BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN - · PDF filedengan kapasitas 5000 liter per detik dan...
Transcript of BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN - · PDF filedengan kapasitas 5000 liter per detik dan...
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Air tanah merupakan salah satu bentuk sumber air yang dapat dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Air tanah lebih disukai dari pada
air permukaan karena secara kualitas umumnya lebih baik daripada air
permukaan. Namun kondisi air tanah di DKI Jakarta saat ini mengalami
penurunan kuantitas.
Untuk mengatasi masalah krisis air tanah tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan sumur resapan. Sumur resapan adalah merupakan teknologi sederhana
untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah yang selanjutnya
akan menambah air tanah.
Untuk mengetahui seberapa besar peran kebijakan sumur resapan untuk mengatasi
krisis air tanah di DKI Jakarta, maka harus diketahui penyebab masalah krisis air
tanah di DKI Jakarta. Bedasarkan informasi yang didapat penulis, krisis air tanah
di DKI Jakarta disebabkan karena masalah manajemen pengelolaannya, maka
pada bab ini akan menganalisis dan membahas :
1. Kebijakan Sumur Resapan
2. Masalah air tanah di DKI Jakarta
3. Pengelolaan Sumberdaya Air di DKI Jakarta
4. Pengelolaan kota Jakarta
5. Pandangan stakeholder yang terkait masalah krisis air tanah di DKI
Jakarta
4.1. Sumur Resapan
Sumur resapan adalah merupakan teknologi sederhana untuk menampung air
hujan, menyimpan dan menambah cadangan air tanah. Kebijakan sumur resapan
dibuat pemerintah adalah untuk mengoptimalkan pembuatan sumur resapan di
ka;angan masyarakat. Menurut data Pemprov DKI Jakarta menyebutkan bahwa
jumlah sumur resapan yang sudah dibangun baru mencapai 37.840 titik atau
sekitar 16,71 persen dari total kebutuhan 226.466 titik.
Total jumlah sumur resapan yang dibutuhkan minimal sebanyak jumlah
bangunan, karena fungsi dari sumur resapan adalah untuk menggantikan dari
kemampuan peresapan air hujan oleh tanah karena tertutup oleh bangunan.
Namun melihat total jumlah sumur resapan yang dibutuhkan kurang lebih hanya
20 persen dari jumlah bangunan karena adanya kendala karena kondisi daerah
total luas DKI Jakarta yang merupakan sebagai daerah yang potensial sebagai
daerah resapan adalah hanya 60 persen dari luas total wilayah DKI Jakarta
(gambar 4.1). Sementara sisanya atau 40 persen dari total luas wilayah DKI
Jakarta di bagian utara adalah sebagai daerah pelepasan air tanah.
Jumlah total kebutuhan sumur resapan tersebut juga telah memperhitungkan dari
sebagaimana yang ditargetkan telah memperhitungkan dari jumlah air tanah
yang diambil sesuai dengan yang batasan yang diberikan oleh dinas pertambangan
DKI Jakarta dan juga dengan mengasumsikan imbuhan air tanah dari Bopunjur
tetap.
Batas aman pengambilan air tanah adalah jumlah air tanah yang dapat diambil
dengan memperhitungkan kemampuan pengisian kembali air tanah. Secara
hidrologi air tanah di DKI Jakarta adalah merupakan pasokan air dari Bopunjur.
Maka batas aman pengambilan air tanah di DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh
kondisi kawasan Bopunjur. Apabila kondisi Bopunjur sebagai daerah konservasi
air tanah terjaga kelestariannya, maka batas aman pengambilan air tanah akan
semakin meningkat demikian sebaliknya apabila daerah bopunjur mengalami
degradasi lingkungan maka batas aman pengambilan air tanah akan mengalami
penurunan.
Gambar 4. 4 Peta Resapan Air Potensial
Melihat paparan diatas mengenai sumur resapan, jelas bahwa sumur resapan
adalah untuk mengatasi defisit air tanah karena jumlah pengambilan air tanah
yang melebih dari kemampuan pengisian kembali air tanah, sehingga diharapkan
kelestarian air tanah selalu terjaga. Namun kemampuan untuk pengisian kembali
air tanah dengan sumur resapan di DKI Jakarta terbatas, karena jumlah sumur
resapan yang dapat dibangun di DKI jakarta terbatas.
4.2. Masalah air tanah di DKI Jakarta
Kota Jakarta (dulu Batavia) pada tahun 1880 komunitas penduduk hanya ratusan
ribu orang. Pada saat itu, kebutuhan air minum cukup disediakan 10 buah sumur
artesis. Semua sumur itu mengalirkan sendiri air tanah (free flowing) tanpa
DKI Jakarta
Sumber : Ditjen Tata ruang Dep PU
dipompa sekalipun. Ini terjadi karena muka air tanah berada di atas permukaan
tanah sekitar 8-10 meter dari daerah Tanjung Priok.
