BAB III SENTRA KERAJINAN BATIK DI WIJIREJO A. Masa …eprints.uny.ac.id/18420/5/BAB III...

29
45 BAB III SENTRA KERAJINAN BATIK DI WIJIREJO A. Masa Jaya Pembatikan di Desa Wijirejo Istilah batik dapat diartikan sebagai berikut yakni “gambaran ” atau hiasan pada kain menggunakan alat canting atau sejenisnya yang di hasilkan melalaui proses tutup-celup dengan lilin kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya sehingga terciptalah sebuah mahakarya kain batik. 1 Kraton Yogyakarta sebagai pelindung budaya leluhur dan sekaligus pelestari budaya membatik mengajarkan keahlian membatik hingga keluar dari benteng kraton. Pada awalnya kegiatan pembatikan ini populer di kalangan keluarga dari abdi dalem tersebut, kemudian penduduk sekitar mulai diajak dan tertarik untuk melakukan pembatikan. 2 Keberadaan kain batik yang eksklusif dikalangan keraton ini kemudian mengalami penyebaran ke wilayah luar lingkungan keraton. Adapun salah satu pengrajin kain batik yakni berada di wilayah Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul. Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775 menandai kelahiran Keraton Yogyakarta sebagai pengembang dan pemelihara budaya. VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono pertama sebagai penguasa kota 1 A.N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta: Merapi, 2002), hlm. 2. 2 Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16 November 2013.

Transcript of BAB III SENTRA KERAJINAN BATIK DI WIJIREJO A. Masa …eprints.uny.ac.id/18420/5/BAB III...

  • 45

    BAB III

    SENTRA KERAJINAN BATIK DI WIJIREJO

    A. Masa Jaya Pembatikan di Desa Wijirejo

    Istilah batik dapat diartikan sebagai berikut yakni gambaran atau

    hiasan pada kain menggunakan alat canting atau sejenisnya yang di hasilkan

    melalaui proses tutup-celup dengan lilin kemudian dilanjutkan dengan proses

    berikutnya sehingga terciptalah sebuah mahakarya kain batik.1 Kraton Yogyakarta

    sebagai pelindung budaya leluhur dan sekaligus pelestari budaya membatik

    mengajarkan keahlian membatik hingga keluar dari benteng kraton.

    Pada awalnya kegiatan pembatikan ini populer di kalangan keluarga

    dari abdi dalem tersebut, kemudian penduduk sekitar mulai diajak dan tertarik

    untuk melakukan pembatikan.2 Keberadaan kain batik yang eksklusif dikalangan

    keraton ini kemudian mengalami penyebaran ke wilayah luar lingkungan keraton.

    Adapun salah satu pengrajin kain batik yakni berada di wilayah Desa Wijirejo,

    Pandak, Kabupaten Bantul.

    Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775 menandai kelahiran

    Keraton Yogyakarta sebagai pengembang dan pemelihara budaya. VOC mengakui

    Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono pertama sebagai penguasa kota

    1A.N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta: Merapi, 2002),

    hlm. 2.

    2Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    November 2013.

  • 46

    Yogyakarta yang kaya budaya.3 Lahirnya Keraton Yogyakarta ternyata juga

    membawa dampak sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Salah satu hal yang

    paling mencolok adalah dalam hal budaya, yakni dengan kemunculan dan

    keberadaan sebuah karya seni yakni batik, yang digunakan sebagai pelengkap dari

    busana adat hingga menuju ke arah komersialitas.

    Secara etimologis istilah batik berasal dari kata tik, yakni berasal dari

    kata menitik yang memiliki arti menetes.4 Dalam bahasa Jawa Krama batik

    disebut seratan, dalam bahasa Jawa Ngoko disebut tulis, yang dimaksud di sini

    yakni menulis dengan lilin. Selain itu batik merupakan gambar yang dihasilkan

    dengan menggunakan alat canting atau cap bermotif dengan bahan lilin sebagai

    penahan masuknya warna.

    Batik dapat diartikan yakni gambaran atau hiasan pada kain atau

    sejenisnya yang dihasilkan melalui proses tutup-celup dengan lilin yang kemudian

    dilanjutkan dengan proses berikutnya sehingga terciptalah sebuah kain batik,

    selain itu kain batik merupakan bahan tekstil hasil pewarnaan menurut corak khas

    motif batik secara pencelupan rintang dengan menggunakan lilin batik sebagai

    bahan perintang. Campuran untuk pembuatan bahan lilin terdiri dari gondo-

    rukem, damar mata kucing. Lilin tawon/kote, lilin lanceng, parafin, mikrowax,

    minyak hewan, minyak kelapa dan lilin bekas.

    3Ricklefs. M.C, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada

    University Press, 2005), hlm. 149.

    4Fraser, Sylivia, Indonesian Batik: Processes, Patterens and Places,

    (Singapore: Oxford University Press,1986), hlm. 1.

  • 47

    Kain batik telah menjadi simbol kebesaran dan keanekaragaman, yang

    termasuk dalam seni kerajinan tangan pada abad XX. Berdirinya keraton

    Yogyakarta tak terlepas dari simbol-simbol budaya yang dimiliki oleh keraton.

    Sejak Sri Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di kasultanan Yogyakarta,

    keberadan kain batik sudah sangat populer bagi kalangan kerajaan, dan kain batik

    telah menjadi budaya keraton Yogyakarta sebagai warisan budaya dari kerajaan

    Mataram serta dianggap sebagai simbol kebesaran, kebanggaan, dan

    kebangsawanan.5

    Sejumlah atribut kerajaan mulai muncul sebagai ciri khas atau sebagai

    suatu identitas, dan memiliki keunikan tersendiri. Busana adat yang dipergunakan

    dalam upacara-upacara keraton Yogyakarta dapat kita lihat sebagai suatu identitas

    dan simbol yang melekat dalam diri pemakaianya, hal tersebut mempunyai

    keterkaitan dengan hak dan kewajiban pemakaiannya. Para priyayi biasanya

    sangat dekat dengan konsep di atas yakni sebagai pengguna kain batik yang

    memiliki makna prestise.

    Priyayi menurut istilah aslinya menunjuk kepada orang yang bisa

    menelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar di Jawa zaman

    sebelum penjajahan, yang sangat erat dengan mitos-mitos. Semenjak

    pemerintahan kolonial Belanda menguasai Jawa kurang lebih tiga abad dan mulai

    menggunakan tenaga pribumi untuk mengurus kegiatan administrasi kekuasaan

    priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat

    5Ricklefs, M.C, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi, (London: Oxford

    University Press, 1974 ), hlm. 76.

