BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. tentang Ujaran ...eprints.stainkudus.ac.id/701/7/7. BAB...
Transcript of BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. tentang Ujaran ...eprints.stainkudus.ac.id/701/7/7. BAB...
40
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis tentang Pelaksanaan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015
tentang Ujaran Kebencian Terkait Hak Berpendapat
Konsep kebebasan mempunyai nuansa yang berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, dari pengertian masa ke masa
berikutnya. Pemahaman atau pengertian “kebebasan” dalam suatu masyarakat
atau tahapan sejarah tertentu, mustahil sama dan sebangun dengan masyarakat
atau tahapan sejarah yang lain. Adalah wajar jika dikatakan bahwa pengertian
“kebebasan” dari Socrates tidak identik dengan pengertian Plato. Demikian
juga dengan pemahaman “kebebasan” orang yunani berbeda dengan orang
Cina.1
Konsep kebebasan pada pengertian yang umum berarti kemerdekaan
atau kebebasan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak
syah yang kadang-kadang di paksakan oleh manusia, tanpa alasan yang benar.
Pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati
hak-haknya yang wajar dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial,
ekonomi. Di samping pengertian-pengertian umum menyeluruh, ada
pengertian-pengertian lain tehadap kebebasan yang kurang bersifat umum dan
menyeluruh di banding dengan pengertian-pengertian di atas, diantaranya
yaitu bahwa kebebasan adalah kebolehan mengerjakan segala yang tidak
membahayakan orang lain.2
Dari pandangan di atas, dapat dipahami bahwa kebebasan adalah sikap
hidup seseorang yang terlepas dari belenggu kekerasan, perbudakan,
perkosaan, ketakutan dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Maka dari itu, perlu adanya peraturan yang mengikat agar masyartakat tidak
1Ahmed. O. Altwajri, Islam Barat dan Kebebasan Akademis, Penerjemah Mujib,
Musyafak Maimun, Titian Ilahi, Yogyakarta, 1997, hlm. 31.
2Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan, Al-Ma’arif,
Bandung, 1995, hlm. 44-45.
41
begitu bebas mengeluarkan pendapat yang berbau SARA sehingga
menimbulkan perselisihan maupun yang lainnya.
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi HAM,
sehingga sudah pasti memiliki peraturan yang melindungi hak-hak asasi
manusia. Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak diberikan oleh
negara, melainkan hak asasi manusia menurut hipotesis John Locke
merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrati, dimiliki oleh setiap insan
sejak ia lahir.3 Salah satunya adalah hak berbicara dan mengeluarkan pendapat
yang dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, ras
dan agama. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk. Misalnya saja tulisan, buku, diskusi, artikel dan
berbagai media lainnya. Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan
berbicara dan mengeluarkan pendapat semakin dihormati.
Indonesia saat ini belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang
subtansial yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis, sebagai contoh kasus
Prita yang meramaikan stasiun Televisi yang menggugah hati nurani hampir
seluruh masyarakat Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi karena hal yang
sifatnya sepele, yaitu pengalaman tidak menyenangkan Prita sebagai seorang
pasien dari sebuah rumah sakit, berkirim email pada temannya, namun tanpa
diduga berdampak hukum dengan dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga harus mendekam
di penjara.4 Kasus lainnya adalah Celotehan Ketua Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI) Sumatera Utara, Dodi Sutanto, di media sosial facebook
membuatnya terjerat hukum. Dia dijatuhi hukuman penjara karena melakukan
pencemaran nama baik terhadap seorang penguasa ternama di Sumatera
Utara.5 Benarkah hanya karena memberi kritik seseorang bisa ditahan.
3El Muhtaj Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencanai, Jakarta,
2007, hlm. 29.
4Kompas.com, “Kronologi Kasus Prita Mulyasari, 3 Juni 2009, diakses tanggal 10
Agustus 2016.
5Merdeka.com, “Kasus Pencemaran Nama Baik, Ketua KNPI Sumut Divonis 14 Bulan
Bui”, diakses 10 Agustus 2016.
