BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI...
Transcript of BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI...
46
BAB III
RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI-PUISINYA
A. Riwayat Hidup dan Karya-karya WS. Rendra
1. Riwayat Hidup WS. Rendra
WS. Rendra memiliki nama lengkap Willibrodus Surendra
Bhawana Rendra, lahir di kampung Jayengan, kota Surakarta, Kamis
kliwon 7 November 1935. Pada usia17 tahun, dan masih duduk di bangku
SMA St. Josef. Surakarta, ia mulai menerbitkan sajak-sajaknya di berbagai
majalah dengan memakai nama WS. Rendra. Sejak berusia 37 tahun dan
tinggal di kampung Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, dalam berkarya ia
menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja, sampai sekarang.
Ayahnya Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, adalah seorang
guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Kuna di sebuah SMA Katolik di
Surakarta. Di samping seorang guru bahasa yang sangat berbakti kepada
misi agama Katolik sampai akhir hayatnya, pak Broto juga seorang
dramawan “tradisional” sekaligus seorang guru silat jawa. Oleh Ayahnya
sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri
sebagai swasta yang bebas dari lembaga eksekutif pemerintah. Beliau
mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan Rendra menghargai
disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di dalam alam dan
di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu
mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles. 1
Leluhur bapak dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu
perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal Rendra berhenti
sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef di
Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat
1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan
diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel
1 Ken Zuraida, Curriculuum Vitae Rendra, dokumen pribadi tidak diterbitkan
47
Teater. Karya-karya diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea,
Jepang, Inggris, Rusia, Jerman, Perancis, Cheko, dan Swedia. 2
Ibu Rendra bernama Raden Ayu Ismaidillah seorang penari srimpi
keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang
masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu mengajarkan
bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati
olah kelana, olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar
badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.
Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapatkan
pada masa kanak-kanak dan masa remaja itulah yang berpengaruh kepada
wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu,
kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembelaan kepada daya hidup dan
daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, dan juga
kepekaannya kepada masalah-masalah pendidikan dan keadaan sosial. Hal
itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontrofersi bagi politisi-politisi dan
budayawan-budayawan yang tidak kreatif.
Rendra menamatkan SMA-nya pada tahun 1955. Di masa kanak-
kanak sebenarnya ia bercita-cita untuk memasuki Akademi Militer tetapi
cita-cita itu gagal karena ilmu hitung dan ilmu pastinya buruk. Setelah
tamat SMA ia masuk Universitas Gajah Mada belajar sastra barat di
Fakultas Sastra dan Kebudayaan.
Tahun 1964, sebagai penyair, ia berangkat ke Amerika untuk
memenuhi undangan Pof. Dr. Henry Kissinger untuk mengikuti seminar
Humaniora di Harvard University. Disusul kemudian menjadi tamu US
State Departement untuk berkeliling Amerika Serikat. Diakibatkan situasi
politik ia tidak dapat kembali ketanah air, kebetulan ia mendapat
kehormatan sebagai tamu dari The Roclefeller Foundation lalu kemudian
dilanjutkan menjadi tamu JDR IIIrd Foundation. Ia mengisi waktunya
dengan belajar drama di American Akademy Of Dramatic Arts, di New
2 WS. Rendra, Penyair Dan Kritik Sosial, Kepel Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 161
48
york. Meskipun jauh sebelum ia berangkat ke Amerika serikat ia sudah
lebih dulu membuat eksperimen-eksperimen dalam seni drama bersama
grupnya ”Lingkaran Drama Yogyakarta” yang ia dirikan pada tahun 1962.
Namun begitu di bidang Humaniora ia mendapat banyak pelajaran di
Amerika Serikat, khususnya dari kampus New York University dimana ia
mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dan antropologi.
Pengalaman-pengalaman ilmiah selama di Amerika serikat sangat
mempengaruhi keseniannya, sebagaimana seniman ia lebih terlibat
terhadap masalah-masalah sosial-politik-budaya. Itulah periode ia bergulat
mencari bentuk seni yang tepat untuk tema-tema sosial politik dari
inspirasinya. Ia tidak bisa menerima kredo-kredo sosial realisme yang
banyak dianut seniman pada waktu itu. Akhirnya ia menemukan rumusan
estetik untuk sajak-sajaknya yang bertemakan sosial politik sebagai
berikut: metafora yang dipakai bersifat grafik dan plastik. dan dalam
bentuk semacam itu ternyata ia bisa menciptakan sajak-sajak yang enak di
baca di muka umum. 3
Masa remajanya WS. Rendra mengaku penah mengalami kondisi
kejiwaan tanpa agama. Ia mengaku hanya berketuhanan dan merasa tidak
puas dengan agama yang ada, juga dengan agama yang dianutnya saat itu
(Katholik). Pada tahun 70-an ia mengaku sempat tertular animisme jiwa
karena peseona kekuatan jagat alam. Namun ditengah kegalauan jiwa itu,
muncul dalam pikirannya bahwa manusia tidak cukup hanya berketuhanan
saja. Dalam pandangan Rendra, agama memberikan liturgi, kitab suci,
kesempatan berjamaah, serta segala sesuatu pasti akan kembali kepada-
Nya, sambil menunjukkan jari ke atas.
Pada masa selanjutnya Rendra mulai mempelajari agama-agama
lain, seperti Hindu, Budha, Taoisme dan sebagainya termasuk agama
Islam. Dia juga banyak membaca Al-qur’an. Dari perbandingan ini,
Rendra menemukan tidak ada yang seindah ayat-ayat Alqur’an. Membaca
3 Ken Zuraida, op.cit,hlm.1
49
Alqur’an melukiskan ke-Esaan Tuhan yang sungguh indah. Meski begitu,
ia belum mempunyai keinginan masuk Islam. Stereotip masyarakat Islam
yang suka bertikai, gampang tersinggung , dan prilaku buruk lainnya,
menjauhkan pikiran Rendra untuk masuk Islam. Akhirnya ia memutuskan
Alqur’an hanya menjadi bacaan saja.