  • 48

    persediaan aristokrasi Belanda yang terbatas jumlahnya.6 Dalam kelompok priyayi

    ada semacam pembeda yang bisa dibandingkan, yakni apa yang disebut sebagai

    golongan terdidik dan terpelajar.

    Priyayi pada tingkatan menengah dan atas cenderung untuk berbahasa

    Belanda dan bukan berbahasa Jawa. Mereka yang lebih tinggi tingkatannya

    melakukan hal tersebut sampai pada satu titik mereka hanya menggunakan bahasa

    Jawa Ngoko untuk menyuruh para pembantu dan mereka priyayi hampir tak bisa

    mengucapkan bahasa ibu. Kaum priyayilah yang pada masa sebelum

    kemerdekan memperoleh keuntungan dari pendidikan yang disediakan kolonial

    Belanda untuk orang Jawa baik dikirim ke negri Belanda maupun di Jawa, bekerja

    sebagai administrator kecil di pabrik Belanda, perusahaan perkebunan, dan

    perusahaan angkutan.7

    Akhir abad XIX, proses pembuatan kain batik masih dilakukan sebatas

    untuk mengisi waktu luang para wanita atau perempuan keraton di Yogyakarta.

    Perlu diketahui bahwa sebagai seorang putri dari keluaraga keraton yang hidup

    pada masa kolonial, masa remajanya hanya di habiskan untuk berkutat

    dilingkungan keraton. Dari sinilah para putri keraton ataupun perempuan keraton

    menyalurkan apresiasi dengan berkarya, salah satunya membuat kain batik. Dalam

    serat Centini bagian 34. Maskumambang, disebutkan bahwa wanita yang ideal di

    6Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

    (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 308.

    7Ibid., hlm. 317.

  • 49

    mata seorang raden harus mempunyai beberapa kemampuan yang wajib dimiliki.

    Adapun kemampuan yang wajib dimiliki bagi para wanita yakni antara lain:

    (a) . Raden mesem pangandikan aris, klebet wajibing dyah, saget lah-olah sakalir, tagen rigen minta-minta.

    (b) . Wasis salir pakaryanipun pewestri, reratus myang medhak parem tapel pupus wilis, kanyoh, jejampi racikan.

    (c). Nyumerepi samuwaning anggi-anggi, pon-empon babakan eron

    ingkang maedahi, ngektosi kanggening karya.

    (d). Ngantih nenun nyulam nyongket andondomi, angraronce sekar batik

    nyogo babar adi manantes isining wisma.8

    Terjemahanya:

    a. Raden tersenyum sambil berkata, termasuk kewajiban wanita, pandai

    memasak dan pandai segala sesuatu.

    b. Pandai segala pekerjaan wanita. Mengerjakan perusapan dengan

    membakar ratus, juga membuat bedak, parem, langit dan jamu racikan.

    c. Mengetahui penggunaan segala daun-daun yang bermanfaat untuk obat-

    obatan.

    d. Bertenun, menyulam, merenda, menjahit, merangkai bunga, membuat

    batik sampai menyelesaikannya menjadi kain yang bagus, dan pandai

    mengatur rumah.

    Pengrajin batik pada mulanya dikembangkan secara sengaja ketika

    kehidupan rakyat mulai merosot dan juga lambat laun di kembangkan secara

    terencana, sebagai alternatif terhadap kegiatan pertanian. Kerajinan merupakan

    usaha produktif di sektor non pertanian, baik berupa mata pencaharian utama

    maupun sampingan.9 Kerajinan yang terorganisir, baik secara sederhana maupun

    8Serat Centini, Suluk Tembang Raras, yasan Dalem Kanjeng Gusti

    Adipati Anom Mangkunegaran (Ingkang Sinuwun PB V ing Surakarta) Jilid 1,

    Transkripsi oleh Kamajaya, (Yogyakarta: Yayasan Centini, 1991), hlm. 107.

    9Soeri Soeroto, Sejarah kerajinan di Indonesia, dalam Jurnal Prisma

    (No. 8, Agustus, 1983), hlm. 20.

  • 50

    modern kemudian akan mengarah pada suatu taraf sebuah pemusatan pengrajin

    ataupun sentra pengrajin. Arti penting pengrajin dalam perekonomian di negara-

    negara sedang berkembang telah lama disadari dan diakui. Indsutri kecil selalu

    ditunjuk sebagai sektor kunci dalam penciptaan kesempatan kerja, mengingat

    untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

    Efek kesempatan kerja yang diciptakan oleh pengrajin kecil akan lebih

    besar dari pada efek serupa yang dihasilkan oleh industri besar. Selain itu dari

    sifat sebarannya dan keterkaitannya yang erat dengan sektor pertanian, pengrajin

    kecil juga sangat potensial untuk mendorong kemajuan ekonomi pedesaan.10

    Bagi

    penduduk pedesaan di Yogyakarta membatik merupakan pekerjaan yang sudah

    dikenal sejak lama. Ada yang melakukannya sebagai pekerjaan pokok ada pula

    yang hanya merupakan perkerjaan sampingan. Membatik dilakukan setelah

    mereka mengerjakan pekerjaan di sawah. Hal ini dilaksanakan baik untuk

    keperluan sendiri maupun untuk orang lain sebagai tukang batik.

    Batik dari Bantul, sering disebut sebagai batik barteran karena pembatik

    dari Bantul tidak memproses secara keseluruhan tetapi hanya membuat

    ngengrengan dan nerusi. Batik ini kemudian ditawarkan kepada perusahaan batik

    di Yogyakarta, yang akan menukarnya dengan mori yang sesuai kualitasnya di

    tambah uang sebagai ganti biaya malam dan upah membatik. Secara sepintas

    mereka pada dasarnya hanya menjual jasa membatik, tetapi kelompok ini lebih

    bebas menentukan motif batik dan lebih efisien, karena mori dan malam tidak

    10

    Hendarawan Supratikno, Pengembangan Industri Kecil di Indonesia,

    dalam Jurnal Prisma (No. 9, September, 1994), hlm. 26.

  • 51

    perlu mengambil dari para pengusaha di Yogyakarta. Sebagai konskuensinya

    batik barteran ini harus berhati-hati dalam mengerjakan, sebab para juragan batik

    dapat saja menolak hasil batikan yang dianggap kurang baik.