Namun seiring dengan semakin pesatnya pembangunan di DKI yang berdampak
pada peningkatan kebutuhan air bersih dan mengingat ketersediaan air tanah yang
terbatas, maka untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di DKI Jakarta
menggunakan sumber air permukaan olahan atau air PAM.
Grafik 4.1. Eksploitasi Air Tanah di DKI Jakarta
Sumber Dinas Pertambangan DKI Jakarta 2006
Menurut data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta
kebutuhan air bersih di DKI Jakarta terus meningkat, saat ini mencapai sekitar
547,5 juta meter kubik. sementara pelayanan air oleh PAM Jaya sebesar 270 juta
meter kubik atau hanya dapat melayani sekitar 54 % dari total kebutuhan air
bersih di DKI Jakarta. Hal ini mengakibatkan gedung-gedung bertigkat yang
membutuhkan air dalam jumlah banyak mengambil air tanah secara ilegal untuk
memenuhi kebutuhan air bersihnya terus semakin meningkat. Bedasarkan hasil
penertiban yang dilakukan Dinas Pertambangan pada tahun 2002, ditemukan
sekitar 450 sumur bor ilegal dan pada tahun 2007 ditemukan 1.700 sumur bor
ilegal. Bedasarkan data dari Dinas pertambangan DKI Jakarta bahwa penyedotan
0
50
100
150
200
250
300
Eksploitasi air tanah (juta meter kubik)
7 15.7 24.1 34.5 251.8
1965 1975 1985 1995 2005
air tanah di DKI Jakarta tahun 2005 mencapai 251,8 juta meter kubik. Angka
tersebut belum termasuk air bawah tanah yang disedot untuk proyek dan
pembangunan.
Sementara disisi lain ketersediaan air tanah DKI Jakarta semakin menurun seiring
dengan semakin menurunnya daerah tangkapan air hujan (catchment area) di
daerah hulu yaitu Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Daerah Bopunjur yang
dahulu merupakan bukit-bukit hingga pegunungan dan mempunyai curah hujan
pertahun tinggi berkisar 3500 – 4000 mm/tahun (DKI Jakarta 2000 mm/tahun)
merupakan daerah potensial sebagai cadangan dan suplai air tanah bagi DKI
Jakarta.
Batas aman penyedotan air bawah tanah di Jakarta adalah sekitar 186,2 juta meter
kubik atau sebesar 20 -30% dari potensi air tanah di DKI Jakarta yaitu sebesar 548
juta meter kubik.. Artinya, analisa keseluruhan pada tahun 2005 menunjukkan
adanya "defisit" air bawah tanah sebesar 66,6 juta meter kubik (belum termasuk
eksploitasi air bawah tanah untuk proyek pembangunan dan industri, yang
berjumlah besar). Pengambilan air tanah tersebut berdampak pada kekosongan air
di dalam tanah. Akibatnya, air laut merembes masuk dan mengisi kekosongan air
tanah tersebut hingga jauh ke dalam. Dan memang, rembesan air asin dari Teluk
Jakarta kini telah menjangkau Monas. Menurut Hasil penelitian Direktorat
Geologi dan Tata Lingkungan menyebutkan, intrusi air laut kini hampir merata di
seluruh wilayah Jakarta. Wilayah dalam radius 10-15 kilometer di Ibu Kota pada
umumnya telah dilanda intrusi air laut. Misalnya, air laut telah merasuk ke daerah
Kebun Jeruk (Jakarta Barat) dan wilayah Segi Tiga Emas Setiabudi, Kebayoran
Baru, Cengkareng, dan Senen (Jakarta Pusat). Padahal, 20 tahun lalu luas daratan
yang terkena intrusi air laut baru sekitar dua kilometer dari garis pantai.
4.3. Permasalahan Pengelolaan sumber air Jakarta
4.3.1. Permasalahan Pelayanan Air Bersih
PAM Jaya mendapat pasokan air baku sebesar 80 persen bersumber dari saluran
Tarum Barat Perum Jasa Tirta II, 15 persen dari PDAM Tangerang (air olahan
kali Cisadane ) dan 5 persen dari Kali Krukut, Pesanggrahan, dan mata air
Ciburial. PAM Jaya saat ini hanya baru mencukupi sekitar 54 persen dari total
keseluruhan kebutuhan sekitar 547,5 juta meter kubik per tahun.
Maka untuk meningkatkan pelayanannya PAM Jaya mempunyai master plan
sampai tahun 2019. Saat ini sudah dibangun dua buah instalasi besar di Bekasi
dengan kapasitas 5000 liter per detik dan instalasi di Cipayung 5000 liter per
detik. Namun masalahnya sumber air baku tambahan tersebut yang belum ada.
Sehingga sampai saat ini PAM Jaya masih kesulitan untuk meningkatkan
pelayanannya.
