BAB III SIKAP GEREJA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT … · Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Selain...
Transcript of BAB III SIKAP GEREJA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT … · Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Selain...
-
22
BAB III
SIKAP GEREJA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
KURIMA
3.1 Pengantar
Bab ini berisikan tentang data hasil observasi dan wawancara dengan informan kunci
mengenai sikap Gereja dalam proses pemberdayaan masyarakat yang notabenenya jemaat
Baithel Polimo di Era Otonomi Khusus.
Sejalan dengan penelitian yang dimaksudkan dalam bab satu, maka dalam hal ini,
penulis akan menguraikan secara berurut kondisi umum wilayah Kurima yang juga
merupakan bagian dari suku Dani,1 latar belakang masuknya Gereja di Balim Yalimo hingga
ke Kurima, bagaimana gereja memahami otonomi khusus, seterusnya akan di lanjutkan
dengan bagaimana sikap gereja dalam pemberdayaan masyarakat.
3.2 Letak Geografis dan Demografis
Kabupaten Jayawijaya berada di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Daerah ini terdiri
atas seuntaian pegunungan yang relatif tinggi sehingga Kabupaten Jayawijaya dijuluki
pegunungan Jayawijaya. Untaian gunung di Jayawijaya yaitu; Puncak Mandala, Puncak
Yamin, dan Puncak Trikora. Selain daerah pegunungan, juga terdapat dataran rendah yaitu;
1 Sebutan “Orang Dani” yang sekarang dipakai untuk menamakan penduduk Lembah Balim
sebenarnya merupakan sebutan orang Moni, penduduk dataran tinggi Paniai, untuk menyebut penduduk Lembah
Balim. Nama Dani memiliki arti “orang asing” itu mula-mula berbunyi Ndani dan pertama kali didengar dan
digunakan oleh suatu ekspedisi yang terdiri dari orang-orang Amerika dan Belanda yang mengunjungi daerah
tempat tinggal orang Moni dalam Tahun 1926. Setelah mengalami perubahan sedikit dengan hilangnya fonem
N, nama itu menjadi Dani dan masuk dalam kepustakaan etnografi. Koentjaraningrat, “Masyarakat Terasing di
Indonesia,” (Jakarta, Gramedia 1993), 270
-
23
Lembah Baliem. Kota Wamena adalah Ibukota Kabupaten Jayawijaya yang terdapat di
Lembah Baliem.
Lembah Baliem didiami oleh suku Dani, dimana suku ini merupakan peradaban suku
yang bisa dikatakan masih sangat baru. Jika dihitung keberadaan Pulau Papua ditemukan
pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis dalam perjalanannya mencari rempah-rempah,
sedangkan suku Dani sendiri baru ditemukan pada tahun 1954 oleh Lourentz pada saat
melakukan ekspedisi ke Gunung Trikora. Sampai dengan saat ini diperkirakan Suku Dani
yang mendiami wilayah lembah Baliem merupakan generasi ke-5 Suku Dani. Suku Dani
yang mendiami daerah Lembah Baliem merupakan salah satu suku terbesar yang mendiami
Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Selain Suku Dani, Wilayah Pegunungan Tengah Papua
didiami oleh suku Ekari, Moni, Damal, Amugme dan beberapa sub suku lainnya.
Secara Astronomis Kabupaten Jayawijaya terletak pada 138°30°- 139°40¹ BT dan 3°
45¹-4° 20¹ LS. Adapun batas-batas wilayahnya yakni bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Tolikara, sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya sedangkan sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Yalimo.2
Sejarah mencatat, Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Propinsi Otonom Irian
Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2907). Pada tahun 2002 melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2002 diadakan pemekaran
2 BPS, Kabupaten Jayawijaya dalam Angka. 2009, 3.
-
24
Kabupaten Jayawijaya dengan menambah 3 kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara
Karubaga, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Yahukimo.
Karena pemekaran kabupaten yang telah terjadi pada tahun 2002 ini maka seluruh
wilayah Kurima dan orang Baliem yang berada di Kurima tergabung di dalam kabupaten
Yahukimo karena menurut letak geografi, distrik Kurima menjadi salah satu kecamatan selain
kecamatan Ninia dan Anggruk yang berada dalam bagian kabupaten Yahukimo.
Kabupaten Yahukimo merupakan kabupaten yang beribu kota di Dekai. Kabupaten
hasil pemekaran ini merupakan kabupaten dengan jumlah distrik terbanyak dari 29
kabupaten/kota di Provinsi Papua. Kabupaten ini memiliki 51 distrik, sebagai berikut. Distrik
Kurima, Distrik Ninia, Distrik Anggruk, Distrik Dekai, Distrik Obio, Distrik Suru-Suru,
Distrik Wusama, Distrik Amuma, Distrik Musaik, Distrik Pasema, Distrik Hogio, Distrik
Mugi, Distrik Soba, Distrik Werima, Distrik Tangma, Distrik Ukha, Distrik Panggema,
Distrik Kosarek, Distrik Nipsan, Distrik Ubahak, Distrik Pronggoli, Distrik Walma, Distrik
Yahuliambut, Distrik Hereapini, Distrik Ubalihi, Distrik Dirwemna, Distrik Holuwon, Distrik
Lolat, Distrik Soloikma, Distrik Sela, Distrik Korupun, Distrik Langda, Distrik Bomela,
Distrik Suntamon, Distrik Seradala, Distrik Sobaham, Distrik Kebianggama, Distrik
Kwelamdua, Distrik Kwikma, Distrik Hilipuk, Distrik Duram, Distrik Yogosem, Distrik
Kayo, Distrik Sumo, Distrik Silimo, Distrik Samenage, dan Distrik Nalca.
Secara astronomis Yahukimo terletak pada 138045’’- 1400154’ Bujur Timur dan 3039’
- 5002’ LS. Sedangkan secara geografis Yahukimo berbatasan langsung dengan Kabupaten
Jayawijaya, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Kerom di sebelah utara, Kabupaten Boven
Digoel dan Kabupaten Asmat di sebelah selatan, Kabupaten Nduga di sebelah barat dan
Kabupaten Pegunungan Bintang di sebelah timur. Kabupaten dengan luas wilayah ± 17.152
Km2 ini memiliki topografi wilayah yang cukup bervariasi antara 100 meter sampai dengan
-
25
3.000 meter diatas permukaan laut (dpl). Sebagian besar wilayahnya terdiri dari pengunungan
(dataran tinggi) yang dilalui beberapa aliran sungai dan anak sungai yang berasal dari bukit
dan gunung yang ada di sekitarnya. Dataran rendah yang ada di Kabupaten Yahukimo berupa
hutan dan rawa berair yang meliputi distrik Dekai, Seradala, Sumo, Obio, dan Suru-suru.3
Distrik Kurima merupakan distrik terluas (3,53% dari luas Kabupaten Yahukimo) dari
51 distrik di Kabupaten Yahukimo yaitu sekitar 605 km2 dan merupakan salah satu
kecamatan tertua di Yahukimo, dan menjadi salah satu titik konsentrasi persebaran penduduk
yang ada di yahukimo. Kurima dapat dicapai lebih mudah dengan menggunakan perjalanan
darat dari Wamena (Jayawijaya) dibandingkan perjalanan ke Ibu Kota Yahukimo. Jarak
tempuh antara satu desa dan desa lain di Kurima umumnya dengan berjalan kaki, melewati
jalan setapak, bukit dan lereng gunung. Jarak antara satu kampung dengan kampung lain bisa
berjam-jam bahkan berhari-hari bila dilalui dengan berjalan kaki. Penduduk yang berada di
Kurima tersebar dalam berbagai kampung-kampung terpisah dan memiliki jumlah penduduk
yang relatif sedikit. Total ada 22 kampung (desa) yang ada di Kurima dengan jumlah
penduduk yang ada di Kurima berjumlah 13,985 jiwa dan rata-rata jumlah penduduk dalam
satu kampung memiliki jumlah jiwa antara 200-600 jiwa.
3 Katalog Badan Pusat Statitik Kabupaten yahukimo, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten
Yahukimo 2013, 24-26
-
26
3.3 Karakteristik Masyarakat Kurima
3.3.1 Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Kurima biasanya bermukim di rumah-rumah tradisional Honai4 yang
terbagi atas honai laki-laki yang disebut pilamo/rumah dan honai untuk perempuan (ebe ai)
sedangkan biasanya didalam honawi terdapat tempat pertemuan untuk laki-laki yang biasa di
sebut “O Silimo”5, “Lese/lesoma” (dapur/tempat masak-masak), “Wam Awila” (kandang
Babi). Bagi masyarakat Kurima, Seorang laki-laki ketika menginjak usia lima tahun hingga
dewasa harus sudah mengenakan holim atau dikenal dengan istilah koteka sebagai busana
pria. Kaum wanita mengenakan youngal yaitu rok dari kulit kayu kering.