    Salah seorang pelopor dan penggerak dari kegiatan pembatikan di Desa

    Wijirejo adalah Bapak Dirjo Sugito. Beliau mulai menekuni pembatikan di

    Wijirejo sejak tahun 1960-an. Pada tahun-tahun ini kegiatan pembatikan di

    Wijirejo masih bersifat sebagai pekerjaan pembatikan sambilan. Adapun Latar

    belakang penduduk Desa Wijirejo sebagian bekerja sebagai petani merupakan

    alasan mengapa pada tahun-tahun tersebut pembatikan masih bersifat sebagai

    sampingan. Pada pagi hari mereka harus mengurus tanaman pertanian, setelah

    matahari mulai meninggi mereka kembali ke rumah masing-masing, dari sinilah

    waktu senggang mereka diisi dengan kegiatan membatik dengan teknik tulis.11

    Batik tulis merupakan salah satu bentuk dari seni lukis. Pola atau motif

    dasarnya dirancang satu orang saja, tetapi proses selanjutnya bisa dikerjakan

    secara bersama oleh orang-orang yang memiliki kecakapan dalam bidang tertentu.

    Penggambaran pola atau motif pada kain menggunakan canting sebagai alat untuk

    menerapakan lilin atau malam, dilakukan oleh pembatik yang telah ahli dan

    menguasai berbagai motif, yang telah dikenal secara umum dilakukan oleh

    pembatik ahli dengan bantuan beberapa garis bantu saja.

    Pembatik ahli ini biasanya hanya mengerjakan pada satu sisi

    (ngerengreng), sedangkan pada sisi lainnya (nerusi) dilakukan oleh pembatik lain.

    Hasil dari kegiatan pembatikan ini kemudian ditukarkan dengan bahan baku dan

    11

    Dirjo Sugito, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,

    16 November 2013.

  • 52

    upah yang di peroleh hanya sebatas upah tenaga yang tidak begitu tinggi. Hampir

    setiap Pabrik pembatikan aktif di Wijirejo pada tahun 1980 memproduksi

    pembatikan. Sekitar 34 unit usaha atau pengrajin menekuni pembatikan maka tak

    heran apabila di tahun-tahun tersebut merupakan era emas dari pemroduksian kain

    batik di Wijirejo. Adapun metode atau cara pembatikan menggunakan teknik batik

    cap. Penggunaan teknik cap ini mulai populer digunakan di Wijirejo pada tahun

    1980-an.

    Tabel 5

    Jumlah Produksi Batik

    di Wijirejo Pada Tahun 1980

    No Tahun Jumlah Pengrajin Tenaga Kerja Hasil Batikan

    1 1960 20 Unit Pengrajin 180 Pekerja 600 Lembar

    2 1970 28 Unit Pengrajin 530 Pekerja 940 Lembar

    3 1980 34 Unit Pengrajin 620 Pekerja 1.250 Lembar

    4 1997 10 Unit Pengrajin 90 Pekerja 300 Lembar

    Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Tahun 1980, 1990.

    Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa jumlah pengrajin

    kain batik pada 1960 jumlah unit produksi kain batik di Desa Wijirejo berjumlah

    600 lembar. Jumlah hasil batikan pada tahun 1970 mengalami peningkatan

    menjadi 940 lembar kain batik. Pada tahun 1980 jumlah hasil batikan kain batik

    mengalami peningkatan menjadi 1.250 Lembar kain batik. Namun pada tahun

    1997 terjadi penurunan dari jumlah hasil batikan hanya menjadi 300 lembar.12

    12

    Laporan Dinas Perpengrajinan, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten

    Bantul Tahun 1980, 1990

  • 53

    Dalam perkembangan masyarakat dan rentan waktu, batik mengalami

    perkembangan dalam materi dasar, ragam hias, teknik atau proses kegunaannya.

    Sebagai contoh, ragam hias pada masa awal terlihat sederhana bentuk geometris

    sederhana yang berupa lingkaran dan garis-garis yang kemudian berkembang

    semakin kaya dengan detail serta semakin rumit. perkembangan ragam hias tidak

    bisa di lepaskan dari perkembangan teknologi baik dalam peralatan, bahan baku

    maupun zat perintang pewarana. Sebelum dikenalkan dengan teknik cap kegiatan

    pembatikan dilakukan dengan cara ditulis lebih lama prosesnya, satu potong Kain

    batik memakan waktu sekitar kurang lebih satu bulan lamanya. Penggunaan

    metode atau teknik cap dalam pembatikan telah menyebabkan pemroduksian

    dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Penggunaan cap dalam pembatikan

    mampu menghasilkan kain batik dalam jumlah yang banyak, satu hari bisa

    memproduksi kurang lebih 20 sampai 30 lembar kain batik.

    Metode pewarnaan secara sintetis pada permulaan abad ke-20, (cat atau

    pewarna sintetis) dari Eropa mulai masuk kedalam pengrajin batik. Apabila

    dibandingkan dengan pewarnaan secara tradisional yang berbahan dasar dari

    tumbuhtumbuhan. Adapun zat warna dari tumbuhan yakni, daun nila untuk

    warna biru tua, kayu tegeran untuk warna kuning, dan kulit kayu tingi dan jambal

    untuk warna kuning dan merah coklat. Warna merah dari akar pohon mengkudu.

    zat warna ergan dan soga garam keduanya merupakan zat warna sintetis khusus

  • 54

    untuk warna soga. Pewarnaan dengan menggunakan sintetis lebih hemat dan

    efektif dalam penggunaanya.13

    Adanya inovasi tersebut menyebabkan jumlah produksi kain batik di

    tahun 1980-an mengalami masa jaya. Keuntungankeuntungan produktifitas yang

    dihasilkan menggunakan metode cap ini, dengan cepat mengakibatkan adanya

    pemusatan dalam kegiatan peroduksi kain batik. Penggunaan metode atau teknik

    cap ini mudah sekali diterapkan pada reproduksi polapola yang mempunyai

    penyaluran motif yang teratur, baik ke arah horizontal ataupun verikal maupun

    diagonal. Proses pembatikan secara cap memang diperuntukkan guna produksi

    pola-pola dengan unsurunsur pola yang lebih rapat.

