BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Bentuk-bentuk...

28
63 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Bentuk-bentuk Pengalaman Religius Pendoa-Pendoa Pada dasarnya terdapat dikotomi dalam menempatkan posisi pengalaman religius ini dalam kapasitas yang bersifat rasional dan non-rasional. Sampai saat ini, masih ada kejanggalan dalam beragama ketika melihat sisi pengalaman religius sebagai sisi yang tidak mudah dipahami secara akal sehat. Manusia yang memberikan kesaksian iman akan perjumpaannya dengan Tuhan dipahami telah mengalami pengalaman religius, sehingga salah satu indikator sebuah wahyu berasal dari Tuhan yakni keyakinan adanya Tuhan. Pengalaman religius itu kemudian sangat mempengaruhi individu yang lain karena adanya keyakinan terhadap karunia yang dimiliki adalah benar, sehingga individu yang lain tertarik untuk mengetahui karunia tersebut. Salah satu substansi pengalaman religius adalah adanya dimensi keilahian, sehingga kehadiran Tuhan menjadi ciri substantif pengalaman religius. 1 Harus dipahami juga bahwa kehadiran Tuhan tidak secara empirik dan berbicara langsung dengan individu, sehingga tidak ada satu manusiapun yang dapat membuktikan secara empirik adanya perjumpaan dengan Tuhan. Pengalaman religius yang khas dan unik, merupakan suatu fenomena, suatu peristiwa, yang terjadi apa adanya, dan tidak menjadi objek verifikasi dalam kategori benar atau tidak. Saat suatu pengalaman diyakini bersifat religius, maka keyakinan ini merupakan statement yang dibangun. Statement yang dibangun bahwa pengalaman yang dialami bersifat religius, klaim 1 Haidar Bagir, “Diskusi Pengalaman Religius,” jornal Kanz Philosophia 1, no. 1(Agustus-November: 2011), 129.

Transcript of BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Bentuk-bentuk...

63

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Bentuk-bentuk Pengalaman Religius Pendoa-Pendoa

Pada dasarnya terdapat dikotomi dalam menempatkan posisi pengalaman

religius ini dalam kapasitas yang bersifat rasional dan non-rasional. Sampai saat

ini, masih ada kejanggalan dalam beragama ketika melihat sisi pengalaman

religius sebagai sisi yang tidak mudah dipahami secara akal sehat. Manusia yang

memberikan kesaksian iman akan perjumpaannya dengan Tuhan dipahami telah

mengalami pengalaman religius, sehingga salah satu indikator sebuah wahyu

berasal dari Tuhan yakni keyakinan adanya Tuhan. Pengalaman religius itu

kemudian sangat mempengaruhi individu yang lain karena adanya keyakinan

terhadap karunia yang dimiliki adalah benar, sehingga individu yang lain tertarik

untuk mengetahui karunia tersebut. Salah satu substansi pengalaman religius

adalah adanya dimensi keilahian, sehingga kehadiran Tuhan menjadi ciri

substantif pengalaman religius.1 Harus dipahami juga bahwa kehadiran Tuhan

tidak secara empirik dan berbicara langsung dengan individu, sehingga tidak ada

satu manusiapun yang dapat membuktikan secara empirik adanya perjumpaan

dengan Tuhan. Pengalaman religius yang khas dan unik, merupakan suatu

fenomena, suatu peristiwa, yang terjadi apa adanya, dan tidak menjadi objek

verifikasi dalam kategori benar atau tidak. Saat suatu pengalaman diyakini

bersifat religius, maka keyakinan ini merupakan statement yang dibangun.

Statement yang dibangun bahwa pengalaman yang dialami bersifat religius, klaim

1Haidar Bagir, “Diskusi Pengalaman Religius,” jornal Kanz Philosophia 1, no.

1(Agustus-November: 2011), 129.

64

bahwa hal yang dialami merupakan pengalaman sejati, tentang perjumpaan

individu dengan Tuhan. Dalam hal ini yang menjadi objek verifikasi benar dan

salah adalah interpretasi manusia mengalami pengalaman religius tersebut,

dengan melihat sejauh mana perasaan yang ditimbulkan saat mengalami

pengalaman religius, berdampak baik pada diri individu ataupun dalam kehidupan

bersama dengan individu yang lain.

Dalam pandangan James pengalaman religius atau pengalaman keagamaan

secara keseluruhan tidak bisa ditelaah dengan rasionalitas.Jika rasionalisme

manusia mencoba memasukinya, maka ia hanya mampu menelaah bagian-bagian

yang relatif superfisial. Itu berarti hanya pada bagian yang seringkali dianggap

memiliki prestise karena mempunyai kefasihan, memberikan bukti, mematahkan

logika, dan mengalahkan diri seseorang melalui kata-kata. Sekuat apapun

rasionalitas yang dibangun untuk mengubah dan meyakinkan pendirian atau

keyakinan yang diperoleh oleh intuisi, maka kiat tersebut akan gagal. Pengalaman

religius atau pengalaman keagamaan berkaitan erat dengan keadaan kehidupan

mental dan batiniah yang secara spesifik terdapat pada bagian yang tidak tersentuk

oleh dimensi rasionalitas, dan bahkan menempatkannya dalam level

inferioritas.2Hal ini menjadi menarik untuk ditelaah pengalaman religius lebih

dahulu dalam prespektif psikologis, dan lebih jauh dilihat dampaknya dalam

kehidupan sosial. Terdapat empat bentuk pengalaman religius, yakni: a)

Penglihatan (vision); b) Ke-Ilahian (The Nominous); c) Konversi; d) Pengalaman

Mistik.

2 James, The Variaties of Religious Experience, 143-146

65

a) Penglihatan (vision)

Didukung dengan data penelitian maka dapat dilihat fenomena yang

terjadi, bagaimana individu memahami pengalaman yang terjadi pada dirinya.

Penilitian yang dilakukan kepada empat individu yang memiliki pengalaman yang

khas dan unik, atau dalam konteks wilayah penelitian individu-individu tersebut

dikenal sebagai pendoa-pendoa. Keempat pendoa menyatakan bahwa mereka

percaya telah melihat atau mendengar sesuatu yang bersifat supranatural.

Perjumpaan dengan yang supranatural, yang dialami oleh para pendoa berbeda-

beda, melalui “suara-suara” setelah berdoa, “penglihatan dalam keadaan

meninggal”, dan “mimpi”. Dalam pemahaman tentang penglihatan, penulis

mencoba melihat pemahaman James tentang “realitas dari yang gaib”. Dikatakan

bahwa ketiadaan yang terbatas (definite) dan terindera (sensible) yang

dikemukakan oleh otoritas mistik dalam semua agama merupakan sine qua non

(keniscayaan) demi keberhasilan sebuah doa atau kontemplasi tentang kebenaran

lebih tinggi dari Ilahi.3 Dapat dikatakan bahwa keempat pendoa bertemu dengan

“realitas yang gaib”, pertemuan tersebut sangat berdampak bagi individu secara

langsung misalnya; kesembuhan, mendapatkan kehidupan kembali, pemulihan

dari rasa duka, dan pemulihan dari rasa kecewa. Bukan saja dampak secara

langsung terhadap fisik tetapi juga menentukan sikap hidup, sehingga setelah

mengalami pengalaman religius berdampak terhadap keputusan untuk melayani

Tuhan. Pengalaman religius yang dialami pendoa-pendoa dan “realitas yang

gaib”, awalnya dipahami sebagai suatu perasaan tentang adanya kehadiran

objektif. “sesuatu” yang lebih mendalam daripada segala “penginderaan”.