Budaya bahasa suku dalam sistem komunikasi ataupun sistem kekerabatan yang
dimiliki oleh masing-masing masyarakat Kurima sebagaimana terwujud dalam kehidupan
mereka sehari-hari dalam berinteraksi. Selain itu hewan babi mempunyai nilai tukar yang
tinggi sebagai aset berharga dibandingkan hewan lain. Dalam berbagai ritual tradisional yang
sering digelar masyarakat, babi menjadi tolok ukur prestise golongan tertentu. Babi sangat
penting dalam kehidupan orang Dani karena dagingnya dapat dimakan, darahnya digunakan
untuk berbagai macam upacara gaib, tulang dan ekornya dapat dibuat hiasan, tulang rusuknya
dibuat sebagai pisau untuk mengupas ubi, alat kelaminnya diikat pada gelang guna menolak
ruh jahat, dan sebagai alat tukar babi memiliki nilai ekonomi, tetapi juga untuk mengukuhkan
perdamaian dan persatuan antarkelompok kerabat maupun antarkonfederasi dalam upacara-
4 “Honai” adalah rumah yang rendah berbentuk bulat, yang terbuat dari batang-batang kayu kasar,
dindingnya terdiri dari dua deret papan kayu yang juga kasar. Atapnya berbentuk payung dan ditutupi rumput
yang diikat dan disusun berlapis-lapis. Untuk mengikat atap rumput serta bagian-bagian lain dari honai
digunakan tali rotan. Satu honai terdiri dari dua bagian, yaitu loteng dan ruang lantai dasar. Pintu masuknya
sangat rendah sehingga untuk masuk dengan cara merangkak. 5 Pengertian “O Silimo”’ secara umum sebagai arena bermain anak-anak (dari komunitas O Silimo
setempat), tempat pertemuan, tempat mengadakan pernikahan, tempat acara-acara umum. O Silimo merupakan
tempat milik bersama/umum. Tempat itu tidak dimilik oleh siapapun. O Silimo secara khusus adalah tempat
memulai atau mengadakan “inisiasi” pemuda remaja dari komunitas atau O Silimo setempat. Jadi secara tidak
langsung O Silimo merupakan tempat sakral bagi komunitas masyarakat setempat. Agus A. Alua, Nilai-Nilai
Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, (Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2003), 40
-
27
upacara pesta babi yang besar.6 Selain itu, Adat Papua tidak mengharuskan anak menuntut
ilmu yang tinggi. Anak dan kaum perempuan cenderung berperan sebagai pekerja dan mutlak
melakukan urusan domestik rumah tangga. Salah satu tugas utama istri adalah menjaga babi
sebagai aset keluarga tersebut. Ada pembagian kerja antara anggota keluarga berdasarkan
jenis kelaminnya. Anak memiliki tugas untuk bekerja dan berkebun. Peran ayah lebih
menjaga nilai-nilai adat tetap terjaga dalam keluarga tersebut.
3.3.2 Sistem Ekonomi Masyarakat
Tanah Papua merupakan pulau yang memiliki kekayaan berlipat ganda, baik dari
kearifan lokal hingga kekayaan akan alamnya berupa emas, nikel, tembaga, minyak, gas,
kayu namun pada kenyataannya mayoritas rakyat Yahukimo terkhusus pada masyarakat Dani
yang berada di Distrik Kurima masih hidup dalam taraf ekonomi konvensional dan primitif.
Hutan merupakan dapur bagi masyarakat Kurima dimana terdapat bahan makanan seperti
kelapa hutan, buah merah (Pandanus Sp) berupa buah pandan bernilai gizi tinggi yang
berkhasiat seperti gingseng, pohon kasuari, kulit pohon lawang, gaharu (kayu yang dapat di
produksi menjadi minyak wangi), dan rotan. Selain hutan, tanah juga bagaikan Ibu yang
memberi hidup sebagai tempat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Pola bercocok tanam/pertanian tradisional (Yawu & Leget)7 masyarakat Baliem bersifat
“Seminomad”. Pada bidang atau tanah yang luas dengan dikelilingi pagar khas suku Baliem,
dan dibedakan dengan parit-parit kecil atau dengan pagar batu yang disusun sedemikian rupa
sehingga tampak mengelilingi areal perkebunan, hal ini (khusus untuk dataran rendah). Untuk
masyarakat yang bercocok tanam di bagian perbukitan atau lereng-lereng gunung cukup
6 Koentjaraningrat, Masyarakat Terasing…, 273 7 Pemahaman “Yawu & Leget”, pada masyarakat suku Baliem, memiliki berbagai macam arti kata.
Kata “Yawu” sendiri memiliki makna sebagai perbuatan (berbuat), atau bekerja, melakukan atau (melaksanakan
sesuatu). Orang yang sedang melakukan suatu pekerja disebut sedang melakukan “yawu”, atau sedang bekerja.
Sedangkan “leget” memiliki makna sebagai “pagar” atau “pagar pembatas”. Konon, pada jaman dahulu,
masyarakat Baliem melakukan “leget” untuk membatasi ruang gerak binatang peliharaan, seperti babi (wam)
dll. Tujuan sederhannya ialah untuk menghalau binatang dari hasil perkebunan masyarakat. R. Doddy A.
Darmajana, “Introduction Teknologi Pertanian Pada Pengembangan Wilayah Pedesaan Wamena”, Makalah,
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Wamena 1996), 157
-
28
berbeda. Pola pertanian demikian menuntut suatu keberanian, kekuatan, kemauan keras,
keterampilan, pilihan akan tempat dan waktu/musim yang tepat, sabar-tabah-setia, saling
membantu dan gotong royong8.
Produksi pertanian utama yang ditanam adalah ubi-ubian dan sayur-sayuran. Dengan
kondisi tanah dan iklim yang ada. Normatifnya Yahukimo dapat dikembangkan produk
pertanian seperti cengkeh, kopi dan tembakau. Namun karena tingkat pendidikan dan
kepemilikan teknologi yang rendah maka masyarakat masih menanam ubi dan tidak berani
beralih ke produk pertanian lainnya yang lebih produktif. Tidak terciptanya lapangan
pekerjaan, tidak ada kegiatan pembagunan oleh Pemerintah di Distrik Kurima dan upah gaji
yang minim mengakibatkan banyak masyarakat yang mengabdikan dirinya ke kota untuk
memperoleh pekerjaan dan upah gaji yang besar.
3.3.3 Sistem Pemerintahan
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Kurima, terbagi atas satu
kelurahan (Obolma) dan 20 desa (Desa Hesmat, Ibiroma, Kima, Air Garam, Hihundes,
Hukem, Kilise, Lukulema, Wanem, Parela, Jagaralo, Soro, Sukuarek, Heimo, Pusuage,
Tukuarek, Anjelma, Wuklipinua, Wuluageima, Jilino). Dan sekretaris wilayah di Kecamatan
dibantu oleh lima orang staff pemerintahan dan lima orang “hansip” (penjaga kampung)
sebagai wakil pemerintah di tingkat desa/dusun. Di dalam pemerintahan distrik juga tersedia
ketua pembangunan desa, ketua kemasyarakatan desa, dan ketua administrasi desa. Semua
badan pemerintahan ini, bekerja dibawah pengawasan kepala distrik.
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat distrik dan desa, secara umum
dikoordinir oleh kepala distrik atau “camat”9 setempat, sebagai kepala wilayah di tingkat
8 Astrid S. Susanto, Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1993), 23
-
29
distrik. Dengan tujuan untuk mengarahkan roda pemerintahan dan untuk memperkuat tatanan
pemerintahan di tingkat kecamatan. Secara keseluruhan, perangkat distrik dan desa, dibuat
untuk menjangkau setiap wilayah desa yang wilayah jangkauannya jauh.
Usaha-usaha tersebut dengan harapan agar mendapatkan distrik atau desa yang
mampu menyelenggarakan kegiatan RT (Rumah Tangga) atau RW (Rumah Warga) dalam
masyarakat setempat. Dengan demikian, penyelenggaraan roda pemerintahan di distrik
Kurima dapat berjalan dengan lancer.
3.3.4 Interaksi Masyarakat Suku Dani Dengan Kekristenan
Sebelum Tahun 1954, daerah Balim-Yalimo pernah disebut dalam berbagai laporan
dari expedisi yang dilakukan para ahli. Pada oktober 1909, expedisi pertama dilakukan oleh
beberapa orang Belanda ke daerah Wusak, Balim Selatan. Dua puluh tahun kemudian, yaitu
tahun 1921-1922 expedisi Kremer berhasil mmencapai bagian Utara. Berselang lima tahun
berikutnya, yaitu tahun 1928 datang lagi satu tim yang menyusuri sungai dan daerah
Mamberamo ke bagian utara Mulia di Balim Barat. Dan pada tanggal 23 Juni 1938 untuk
pertama kalinya satu tim dengan sebuah pesawat air menelusuri dan meneliti sungai Balim
sampai batas Bokondini dan mendarat di danau Habbema yang letaknya di kaki gunung
Trikora. Itulah expedisi yang dipimpin oleh Richard Archbold. Selama 14 bulan Richard
Archbold menelusuri dan menyelidiki suatu daerah yang luas disekitar lembah balim.