    Apabila ditilik secara lingkungan fisik, kegiatan pengrajin batik di

    Wijirejo dilakukan di rumah-rumah. Namun bukan berarti bahwa pengrajin batik

    di Wijirejo termasuk dalam pengrajin berskala kecil rumahan. Penjabaran dari

    kerja rumahan (home work atau home-based work) lebih berhubungan dengan

    produksi pengrajin di rumah dibandingkan di pabrik. Untuk penggambaran yang

    lebih mendalam berikut beberapa elemen struktural dari jenis kerja tersebut :

    1. Kerja rumahan bukanlah produksi komoditi kecil-kecilan (pety

    commodity production). Walapun bahan produksi dapat dimiliki atau

    disewa pekerja, tetapi para pekerja tidak menjalankan usahanya

    secara bebas, baik dalam hal membeli sarana maupun menjual hasil

    produksi di pasar. Selain itu kerja rumahan merupakan suatu metode

    13

    Slamet, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    November 2013.

  • 55

    produksi (method of production). Perkerja rumahan bukanlah sub-

    kontraktor yang mengusahakan perusahaannya sendiri melainkan

    pekerjaan yang diupah (buruh). Pendapatannya tergantung pada

    keluaran (output) kerjanya (misalnya sistem target, kontrak, atau

    borongan) dan tidak tergantung jam kerjanya.

    2. Kerja rumahan merupakan kerja kontrak dalam arti luas, baik melalui

    kontrak dengan seseorang atau beberapa pedagang maupun

    pengusaha. Umumnya kontrak mengandalkan suatu perjanjian lisan

    yang disetujui seorang pedagang perantara (bakul), pemborong,

    ataupun wakil pabrik dan pekerja rumahan.

    3. Kerja rumahan merupakan kerja upahan yang umumnya berbentuk

    upah berdasarkan hasil satuan produksi (per-potong atau per-buah)

    dan bukan berdasarkan jumlah jam kerja. Upah borongan tidak

    diukur dalam per-unit waktu kerja, dan umumnya lebih rendah jika

    dihitung per-satuan jam kerjanya.

    4. Kerja rumahan terutama merupakan pekerjaan sampingan

    (causalized). Artinya prospek penyediaan pekerjaan tak terjamin

    terus menerus, tergantung pasang-surut permintaan musiman.

    5. Panjang serta tenggang waktu kerja rumahan sangat longgar, tidak

    terikat dengan ketatnya disiplin waktu yang ditentukan oleh institusi

    pemberi kerja. Pada prinsipnya, pekerjaan dapat menentukan sendiri

    kapan mulai bekerja dan bebas untuk berhenti bekerja sejenak.

  • 56

    6. Berkaitan dengan barang yang dihasilkan, aneka macam barang

    dibuat di rumah: kerajinan tangan, mainan, dos/kotak, bunga plastik,

    serta pakaian, kancing, alat-alat dapur.

    7. Unsur struktur lokasi dan ruang kerja rumahan patut diberi perhatian

    khusus. Rumah sebagai tempat tinggal pekerja pada dasarnya juga

    merupakan lokasi pekerjaan rumah tangga.14

    Sentra pengrajin kerajinan kain batik di Wijirejo dapat dicirikan dalam

    jenis golongan pengrajin kecil, bukan termasuk dalam jenis pengrajin rumahan.

    Hal ini berdasarkan pengertian dan penjabaran dari pengrajin berskala kecil (small

    scale industry) yakni suatu perusahaan yang agak lebih besar dari pada pengrajin

    rumah tangga dengan 5-19 pekerja dan satu atau dua orang yang menjabat

    majikan.

    B. Juragan Pengrajin Batik di Desa Wijirejo

    Latar belakang para pengusaha batik di Wijirejo dapat dirunut dari

    silsilah keluarga. Sebagian besar pengrajin batik masih bersifat perseorangan yang

    menetapkan menejemen keluarga. Latar belakang dari para juragan atau

    pengusaha pengrajin kain batik di Desa Wijirejo sebagian besar merupakan

    warisan dari orang tua mereka. Kegiatan usaha pembatikan akan diserahkan

    kepada anggota keluarga mereka (anak, cucu, dan seterusnya), untuk mengurusi

    proses pembatikan, yang meliputi produksi, dan pengaturan kerja, baik mengenai

    upah maupun tenga kerja.

    14

    Holzner, Brigitte, Gender dan Kerja Rumahan, dalam Jurnal Prisma

    (No. 3, Maret, 1992), hlm. 36.

  • 57

    Adapun rumah Pengrajin batik tertua terdapat di Desa Wijirejo, dimiliki

    Bapak Topo. Rumah indutri tersebut merupakan hasil warisan turun temurun dari

    orang tuanya. Sebelum menjadi seorang juragan kain batik, Pak Topo ikut bekerja

    menjadi seorang buruh pembatik. Menurut Pak Topo, dahulu ketika beliau belajar

    membatik tidak dilakukan dengan cara kursus, melainkan hanya melihat secara

    langsung dari proses terdahulunya dan mempraktekan.15

    Tidak mengherankan

    apabila dirunut para pemilik atau pengusaha kain batik di Desa Wijirejo memiliki

    hubungan kekeluargaan antara sesama pengusaha Pengrajin kain batik.

    C. Struktur Organisasi Pembatikan di Desa Wijirejo

    Organisasi usaha pembatikan di Desa Wijirejo umumnya termasuk

    pengrajin keluarga. Pada pengrajin keluarga, yang bekerja dan yang bertanggung

    jawab terhadap jalannya pengrajin batik adalah suami dan isteri. Anggota keluarga

    yang lain baru diminta untuk membantu kalau diperlukan tergantung dari besar-

    kecil jumlah hasil produksi. Dalam pengrajin batik di Desa Wijirejo keterlibatan

    suami dan isteri cukup banyak. Suami umumnya mengurusi pekerjaan yang

    berhubungan dengan pengecapan, pencelupan dan pelorodan sampai penjualan

    batik dan pembelian bahan-bahan pembatikan. Isteri mengurusi pembuatan pola

    batik, ngerengreng, isen-isen, dan klowongan. Semua pekerjaan ini yang lebih

    sesuai dengan wanita, yang membutuhkan ketelitian dalam proses tersebut.16

    15

    Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    November 2013.

    16Wakirah, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    November 2013.

  • 58

    Pengrajin batik tulis telah mengalami perkembangan yang panjang ini

    tidak dapat dilepaskan dari upaya para pengusaha yang selalu mencari jalan dan

    cara untuk menekan ongkos produksi, yaitu meningkatkan efisiensi pembatikan.

    Upaya untuk itu dilakukan dengan cara pembuatan pola yang sama, kemudian

    disunggingkan pada beberapa kain. Sunggingan ini mengarahkan pembatikan agar

    menapakkan canting pada pola tersebut, sehingga komposisi tetap utuh sesuai

    dengan sunggingan.