Pada tahun 1979, suatu hari ia di ajak kawan-kawannya ke
parangtritis untuk melihat matahari terbenam. Saat asyik menyaksikan
tebenamnya matahari, sambil duduk bersila, tiba-tiba seluruh tubunhnya
merinding dan bergetar hebat. Tetapi justru ia merasakan nikmat luar
biasa, dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Pada puncak
kenikmatan itu tanpa sadar ia mengucapkan kalimat syahadat dengan
lantangnya, setelah itu jiwanya merasa tenang dan damai, tubuhnya
menjadi berhenti bergetar, namun konflik batin masih menghantuinya
pikirannya. Ia berbicara dengan hatinya sendiri,”kan saya sudah
mengislamkan diri, selanjutnya ia terus mencari dan terus mengalami
pergolakan batin untuk menemukan Islam yang sebenarnya, menurut akal
dan wahyu, karena ia masih bingung dengan Islam dan segala ragam aliran
di dalamnya.4
Alasan lain mengapa Rendra lebih memilih masuk Islam, dalam
sebuah wawancara dengan penulis, Rendra menyatakan bahwa tempat
tinggalnya dari kecil selalu dekat dengan Masjid dan ia tertarik dengan
segala aktifitasnya, dan merasa ingin mengikutinya. Ia tertarik dengan
suara azan, orang mengaji, pujian-pujian, sampai bacaan shalawat barjaji
yang sempat menjadi inspirasi untuk kumpulan karyanya, yaitu Qasidah
barzanji yang pernah dipentaskannya pada tahun 70-an.5
Demikian riwayat hidup WS. Rendra dengan perjalanan
spiritualnya yang begitu mengagumkan dan berliku-liku, dan inilah yang
menjadi sumber inspirasinya dalam karya-karyanya.
4 “Pengembaraan Spiritual WS. Rendra”, Harian Republika, Jum’at, 2 Mei 2003
5 Wawancara dengan WS. Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003
50
2. Karya-Karya WS. Rendra
Sebagai penyair ia telah melahirkan sajak-sajak sebagai berikut:
1. “Balada Orang-orang Tercinta”, 1957
2. “Rendra : Empat Kumpulan Sajak”, 1961
3. “Blues untuk Bonnie”,1971
4. “Sajak-sajak Sepatu Tua”., 1972
5. “Potret Pembangunan dalam Puisi”, 1980
6. “Nyanyian Orang Urakan”, 1985
7. “Nine Poems”, 1988
8. “Orang-orang Rangkasbitung”, 1990
9. “Penabur Benih”, 1992
10. “Disebabkan oleh Angin” 1993
11. “Mencari Bapa”, 1996
12. “Perjalanan Bu Aminah”, 1996
13. “Ten Poems”, 1997
Ia juga telah menulis berbagai naskah Drama, diantaranya yang
sangat terkenal ialah:
1. “Orang-orang di Tikungan Jalan”
2. “Mastodon dan Burung Kondor”
3. “Kisah Perjuangan Suku Naga”
4. “SEKDA”
5. “Panembahan Reso”
Selain itu ia juga menerjemahkan trilogi karya Shopocles “Oidipus
Rex”, “Oidipus di Kolonus” dan “Antigone” serta dua buah tragedi karya
W. Shakespeare, yaitu: “Hamlet” dan “Macbeth”.
Dalam seni drama ia dipengaruhi oleh bentuk teater rakyat dan
teater tradisional Jawa dan Bali. Namun begitu ia tidak mengkopi bentuk-
bentuk tradisional itu, melainkan melewati metabolisme dari daya
kreatifnya ia melakukan perombakan atau pengembangan yang dituntut
51
oleh kesadaran pikirannya yang modern. Metode latihan seni teater yang ia
ciptakan sebagai penerusan dari trasdisi kejawen dan yoga India, telah
dianut dan dijalankan oleh hampir semua group teater kontemporer di
Indonesia. dan juga mendapat sambutan yang hangat dari kalangan
seniman teater di Australia, jepang dan Malaysia waktu ia mengadakan
workshop di negara-negara tersebut.
Di workshopnya yang terletak di desa Cipayung jaya, Kecamatan
Pancoran Mas, Depok, Banyak pendatang dari Jerman, Jepang, Kolombia,
Inggris, Korea, Vietnam, Belanda, Australia, Amerika serikat, Cheko,
Malaysia, dan Swiss yang bergabung di dalamnya untuk beberapa waktu.
Sebagai penyair ia juga telah banyak melakukan pembacaan sajak
tunggal di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jember,
Malang, Banyuwangi, Pangkalpinang, Tembilahan, Bandarlampung,
Tasikmalaya, Pontianak, Sukabumi, Medan, Tegal, Ujungpandang,
Manado, Rotterdam, Leiden, Den Haag, Aachen, Berlin, Koln, Frankfurt,
Luneberg, Bremen, Hanburg, Sydney, Canberra, Amellbourne, Adelaide,
Perth, New Delhi, Bhopal, Trivandrum, Kuala Lumpur, Kota Kinabalu,
Kuala Terengganu, Kota Bharu, Malacca, Bandar Seri Begawan, New
York, Tokyo, Kyoto, Hiroshima, Leuven, Brussel, StocKholm, Paris, juga
Praha.
Di samping itu juga ia telah menulis banyak naskah sandiwara
saduran di antaranya:
1. “Kereta Kencana”,1962
2. “Eksperimen Paraguay” 1963
3. “Pangeran Honburg”, 1968
4. “Menunggu Godot”, 1969
5. “Lingkaran Kapur Putih”, 1976
6. “Lysisastra”, 1974
7. “Perampok”,1976
8. “Buku Harian Seorang Penipu”, 1989
dan puluhan naskah barat klasik maupun kontemporer lainnya.
52
Sebagai dramawan ia pernah diundang untuk mementaskan
karyanya ”Selamat Anak Cucu Sulaiman” di New York dalam The Firs
New York Festifal of Asean Arts, pada tahun 1988, serta pada tahun 1991
di tokyo untuk pembukaan ASEAN Culture Center, serta di Hiroshima
Jepang. Rendra turut memeriahkan “’98 Kwachon Int’I Open Air Festival”
di Kwachon, Korea selatan dengan reportoar yang sama. Diundang pula
“Indonesian Art Summit 1998” dengan reportoar “Kisah Perjuangan Suku
Naga”.
Berbagai Hadiah yang pernah diterima Rendra, antara lain :
1. Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk kumpulan
Sajaknya ”Balada Orang-orang Tercinta”, 1957
2. Anugrah seni dari menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas eksperimen teaternya, 1969
3. Hadiah Akademi Jakarta, untuk karya-karyanya selama kurun 1970-
1975
4. Penghargaan Adam Malik, dalam bidang kesenian, 1989
5. Wertheim Award untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dalam
karya-karyanya, 1991
6. Anugrah Hendar Fahmi Ananda, dari Senat mahasiswa Unuversitas
Mataram, untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dan demokrasi,
1991
7. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, sebagai
sasterawan terbaik, 1997
8. The SEA write Award dari putra Mahkota Thailand, untuk kumpulan
sajaknya “Orang-orang dari Rangkasbitung”, 1997
9. Medali Jos Kad Tyl, dari Duta Besar Czech untuk Indonesia untuk
perannya mempererat kebudayaan Indonesia dan Cheko.
10. The Habibie Award, dalam bidang filsafat, seni dan agama, 2000.
Serta banyak penghargaan lainnya baik dalam maupun luar negeri.