Kontak langsung masyarakat suku Dani di Balim dengan dunia luar baru di awali
pada 20 April 1954 dengan menggunakan pesawat Cessna Sealand berbaling-baling tunggal
milik CAMA (Christian And Missionary Alliance) yang dikemudikan pilot Al Lewis dan Ed
Ulrich yang membawa misionaris Kemah Injil Pdt. E. Mickelson, L. Van-Stone, Elisa, Ruth
dan Markus Gobay yang mendarat pertama kali di daerah Minimo dekat Hetigima yang di
9 Camat, sekretaris wilayah kecamatan, kepala pemerintahan tingkat kecamatan yang membawai
beberapa kepala desa dan bertanggung jawab kepada bupati, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
-
30
terima langsung oleh konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo10. Kemudian Tahun 1955
lapangan terbang Hetigima mulai dikerjakan bersama-sama dengan penduduk setempat,
melalui bahasa isyarat karena sulitnya komunikasi. Sebagai ongkos bagi pekerja diberikan
kulit bia, kapak, garam, parang, dan sebagainya. Kemudian pada Tahun 1956 pemerintah
Belanda menyusuri sungai Balim dari Minimo sampai di wesaput, lalu membuka dan
mendirikan rumah Pos Pemerintah Belanda setelah berada di Wesaput, Pemerintah Belanda
membuka lapangan terbang yang panjang dan lebar di wamena untuk mendaratnya pesawat
Dakota (jenis F 27).11 Penginjil Silas Myhol menjelaskan bahwa:
Belanda berada di Wesaput hingga Tahun 1962 karena pada Tahun 1963
Pemerintah Indonesia masuk ke Balim Yalimo dan mengusir Belanda.
kemudian melalui SK Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang
pelarangan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia
termasuk melarang adanya donasi dana keagamaan bagi gereja.12
Dengan kehadiran misionaris pada saat itu sebagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan
pada dunia luar yang diwakili oleh orang-orang asing. Cara hidup masyarakat suku Dani
mulai berubah ke arah yang modern dengan di perlengkapi peralatan serba modern, dari yang
berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai pesawat terbang yang digunakan sebagai
alat transportasi untuk keluar daerah lembah balim. Kontak dengan dunia luar menjadi lebih
merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun 1956 mendirikan pos pemerintah di Wamena,
yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar
Dakota.
Kontak langsung masyarakat Suku Dani dengan GKI sendiri baru terjadi pada Tahun
1958, dimana ibadah-ibadah GKI hanya dijalankan oleh pegawai-pegawai negeri, TNI,
POLRI beserta keluarga mereka namun belum ada pengutusan secara resmi oleh Sinode GKI.
10 Asso Lokobal/Asso-Wetipo merupakan salah satu suku dari beberapa suku yang mendiami wilayah
Hetigima. 11 S. P. Usior, Di Belakang Gunung Terbitlah Terang (Wamena: Badan Pekerja Klasis Balim-Yalimo,
2000), 100, 12 Wawancara bersama Bpk Silas Myhol, perintis Penginjil Pertama yang di Sekolahkan Oleh GKI.
Wamena, 25 Oktober 2015.
-
31
Di Tahun 1959 GKI secara resmi baru masuk ke Balim Yalimo, kemudian membuka Klasis
Balim Yalimo dan Gereja Betlehem Wamena kemudian di Tahun 1960 Misionaris pergi ke
Kurima untuk membuka Gereja Beithel Polimo. Gereja kemudian melakukan kontak
langsung kepada masyarakat dengan melihat hal-hal humanistik masyarakat seperti
kesehatan, pendidikan formal bahkan informal.
Terkhusus Kontak masyarakat Dani yang berada di Kurima dengan orang luar, baru
terjadi di Tahun 1960. Melalui expedisi yang dilakukan oleh D. M. Bromley ke Kurima,
dimana Pada saat itulah suku Dani di Kurima baru mengenal dunia luar yang di wakili oleh
orang asing misionaris itu. Namun misionaris itu tidak tinggal lama karena pisaunya di curi
oleh masyarakat Kurima sehingga ia menganggap masyarakat Kurima jahat kemudian pergi
meninggalkan mereka. Setelah kepergian itu selang beberapa hari dalam bulan November
1960 datang misionaris Pdt Zolner yang diminta dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG)
dan Dokter W.Vriend dari ZNHK yang menetap beberapa hari di sana untuk membuka
gereja, klinik, dan mendidik masyarakat Kurima. Perjalanan ini didampingi oleh Penginjil M.
Fosba yang berasal dari Jayapura. Dengan kehadiran mereka maka masyarakat Kurima juga
di perkenalkan dengan hal-hal baru lainnya seperti gula, garam, pisau, kulit bia, kapak, sekop,
dan lainnya.13 Wakil ketua sinode GKI-TP mengatakan, bahwa:
Kekristenan melalui misionaris seperti Pdt. S. Zollner dan penginjil-penginjil
lainnya datang ke Papua dengan penuh pengorbanan, mereka masuk hutan,
menebang pohon dan membuat peta untuk mencari manusianya. Mereka lebih
meninggikan martabat masyarakat Papua termasuk masyarakat Dani yang ada
di Kurima. Hal-hal yang dilakukan oleh Zollner dan para penginjil ini tidak
dilakukan di era Otonomisasi.14
13 Hasil Wawancara dengan Pnt.Hans Walther Selaku Sekretaris Jemaat Beithel Polimo bersama Bapak
Luis selaku mantan Sekretaris Jemaat Beithel Polimo. 27 Oktober 2015 14 Wawancara dengan Ibu Pdt.Yemima. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI-TP. Salatiga, 21
September 2015
-
32
3.3.5 Masyarakat Kurima di Era Otonomi Khusus
Otonomi Khusus (Otsus) yang terkandung didalam UU N0.21 Tahun 2001 di tujukan
untuk meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan
pendayagunaan keseluruhan penduduk Propinsi Papua, khusus masyarakat asli Papua. Dalam
mandatnya untuk melanjutkan dan melaksanakan ketetapan MPR No. VI/MPR/!999, sejak
lahirnya UU No. 21/2001 mengenai Otsus untuk Papua menggarisbawahi beberapa elemen-
elemen penting dan diperlukan dalam menghadapi hak-hak masyarakat asli Papua dan upaya-
upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga keagamaan (gereja). Diantaranya sebagai
berikut:
1. UU Otsus Tentang Keagamaan
UU N0 21/2001 Bab XV pasal 54 huruf (d) tentang “Memberikan dukungan kepada
setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat
mengikat.” Bentuk dukungan secara tertulis telah diatur dalam UU Otsus Papua pasal 55
angka (1) tentang “Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh pemerintah dalam rangka
pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan
jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
2. UU Otsus Tentang Pendidikan
Memberi kesempatan dan ruang dalam bidang keagamaan termasuk gereja dalam
pelayanannya di bidang pendidikan maka UU Otsus Papua secara tertulis telah dicantumkan
dalam UU Otsus Bab XVI Pasal 56 Nomor (4) tentang “Dalam mengembangkan dan
menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu di Provinsi Papua.”
-
33
3. UU Otsus Tentang Kesehatan
Untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang beranekaragam, UU Otsus juga telah
mengatur didalam Bab XVII tentang Kesehatan dalam pasal 59 ayat (4) berbunyi “Dalam
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah
Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. Kemudian pasal 60 ayat
(1) berbunyi “Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi
penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan”.
Dengan adanya UU Otsus yang dinilai dapat mendukung pelayanan keagamaan bagi
masyarakat Papua, namun bagi pemahaman gereja seperti yang disampaikan oleh Wakil
Ketua Sinode GKI Tanah Papua, Ibu Pdt. Y. Krey, bahwa otsus merupakan politisasi
Pemerintah Pusat dalam mengatasi atau meredam permintaan Kemerdekaan dari masyarakat
asli Papua. Di tambahkan lagi oleh wakil ketua sinode bahwa ada hal-hal penting yang
terkandung sebagai dasar rekomendasi dari MPR dan di kabulkan secara khusus untuk Papua
sebagai metode penanggulangan konflik dengan penawaran politik tertentu. Komitmen
Pemerintah Pusat melalui Perundangan mengenai Otonomi Khusus untuk Papua termasuk (1)
Menghormati hak-hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, demokrasi, nilai-nilai hukum dan
budaya yang ada diidalam masyarakat adat, (2) Menghormati pelbagai macam dan
keanekaragaman kehidupan sosial-budaya di masyarakat papua, (3) Melindungi dan
menghormati etika-etika dan moral-moral, (4) Melindungi hak-hak fundamental dari
penduduk asli dan hak-hak asasi manusia, (5) Memastikan tegaknya hukum, (6) Menjaga
demokrasi, (7) Menghormati pluralism, dan (8) Memecahkan masalah-masalah pelanggaran
hak-hak asasi manusia terhadap penduduk asli Papua. Pada awalnya beberapa masyarakat
-
34
lokal Papua mengharapkan Otsus sebagai kiriman berkat dari Pemerintah Pusat yang akan
membawa perbaikan dalam penghidupan mereka atau berfungsi sebagai jalan keluar dari
berbagai keluhan masyarakat. Keluhan yang telah lama ada ini memicu pengharapan besar
terhadap Otsus yang di pandang sebagai “penyelamatan” (salvation) yang menghasilkan
perubahan sosial secara langsung. Pemikiran untuk mendapatkan perubahan cepat ini
kemungkinan akan bertolak belakang dengan hasil berkelanjutan jangka panjang yang
diperlukan. Gereja melihat dan memahami bahwa Otonomi Khusus sebagai sesuatu yang
tidak jelas (kabur). Otsus dipandang tidak jelas karena selama berjalannya hingga tersisa 9
Tahun lagi masa berakhir Otsus bagi masyarakat Papua, tidak ada hasil signifikan yang
ditandai pada perubahan SDM masyarakat asli Papua. Pembangunan secara fisik telah terjadi,
tetapi secara ekonomi masyarakat Kurima masih bergantung pada orang lain dan tidak
mandiri. Ditambahkan lagi oleh wakil ketua sinode GKI-TP, bahwa:
Didalam pelayanan-pelayanan yang dilakukan oleh gereja bagi masyarakat Papua,
Otsus dipandang sebagai salah satu penghambat. Gereja telah memetakan injil
namun bekerja di Sinode GKI, gereja mengalami kesukaran-kesukaran.