42
Kasus Prita dan Dodi Sutanto ternyata berdampak besar dan menjadi
sesuatu kontroversi yang tiada henti. Berdasar pengalaman yang seringkali
terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah, sebab pelaku dugaan
pencemaran nama baik adalah seorang ibu dengan dua orang anak, dukungan
mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi
kebebasan berpendapat. Selain itu juga seorang Ketua Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Utara yang hanya memberikan celotehan
di media sosial.
Selain itu, kasus Buni Yani mengenal kasus pengunggahan video pidato
Gubernur DKI Jakarta non aktif yaitu Ahok, dimana Buni Yani ditetapkan
sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA.
Dalam menangani kasus Buni Yani, Polri hanya menunjukkan arogansi,
superioritas, dan kekuasaan terhadap orang kecil. Sementara kasus lain,
mengenai dugaan makar, dimana ada beberapa elit politik yang dijadikan
tersangka, seperti Sri Bintang Pamungkas yang terkesan terlalu dipaksakan
dan aneh.
Bagi Indonesia, pasal-pasal penghinaan ini masih dipertahankan.
Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama
baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang
masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran
nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten.
Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan
sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah
sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap
melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.
Perkembangan teknologi yang kian pesat menjadikan perbedaan jarak
dan waktu tak berarti. Segala kebutuhan manusia kini lebih mudah untuk
dipenuhi, terutama kebutuhan manusia akan informasi. Derasnya hujan
informasi dapat menjamah hampir seluruh negeri. Mulai dari berita terbaru
sampai berita ”lawas‟ yang sudah ketinggalan zaman pun dapat dengan
mudah diakses. Perkembangan teknologi ini menjadikan daya kreasi dan
43
inovasi manusia seakan telah menemukan wadahnya. Kebebasan berekspresi
pun dapat dituangkan melalui beragam media baik media elektronik maupun
media cetak.
Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah
mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara
global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang
bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana
efektif perbuatan melawan hukum.
Perkembangan yang pesat dalam teknologi internet menyebabkan
kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data,
spionase, sabotase, provokasi, money laundering, hacking, pencurian
software maupun perusakan hardware dan berbagai macam lainnya. Bahkan
laju kejahatan melalui jaringan internet (cybercrime) tidak diikut dengan
kemampuan pemerintah untuk mengimbanginya sehingga sulit
mengendalikannya. Munculnya beberapa kasus cybercrime di Indonesia telah
menjadi ancaman stabilitas keamanan ketertiban mayarakat dengan eskalatif
yang cukup tinggi. Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu
mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer
khususnya di jaringan internet dan internetwork.6 Melihat hal teserbut, maka
pihak yang berwajib melakukan analisis guna mengeluarkan surat edaran
mengenai ujaran kebencian.
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidan lainnya di luar
KUHP, yang berbentuk antara lain:7
6Agus Raharjo, Cyberbrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002, hlm. 213. 7 Surat Edaran Kapolri no . SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, hlm. 3.
44
a. Penghinaan
b. Pencemaran nama baik
c. Penistaan
d. Perbuatan tidak menyenangkan
e. Memprovokasi
f. Menghasut
g. Penyebaran berita bohong
Bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk
menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok
masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: suku,
agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna
kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), orientasi seksual.
Ujaran kebencian (hate speech) sebagaimana dimaksud di atas dapat
dilakukan melalui berbagai media, antara lain: dalam orasi kegiatan
kampanye; spanduk atau banner; jejaring media sosial; penyampaian pendapat
di muka umum (demonstrasi); ceramah keagamaan; media masa cetak
maupun elektronik; dan pamflet.8
Sehingga Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Ujaran
Kebencian memiliki kekuatan hukum yang tetap, karena telah diatur semua
dalam penyelesaiannya sehingga ini akan memberikan kemudahan bagi orang
yang tersandung kasus ujaran kebencian, seperti penghinaan, pencemaran
nama baik, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan uraian pada di atas (isi dari
ujaran kebencian), diberitahukan/dipermaklumkan bahwa untuk menangani
perbuatan ujaran kebencian agar tidak memunculkan tindak diskriminasi,
kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang meluas
diperlukan langkah-langkah penanganannya, sebagai berikut:
a . Melakukan tindakan preventif sebagai berikut:
1) Setiap anggota Polri agar memiliki pengetahuan dan pemahaman
mengenai bentuk-bentuk ujaran kebencian yang timbul di masyarakat;
8Ibid, hlm. 3.