Naskah sandiwara karyanya “Mastodon Burung-burung Kondor”
dan “Kisah Perjuangan Suku Naga” sudah diterjemahkan dan diterbitkan
53
dalam Bahasa Inggris di India dan Australia. Sedangkan kumpulan sajak-
sajaknya “Ballada Orang-orang Tercinta”, “Blues untuk Bonnie” dan
“Potert Pembangunan dalam Puisi” diterjemahkan dan diterbitkan dalam
bahasa Inggris, Jerman dan Belanda. Antologi salak-sajak pilihan
karyanya sudah pula diterjemahkan dan diterbitkan di Belanda, Jerman,
Jepang, Rusia, Swedia, Malaysia, dan India. Sementara sajak-sajaknya
yang tercecer diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai majalah
kebudayaan di Perancis, Italia, Korea, Africans, Bulgaria, Hongaria,
Czech, Swedia, Jepang, dan India.6
Buku (Esay) yang pernah ditulisnya:
1. “Persiapan Seorang Aktor”
2. “Mempertimbangkan Tradisi”
3. “Seni Drama untuk Remaja”
4. “Memberi Makna pada Hidup yang Fana”
5. “Megatruh”
6. “Megatruh Kambuh”
7. “Agenda Reformasi seorang Penyair”
8. “Rakyat belum Merdeka”
9. “Maskumambang”
10. “Penyair dan Kritik Sosial”
11. “Rendra dan Teater Modern Indonesia”
Buku-bukunya yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa asing :
1. “Rendra: Ballads and Blues” terbitan Oxford University Press, 1974
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel, Harry
Aveling dan Derwent May
2. “Pamfletten van een dichter” disunting Thomas dan Eras, 1979
diterjemahkan ke dalam bahasa belanda oleh AA. Teeuw
3. “State of Emergency” terbitan Wild and Wolley, 1980 diterjemahkan
6 Ibid, hlm.2-4
54
ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling
4. “RENDRA” terbitan Daido Life Foundation diterjemahkan ke dalam
bahasa Jepang oleh Tetsuro Indoh
5. “Weltiche Gesange und Pamphlete” terbitan Horlemann, 1991
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Beate dan Rainer
6. ”Ijzeren Wereled” terbitan De Geus, 1991 diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda oleh Kees Snoek
7. “Puisi-puisi Rendra” terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,
1992 diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia oleh Dewan Bahasa
dan Pustaka Malaysia
8. “Naga Zoku-no Takai-no Monogatari” terbitan Mekon Publication,
1998 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Dr Y Murai
9. “WS RENDRA” diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia
oleh Maria A Boldyreva, 1995. 7
Festival yang pernah diikutinya:
1971 - The Rotterdam International Poetry Festival, Rotterdam
1979 - The Rotterdam Poetry Festival, Rotterdam
1981 - The Amsterdam Third World Poetry Festival, Amsterdam
1985 - The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi
- Berliner Horlizonte Festival, Berlin
1986 - The First New York Festival Of The Arts
- Carnivale Festival, Sydney
- Spoleto Festival, Melboudne
1989 - Vagarth World Poetry Festival, Bhopal
1991 - Festival Indonesia, Amsterdam
1992 - World Poetry Festival, Kuala Lumpur
- Singapore Poetry Festival, Singapore
1993 - Interlit 3, Erlangen and Berlin
7 Ken Zuraida, Biodata Rendra 2003, Dokumen pribadi, hlm. 1-2
55
1994 - Adelaide International Festival, Adelaide
- Tokyo International Festival, Tokyo
1995 - Istiqlal International Festival, Jakarta
- Winternacht Festival, Den Haag
1997 - Winternacht Festival, Den Haag
1998 - Poetry Africa, Durban
- Indonesia Art Summit, Jakarta
- Kwachon International Open Air Festival, Kwachon
1999 - Winternachten Festival, Den Haag
- Indonesian Culture Festival, Koln
- Poetry On The Road, Bremen
- Berlin Poetry International, Berlin
- Dresden Literaturtage, Dresden
2001 - Literatur Werkstatt Festival, Berlin
2003 - Dunia punya Festival, Rotterdam
- Borobudur Agitatif, Magelang
- Surabaya Festifal, Surabaya
- Images of Asia, Denmark
Karya yang sudah kemas dalam Cassette, CD And Video CD :
1 “Ballada Orang-orang Tercinta” - Naviri Record, 1977
2 “Sajak-sajak Cinta” - Granada Record, 1979
3 “2R”,ABC Recorc, 1983
4 “Rendra”, Blackboard, 1997
5 “Sajak-sajak Cinta Rendra”, Lies Hadi & Shandy Production, 1998.8
Masih banyak dokumentasi pementasan teater yang disutradarai
Rendra tetapi belum dipublikasikan.
B. Puisi-puisi WS. Rendra
Kumpulan sajak-sajak Rendra yang diterbitkan, merupakan jawaban
8 Ibid, hlm.5-6
56
pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong, kesaksian demi
keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam
kepenuhan kehidupan itu. demikian sebenarnya dapat ditandai nada-dasar
sajak-sajak dan drama karya Rendra.
Penemuan diri Rendra tidak pernah terlepas dari keterkaitannya
dengan masyarakatnya, kaitan dunia kosmos, dan yang senantiasa menjiwai
sajak-sajak penyair ini sejak semula. Rendra senantiasa telah menggarapnya
dengan sentuhan pribadi, memberinya isi, dan ekpresi baru, pada lambang-
lambang lama dia menyandangkan dimensi-dimensi baru. Untuk itu,
penghayatan eksistensi diri, kehidupan masyarakat dan alam, kosmos dan
Tuhan senantiasa merupakan suatu kesatuan. Orang dapat membeda-bedakan
aspek-aspek penghayatan kenyataan melalui puisi-puisinya, namun
pengisolasian dan pemutlakan, baik segi pribadi, kemasyarakatan maupun segi
kosmis-rellijius dari puisinya, tidak dapat dikenakan pada penyair ini. Dalam
sebuah esainya, ia membicarakan kehidupan, khususnya masa muda Sultan
pertama yokyakarta, Mangkubumi, atau Hamungkubuono I, Pengembaraan
Raden Mas Sujono ke tepi pantai, hutan-hutan dan gunung-gunung ini bersifat
religius, merupakan ritual untuk berkomunikasi dengan Tuhan, kang murbeng
jagat, penguasa alam semesta, pendekata diri kepada dewa-dewa dan mahluk-
mahluk lain di dunia. lewat pengembaraan ini dia dapat menghayati pergaulan
dengan pohon-pohon, tetumbuhan, binatang-binatang, embun, hewan dan
segala ciptaan yang tergelar di bumi ini.
Hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos,
manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan, dan akhirnya mencapai cita-cita
”Manuggaling kawulo Gusti”. Kesatuan antara yang disembah dan yang
menyembah. Juga ”Masmur Mawar” Rendra yang diilhami agama Katholik
dijelujuri mistik solidaritas ini. Singkretisme jawa juga menyertai lambang-
lambang Kristiani dalam puisinya.
Penghayatan liris eksistensi pribadi, terutama lewat erotik, keteribatan
sosial serta kaitan kosmis dalam kehidupan dan karya Rendra sepanjang
57
tahun-tahun ini, semakin teranyam menjadi satu, mendalam dan mesra.9
Dalam karya Bengkel Teaternya, Rendra selalu menekankan
pentingnya integrasi (kesatuan) antara kreatifitas pribadi, keterlibatan dengan
masyarakat dan religiusitas yang kosmis-mistik. Pada tahun 1975, dalam
latihan-latihan drama kisah Perjuangan Suku Naga, sebuah drama yang
penuh kritik tajam dan sengit terhadap kebijaksanaan pembangunan nasional
Indonesia, namun juga diarahkan pada gaya hidup pemimpin-pemimpin
rakyat. Repetisi-repetisi demikian itu selalu di dahului oleh latihan-latihan
mistik yoga, dibawah pimpinan Rendra sendiri, yang diikuti oleh seluruh
rombongan : meditasi, konsentrasi, yang dilakukan lewat praktek-praktek
yoga, didasari gerak badan Zen-Budis dan Jawa tradisional, namun di sini
diolah lagi menurut cara individual. 10
Rendra telah berpamit dengan kata-kata sastra yang indah, demi
keindahan kata itu sendiri seperti yang setelah sekian lama mendominasi puisi
Indonesia. Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk di dengar, dia tidak
menghilangkan teka-teki tetapi untuk dimengerti. Rendra sangat memahami
bahwa dia tidak dapat mengungkap kehampaan dan arti ganda kata-kata resmi
Indonesia yang formulais-ritual itu, kecuali dengan “membiarkannya bicara
sendiri” yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam konteks puisinya, ke
dalam dunia pengertian (atau konsep) profetisnya dan di dalam retorik-
lyrisnya. Dengan demikian di antara sajak-sajak ini sepintas-kilas memang
nampak hampir antipuitis. Sajak-sajak itu terbaca “seperti koran,” tetapi efek
ini sengaja dipilih, sehingga suara Rendra yang benar-benar lyris, yang
terantam disela-selanya, semakin memperkuat imajinasi visioner atau gugatan
profetisnya. 11
Untuk memudahkan pengidentifikasian karya dan agar memudahkan
apresiasi puisi, berikut ini adalah pengelompokan kumpulan sajak-sajak
Rendra, sebagaimana data dan analisa yang dikumpulkan oleh penulis, setelah
9 Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1993 hlm. 7-10 10 Ibid, hlm. 15 11 Ibid, hlm. 22
58
melakukan penelitian dan pengumpulan data yang mendalam. Penggolongan
ini dilakukan dengan mencari puisi-puisi yang mempunyai nilai religius yang
cukup tinggi, dan mengambil satu dari puisi tersebut, yang cukup mewakili
dari keseluruhan puisi-puisi Rendra:
1. Sajak-sajak Alam, Kehidupan dan Percintaan
a. Sajak Alam
Rendra pernah menulis sajak-sajak yang bertema tentang alam.
Sajak-sajak tersebut dapat kita jumpai dalam kumpulan sajak “Empat
Kumpulan Sajak”, diantaranya; Kali Hitam, Remang-Remang, Kangen,
Ibunda, dan sebagainya. Di antara sajak-sajak tersebut, sajak “Ibunda”
dipilih sebagai sajak yang paling religius dalam mengungkapkan
kecintaan penyair terhadap alam:
IBUNDA
Engkau adalah bumi, mama
Aku adalah angin yang kembara
Engkau adalah kesuburan
Atau restu atau kerbau bantaian
Kuciumi wajahmu wangi kopi
Dan juga kuinjaki sambil pergi
Kerna wajah bunda adalah bumi,
Cinta dan korban tak bisa dibagi. 12
Cinta bukan hanya terhadap kekasih, melainkan dalam
kehidupan harus disertai pula. Sebab tanpa itu semua akan sia-sialah
hidup ini.
Betapa manis, betapa indah, dan mempesona dilukiskan penyair
dengan “kerna wajah bunda adalah bumi”, yang tiada lain adalah
tanah air. Cinta terhadap tanah air tak dapat dibagi, berpaling
12 Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, cet. 6, 1990, hlm. 69
59
daripadanya berarti penghianatan.13
b. Sajak Kehidupan
Kebanyakan sajak Rendra adalah segala sesuatu yang sekarang,
atau mungkin kapan saja yang sedang terjadi dengan intensitas yang
sangat tinggi di negeri ini. Pendeknya sajak Rendra banyak memuat
tentang masalah kehidupan. Sapardi Djoko Damono memilih sajak
“Orang Biasa” sebagai sajak kehidupan yang paling mempunyai nilai
tinggi diantara sajak kehidupan Rendra lainnya. Dalam sajak ini
digambarkan seorang lelaki yang memilih pekerjaan sebagai guru.
Karena hanya sebagai gurulah ia merasa menjadi orang yang berarti.
...
Jangan disangka aku tidak pernah mencoba
Pengalaman lainnya.
Menjadi tentara. Agen koran.
Penagih rekening. Mengurus restoran.
Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku.
Apabila menjadi guru.
Semangatku bergelora, gairah hidupku menyala,
Dalam suka maupun duka, apabila aku menjadi guru.14
Duda tua dalam sajak ini menganggap dirinya sebagai orang
saja, namun sebenarnya ia menyaksikan konflik yang sedang terjadi di
sekelilingnya, yang mau tak mau terjadi juga di keluarganya. Berkat
kegigihan mendidik anak-anaknya, dua orang di antaranya menjadi
orang yang “tidak biasa” dalam masyarakat, seorang menjadi jendral,
seorang lagi menjadi istri bankir Jepang dan tinggal di Osaka. Kedua
anaknya itu ternyata sama sekali tidak bisa memahami hakikat hidup
ayahnya. Mereka bilang, “Ayah kurang ambisi. / kalau ayah mau /
13 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-sajak WS. Rendra, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, 1978, hlm. 29 14 WS. Rendra, Orang-orang Rangkasbitung, Perum Senosewu, Yogyakarta, 1993, hlm. 15
60
bisa lebih menjadi seorang.” Hanya anaknya yang bungsulah, yang
kebetulan juga menjadi guru dan menjabat sebagai pembantu rektor di
Universitas Gajah Mada, yang bisa memahami sikapnya.
