BAB III TAHAPAN PERANCANGAN 3.1 3.1 - UKSW

24
13 BAB III TAHAPAN PERANCANGAN 3.1 Pra Produksi Dari kerangka pikir perancangan karya film dokumenter di atas, penulis menjabarkan serangkaian tahapan perancangan, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam pembuatan film ini. Tahap ini merancang konsep film dokumenter yang akan dibuat, termasuk juga menyusun seluruh persiapan dan aktivitas sebelum melakukan produksi. 3.1.1 Sumber Informasi Sumber informasi mula-mula yang penulis dapatkan dalam proses ini adalah rujukan internet mengenai pengolahan ampas kopi dari periode waktu yang diteliti, yaitu dari mulainya era kopi gelombang ketiga (third wave coffee) pada awal dekade kedua (2010) hingga tahun 2018 ini. 9 Selain itu, penulis juga menggunakan sumber buku, arsip, dan kliping media massa. Selain sumber pustaka, penulis juga mendapat informasi dari beberapa narasumber primer pada film ini seperti Wahyu Menyink sebagai petani urban di Salatiga, Probo Gozali sebagai pebisnis ampas kopi di Jakarta, dan Nugraheni Widyawati sebagai pengamat manajemen sampah di Salatiga. 3.1.2 Riset Pengantar Riset pengantar yang dilakukan oleh penulis dilakukan sesuai dengan standar-standar metodologi penelusuran kepustakaan, terutama pustaka yang ada di internet, dan juga observasi lapangan. Tujuan riset pengantar adalah untuk menemukan petunjuk awal yang bisa digunakan untuk penulisan storyline serta penentuan lokasi dan sumber-sumber pustaka lain yang dibutuhkan. 9 5 Langkah Memulai Bisnis Olah Ampas Kopi”. Diakses pada 6 September 2019. https://majalah.ottencoffee.co.id/5-langkah-memulai-bisnis-olah-ampas-kopi/

Transcript of BAB III TAHAPAN PERANCANGAN 3.1 3.1 - UKSW

13

BAB III

TAHAPAN PERANCANGAN

3.1 Pra Produksi

Dari kerangka pikir perancangan karya film dokumenter di atas, penulis

menjabarkan serangkaian tahapan perancangan, yang kemudian akan dijadikan

acuan dalam pembuatan film ini. Tahap ini merancang konsep film dokumenter

yang akan dibuat, termasuk juga menyusun seluruh persiapan dan aktivitas

sebelum melakukan produksi.

3.1.1 Sumber Informasi

Sumber informasi mula-mula yang penulis dapatkan dalam proses ini

adalah rujukan internet mengenai pengolahan ampas kopi dari periode waktu

yang diteliti, yaitu dari mulainya era kopi gelombang ketiga (third wave

coffee) pada awal dekade kedua (2010) hingga tahun 2018 ini.9 Selain itu,

penulis juga menggunakan sumber buku, arsip, dan kliping media massa.

Selain sumber pustaka, penulis juga mendapat informasi dari beberapa

narasumber primer pada film ini seperti Wahyu Menyink sebagai petani

urban di Salatiga, Probo Gozali sebagai pebisnis ampas kopi di Jakarta, dan

Nugraheni Widyawati sebagai pengamat manajemen sampah di Salatiga.

3.1.2 Riset Pengantar

Riset pengantar yang dilakukan oleh penulis dilakukan sesuai dengan

standar-standar metodologi penelusuran kepustakaan, terutama pustaka yang

ada di internet, dan juga observasi lapangan. Tujuan riset pengantar adalah

untuk menemukan petunjuk awal yang bisa digunakan untuk penulisan

storyline serta penentuan lokasi dan sumber-sumber pustaka lain yang

dibutuhkan.

9 “5 Langkah Memulai Bisnis Olah Ampas Kopi”. Diakses pada 6 September 2019.

https://majalah.ottencoffee.co.id/5-langkah-memulai-bisnis-olah-ampas-kopi/

14

Sumber-sumber pustaka terkait pengolahan ampas kopi yang bisa

diandalkan untuk riset pengantar adalah:

No. Penulis Judul Tahun Terbit Penerbit/Sumber

1. Nugraheni

Widyawati

Urban

Farming –

Gaya Bertani

Spesifik Kota

2013 Lily Publisher,

Yogyakarta

2. Amanda

Cameron dan

Sean

O’Malley.

“Coffee

Ground

Recovery

Program”

dalam Planet

Ark Summary

Report,

Januari 2016.