3Kontemplasi di harapkan bisa memberikan pengaruh yang sangat kuat pada keyakinan

seseorang., lihat James, The Variaties of Religious Experience, 121.

66

Terdapat pernyataan-pernyataan seperti “selesai berdoa, tiba-tiba ada satu

kekuatan yang entah datang dari mana,” ataupun “realitas yang gaib”

digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat terlihat oleh indera.

Pengalaman tersebut merupakan pengalaman perjumpaan pertama kali

dengan “realitas yang gaib,” setelah itu para pendoa mendapatkan karunia untuk

“berdoa,” dengan membantu setiap orang yang datang dengan permasalahan-

permasalahan yang dialami. Pengalaman perjumpan yang kedua atau kesekian

kali ini, menjadi sangat menarik karena dalam teori-teori tentang pengalaman

religius dari sisi psikologis, mencoba menjelaskan perjumpaan dengan yang Ilahi

pertama kali. Perjumpaan itu dikaitkan dengan perasaan-perasaan yang timbul dan

mempengaruhi kehidupan dan sikap individu yang mengalaminya. Fenomena

yang terjadi dalam diri para pendoa, dengan berbagai karunia yang ada pada

dirinya, memberikan sisi yang unik. Keunikan ini juga harus bisa dijelaskan

secara ilmiah., Oleh karena itu, pembahasan tentang keunikan ini akan dibahas

pada poin berikutnya setelah bentuk pengalaman religius.

b) Ke-Ilahian

Pendoa-pendoa dalam pengalaman religius yakni perjumpaan dengan

yang Ilahi, mengalami perasaan-perasaan yang ditimbulkan karena kehadiran

sesuatu yang lebih besar. Terkait dengan perasaan-perasaan yang timbul, maka

penulis akan melampirkan kutipan hasil wawancara sebagai suatu keterangan

akan timbulnya perasaan-perasaan tersebut.

Keterangan timbulnya perasaan takut dari Ibu Mina Finit;

“Ketika berada di dalam ruangan isolasi, saya berada dalam kondisi

yang lemah dan tidak bisa lagi bergerak bahkan di kaki dan tangan itu

ada banyak semut itu dan dokter katakan bahwa sudah tidak ada

harapan lagi. Di dalam keadaan seperti itu saya berdoa: semua orang

67

pasti akan mati, mati hari ini sama dengan besok hari, namun saya

mau mati dalam Tuhan artinya bahwa walaupun tubuh saya mati,

tetapi jiwa saya diselamatkan oleh Tuhan. Ketika selesai berdoa, tiba-

tiba ada satu kekuatan yang entah datang dari mana. Kekuatan yang

pertama itu ialah suara, suara itu bilang kepada saya “hai Anakku,

pilih kehidupan atau kematian”. Saya langsung gemetar, saya takut

sekali dan sempat bertanya dalam hati, apa ini suara tuhan? secara

sadar dan tidak sadar, saya takut sekali.”4

Keterangan timbulnya perasaan takut dari Ibu Yeti Pello;

“Pada saat saya ada di rumah ketika saya berdoa, tiba-tiba saya

menerima satu penglihatan. Penglihatan ini seperti layar film yang

muncul tiba-tiba di depan saya ketika berdoa. Saya dalam keadaan

yang panik dan takut waktu karena ini pertama kalinya dalam hidup

saya mengalami hal ini. Namun dalam keadaan yang panik dan

ketakutan serta rasa tidak percaya, saya berusaha untuk melihat apa

yang ditunjukan melalui penglihatan tersebut.”5

Keterangan timbulnya perasaan takut dari Ibu Merry Wungubelen.

“Ketika berdoa saya mengalami hal yang benar-benar membuat saya

ketakutan karena ketika itu mimpi yang saya ceritakan itu menjadi

nyata. Pada saat saya berdoa tutup mata, ada satu kekuatan yang

datang mengangkat jiwa saya. Jiwa saya itu terangkat dan dibawa ke

satu tempat yang saya sendiri tidak tahu ini dimana namun dalam

situasi ini saya menjadi sangat takut karena saya berada di dunia yang

berbeda namun dalam rasa ketakutan itu saya bertanya-tanya terhadap

apa yang saya alami ini, apakah ini benar-benar terjadi?.”6

Secara umum sesuai data wawancara, pendoa-pendoa merasa

“ketakutan,” dalam pernyataan-pernyataan; “ada satu suara yang muncul dan

mengatakan bahwa „hai Anakku, pilih kematian atau kehidupan‟ pada awalnya

saya merasa ketakutan yang luar biasa dengan suara yang muncul itu”7;

“Penglihatan ini seperti layar film yang muncul tiba-tiba di depan saya ketika

berdoa. Dalam keadaan yang panik dan takut waktu karena ini pertama kalinya

dalam hidup saya mengalami hal ini”8; “Ketika berdoa saya mengalami hal

4Wawancara dengan Ibu Mina Finit pada tanggal 06 September 2017.

5Wawancara dengan Ibu Yeti Pello pada tanggal 09 September 2017

6Wawancara dengan Ibu Merry Wungubelen pada tanggal 12 September 2017.

7Wawancara dengan Ibu Mina Finit pada tanggal 06 September 2017.

8Wawancara dengan Ibu Yeti Pello pada tanggal 09 September 2017

68

yang benar-benar membuat saya ketakutan karena ketika itu mimpi yang saya

ceritakan itu menjadi nyata.”9 Berbeda dengan salah satu pendoa yang tidak

mengungkapkan adanya perasaan takut ketika mengalami pengalaman religius,

dalam pernyataannya dikatakan; dalam situasi perjumpaan dengan Tuhan “saya

ditangkap karena karunia Tuhan”.10

Saat itu para pendoa mengalami perasaan

dalam kondisi yang konkret yang berhubungan dengan emosi individu.

Menurut James hal-hal spesifik yang dirasakan seperti ketakutan keagamaan,

cinta keagamaan, kagum keagamaan. Rasa kagum memandang satu objek di

lingkungan berbeda dengan rasa kagum terhadap hal yang supranatural, inilah

yang menjadi sebuah entitas psikis individu dalam emosi keagamaan yang

eksis sebagai kecenderungan mental elementer yang berdiri sendiri.11

Atau

yang lebih jelas disampaikan oleh Otto berkesinambungan dengan perasaan

keagamaan yang dijelaskan James. Perbedaannya Otto lebih menekankan

perasaan tersebut dalam istilahnya yang disebut numinous. Aspek penting yang

terpola dalam istilah numinous yakni mysterium tremendum et fascinas.12

Otto

menganalisa mulai dari kata tremendum atau tremor yang berarti „takut‟ (fear)

yang menunjuk pada semacam respon dari emosional seseorang. Perasaan

misterium tremendum (“yang misterius” atau “yang kudus” itu menakutkan)

perasaan ini sepenuhnya berbeda dari kata takut (being afraid) pada

9Wawancara dengan Ibu Merry Wungubelen pada tanggal 12 September 2017.