Bagaimana gereja bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah kepada Sinode
GKI. Dalam Otsus tertulis gereja-gereja yang ada mula-mula GKI di akui besar
dan memiliki BPK tetapi untuk memperoleh anggaran itu tidak mudah, karena ada
proses yang berbelit dan dana yang keluar untuk GKI melalui sinode hanya
mencapai 1-2M saja. Bagaimana sinode dapat mengurus suatu pekerjaan yang
besar di Tanah Papua ini. Jika pendidikan di GKI dianggap selama ini menolong
orang Papua, maka masukan dana melalui GKI dan bukan membuat suatu
pendidikan yang baru atau membuat sekolah-sekolah unggulan dengan bisnis
pendidikan yang lain dan menggunakan uang otsus lalu menerima anak-anak
Papua. Gereja memahami bahwa pendidikan GKI telah menjangkau seluruh
wilayah Papua, namun program pendidikan itu tidak masuk dalam sistem
pendidikan gereja yang dapat mengenai sasaran pada seluruh komponen
masyarakat Papua. Dalam hal lain YPK (Yayasan Persekolahan Kristen) dipahami
bagaikan jaring yang sudah menangkap dan mencerdaskan anak Papua.15
Kucuran dana Otonomi Khusus yang diturunkan oleh Pemerintah Pusat kepada
masyarakat Papua melalui program-program yang menguncurkan dana dalam jumlah besar
ke kampung-kampung justru sebaliknya membuat orang Papua tidak berdaya karena
15 Wawancara dengan Ibu Pdt. Y. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI-TP. Salatiga 21 September
2015.
-
35
masyarakat tidak diajarkan dalam manajemen uang dengan baik demi meningkatkan
pemberdayaan pada masyarakat. Sedangkan bantuan kepada Gereja lebih cenderung di
berikan pada hari-hari besar gerejawi, kemudian orientasi pelayanan menjadi berubah. Ada
dua hal penting yang menjadi tolak ukur dari pelayanan gereja dan pemerintah.
1. Injil datang karena orang merasa terpanggil membebaskan umat dengan iman mereka
dan memberdayakan masyarakat dengan mensejahterakan masyarakat Papua.
2. Otonomi Khusus datang sebagai solusi politisasi dalam mengatasi keinginan berdirinya
Negara Papua yang Merdeka dan terlepas dari bingkai NKRI. Maka dinamika politik
sangat besar dan selalu ada gesekan-gesekan yang membuat tidak memprotek
kehidupan orang Papua. Itu terbukti terhadap pelayanan publik terhadap umat seperti
kesehatan, pertanian, peternakan tidak menjadi Nampak. Pendekatan sosial kultur juga
tidak Nampak dalam perjalanan di era Otsus. Pekerjaan diwilayah-wilayah baru tidak
diawali dengan penelitian untuk mengetahui kebutuhan dasar masyarakat sehingga
seterusnya pemerintah dapat melakukan pembangunan yang terarah. Pemerintah tidak
menciptakan pekerjaan yang dapat merespon masyarakat Papua menjadi rajin bekerja,
namun selalu kata malas yang ditanamkan bagi masyarakat Papua.
Bagi harapan gereja bahwa pemerintah harus berani memberikan dana yang besar
kepada gereja dengan alasan melihat pelayanan gereja yang telah berlangsung di Papua
selama bertahun-tahun dan dalam 5 Tahun kemudian gereja pertanggung jawabkan kepada
Negara. Gereja juga merasa bahwa jika dana otsus di berikan pada sistem gereja maka akan
di jamin kesejahteraan orang asli Papua. Tentu juga dengan melihat presentasi program
(Master Plan) yang akan dikerjakan gereja. Hal ini senada dengan pendapat ketua klasis
Balim Yalimo bahwa, apabila pemerintah ingin berhasil dalam upaya pemberdayaan
masyarakat Papua maka pemerintah mustinya menindak lanjuti kegiatan yang telah dilakukan
oleh Gereja. Dalam Era Otonomi Khusus Ketua Klasis balim Yalimo melihat bahwa
-
36
pemerintah memang telah membangun akses kesehatan seperti puskesmas, Rumah sakit dan
pendidikan seperti sekolah bahkan mengambil alih sekolah YPK yang tidak sanggup di kelola
lagi oleh gereja. Namun dalam pelayanannya justru tidak banyak menolong masyarakat.
Seperti pelayanan kesehatan, meskipun dipuskesmas ataupun rumah sakit telah ada dokter,
namun pasien tidak tertangani dengan baik. Hal ini dilihat sebagai akibat dari para pelayan
rumah sakit yang hanya fokus bagaimana mendapatkan kucuran dana yang besar di
bandingkan bagaimana melayani pasien atau masyarakat dengan baik. Ketika gereja dihadapi
dalam keadaan ini, gereja (para pendeta) melakukan protes namun sering dianggap sebagai
bagian politisasi untuk mencapai Papua Merdeka bahkan dianggap sebagai sparatis. Menurut
Ketua Klasis Balim Yalimo, bahwa:
Era Otonomi Khusus ternyata kepentingan-kepentingan politik lebih berperan,
penempatan kepala distrik juga tidak sesuai dengan karier seseorang yang sesuai
dengan jabatan tersebut. Hal ini juga berdampak dalam ketidak keseriusan seorang
kepala distrik untuk setia di distrik dan mengurus distrik. Seperti kenyataan yang
terdapat Kurima, dimana kepala distrik justru sering didapati tinggal dikota-kota
besar dan hanya sesekali datang kedistrik Kurima. Meski demikian tak dapat
dipungkiri bahwa bantuan dana keagamaan dari pemerintah bagi pelayanan gereja
nyatanya memang ada, seperti bantuan keagamaan setiap tahun dari pemerintah
Yahukimo sekitar 1M untuk Gereja GKI yang berada di wilayah Yahukimo,
termasuk di Kurima. Dana tersebut kemudian diatur dalam kelembagaan tingkat
Klasis Balim-Yalimo dan dibagikan untuk wilayah Yalimo dan Kurima-Mugi.
Biasanya wilayah Yalimo mendapat bantuan sebesar 700-800 juta rupiah setiap
Tahun karena Yalimo merupakan penduduk terbanyak sedangkan untuk wilayah
Kurima-Mugi mendapat bantuan dana sebesar 300-400 juta rupiah setiap Tahun.
Meskipun ada bantuan-bantuan dari pemerintah, namun ketua Klasis berpendapat
bahwa bantuan tersebut sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan
pelayanan gereja yang bersifat menyeluruh.16
Sekretaris GKI Beithel Polimo di Kurima berpendapat bahwa era Otsus yang
berlangsung di Papua ini sebenarnya membawa dampak positif karena ada perhatian khusus
dari pemerintah pusat kepada pembangunan di atas tanah Papua, namun negatifnya ialah
pengolahan dana yang menjadi masalah di Papua. Nyatanya bagi masyarakat di Kurima
bahwa Kucuran dana otsus justru menimbulkan pola hidup ketergantungan masyarakat pada
16 Wawancara dengan Pdt. Yudas Meage selaku Ketua Klasis Balim-Yalimo. Wamena, 19 Oktober
2015
-
37
uang, segala bentuk kegiatan harus ada uang. Hal ini berpengaruh besar bagi program-
program pemberdayaan yang dilakukan gereja untuk masyarakat. Minat masyarakat menjadi
berkurang dimana dahulu masyarakat dapat terlibat dengan sukarela, namun di era Otsus
harus ada uang. Sedangkan gereja tidak memiliki daya lagi untuk memberikan uang.
Di Era ini Pemerintah mengutus orang untuk masuk di daerah yang baru dengan
membawa uang. Pendekatan ini disebutkan oleh Ibu Y. Krey sebagai pendekatan uang.