Hlm 3-7.

Coffee

Ground

Recovery

Program

Januari 2016 Planet Ark

Summary Report,

planetark.org

Tabel 3.1. Daftar Pustaka Riset Pengantar

3.1.3 Desain Produksi

Desain produksi film dokumenter “Emas itu Ampas” meliputi beberapa

rincian yaitu:

a. Kategori : Non-Fiksi

b. Format : .MP4 Video

c. Judul : Emas itu Ampas

d. Tema : Potensi dan Peluang Bisnis Olah Ampas Kopi

e. Rumah Produksi : Personal (Rumah Film Kombang)

f. Sasaran : Pebisnis Kopi

g. Genre : Dokumenter Ilmu Pengetahuan

15

h. Tujuan : Menyusun film dokumenter yang komprehensif

mengenai peluang pengolahan ampas kopi, sehingga pebisnis kopi bisa

memahami model ekonomi hijau, sekaligus mendorong para pebisnis

kopi untuk memberi perhatian lebih terhadap masalah sekaligus peluang

ini.

i. Dimensi dan Durasi : 1920x1080, Widescreen 16:9, dengan durasi 20

menit

3.1.4 Latar Belakang Judul

Judul “Emas itu Ampas” diambil sebagai bentuk refleksi terhadap

limbah ampas kopi yang sebenarnya masih bisa dialihfungsikan menjadi

barang lebih berguna dan bernilai ekonomi. Frasa ‘emas’ diambil oleh

penulis, sebagai simbolisasi akan sesuatu yang berharga dan bernilai. Penulis

ingin menekankan bahwa ‘emas’ tidak selalu berwujud logam emas yang

dijual sebagai perhiasan, melainkan nilai ‘emas’ itu juga ada dalam ampas

kopi sekalipun.

3.1.5 Latar Belakang Sasaran

Secara spesifik, film dokumenter ini akan menyasar penonton dengan

pembagian segmentasi berdasarkan 3 hal berikut:

a. Segmentasi Geografis

Pebisnis kopi yang berada di Salatiga. Alasan penulis

memilih Salatiga sebagai salah satu kota yang akan diteliti

karena asas kedekatan (proximity) dengan lokasi penulis

berada.

b. Segmentasi Demografis

Jenis Kelamin : Laki-laki dan Perempuan

Usia : 18-35 tahun

Status Ekonomi Sosial : Menengah ke atas

c. Segmentasi Psikografis

Pebisnis kopi di Salatiga, baik perempuan dan laki-laki di

usia 18-35 tahun yang menyukai kegiatan nongkrong dan

16

minum kopi di kedai kopi, karena pebisnis kopi di Salatiga,

terutama yang terhimpun dalam Kopi Lovers Salatiga

(KOPLO), mempunyai agenda tidak terstruktur untuk

mengunjungi dari satu kedai ke kedai kopi lainnya.

3.1.6 Penjadwalan Proses Pembuatan Film

No. Kegiatan Waktu Target

Pra Produksi

1. Riset pengantar 2 minggu Mendapatkan data untuk mendukung

perancangan produksi

2. Perencanaan

Produksi

3 minggu ● Manajemen kru dan peralatan

● Budgeting

● Menghasilkan naskah film yang

didasarkan dari hasil riset, termasuk

verifikasi informasi.

● Menentukan narasumber, lokasi,

dan jadwal shooting

Produksi

3. Shooting 1,5 bulan Mengumpulkan materi hasil

wawancara dengan narasumber

Mengumpulkan stock footage

berdasarkan shot list

Pasca Produksi

4. Editing 3 minggu -

5. Promosi 1 minggu Menjalin kerjasama screening dengan

komunitas kopi di Salatiga

6. Screening 1 hari Nonton bareng, Diskusi, Sebar Kuisioner

Tabel 3.2.Rencana Jadwal Produksi

17

3.1.7 Estimasi Biaya

Pra Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Administrasi (ATK, Kertas, dll) 1 100.000,- 100.000,-

Pembuatan Proposal 1 50.000,- 50.000,-

Subtotal 150.000,-

Pembelian Peralatan Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Boya MY-M1 Lavalier Mic 1 150.000,- 150.000,-

Tas Kamera KEE 1 150.000,- 150.000,-

Hardisk WD 2TB 1 1.100.000,- 1.100.000,-

Subtotal 1.400.000,-

Operasional Unit/Day Rate (Rp) Amount (Rp)