Selain itu PAM Jaya juga mengalami masalah dengan pasokan air baku untuk
pasokan air eksisitingnya.. Penyebab masalah pelayanan PAM ini disebabkan
karena adanya penurunan suplai air baku dari waduk jatiluhur. Bahkan pada saat
musim kemarau panjang pasokan air baku dari waduk Jatiluhur mengalami
penurunan pasokan mencapai 50 persen dari pasokan normalnya. Penurunan
pasokan ini diakui oleh Juru bicara Palyja Meyritha Maryanie yang mengatakan
bahwa suplai air baku benar-benar hancur. Penurunan suplai air baku turun begitu
besar. Biasanya sekitar 6.200 liter per detik sekarang hanya sekitar 2.900 liter per
detik atau hanya 47 persen.
Pasokan air dari waduk Jatiluhur memiliki peran yang sangat penting bagi PAM
Jaya karena 80 persen dari total air baku PAM adalah dari suplai air waduk
Jatiluhur. Menanggapi permasalahan penurunan pasokan air baku kepada PAM
Jaya, Kepala pemanfaatan untuk efisiensi dan konservasi sumber daya air Perum
Jasa Tirta II, Ir. Sutisna Prikasaleh, mengatakan bahwa penyebab utama
penurunan pasokan air baku ke PAM Jaya karena terjadi penurunan cadangan air
di waduk Jatiluhur pada saat kemarau panjang diakibatkan karena terjadi
degradasi lingkungan (catchment area) di daerah hulu penurunan pasokan air dari
hulu ke waduk Jatiluhur.
4.3.2. Permasalahan Air tanah di DKI Jakarta (imbuhan air tanah)
Dari uraian diatas diketahui bahwa pelayanan PAM Jaya yang belum memadai
mengakibatkan eksploitasi air tanah menjadi tidak terkendali. Kondisi air tanah
semakin krisis karena disisi lain terjadi penurunana ketersediaan air tanah karena
adanya penurunan kemampuan pengisisan kembali air tanah seiring dengan
semakin berkurangnya kemampuan peresapan.
Dari data BPLHD DKI Jakarta tahun 2005 bahwa cadangan air tanah di DKI
Jakarta sebesar 547 juta meterkubik dan batas aman pengambilan air tanah di DKI
adalah sekitar 20 – 30 % dari potensi air yang tersedia atau sebesar 186,2 juta
meterkubik. Besaran nilai atau batas aman pengambilan air tanah tersebut adalah
merupakan batasan kemampuan pengisisian kembali air tanah, sehingga
ketersediaan air tanah dapat terjaga kelestariannya.
Air mempunyai siklus hidrologis, maka pengelolaan air tidak dapat dipisahkan
oleh batas wilayah, politik dan lain-lainnya. Dari pandangan ekologis fungsi
kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur) tidak dapat dipisahkan dari kota
Jakarta sebagai aglomerasi penduduk yang besar. Seperti diketahui bahwa makin
ke arah selatan semakin tinggi dengan topografi yang berbukit-bukit rendah
sampai sedang. Peranan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur merupakan kawasan
resapan air yang mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kondisi air tanah
dan air permukaan kota Jakarta. Bedasarkan kondisis tersebut, maka Pemerintah
pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan
merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi
Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Namun kenyataannya fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai
konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat
perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga
mengakibatkan banjir dan penurunan pasokan baik air tanah maupun air
permukaan dari Bopunjur pada saat musim kemarau. Demikian pula menurut
dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB Dr Ir Arwin Sabar MS, pakar
teknologi lingkungan dan pengelolaan sumber daya Institut Teknologi Bandung,
bahwa persediaan air tanah Jakarta sangat terbatas, dan cadangannya saat ini
sudah jauh berkurang antara lain disebabkan karena terjadi penurunan suplai air
dari daerah hulu.
4.4. Pengelolaan kota Jakarta
Aspek kelemahan mendasar terjadinya krisis air tanah adalah karena dalam
pengelolaan kota ini tidak adanya koordinasi antar Dinas-dinas yang terkait. Air
tanah adalah sumberdaya alam yang dikelola oleh Dinas Pertambangan DKI
Jakarta. Maka dengan kondisi air tanah semakin kritis, seharusnya pihak Dinas
Pertambangan memberikan masukkan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk
menghentikan sementara segala bentuk yang mengakibatkan pengambilan air
tanah.
Kondisi air tanah di Ibukota saat ini semakin memprihatinkan. Hal itu
dikarenakan tingginya eksploitasi terhadap air tanah sehingga membuat
permukaan air tanah terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Kondisi ini
semakin diperparah dengan masih banyaknya pencurian air tanah.
Bedasarkan Perda No 11 tahun 1998, setiap daerah yang memiliki jaringan PAM
tidak boleh menggunakan air bawah tanah secara besar-besaran. penggunaan air
tanah hanya diizinkan sebagai cadangan serta satu titik sumur bor hanya boleh
menggunakan 100 meter kubik per hari. Namun kenyataannya pengambilan air
tanah secara ilegal oleh para pengelola gedung bertingkat terus meningkat, sesuai
hasil penertiban yang dilakukan Dinas Pertambangan pada tahun 2002, ditemukan
sekitar 450 sumur bor ilegal dan pada tahun 2007 ditemukan 1.700 sumur bor
ilegal.