10Wawancara dengan Bapak Sepus Tefa pada tanggal 08 September 2017

11James, The Variaties of Religious Experience, 88.

12Otto, The Idea Of Holy, 12

69

umumnya.13

Misterium fascinosum (adanya perasaan tercekam, terpesona,

terpikat, dan tertarik oleh-Nya).14

Perasaan takut dan kagum ini lebih dari sekadar rasa takut dan kagum

sebab hal-hal yang dialami seseorang secara tersirat masuk dalam kategori nilai

yang tidak berada dalam kehidupan setiap hari secara alami dan ini hanya

mungkin dialami oleh seseorang yang membangkitkan predisposisi15

mentalnya yang berbeda dan cara yang berbeda dari yang lazim.16

Keadaan

yang dirasakan oleh pendoa-pendoa merupakan perasaan keagamaan atau

misterium tremendum dan misterium fascinosum. Dalam data pernyataan salah

satu pendoa tidak secara langsung mengatakan bahwa ia ada dalam perasaan

takut atau kagum ketika mengalami pengalaman religius tersebut. Secara

eksplisit dalam pernyataannya, dapat dipahami sebagai suatu perasaan

kekaguman atau kebahagiaan yang masuk dalam misterium fascinosum.

Hadirnya perasaan ini menunjukkan bahwa pendoa-pendoa ada dalam puncak

yang paling tinggi, yaitu keadaan ekstase dalam pengalaman mistik, sehingga

pengalaman religius tidak dapat dikonsepkan, dan bersifat irasional.

Kutipan-kutipan pernyataan pendoa-pendoa dilampirkan agar melihat

adanya perasaan yang kuat timbul dalam pengalaman religius yang dialami.

Perasaan-perasaan takut ataupun kagum terlihat sebagai suatu respons spontas

ketika merasakan kehadiran yang Ilahi. Memahami pengalaman-pengalaman

yang dialami para pendoa, dari sisi psikologis sangat membantu menelaah

13

Otto, The Idea Of Holy,13 14

Muzairi, “Dimensi Pengalaman Mistik dan Ciri-cirinya,” journal religi X, no. 1,

(Januari 2015), 57. 15

Predisposisi artinya kecenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan

pengalaman dan norma yang dimilikinya, Lihat https://id.wiktionary.org/wiki/predisposisi diakses

pada tanggal 25 Januari 2018. 16

Otto, The Idea Of Holy, 15

70

secara ilmiah. James mengatakan, seseorang merasakan kehadiran Tuhan

sedemikian nyata, maka argumen-argumen kritis anda, meskipun seunggul

apapun, tidak akan berguna dalam mengubah keyakinannya.17

c) Konversi

Para pendoa memahami bahwa pengalaman perjumpaan dengan Tuhan,

terkait dengan kondisi fisik dan keadaan diri individu, misalnya; a) Pendoa yang

pertama: memahami bahwa pengalaman perjumpaan dengan Tuhan terkait dengan

kondisi fisik yakni sakit kanker darah, sehingga saat terjadi perjumpaan ia

disembuhkan dengan keyakinan bahwa adanya suara yang mengatakan

“pekerjaanmu belum selesai”18

; b) Pendoa yang kedua; memiliki pengalaman

masa lalu sebagai penganut agama Protestan, tetapi tidak memiliki relasi yang

baik dengan Tuhan. Melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain,

“Saya pernah melempari batu ke jemaat yang beribadah, dan bersikap kasar

kepada anak-anak.” Kejadian saat dikatakan meninggal dan mengalami

perjumpaan dengan Tuhan dipahami sebagai “situasi saat ditangkap oleh Tuhan

karena karunia,.” sehingga berdampak pada perubahan sikap19

; c) Pendoa yang

ketiga; mengalami kekecewaan kepada Tuhan karena suaminya meninggal dan

saudara-saudara dari suaminya mengalami sakit selama beberapa minggu,

sehingga informan ada dalam perasaan duka yang mendalam. Pendoa tersebut

berpendapat bahwa keadaan dirinya merupakan titik awal mengalami perjumpaan

dengan Tuhan20

; d) Pendoa yang keempat; mengalami kekecewaan karena suami

yang lumpuh total dan Tuhan dipersalahkan karena keadaan tersebut. Dampaknya

17

James, The Variaties of Religious Experience, 146. 18

Wawancara dengan Ibu Mina Finit pada tanggal 06 September 2017 19

Wawancara dengan Bapak Sepus Tefa pada tanggal 08 September 2017 20

Wawancara dengan Ibu Yeti Pello pada tanggal 09 September 2017.

71

informan jarang melakukan pelayanan di gereja dan persekutuan doa. Ketika

mengalami perjumpaan, terdapat perkataan yang diyakini sebagai perkataan

Tuhan yakni “kembalilah dan lakukan pekerjaanmu.” Sesuai dengan data maka

para pendoa menginterpretasikan perjumpaan dengan Tuhan sebagai titik balik

dari kehidupannya. Dampaknya dirasakan oleh pendoa-pendoa seperti adanya

kesembuhan, perubahan tingkah laku, dan perubahan pola pikir dengan adanya

sikap untuk melakukan pelayanan sebagai titik balik dari kekecewaan terhadap

Tuhan kerana permasalahan yang dialami.

Dapat dikatakan bahwa para pendoa mengalami konversi, dilihat dalam

pengalaman religius yang mengubah hidup para pendoa. Adanya kesembuhan,

perubahan pola pikir dan tingkah laku (pertobatan), bahkan timbul komitmen

untuk melayani. Dikatakan mengalami konversi karena adanya proses perubahan

diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik atau dengan kata lain adanya suatu

pertobatan. Atau konversi juga dipahami sebagai proses yang menjurus kepada

penerimaan suatu sikap keagamaan, dalam proses yang bertahap atau secara tiba-

tiba.

d) Pengalaman Mistis

Dalam pemahaman tentang pengalaman mistis, terdapat empat karakter

khas, yakni; 1) Tidak bisa diungkapkan, orang yang mengalaminya mengatakan

bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; 2) Kualitas noetik; dalam situasi

ini, orang mendapat wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali

melalui intelek yang bersifat diskursif; 3) Situasi transien, keadaan mistik tidak

bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-

kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum

72

kemudian pulih ke keadaan biasa dalam rentan waktu setengah jam, atau paling

lama satu atau dua jam; 4) Kepasifan, dalam keadaan ini saat sang mistikus

merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh

dan dikuasai oleh sesuatu kekuatan yang lebih tinggi.21

Bertolak dari empat

karakter mistis yang dikemukakan oleh James, maka penulis sulit untuk

mendeskripsikan apakah pengalaman-pengalaman religius para pendoa dapat

dikategorikan sebagai pengalaman mistis. Akan tetapi hasil penelitian berkaitan

dengan pengalaman religius yang khas dan unik, juga memberikan suatu karunia

kepada pendoa-pendoa, juga tidak bisa dikatakan sebagai suatu pengalaman

religius yang umumnya terjadi.