45
2) Melalui pemahaman atas bentuk-bentuk ujaran kebencian dan akibat
yang ditimbulkannya maka personil Polri diharapkan lebih responsif
atau peka terhadap gelaja-gejala yang timbul di masyarakat yang
berpotensi menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian;
3) Setiap anggota Polri agar melakukan kegiatan analisis atau kajian
terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya masing-masing terutama
yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian;
4) Setiap anggota Polri agar melaporkan kepada pimpinan masing-masing
atas situasi dan kondisi di lingkungannya terutama yang berkaitan
dengan perbuatan ujaran kebencian;9
5) Kepada para Kasatwil agar melakukan kegiatan:
a) Mengefektifkan dan mengedepankan fungsi intelijen untuk
mengetahui kondisi real di wilayah-wilayah yang rawan konflik
terutama akibat hasutan-hasutan atau provokasi, untuk selanjutnya
dilakukan pemetaan sebagai bagian dari early
warning dan early detection;
b) Mengedepankan fungsi binmas dan Polmas untuk melakukan
penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran
kebencian dan dampak-dampak negatif yang akan terjadi
c) Mengedepankan fungsi binmas untuk melakukan kerja sama yang
konstruktif dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda,
dan akademisi untuk optimalisasi tindakan represif atas ujaran
kebencian;
d) Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah pada
tindak pidana ujaran kebencian maka setiap anggota Polri wajib
melakukan tindakan:
(1) Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih
pertikaian di masyarakat;
9Ibid, hlm. 3-4.
46
(2) Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan
ujaran kebencian;
(3) Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran
kebencian dengan korban ujaran kebencian;
(4) Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai;
dan
(5) Memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul
dari ujaran kebencian di masyarakat.10
b. Apabila tindakan preventif sudah dilakukan oleh anggota Polri namun
tidak menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari tindakan ujaran
kebencian, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui:
1) Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran
kebencian dengan mengacu pada ketentuan:
a) Pasal 156 KUHP, yang berbunyi:
“Barangsiapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku
bangsa Indonesia dihukum dengan hukuman penjara
selamalamanya empat tahun dengan hukuman denda setinggi-
tingginya empat ribu lima ratus rupiah."
b) Pasal 157 KUHP, yang berbunyi:
“(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya
mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat
Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu
belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.”
10
Ibid, hlm. 4.
47
c) Pasal 310 KUHP, yang berbunyi:
“(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam
karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
d) Pasal 311 KUHP, yang berbunyi:
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran
tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan
dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah
dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan
hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.”
Hal tersebut sesuai dengan pendapat para pakar ahli hukum yaitu
sebagaimana pendapat dengan hakim dan anggota Polri, yaitu Edwin Pudyono
Marwiyanto selaku hakim mengatakan: “Surat Edaran Kapolri No.
SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian memang sudah memiliki kekuatan
hukum yang kuat, artinya bahwa masyarakat perlu adanya bimbingan
mengenai ujaran kebencian agar masyarakat tidak melakukan tindakan hukum
yang ada dalam surat edaran. Akan tetapi, Polri tetap menggunakan fungsi
preventif untuk mengedepankan asas kekeluargaan jika tidak bisa diselesaikan
maka ada tindakan yang lainnya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku”11
Hal senada juga dikatakan oleh anggota Polri, yaitu Aji Bandrio
Andriyanto yang bertugas di wilayah hukum Kabupaten Jepara mengatakan:
“Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian sangat
membantu anggota Polri dalam menegakkan hukum di masyrakat agar tidak
11
Pendapat Pribadi dengan Edwin Pudyono Marwiyanto Se laku Hakim PN Kudus,
tanggal 27 Oktober 2016.