    Akibatnya, pembatik kebanyakan harus lembur, yaitu segera

    menyelesikan pekerjaan. Atau pekerjaan dibawa pulang untuk dikerjakan secara

    bersama-sama oleh beberapa orang. Pekerjaan bersama-sama pada satu lembar

    batik dapat mengakibatkan pola yang tidak sama, karena gaya batikan seseorang

    umumnya berbeda. Oleh sebab itu muncul beberapa jenis pembatik sesuai dengan

    keterampilan dan daya imajinasi masing-masing:

    1. Pembatik klowongan adalah pembatik yang pintar mereka-reka

    klowongan yang hidup, yang akan diisi dengan isen-isen dan

    klowongan yang mati, yang ditutup dengan malam, tidak dengan isen-

    isen. Pembuat batik klowongan adalah orang yang memiliki daya

    khayal tinggi dan mempunyai keahlian dalam menyusun komposisi

    ragam hiasnya.

    2. Pembatik isen-isen adalah pembatik yang pintar dalam memberi isen-

    isen pada pola yang besar dan kecil. Karakter isen-isen harus dekat

    dengan karakter ragam hias.

  • 59

    3. Pembatik rengrengan adalah pembatik yang menggarap baik

    klowongan ataupun isen-isen dari sisi yang pertama, karena belah

    pertama memerlukan imajinasi yang luwes.

    4. Pembatik terusen adalah pembatik yang menggarap baik klowongan

    atau isen-isen dari belahan yang kedua. Untuk menjadi pembatik ini

    tidak diperlukan keterampilan tinggi, karena pekerjaanya hanya

    mengikuti tapak yang telah ada.

    5. Pembatik popokan adalah pembatik yang mengerjakan menutup ragam

    hias yang dikehendaki sesuai dengan warna celupannya. Tingkat

    ketrampilan pembatikan popokan berada dibawah pembatik isen-isen,

    karena pembatik popokan tidak menapakkan garis atau titik tetapi

    blok-blok yang menutup ragam hias.

    6. Pembatik tonyokan adalah pembatik yang menutup bidang latar tonyok

    sehingga bidang tersebut menjadi putih sesuai dengan warna dasarnya.

    Untuk mengontrol mutu dan mengurusi pekerjaan ini dilakukan oleh

    seorang juragan atau pengusaha. Adapun pencelupan dan pelorodan

    dikerjakan oleh tangan laki-laki.17

    Upaya efisiensi dalam pengecapan dikenal penggolongan tukang cap

    sesuai dengan keterampilan masing-masing, adapun penggolongan antara lain:

    17

    Ngadilah, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 14

    Februari 20014.

  • 60

    1. Tukang cap rakitan adalah tukang cap yang menggarap pengecapan

    dengan cara merakitkan satu cap dengan cap lainya, misalnya untuk

    memperoleh ragam hias.

    2. Tukang cap ceplok adalah tukang cap yang menggarap pengecapan

    ceplok atau ragam hias yang tidak perlu sambungan.

    3. Tukang cap pinggiran adalah tukang cap yang menggarap pengecapan

    bagian pinggiran, misalnya buk dan papan.

    4. Tukang cap byur adalah tukang cap yang menggarap pengecapan

    secara penuh, yaitu luas ukuran kain tanpa menggantikan dengan

    ragam hias tambahan. Jadi pada pengrajin batik cap, yang berperan

    banyak adalah tukang cap. Mereka melaksanakan pengecapan rakitan,

    ceplokan, pinggiran, dan byur.18

    Modal awal usaha dikumpulkan dari kedua belah pihak, dari jumlah kecil

    dahulu. Para pengusaha batik di Desa Wijirejo sering mencari masukan dari pasar

    dengan cara mengobservasi pasar, sehingga para pengusaha pengrajin batik di

    Desa Wijirejo dapat menetapkan batik mana yang mudah digarap, cepat selesai,

    sederhana, dan menguntungkan. Hal ini perlu dilakukan oleh para pengusaha batik

    di Desa Wijirejo, sehingga batik yang nanti dikerjakan tidak mendatangkan

    kerugian bagi pengrajin batik.

    18

    Adiatmojo, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 11

    Februari 20014.

  • 61

    D. Jenis Produksi Batik Di Desa Wijirejo

    Batik dikatakan memiliki nilai seni tinggi karena batik sebagai karya seni

    tradisional dan telah mempunyai identitasnya, bagi daerah-daerah yang pembatik

    tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan atau kehidupan kebudayaannya.19

    Motif dan corak batik yang berkembang sangat dipengaruhi oleh selera konsumen

    sesuai dengan perkembangan model dan perkembangan zaman. Adapun jenis

    gambar motif dari kain batik yang dikerjakan di Desa Wijirejo merupakan

    manifestasi dari lingkungan sekitar atau alam sekitar yang sering disebut sebagai

    motif alas-alasan, seperti pepohonan, burung, bukan motif-motif yang

    disakralkan atau dipakemkan.

    Dalam kain batik dikenal adanya pola sakral dan stratifikasi motif, hal ini

    didasarkan dari filosofi dari jenis dari kain batik masing-masing. Sebagai contoh

    motif atau jenis parang rusak barong, yang hanya boleh dikenakan oleh seorang

    raja. Motif kawung memiki filosofi ingat dan waspada. Wung dalam Kawung

    mengandung arti kembali kepada Tuhan. Hal ini tidak lepas dari filosofi hidup

    orang Jawa, (purwomadyowasono). Motif-motif tersebut mengadung pengertian

    hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan

    Tuhan.

    Memakai motif Kawaung berarti harus menjaga sopan santun serta

    menghindari sikap arogan. Selain filosofi, pola dari kain batik juga tak

    sembarangan dikenakan. kain batik berpola Pethuk Manten misalnya, digunakan

    oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita. Lain lagi dengan pola

    19

    Soedarso Sp, Seni Lukis Batik Indonesia Batik Klasik Sampai

    Kontemporer, (Yogyakarta: Taman Budaya DIY, 1998), hlm. 80.