Menurut Bernard McGinn, gagasan utamadan tujuan mistisis mungkin

dimengerti sebagai perjumpaanistimewa Tuhan dan manusia.Segala sesuatu yang

mengarahkan dan mempersiapkan perjumpaan ini, dan segala yang mengalir

darinya atau diandaikan demikian bagi kehidupan perorangan dalam komunitas

beriman juga dianggap mistis, meskipun jika dalam pengertian sekunder atau

dalam tingkat pengertian yang lebih rendah. Elemen mistis dalam ajaran Kristen

adalah bagian dari iman dan amalan-amalan dalam Kristianitas yang terkait

dengan persiapan, kesadaran, dan reaksi terhadap yang dikenal sebagai kehadiran

langsung Ilahi. Ia lebih cenderung menggunakan “kesadaran” dibandingkan

“pengalaman”. McGinn juga berpendapat bahwa “kehadiran” merupakan kategori

yang lebih berguna dalam memahami mistisisme daripada “kesatuan”, yang hanya

merupakan suatu dari banyak model, metafor, atau simbol.22

21

James, The Variaties of Religious Experience, 506-509.

22 Saeed Zarrabizadeh, “Mendefinisikan Mistisme: Sebuah Tinjauan atas beberapa

Definisi Utama”, Jurnal Kanz Philosophy 1, No. 1, (Agustus-November 2011), 100.

73

Bertolak dari McGinn, dapat dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman

religius yang khas dan unik yang dialami oleh pendoa-pendoa dapat termasuk

dalam bentuk pengalaman mistik. Dilihat dari adanya pengungkapan pengalaman-

pengalaman perjumpaan antara pendoa dan yang Ilahi. Akan tetapi pengalaman

mistik yang dialami para pendoa bukanlah pengalaman mistik tertinggi, yakni

adanya suatu “orison persatuan” dengan yang Ilahi.23

Dalam poin berikutnya akan

dijelaskan tentang keunikan-keunikan dari pendoa-pendoa, termasuk didalamnya

adalah karunia-karunia yang dimiliki.

Keunikan-keunikan dari pendoa-pendoa

Dalam penelitian terdapat hal-hal yang unik yang dimiliki oleh pendoa-

pendoa sebagai informan, setelah mengalami perjumpaan pertama dengan yang

Ilahi, mereka mendapatkan karunia untuk berdoa. Melalui karunia itu pelayanan-

pelayanan mereka lakukan, dengan mendoakan orang lain, serta menyampaikan

sesuatu yang dipercaya sebagai petunjuk dari Tuhan. Keunikan berikutnya ialah,

secara umum para pendoa, mendoakan orang-orang yang beragama Kristen,

dengan cara berdoa kristiani, dan menggunakan bahasa Indonesia, namun terdapat

salah satu pendoa yang memiliki perbedaan. Berikutnya, akan dijabarkan

keunikan pendoa yakni memiliki karunia dan pendoa yang mendoakan orang-

orang dari agama lain.

Dalam data penelitian, pendoa-pendoa dianggap mempunyai daya tarik

karena karunia yang dimiliki.24

Jemaat seringkali menganggap begitu saja isu-isu

fenomena di luar kebiasaan, gaib, sebagai pengalaman spiritual, karena

23 James, The Variaties of Religious Experience, 536.

24Wawancara dengan Bapak Falis Tanesab pada tanggal 25 Agustus 2017

74

pandangan-pandangan seperti itu sudah mengakar dalam kehidupan jemaat atau

masyarakat beragama pada umumnya. Dengan kata lain, pengalaman religius

yang disampaikan oleh individu yang mengalami pengalaman tersebut, dengan

serta merta dianggap sebagai suatu kebenaran secara keseluruhan, dan masyarakat

lupa bahwa penyampaian tentang perjumpaan tak pernah luput dari interpretasi.

Pengalaman religius itu sendiri, tentang Yang Ilahi sebagai yang misterius

tidak bisa masuk dalam kategori benar ataupun salah. Setiap manusia menyadari

bahwa terdapat kekuatan kekuatan yang transenden, yang lebih besar di luar

dirinya. Dalam hal ini yang dapat dipersoalkan dan dikaji lebih jauh ialah

interpretasi manusia yang mengalami pengalaman religius yang khas dan unik,

karena apa yang dibicarakan bukanlah pengalaman itu sebagaimana adanya akan

tetapi intepretasi individu guna memahami pengalaman yang dialami. Kenyataan

bahwa pendoa-pendoa memiliki daya tarik karena karunia, juga membenarkan

pernyataan Strickland bahwa pengalaman religius tidak hanya berkaitan dengan

pengalaman satu individu melainkan pengalaman yang dapat melibatkan individu-

individu lainnya. Berarti setiap pengalaman religius yang disampaikan kepada

orang lain, ataupun tindakan yang dilakukan oleh individu yang dipercaya

memiliki pengalaman yang khas dan unik , tidak hanya berdampak pada dirinya

secara individu namun juga berdampak kepada orang lain. Warga jemaat memiliki

persepsi yang dibangun bahwa seseorang yang mengalami perjumpaan dengan

Tuhan, mencapai pengalaman spiritual yang tinggi, dan memiliki karunia yang

dapat membantu individu yang lain. Tindakan secara langsung ataupun verbal

memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan jemaat.

75

Bukti dari pemahaman bahwa tindakan secara langsung dan verbal

pendoa-pendoa sangat mempengaruhi kehidupan warga jemaat. Dapat dilihat

dalam data penelitian tentang kasus yang terjadi pada pertengahan tahun 2016,

antara pendeta, seorang istri, dan pendoa. Pendeta membawa seorang istri dari

salah satu keluarga kepada seorang pendoa dengan alasan mengidap penyakit

kanker. Suatu tindakan dari seorang pendeta memperlihatkan bahwa pendeta

tersebut juga memiliki kepercayaan bahwa pendoa dengan karunianya memiliki

kekuatan yang lebih besar darinya, sehingga ia membawa warga jemaat untuk

pergi ke pendoa. Sikap pendoa atau tindakan pendoa saat mendapatkan

penglihatan adalah mengatakan kepada jemaat tersebut bahwa;

“Penyakit ini akibat dari dosa leluhur dan pendoa meminta untuk segera

keluar dari rumah, karena Tuhan tunjukkan rumah yang ia tempati

sekarang ini sangat gelap.”25

Uniknya respons warga jemaat yang bersangkutan adalah percaya terhadap

perkataan pendoa. Percaya bahwa ia harus meninggalkan keluarganya dan

penyakit yang diderita diakibatkan oleh dosa leluhur. Warga jemaat yang

bersangkutan tidak lagi ada dalam proses pertimbangan karena sejak awal sudah

terbentuk pemahaman bahwa semua hal yang dikatakan pendoa merupakan suatu

kebenaran. Warga jemaat juga tidak memahami bahwa orang yang mendapatkan

pengalaman religius akan melakukan interpretasi untuk memahami pengalaman

tersebut, sehingga interpretasi tersebut bisa saja menimbulkan kesalahan. Disisi

lain juga menunjukkan bagaimana pengalaman religius yang unik dan khas,

sangat menarik dan mempengaruhi kehidupan jemaat.