Tiket kereta PP Semarang-Jakarta 1 435.000,- 435.000,-

Transport dalam Kota 1/5 50.000,- 250.000,-

Sewa Komputer 1/7 10.000,- 70.000,-

Subtotal 705.000,-

Pasca Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)

Copy Master 3 20.000,- 60.000,-

Pembuatan Laporan TA 3 25.000,- 75.000,-

Publikasi Acara 1 100.000,- 100.000,-

Screening Film dan Uji Publik 200.000,- 200.000,-

Subtotal 435.000,-

TOTAL 2.690.000

Tabel 3.3. Estimasi Biaya

3.1.8 Sinopsis

Wahyu Menyink sudah lama tinggal di Salatiga, sekitar 5 tahun. Namun

baru 3 tahun terakhir ini, ia mulai punya ketertarikan di bidang pertanian

urban. Berbekal lahan seluas 25m persegi di Salatiga, ia memulai kebun

kecilnya.

18

Sama seperti tanah manapun, tanah kebunnya juga membutuhkan

nutrisi. Melihat bisnis kopi sedang melonjak di Salatiga—karena jumlah

kedai kopinya yang terus bertambah—ia akhirnya mempunyai inisiatif

memanfaatkan ampas kopi usai seduh yang biasanya dibuang begitu saja.

Rupanya Salatiga memang belum punya satu usaha atau komunitas

yang khusus bergerak pada bidang pengolahan ampas kopi. Mereka bekerja

secara sporadis dan cenderung tidak berdampak satu sama lain. Pun,

pengolahan ampas kopi ini memang belum jadi hal yang populer dalam dunia

perkopian di Indonesia. Padahal, persoalan sampah makin menumpuk dan

seolah menemui jalan buntunya.

3.1.9 Daftar Narasumber

Film dokumenter ini akan melibatkan sejumlah narasumber yang akan

diwawancara. Para narasumber ini selain sebagai informan, tetapi juga

bertindak sekaligus sebagai tokoh dalam film ini:

1) Wahyu Menyink, Petani Urban Skala Rumahan di Salatiga,

Jawa Tengah

2) Probo Gozali, Co-Founder Rebrew Lifestyle, Perusahaan

Pengolah Ampas Kopi menjadi Produk Kecantikan seperti

coffee cleansing oil, di Jakarta Barat

3) Nugraheni Widyawati, Pengamat Pertanian Perkotaan dan

Manajemen Sampah Organik, Dosen UKSW, di Salatiga

4) Edi Purwanto, pebisnis kedai kopi Sendja di Salatiga

5) Widie Arie Nugroho, pebisnis kedai kopi Frame Coffee House

di Salatiga, dan

6) Munadi Cahyono, pebisnis kedai kopi Logos di Salatiga,

sekaligus pengolah ampas kopi menjadi pot tanaman

3.1.10 Penulisan Shooting Script

No Sequence Visual Audio Keterangan

1. Opening 1. Logo Rumah Produksi

“KOMBANG”

2. CU: Biji kopi dalam toples

1. SFX: Bunyi anjing

makan

2. MUSIC: instrumen

19

3. Fade in text “Film ini

dibuat supaya saya segera

lulus dari UKSW”

4. CU: Ceret di atas kompor

yang sedang dinyalakan

5. CU: Air mendidih

dituangkan ke dalam pour

over

6. Fade in text “FILM

DOKUMENTER KARYA

ARYA ADIKRISTYA”

7. CU: biji kopi dituangkan

ke wadah kecil di atas

timbangan digital

8. Fade in text “TIM RISET”

9. CU: Corong mesin

penggiling biji kopi

10. CU: jarum thermometer

pour over bergerak ke arah

90 derajat celcius

11. CU: bubuk kopi halus

dalam gelas diseduh

12. MS: barista mengantar

kopi dari meja bar hingga

ke meja pelanggan

13. Fade in text judul “EMAS

ITU AMPAS”

(DIP TO BLACK)

pelan piano

3. SFX: Bunyi air

dituangkan ke

dalam pour over

4. SFX: Bunyi biji

kopi dituangkan ke

wadah

5. SFX: Bunyi mesin

penggiling biji

6. SFX: Bunyi air

menyeduh

7. Musik fade out

2. Introduction

(Persoalan

Sampah

Ampas

Kopi)

(FADE IN)