  • 62

    kain batik Semen yang biasa biasa dipakai untuk menggendong bayi. Pola Semen

    merupakan pengejawanthan dari orang tua agar kelak anaknya dapat tumbuh dan

    sejahtera. Motif Gerompol berarti berkumpul atau bersatu dengan memakai kain

    ini diharapkan berkumpul segala sesuatu yang baik seperti rezeki, keturunan dan

    kebahagiaan hidup. Motif Bledak Sidoluhur Latar Putih yang bermakana

    pemakainya akan selalu dalam keadan gembira.20

    Hampir setiap Pabrik pembatikan aktif di Wijirejo pada tahun 1980

    memproduksi pembatikan. Sekitar 34 unit usaha atau pengrajin menekuni

    pembatikan maka tak heran apabila di tahun-tahun tersebut merupakan era emas

    dari peroduksi kain batik di Wijirejo. batik Wijirejo memiliki motif ciri khas

    yakni batik latar putih , alas-alasan, dan batik sogan .21

    Proses pembuatan

    kain batik di Desa Wijirejo menggunakan warna biru tua dan soga dengan

    tahapan:

    1. Membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik

    menggunakan canthing tulis/cap.

    2. Menutup bagian-bagian pola yang dibiarkan tetap berwarna putih

    dengan lilin batik.

    3. Mencelup mori yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna biru tua

    sebagai dasar warna kain.

    20

    Okky. N, Mengungkap Makna Sehelai Batik, dalam Balkon (No. 9,

    Oktober, 2006), hlm. 11.

    21

    Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak Kabupaten Bantul, 24

    Maret 2014.

  • 63

    4. Menghilangkan lilin klowong dari bagian-bagian yang akan diberi

    warna soga (cokelat) dengan menggunakan cawuk.

    5. Penutup dengan malam bagian-bagian kain yang akan tetap berwarna

    biru, sedangkan bagian yang akan disoga tetap terbuka.

    6. Mencelup mori ke dalam larutan soga menghasilkan warna coklat.

    7. Menghilangkan lilin batik dengan air mendidih.22

    Tabel 6

    Jumlah Produksi Batik

    di Wijirejo pada Tahun 1980

    No Tahun Jumlah Pengrajin Tenaga Kerja Hasil Produksi

    1 1960 20 Unit Pengrajin 180 Pekerja 600 Lembar

    2 1970 28 Unit Pengrajin 530 Pekerja 940 Lembar

    3 1980 34 Unit Pengrajin 620 Pekerja 1.250 Lembar

    4 1997 10 Unit Pengrajin 90 Pekerja 300 Lembar

    Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Tahun 1990.

    Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa jumlah pengrajin

    kain batik pada tahun pada tahun 1960 jumlah unit produksi kain batik di Desa

    Wijirejo berjumlah 600 lembar dengan jumlah tenaga kerja 180. Jumlah hasil

    batikan pada tahun 1970 mengalami peningkatan menjadi 940 lembar kain batik

    jumlah tenaga kerja 530. Pada tahun 1980 jumlah hasil batikan kain batik

    mengalami peningkatan menjadi 1.250 lembar kain batik dengan jumlah pekerja

    22

    Sri Muryati, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,

    24 Maret 2014.

  • 64

    mencapai 620. Namun pada tahun 1997 terjadi penurunan dari jumlah hasil

    batikan hanya menjadi 300 lembar, sedangkan jumlah pekerja menjadi 90.

    E. Upah Tenaga Kerja Pembatik

    Upah dalam sebuah industri dapat ditinjau dari dua segi. Dari sudut

    Sosial tingkat upah merupakan salah satu ukuran untuk menilai kesejahteraan

    buruh dan pemerataan pendapatan. Dalam hal inilah upah dapat mempengaruhi

    adanya investasi dan pemilihan jenis teknologi yang beragam.

    Praktek atau kenyataannya dua segi upah ini tidaklah selalu serasi, malah

    sering bertentangan. Banyaknya jumlah tenaga kerja menyebabkan rendahnya

    upah dan tingkat hidup buruh.23

    Meskipun berdasarkan ikatan keluarga, namun

    upah juga penting untuk diperhatikan. Pemerintah sendiri telah mengatur tentang

    perlakuan terhadap buruh dan pengupahan. Hal ini tercermin dalam dasar-dasar

    penetapan upah buruh telah ditegaskan dalam pasal 3 UU No.14/1969: tiap

    tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi

    kemanusiaan.24

    Para pekerja tetap atau tenaga ini bekerja sehari selama tujuh jam bekerja

    di pengrajin kain batik di Wijirejo, yang dimulai dari pukul delapan pagi sampai

    pukul empat sore. Sementara untuk istirahat diberi waktu selama satu jam dari

    pukul dua belas sampai pukul satu siang. Waktu istirahat ini biasanya

    23Chris Manning, Ketimpangan Upah Buruh: penelitian pada Industri Tenun dan Rokok Kretek , dalam Jurnal Prisma (No. 2, Mei, 1977), hlm. 39.

    24

    Danu Rudiono, Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak, dalam

    Jurnal Prisma (No. 1, Januari, 1992), hlm. 70.

  • 65

    dipergunakan untuk beribadah sholat Dzuhur bagi yang beragama Islam. Jumlah

    hari kerja efektif mereka biasnya selama lima sampai enam hari perminggu.

    Apabila ada pesanan sedang ramai maka jam kerja mereka akan bertambah

    bahkan sampai malam hari.

    Kewajiban dalam hal pemberian upah atau ongkos kerja kepada para

    tenaga kerjanya, pemilik pengrajin pembatikan kebanyakan menggunakan sistem

    borongan. Pemilik pembatikan melakukan pembayaran upah pekerjannya

    menggunakan sistem upah borongan yang bias hanya di berikan sekali dalam

    satu bulan. Upah borongan tersebut akan dihitung berdasarkan jumlah produski

    yang mampu diselesaikan oleh setiap pekerja.

    Upah yang diberikan juragan untuk satu potong kain batik besarnya

    berbeda-beda, dalam satu hari mereka mampu menyelesaikan 15 hingga 24.

    Besarnya upah tetap sangat lah bervariasi. Jumlah upah dihitung sesuai dengan

    keahlian dan lamanya masa mereka bekerja. Jadi pekerja yang sudah terampil dan

    memiliki masa kerja yang lama akan mendapatkan upah yang lebih besar dari

    pada mereka yang belum terampil.25

    Menurut Dinas Perpengrajinan jumlah upah Pengecap ini lebih tinggi

    dibandingkan pekerja yang lain sedangkan menurut Bapak Topo pemilik

    pembatikan di Wijirejo, tingginya upah pekerjaan pengecap, karena pekerjaan ini

    menuntut ketelitian, kejelian, serta kretifiats yang tinggi. Satu lembar kain batik

    yang berukuran dua meter, harus di cap sampai empat kali. Baik buruknya suatu

    25

    Tugiran, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 12

    Februari 2014.