25

Wawancara dengan Bapak Pdt Ronny Runtu pada tanggal 23 Agustus 2017.

76

Pendoa yang dalam pengalamannya melayani, turut mendoakan orang-

orang dari agama lain adalah Sepus Tefa. Pendoa tersebut juga melayani orang-

orang dengan latar belakang agama Islam dan Kristen Katolik yang datang dengan

persoalan-persoalan tertentu. Doa yang dilakukan dengan cara Kristen, dalam

bahasa Timor, pelayanan dilakukan selama 40 tahun, melayani setiap hari senin

dan jumat, jam 06,00 WIT sampai 21.00 WIT. Dalam keterangannya lebih lanjut

pelayanan yang dilakukan bisa sampai tengah malam, karena pelayanan

merupakan suatu proses yang diberikan oleh Tuhan kepada saya. Saat melakukan

pelayanan kepada salah seorang yang beragama Islam, pendoa tersebut

mengatakan;

“Di antara saya dengan orang yang didoakan sama-sama memiliki

keyakinan dalam bentuk yang berbeda, di dalam keyakinan saya. Tuhan

memberikan tugas ini untuk melayani siapa yang membutuhkan-Nya, saya

yakin ini juga bagian dari keyakinan ibu bahwa ibu punya persoalan yang

mana Ibu juga membutuhkan Tuhan”.26

Menerima orang dari agama lain, dan memahami bahwa pelayanan

dilakukan bagi siapa saja yang membutuhkan, merupakan sikap yang terbuka

terhadap agama lain. Karunia-karunia yang didapatkan tidak hanya dibatasi

kepada orang-orang beragama kristen, tetapi karunia dipakai untuk membantu

semua orang tanpa memandang suku, ras, ataupun agama. Dengan demikian,

orang-orang dari agama lain juga merasakan dampak dari karunia yang

didapatkan. Bahasa yang digunakan dalam berdoa adalah bahasa Timor, karena

bahasa Timor itu sudah melekat dalam kehidupan saya yang tidak bisa dilepaskan

karena bahasa Timor sama seperti bahasa ibu. Pemahaman seperti ini ada dalam

pemahaman kontekstualisasi, sehingga seseorang berdoa memakai bahasa-bahasa

daerah yang dianggap melekat dengan dirinya. Dalam kehidupan bergereja

26

Wawancara dengan Bapak Sepus Tefa pada tanggal 08 September 2017

77

kontekstualisasi semacam ini, baru saja disadari dan dilakukan, ataupun ada gereja

yang sama sekali tidak melakukan hal ini. Dalam pengalaman pendoa ini, karunia

juga dapat dipahami tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat keagamaan, dan diberikan

agar bermanfaat kepada semua orang. Begitu juga dengan adanya pemakaian

bahasa daerah dalam berdoa, sehingga kedekatan dengan bahasa daerah, lebih

membebaskan seseorang menyampaikan permohonan doa kepada yang Ilahi.

Dapat juga dikatakan pemakaian bahasa daerah juga dapat memudahkan orang-

orang yang datang kepada pendoa dengan latar belakang suku yang sama, mampu

memahami dan memaknai doa yang disampaikan.

Terlepas dari keunikan-keunikan pendoa-pendoa terdapat beberapa hal

yang dianggap perlu untuk dikritisi yakni; 1) Pernyataan bahwa pelayanan yang

dilakukan bertujuan untuk “memenangkan jiwa; 2) Pelayanan yang dilakukan

berdasarkan kitab suci.

“Tuhan katakan bahwa saya harus melayani untuk memenangkan

jiwa, saya pelayanan sesuai dengan Alkitab dan bagi saya Tuhan

Allah yang menyatakan gereja bukan manusia.”27

Pelayanan yang dilakukan oleh pendoa-pendoa untuk memenangkan jiwa, yakni

orang-orang mengalami pertobatan juga menerima keselamatan. Menjadi penting

untuk dipahami bahwa memenangkan jiwa tidak bisa dipahami sebagai, membuat

seseorang individu masuk ke dalam agama kristen. Tindakan pelayanan yang

dilakukan oleh para pendoa tidak bisa menjadikan misi untuk memperkuat dan

memperluas kekristenan; melakukan penyelamatan jiwa-jiwa dari dunia untuk

masuk surga; pelayanan atau misi ditujukan kepada orang-orang yang belum

percaya; pelayanan yang dilakukan memisahkan hal-hal yang sekuler dan sakral.

27

Wawancara dengan Bapak Sepus Tefa pada tanggal 08 September 2017

78

Pendoa-pendoa yang memiliki karunia juga harus memahami bahwa pelayanan

atau misi yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan hal-hal rohani atau

aktivitas religius, maka harus berkaitan dengan dimensi kehidupan. Bagian

penting yang harus diperhatikan oleh para pendoa saat melakukan pelayanan

ialah, turut mewartakan ketuhanan Kristus agar umat juga mengatur tingkah laku

hidupnya sesuai dengan konteks kehidupan bersama. Perintah yang utama dari

Allah bukanlah supaya kita menobatkan sesama, melainkan untuk mengasihi

mereka.28

Pelayanan yang dilakukan oleh pendoa-pendoa berdasarkan pada kitab

suci. Dalam pemahaman ini, berarti bahwa para pendoa masih memahami kitab

suci sebagai suatu teks wahyu yang memiliki kebenaran mutlak. Dampak dari

pemahaman seperti itu ialah adanya pembedaan antara orang yang percaya

(penganut agama Kristen) dan yang tidak percaya (penganut agama lain). Injil

disampaikan sebagai sebuah kuasa yang menaklukkan dan menghancurkan semua

paham kepercayaan, budaya, pesan, konsep, simbol, ritus, dan praktik-praktik

religius yang ada di dunia non-Kristen. Jika pemahaman para pendoa seperti ini

maka iman mereka sekedar orthodoksi, mengakui Allah sebagai pencipta semesta

dan pengendali sejarah tanpa menghormati karya Allah dalam agama-agama

untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu mereka

yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Iman para pendoa harus sampai

pada orthopraksis, adanya partisipasi dalam pekerjaan Allah dengan bekerja sama

28

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila: Bergereja

Dengan Cita Rasa Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 231-234

79

dengan mereka “yang lain” agamanya untuk mendirikan tanda-tanda kerajaan

Allah di bumi.29

Pengalaman religius lebih dipahami dalam konteks-konteks kehidupan

individu, dan kitab suci juga harus dilihat sebagai teks yang mengungkapkan

pengalaman religius manusia dalam konteks kehidupannya. Kitab suci yang

dahulunya dianggap sebagai wahyu yang memiliki kebenaran mutlak, saat ini

harus dipahami dengan cara pandang yang baru, dengan lebih membebaskan

individu untuk menghayati keagamaannya.30

Kitab suci harus dipahami sebagai

teks-teks yang ditulis oleh manusia dalam konteks kehidupan masyarakat pada

masanya, dengan segala pengaruh sosial-kebudayaan, politik, dan agama. Atas

dasar itulah kitab suci harus dipandang sebagai teks rekaman sejarah komunitas-

komunitas beragama.31

Pemahaman tentang kitab suci sebagai teks yang memiliki

kebenaran mutlak, tentunya dipengaruhi oleh konsepsi agama yang memandang

kebenaran tentang yang Ilahi ada dalam agama tertentu. Ketidakmampuan untuk

memahami agama suatu kenyataan sosial yang historik, sebagai yang diusung oleh

manusia sebagai suatu komunitas sosial. Terhadap kenyataan ini, tidak seorang

manusia pun dapat menyatakan bahwa ia dapat dan telah memahami Allah secara

mutlak. Kenyataan yang Ilahi adalah sesuatu yang misterius, maka pemahaman

manusia selalu merupakan interpretasi, sekalipun yang misterius menampakkan

diri padanya manusia tidak bisa menggambarkan dan menceritakan secara

sempurna dan mutlak.