1. MS: Siluet rumah

Wahyu Menyink

2. Perpaduan shot

eksterior rumah

Menyink

3. WS: Dimensi ruang

dapur Menyink, diikuti

menyink masuk

4. Perpaduan shot

1. MUSIC: instrument

semangat pagi

20

Menyink sedang

beraktivitas memasak

di dapur

5. MS: Interview Wahyu

Menyink

6. Fade in text

“SALATIGA”

7. Fade in text “WAHYU

MENYINK, PETANI

URBAN”

8. Kembali ke shot-shot

aktivitas dapur sebagai

insight

9. Following camera

Menyink menelusuri

kebunnya

10. MS: Interview Wahyu

Menyink

11. MS: Aktivitas Menyink

di kebun halaman

rumahnya

12. WS: Usai mengambil

beberapa bahan

masakan dari

kebunnya, Menyink

lanjut memasak di

daput

13. CU: masakan ikan tuna

14. Timelapse: Aktivitas

menyink memasak di

dapur

2. Bunyi aktivitas

Menyink di dapur

(Musik memelan)

3. MENYINK:

“Awalnya itu

nyoba hidroponik

yang sistem

sumbu”. Menyink

bercerita mengenai

awal mula dia

bercocoktanam dan

menggunakan

hidroponik, namun

gagal.

(Musik Mengeras)

4. MENYINK:

“Karna di sekitaran

rumah masih ada

halaman yang bisa

dialihfungsikan…”

Di sini dia bercerita

mengenai

alternative

bercocoktanam

lainnya yang

dicoba pasca

hidroponik

(Musik Fade out)

5. Menyink masih

bercerita mengenai

tanaman apa saja

yang ditanamnya

mula-mula

(Musik semangat

pagi masuk lagi

sebentar, lalu

memelan menjadi

21

(CUT TO)

15. MS: Interview

Nugraheni Widyawati

16. Fade in text

“NUGRAHENI

WIDYAWATI,

PETANI URBAN”

17. Combined shots dari

kegiatan Nug di Green

House

18. Following camera:

Kembali ke aktivitas

dapur Menyink

membawa limbah

dapurnya ke sebuah

kotak di belakang

rumahnya

19. WS dan CU: Menyink

sedang browsing di

depan layar

komputernya mengenai

vermicomposting

20. MS: Interview

Menyink

(CUT TO)

latar)

6. MENYINK:

“Kayaknya kalo

dibikin konsep

yang lebih menarik,

seru juga…” Di sini

dia bercerita

mengenai

pemikirannya untuk

membuat kebunnya

menjadi kebun

yang berkelanjutan

dan memulai

mengolah limbah

dapurnya sendiri

(Musik masih

mengalun)

7. NUG: “Limbah

dapur itu tidak

harus dibuang jauh-

jauh…” Nug

bercerita mengenai

sampah organic

yang sebenarnya

masih bisa kita olah

sendiri, daripada

menumpuk di TPA.

(Musik nyaring)

(Musik memelan

22

8. MENYINK:

“Waktu itu nemu

artikel di web ttg

vermicomposting.”

(Musik selesai)

3. Peluang-

peluang

Pengolahan

Ampas Kopi

dan Siapa

saja

Pegiatnya

1. Black screen

(Fade out)

2. MS: Menyink sedang

mengecek sebuah

kresek berisi cacing

tanah yang baru

dibelinya

3. CU: Menyink

memperlihatkan cacing

tanahnya

4. WS: Menyink berpisah

dengan penjua cacing,

lalu masuk ke dalam

rumah

(Dip to black)

5. Menyink membuka

bungkus dan mulai

menyebar cacingnya ke

kotak-kotak

komposnya

6. Combined shots:

Menyink mengolah

limbah organik,

mengaduk-aduk di

dalam kotak

komposnya

7. CU: Cacing tanah

8. CU, MS, WS: Menyink

membuat kotak

(Fade in)

1. Ambience suasana

depan rumah

Menyink dan

dialog antara

Menyink dengan

penjual cacing

2. Dialog antara

Menyink dengan

Tim Riset

Gulmakultur

3. MENYINK:

“Dalam konsep

vermicomposting

yang diutamakan

adalah budidaya

kotoran cacingnya,

bukan cacingnya.”

Pada bagian ini

Menyink

menceritakan

tentang konsep

dasar

vermicomposting

dan apa bedanya

dengan sistem

composting yang

lainnya.