48
terjadi hasutan ataupun lainnya yang dapat menimbulkan kekacauan ataupun
yang lainnya, maka surat edaran tersebut memiliki kekuatan yang tetap sebab
didalamnya sudah diatur dalam undang-undang mengenai langkah-langkah
penyelesaian ujaran kebencian”.12
Melihat uraian di atas, dapat dianalisis bahwa ini sesuai dengan teori
keberlakukan hukum, yaitu secara yuridis, filosofis dan sosiolgis. Secara
yuridis yang berarti peraturan itu telah ditetapkan menurut tata cara yang sah
dan tidak pernah dicabut secara tegas atau dikesampingkan oleh peraturan
yang baru, Secara filosofis yang artinya hukum itu dipandang berlaku karena
memenuhi persyaratan filosofi, seperti moralitas dan secara sosiologis yang
berarti hukum yang merupakan hidup dalam masyarakat yang dipraktikkan
oleh masyarakat karena dipandang baik.13
Demokratisasi pada penyiar radio tentunya juga dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain independensi sumber daya manusia dan institusi
siaran, adanya otonomisasi dari penyiar radio itu sendiri. Penyelenggaraan
siaran pada radio harus selalu didasarkan pada proses penciptaan,
pemeliharaan, termasuk di dalamnya bebas mencari, menerima serta
menyampaikan informasi dan pemikiran dari penyiar radio berdasarkan Hak
Asasi Manusia (HAM) yang juga terdapat pada Undang-Undang Penyiaran RI
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 5 point (f) dan point (i) yaitu:
“Menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam
pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup.
Memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggungjawab.”14
Negara hukum dan kebebasan pers tidak dapat dipisahkan. Indonesia
sebagai negara hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
RI 1945, seharusnya lebih bisa mengaksentuasikan terhadap pentingnya hak-
hak azasi termasuk didalamnya kebebasan mengeluarkan pendapat. Sedang
12
Pendapat Pribadi dengan Aji Bandrio Andriyanto Se laku Anggota Polri, tangga l
28 Oktober 2016.
13Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, Raha Grafindo
Persada, Jakarta, 2014, hlm. 139-140.
14Undang-Undang Penyiaran RI No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
49
untuk menyampaikan pendapat dan kritik sudah ada payung hukumnya yang
tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Pers,
Pasal 6 point c dan point d, yaitu: “Mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum.”15
Sementara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 41 dijelaskan, yaitu:
“(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi
Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Peran
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan
melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.”16
Selain itu, seorang penyiar radio juga tidak lepas statusnya sebagai
warga negara Indonesia yang juga mempunyai hak untuk mengeluarkan
pendapatnya yang diatur dalam Amandemen ke Empat Undang-Undang Dasar
1945, Pasal 28 E point (3), yaitu: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.17
Dalam hal ini seorang
penyiar radio memang dituntut untuk lebih bisa menggunakan pengetahuan
dan wawasannya yang diharapkan bisa membantu masyarakat dalam
pemberian informasi yang up to date. Tetapi sangat ironis sekali tatkala
seorang penyiar radio dalam menjalankan tugasnya sering dibatasi dalam hak
kebebasan berpendapatnya.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
disebutkan bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan
memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak
azasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
15
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Pers
16Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
17Tim Penyusun, Op. Cit, hlm. 17.
50
yang demokratis.18
Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam
penyiaran harus dijamin oleh negara, sehingga nantinya tidak terjadi ujaran
kebencian.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Surat Edaran Kapolri No.
SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian Terkait Hak Berpendapat sesuai
dengan aturan-aturan yang ada di dalam undang-undang. Sehingga ini
menjadikan anggota POLRI terlau over action atau berlebihan dalam
menangani perkara ujian kebencian selain itu, kurangnya sosialisasi dan serta
menjadikan masyarakat takut dalam berpendapat.