  • 66

    pengerjaan kain batik akan mempengaruhi nilai jual hasil produksi tergantung dari

    hasil batikan cap dari pekerja tersebut.26

    Tabel 7

    Besarnya Upah Pekerja Berdasar Jenis Aktivitas Kerja

    Pengrajin kain Batik di Desa Wijirejo

    (upah perlembar kain batik yang selesai dikerjakan)

    No Tahun Pengecap Pewarnaan Penglorod

    1 1960 Rp 300 Rp 250 Rp 250

    2 1970 Rp 600 Rp 350 Rp 350

    3 1980 Rp 3000 Rp 2500 Rp 2500

    4 1990 Rp 6000 Rp 5000 Rp 5000

    Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Tahun 1990, dan

    Laporan Survey Ekonomi Desa Wijirejo Tahun 1960, 1990.

    Makin berkembangnnya pembagian kerja pada proses pembuatan batik

    menyebabkan jumlah orang yang terlibat dalam proses pembuatan batik juga

    semakin bertambah banyak. Proses ini dilakukan secara berantai menurut sifat dan

    jenis kerja yang berbeda. Untuk proses pembuatan kain batik, juragan batik

    banyak mempekerjkan tetangga-tetangga dan sedikit para buruh borongan dari

    daerah pedesaan yang membatik sebagai pekerjaan tambahan atau sambilan.

    Dengan demikian orang yang berkaitan dengan kegiatan membatik bertambah

    banyak seiring dengan berkembangnya pembagian kerja dalam proses pembuatan

    kain batik. Buruh batik umumnya menerima upah atas dasar perjanjian, upah

    borongan didasarkan atas jumlah pekerjaan yang diselesaikan.

    26

    Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    November 2013.

  • 67

    Sebelum diperkenalkannya teknik cap di Wijirejo, tenaga kerja atau

    pembatik wanita sangatlah dominan dalam pembuatan batik tulis. Berbicara

    tentang tingkat partisipasi angkatan kerja wanita di daerah pedesaan, memang

    lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Umumnya angkatan kerja wanita di

    pedesaan bekerja di sektor pertanian dan non pertanian seperti di pengrajin.

    Pembangunan dipedesaan dengan mengintrodusir mekanisme pertanian

    menunjukan adanya hasil yang melimpah. Namun dibalik itu ternyata terjadi

    penurunan partisipasi tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga kerja yang paling

    besar ada pada tenaga kerja wanita. Hal ini disebabkan karena adanya sistem

    tebasan dalam kegiatan pertanian, terutama ketika masa panen. Mereka yang

    terlempar dari sektor pertanian kemudian memasuki lapangan kerja formal atau

    indutri manufaktur, salah satunya bekerja di sektor pengrajin kain batik.

    Kegiatan ekonomi pedesaan tidak dapat dipisakan dengan kegiatan di

    sektor pertanian. Beberapa studi yang membahas peranan wanita di sektor

    pertanian cukup besar di samping kegiatan rumah tangga. Mereka umumnya

    bekrja dalam beberapa aspek produksi, panen, pasca panen, distribusi pangan, dan

    konsumsi. Peranan tersebut tidak saja pada kegiatan fisik tetapi juga dalam

    pengambilan keputusan. Dalam menambah penghasilan keluarga, wanita selain

    bekerja dari lahan sendiri dan sebagai buruh tani juga bekerja di luar sektor

    pertanian. Kegiatan diluar sektor pertanian tersebut antara lain mengerjakan

    kerajinan, usaha dagang kecil-kecilan, buruh musiman.27

    Wanita dalam sektor

    pengrajin batik mengambil peran dalam proses isenisen. Dalam proses ini

    27

    Handewi P. Saliem, Potensi dan Partisipasi Wanita dalam Kegiatan

    Ekonomi Pedesaan dalam Jurnal Prisma (No. 6, Juni, 1995) hlm. 16.

  • 68

    diperlukan ketelitian dan kesabaran, kedua aspek tersebut terdapat dalam diri

    wanita, oleh karena itu wanita di fokuskan dalam hal-hal yang membutuhkan

    ketelitian dan kesabaran.

    Masuknya wanita sebagai pekerja sering tidak menghilangkan peran

    mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab wanita

    dalam rumah tangga menjadi ganda, disatu sisi bekerja sebagai pencari nafkah

    tetapi di sisi lain pula memiliki kewajiban sebagai pengurus rumah tangga. Dalam

    kebudayaan Jawa, wanita ditempatkan sebagi second sex, hal ini tercermin dalam

    ungkapan swarga nunut, neraka katut (surga ikut, neraka juga ikut).

    Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja wanita tersebut berkaitan

    dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memberi hak yang sama antara

    pria dan wanita dalam bidang pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya

    memberikan kesempatan kerja bagi penduduk baik pria maupun wanita. Dalam

    perekonomian pengrajin nasib buruh tergantung pada hukum pasar yang

    menentukan harga tenaga mereka. Keberadaan tenaga kerja pria dalam pasar

    tenaga kerja lebih baik daripada wanita yang umumnya lebih rendah tingkatan

    pendidikan dan keahliannya. Dalam perekonomian semacam itu eksploitasi

    terhadap tenaga kerja wanita dapat terjadi.

    Semakin sempitnya lahan pertanian telah mendorong untuk memperoleh

    pendapatan terdapat suatu pola migrasi yang mereka lakukan dalam aktivitasnya.

    Untuk mempertahankan hidup mereka terjadi mobilitas fenomena keluar dan

    kedalam. Pola mobilitas kedalam yakni mobilitas yang dilakukan dengan mencari

    penghasilan dengan mempertahankan pertanian sebagai penghasilan mereka, dan

  • 69

    tidak jarang mereka melakukan sampai diluar dari desa bahkan juga sampai

    kecamatan untuk memperoleh pekerjaan dibidang pertanian maupun pengrajin.

    Munculnya pembatik atau tenaga batik di Wijirejo, Pandak, Kabupaten

    Bantul melalui dua cara yaitu, kemunculan seorang pengrajin atau pembatik

    karena adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri yang berupa semangat untuk

    memperoleh sumber pendapatan baru. Mereka melihat bahwa usaha pembatikan

    mampu mendatangkan hasil dan dapat memberikan jaminan pendapatan yang

    layak bagi keluarga.