23

kompos cacing tanah

9. CU Timelapse:

pergerakan cacing

tanah dalam waktu 30

menit sejak disebar

10. WS: Menyink

berinteraksi dengan

pemilik kedai kopi

11. Interview: Nugraheni

(MS)

12. WS, MS: kondisi

sekitar TPA di Salatiga

dan orang-orang yang

bekerja di TPA tsb

13. WS: Menyink

4. MENYINK: “Yang

menjadi kendala,

ini sumber

makanan untuk

cacingnya mulai

berkurang. Dan

saya harus cari

alternatif lain.”

Pada bagian ini

Menyink bercerita

mengenai

pikirannya untuk

memanfaatkan

ampas kopi untuk

sumber pangan

cacingnya.

5. NUG: “Yang

menjadi masalah

itu sebenarnya,

kalau orang kota itu

kan dia kepengen

apa-apa itu bersih

lingkungannya,

sehingga pendauran

sampahnya ada di

luar lingkungannya

dia. Alias di TPS”

Pada bagian ini

Nug bercerita

bahwa imbas dari

pendauran di luar,

maka masyarakat

kota menjadi gagap

dalam mengatur

sampahnya sendiri.

6. MUSIC: Instumen

24

mengeluarkan motor

dari rumah

14. Following camera:

Menyink nyetir motor

menuju sebuah kafe,

lalu parkir

15. CU: Logo Sendja

16. Following camera:

Menyink masuk ke

dalam kafe, lalu saling

sapa dengan Pemilik

Kafe.

17. Interview: Menyink

(MS)

18. Following camera:

Menyink masuk ke

dalam kafe lagi di hari

yang berbeda, lalu

memindahkan ampas

kopi ke wadah kosong

yang baru dibawanya.

19. CU & Timelapse Plakat

Sendja Koffie dari sore

hingga malam

20. Fade in para pelanggan

Sendja Koffie sedang

saling berinterasi

(kombinasi MS dan

WS footage)

21. WS: Edi Purwanto,

pemilik Sendja Koffie,

sedang berinteraksi

dengan pelanggan di

bar

22. MS Interview Edi

Purwanto, Pebisnis

akustik

(Musik menjadi

latar)

7. MENYINK:

“Selama ini aku

bekerja sama

dengan salah satu

kafe namanya

Sendja Koffie.”

Pada bagian ini

Menyink bercerita

mengenai

rutinitasnya

mengambil ampas

kopi di Sendja

(Musik yang sama

masih mengalun

dan makin nyaring)

25

Kopi.

23. CU: Ampas kopi yang

menjamur karena tidak

diolah

(CUT TO)

24. WS: Pintu depan Logos

Cafe

25. WS: interior Logos

26. WS: Munadi turun dari

tangga, menuju ke meja

bar

27. MS: Interview Munadi

28. WS: kegiatan sehari-

hari di Logos

29. CU: ampas kopi

(Musik jadi latar)

8. EDI: “Kalau

kemarin ampas

kopi tidak diambil,

biasanya aku

kumpulin, Soalnya

kata temen bisa

buat kontrol semut

menyerang

taneman.” Pada

bagian ini Edi

bercerita ttg ampas

kopi yang dia

gunakan untuk

beberapa keperluan

kafenya, namun

secara tidak

langsung dia juga

terjebak

monotonitas dan

tidak ada inovasi.

(musik mengeras lagi)

(musik memelan)

9. MUNADI:

“Mengolah sesuatu,

pasti ada limbah-

limbah produk

kita.” Pada bagian

ini Munadi

membicarakan

tentang

pengalamannya

berbisnis kopi

sambil mengolah

ampas kopi di

26

30. Kombinasi WS, MS,

CU slow motion

exterior dan interior

Frame Coffee House,

sampai ke proses

pembuatan kopinya

31. Track shot: barista

Frame Coffeehouse

mengantar pesanan ke

meja pelanggan

32. MS: Tumpukan ampas

kopi dalam kemasan

kantong kresek.

33. MS: Interview Munadi

34. MS: Interview

Menyink

kafenya menjadi

pot tanaman hias.

(musik selesai)

10. MUNADI: “Paling

banyak limbah di

sini adalah ampas

kopi.”

11. MUSIC: meditative

instrumen

12. WIDI: “Sampah

ampas kopi belum

tau mau saya

apakan. Belum ada

gambaran bisa

diolah seperti apa.”

Pada bagian ini

Widi menceritakan

tentang

pengalamannya

memperlakukan

sampah ampas

kopi.

13. WIDI: “Saya juga

sebenarnya

fokusnya juga pada

operasional kafe.