Dalam keluarga mantan guru itu ternyata telah terjadi peristiwa
penting, yakni pergeseran nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang
bersumber pada kemajuan pendidikan. Karena pendidikan, anak-anak
pak guru telah mengalami perubahan hidup dan sikap, yang dalam
pandangan pak guru merupakan suatu hal yang tidak bisa
dipahaminya. Sementara menurut pandangan anak-anaknya, justru
sebaliknya.15
c. Sajak Cinta:
Sajak-sajak cinta Rendra banyak kita jumpai dalam kumpulan
sajak “Empat Kumpulan Sajak” dalam kumpulan itu banyak
membicarakan tentang kisah cinta sang penyair sendiri sampai ia
menemukan jodohnya. Betapa lembut dan manisnya penyair
melukiskan tentang perkawinannya, seperti dalam sajak “Kakwin
Kawin”,sebagai berikut :
....
maka hujanpun turun.
Karena hujan adalah rahmat
Dan rahmat adalah bagi pengantin
Angin jantan yang deras
Menggosoki sekujur badan bumi
Menyapu segala nasib yang malang.
Pohon-pohon membungkuk
Segala membungkuk bagi rahmat.
Dan rahmat hari ini
Adalah bagi pengantin.
15 Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra, Dewan Kesenian Jakarta, 1997, hlm. 3
61
Penyair dalam sajak ini tidak begitu banyak menggunakan
kata-kata yang sulit, tetapi semuanya dibangun oleh kesederhanaan
yang mengesankan. Perumpamaan-perumpamaannya tidak muluk-
muluk, tetapi lembut dan mempesona. Kisah percntaannya yang
penuh dengan suka dan duka, sedih dan gembira, cemburu,
menggairahkan dan sebagainya, diumpamakan sebagai angin
jantan yang deras / menggosoki sekujur badan bumi / menyapu
segala nasib yang malang.
Nasib yang malang telah dilaluinya, nasib yang penuh
dengan segala perjuangan bercinta telah dilaluinya. Kini semuanya
telah menemukan pelabuhan segala duka dan lara.16
2. Sajak-sajak Perjuangan dan Pemberontakan
a. Sajak Perjuangan;
Rendra telah banyak menulis sajak-sajak perjuangan, sajak-
sajak itu terdapat hampir dalam seluruh kumpulan karyanya. Baik
dalam kumpulan Sajak-sajak Sepatu Tua, Ballada Orang-orang
Tercinta, Empat Kumpulan Sajak dan dalam kumpulan karya lainnya.
Perjuangan menurut Rendra adalah perjuangan mempertahankan hidup
dari segala aspek kehidupan. Dari kekerasan, penindasan, fitnah,
politik kotor, dan sebagainya. Kekerasan memperjuangkan hidup lebih
nyata dalam sajaknya “lelaki-lelaki yang lewat” yang dapat kita jumpai
dalam kumpulan sajak “Empat Kumpulan Sajak”(EKS: 69)
.....
Dini hari yang segar
Dengan buahan di pepohonan.
Lelaki yang payah telah butuhkan rumah.
Mereka telah lewat dengan nyanyinya.
Lelaki-lelaki menjual umur dengan berani.
Mereka menyanyi dan selalu menyayi.
16 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 24
62
Ah, ya, tentu dengan kenangan yang indah.
.......
Setiap laki-laki tentu akan bertanggung jawab untuk bekerja
keras, tak perduli dengan usianya lagi, mereka telah menjual umur
dengan berani.17
b. Sajak Pemberontakan
Pemberontakan merupakan tema paling dominan dari karya
Rendra, tema-tema tersebut paling banyak mendominasi setiap
karyanya khususnya dalam kumpulan sajak “Ballada Orang-Orang
Tercinta”. Pemberontakan bagi Rendra bukan pemberontakan
memperjuangkan kekuasaan pemerintahan atau lembaga lainnya.
Melainkan mereka yang selalu memberontak terhadap keterbatasan
keadaan dirinya.18
Dalam sajak “Ballada Lelaki Tanah Kapur” (BOT : 10), para
lelaki dihadapkan pada para penyamun berkuda. Dimuka tegak para
penyamun, sedangkan di belakang pintu rumah terkunci siap menolak
mereka yang mundur tidak mau berlaga. Dalam keadaan seperti ini
menjadi lelaki bersedia menumpahkan darah. Justru dalam berhadapan
dengan maut inilah sifat-sifat terdalam seseorang akan muncul. Di sini
kita diperkenalkan dengan lurah Kudo Seto yang pulang kerumahnya
membawa belati kepala penyamun untuk anaknya. Di rumah, istri,
keluarga, dan para tetangga menyambutnya sebagai pahlawan.
Para lelaki telah keluar jalanan
Demikian kilatan-kilatan ujung baja
Dan kuda-kuda para penyamun
Telah tampak di perbukitan kuning
Bahasa kini adalah darah.
.........
Tema-tema serupa ini tampak pula dalam sajak-sajak lainnya
17 Ibid, hlm. 36 18 Rendra, Potret Pembangunan.....Op. cit, hlm. 27
63
walaupun dalam situasi yang berbeda, seperti dalam “Tahanan” (BOT :
20), “Gerilya” (BOT : 18) dan sajak pemberontakan lainnya.19
3. Sajak-sajak Ketuhanan dan Kemasyarakatan (Sosial)
a. Sajak Ketuhanan
Manusia sering lupa akan dosanya ketika berbuat dan baru
ingat setelah berbuat. Kadang-kadang lupa sama sekali. Barangkali
lupa pula atau tak disadari apa itu dosa. Segala yang diperbuatnya
hanya kepuasan dan kesenangan pribadinya masing-masing. Tak ada
yang dipikirkannya lagi waktu ia berbuat yang menurut dirinya
menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dan segala apa
yang berwarna kesenangan. Jauh, terhadap Tuhan. Lebih baik mereguk
segala apa yang menurut dirinya demi kepuasan hidup. Akan tetapi
ketika dirinya digelimangi, dibayangi rasa takut, yang mungkin setelah
dirinya sadar, maka timbullah keinginan untuk bertaubat (meskipun
banyak yang tak mau bertobat sama sekali!). Sajak “Tobat” telah
dipilih menjadi sajak ke-Tuhanan Rendra yang paling religius di antara
sajak ke-Tuhanan lainnya:
........
Aku tobat, ya Tuhanku
Tobat atas segala dosaku.
Burung-burung kecil di belukar
Batang pimping menggeliat.