29

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, 237. 30

James, The Variaties of Religious Experience 63. 31

John A. Titaley, Persepuluhan Dalam Alkitab Ibrani Israel Alkitab (Salatiga: Satya

Wacana University Press, 2016), iii-iv.

80

Bentuk-bentuk pelayanan

Bentuk-bentuk pelayanan yang dimaksudkan ialah kegiatan-kegiatan

peribadatan yang dilakukan oleh pendoa-pendoa sebelum melayani warga jemaat,

dan kegiatan-kegiatan kegiatan peribadatan yang dilakukan di rumah-rumah

jemaat yang dilayani:

1. Sebelum melayani warga jemaat pendoa memperlengkapi diri dengan

melakukan doa dan puasa.

2. Tata cara beribadah yang dilakukan oleh pendoa-pendoa secara umum

sama; menyanyikan satu lagu rohani, warga jemaat yang dilayani

memberitahukan pokok-pokok doa yang diinginkan, berdoa secara khusus,

pendoa mengucapkan ayat-ayat alkitab karena mendapatkan suatu

penglihatan.32

Ada juga pendoa yang mengucapkan ayat alkitab, tetapi

langsung memberitahukan apa yang telah ditunjukkan Tuhan melalui

penglihatan.33

Terdapat pendoa yang melakukan tata cara ibadah yang

berbeda dengan pendoa yang lain; a) membicarakan mengenai pokok-

pokok doa jemaat yang ingin didoakan; b) pendoa menyalakan lilin untuk

masuk didalam doa; c) doa dilakukan dengan memakai bahasa timor

dengan durasi waktu kurang lebih 10 menit; d) melakukan percakapan

tentang apa ditunjukkan Tuhan, setelah selesai pendoa mengambil minyak

kelapa dan mengoleskan pada bagian-bagian tubuh tertentu yakni kepala,

tangan kiri dan tangan kanan, kaki kiri dan kaki kanan.

32

Wawancara dengan Ibu Mina Finit pada tanggal 06 September 2017. 33

Wawancara dengan Ibu Yeti Pello pada tanggal 09 September 2017.

81

3.1. Alasan-alasan Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua berdoa ke pendoa

Berdasarkan temuan penelitian, maka penulis menemukan ada lima alasan

mengapa jemaat memilih untuk berdoa ke pendoa-pendoa. Lima alasan ini

dijelaskan secara bertahap di antaranya problematika jemaat, jawaban, karunia-

karunia, kepercayaan dan relasi timbal balik.

3.1.1 Problematika jemaat.

Problematika atau persoalan-persoalan menjadi titik berangkat dari

pemahaman warga jemaat memilih berdoa ke pendoa. Penulis mengkategorikan

problematika ini di dalam dua bagian ; 1) problematika yang hanya melibatkan

diri seseorang secara individu. Contoh konkritnya dari hasil temuan lapangan,

demikian:

“Saya terkena penyakit tiroid, penyakit ini membuat saya benar-

benar kehilangan berat badan yang drastis sebanyak 12 Kg. Kondisi

tubuh saya sangat lemah, saya hanya berdoa kepada Tuhan untuk

proses kesembuhan saya”.34

Kategori melibatkan diri sendiri berkaitan dengan sakit penyakit yang

diderita oleh salah satu anggota keluarga. Ia berharap untuk memperoleh

kesembuhan untuk dirinya sendiri. 2) Problematika yang melibatkan diri dan orang

lain. Pada tahap ini persoalan yang dihadapi oleh warga jemaat karena ada

persoalan dengan keterlibatan orang yang lain. Misalnya,

“Pada waktu malam hari saya terkejut karena saya kehilangan uang

sebesar 20 juta, uang ini berhubungan dengan tanggungjawab

pekerjaan saya. Ini akan jadi persoalan yang besar kalau saya tidak

menemukan, saya harus mencari tahu siapa yang mengambil

uang ini”.35

34

Wawancara dengan Ibu Mia Laning, pada tanggal 22 Agustus 2017 35

Wawancara dengan Ibu Very Ndoen pada tanggal 23 Agustus 2017.

82

Persoalan menjadi titik yang penting dalam kehidupan jemaat ketika

persoalan yang dihadapi tidak dapat dikendalikan oleh jemaat itu sendiri, maka

jemaat mencari solusi untuk menyelesaikan persoalannya.

3.1.2 Jawaban dan Petunjuk

Problematika yang muncul dalam kehidupan warga jemaat menimbulkan

pemahaman jemaat untuk mencari jalan keluar atau alternatif yang dapat

dilakukan untuk menyelesaikan persoalan hidup warga jemaat atau dengan kata

lain dalam fase yang kedua yaitu jawaban dan petunjuk. Misalnya salah satu warga

jemaat yang sakit tiroid pada sebelumnya membutuhkan jalan keluar yang dialami

olehnya yakni proses kesembuhan, untuk sampai pada proses kesembuhan itu ia

membutuhkan petunjuk untuk memperoleh kesembuhan36

atau jawaban yang

diterima seketika sedang berdoa dengan pendoa yang dialami warga jemaat yang

sempat kehilangan uang yang cukup besar dan akhirnya memutuskan untuk berdoa

kepada pendoa yang memiliki karunia agar mengetahui siapa yang mengambil

uang tersebut dan pada saat itu juga warga jemaat menerima jawaban dari Tuhan

melalui karunia pendoa.37

Berdasarkan pemahaman warga jemaat, bahwa mereka

mengetahui keberadaan pendoa-pendoa yang memiliki karunia-karunia namun

pada tahap ini hanya pada sebatas pengetahuan jemaat tentang pendoa-pendoa,

dalam proses mencari solusi atau jawaban atu petunjuk untuk menyelesaikan

persoalan maka warga jemaat memberanikan diri untuk menghubungi pendoa-

pendoa.