Sehingga tidak

punya tenaga lagi

untuk memikirkan

pengolahan ampas

kopi”

14. MUNADI:

“Sebenarnya bisa

meluangkan waktu

satu dua jam per

hari untuk

mengolah limbah

kita sendiri. Kalau

kegiatan kafe terus,

kita akan jenuh.”

27

35. WS, MS, CU Menyink

mengolah ampas kopi

menjadi pupuk cacing.

(DIP BLACK TO)

36. WS: Salah satu peron

di stasiun Semarang

Tawang

37. CU: Papan jadwal

keberangkatan

38. Kombinasi WS, MS,

CU di dalam gerbong

kereta. Untuk

menekankan kesan

perjalanan.

39. WS: Stasiun Pasar

Senen

40. Suasana Local Market

di Jakarta with text

“JAKARTA”

41. WS, CU: Stand Rebrew

di Local Market,

Jakarta, bersama

dengan timnya.

42. MS: Interview Probo

Gozali

15. MENYINK:

“Kenapa aku pilih

ampas kopi karena

itu hal terdekat dari

rumah.” Menyink

mengemukakan

bahwa efisiensi

pengolahan ampas

kopi juga terletak

dari ketersediaan

limbah terdekat.

16. MENYINK:

“Keuntungan yang

aku beri ke mereka,

belum secara

finansial. Tapi

paling tidak aku

bisa ngasih tau ke

mereka bahwa

ampas kopinya bisa

dibuat menjadi

sesuatu.”

(musik selesai)

17. AMBIENCE:

stasiun semarang

tawang

18. MUSIC: Travelling

Midnight music

(Musik memelan)

19. PROBO: “ReBrew

28

43. MS: Interaksi tim

rebrew dengan para

pengunjung di Local

Market

itu startingnya

2017.” Pada bagian

ini Probo

memperkenalkan

apa itu Rebrew dan

model bisnis ampas

kopi seperti apa

yang dilakukannya.

(Musik selesai)

4. Ending 1. Interview: Probo

Gozali

2. MS: Anomali Coffee

exterior

3. Interior Anomali

4. Interview: Probo

Gozali

5. Interview: Wahyu

menyink

6. Interview: Edi

Purwanto

7. Interview: Munadi

Cahyono

1. MUSIC:

Meditative

Ambience

2. PROBO: “Untuk

mendapatkan

ampas kopi yang

berkualitas, kami

bekerjasama

dengan anomali

coffee.”

3. MENYINK: “Aku

kira tidak ada

tempat usaha yang

kalo ampas kopinya

diminta akan

berkeberatan.”

4. EDI: “Misalnya

besok-besok ada

batu bata yang

terbuat dari ampas

kopi, pasti bakalan

tak sambi jualan

sambil sortir

ampasku sendiri.”

5. MUNADI: “Kalo

saya jenis orangnya

penasaran. Punya

ide apa, ya tak

praktekkan. Nanti

masalah hasil

belakangan.”

29

8. Interview: Widi Arie

9. Insert: Deutsche Welle

news about coffee cup

made from coffee

waste

10. CU: Produk olahan

ampas kopi dari

Rebrew

11. MS: Toples-toples kopi

12. CU: Biji kopi

ditimbang

13. CU: Edi membuat kopi

manual brew V60

14. Interview: Menyink

15. MS: Menyink mengisi

kotak cacingnya

dengan ampas kopi

yang baru didapat dari

kafe

16. Interview: Edi

17. Interview: Nugraheni

18. Interview: Menyink

6. WIDI: ”Aku sendiri

baru ngerti lho ada

aspal dan cangkir

dari ampas kopi.

Ya mungkin karena

selama ini pebisnis

kopi hanya fokus

pada hasil akhir di

cangkir akhirnya

potensi di limbah

ini terabaikan.”

(Musik mengeras)

7. MENYINK:

“Semoga ini bisa

memacu temen2

kreatif lainnya

untuk mengeksplor

potensi ampas kopi

di sekitarnya.”

8. EDI: “Misalnya

besok-besok ada

batu bata yang

terbuat dari ampas

kopi, pasti bakalan

tak sambi jualan

sambil sortir

ampasku sendiri.”

9. NUG: “Pangan itu

kan sangat penting

ya. Bukannya

keindahan dan

kenyamanan hidup

saja. Percuma

bersih kalo tidak

ada pangan.

10. MENYINK:

30

19. Logo Rumah Film

Kombang

20. Credit

“Mereka sebagai

pekerja bisnis kopi

akan sadar dampak

yang mereka

lakukan.”