B. Analisis tentang Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Surat
Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian Terkait Hak
Berpendapat
Melihat adanya isi Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang
Ujaran Kebencian, yaitu penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita
bohong dalam pandangan peneliti termasuk dalam hukum Islam adalah ijtihad
yaitu Qiyas, dimana upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari
persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada didalam
sumber agama (Al-Quran dan hadits).19
Bila masalah yang sedang dihadapi
dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka
para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama
tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari
kemiripan satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada
masa lalu. Di sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang
melakukan ijtihad diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama
dan masalah-maslah lain yang terkait dengannya. Contohnya meminum
khamar, yng merupakan suatu perbuatan yang hukumnya jelas ditetapkan
dalam nash. Hukumnya adalah haram.
18
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran 19
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 172.
51
Sebagaimana yang ada dalam Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015
tentang Ujara Kebencian, yaitu pengghinaan, Pencemaran nama baik,
penistaan, perbuatan tidak menyenngkan, memprovokasi, menghasut,
penyebaran berita bohong semuanya itu tidak diperbolehkan dan bahkan
dilarang oleh agama. Seperti penghinaan ialah memandang rendah atau
menjatruhkan martabat seseorang, ataupun memendedahkan keaiban dan
kekurangan seseorang dengan tujuan menjadikannya bahan ketawa. Ini boleh
berlaku dengan menceritakan perihal orang lain dengan tutur kata, perbuatan,
isyarat ataupun dengan cara lain yang boleh membawa maksud dan tujuan
yang sama. Tujuannya ialah untuk merendahkan diri orang lain,
menjadikannya bahn ketawa, menghina dan memperkecil kedudukannya
dimata orang ramai dan hukumnya adalah haram. Sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)
yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-
Hujarat:11)20
Pencemaran nama baik, nama baik adalah gabungan dari dua suku kata
yaitu : nama yang berarti sebutan atau panggilan kepada seseorang dan baik
yang berarti bagus, mulia, terhormat. Jadi bila digabungkan maka arti dari
20
Al Qur’an Surat Al-Hujaraat Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 137.
52
nama baik adalah kehormatan atau kemuliaan.21
Dalam hukum Islam, aturan
tentang larangan pencemaran nama baik ini dapat kita temukan dalam
berbagai jenis perbuatan yang dilarang oleh Allah mengenai kehormatan, baik
itu yang sifatnya hudud seperti jarimah qadzaf, maupun yang bersifat ta‟zir,
seperti dilarang menghina orang lain, membuka aib orang lain,dll. Hukum
pidan Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada
al-Qur’an yng menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus
sebanding dengan perbuatan itu.
Islam memasukkan pencemaran nama baik ini kepada kejahatan yang
ada hubungannya dengan pergaulan atau kepentingan umum yang
mengakibatkan pengaruh buruk terhadap hak-hak perorangan dan masyarakat
yang begitu meluas dan mendalam dampaknya karena hukum Islam sangat
menjaga kehormatan setiap manusia. Maka hukum Islam selain menetapkan
hukuman hudud bagi pelaku qadzaf, juga menetapkan hukuman duniawi untuk
jenis perbuatan lain yang merendahkan kehormatan manusia yaitu berupa
hukuman ta‟zir yang pelaksanan hukumannya diserahkan kepada penguasa
atau hakim atau mereka yang yang mempunyai kekuasaan yudikatif. 22
Selain
menetapkan hukuman seperti tersebut di atas, Islam juga mengancam para
pelaku pencemaran nama baik orang lain dengan acaman neraka di akhirat
kelak, karena Islam sangat menjaga kehormatan dan nama baik seseorang
hmbanya.23
Sementara menghasut, penyebaran berita bohong juga dilarang oleh
Allah, sebagaimana firman-Nya:
21
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, English Press
Jakarta, 1995, hlm. 350. 22
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 2005, hlm. 129. 23
Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam. (Terj. Abu Sa’id al-falahi, Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid), Rabbani Press, Jakarta, 2000, hlm. 441.