Mulut-Mu di hutan
Di injak kaki petani
Aku tobat, ya Tuhanku
Telah kuinjak mulut-Mu
Dan juga jantung-Mu.20
19 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 10 20 Ibid, hlm. 65
64
Seorang yang baik adalah orang yang mengetahui dosa-
dosanya dan segera bertaubat, minta pengampunan Tuhan dan
merubah hidupnya menjadi lebih baik. “Telah kuinjak mulut-Mu / dan
jantung-Mu” berarti seseorang tersebut merasa kalau dirinya telah
menyalahi hukum Tuhan dan sadar kalau dirinya telah salah dan
akhirnya mau bertaubat.
b. Sajak Sosial
Banyak sajak-sajak Rendra yang bertema sosial atau
kemasyarakatan, seperti sajak “Dengan Kasih Sayang” yang
menuntun manusia untuk saling menyayangi antara satu sama lannya,
kemudian sajak “Ho Liang” yang menceritakan tentang seorang yang
kehilangan sahabatnya, Dan sajak-sajak lainnya. Rendra merupakan
penyair yang peka dengan keadan masyarakat (sosial), belas kasihnya
sangat tampak dalam sajak “Hari Hujan”, yang ditujukan kepada
tukang becak dan orang-orang yang tidak dapat bekerja karena hujan,
seperti dalam sajak berikut :
Hujan datang tercurah hujan
uang satu perak menggigil pulang abang becak
ditendang pintu rumah tumpah marah pada istri.
.........
hujan datang tercurah hujan
diteras toko anjing angkat satu kaki
bertambah lagi air bumi.
(sehembus nafas kurang kerja).21
Demikian pengelompokan sajak-sajak Rendra, menurut tema-
tema yang ada dan sengaja dipilih sajak yang paling religius diantara
sajak-sajak yang mempunyai tema-tema yang sama, karena menurut
21 Ibid, hlm. 41
65
penulis karya-karya Rendra adalah berkisar pada tema-tema tersebut.
C. Religiusitas WS. Rendra dalam Puisi-puisinya
Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai pengertian
“religiusitas”, bahwa arti religius, adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan
sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan atau dalam pengertian lain
berarti : memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati
nurani. Religiusitas lebih melihat aspek “di dalam lubuk hati”, ( hati nurani
pribadi), sikap personalnya sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa, “ducoeur” dalam arti menurut Pascal,
yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi)
kedalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas,
mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi.
Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya
lebih intim.22
Pengertian religiusitas memperlihatkan adanya hubungan transendental
antara manusia (penyair) dengan Tuhan ketika membaca kembali realitas
secara estetis, serta bagaimana hasil pembacaan itu difungsikan secara
horisontal (dalam hubungan sosial dengan manusia dan lingkungannya) dalam
wilayah pemaknaan yang berkenaan dengan moralitas (baik-buruk), politik
(adil-tidak-adil), bahkan memposisikan diri pada wilayah religius (benar-
salah, halal-haram).
Puisi mempunyai kecenderungan dan keterkaitan dengan religiusitas,
karena dalam puisi terkandung sebuah pesan oleh penyair kepada pembacanya
yang berisi tentang nilai-nilai, baik nilai keindahan (estetika), nilai moral, nilai
sosial, nilai agama dan sebagainya yang semua nilai itu merupakan sumber
nilai yang universal. Setiap puisi mesti berangkat dari sebuah nilai yang
disampaikan lewat tulisan atau dibacakan secara langsung, sehingga pembaca
atau pendengar tahu isi atau pesan dari puisi itu dan dapat memberikan
22 Jabrohim, Tahajud Cinta, Emha Ainun Najib, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 15
66
penilaian atas isi puisi tersebut.
WS. Rendra dalam perjalanan kepenyairannya telah menciptakan
banyak karya sastra, khususnya puisi yang tidak lepas dari nilai-nilai religius.
Hal yang menarik lagi adalah konversi agama (dari Kristen menjadi Islam)
yang dilakukan WS.Rendra, jika ditilik dari religiusitas puisinya. Ternyata,
tidak banyak terjadi pergeseran puitika yang lain. Berdasarkan penelitian awal
yang dilakukan Penulis dalam sejumlah wawancara intensif dengan Rendra
dan orang-orang di sekitarnya, ternyata, Rendra lebih ingin mengolah
kepekaan emosi dirinya sebagai seorang manusia yang tidak terpetak-petak
oleh aspek legal-formal agama, sehingga dapat dipahami mengapa pilihannya
jatuh pada puisi dan teater. Berkaitan dengan “religiusitas”, terdapat banyak
batasan. Religiusitas dari segi terminologi merupakan kata sifat yang merujuk
kepada arti “keberagamaan”, atau tepatnya bagaimana rasa keberagamaan
seseorang.
Rendra memberikan pengertian “religiusitas” dalam batasan yang
sangat luas, yakni tidak sekedar pengertian verbal-memakai simbol-simbol
agama melainkan apa saja yang tercakup dalam wilayah agama. Wilayah
agama sangat luas sehingga religiusitas juga luas cakupannya. Menurut WS.
Rendra “Religiusitas” tidak harus memakai simbol agama.
Rendra berpendapat, bahwa syairnya yang bertutur: “kemarin dan esok
adalah hari ini/bencana dan keberuntungan sama saja/langit di luar langit di
badan bersatu dalam jiwa…” merupakan syair yang religius; atau syair: “aku
mendengar suara/jerit makhluk terluka/ada orang memanah rembulan/ada
anak burung keluar dari sarangnya/orang-orang harus
dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan tetap terjaga”
merupakan puisi yang sangat religius. 23
Pada kesempatan lain, Rendra memperjelas pengertian “religiusitas”:
“Religiusitas adalah tata nilai, norma, pandangan hidup, dan semua tercakup
dalam agama. Jadi wilayah religiusitas adalah apa yang ada dalam wilayah
23 Wawancara dengan Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003
67
agama itu sendiri. Aspeknya sangat luas.”
Melihat uraian definisi tentang religiusitas dapat disimpulkan bahwa :
Relegiusitas adalah, manusia telah menerima ikatan dari Tuhan sebagai
sumber ketentraman dan kebahagiaan. Maka dengan hati nuraninya ia harus
mengetahui nilai-nilai yang universal, untuk itu wajib bagi manusia untuk
mengetahui yang baik dan buruk, halal dan haram, adil tak adil dan
sebagainya, yang semuannya itu merupakan sumber nilai.
Religiusitas harus dibedakan rasa keberagamaan, sebab tidak hanya
pemeluk agama saja yang mempunyai religiusitas, karena itu harus dibedakan
antara religiusitas kaum agamis dan religiusitas kaum non-agamis. Dalam
religiusitas kaum agamis (orang beragama), orang beragama memang banyak
yang religius, tetapi dalam kenyataannya ada orang yang beragama karena
jaminan material, karir politik, atau yang lain. Dalam hal ini memang sulit
dibedakan mana orang yang benar-benar beragama dan mana yang tidak,
karena secara kependudukan ia mempunyai KTP (kartu tanda penduduk) yang
cukup menjelaskan bahwa seseorang mempunyai agama, namun dalam
kenyataannya orang tersebut mungkin tidak menjalankan syari’at agamanya.