(Musik fade out sampai

selesai) Tabel 3.4.Shooting Script

3.2 Produksi

Untuk memberi sentuhan estetika pada film dokumenter, ada empat topik

utama yang menjadi pedoman pematangan ide dan konsep yaitu pendekatan, gaya,

bentuk, dan struktur. Keempat konsentrasi ini berguna bagi dokumentaris dalam

memberi sentuhan estetika, sehingga film yang dibuat akan lebih persuasif bagi

target penonton. (Ayawaila, 2008)

3.2.1 Pendekatan, Gaya, Bentuk, dan Struktur

Titiktolak pendekatan film dokumenter secara umum ada

dua jenis, yakni naratif dan esai. Namun secara khusus, penulis

akan menggunakan pendekatan esai dalam film dokumenter ini.

Pendekatan esai adalah sebuah teknik mengantarkan cerita kepada

penonton tidak menggunakan narasi atau voice-over. Dengan kata

lain, pendekatan esai akan menggunakan subyek-subyek atau

narasumber di dalam film yang akan menjadi pentutur ceritanya

masing-masing dengan sudut pandang yang variatif pula.

Dalam gaya, penulis akan menggunakan gaya semi-serius

dan observatif (observational documentary), seperti yang

diaplikasikan dalam film Searching for Sugarman karya Malik

Bendjelloul. Gaya ini adalah turunan dari pendekatan esai yang

mana tidak menggunakan voice-over.

Sedangkan untuk bentuk penuturan, penulis akan

menggunakan bentuk laporan perjalanan karena pengolahan ampas

masih belum begitu populer di Salatiga, maka penulis harus

31

berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan

informasi mengenai upaya-upaya pengolahan ampas kopi yang

masih sporadis ini.

Terakhir, penulis akan menggunakan struktur paling dasar

dalam pembuatan karya film dokumenter, yakni struktur tiga

babak: bagian awal cerita (pengenalan), bagian tengah (proses

konflik), bagian akhir (klimaks/kesimpulan). Ketiga bagian ini

akan disampaikan kepada penonton secara tematis, yaitu struktur

penuturan yang memiliki kemampuan merangkum penggalan-

penggalan cerita yang tidak berkesinambungan dan tidak

kronologis, yang ternyata dapat dirangkai menjadi suatu kesatuan

bingkai cerita. (Ayawaila, 2008:93)

3.2.2 Teknis Perekaman Audio-Visual

Dalam pembuatan film dokumenter ini, sistem pengambilan

materi visual dan audio akan dilakukan secara langsung, dengan

kata lain, tidak ada perekaman khusus di dalam studio. Hal ini

menjadi pertimbangan penulis karena tidak ada kru tetap selain

penulis sendiri, keterbatasan alat, dan biaya.

Alat-alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

a. Canon G7X Mark II

Gambar 3.1. Canon G7X Mark II (Sumber: google.com)

Kamera ini adalah kamera saku (pocket

camera) yang memang disegmentasikan untuk low-

32

budget filmmaker. Penulis memilih kamera ini

karena fiturnya cukup lengkap dan adaptif untuk

syuting di latar ruangan terang maupun gelap.

Selain itu, bokeh dari besarnya diafragma lensa

bawaan kamera ini juga membantu penulis untuk

membawa kesan fokus pada satu titik ketika syuting

dilakukan.

b. Boya MY-M1 Lavalier Microphone

Gambar 3.2. Boya Microphone (Sumber: google.com)

Untuk memastikan kualitas audio saat

wawancara dengan narasumber jelas dan tidak kalah

dengan noise di sekitar, penulis menggunakan

lavalier microphone dari Boya. Mikrofon klip ini

juga terjangkau secara harga, namun kualitas audio

yang dihasilkan sudah high-resolution. Selain itu,

mikrofon ini juga mempunyai fitur omnidirectional,

yang artinya mikrofon tidak hanya menangkap suara

searah dengan kepala mikrofon, melainkan

menangkap sekitar beberapa centimeter di

sekitarnya juga. Fitur ini berguna bagi penulis,

ketika mewawancara narasumber yang

33

pergerakannya banyak, atau melakukan wawancara

in action.

c. iPhone SE

Gambar 3.3. iPhone SE (Sumber: google.com)