Eksploitasi air tanah besar-besaran oleh gedung bertingkat diakui oleh Ketua
Umum DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta
Andreas Kartawinata mengatakan bahwa untuk mengatasi kekurangan air bersih
dari PAM Jaya, semua gedung pusat perbelanjaan dan mal mengoperasikan sumur
dalam untuk mengambil air tanah. Kalau Pemprov DKI akan membatasi
penggunaan air tanah secara ketat, kami tidak keberatan, asalkan diberi alternatif
pasokan air bersih dari PAM Jaya dalam jumlah yang mencukupi, setiap gedung
pusat perbelanjaan modern dan mal di Jakarta memiliki sumur dalam berjumlah
dua hingga lima unit.
Namun kenyataannya Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta Nurfakih
Wirawan mengatakan bahwa membuat dan membangun sejumlah pusat
perbelanjaan seperti mal, plasa, apartemen, supermarket di Jakarta cukup penting
sehubungan Jakarta sebagai service city. Selanjutnya Nurfakih Wirawan
mengatakan (Seputar Indonesia April 2007) bahwa kita harus membangun banyak
mal. Sekarang ini, warga Jakarta rekreasinya bukan keluar kota lagi tetapi ke mal.
Dengan visi Jakarta sebagai kota jasa, membangun pusat-pusat perbelanjaan
merupakan satu hal yang tidak bisa diabaikan karena kalau tidak demikian,
Jakarta akan tertinggal dibandingkan kota-kota besar lainnya di dunia.
Pesatnya pembangunan fisik kota Jakarta tidak lepas dari Kebijakan
pembangunan Pemerintah DKI yang diarahkan kepada investasi, yang diharapkan
dapat memberikan manfaat ganda terhadap peningkatan investasi, penciptaan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.. Hal itu semakin nyata
dari besarnya penguasaan ruang di kota ini oleh para pemodal. Dari data Dinas
tata Kota DKI jakarta selama kurun waktu 2000-2005, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta telah memberikan izin lebih dari 3 juta meter persegi luas ruang yang ada
di Jakarta untuk tempat belanja. Luas itu dua kali lipat dari luas seluruh pusat
belanja yang dibangun di kota ini pada 1962-1997. Indikatornya, pasar tradisional
mengalami pertumbuhan negatif (-8,4 persen), tapi sebaliknya, pertumbuhan
hipermarket melonjak 31,4 persen (AC Nielsen, 2005).
Menurut Guru besar UI, Gunawan Tjahjono, yang juga anggota Tim Penilai
Arsitektur Kota DKI Jakarta mengatakan bahwa kenyataan di lapangan yang
bertentangan dengan perencanaan kota karena ketiadaan sanksi hukum untuk
pelanggaran, atau terjadinya perubahan fisik kota yang tak sesuai rencana
dilakukan secara sadar karena diizinkan oleh pengelola kota.
Beberapa pengamat perkotaan mencermati bahwa peranan kota besar, khususnya
ibukota, mendominasi kegiatan dan berfungsi sebagai kota prima dalam wilayah
negara adalah merupakan ciri khas dari negara bekas jajahan. Selain itu
Pemerintah Daerah menganggap bahwa pembangunan suatu proyek mampu
mendatangkan keuntungan finansial terhadap pemerintah kota (Oram, 1976;
Drakakis-Smith, 1980). Namun yang terjadi adalah dengan semakin pesatnya
perkembangan kota tanpa perencanaan yang matang, maka banyak konsekuensi
finansial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah seperti dampak sosial,
ekonomi, politik dan masalah kerusakan lingkungan. Pada akhirnya Jakarta harus
terus membangun untuk mendapatkan dana untuk pengelolaan kota Jakarta
membutuhkan dana yang begitu besar seperti dana untuk penanggulangan banjir,
penyediaan air bersih, permasalahan lalu lintas, masalah sosial dan lain-lainnya.
Tabel 4.10. Ruang terbuka Hijau DKI Jakarta
RTH 1965-1985 Alas hukum: Rencana Induk Djakarta 1965-1985 Gubernur: Soemarno/Ali Sadikin Luas: 37,2% (241,8 km2) Kategori: sangat ideal Tonggak: � 1971. Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. .
Sumber majalah Tempo
Melihat paparan di atas jelas bahwa DKI Jakarta membutuhkan dana yang besar
untuk pengelolaan kota. Kebutuhan dana yang besar tersebut untuk mengatasi
dampak dari banyaknya persoalan-persoalan yang timbul akibat masalah yang
bersifat regional, seperti masalah banjir DKI Jakarta yang timbul akibat degradasi
lingkungan di daerah Bopunjur. DKI Jakarta tidak mempunyai kebijakan-
kebijakan yang bersifat terbuka. sebagai contoh melakukan upaya koordinasi
dengan Jawa Barat mengenai masalah banjir.