Kemudian untuk religiusitas non-agamis, banyak orang yang mengacu
pada cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari lebih dekat dengan
kesetiaan hati nuraninya, walaupun secara formal ia tidak beragama. Hal ini
banyak dijumpai dalam aliran-aliran kepercayaan, yang ajarannya hanya
menyuruh untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa ada Nabi
dan kitabsuci. Kesimpulannya adalah, banyak orang beragama yang tidak
religius dan ada orang yang tidak beragama tetapi lebih religius.24
Untuk melihat Religiusitas puisi-puisi WS. Rendra, sesuai kerangka
skripsi di atas, penulis akan mengkaji dengan kajian Psiko-historis, yaitu
berdasar pikiran apa yang melatarbelakangi kumpulan puisi tersebut, atau
pengaruh apa sehingga sajak itu tercipta. Historisitas sebuah karya sastra,
menurut Faruk HT. dalam Beyond Imagination menerangkan bahwa sastra
24 Jabrohim, Tahajud..op.cit, hlm. 17
68
tidak lagi di pahami sebagai subyektifitas seniman yang secara ideal dapat
merangkul keseluruhan semesta, melainkan sebagai sebuah fakta historis yang
hidup dalam konteks historis tertentu dan yang berhadapan dengan tantangan-
tantangan historis pula.25
Penulis akan menggunakan metode analisis kritis bahwa suatu teks
atau pemikiran bukanlah sesuatu yang independen dan dibentuk oleh konteks
yang mempengaruhi pemikir atau penulis konteks tersebut secara eksternal
seperti tindakan dan kondisi sosial, sejarah, dan unsur internal yaitu
kepribadian pemikir. Metode ini berusaha menggabungkan data yang telah
terkumpul dalam suatu penjelasan terperinci yang sudah cukup menjelaskan
suatu teori, sehingga, sifatnya tidak mentah dan bukan sekedar
mengumpulkan, karena peneliti terlibat sepenuhnya dalam pemilahan data
disertai argumentasi yang mendukung. Yang dijelaskan secara sintesis dalam
tahapan ini adalah religiusitas puisi-puisi WS. Rendra. Untuk itu penulis akan
memaparkan beberapa puisi WS. Rendra beserta alasan mengapa puisi
tersebut dijadikan sebagai contoh puisi paling religius diantara puisi Rendra
lainnya (yang mempunyai tema sama).
Kumpulan sajak pertama WS. Rendra yang pertama, berjudul Ballada
Orang-orang Tercinta banyak dibimbing dan di pengaruhi oleh tradisi
permainan dan imajinasi di dalam tembang dolanan anak jawa. Kemudian
kumpulan sajak Kakawin Kawin di bimbing oleh tradisi romantik tembang-
tembang palaran orang jawa. Sajak-sajak Sepatu Tua dan sajak-sajak lain di
tahun itu di bimbing oleh tradisi bahasa Koran. Kumpulan sajak Mamur
Mawar dan pementasan Kasidah Barzanji di bimbing oleh tradisi spirirual
mitologi Dewa Ruci dari orang-orang jawa. Pementasan Oidipus Rex
dibimbing oleh tradisi teater rakyat Bali. Gaya pementasan Macbeth diilhami
gaya folklor masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Kebanyakan karyanya di
pengaruhi oleh tradisi-tradiai orang jawa, khususnya dari tembang-tembang
25 Faruk H. T., Beyond Imagination (sastra mutakhir dan ideology), Gama Media,
Yogyakarta, 2001, hlm. 120
69
dolanan anak Jawa.26
Dalam sajak “Kali Hitam” pada kumpulan sajak Kakawin-kawin,
penyair menggambarkan Kali Hitam yang mengalir dengan keluh kesah, yang
dengan susah payah menerjang ke sana, ke sini. Hal ini merupakan
pelambangan yang dalam, yang akhirnya berakur di dasar dada. Satu
perenungan tentang pertemuannya alam dan dirinya;27
KALI HITAM
Kali hitam lewat dengan keluh kesah
Kawanan air dari tanah tak bernama.
Kali hitam lewat di tanah rendah
Kali hitam beralur di dasar dada.
Mengalir ia. Mengalir. Entah dari mana
Rahasia pertapa dan nestapa
Sunyi yang lahir dari tanya.
Betapa menjalar ini lidah yang berbisa !28
Kembalilah kepada diri sendiri, di mana sedang menghadapi atau
dalam gelimangan sunyi, maka akan menggelimanglah suatu sendatan
yang mungkin penuh oleh bermacam-macam pemikiran atau pertanyaan
dalam diri itu. Yang kemudian hanya diri itu sendiri yang akan mendapat
jawabannya, yang tiada lain penuh dengan rahasia “pertapa” dan “sunyi”
satu perbandingan. Orang bertapa tentu dalam sunyi, dalam suasana sepi.
Dalam menjalankan niat hatinya itu tentu mengandung banyak keinginan.
26 WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Gramedia, Jakarta, cet-I 1983, hlm. 5 27 Utjen Djusen R. Dkk, Memaham.......Op. cit, hlm. 27 28 WS. Rendra, Empat……..,op. cit, 1990, hlm.53
70
Di sinilah inti ekpresi sajak itu ditulis oleh seorang penyair.29
Bagaimanapun perjalanan hidup seseorang adalah adalah sebuah proses,
dalam proses itu pastilah menemui berbagai kendala atau halangan atau
rintangan, susah, senang, gagal, berhasil adalah sebuah akibat dari
perjalanan itu. sebagaimana kali yang mengalir, adalah untuk suatu
tujuan., yaitu kelestarian ekosistem yang ada di alam ini. Semua itu tidak
terlepas dari makna religius.
Dalam sajak Setelah Pengakuan Dosa, masih pada kumpulan sajak
Kakawin kawin adalah suatu perlambangan tentang adanya keremangan,
bayangan, kesunyian tanpa hati, yang kemudian mengesan dalam
kebimbangan, sadarlah kita bahwa hal itu menafaskan kematian. Maut
akan akan selalu datang menjemput kapan saja dan dimana saja. Akan
tetapi dalam hal ini penyair pun sadar dengan penuh bahwa “Tuhan adalah
bunga-bunga mawar yang merah, Tuhan adalah burung kecil berhati
merah seperti dalam sajak “Setelah Pengakuan Dosa”, berikut :
SETELAH PENGAKUAN DOSA
Telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu
Kau siram air mawar dari lukamu
Burung malam lari dari subuh.
Kijang yang lumpuh butuh berteduh
Di langit tangan-tangan tembaga terulur
Memanjang barat timur-bukit kapur.
Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang ramah.
Tuhan adalah burung kecil yang berhati merah.