Penulis mencantumkan alat ini, karena

telepon selular ini bisa menjadi perlengkapan

cadangan atau backup, baik untuk perekaman video

maupun audio. Untuk video, penulis akan

menggunakannya di resolusi 4K 30fps dan audio

menggunakan aplikasi Rode Microphone yang bisa

dikombinasikan dengan mikrofon Boya.

d. Zoom F1 + Shotgun Mic

Gambar 3.4. Zoom F1 Field Recorder+Shotgun Mic (Sumber:

google.com)

Alat ini adalah sound recorder untuk kondisi

yang dinamis dan banyak pergerakan, namun

dibutuhkan untuk tetap mendapat kualitas audio

34

yang jernih. Format audio yang akan digunakan

oleh penulis adalah .WAV dengan input gelombang

sekitar -6db sampai dengan -12db, sehingga

gelombang bunyi atau suara yang masuk tidak

terlalu kecil maupun terlalu keras.

e. Tripod Velbon

Gambar 3.5. Tripod Velbon (Sumber: google.com)

Tripod digunakan sebagai kaki kamera,

ketika penulis sedang mewawancara narasumber.

Tidak ada spesifikasi khusus untuk tripod.

3.2.3 Teknik Wawancara

Secara umum, wawancara dalam film dokumenter dibagi

menjadi dua jenis. Pertama, wawancara atau dengan kata lain, si

pembuat berada di luar frame kamera; kedua, adegan wawancara

yang mana mengharuskan si pembuat film berada di dalam frame

untuk mewawancarai narasumber terkait. Meski keduanya berbeda,

namun secara prinsip sama, yakni menggali informasi secara

langsung dari narasumber sebagai bahan audio-visual dalam film.

(Ayawaila, 2008:96)

Film dokumenter ini akan menggunakan teknik wawancara

di luar frame kamera. Adapun alasan penulis untuk tidak

35

menggunakan teknik adegan dikarenakan pengerjaan tidak

menggunakan kru tambahan untuk mengoperasikan kamera, ketika

penulis melakukan dialog dengan narasumber. Seluruh data yang

dihimpun dari wawancara penulis dengan para narasumber,

nantinya akan dirangkai secara tematis, tanpa ada voice over.

3.3 Pasca Produksi

Tahap ini adalah tahap terakhir dalam proses pembuatan film dokumenter,

sebelum karya film dokumenter dipublikasikan. Secara umum, ada tiga sub-

tahapan dalam pasca produksi yang meliputi editing, mixing, dan rendering.

3.3.1 Editing

Proses penyuntingan dibagi menjadi dua: offline editing dan

online editing. Kedua sub-tahapan proses ini membantu penulis

untuk menghimpun materi video maupun audio secara terorganisir,

sehingga memudahkan penulis untuk menyunting video. Selain itu,

penulis menggunakan software Adobe Premiere Pro CC 2015

untuk melakukan penyuntingan.

Secara prinsip, offline editing adalah proses tahap di mana

penyunting melihat kembali seluruh hasil syuting (master shot)

dengan memperhatikan secara selektif serta mencatat shot-shot

mana saja yang dianggap penting. Selain itu, daftar shot yang

sudah ditandai tadi dapat langsung dipotong dan diambil bagian

yang paling representatif dengan rancangan yang sebelumnya, lalu

karakter warna setiap shot juga dibuat senada. Pada tahapan ini

pula musik sudah mulai disiapkan, agar pada tahapan berikutnya

pengerjaan penyuntingan bisa lebih efisien. (Ayawaila, 2008:133)

Online editing adalah tahap di mana penyunting dengan

sutradara biasanya akan meninjau ulang hasil suntingan pada tahap

offline. Setelah meninjau ulang, tahap ini akan lebih fokus kepada

proses-proses yang meliputi struktur cerita, tempo, irama, alur

36

penuturan, serta durasi film. Gambaran yang lebih spesifik

mengenai awal, pertengahan, klimaks, hingga credit title akan

terlihat di tahap ini.

3.3.2 Mixing

Setelah penggabungan seluruh scene, tahap ini adalah tahap

penyelarasan antara materi video dengan audio (baik itu meliputi

suara dari materi video langsung atau ilustrasi musik).

3.3.3 Rendering

Proses ini merupakan babak paling terakhir dalam

penyuntingan film dokumenter. Proses ini ialah proses di mana

seluruh materi (shot, ilustrasi, musik, audio master) yang

sebelumnya terdiri dari pecahan-pecahan file, selanjutnya

dimatangkan menjadi satu file utuh. Setelah proses rendering,

maka proses pasca produksi artinya sudah selesai.