Dalam pemahaman Gereja masa kini bahwa Era Otonomi Khusus merupakan salah satu
penghambat dalam pelayanan Gereja masa kini. Era Otsus kini telah berhasil membawa suku
Dani termasuk masyarakat suku Dani yang berada di Kurima masuk didalam peradaban yang
baru, beradaban yang lebih modern, peradaban dalam pendekatan uang sehingga masyakat
untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial akan termotivasi apabila akan diberikan upah atau
uang yang banyak. Bahasa yang sama juga di sampaikan oleh Yudas Meage bahwa di
Kurima dahulu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, gereja menggunakan tenaga
pembantu (masyarakat kampung) yang dibekali dengan pengetahuan yang cukup seperti
menjadi tukang, guru injil dan ahli tani. Meskipun mereka tidak memperoleh gaji yang besar,
tetapi mereka dapat bekerja dengan sungguh karena semangat iman yang mereka miliki.
Namun untuk Era Otonomi Khusus dimana kucuran dana yang besar itu justru lebih
mempengaruhi pelayanan para pekerja pembantu. Motivasi dalam pelayanan lebih kepada
pendekatan uang yang diterima. Apabila mereka tidak memperoleh uang yang cukup maka
pekerja pembantu itu bekerja dengan malas-malasan.
3.4 Misi GKI Di Tanah Papua
Berdasarkan Tata Gereja GKI TP disebutkan bahwa Visi dan Misi GKI Di TP ialah
“menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah” sebagai visi yang menjadi dasar, pedoman dan
tujuan hidup persekutuan dan pelayanannya di Tanah Papua. Yang dimaksud dengan kerajaan
-
38
Allah17 adalah suasana dan keadaan kekuasaan dan pemerintah Allah yang mencakup,
seluruh alam semesta, termasuk manusia. Khusus bagi manusia, suasana kerajaan Allah
mencakup seluruh aspek kehidupannya, rohani dan jasmani.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan tanda-tanda kerajaan Allah adalah segala hal yang
baik dan menyenangkan kehidupan manusia sebagimana disebutkan pada aspek rohani dan
jasmani, antara lain kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan. Kebebasan perdamaian,
kesejahteraan, kesehatan, kemampuan dan ketrampilan, keamanan, ketertiban dan lain
sebagainya yang mendatangkan sukacita dan kebahagiaan (syalom) kepada manusia.
Singkatnya: Tanda-Tanda Kerajaan Allah adalah tanda-tanda syalom atau tanda-tanda
keselamatan bagi manusia. Tanda-Tanda Kerajaan Allah dalam aspek rohani manusia
mencakup hubungan (relasi) yang baik, benar, erat dan harmonis dengan Allah, dengan
sesama manusia dan dengan alam sekitar, dimana manusia menaati perintah Allah,
menghormati dan menghargai harkat serta martabat sesama manusia serta memelihara,
melindungi dan mengolah alam sekitar secara bertanggung jawab sebagai ciptaan Allah.
Tanda-tanda Kerajaan Allah dalam aspek jasmani manusia mencakup seluruh
keberadaan (eksistensi) manusia, yaitu segala hal yang dimiliki manusia, seperti kemampuan,
perasaan, keinginan, pengetahuan (hikmat), dan lain sebagainya yang dapat di manfaatkan
seseorang untuk mencapai segala kebutuhannya, seperti sukacita, kesehatan, kekuatan,
kesejahteraan, kebebasan, perdamaian, ketertiban dan lain sebagainya, sehingga seorang
manusia dapat menikmati hidup yang layak sebagaimana dimaksudkan Tuhan Allah sang
pencipta.
Berdasarkan Visi GKI di Tanah Papua ini, maka Misi yang dirumuskan adalah
mewujudkan Tanda-Tanda Kerajaan Allah atau Tanda-Tanda Syalom yang mencakup segala
17 Tata Gereja & Pedoman Penggembalaan GKI Di TP, (Jayapura: Sinode GKI 1998), 3.
-
39
bidang kegiatan (ekonomi, kesehatan, pendidikan, perdamaian, keamanan dan lain-lain)
secara konkrit dan relevan melalui persekutuan (Koinonia), kesaksian (Marturia), dan
pelayanan kasih (Diakonia).
Berkaitan dengan penjelasan di atas maka konsekwensi logis dalam menguraikan
peraturan penggembalaan dalam GKI Di Tanah Papua ialah bagaimana Pedoman Pelayanan
dan Penggembalaan yang ada mampu mencerminkan visi dan misi yang dirumuskan di atas,
yakni mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah yang mencakup berbagai aspek-aspek
kehidupan (fisik, psikis, sosial, spiritual) secara konkrit dan relevan melalui Tri panggilan
gereja itu sendiri yakni: Persekutuan, Kesaksian, dan Pelayanan. Selanjutnya secara konkrit
makna itu diatur dalam Struktur Organisasi Pembinaan Jemaat GKI Di TP, yaitu melalui
program-program kerja dan pelayanan mulai dari tingkat Sinodal, Klasis, hingga jemaat
untuk mencapai kemandirian18 di bidang: Theologia, Daya dan Dana.
18 Yang dimaksudkan oleh GKI TP dengan kemandirian di bidang: Teologi, Daya dan Dana ialah: a).
Kemandirian di bidang Theologia yaitu kemampuan untuk menggumuli semua persoalan yang dihadapi gereja
dalam konteks Papua dan mencari pemecahannya secara teologis pula tanpa harus terikat pada rumusan-
rumusan teologis dari dunia barat. b) Di Bidang Daya ialah kemampuan untuk melaksanakan segala tugas gereja
dengan mengandalkan kekuatan/tenaga dari warga GKI sendiri baik secara kuantitas maupun kualitas. c) Di
bidang Dana yaitu kemampuan untuk membiayai segala pekerjaan gereja itu atas kemampuan dana yang
diperoleh dari dalam GKI sendiri.
-
40
BADAN PEKERJA AM SINODE GKI:· KETUA· WAKIL KETUA· SEKRETARIS· WAKIL SEKRETARIS· BENDAHARA· ANGGOTA-ANGGOTA: 8 ORANG
BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA:
· KETUA· SEKRETARIS· ANGGOTA 3 ORANG
BADAN PEKERJA KLASIS GKI:· KETUA· WAKIL KETUA· SEKRETARIS· WAKIL SEKRETARIS· BENDAHARA· ANGGOTA-ANGGOTA: 4 ORANG
BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA
KLASIS DAN JEMAAT:· KETUA· SEKRETARIS· ANGGOTA (3ORANG)
PERCETAKAN BALAI BUKU
KETUA
OTTOW GEISSLER
KETUA
PENDIDIKAN KRISTENKETUA
DIAKONIAKETUA
PEKABARAN INJILSEKRETARIS
PEMB. JEMAATSEKRETARIS4 ANGGOTA
PENDIDIKANSEKRETARIS
PENELITIANPENGEMBANGAN
SEKRETARIS
PENDIDIKANSEKRETARIS
TATA USAHA
KEUANGANSTAF
KEPEGAWAIANSTAF
SEKRETARIS
YAYASAN PENDIDIKAN KRISTEN· TK· SD· SMTP· SMTA
KOMISI PEKABARAN INJIL
SEKRETARIS· SUKU TERASING· PEMUKIMAN
BARU· PEMBERDAYAAN
MASY. DESA
KOMISI PEMB. JMTSEKRETARIS4 ANGGOTA
· PAR· PAM· PW· PKB
KOMISI PENDIDIKANSEKRETARIS
· PENDIDIKAN· SOSIAL· BUDAYA
KOMISI EKUBANGSEKRETARIS
· EKONOMI· KEUANGAN· PEMBANGUNAN
SIDANG JEMAAT
SIDANG KLASIS
SIDANGSINODE
· KETUA· WAKIL KETUA· SEKRETARIS
MAJELIS JEMAAT
BADAN PELAYANAN
BADAN PELAYANAN
BADAN PELAYANAN
BADAN PELAYANAN
JEMAAT GKIDI TANAH PAPUA
YAYASAN DEPARTEMEN
URUSAN PEKABARAN
INJIL
URUSANPEMBINAAN
JEMAAT
URUSAN DIAKONIA
URUSAN EKUBANG
URUSAN TATA USAHA
URUSAN PEKABARAN
INJIL
PAR. PAM. PW. PKB
KEGIATAN SOSIAL /
KESEHATAN
EKONOMI KEUANGAN
PEMBANGUNAN
KESEKRETARIATAN
· WAKIL SEKRETARIS· BENDAHARA· ANGGOTA (Disesuaikan)
SEKRETARIAT
Gambar 3.1 Struktur GKI TP Tingkat: Sinode, Klasis, dan Jemaat
-
41
URUSAN PEKABARAN INJIL
URUSANPEMBINAAN
JEMAAT
URUSAN DIAKONIA
URUSAN EKUBANG
URUSAN TATA USAHA
URUSAN PEKABARAN INJIL
PAR. PAM. PW. PKB
KEGIATAN SOSIAL /
KESEHATAN
EKONOMI KEUANGAN
PEMBANGUNAN
KESEKRETARIA-TAN
BADAN PELAYANAN
PAR - GKI
BADAN PELAYANANPAM - GKI
BADAN PELAYANAN
PW - GKI
BADAN PELAYANAN
PKB - GKI
JEMAAT GKI TANAH PAPUA
SIDANG JEMAAT
MAJELIS JEMAAT
· KETUA· WAKIL SEKRETARIS· WAKIL KETUA· BENDAHARA· SEKRETARIATAN· ANGGOTA (disesuaikan)
Gambar 3.2 Struktur GKI TP Tingkat Jemaat
-
42
3.5 Gambaran Umum GKI Beithel Polimo Kurima
GKI Beithel Polimo merupakan salah satu buah tangan para penginjil dari GKI yang
didirikan sebagai Gereja Induk di Wilayah Kurima dan diterima kepala suku Liemoke Siep.
