tanggapan bahwa kewajiban
dibidang aqliyah itu sudah lepas sama sekali dengan menyerahkan anak-anak
ke sekolah-sekolah, adalah satu pandangan yang keliru.
Adapun dibidang rohaniah. yang menyangkut dengan pembentukan
jiwa, watak, budi-pekerti dan segala sesuatu yang bersifat moral dan akhlak,
inilah unsur yang maha penting. Ada dua faktor yang amat menentukan dalam
hal ini. Pertama, faktor rumah tangga, yang langsung dipegang pimpinan dan
kendalinya oleh ibu-bapa sendiri. Kedua, faktor masyarakat, pergaulan,
milieu, yang pengaruhnya menurut ahli-ahli pendidik lebih daripada 60%
menentukan keadaan seorang anak.
Di dalam al-Qur'an ada satu surat yang bernama surat Luqman, dimana
Tuhan memberikan contoh kepada ibu-bapa untuk membentuk anak-anaknya,
seperti yang sudah dilakukan di zaman dahulu oleh Luqmanul Hakim terhadap
anak-anaknya. Ada dua keterangan dari Ahli-ahli Tafsir mengenai Luqmanul
Hakim itu. Pertama, yang menyatakan bahwa Luqman itu seorang Nabi;
kedua, yang menyatakan bahwa dia hanya seorang Ahli Hikmat.
Terlepas dari soal mana di antara yang dua itu yang benar, tetapi yang
sudah jelas bahwa Tuhan telah menunjukkan contoh yang ber-nash dari cara-
cara Luqman mendidik anak-anaknya, untuk dijadikan pedoman dan petunjuk
bagi orang tua anak-anak.
Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Luqmanul Hakim dalam nasehat
(pengajaran) kepada anak-anaknya, dalam garis besarnya terdiri dari lima hal,
yaitu :
(6) Pendidikan aqidah;
(7) Pendidikan berbakti (ubudiyah);
95
(8) Pendidikan kemasyarakatan (sosiologi);
(9) Pendidikan mental; dan
(10) Pendidikan akhlak (budi-pekerti).
Pertama, disebutkan dalam surat Luqman itu:
)13لشرك لظلم عظيم (لقمان: يا بـني لا تشرك بالله إن ا "Hai anakku. Janganlah engkau perserikatkan Allah, sebab perilaku syirik itu adalah satu aniaya (dosa) yang besar." (Luqman : 13). Persoalan "jangan menyekutukan Allah" (syirik) itu yang disebutkan
dengan istilah Tauhid, adalah termasuk dalam rangka aqidah, yang merupakan
landasan pokok dalam kehidupan manusia. Tidak heran apabila soal itu
diletakkan pada nomor satu dalam urutan rangkaian-rangkaian nasehat itu.
Tauhid membentuk jiwa dan sikap hidup manusia hanya semata-mata percaya
kepada Allah, kepercayaan yang murni. Dengan pendidikan Tauhid, anak-
anak akan mempunyai pegangan, tidak kehilangan kompas dalam situasi yang
bagaimanapun, baik di waktu lapang maupun diwaktu sempit. Sebab mereka
percaya sepenuhnya, bahwa segala sesuatu yang ditemui dalam kehidupan ini,
datangnya dari Yang Maha Kuasa dan akan kembali kepada-Nya pula.
Kedua, pada ayat berikutnya dalam surat Luqman itu, diterangkan:
)17يا بـني أقم الصلاة (لقمان: "Hai anakku! Tegakkanlah sembahyang (shalat)". (Luqman : 17). Dari urutan ini juga bahwa dapat dipahamkan, setelah seorang anak
mempunyai landasan yang kuat dalam kehidupannya, haruslah dibentuk pula
supaya dia berbakti kepada Tuhan dengan mengerjakan sembahyang (shalat).
Sebab shalat itu, selain sebagai satu tatacara ubudiyah dan berbakti kepada
Tuhan, menunjukkan syukur kepada nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya,
pun pengaruh (effek) sembahyang (shalat) itu membawa nilai-nilai yang
menguntungkan kepada manusia sendiri, baik menyangkut dengan soal-soal
jasmaniah maupun masalah-masalah rohaniah.
96
Ketiga, pada sambungan ayat tersebut dinyatakan pula:
)17عن المنكر(لقمان: وأمر بالمعروف وانه "Suruhlah mengerjakan (perbuatan) yang ma'ruf (baik-baik), dan laranglah dari (perbuatan) yang mungkar (buruk)." (Q.S. Lukman:17). Hendaklah ibu-bapa mendidik anak-anaknya supaya mereka
membiasakan diri memperbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk orang lain atau masyarakat. Juga supaya menjauhi perbuatan-perbuatan
yang bur, yang merugikan kepada diri sendiri dan merusak kepada orang lain.