4.5. Peran dan sikap stakeholders yang terlibat dalam permasalahan
krisis air tanah di DKI Jakarta
� 1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%. RTH 1985-2005 Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 Gubernur: Soeprapto Luas: 26,1-31,5 % (169,65 km2) pada 2005 Kategori: cukup ideal Tonggak: � 1990. Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk direklamasi menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk � 1994. Hutan kota Tomang di Jakarta Barat dikonversi menjadi Mal Taman Anggrek � 1995. Luas ruang terbuka hijau 24,9% � 1996. Konversi besar-besaran RTH Senayan dimulai, ditandai dengan pembangunan Hotel Atlet Century dan Plaza Senayan � 1997. Hotel Mulia dibangun di atas RTH Senayan � 1998. Luas ruang terbuka hijau 9,6%. � 1999. Gubernur Sutiyoso menerbitkan RTRW Jakarta 2010. RTH 2000-2010 Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 Gubernur: Sutiyoso Luas: 13,94%(90,6 km2) Kategori: Tidak ideal Tonggak: � 2000. Luas ruang terbuka hijau 9,4% (kritis) � 2003. Luas ruang terbuka hijau 9,12% � 2005 Pemerintah Daerah membangun apartemen di atas ruang terbuka Pulomas � 2005. Kantor Wali Kota Jakarta Selatan dibangun di bekas pemakaman Blok P. � 2007. Luas RTH ditaksir tinggal 6,2 %
Masalah krisis air tanah di DKI Jakarta ada beberapa stakeholder yang terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dan stakeholders tersebut saling
berinteraksi. Interaksi tersebut ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan.
Kelompok yang terlibat antara lain :
Pemerintah Pusat
Pemerintah DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi Jawa barat
Perum Jasa Tirta II
PAM Jaya
Air Tanah DKI Jakarta
Pemerintah Pusat
Dinas Tata kota
PAM Jaya
PJT II
Pemerintah Jawa Barat
Dinas Pertambangan
Pemerintah DKI Jakarta
Gambar 4.4. Stakeholders yang terkait masalah krisis air tanah di DKI Jakarta
4.5.1. Pemerintah pusat
Sesuai dengan UU No 7 tentang Sumberdaya Air, bahwa wewenang dan tanggung
jawab pemerintah pusat adalah menetapkan dan mengelola sumber daya air dan
kawasan lindung air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas
negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Melihat dari permasalahan di atas adalah tidak adanya pengelolaan sumber daya
air, maka dibutuhkan peran pemerintah pusat untuk menjembatani kepentingan-
kepentingan masing-masing stakeholders.
Namun saat ini dengan dimulainya era otonomi daerah, kewenangan pemerintah
pusat untuk mengatur daerah semakin berkurang, karena sesuai dengan Undang-
undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom, dalam bidang lingkungan hidup. Konsekuensi pelaksanaan UU No. 32
Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, maka pengembangan wilayah di
Indonesia sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah dan tidak
bergantung lagi pada pemerintah pusat.
4.5.2. Pemerintah Jawa Barat
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Jawa Barat memiliki peran yang
sangat penting dalam menyuplai sumberdaya air bagi DKI Jakarta. Mengingat
pentingnya hal tersebut, maka pemerintah pusat mengeluarkan peraturan
mengenai penetapan Bopunjur sebagai wilayah konservasi air.
Permasalahan utama yang menjadi kendala bagi Bopunjur untuk melaksanakan
peraturan tersebut karena adanya konsekuensi yang merugikan dari segi ekonomi
bagi Bopunjur . Hal ini seperti tanggapan mengenai masalah peratutan tersebut,
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (Harian Kompas 20 Februari 2009)
mengatakan bahwa yang menjadi masalah adalah kepentingan ekonomi masing-
masing daerah. Daerah hulu (Bopunjur) diminta untuk menjaga hutannya agar
Jakarta tidak kekeringan dan kebanjiran, tetapi kompensasinya apa?
Permintaan kompensasi yang diutarakan oleh pemprov Jawa Barat adalah
merupakan suatu kewajaran karena Kabupaten-kabupaten Bopunjur selama ini
mengandalkan pemasukkan utama bagi kas daerahnya adalah dari pemberian izin
pembangunan. Hal ini didapat dari pernyataan Kepala Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur, Ade Sutisna (Kompas, 11 Februari 2002), mengatakan bahwa
pemberian izin pembangunan di daerahnya menyumbangkan 60 persen dari
seluruh pendapatan asli daerah untuk kas daerah Kabupaten Cianjur. Hal ini
cukup menjelaskan bahwa sumber pemasukan utama bagi Bopunjur adalah dari
pembangunan fisik. Apabila Bopunjur harus melakukan penyetopan
pembangunan di Daerahnya, maka akan menyebabkan pemasukkan dana bagi kas
daerahnya akan menurun.
Dengan berlakunya otonomi daerah daerah-daerah Bopunjur tersebut harus
mencari pemasukkan bagi kas daerahnya. Selain Bopunjur juga harus
menanggung dampak lingkungan yang berat, seperti dampak sosial, kerusakan
lingkungan dan lain sebagainya. Banyak kegiatan yang tumbuh di sekitar DKI
Jakarta, seperti halnya industri ternyata belum memberikan nilai tambah yang
tinggi, bahkan beberapa potensi pendapatan yang seharusnya didapatkan dari
kegiatan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh wilayah sekitarnya. Sedangkan
perkembangan Jakarta tersebut memberikan dampak pada pertambahan jumlah
penduduk akibat urbanisasi pada daerah hinterland tersebut
Sementara itu pembagian hasil atau sharing dari pemerintah DKI Jakarta kepada
Jawa Barat untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan hulu tidak cukup
signifikan. Demikian juga pendanaan dari pemerintah pusat di kawasan ini masih
relatif kecil, di lain pihak APBD Provinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota yang
bersangkutan sangatlah tidak mencukupi untuk mengatasi permasalahan yang
sangat besar di wilayah Bopunjur.
Kendala pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menangani kawasan hulu yang
merupakan pasokan air baku untuk waduk Jatiluhur karena Kapasitas fiskal
pemerintah Provinsi Jawa Barat jauh lebih kecil dibanding kapasitas fiskal DKI
Jakarta, sehingga kemampuan pemerintah Provinsi Jabar untuk memfasilitasi
kabupaten dan kota di sekitar Jakarta tidak sebesar kemampuan pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam memfasilitasi kabupaten/kota di bawahnya.
Sistem pemerintahan.Jawa Barat Berbeda dengan sistem pemerintahan di DKI
jakarta dimana pada pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki kekuasaan karena
kotamadya di bawahnya hanya bersifat administratif, sementara di Provinsi Jabar
pemerintah provinsi dan kabupaten/kotamaya sama-sama merupakan daerah
otonom, sehingga pemerintah provinsi tidak memiliki kapasitas pengendalian
seefektif pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap Kabupaten/Kotamadya di
bawahnya.
Melihat uraian di atas jelas bahwa pada dasarnya Jawa Barat tidak keberatan
dengan peraturan tersebut namun yang menjadi kendala mendasar adalah tidak
adanya kompensasi dari pelaksanaan peraturan tersebut, karena Bopunjur sebagai
daerah otonom dituntut untuk mencari dana untuk pengelolaan daerahnya,
sementara Bopunjur mendapatkan sebagian besar dana dari pemberiaan izin
pembanguna fisik di daerahnya.
4.5.3. Pemerintah DKI Jakarta
Dari paparan di atas jelas bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang berada di
hilir dalam suatu DAS. Maka keberadaan sumberdaya air di DKI Jakarta sangat
dipengaruhi oleh daerah hulu (Bopunjur, Jawa Barat).
Kondisi air tanah di DKI Jakarta saat ini terus menurun ketersediaannya, salah
satu sebabnya adalah karena degradasi lingkungan di daerah Bopunjur. Masalah
inipun telah disikapi oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan peraturan
mengenai Bopunjur sebagai daerah konservasi air. Namun peraturan ini tidak
terlaksana karena tidak adanya kompensasinya.
Sikap Pemerintah DKI Jakarta seharusnya mendukung terlaksananya pelaksanaan
peraturan ini. Namun pada kenyataannya pemerintah DKI bersikap pasif.
Sebagaimana pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Kompas 30 Januari
2009) menyikapi peraturan tersebut mengatakan bahwa harus ada peraturan yang
rinci, siapa harus berbuat apa dan sanksi bagi yang tidak melakukan tanggung
jawabnya.
DKI Jakarta sebagai pihak yang diuntungkan dengan terlaksananya peraturan
mengenai Bopunjur sebagai daerah konservasi air seharusnya mendukung
peraturan dengan bersifat aktif dengan melakukan kerjasama dengan Pemda
Bopunjur. Namun kenyataannya pemprov DKI hanya bersifat pasif . Sikap pasif
DKI ini sebenarnya mempunyai sifat cenderung malas untuk melakukan sesuatu
yang bersifat koordinatif dengan pemerintah daerah lainnya walaupun untuk
kepentingan DKI Jakarta itu sendiri. Sebagai contoh adalah kegagalan
pelaksanaan pengolahan sampah DKI Jakarta di Bojong Gede (Kabupaten Bogor,
Jawa Barat) karena tidak adannya koordinasi dengan pihak pemerintah daerah
setempat sehingga mengalami penolakkan dari masyarakat setempat. Persoalan ini
adalah disebabkan karena kurangnya DKI Jakarta tidak melakukan koordinasi
dengan pemerintah Daerah Jawa Barat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dalam menanggapi kasus kegagalan
Bojong Gede tersebut pada harian Kompas 16 Februari 2006 mengatakan bahwa
pemerintah Jawa Barat tidak pernah diajak bicara. Jadi bagaimana kami bisa
memfasilitasinya.
DKI Jakarta sebenarnya membutuhkan kerjasama dengan Pemda Jabar, karena
dengan tidak harmonisnya hubungan DKI Jakarta banyak mendapatkan kerugian,
seperti membutukan biaya yang sangat besar untuk mengatasi banjir, penyediaan
air bersih dll. Maka DKI Jakarta saat ini terus berkembang karena DKI
membutuhkan dana yang sangat besar untuk mengelola kotanya.
Melihat dari paparan diatas, pada intinya DKI Jakarta setuju diperlukan upaya
kerjasama dengan pemerintah Jawa Barat. Namun untuk melakukan kerjasama
tersebut tidak cukup hanya dalam bentuk peraturan, namun harus ada petunjuk
pelaksanaan yang rinci, siapa harus berbuat apa dan sanksi bagi yang tidak
melakukan tanggung jawabnya. Sebenarnya disini dibutuhkan peran pemerintah
pusat untuk menjembatani masing-masing kepentingan, sehingga akan
didapatkan winwin solution
4.5.4. PAM
Penyediaan air minum Jakarta dikelola, dioperasikan, dan dipelihara oleh PDAM
DKI Jaya atau PAM Jaya sebagai BUMD milik Pemda DKI Jakarta. Sebagai
utilitas publik, PAM Jaya telah beroperasi sejak tahun 1922.
Dari uraian di atas jelas bahwa PAM Jaya memegang peranan penting dalam
pemenuhan kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Namun PAM mempunyai
kendala untuk meningkatkan pelayanannya Masalah pertama; PAM Jaya
mengalami kesulitan untuk mendapatkan air baku. karena kesulitan mencari
sumber air baku yang baru untuk dapat memenuhi kebutuhan air minum
pelanggannya yang terus meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas produksi air
minum, PAM Jaya sudah mencoba membeli air curah produksi PDAM Kabupaten
Tangerang. tetapi hal itu tidak berpengaruh terlalu besar untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan air bersih seiring dengan pesatnya peningkatan penduduk
DKI Jakarta. Masalah yang kedua adalah pasokan air baku utama untuk PAM
Jaya adalah dari waduk Jatiluhur. Suplai air baku dari Jatiluhur sering mengalami
penurunan drastis bahkan penurunan sampai lebih dari 50 persen. Dampaknya
produksi menurun dan pelanggan PAM Jaya akan mengalami gangguan dalam
penyediaan air bersih.
PAM Jaya tidak bisa berbuat apa-apa soal suplai air baku dari waduk Jatiluhur,
karena PAM Jaya hanya membeli air baku waduk Jatiluhur dari Perum Jasa Tirta
II yang merupakan badan pengelola yang ditunjuk oleh Pemerintah pusat untuk
mengelola waduk Jatiluhur.
Produksi air PAM
Produksi air PAM 181,127 207,628 228,350 237,110 255,161 274,102 270,884
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber : PAM Jaya, 2006
4.5.5. Perum Jasa Tirta (PJT) II
Perum Jasa Tirta (PJT) II adalah pengelola waduk Jatiluhur di bawah naungan
Departemen Pekerjaan Umum. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat. Bendungan Jatiluhur adalah
bendungan terbesar di Indonesia. Bendungan itu dinamakan Waduk Ir. H. Juanda
(Waduk Jatiluhur), luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun
1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9
milyar m3 pertahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Di
dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW
dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, dikelola oleh
PT. PLN (Persero). Selain itu Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air
irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum, budi
daya perikanan dan pengendali banjir.
PJT II mempunyai peran yang sangat penting dalam masalah pemenuhan
kebutuhan air bersih DKI Jakarta, hal ini mengingat bahwa kurang lebih 80 %
pasokan air baku untuk PAM Jaya dari waduk Jatiluhur. Maka hal ini
mengindikasikan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air bersih sebagian penduduk
DKI Jakarta sangat menggantungkan terhadap pasokan air baku dari Waduk
Jatiluhur.
Menanggapi permasalahan berkurangnya pasokan air baku kepada PAM Jaya,
Kepala pemanfaatan untuk efisiensi dan konservasi sumber daya air Perum Jasa
Tirta II, Ir. Sutisna Prikasaleh, mengatakan bahwa penyebab utama terjadi
penurunan pasokan air baku ke PAM Jaya adalah karena cadangan air waduk
mengalami penurunan pada saat kemarau panjang akibat berkurangnya pasokan
air ke waduk Jatiluhur karena terjadi degradasi lingkungan (catchment area) di
daerah hulu. Namun PJT II tidak mempunyai kewenangan untuk itu karena berada
di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
PJT II
Jawa Barat
Pembagian hasil atau sharing dari hasil pengelolaan waduk Jatiluhur yang berada
di wilayah Jawa Barat tersebut untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan
hulu tidak cukup signifikan. Direktur Utama PJT II Jatiluhur Djendam Gurusinga
mengaku sama sekali tidak tahu mengenai urusan dana perimbangan dari pajak
permukaan air waduk Jatiluhur kepada Pemerintah Daerah Jawa Barat, karena
persoalan itu adalah merupakan kewenangan pemerintah Pusat.
PJT II adalah badan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola waduk
Jatiluhur. Daerah yang dikelola oleh PJT II hanya daerah Waduk Jatiluhur saja
sedangkan daerah hulu yang memasok air bagi waduk Jatiluhur adalah
kewenangan Pemerintah Daerah Jawa Barat.
Dari gambaran diatas jelas bahwa keberadaan waduk Jatiluhur sangat dipengaruhi
oleh kondisi daerah hulu sebagai pemasok air. Namun dalam pengelolaannya
tidak ada kerjasama antara PJT II dengan Pemerintah Jawa Barat. Bahkan
hubungan PJT II dengan Pemerintah Jawa Barat tidak harmonis. Hal ini terlihat
dengan keluhan purwakarta merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa
Barat yang sekaligus merupakan lokasi waduk Jatiluhur. Purwakarta meminta
bagi hasil dari pengelolaan waduk Jatiluhur karena selama ini Pemkab hanya
mendapatkan dana yang kecil dari pengelolaan waduk yang berada di wilayahnya
tersebut yaitu berupa Pajak Bumi Bangunan.
Sementara PJT II tidak dapat memberikan bagi hasil pengelolaan air waduk
Jatiluhur kepada Jawa Barat karena PJT II tidak mempunyai kewenangan dalam
penggunaan dana dari pengelolaan waduk Jatiluhur.Sebagaimana dikatakan oleh
Direktur Utama PJT II Djendam Gurusinga yang mengatakan bahwa PAM Jaya
tidak dapat mempunyai kendali atas hasil dari pengelolaan waduk Jatiluhur karena
disetorkan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Keuangan. Maka
persoalan uang hasil pengelolaan waduk Jatilhur adalah kewenangan Pemerintah
Pusat.
Melihat uraian di atas jelas bahwa masalah yang dialami oleh pengelolaan waduk
Jatiluhur yang bersifat regional namun hanya dilakukan secara lokal. Sementara
PAM Jaya saat ini masih sangat mengandalkan pasokan air bakunya dari waduk
jatiluhur. Maka selama masalah pengelolaan waduk jatiluhur belum dapat
dibenahi, maka masalah suplai air baku dari waduk Jatiluhur tidak akan dapat
diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan air baku PAM Jaya.
4.6. Pembahasan Kebijakan Sumur Resapan Untuk Mengatasi Krisis Air
Tanah di DKI Jakarta.
Dari uraian di atas diketahui bahwa efektifitas sumur resapan untuk mengatasi
krisis air tanah dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi air tanah dan masalah
imbuhan air tanah dari Bopunjur. Dari hasil analisis di atas dapat diketahui bahwa
:
1. Tingkat eksploitasi air tanah dipengaruhi oleh kebutuhan air bersih dan
tingkat pelayanan PAM Jaya.
a. Kebutuhan air bersih
Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa kebutuhan air bersih terus
meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan fisik kota Jakarta.
b. Pelayanan PAM Jaya
Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa PAM Jaya mengalami kendala
untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Kendala
utama yang dihadapi oleh PAM Jaya adalah masalah air baku. PAM Jaya
saat ini kesulitan untuk mendapatkan air baku tambahan untuk
meningkatkan pelayanannya. Selain kesulitan untuk mendapatkan air baku
tambahan, PAM Jaya sendiri mengalami kesulitan untuk menjaga
kontinuitas suplai airnya kepada pelanggannya terutama pada musim
kemarau karena terjadi penurunan pasokan air baku dari waduk Jatiluhur
yang merupakan pemasok utama air baku kepada PAM Jaya. Maka
melihat kebutuhan air bersih terus meningkat sementara pelayanan PAM
seperti saat ini, maka tingkat eksploitasi air tanah akan terus meningkat.
2. Dari hasil analisis di atas mengenai masalah imbuhan air tanah di DKI
Jakarta diketahui bahwa ketersediaan air tanah di DKI Jakarta dipengaruhi
oleh pasokan dari Bopunjur. Karena dari sisi topografi daerah Bopunjur
mempunyai curah hujan yang tinggi dan merupakan daerah yang berbukit-
bukit yang sangat cocok untuk menyimpan cadangan air tanah. Maka
untuk menjamin ketersediaan air tanah di hilir Bopunjur termasuk DKI
Jakarta, Pemerintah pusat mengeluarkan peraturan yang mengatur bahwa
Bopunjur merupakan daerah konservasi air. Namun kenyataannya
peraturan tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena dari
waktu ke waktu kondisi Bopunjur terus mengalami degradasi lingkungan.
Kondisi ini berdampak pada penurunan pasokan air tanah untuk DKI
Jakarta, hal ini berdampak pada penurunan ketersediaan air tanah di DKI
Jakarta..
Melihat dari hasil penelitian tersebut diatas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi efektifitas kebijakan sumur resapan dalam upaya mengatasi krisis
air tanah di DKI Jakarta jelas bahwa permasalahan krisis air tanah di DKI Jakarta
adalah merupakan hasil dari produk lingkungan yang terbuka. Maka kebijakan
sumur resapan tidak akan dapat menjawab masalah krisis air tanah di DKI Jakarta.