Penyambutan dilakukan dengan pertumpahan darah babi sebagai tanda resmi penerimaan
GKI di wilayah Kurima. Untuk kepastian waktu penerimaan injil melalui GKI ini tidak di
catat secara khusus sehingga para pekerja gereja sendiri tidak dapat memastikan waktu kapan
Injil itu diterima di wilayah Kurima secara resmi. Hal ini tentu saja mengakibatkan Gereja
tidak pernah melakukan perayaan HUT Gereja. Namun belakangan ini ketika penelitian tesis
ini dilakukan barulah gereja sadar untuk mencari informasi resmi dan mulai diketahui bahwa
pada 4 November 1961 secara resmi GKI diterima di wilayah Kurima dan GKI Beithel
Polimo didirikan.
Sebagai respon masyarakat dalam menerima injil, maka di Tahun 1974 sekitar 60 jiwa
jemaat GKI Beithel Polimo memberi diri untuk di baptis dan dilayani oleh penginjil M.
Fosba. Dengan berjalannya waktu, gereja juga mengalami perkembangan baik secara fisik
dan juga bertambahnya jumlah jiwa sebagai jemaat tetap. Selain ibadah mingguan, ada juga
ibadah unsur keluarga, PKB yang baru dibentuk tahun 2015, PW, PAR, dan Sekolah Minggu.
Pelayanan lainnya ialah dalam bentuk pastoral bagi ibu-ibu janda dan ibu-ibu yang belum
menerima injil karena Ibu-Ibu dianggap memiliki peran sangat penting dalam keluarga.
Dalam pelayanan di GKI Baithel Polimo belum ada pelayanan khusus katekisasi untuk
melakukan sidi, namun katekisasi biasanya dilakukan pada saat anak berusia remaja yang
bersedia memberi diri dibaptis. Di bawah ini jumlah jemaat yang digambarkan dalam tabel.
-
43
TABEL 1
JUMLAH JEMAAT GKI BAITHEL POLIMO
Kelompok Kepala
Keluarga
Laki-Laki Perempuan Jumlah Jiwa
I 9 20 18 38
II 6 24 37 61
III 8 11 12 23
IV 12 22 21 43
Total Jumlah Jiwa 165 Jiwa
Tabel di atas menjelaskan jumlah jiwa secara keseluruhan, di mana kepala keluarga
juga di masukan dalam penjumlahan laki-laki. Maka dengan demikian jumlah jiwa tersebut
yang hingga saat ini yang menjadi jemaat tetap di GKI Baithel Polimo.
3.5.1 Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dari kemajuan suatu masyarakat. Tentu hal
tersebut harus didukung oleh tersedianya bahkan terjangkaunya sarana pendidikan oleh
masyarakat atau jemaat. Masyarakat Kurima yang notabenenya anggota jemaat saat ini bisa
dikatakan maju karena sarana pendidikan yang baik dan mudah dijangkau oleh masyarakat
atau jemaat. Kecamatan Kurima memiliki sarana pendidikan mulai dari TK hingga SMA. Di
bawah ini tingkat pendidikan yang digambarkan dalam tabel berikut ini.
-
44
TABEL 2
PRESENTASE TINGKAT PENDIDIKAN
GKI BEITHEL
POLIMO
JENIS PENDIDIKAN
SD SMP SMA D-III S1 S2
WILAYAH 1 12 4 3 2 2
WILAYAH 2 16 4 2 2
WILAYAH 3 3 2 2 1
WILAYAH 4 17 1 2 1
Sumber: Data Resmi di Berikan Langsung Oleh Sekretaris Jemaat GKI Beithel
Polimo di Kurima.
Sarana pendidikan yang terbilang telah maju, namun dari tabel di atas menjelaskan
bahwa tingkat pendidikan jemaat masih rendah dimana rata-rata pendidikan jemaat hanya
mencapai pada tingkatan SD sedangkan untuk mencapai tingkat pendidikan dijenjang yang
lebih tinggi masih minim. Dari data ini menunjukan bahwa pemberdayaan dalam bidang
pendidikan bagi jemaat belum berjalan sehingga menjadi faktor dalam perkembangan jemaat
dibidang pemberdayaan lainnya terutama dalam memperoleh pekerjaan.
Dari jumlah pendidikan yang masih minim menjadi dampak bagi jemaat dalam
memperoleh pekerjaan. Dibawah ini dapat dilihat bidang-bidang pekerjaan yang ada pada
jemaat.
-
45
TABEL 3
KLASIFIKASI JEMAAT MENURUT MATA PENCAHARIAN
NO JENIS PEKERJAAN JUMLAH
1 PNS 13
2 TNI
3 POLRI 1
4 SWASTA/PETANI 81
Sumber: Data Resmi di berikan langsung oleh Sekretaris Jemaat GKI-TP
Beithel Polimo di Kurima.
Tabel di atas memberi penjelasan bahwa rata-rata pekerjaan yang dimiliki oleh jemat
Beithel Polimo ialah swasta/petani, meskipun sedikit dari jemaat juga bekerja menjadi PNS
dan POLRI. Petani yang dimaksudkan ialah bukanlah petani sukses, namun petani kecil yang
dimana hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari jemaat dan pelayan
gereja. Dari data pekerjaan yang dimiliki oleh jemaat, dapat dilihat bahwa ini menjadi bukti
ketidak berdayaannya jemaat terutama dalam memberikan persembahan untuk menunjang
pekerjaan pelayanan gereja ditengah-tengah masyarakat Kurima.
3.6 Upaya-Upaya Gereja Dalam Pemberdayaan Masyarakat Di Era
Otonomi Khusus
Sejak GKI di Tanah Papua melaksanakan kegiatan pekabaran Injil dan pembinaan
terhadap masyarakat setempat digunakan metode pendekatan menyeluruh atau pendekatan
multi Injil. Para penyiar Injil dalam pemberitaannya tidak hanya menekankan aspek spiritual
saja tetapi aspek jasmaninya, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan.19
Menurut Hans Walther dalam wawancara bersama penulis mengatakan bahwa gereja
memahami pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari tugas panggilan gereja.
19 Ismail Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil Di Balim Yalimu (Papua, Tabura 2006), 169.
-
46
Pemberdayaan dipahami sebagai usaha memperhatikan kesejahteraan dan menciptakan
kemandirian masyarakat terutama dalam era Otonomi Khusus. Hal tersebut tentu saja
termasuk tingkat kesehatan, pendidikan bahkan Ekonomi/mata pencaharian jemaat.
3.6.1 Pemberdayaan Dalam Bidang Pendidikan
Dengan hadirnya misionaris terdahulu di Kurima, pemberdayaan dalam bidang
pendidikan sangat Nampak karena dapat memberi kesadaran dan mengubah peradaban hidup
anak-anak Kurima untuk masuk dalam dunia pendidikan, dimana gereja melalui para
penginjil memberi pendidikan mulai dari injil diajarkan tetapi juga pendidikan formal di
berikan. Formal dan non formal diberikan seperti pendidikan keterampilan dimana
masyarakat didorong untuk mengikuti pelatihan pertukangan, kebidanan, pertanian,
kehewanan, administrasi sederhana dan pelatihan lainnya yang dapat mendukung perubahan
pada pembangunan masyarakat. Selain pendidikan keterampilan diberikan, pendidikan
moralitas masyarakat juga dibentuk melalui gereja agar masyarakat sadar akan ketertinggalan
yang dihadapinya. GKI melalui para misionaris dan penginjil terdahulu mereka tahu bahwa
Papua dianugerahi Kekayaan Alam sehingga masyarakat harus sekolah agar kelak nanti
masyarakat tidak dibodohi diatas negerinya sendiri.20 “Suatu Kelak Orang Lain Tidak Dapat
Memimpin Negerinya ini, Tetapi Orang Papua Akan Berdiri Untuk Membangun Dirinya
sendiri.”21
Dalam kesadaran Gereja akan pentingnya pemberdayaan dalam bidang pendidikan
maka di Tahun 1963 untuk pertama kalinya dibuka sekolah yang diawali dengan pembukaan
4 Sekolah Dasar oleh Yayasan Persekolahan Kristen (YPK)22 di wilayah Anggruk dan
20 Wawancara Bersama Pdt. Alberth Suebuselaku Sekretaris Klasis Balim Yalimo, mengutip
Misionaris I.S Kijne. Wamena, 22 Oktober 2015. 21 Pdt. A. Suebu mengutip kalimat yang pernah di utarakan oleh Misionaris I.S Kijne. Wasior, 25
Oktober 1925. 22 Dahulu ketika Gereja masih memiliki donator dari Belanda maka YPK disebut sebagai Yayasan
Persekolahan Kristen, namun setelah pelarangan bantuan keagamaan melalui SK Menteri Keagamaan barulah
YPK mengganti status menjadi Yayasan Pendidikan Kristen.