Keempat, tentang pembentukan mental, disebutkan dalam sambungan
ayat tersebut sebagai berikut:
)17واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور (لقمان:
"Dan berlaku sabarlah (teguh-hati) menghadapi peristiwa (mushibah) yang menimpa engkau. Sesungguhnya (sikap) yang demikian itu termasuk perintah yang sungguh-sungguh". (Q.S. Lukman: 17). Sikap sabar dan teguh-hati mengarungi gelombang-hidup, terutama
menghadapi musim pancaroba, adalah satu sikap mental yang diperlukan
untuk mencapai sukses dan kemenangan dalam setiap usaha atau perjuangan.
Keteguhan hati dapat membentuk kemauan yang kuat, menguatkan cita-cita,
mengalirkan aktivitas dan dinamika, menghilangkan semangat lesu dan
pessimisme dan lain-lain sebagainya.
Kelima, mengenai pendidikan akhlak (budi-pekerti), disebutkan lebih
jauh dalam sambungan ayat itu:
كل ه لا يحبالل اس ولا تمش في الأرض مرحا إنك للنر خدولا تصع )18} (لقمان: 18مختال فخور {
"Janganlah engkau memalingkan muka dari manusia karena kesombongan". Janganlah berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Tuhan tidak cinta kepada orang yang sombong dan membanggakan diri". (Luqman : 18).
97
واقصد في مشيك واغضض من صوتك إن أنكر الأصوات لصوت )19الحمير(لقمان:
"Dan berlaku sederhanalah dalam melangkah (berjalan). Dan lembutkanlah suara engkau. Sesungguhnya suara yang amat buruk ialah suara himar". (Luqman : 19). Pokok-pokok inilah yang harus disemaikan oleh setiap ibu-bapak ke
dalam jiwa putera-puterinya semenjak waktu kecil sehingga setelah pemuda
dan dewasa kelak, anak-anak itu sudah terlatih dengan alat-alat dan syarat-
syarat yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan, yang sesuai dengan
hasrat yang diinginkan oleh setiap ibu-bapak.
Akan tetapi, satu hal yang sangat essensial dalam hal ini, ialah
pengeterapan ibu-bapak sendiri, yang praktek-praktek dan kenyataan-
kenyataan mereka tunjukkan dalam perbuatan sendiri. Tidak mungkin seorang
anak-mempunyai aqidah yang kuat menjadi orang yang taat dan berbakti
kepada Tuhan, menjadi pejuang menegakkan kebajikan dan memberantas
kemerosotan, menjadi seorang yang tetap teguh dan bangkit (survive),
mempunyai moral dan budi-pekerti yang baik, jika ibu bapak sendiri tidak
melakukan hal-hal yang demikian dalam kehidupan mereka sendiri. Jika ibu
bapa umpamanya masih percaya kepada khurafat dan takhayul, jarang-jarang
menghadap kiblat (mengerjakan shalat), kurang mengerjakan perbuatan-
perbuatan kebajikan, tidak kuat jiwa dan daya tahannya, berlaku sombong,
angkuh, hanya pandai "berteriak-teriak" dan lain-lain sebagainya, maka sudah
pasti anak-anak mereka sendiri tidak akan jauh dari perilaku yang demikian,
kalau tidak boleh dikatakan "lebih kesasar" lagi. Dalam realitanya akan
berlaku pameo yang menyatakan "Jika bapa kencing berdiri, maka anak. akan
kencing berlari".
Itulah sebabnya Rasulullah menegaskan, bahwa ibu-bapak sendirilah
pada hakekatnya yang menjadikan anak mereka baik atau buruk, menjadi
"bunga" atau "benalu".
98
Apabila memperhatikan konsep pendidikan anak yang dikemukakan
kedua tokoh ini (M. Quraish Shihab dan Dadang Hawari), maka tujuan
konsepnya yaitu (1) Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (2) Membangun
anak yang berakhlak al-karimah. (3) Membangun anak yang cerdas dalam
iman dan taqwa.
1. Agar anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri,
bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan oleh M. Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis
berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi
hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.
a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan
Tuhannya.
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang
dengan masyarakatnya.
c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan
kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan
ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula (Arifin, 2003: 121).
2. Membangun anak yang berakhlak al-karimah
Tujuan yang kedua ini sesuai dengan penegasan Athiyah al-
Abrasyi. Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah
sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan
rasa keutamaan (fadhilah); c. Membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian,
tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah
99
mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang
lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam (al-
Abrasyi, 2003: 13).
3. Membangun anak yang cerdas dalam iman dan taqwa
Butir yang ketiga yang menjadi tujuan dari konsep pendidikan
anak ini senafas dengan pendapat Ahmad Tafsir. Menurutnya, tujuan
umum pendidikan Islam ialah a. Muslim yang sempurna, atau manusia
yang takwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada
Allah; b. muslim yang sempurna itu ialah manusia yang memiliki: (1)
Akalnya cerdas serta pandai; (2) jasmaninya kuat; (3) hatinya takwa
kepada Allah; (4) berketerampilan; (4) mampu menyelesaikan masalah
secara ilmiah dan filosofis; (5) memiliki dan mengembangkan sains; (6)
memiliki dan mengembangkan filsafat; (7) hati yang berkemampuan
berhubungan dengan alam gaib (Tafsir, 2004: 50 – 51).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk manusia
yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan takwa
sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama.