BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sawit Off Grade Sawit off grade merupakan buah sawit di luar grade kematangan buah sehingga tidak layak olah dan biasanya berasal dari sisa sortasi pabrik Crude Palm Oil (CPO). Sawit off grade merupakan salah satu sumber minyak nabati yang belum termanfaatkan. Berdasarkan tingkat kematangannya, sawit off grade diklasifikasikan menjadi buah muda (mentah), kurang matang, lewat matang, busuk, dan abnormal. Sawit off grade dapat diperoleh sekitar 7- 10% dari kapasitas giling Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Jika kapasitas olah pabrik CPO sebesar 30 ton per jam, maka Sawit off grade yang dihasilkan sekitar 2 – 3 ton perjam [Arifin, 2009]. Penggunaan buah sawit off grade di pabrik akan menurunkan kualitas minyak yang dihasilkan sehingga berimbas kepada rendahnya harga jual minyak yang diproduksi. Biasanya, sawit off grade harus dikembalikan ke penjual. Selanjutnya penjual akan menjual kembali ke pengumpul sawit dengan harga murah. Sawit off grade yang tidak terjual akan ditumpuk atau dibakar di areal perkebunan tanpa ada pemanfaatan lanjut. Pengolahan minyak muda dan abnormal akan menghasilkan yield CPO yang rendah sedangkan pengolahan lewat matang dan busuk 5

description

biodiesel, heterougenous catalyst NaNo3/fe2o3,

Transcript of BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

Page 1: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sawit Off Grade

Sawit off grade merupakan buah sawit di luar grade kematangan buah

sehingga tidak layak olah dan biasanya berasal dari sisa sortasi pabrik Crude Palm

Oil (CPO). Sawit off grade merupakan salah satu sumber minyak nabati yang

belum termanfaatkan. Berdasarkan tingkat kematangannya, sawit off grade

diklasifikasikan menjadi buah muda (mentah), kurang matang, lewat matang,

busuk, dan abnormal. Sawit off grade dapat diperoleh sekitar 7-10% dari kapasitas

giling Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Jika kapasitas olah pabrik CPO sebesar 30 ton

per jam, maka Sawit off grade yang dihasilkan sekitar 2 – 3 ton perjam [Arifin,

2009].

Penggunaan buah sawit off grade di pabrik akan menurunkan kualitas

minyak yang dihasilkan sehingga berimbas kepada rendahnya harga jual minyak

yang diproduksi. Biasanya, sawit off grade harus dikembalikan ke penjual.

Selanjutnya penjual akan menjual kembali ke pengumpul sawit dengan harga

murah. Sawit off grade yang tidak terjual akan ditumpuk atau dibakar di areal

perkebunan tanpa ada pemanfaatan lanjut. Pengolahan minyak muda dan

abnormal akan menghasilkan yield CPO yang rendah sedangkan pengolahan lewat

matang dan busuk akan menghasilkan minyak yang berkadar Asam Lemak Bebas

(ALB) >5% [Arifin, 2009].

Jika Tandan Buah Segar (TBS) yang telah dipanen tidak langsung

diproses, akan menyebabkan peningkatan kadar ALB ketika buah diekstrak

menjadi minyak [Arifin, 2009]. Faktor yang menyebabkan adanya sawit off grade

adalah waktu pemanenan terlalu cepat atau terlalu lambat, lamanya waktu tinggal

di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) maupun di pabrik. Beberapa kriteria buah

sawit yang digolongkan ke dalam sawit off grade adalah [Budiawan dkk., 2013] :

5

Page 2: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

6

1. Buah sawit muda ditandai dengan buah yang berwarna hitam dan keras,

mesokorp buah lapisan luar berwarna kekuningan, tidak ada berondolan

yang lepas dan memiliki kadar minyak yang sangat sedikit.

2. Buah sawit abnormal ditandai dengan tandan mempunyai buah yang tidak

normal dari segi ukuran atau kepadatan. Buah abnormal biasanya didapat

dari tandan buah sawit muda yang memiliki lebih dari 50% buah

parthenocarpic (buah yang tumbuh karena kurang dipupuk) dan

menghasilkan yield minyak yang sedikit serta kernel (inti) tidak

mengandung endosperm dan embrio dimana bagian pusat buah biasanya

padu.

3. Buah sawit lewat matang ditandai dengan tandan mempunyai buah

berwarna merah tua dan lebih dari 50% buah telah lepas dari tandan tetapi

terdapat sekurang-kurangnya 10% buah segar yang masih melekat pada

tandan.

4. Buah sawit busuk ditandai dengan sebagian tandan atau seluruhnya telah

lembek/menghitam warnanya, busuk dan / atau berjamur.

2.2 Biodiesel

Biodisel merupakan bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang

diproduksi dengan mereaksikan minyak dari tanaman atau lemak hewan dengan

alkohol seperti metanol [Gerpen, 2005]. Biodiesel larut dengan petrodiesel dengan

semua perbandingan campuran. Beberapa keunggulan biodiesel dibandingkan

diesel adalah [Taufiq dkk., 2011 ; Knothe dkk., 2005]:

a. Tidak beracun (non-toxic).

b. Memiliki sifat pelumasan pada piston dan mudah terurai dilingkungan.

c. Kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin.

d. Menghasilkan gas buang berbahaya yang lebih sedikit dibandingkan

diesel seperti sulfur dioksida (SO2) karbon monoksida (CO), karbon

dioksida (CO2), hidrokarbon yang tidak terbakar dan partikel karbon

lainnya.

Page 3: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

7

e. memiliki flash point yang lebih tinggi sehingga lebih aman dalam

penanganan dan penyimpanan.

Semua keunggulan tersebut membuat produksi biodiesel lebih

menjanjikan dan lebih mudah selagi persediaan minyak tumbuhan dan lemak

hewan masih ada. Karakteristik diesel dan biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Standar Diesel dan Biodiesel

Property Diesel Biodiesel

Standard number ASTM D975 ASTM D6751Composition Hydrocarbon (C10 – C21) Fatty Acid Methyl Ester (C12 – C22)Specific gravity (g/mL) 0,85 0,88Flash Point (K) 333 – 353 373 – 443Cloud Point (K) 258 – 278 270 – 285Pour Point (K) 243 – 258 258 – 289Water (vol%) 0,05 0,05Carbon (wt%) 87 77Hydrogen (wt%) 13 12Oxygen (wt%) 0 11Sulphur (wt%) 0,05 0,05Cetane number 40 – 55 48 – 60

Sumber : Chopade dkk., 2012.

Kemiripan karakteristik dari bahan bakar dieseil dengan biodiesel seperti

pada Tabel 2.1 menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar mesin diesel secara

langsung maupun campuran.

2.3 Proses Pembuatan Biodiesel

Biodiesel umumnya dibuat melalui reaksi transesterifikasi minyak dan

alkohol menggunakan katalis. Metode ini dilakukan jika minyak memiliki kadar

ALB dibawah 2%. Jika minyak berkadar ALB tinggi langsung ditransesterifikasi

dengan katalis basa maka ALB akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun

sehingga menurunkan yield dan mempersulit proses pemisahan. Penggunaan

minyak berkadar ALB diatas 2% membutuhkan perlakuan awal untuk

menurunkan kadar ALB. Sehingga diperlukan dua reaksi bertahap untuk

mengkonversi minyak dengan kadar ALB tinggi menjadi biodiesel yaitu

esterifikasi berkatalis asam dilanjutkan dengan transesterifikasi berkatalis basa

[Budiawan dkk, 2013].

Page 4: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

8

2.3.1 Reaksi Esterifikasi

Reaksi Esterifikasi adalah reaksi reversibel antara asam karboksilat dengan

alkohol membentuk ester asam karboksilat. Gugus karbonil dari asam karboksilat

akan bereaksi dengan alkohol sehingga akan terbentuk ester dengan melepaskan

air sebagai produk samping. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter

asam kuat sehingga asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation

asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial

[Hikmah dan Zuliyana, 2010]. Contoh reaksi antara metanol dan ALB adalah

sebagai berikut :

O H2SO4 O

R – C + R’OH R – C + H2O

OH OR’

Asam karboksilat Alkohol Ester Karboksilat Air

Gambar 2.1 Reaksi Esterifikasi

Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak

berkadar ALB tinggi. Pada reaksi ini terjadi tahap konversi ALB menjadi alkil

ester yang bertujuan mengurangi ALB yang terdapat di dalam bahan baku. Tahap

esterifikasi diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk

esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air, sisa metanol, dan bagian

terbesar katalis asam yang ada harus dipisahkan terlebih dahulu [Hikmah dan

Zuliyana, 2010].

2.3.2 Reaksi Transterifikasi

Transesterifikasi merupakan suatu proses penggantian alkohol dari suatu

gugus ester (trigliserida) dengan ester lain atau mengubah asam – asam lemak ke

dalam bentuk ester sehingga menghasilkan alkil ester dan produk samping berupa

gliserol. Proses tersebut dikenal sebagai proses alkoholisis [Hikmah dan

Page 5: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

9

Zuliyana, 2010]. Secara umum reaksi transesterifikasi antara minyak nabati

(trigliserida) dan alkohol (metanol) dapat dilihat pada Gambar 2.2.

O O

R1 – C – OCH2 R1 –C – OCH3 HOCH2

O O

R2 – C – OCH + 3CH3OH R2 –C – OCH3 + HOCH

O O

R3 – C – OCH2 R3 –C – OCH3 HOCH2

Trigliserida Metanol Metil Ester Gliserol

Gambar 2.2 Reaksi transeterifikasi

Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi bolak balik yang relatif lambat.

Untuk mempercepat jalannya reaksi dan meningkatkan hasil, maka dilakukan

penambahan reaktan berlebih dan penambahan katalis yang biasanya berupa

katalis basa agar reaksi bergeser ke kanan dan dapat mempercepat reaksinya

[Hikmah dan Zuliyana, 2010].

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Biodisel

Tahapan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu

menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum.

Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel

adalah sebagai berikut:

2.4.1 Bahan Baku dan Reaktan

Biodiesel dapat dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani. Hingga

saat ini penggunaan minyak atau lemak nabati dan hewani sebagai bahan baku

biodiesel terus diteliti dan berkembang. Beberapa bahan baku yang dapat

digunakan untuk pembuatan biodiesel antara lain sawit, kedelai, jarak pagar,

bunga matahari dan lain-lain. Karakteristik biodiesel dari berbagai jenis sumber

minyak ditampilkan pada Tabel 2.2.

Katalis

Page 6: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

10

Tabel 2.2 Karakteristik Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku

Minyak Angka Setana

Titik Awan(oC)

Titik Tuang

(oC)

Titik Nyala(oC)

Massa Jenis(kg/l)

Nilai

Iodine

Biji Kapas 51 - -4 110 - -Kedelai 45 1 -7 178 0,885 117-143Kcang Tanah 54 5 - 176 0,883 80-106Sawit 62 13 - 164 0,880 35-61Bunga Matahari 49 1 - 183 0,860 110-145Diesel 50 - -16 76 0,885 -Sumber : Chopade dkk., 2012.

Minyak yang dihasilkan dari berbagai sumber akan memberikan

spesifikasinya masing-masing sehingga biodiesel yang dihasilkan akan

mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena

komposisi kandungan asam lemak dan jenis asam lemak yang terkandung di

dalam bahan baku [Budiawan dkk, 2013]. Faktor penting yang perlu diperhatikan

dalam pemilihan bahan baku adalah kadar air, kandungan asam lemak bebas dan

harga bahan baku tersebut. ALB yang tinggi dapat disebabkan oleh kadar air yang

terkandung di dalam minyak atau lemak. Air ini harus dihilangkan karena dapat

bereaksi dengan katalis sehingga menyebabkan jumlah katalis berkurang [Taufiq

dkk., 2011].

Minyak nabati akan direaksikan dengan alkohol dengan reaksi

transesterifikasi membentuk biodiesel. Alkohol yang paling umm digunakan

untuk pembuatan biodiesel adalah metanol. Metanol atau yang lebih dikenal

dengan alkohol kayu atau metil alkohol mempunyai rumus molekul CH3OH

merupakan turunan alkohol yang paling sederhana. Metanol adalah cairan yang

tidak berwarna, volatil dan mudah terbakar. Sifat-sifat fisika metanol dapat dilihat

pada Tabel 2.3.

Page 7: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

11

Tabel 2.3 Sifat-sifat Fisika Metanol

Parameter NilaiWujud Cairan tidak berwarnaMassa Molar (gr/mol) 32,04Specific gravity 0,7918Titik Leleh (oC) -97Titik Didih (oC) 64,7

Sumber: Perry dan Green, 1999.

Penggunaan metanol dengan kemurnian tinggi pada pembuatan biodiesel

dapat meminimalkan hidrolisa minyak atau lemak serta meminimalkan

pembentukan sabun akibat kadar air yang terdapat di dalam alkohol. Keunggulan

lain yang dimiliki metanol dibandingkan etanol adalah harga yang lebih murah

dan lebih reaktif karena rantai karbonnya lebih pendek sehingga dapat membentuk

reaksi biodiesel yang lebih stabil [Budiawan dkk., 2013].

2.4.2 Katalis

Katalis merupakan suatu bahan yang ditambahkan untuk menurunkan

energi aktivasi tanpa ikut bereaksi sehingga dapat mempercepat laju reaksi.

Berdasarkan fasanya katalis dapat dibedakan menjadi dua yaitu katalis homogen

dan heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama

dengan fasa reaktannya sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang

fasanya berbeda dengan fasa reaktannya [Helwani dkk., 2009]. Pada tahap

esterifikasi katalis yang digunakan yaitu katalis homogen, sedangkan pada tahap

transesterifikasi menggunakan katalis heterogen.

2.4.2.1 Katalis Homogen Asam untuk Esterifikasi

Pada reaksi esterifikasi, katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter

asam kuat sehingga asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation

asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial

[Hikmah dan Zuliyana, 2010]. Biasanya reaksi dengan menggunakan katalis asam

efektif bekerja pada perbandingan rasio molar antara minyak dan alkohol yang

tinggi, tekanan dan temperatur rendah dan konsentrasi katalis asam yang cukup

tinggi [Taufiq dkk., 2011].

Page 8: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

12

Hayyan dkk., [2011] telah meneliti pengaruh konsentrasi katalis asam

sulfat pada reaksi esterifikasi Sludge Palm Oil (SPO) dalam konversi ALB

menjadi biodiesel. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar ALB menurun dari

23,2% menjadi kurang dari 2% pada konsentrasi katalis H2SO4 1%-b. Sedangkan

untuk konversi ALB menjadi biodiesel tertinggi didapat pada konsentrasi katalis

H2SO4 1,5% yaitu berkisar 98%. Naluri dkk., [2015] juga telah melakukan

penelitian terhadap penurunan kadar ALB di dalam minyak dari sawit off grade

menggunakan katalis H2SO4 dengan konsentrasi 1%-b dapat menurunkan kadar

ALB dari 12,02% menjadi 1,22%. Pengaruh konsentrasi katalis asam sulfat

terhadap Penurunan Kadar ALB dan konversi ALB menjadi biodiesel ditampilkan

pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Pengaruh Konsentrasi Katalis H2SO4 terhadap Penurunan Kadar

ALB dan Konversi ALB menjadi Biodiesel [Hayyan dkk., 2011]

2.4.2.2 Katalis Heterogen Basa untuk Transesterifikasi

Katalis yang digunakan pada reaksi transesterifikasi dapat berupa katalis

homogen ataupun heterogen. Penggunaan katalis homogen memiliki beberapa

kelemahan seperti sulitnya proses pemisahan katalis dengan produk karena katalis

homogen berada pada fasa yang sama dengan reaktan dan produk, serta katalis

homogen tidak bisa digunakan kembali setelah reaksi [Helwani dkk., 2009].

Katalis homogen tersebut dapat digantikan dengan katalis heterogen yang lebih

Page 9: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

13

ramah lingkungan, lebih mudah dipisahkan sehingga menghasilkan produk yang

lebih murni, serta dapat digunakan kembali [Taufiq dkk., 2011].

Katalis heterogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang berbeda

dengan reaktan. Katalis heterogen banyak digunakan pada reaksi transesterifikasi

trigliserida untuk menghasilkan biodiesel, diantaranya CaO, NaOH/Al2O3,

KOH/zeolit alam dan lain-lain. Katalis heterogen yang akan digunakan adalah

Natrium Oksida (Na2O) dari Natrium Nitrat (NaNO3) yang diembankan ke dalam

serbuk besi.

Penggunaan logam natrium yang dimodifikasi telah diteliti sebelumnya

oleh Taufiq dkk., [2011] dengan menggunakan logam natrium yang berasal dari

larutan NaOH untuk memodifikasi support oksida logam berupa Al2O3. Kondisi

optimum pada reaksi transesterifikasi berbahan baku CPO menggunakan katalis

heterogen ini adalah pada penambahan jumlah katalis 3% berat minyak sawit,

suhu reaksi 60oC, rasio molar metanol: minyak 15:1, dan waktu reaksi 3 jam.

Pengaruh penambahan jumlah katalis terhadap perolehan biodiesel ditampilkan

pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Pengaruh Jumlah Katalis NaOH/Al2O3 terhadap Konversi CPO

menjadi Biodiesel pada Tahap Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]

Page 10: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

14

a. Serbuk Besi

Besi adalah logam transisi yang paling banyak dipakai karena relatif

melimpah di alam dan mudah diolah. Bijih besi biasanya mengandung hematite

(Fe2O3) yang dikotori oleh pasir (SiO2) sekitar 10 %, serta sedikit senyawa sulfur,

fosfor, aluminium, dan mangan. Besi adalah logam yang paling banyak dan paling

beragam penggunaannya. Hal itu karena beberapa hal, diantaranya adalah

kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar, pengolahannya relaif mudah dan

murah, serta besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah

dimodifikasi [Diyanto dan Sulardjaka, 2012]

Gambar 2.5 Serbuk Besi [Adeyanju dan Manohar, 2011]

Serbuk besi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 sebagian besar

merupakan produk sampingan dari proses grinding, filling, dan milling dari

produk besi. Serbuk besi yang memiliki komposisi terbesar Fe2O3 sebanyak

93,14% merupakan padatan berwarna hitam yang tidak berbau dan tidak larut

dalam air [Adeyanju dan Manohar, 2011]. Serbuk besi merupaan bahan yang

bersifat feromagnetik yaitu benda yang dapat ditarik dengan kuat oleh magnet.

Sifat fisik dari serbuk besi dapat dilihat pada Tabel 2.4

Page 11: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

15

Tabel 2.4 Sifat Fisik Serbuk Besi

Sifat NilaiSpecific gravity 4,5Densitas (kg/m3) 1.946,7BET Surface Area (m2/g) 13,73

Sumber: Adeyanju dan Manohar, 2011.

b. Natrium Oksida

Natrium oksida adalah senyawa kimia dengan rumus Na2O. Senyawa ini

biasanya digunakan dalam pembuatan keramik dan gelas, meskipun tidak dalam

bentuk murni dan merupakan basa anhidrida dari senyawa NaOH. Sehingga

ketika air ditambahkan ke natrium oksida maka NaOH akan terbentuk.

Pada penelitian ini, Na2O terbentuk karena proses penambahan H2O pada

senawa NaNO3 selama proses impregnasi dengan serbuk besi dengan reaksi:

H2O + 2 NaNO3   2 HNO3 + Na2O

Penggunaan Na2O sebagai katalis pada pebuatan biodiesel sudah

dilakukan oleh Martinez dkk., [2013] dengan cara memodifikasinya menggunakan

zeolit NaX. Senyawa Na2O berasal dari natrium asetat (C2H3Na2O) yang

diimpregnasi dengan zeolit NaX. Hasil impregnasi kemudian dipanaskan dengan

suhu 110oC dan dikalsinasi pada suhu 550oC selama 3 jam. Hasil yang didapatkan

menunjukkan bahwa Na2O merupakan bahan dengan situs basa yang kuat

sehingga meningkatkan reaktifitas. Pembentukan metil ester terbesar sekitar

99,3% didapatkan pada komposisi katalis Na2O-4,5%/NaX dengan nilai basicity

sekitar 0,6335 mmol/g

2.4.3 Waktu Reaksi

Waktu reaksi berbanding lurus dengan konversi yaitu semakin lama waktu

reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan

menghasilkan konversi yang besar [Helwani dkk., 2009]. Jika kesetimbangan

reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan

menguntungkan karena tidak memperbesar hasil. Menurut Taufiq dkk., [2011]

konversi biodiesel dengan bahan baku CPO meningkat dalam selang waktu 1 – 3

Page 12: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

16

jam. Hubungan waktu terhadap konversi CPO menjadi biodiesel ditampilkan pada

Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel

pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]

Gambar 2.6 menampilkan pengaruh waktu reaksi terhadap konversi

biodiesel, dengan rentang waktu yang digunakan yaitu 1 hingga 7 jam. Pada jam

pertama hingga ketiga perolehan biodiesel terus meningkat namun setelah 4 jam,

konversi biodiesel mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena reaksi yang

terjadi merupakan reaksi bolak – balik (reversible) sehingga setelah mencapai

waktu reaksi setimbang (3 jam reaksi) terjadi pergeseran kesetimbangan ke arah

reaktan [Taufiq dkk., 2011].

2.4.4 Suhu Reaksi

Suhu reaksi berbanding lurus dengan yield biodiesel yang dihasilkan yaitu

semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak biodiesel yang

dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan Archenius. Bila suhu naik maka harga

konstanata laju raksi makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil

konversi makin besar [Hikmah dan Zuliyana, 2011]. Dalam berbagai penelitian

suhu reaksi optimal untuk pembuatan biodiesel adalah berkisar 45 – 65 oC

[Hayyan dkk., 2010]. Namun, peningkatan yield biodiesel hanya sampai suhu

60oC saat suhu reaksi dinaikkan yield biodiesel semakin menurun.

Page 13: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

17

Taufiq dkk., [2011] dan Naluri dkk., [2015] memperoleh konversi CPO

menjadi biodiesel tertinggi pada suhu reaksi 60oC dan saat suhu reaksi dinaikkan

perolehan biodiesel menjadi berkurang. Hal ini terjadi karena pada suhu ini telah

melewati titik didih metanol 65oC, sehingga sebagian metanol mengalami

perubahan fasa dari cair menjadi gas. Terjadinya perubahan fasa metanol ini

menyebabkan jumlah metanol dalam fasa cair berkurang sehingga jumlah

tumbukan efektif untuk menghasilkan biodisel semakin berkurang [Taufiq dkk.,

2011].

Gambar 2.7 Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Konversi CPO menjadi Biodiesel

pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]

2.4.5 Rasio Molar Metanol terhadap Minyak

Rasio molar merupakan perbandingan jumlah mol antara bahan baku

minyak dengan pelarut yang digunakan yaitu alkohol dalam reaksi. Pada reaksi

esterifikasi berdasarkan stoikiometrinya satu mol metanol cukup untuk bereaksi

dengan satu mol asam lemak bebas, namun karena reaksi berjalan bolak balik

(reversible) maka ditambahkan metanol berlebih agar reaksi bergerak ke arah

produk. Sedangkan pada reaksi transesterifikasi untuk setiap satu mol trigliserida

membutuhkan tiga mol alkohol sehingga dapat memperoleh tiga mol alkil ester

dan satu mol gliserol [Budiawan dkk., 2013 ; Taufiq dkk., 2011].

Page 14: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

18

Taufiq dkk., [2011] telah mempelajari pengaruh rasio mol metanol :

minyak sawit antara 6:1 hingga 18:1. Pada reaksi transesterifikasi minyak sawit

dengan kondisi operasi berlangsung pada jumlah katalis 3% berat minyak, suhu

60oC, dan waktu reaksi 3 jam. Pengaruh rasio mol reaktan terhadap konversi CPO

menjadi biodiesel ditampilkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pengaruh Rasio Mol Metanol : Minyak Sawit terhadap Konversi

CPO menjadi Biodiesel pada Proses Transesterifikasi [Taufiq dkk., 2011]

Pada Gambar 2.8 dapat dilihat bahwa konsentrasi mol metanol optimal

terhadap sampel adalah 15:1 dengan konversi CPO menjadi biodiesel yang

diperoleh sebesar 99%. Bila konsentrasi metanol ditingkatkan, konversi menjadi

turun. Hal ini karena penambahan metanol berlebih melewati batas optimum akan

meningkatkan pembentukan gliserol dan emulsi [Taufiq dkk., 2011]

2.4.6 Laju Pengadukan

Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat

pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi

sempurna. Semakin cepat pengadukan maka semakin besar frekuensi tumbukan

antar partikel sehingga reaksi akan lebih cepat mencapai kesetimbangan. Sesuai

dengan persamaan Archenius bahwa semakin besar tumbukan maka semakin

besar pula harga konstanta kecepatan reaksi [Hikmah dan Zuliyana, 2010]

Page 15: BAB II_tinjauan pustaka_Biodiesel

19

Karunia dkk., [2013] telah mempelajari pengaruh kecepatan pengadukan

pada penelitian produksi biodiesel dari Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) secara

esterifikasi dengan variasi kecepatan pengadukan 100 - 300 rpm dihasilkan

konversi PFAD menjadi biodiesel tertinggi sebesar 38,37% terjadi pada kecepatan

pengadukan 300 rpm. Hayyan dkk., [2011] juga telah melakukan penelitian

dengan mempelajari pengaruh laju pengadukan terhadap penurunan kadar ALB

dan konversinya menjadi biodiesel. Variasi kecepatan pengadukan yang diberikan

adalah 200 – 800 rotation per minute (rpm). Pengaruh laju pengadukan terhadap

penurunan kadar ALB dan konversinya menjadi biodiesel ditampilkan pada

Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kadar ALB dan

Konversi ALB menjadi Biodiesel [Hayyan dkk., 2011]

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa penurunan kadar ALB cukup

signifikan yaitu dari 23,2% hingga kurang dari 2% dan konversi tertinggi dicapai

pada kecepatan pengadukan 400 rpm yaitu sebesar 94,78%. Namun dengan

meningkatkan kecepatan pengadukan melebihi 400 rpm hanya akan memberikan

dampak negatif karena konversi menurun sedangkan konsumsi energi semakin

meningkat [Naluri dkk., 2015]