53
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Qs. Al-
Ahzab:58)24
Dosa besar dan akan ditimpal laknat Allah, akibat dari lidah selain fitnah
ialah namimah (menghasut), yakni menyampaikan pembicaraan seseorang
kepada orang lain dengan tujuan menciptakan perselisihan dan fitnah.
Hal ini sesuai dengan pendapat ulama, yaitu Ali Musyafa’ selaku
pengurus MWC NU Kecamatan Kedung Jepara mengatakan: “Kebebasan
berpendapat memang diperlukan dalam berdiskusi maupun komunikasi,
namun perlu adanya kehati-hatian saat mengeluarkan pendapat, karna
menghindari adanya ujaran kebencian, sebab Allah melarang mengolok-olok
orang lain, yakni mencela dan menghinakan mereka. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam surat Al-Hujaraat ayat 11:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)
yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
24
Al-Qur’an Surat Al-ahzab Ayat 58, Yayasan Penyelenggara Penejemah dan Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 333.
54
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-
Hujarat:11)25
Dalam hal ini kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat telah
dijelaskan di dalam firman Allah SWT:
Artinya: ”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?"
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau
demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs.
Al-Baqarah:260)26
Pada ayat ini Ibrahim „alaihi sallam berkata seraya memohon kepada
Allah agar memperlihatkan untuknya bagaimana Allah menghidupkan yang
sudah mati. Maka Allah berfirman kepadanya: “(أولم تؤمن) “Belum yakinkah
kamu?” untuk menghilangkan syubhat (keragu-raguan) pada kekasihNya.
(Nabi Ibrahim). ( ا ) “berkata”, yaitu Ibahim „alaihi sallam, (بلى) “Tentu aku
telah meyakinkannya” wahai Rabb, sungguh saya telah beriman bahwa
Engkau Kuasa atas segala sesuatu, dan Engkau menghidupkan yang telah mati
dan Engkau akan membalas semua amal hamba-hamba. Akan tetapi saya
25
Al Qur’an Surat Al-Hujaraat Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 137.
26Al Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 260, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 78.