36 Wawancara dengan Ibu Mia Laning, pada tanggal 22 Agustus 2017

37 Wawancara dengan Ibu Very Ndoen pada tanggal 23 Agustus 2017.

83

3.1.3 Karunia-karunia.

Jemaat yang didoakan sebagian besar memilih untuk berdoa ke seorang

pendoa karena adanya karunia-karunia yang dimiliki.Karunia itu memiliki ciri

yang tidak dimiliki oleh semua orang dan bagi warga jemaat itu merupakan bagian

dari kehendak Tuhan untuk orang-orang yang dipilihnya.Artinya bahwa karunia

yang berasal dari Tuhan akan terlihat dari bagaimana pendoa itu bisa memberikan

kabar yang menyenangkan hati warga jemaat melalui jika mengalami satu

persoalan yang cukup berat sehingga Tuhan peduli dengan persoalan yang dialami

oleh keluarga.38

Bertolak dari karunia-karunia pendoa, warga jemaat yang dilanda

persoalan perlu untuk didoakan oleh pendoa-pendoa tersebut

3.1.4. Kepercayaan

Fase keempat ini merupakan fase yang penting bagi keputusan atau pilihan

jemaat berdoa kepada pendoa-pendoa. Kepercayaan yang dibangun antara warga

jemaat dan pendoa bukanlah hal yang mudah. Kepercayaan akan muncul ketika

jemaat sendiri mengalami apa yang sudah dikatakan oleh pendoa melalui karunia-

karunia tersebut. Kepercayaan ini tidak bisa diganggu-gugat, warga-warga jemaat

yang didoakan memiliki keyakinan terhadap karunia dari pendoa-pendoa. Penulis

menampilkan sekali lagi pemahaman jemaat tentang pendoa yakni, “warga jemaat

percaya bahwa apa yang ditampilkan oleh pendoa itu adalah benar-benar karunia

dan Tuhan dan seketika apa yang ditunjukan Tuhan melalui karunia misalnya

penglihatan, terjadi di dalam kehidupan jemaat”.39

Kepercayaan warga jemaat juga

tidak hanya timbul dari karunia-karunia yang dimiliki pendoa melainkan juga ada

pertukaran pengalaman, warga jemaat mengetahui pengalaman pendoa ketika

38 Wawancara dengan Ibu Fanie Bhasrie pada tanggal 28 Agustus 2017.

39

Wawancara dengan Ibu Erni Riwu pada tanggal 02 September 2017.

84

menerima karunia tersebut dapat mempengaruhi pola piker warga jemaat untuk

percaya kepada pendoa-pendoa.

3.1.5. Relasi timbal balik

Kepercayaan yang telah dibangun maka ada relasi yang intens dibangun

antara pendoa- warga jemaat. Walaupun bukan berasal dari satu mata jemaat

namun ada relasi yang terjalin antara pendoa dengan warga jemaat yang didoakan.

Hal ini dilihat dari jangka panjang yang terus berlanjut dalam mendoakan warga

jemaat. Berdoa tidak hanya satu kali melainkan terjadi secara terus menerus

sehingga relasi ini menjadi relasi jangka panjang. Jemaat berpendapat bahwa

karunia itu berasal dari Tuhan yang diberikan bagi sebagian orang yang menjadi

pilihannya untuk menjadi kesaksian bagi banyak orang agar relasi antara warga

jemaat dengan Tuhan tidak putus.40

Jemaat juga meyakini bahwa pengalaman ini

harus terus dilakukan tidak hanya secara pribadi tetapi juga secara keluarga di

mana, kesaksian dari pengalaman pendoa itu mejadi bagian di dalam kehidupan

orang tua dan anak-anak.41

Ada hubungan timbal balik antara warga jemaat dan

pendoa baik itu secara materil maupun nonmateril,

“Saya karena sudah terlalu sering didoakan oleh pendoa yang

mendukung kehidupan keluarga saya.Saya sering juga

mendoakannya untuk tugas pelayanannya di tempat yang lain,

bahwan hal-hal sederhana seperti selesai berdoa biasa saya

suguhkan makanan, bahkan kasih uang transport pulang. Pertama

memang pendoa sempat menolak tapi saya bilang ini berkat Tuhan

bukan sesuatu yang dipikirkan secara negatif”.42

40

Wawancara dengan Keluarga Bapak Max Pati pada tanggal 05 September 2017.

41

Wawancara dengan Ibu Mia Laning, pada tanggal 22 Agustus 2017

42Wawancara dengan Bapak Yulius Daniel pada tanggal 01 September 2017

85

Gambar 1.1. Fase hubungan antar pendoa dan jemaat yang didoakan.

Penulis menguraikan secara garis besar dalam bentuk gambar di atas untuk

menggambarkan bagaimana hubungan antar pendoa dan warga jemaat GMIT

Kaisarea BTN yang didoakan oleh pendoa-pedoa. Pada bagian yang pertama,

problematika jemaat. Berdasarkan temuan penelitian, ungkapan-ungkapan jemaat

terkait dengan maksud problematika yang terjadi di warga jemaat hampir tidak

dapat diatur oleh warga jemaat tersebut, jemaat sampai di titik ketidakmampuan

untuk mencari solusi dalam permasalahan mereka. Penulis tertarik ketika

persoalan yang dihadapi oleh warga jemaat tidak dilayani oleh seorang pendeta

melainkan dilayani oleh seorang pendoa. Penulis kembali pada persoalan pendeta

yang juga percaya dengan keberadaan pendoa dengan karunia-karunia yang

berasal dari Tuhan. Penulis sepakat bahwa seorang pendeta yang seharusnya

mengemban tugas tanggungjawab di gereja bertugas untuk mengarahkan dan

membina warga jemaat ketika tiba pada persoalan yang tidak mampu diatasi oleh

warga jemaat namun tanggungjawab itu tidak digunakan secara maksimal bagi

warga jemaat. Bertolak dari kasus antara warga jemaat, pendeta dan pendoa

1.Problematika warga jemaat

2.Jawaban

3. Karunia-karunia 4. Kepercayaan

5.Relasi timbal balik

86

memberi tanggapan yang cukup serius bagi figur seorang pendeta. Apakah

kemudian ini menjadi bentuk suatu kritik terhadap pelayanan pendeta yang kurang

bersentuhan dengan persoalan warga jemaat? Kemungkinan dapat dikatakan

demikian. Ada alternatif lain yang dapat menjadi pilihan jemaat untuk proses

penyelesaian persoalan warga jemaat yakni pendoa-pendoa dengan karunia-

karunia.

Fase yang kedua berkaitan dengan jawaban dan petunjuk yang dibutuhkan

oleh jemaat. Penjelasan sebelumnya telah menguraikan sedikit tentang warga

jemaat yang dengan segera ingin mendapatkan jawaban namun ada jemaat yang

sadar terhadap proses misalnya sakit penyakit, hal ini kembali lagi pada persoalan

yang dialami. Persoalan-persoalan yang lainnya seperti kehilangan uang,

membuat salah satu warga jemaat merasa terdesak untuk mencari tahu jawaban

dari persoalan tersebut. Secara umum tindakan masyarakat yang mengalami

permasalahan seperti kehilangan uang, akan memiliki untuk melapor kepada

pihak yang berwajib (polisi). Sebaliknya dalam kenyataan penelitian, warga

jemaat yang mengalami persoalan semacam ini memilih untuk pergi ke pendoa,

dengan tujuan mendapat jawaban dari persoalan yang terjadi. Sikap untuk pergi ke

pendoa juga dapat dipahami sebagai suatu keinginan untuk mendapatkan jawaban

secara cepat terhadap persoalan-persoalan yang mendesak. Jalur-jalur

penyelesaian yang ada dalam durasi waktu yang lama, tidak menjadi jalur yang

dipilih oleh warga jemaat. Pergi ke pendoa-pendoa adalah alternatif yang

menjamin karena juga berkaitan dengan kepercayaan warga jemaat terhadap

karunia yang dimiliki, yang dipahami berasal dari Tuhan.