    Untuk menjadi seorang calon pembatik dilakukan melalui beberapa cara

    antara lain, lewat maggang ataupun belajar sendiri. Magang dapat diartikan yakni,

    mereka ingin menjadi pembatik biasanya akan ikut bekerja dahulu kepada seorang

    pengrajin yang sudah lama berdiri dengan menjadi seorang pembatik. Melalui

    cara ini mereka akan mendapat pengetahuan mengenai proses produksi.

    Apabila mereka sudah merasa mampu maka biasanya akan memisahkan

    diri untuk membuka usaha sendiri. Adapun cara lain untuk menjadi seorang calon

    pembatik adalah dengan belajar sendiri. Adapun yang dimaksud dengan belajar

    sendiri yakni mereka secara mandiri membuka usaha pembatikan tanpa

    mendapatkan pendidikan ketrampilan mengenai pembatikan dari orang lain.

    Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha Pembatikan di Dusun Wijirejo,

    Pandak Kabupaten Bantul ini merupakan pekerjaan tetap atau disebut sebagai

    tenogo. Pekerja tetap ini mengerjakan pekerjaan di tempat pemilik usaha.

    Keuntungan mempekerjakan tenogo ini adalah pemilik usaha pembatikan dapat

    mengontrol secara langsung hasil pekerjaan yang mereka lakukan, tetapi pengrajin

  • 70

    harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk penyediaan makanan dan minuman.

    Sebagian pekerja yang direkrut adalah laki-laki, dan sedikit pekerja wanita.

    Mereka dapat dikatakan kekiutsertaannya dalam usaha pembatikan ini sudah

    turun-temurun.

    Adanya usaha pembatikan ini mampu menyerap tenaga kerja, sehingga

    mengurangi pengangguran di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul. Mereka

    yang bekerja dalam usaha pembatikan kebanyakan diambil dari kalangan

    penduduk Wijirejo sendiri, tetapi adapula pekerja yang berasal dari daerah sekitar

    seperti Pajangan, Bantul, bahkan ada yang berasal dari luar kabupaten tepatnya

    dari daerah Rotowijayan, sekitar Pojok beteng kraton Yogyakrta, namun

    prosentasenya sedikit.

    Jumlah pekerja yang mampu dipekerjakan oleh pembatik sangat

    beragam. Perbedaan jumlah pekerja ini sangat tergantung dari besar kecilnya

    usaha mereka. Suatu pengrajin batik yang volume usahanya besar tentu memiliki

    jumlah pekerja yang banyak. Rata-rata setiap indsutri batik di daerah Wijirejo

    mampu melibatkan tenaga kerja sekitar lima sampai dua puluh tenaga kerja pada

    tahun 1980 jumlah tenaga kerja di daerah pembatikan di Desa Wijirejo mampu

    menyerap tenaga kerja sampai 620 orang pekerja. Pekerja diperoleh dari

    lingkungan sekitar, dan pada hakikatnya para pekerja tersebut masih ada

    hubungan saudara. 28

    Pekerja yang rajin dan memiliki peran penting dalam proses

    pembatikan di berikan perlakuan khusus dalam lingkungan pengrajin. Hal tersebut

    28

    Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,

    24 Maret 2014.

  • 71

    bertujuan agar pekerja yang pandai dan terampil tidak berpindah ke juragan lain

    atau membuka usaha kerajinan sendiri.

    Tabel 8

    Jumlah Tenaga Kerja Pengrajin Batik di Desa Wijirejo

    No Tahun Jumlah Tenaga Kerja

    1 1960 180 Pekerja

    2 1970 530 Pekerja

    3 1980 620 Pekerja

    4 1997 90 Pekerja

    Sumber: Laporan Pertanggung Jawaban Desa Wijirejo dan Dinas Perindustrian,

    Perdagangan tahun 1960, 1970, 1980, 1997.

    Apalagi jika seorang pekerja tersebut menempati pada posisi yang vital,

    misalkan tukang pengecap yang sudah ahli dan memiliki kepandaian yang lebih

    jika di bandingkan dengan pekerja lain maka juragan tersebut akan memberikan

    perlakuan khusus terhadapa pekerja tersebut. Kekeluargaan antara juragan dan

    pekerja juga terlihat ketika pekerja sedang mengalami sakit, maka dengan cepat

    akan dibawa untuk berobat.29

    Sebagai seorang juragan batik di Desa Wijirejo akan sangat malu jika

    salah seorang dari pekerjannya sampai mengalami sakit yang berkepanjangan

    tanpa dibawa untuk berobat. Hal ini dikarenakan pekerja yang diperlukan adalah

    29

    Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,

    24 Maret 2014.

  • 72

    tenaga dan pikirannya. Apabila kondisi badan pekerja kesehatanya terganggu

    maka kegiatan produksi dari suatu pengrajin akan terganggu pula.30

    Perlakuan khusus yang dimaksud disini adalah juragan sering

    memberikan bonus ketika produknya buatannya laku keras atau bingkisan ketika

    menjelang hari raya Idhul Fitri atau Idhul Adha . Pekerja yang seperti ini sangat

    dijaga oleh seorang juragan, karena untuk mendapatkan seorang pengecap yang

    ahli dan pandai sangatlah sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu juragan kain

    batik memberikan tempat khusus dari salah satu sudut rumahnya untuk dijadikan

    sebagai tempat istirahat bagi pekerja yang spesial.31

    Tempat pekerjaan pembatikan yang menetap dengan rumah juragan

    merupakan salah satu faktor mengapa antara juragan dan pekerja tersebut

    memiliki ikatan batin yang kuat, pekerja dianggap sebagai anggota keluarga

    bukan diukur berdasarkan ikatan upah. Dalam sebuah pengrajin kain batik dikenal

    adanya istilah rolasan. Para pekerja di pengrajin kain batik di Wijirejo pada waktu

    rolasan biasanya di berikan makanan seadanya oleh pemilik atau juragan, biasnya

    nasi sayur dan telur, serta air putih untuk menghilangkan dahaga. Setelah selesai

    makan para pekrja yang beragama Islam menunaikan ibadah sholat Dzuhur di

    rumah pemilik pengrajin batik tersebut. Selain itu diselasela waktu istirahat

    30

    Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 16

    Nopember 2013.

    31

    Paijo, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul, 14

    Februari 2014.

  • 73

    pekerja juga menghibur diri dengan mendengarkan radio, adapun saluran favorit

    yakni lagulagu Jawa ataupun campur sari.32

    32

    Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,

    24 Maret 2014.