-
47
sekitarnya. O. Usior menjadi guru pertama di wilayah itu. Setelah Sembilan tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1972 sekolah pertukangan untuk pertama kalinya dibuka di Apahapsili
sehingga masyarakat di utus dan didukung gereja untuk mengikuti pendidikan tersebut. 23
Melihat pentingnya sekolah maka dikemudian hari Gereja mulai membuka Skolah-Sekolah
Dasar YPK di berbagai tempat termasuk di Kurima yang didirikan pada tahun 1970. Selain
membuka Sekolah Dasar di Kurima, atas bantuan luar negeri maka anak-anak dari Kurima
dapat di sekolahkan ke kota-kota besar untuk melanjutkan pendidikan dalam level yang lebih
tinggi dengan tujuan dapat kembali membantu pekerjaan pelayanan Gereja dalam bidang
pendidikan dan bidang lainnya.
Injil melalui para misionaris telah masuk dengan aspek pemberdayaan terutama bagi
masyarakat yang berada di Kurima yang mau membuka diri menerima gereja sehingga GKI
dengan mudah mengambil anak-anak Kurima untuk di sekolahkan dan hal itu menjadi
nampak berhasil ditinjau dari hasil kerja anak-anak Kurima pada saat ini yang telah di
sekolahkan dahulu melalui gereja.24
Dijelaskan oleh Ketua klasis Balim Yalimo bahwa untuk membangun masyarakat asli
seperti pada masa-masa pelayanan melalui misionaris sudah tidak berjalan lagi. Dana khusus
untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada masyarakat melalui gereja sudah tidak
mencukupi sehingga beberapa sekolah yang dahulu dibangun oleh gereja sudah ditutup dan
berganti status kepada sekolah inpres. Dahulu sekolah dapat di bangun dan berjalan karena
ada bantuan dari luar negeri kepada gereja di Papua, namun jika hal itu diteruskan maka
Gereja akan ditegur oleh pemerintah Indonesia. Hal yang serupa juga disampaikan oleh
Sekretaris Klasis Balim-Yalimo bahwa pemerintah dengan mengambil alih sistem
persekolahan YPK, maka pemerintah juga memutuskan semua donator biaya pendidikan
23 Ismail Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil Di Balim Yalimu (Papua, Tabura 2006), 30 24 Wawancara dengan Ibu Pdt. Y. Krey. Salatiga, 21 September 2015.
-
48
yang berasal dari luar seperti Belanda dan Jerman. Ketika gereja mendapatkan bantuan dari
luar negeri, gereja merasa memiliki daya untuk membangun dalam dunia pendidikan bahkan
klinik kesehatan bagi masyarakat. Bagi Pdt.A. Yoku, kelebihan dari Yayasan Persekolahan
Kristen (YPK) ialah, gereja memiliki sistem kurikulum dalam memberi ilmu pengetahuan
tetapi juga membentuk karakter kekristenan yang bertanggung jawab bagi peserta didik. Hal
ini dipandang oleh Pdt.A Yoku berbeda ketika YPK diambil alih oleh pemerintah maka
sistem kurikulumnya berbeda. Dalam kurikulum pemerintah, guru hanya lebih mementingkan
pemberian ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi karakter hidup tidak diperhatikan.
Sistem pendidikan yang digunakan Ketika masih menjadi Yayasan Persekolahan Kristen,
dimana aktifitas pendidikan dalam pemberian ilmu pengetahuan hanya berlangsung hingga
hari jumat dan pada hari sabtu siswa dilibatkan untuk membantu guru mempersiapkan
pelayanan bagi gereja. Dalam era Otonomisasi pemerintah justru menanamkan sistem
kurikulum pemerintah kepada YPK agar pengelolaan YPK bergantung pada pemerintah
sehingga pemerintah dapat mengintervensi proses Pendidikan YPK.
Pendeta Siegfred Zöllner mengatakan, ia mengetahui jelas tentang kurikulum
Indonesia, karena pernah mendiskusikannya dan itu menunjukkan bahwa kurikulum
Indonesia yang digunakan di Papua sangat tidak cocok dengan orang Papua, bahkan dengan
kondisi daerahnya. Ia juga menilai, kurikulum ini seperti membebani orang Papua dan
terkesan memaksakan kehendak. Menurutnya, Papua tidak bisa disamakan dengan daerah
lain yang hampir mirip dengan Jakarta. Katanya, kurikulum harus mengarah kearah
kehidupan sehari-hari. “Contoh di Jerman, para guru piara lebah untuk memproduksikan
madu dan mereka melibatkan anak-anak mereka. Jadi mereka berpikir, bagaimana kita hidup
kalau semua anak mereka pergi ke sekolah dan jika kita mati siapa yang akan pertahankan
tempat mereka, jadi istilahnya mereka kaderkan anak-anak mereka dengan pengetahuan
-
49
lingkungan. Jadi sekolah harus bertanggung jawab, jangan sekolah terlalu mementingkan
pengetahuan saja, tetapi tidak peduli dengan keperluan sehari-hari,” tegasnya menjelaskan.25
Menurut Sekretaris Jemaat GKI Baithel Polimo bahwa dalam Era Otsus, upaya di
bidang pendidikan yang dapat dilakukan oleh gereja hanya sebatas meringankan beban orang
tua dari hasil dana bantuan yang diberikan pemerintah melalui kelembagaan Klasis. Seturut
dengan pandangan itu, Ketua Klasis Balim-Yalimo juga mengatakan bahwa upaya
pemberdayaan dalam bidang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh klasis dengan membantu
dana pendidikan sesuai dengan proposal yang masuk tetapi lebih mengutamakan bagi anak
yang menempuh jurusan pendidikan yang langkah di Balim-Yalimo termasuk Kurima seperti
sekolah pilot, dokter, dan lainnya.
Dalam era ini, di Papua hampir tidak ada lagi pendidikan keterampilan seperti
pertukangan, kebidanan/keperawatan, pertanian, kehewanan, administrasi sederhana,
perdagangan/bisnis dll yang diberikan secara sukarela oleh institusi sosial untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat desa. Beberapa anak-anak Kurima telah menyelesaikan
pendidikan namun masih menganggur karena keterbatasan keterampilan dalam bekerja.
3.6.2 Pemberdayaan Dalam Bidang Kesehatan
Sebuah tulisan dari Bons Strom, “Pelayanan Klinis Pastoral di Rumah Sakit Kristen”,
dalam Bunga Rampai tentang Pelayanan Penyembuhan yang
Mengutuhkan menyatakan dalam diri manusia terdapat tiga segi yaitu: pertama: manusia
sebagai soma, yaitu: tubuh - fisik - badan; kedua: manusia sebagai psyche, yaitu manusia
sebagai suatu oknum yang dapat merasa, beremosi, berpikir, dan ketiga: manusia sebagai
makluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Karena itu, manusia disebut sebagai suatu
kesatuan sosio-psycho-somatis. Ketiga segi yang terdapat dalam diri manusia itu perlu
25 Penjelasan menyangkut Kurikulum Pendidikan di Papua yang ditegaskan dan di kutip dalam majalah
kemitraan. 9 April 2015.
-
50
mendapat perhatian dari gereja dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan bagi
warganya.
Pemberdayaan yang dilakukan bersama misionaris dari Belanda dan Jerman itu tidak
hanya di mengerti bagaimana mengisi anak dengan pengetahuan, namun pemberdayaan di
lakukan dari sejak anak berada di dalam kandungan. Hal itu di tandai dengan pelayanan
kesehatan yang konsisten, dimana para perawat seperti Ibu Sawen dan Ibu Sawut dengan satu
tim yang kuat serius melayani dengan memberikan makanan yang bergizi bagi Ibu-ibu hamil,
mereka setia dari satu tempat ketempat yang lain sehingga menghasilkan anak-anak yang
kuat, sehat dan berpikiran cerdas. Untuk menunjang kesehatan yang baik maka gereja atas
dukungan dari luar negeri juga membuka klinik dan juga membangun kerja sama dengan
Dokter. Klinik di Kurima dibuka sejak Februari 1974 oleh suter Martha. Terutama dalam hal
kesehatan, Gereja sangat serius karena gereja melihat bahwa dalam bidang kesehatan
masyarakat perlu diselamatkan.
Pemberdayaan kesehatan yang dilakukan Klasis Balim-Yalimo dengan membuka
klinik-klinik kecil di setiap desa, bekerja sama dengan dokter yang berada di kota, dan upaya
menjangkau langsung kepada masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan dalam era
otonomisasi ini sudah tidak dilakukan lagi oleh klasis. Hal ini karena segala bentuk program
kesehatan yang diupayakan melalui gereja kini telah diambil alih sepenuhnya oleh
pemerintah. Upaya kecil yang saat ini dilakukan gereja Beithel Polimo bagi jemaat hanya
sebatas pemberian imunisasi.
Dalam pemahaman budaya masyarakat Kurima, sakit dianggap sebagai gangguan
fisik karena masuknya mistis yang melebihi kekuatan manusia sehingga merusak tubuh
manusia. Penyakit datang karena jumlah manusia semakin banyak dan merusak lingkungan.