87

Fase yang ketiga berkaitan dengan karunia-karunia. Penulis meminjam

pemahaman Strickland mengenai pengaruh pengalaman satu individu yang dapat

mempengaruhi individu-individu yang lain.43

Pengalaman-pengalaman religius

yang dialami para pendoa sangat mempengaruhi kehidupan warga jemaat karena,

dipahami sebagai sebuah pengalaman yang dialami dalam perjumpaan dengan

yang Ilahi. Warga jemaat menjadi percaya karena adanya pengaruh yang Ilahi

dalam pengalaman tersebut, sehingga karunia-karunia penglihatan sebagai

pemberian yang Ilahi juga dipercaya oleh warga jemaat. Dalam tindakan warga

jemaat yang sering berdoa ke pendoa-pendoa dengan berbagai persoalan yang

terjadi, memberikan suatu pemahaman bahwa, warga jemaat menganggap karunia,

sebagai pemberian yang Ilahi yang mampu membantu menyelesaikan persoalan

yang terjadi.

Fase yang keempat, berkaitan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap

pendoa-pendoa yang memiliki karunia yang dimaksudkan oleh penulis ialah suatu

pengakuan atau keyakinan karena mendapatkan atau merasakan dampak nyata

dari karunia tersebut. Melalui dampak nyata inilah relasi antara pendoa dan warga

jemaat terus berlanjut.

Fase yang kelima, berkaitan dengan relasi timbal balik. Dari fase

sebelumnya yakni timbulnya kepecayaan, maka warga jemaat dan pendoa ada

dalam relasi timbal bali. Relasi ini dilakukan oleh warga jemaat dan pendoa secara

berkelanjutan, artinya warga jemaat yang sudah merasakan dampak nyata dari

karunia tersebut, akan tetap meminta pelayanan dari pendoa. Warga jemaat tetap

datang ke pendoa karena persoalan-persoalan yang dialami. Secara umum para

43 Francis Strickland, “Pshycology of Religious Experience, 21.

88

pendoa tidak menerima imbalan secara materi (uang), sehingga relasi timbal balik

ini tidak bisa dipahami secara materil. Warga jemaat mendapatkan jawaban atas

persoalan yang dialami, dan pendoa mendapatkan kesempatan untuk melayani

dengan karunia yang dimiliki, sebagai bentuk komitmen pelayanan.

Sikap dan Tindakan Sebagai Seorang Pendoa

Dari deskripsi tentang bentuk-bentuk pengalaman religius dan alasan-

alasan jemaat datang ke pendoa-pendoa, maka penulis tertarik untuk merumuskan

pemahaman tentang tindakan dan sikap seorang pendoa dalam kehidupan sosial.

Penulis sampai pada pemahaman bahwa pengalaman religius dengan yang Ilahi

secara khas dan unik tidak dapat menjadi objek verifikasi benar ataupun salah.

Semua orang juga percaya terhadap kekuatan supranatural yang berada di luar

dirinya, percaya tentang adanya yang Ilahi atau yang transenden. Yang menjadi

objek verifikasi benar atau tidaknya seseorang mengalami pengalaman religius

yang khas dan unik adalah sikap dan tindakan yang dilakukan kepada sesama.

Sikap dan tindakan yang dimiliki oleh pendoa, sebagai berikut:

1. Sikap inklusif, dalam konteks kehidupan bersama dengan agama-agama

lain, pelayanan yang dilakukan tidak bisa dipahami sebagai suatu tindakan

untuk menyelamatkan jiwa. Menyelamatkan jiwa dalam artian membawa

orang lain untuk masuk Kristen. Seharusnya yang dilakukan ialah tindakan

pelayanan dilakukan untuk membawa orang lain hidup dengan lebih baik

dari sebelumnya, bukanlah berfokus pada membawa individu masuk

kedalam agama kristen. Penyembahan yang benar kepada Allah tidak

terikat pada tempat atau agama, tetapi dalam roh dan kebenaran (Yoh,

4:24). Para pendoa terpanggil untuk menjalani pelayanan dan

89

menggunakan karunia agar berguna bagi sesama. Intisari dari misi ialah

adanya sikap hidup yang bersumber dari penghayatan yang benar akan

citra dirinya sebagai gambar Allah.44

2. Berperilaku sesuai dengan nilai-nilai etis; sikap dan cara bertindak

seseorang penting karena dipengaruhi oleh kayakinan-keyakinan tentang

apa yang baik dan jahat. Dalam kehidupan pelayanannya dengan karunia-

karunia yang dimiliki, seharusnya membawa dampak positif bagi

kehidupan banyak orang. Dengan cara inilah pendoa-pendoa yang

mendapatkan karunia, menggunakan karunia dengan cara yang benar

sesuai dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang ada. Sehingga kasus-

kasus saat seorang istri diminta keluar dari rumah karena penyakit yang di

deritanya adalah akibat dari dosa leluhur, dan menganggap bahwa itu

merupakan penglihatan yang di tunjukkan Tuhan.45

Begitu juga dengan

kasus-kasus seseorang yang memiliki karunia “menjamah”, sehingga

setiap orang yang datang untuk didoakan haruslah dijamah. Bahkan

bagian-bagian tubuh yang bersifat pribadi juga harus dijamah, dan

menurutnya tindakan tersebut merupakan perintah roh kudus.46

Sikap dan

tindakan seperti ini harus dipertanyakan kebenarannya, bagaimana

mungkin karunia-karunia yang diberikan oleh yang Ilahi, diaplikasikan

bagi orang lain dengan tidak membawa dampak yang baik.

3. Peduli terhadap persoalan-persoalan sosial; beriman kepada Tuhan,

bukanlah beriman dengan cara menjauhi dunia dan tidak peduli terhadap

44Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, 235.

45

Wawancara dengan Bapak Pdt Ronny Runtu pada tanggal 23 Agustus 2017

46Ebenhaizer I. Nuban Timo, Aku Memahami Yang Aku Imani: Memahami Allah

Tritunggal, Roh Kudus, dan Karunia-karunia Roh secara Bertanggung Jawab (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2011), 158-159.

90

persoalan-persoalan sosial. Hidup beriman tidak bisa dipahami sebagai

tindakan tercapainya keselamatan di masa depan yang sifatnya rohani dan

individualistis.47

Pekerjaan pelayanan dengan karunia-karunia yang

dimiliki tidak hanya mencakup hal religius, tetapi juga sosial.48

Para

pendoa juga harus peduli terhadap persoalan-persoalan sosial yang terjadi

ditengah-tengah konteks kehidupannya. Oleh karena itu pelayanan yang

dilakukan pendoa-pendoa benar-benar menyentuh kehidupan-kehidupan

masyarakat dengan berbagai problematika yang ada.

47Ebenhaizer I. Nuban Timo, Aku Memahami Yang Aku Imani, 161.

48

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, 231.