55
ingin agar hatiku tenang dan agar saya sampai kepada derajat keyakinan yang
sebenar-benarnya.27
Sebagian ahli tafsir seperti Hasan al-Bashri, Aththa al-Hurasani, adh-
Dhahak dan Ibnu Juraij, menyebutkan sebab dari permintaan Ibrahim „alaihi
sallam kepada Allah Ta‟ala, adalah bahwa Ibrahim melewati bangkai
binatang, berkata Ibnu Juraij: “Bangkai keledai di tepi pantai”, berkata
Aththa: “Danau Thabariah”. Mereka mengatakan: “Bahwa bangkai tersebut
sudah di sobek-sobek oleh binatang darat dan laut, jika air laut pasang, maka
datanglah ikan dan hewan laut lainnya, maka mereka memakan sebagian
darinya, dan sebagian dari sobekan daging dari bangkai yang terjatuh dari
mulut ikan di bawa ol eh air (ketempat yang jauh –red), setelah air laut surut,
maka datanglah binatang buas, merekapun memakan sebagian darinya, dan
sebagian dari sobekan daging dari bangkai yang terjatuh dari mulut binatang
buas telah menjadi debu, jika binatang buas pergi, maka datanglah burung,
merekapun memekan sebagian darinya, dan sebagian dari sobekan daging
dari bangkai yang terjatuh (dari paruh burung) telah di tiup angin (ketempat
yang jauh), ketika Ibrahim melihat kejadian tersebut, maka ia heran
karenanya, dan berkata: “Ya Tuhanku sungguh aku telah mengetahui bahwa
engkau akan mengumpulkannya(jasad dari bangkai tersebut), maka
perlihatkanlah kepadaku bagaimana caramu menghidupkannya, agar aku
mengetahuinya”.28
Maka Allah menjawab permohonannya sebagai kemuliaan baginya dan
rahmat bagi hamba-hambaNya, ( (Kalau demikian)“ ( ا أ ب ة ممن للط
ambillah empat ekor burung”, dan tidak dijelaskan burung apakah itu. Ayat
ini bisa terjadi dengan jenis burung apa pun dan itulah yang dikehendaki,
( lalu cincanglah semuanya olehmu”, artinya, kumpulkanlah dan“ ( نط ل
sembelihlah mereka dan cincanglah mereka. ( مط ا ل ى م ا ل مم نط ا ة مط ا نط
Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu”( ت ة و لم أ ط ز ى م
bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka
datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Mahabijaksana”.29
Maka Nabi Ibrahim melakukan itu, dan ia memisah-misahkan bagian-
bagiannya pada beberapa gunung yang ada di sekitarnya lalu ia memanggil
27
M. Quaish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 680.
28Ibid, hlm. 680.
29Ibid, hlm. 681.
56
mereka dengan nama-nama mereka dan akhirnya mereka kembali kepadanya
dengan sangat cepat. Karena kata “ ة ” adalah cepat, dan bukanlah yang
dimaksudkan burung-burung itu datang dengan berjalan dengan kaki-kaki
mereka, akan tetapi mereka datang dengan terbang dalam kondisi hidup yang
paling sempurna.
Allah mengkhususkan burung dalam hal itu karena menghidupkan
mereka lebih mantap dan lebih jelas dari selain mereka. Demikian juga dalam
hal ini Allah menghilangkan semua dugaan yang batil yang terbersit dalam
hati orang yang membantah. Maka menjadikan jumlah mereka empat ekor,
mencincang-cincang mereka, dan meletakkan setiap bagian itu di atas gunung-
gunung, agar hal itu nampak nyata dan jelas hingga dapat disaksikan dari
dekat maupun dari jauh, dan menjauhkan potongan-potongan dengan jarak
yang banyak agar tidak dikira bahwa hal itu adalah sebuah tindakan tipu daya.
Dan Allah juga memerintahkan kepa-danya agar memanggil mereka hingga
mereka datang dengan segera. Maka ayat ini menjadi bukti-bukti nyata yang
paling besar terhadap kesempurnaan kemuliaan Allah dan hikmah-Nya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta‟qiluun dan Afalaa
tatafakkaruun menunjukkan bahwa al-Qu’ran menganjurkan kepa setiap orang
untuk berfikir dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir, karena hasil
pemikiran antar individu itu tidak sama, namun kebebasan berfikir dan
berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak mengganggu
kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan antar manusia.
Menurut Ma’arif, bahwa Islam menjamin kebebasan berpendapat semua orang
tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan masalah-masalah umum seperti
moralitas, kepentingan dan hukum. Konsep Al-Amr bi Al-Munkar wa Al-
Nahyu an Al-Munkar menunjukkan bahwa Islam mempunyai perhatian yang
sangat dalam terhadap moralitas manusia dalam masyarakat. Membatasi
kebebasan berpendapat seorang individu dibenarkan demi menjaga kehidupan
57
masyarakat dari permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau
pembicaraan kotor.30
Oleh karena kebebasan berfikir merupakan satu kebebasan yang
ditentang kepada setiap manusia untuk memikirkan sebebas-bebasnya segala
yang dapat dipecahkan secara ilmiah dan pada akhirnya mampu meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Berdasarkan hukum Islam Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 sangat
dibutuhkan dan tidak bertentangan sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-
Hujarat ayat 11 bahwa hukum Islam melindungi hak berpendapat tetapi ada
batasan-batasannya untuk kemaslahatan dan kerukunan umat.
Melihat uraian di atas, dapat dipahami bahwa pandangan hukum Islam
terhadap pelaksanaan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Ujaran
Kebencian adalah termasuk dalam metode ijtihad yaitu berupa Qiyas, dimana
upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari persamaan antara
masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada didalam sumber agama (Al-
Quran dan hadits). Bila masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan
yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka para ulama akan
menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama tersebut untuk
menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan satu
masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di
sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad
diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-
maslah lain yang terkait dengannya
30
M. Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Alih Bahasa Efa. Y. Nu’man
dan Fatiyah Basri, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 225.