Apabila alam terganggu maka orang-orang akan terserang sakit. Selain itu Masyarakat papua
-
51
sangat rentan terjangkit penyakit gizi buruk bagi bayi dan balita, sanitasi, pernafasan, paru-
paru basah, penyakit kulit, AIDS, sakit gigi, malaria, dan lain lain. Masyarakat papua yang
bertempat tinggal di honai sangat rawan memiliki banyak penyakit terutama pernafasan.
Dalam honai terdapat dapur dengan menggunakan kayu bakar. Aktivitas harian kaum ibu,
perempuan dan anak-anak tinggal di Honai tanpa ventilasi. Banyaknya menghirup asap kayu
bakar dalam kurun waktu berjam-jam sangat beresiko terhadap gangguan paru-paru dan sakit
pernafasan lainnya. Tanda umumnya adalah sebagian besar anak suku yahukimo yang
beringus dan rambut tidak sehat. Anak-anak sering kali tidak mengenakan pakaian hingga
umur 5-7 tahun sehingga kulit sering tidak terawat dan jarang membersihkan diri secara
teratur. Di honai perempuan, perempuan dan anak anak hidup dalam tempat yang tidak
higienis. Dalam honai perempuan terdapat dapur dan kandang babi. Anak-anak dan ibu rawan
terkena banyak penyakit karena hidup bersama kotoran babi yang mengandung banyak
bakteri berbahaya.
Gereja memahami bahwa pelayanan tidak hanya dilakukan melalui pemberitaan firman
saja, namun kesejahteraan umat Tuhan juga harus dilayani. Hal kesehatan merupakan salah
satu hal terpenting yang dilihat oleh gereja dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat
Kurima. Namun dengan diputusnya bantuan dana dari luar negeri maka gereja tidak berdaya
lagi dalam mengelola klinik sehingga klinik yang tadinya ada di Kurima kini sudah tidak
difungsikan lagi. Pelayanan kesehatan kini dilakukan dengan cara memberi imunisasi bagi
masyarakat oleh gereja dalam ibadah-ibadah Minggu.
Warga jemaat di Klasis Balim Yalimo menganggap, gereja saat ini kurang
memperhatikan warga jemaatnya atas kondisi kesehatan. Dan juga dinilai tidak pernah
melakukan sosialisasi tentang kesehatan, advokasi maupun pendampingan Orang Dengan
HIV dan AIDS (ODHA). Sebab menurut mereka, dengan kurangnya sosialisasi, maka banyak
-
52
warga jemaat yang belum paham akan pentingnya hidup sehat, bahkan ada yang sakit tidak
mau pergi berobat ke rumah sakit.
Kata Okto yang adalah ketua Komunitas Gerakan Pemuda Peduli Pendidikan Wilayah
Kurima (KGP3WK).26
Para penginjil atau pelayan diperhatikan klasis, tetapi warga jemaat tidak ada.
Perhatian gereja ada hanya dari pelayan atau penginjil setempat. GKI harus
memiliki suatu wadah yang mengakomodir kondisi kesehatan pada warga jemaat.
“Bila perlu fungsikan wadah yang ada dengan tenaga-tenaga warga GKI, karena
banyak warga GKI yang punya potensi, tetapi tidak digunakan potensi itu.
Bagi Ketua Klasis Balim Yalimo, waktu lalu ada balai-balai pengobatan yang dibangun
oleh gereja, tetapi sekarang karena adanya pemekaran Kabupaten dan distrik maka
pemerintah mengambil alih balai-balai itu dan dijadikan sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Sekarang sudah ada Puskesmas, jadi gereja tidak masuk lagi kesana, supaya
tidak terjadi benturan,” contoh seperti di Kurima, Yogosem dan di Angguruk dimana ada
pusat pelayanan kesehatan dari gereja, tetapi karena adanya pemekaran, tempat-tempat
tersebut dialihkan ke pemerintah, dalam hal ini pihak distrik setempat. Selain tempat, tenaga
juga mengalami hal serupa, artinya tenaga gereja untuk kesehatan itu diperbantukan ke
Puskesmas pemerintah. Tetapi Yudas menganggap, daerah yang jauh dari Puskesmas sangat
membutuhkan penanganan kesehatan dari gereja, karena otomatis sentuhan pemerintah belum
terpenuhi. Selain itu, Yudas Meage juga menyampaikan kesulitan penanganan orang dengan
penyakit HIV dan AIDS. Menurutnya, untuk masalah HIV dan AIDS pihaknya pernah ada
komisi KPKC di tingkat klasis yang bekerja sama dengan KPKC tingkat Sinode dan
pemerintah, bahkan pihaknya sempat memfasilitasi pendeta-pendeta untuk meningkatkan
sosialisasi, tetapi menurutnya, ketidakadaan suatu wadah untuk menangani atau
mengadvokasi menjadi persoalan utama. “Jadi untuk sosialisasi dan advokasi memerlukan
wadah dan biaya yang cukup besar. Tetapi sebagai relawan-relawan di masing-masing jemaat
26 Pendapat Oktovianus Hesegem yang dikutip di dalam Majalah Kemitraan. Wamena, 11 April 2015.
-
53
sedang berjalan yang difasilitasi oleh kami (klasis). Macam di Wamena dan di Kurima
melalui media yang di sediakan. Tetapi itupun belum berjalan maksimal, karena belum ada
wadah yang benar-benar menjalankannya.” jika ada wadah dan orang yang sungguh-sungguh
menjalankan, semua itu bisa berjalan kembali. Kalau waktu lalu tanpa uang bisa dijalankan,
tetapi sekarang tanpa uang sulit. Hanya orang yang punya hati saja yang bisa menjalankan.
Untuk wadah mengenai data pengindap HIV dan AIDS warga jemaat di gereja, katanya
belum ada, karena belum ada wadah yang menangani kesehatan atau HIV dan AIDS itu.
“Bagaimana data bisa ada, sedangkan tidak ada wadah yang menjalankan?” Namun untuk
saat ini jika ada warga jemaat yang mau memeriksakan diri dan diketahui terdeteksi HIV dan
AIDS, pihaknya langsung mengirim mereka ke Klinik Walihole Yoka Pantai Jayapura.
Selaku Ketua Klasis balim-Yalimo, ia menyadari bahwa GKI-TP merupakan organisasi
gereja yang besar, mestinya memiliki suatu lembaga atau LSM yang bisa menangani bagian
kesehatan untuk sosialisasi, advokasi hingga penanganan dan pendampingan, namun itu
belum ada.
3.6.3 Pemberdayaan Dalam Bidang Pertanian dan Peternakan
Bentuk pelatihan-pelatihan dalam mengolah kearifan lokal masyarakat, seperti
Pelatihan berkebun, beternak dan pelatihan lainnya gereja tidak melakukan secara langsung.
Biasanya gereja bekerja sama dengan P3W GKI (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Wanita Gereja Kristen Injili)27. Bentuk kerja samanya ialah gereja mendorong agar Ibu-Ibu
untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh P3W. Sedangkan bentuk kerja sama yang
dilakukan oleh Klasis ialah memberi dukungan dana untuk memperlancar kegiatan yang
dilakukan P3W bagi Ibu-ibu di Kurima. Kegiatan yang dilakukan biasanya lebih kepada
27 Kehadiran P3W-GKI adalah untuk melakukan pekerjaan pemberdayaan bagi perempuan
Papua untuk ikut serta menjadi alat kesaksian dan pelayanan di tengah keluarga, gereja dan masyarakat.
-
54
pelatihan-pelatihan membaca, kepemimpinan, pemanfaatan hasil kebun sebagai bahan
makanan yang sehat seperti baru-baru ini dibulan April P3W melati Ibu-Ibu Rayon Kurima
termasuk Ibu-ibu dari Jemaat Beithel Polimo untuk pembuatan tahu dan tempe. Dari hasil
pelatihan yang dilakukan dianggap membawa perubahan yang signifikan bagi Ibu-ibu
terkhusus komunikasi yang lancar didalam pelayanan-pelayanan gereja. Meski pelatihan
perkebunan dan peternakan telah dilakukan, namun dalam pengelolahan perkebunan dan
masih terbatas. Hal ini menurut sekretaris Jemaat Polimo karena terbatasnya perlengkapan
berkebun, alat reproduksi, dan wadah yang dapat membantu jual-beli hasil kebun dan
peternakan. Kearifan lokal jemaat hingga saat ini masih dalam tahap pengelolaan secara
tradisional dan hasilnya masih di nikmati oleh jemaat dan para penginjil gereja.
Di Era Otonomi Khusus dengan melihat keterbatasan yang dimiliki oleh gereja
terutama dalam bidang pemberdayaan masyarakat, menurut ketua klasis Balim Yalimo
bahwa masyarakat sudah diajak untuk memanfaatkan kearifan lokal seperti melibatkan
masyarakat dalam mengolah perkebunan seperti mengolah kopi dan umbi-umbian. Namun
masyarakat merasa hasil yang diperoleh tidak besar sehingga masyarakat lebih bergantung
pada bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah dan bekerja kepada pengusaha-pengusaha
yang dapat memberi penghasilan lebih besar. Maka dengan alasan ini, kearifan lokal tidak
dilakukan lagi.