Syair “telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu”, ini
mengingatkan kita kepada kelapukan, ketuaan. Kemudian diperjelas
29 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-…Op.cit, hlm. 28
71
dengan “kijang yang lumpuh butuh berteduh”. Semua akan berhenti pada
akhirnya, yaitu istirahat panjang untuk selamanya, tetapi dengan harapan
tulus, karena Tuhan adalah bunga-bunga yang ramah, Tuhan adalah
burung kecil yang berhati merah”, melambangkan ketulusan. Tuhan akan
menerimanya siapa saja yang bertaubat dengan tulus.30
Sajak “Masmur Mawar” dalam Sajak-sajak Sepatu Tua
menceritakan seseorang yang tak mungkin dapat mengingkari kebesaran
Tuhan, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuasa, Maha Mengetahui,
dan Maha Segalanya. Namun di pihak lain penyair menganggap bahwa
Tuhan “adalah teman kita yang akrab, Ia adalah teman kita semua: para
musuh polisi, para perampok, pembunuh, penjudi, pelacur, penganggur,
dan peminta-minta”, seperti terbaca dalam sajak ini;
MASMUR MAWAR
Kita menuliskan nama Tuhan.
Kita menuliskan dengan segenap mawar
Kita menuliskan Tuhan yang manis,
Indah dan penuh kasih sayang.
Tuhan adalah serdadu yang tertembak.
Tuhan berjalan disepanjang jalan becek
Sebagai seorang miskin yang bijaksana
Dengan baju compang camping31.
Sajak di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah maha bijaksana,
tidak pandang miskin kaya, kapan dan di mana saja, atau kepada siapa
saja. Tuhan akan selalu ada dan kuasa-Nya mutlak, ganjaran atas
perbuatan diukur berdasar amal dan perbuatan manusia sendiri.
Rendra adalah penyair yang sangat konsisten terhadap tradisi tanah
30 Ibid, hlm. 31-32 31 Ibid, hlm. 58
72
kelahirannya, sehingga banyak karyanya dipengaruhi oleh tradisi orang
jawa ”kejawen”. Hal ini dapat dilihat dalam kumpulan sajak Anuning Ning
(1988), semua sajak di situ menggambarkan tentang tradisi orang-orang
jawa dalam berdoa kepada sang pencipta. Seperti dalam sajak “Doa
Mengolah Welas Asih” mengajak pembaca untuk mencoba mengolah hati
kita agar selalu sabar dan lapang dada, sebagaimana syair berikut:
DOA MENGOLAH WELAS ASIH
Wahai, citra welas asih yang purba,
Inti dari tenaga alam semesta,
Inti dari daya hidup,
Inti dari daya pertumbuhan,
Inti dari daya penyembuhan,
Semoga melewati kamu
Aku bisa lebih dekat
dengan kehendak Tuhanmu;
Semoga getaran wibawamu
Terpancar dari tempat ini
Segenap penjuru alam semesta.32
Selain dalam puisi-puisi bertemakan ketuhanan, puisi pamflet atau
puisi sosial religiusitas puisi Rendra juga dapat dilihat dalam puisi
pemberontakannya yang banyak kita temui dalam kumpulan sajak
“Ballada Orang-orang Tercinta” dan bahkan dalam seluruh karya
puisinya. Semisal dalam puisinya yang berjudul “Tahanan”;
TAHANAN
Atas ranjang batu
Tubuhnya panjang
Bukit barisan tanpa bulan
73
Kabut dan liat
Dengan mata sepikan terali.
Di lorong-lorong
Jantung matanya
Para pemuda bertangan merah
Serdadu-serdadu belanda rebah.
Di mulutnya menetes
Lewat mimpi
Darah di cawan tembikar.
Dijelmakan satu senyum
Bara diperut gunung.
(para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam).33
Puisi tersebut menuturkan kehidupan seorang pemberontak yang
akan dieksekusi karena melawan penjajah (Belanda), tetapi walau sampai
ia ditembak matipun ia tetap tidak mau mengatakan rahasia yang
sebenarnya diketahuinya, karena ia sedang membela tanah airnya yang di
jajah.
Dalam sajak Rendra “Mencari Bapa” merupakan gambaran
perjalanan hidup Rendra dalam mencari sampai menemukan ajaran agama
yang menurutnya dapat menjawab semua pertannyaan hidupnya, yaitu
agama Islam. Sebagaimana penggalan sajak berikut :
Namaku suto
Ketika aku lahir
Hujan turun dengan lebatnya
Di ujung senjakala
Sebagai bayi tubuhku terlalu besar
32 Rendra, Anuning ning, Pusat dokumentasi H.B. Jassin, TIM Jakarta, Dokumen pribadi 33 WS. Rendra, Ballada….op. cit, 1993, hlm. 22
74
Aku lahir dengan kaki lebih hulu
Ibuku berteriak : “Aaak!”—lalu mati.34
Dari kutipan sajak tersebut kita dapat memberi makna bahwa Suto
adalah anak yang lahirnya tidak wajar, dan menurut orang Jawa anak yang
lahir demikian nantinya akan membawa sial, selanjutnya sajak tersebut
bercerita setelah besar Suto diusir dari rumah karena sangat nakal, dan ia
mengembara kemana-mana sampai menemukan sebuah rombongan yang
sama-sama mengalami nasib serupa. Rombongan yang di maksud penyair
dalam sajak tersebut adalah Bengkel Teater Rendra, yang merupakan
rekan kerja Rendra dalam berkarya.
Beberapa contoh religiusitas puisi WS. Rendra di atas dapat kita
simpulkan bahwa, untuk berbicara tentang religiusitas dalam sebuah puisi,
tidak haruslah ketika puisi itu sedang berbicara tentang agama atau Tuhan.
Tetapi kita melihat makna yang terkadung dalam puisi tersebut, apakah itu
tentang kritik sosial, hukum pemerintah (politik), pemberotakan, tentang
alam, dan sebagainya. Tetapi nilai-nilai itu haruslah nilai yang universal,
atau sebagai sumber nilai.
Jika kita berbicara tentang religiusitas puisi-puisi WS. Rendra,
maka jawabannya adalah hampir semua puisi Rendra adalah religius,
karena puisi-puisinya banyak berbicara tentang nilai-nilai yang universal,
baik nilai ketuhanan, kemanusiaan, ataupun tentang alam.
Seperti pengakuan Ken Zuraida dalam sebuah wawancara dengan
penulis mengatakan: “Sebagian besar puisi Rendra religius, walaupun ia
sedang berbicara tentang pembangunan, percitaan dan sebagainya”.35
Pengakuan tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi religiusitas menurut
WS. Rendra. Untuk melihat bagaimana religiusitas puisi WS. Rendra
lebih jauh akan dianalisis dalam Bab IV. [j]
34 “Rendra Mencari Bapa”, Bonus Majalah Horison, Edisi Desember 1985 35 Wawancara dengan Ken Zuraida, Depok Jakarta 15 Oktober 2003