BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI...

29
46 BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI-PUISINYA A. Riwayat Hidup dan Karya-karya WS. Rendra 1. Riwayat Hidup WS. Rendra WS. Rendra memiliki nama lengkap Willibrodus Surendra Bhawana Rendra, lahir di kampung Jayengan, kota Surakarta, Kamis kliwon 7 November 1935. Pada usia17 tahun, dan masih duduk di bangku SMA St. Josef. Surakarta, ia mulai menerbitkan sajak-sajaknya di berbagai majalah dengan memakai nama WS. Rendra. Sejak berusia 37 tahun dan tinggal di kampung Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja, sampai sekarang. Ayahnya Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Kuna di sebuah SMA Katolik di Surakarta. Di samping seorang guru bahasa yang sangat berbakti kepada misi agama Katolik sampai akhir hayatnya, pak Broto juga seorang dramawan “tradisional” sekaligus seorang guru silat jawa. Oleh Ayahnya sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga eksekutif pemerintah. Beliau mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan Rendra menghargai disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di dalam alam dan di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles. 1 Leluhur bapak dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal Rendra berhenti sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef di Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat 1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel 1 Ken Zuraida, Curriculuum Vitae Rendra, dokumen pribadi tidak diterbitkan

Transcript of BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI...

46

BAB III

RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI-PUISINYA

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya WS. Rendra

1. Riwayat Hidup WS. Rendra

WS. Rendra memiliki nama lengkap Willibrodus Surendra

Bhawana Rendra, lahir di kampung Jayengan, kota Surakarta, Kamis

kliwon 7 November 1935. Pada usia17 tahun, dan masih duduk di bangku

SMA St. Josef. Surakarta, ia mulai menerbitkan sajak-sajaknya di berbagai

majalah dengan memakai nama WS. Rendra. Sejak berusia 37 tahun dan

tinggal di kampung Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, dalam berkarya ia

menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja, sampai sekarang.

Ayahnya Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, adalah seorang

guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Kuna di sebuah SMA Katolik di

Surakarta. Di samping seorang guru bahasa yang sangat berbakti kepada

misi agama Katolik sampai akhir hayatnya, pak Broto juga seorang

dramawan “tradisional” sekaligus seorang guru silat jawa. Oleh Ayahnya

sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri

sebagai swasta yang bebas dari lembaga eksekutif pemerintah. Beliau

mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan Rendra menghargai

disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di dalam alam dan

di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu

mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles. 1

Leluhur bapak dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu

perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal Rendra berhenti

sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef di

Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat

1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan

diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel

1 Ken Zuraida, Curriculuum Vitae Rendra, dokumen pribadi tidak diterbitkan

47

Teater. Karya-karya diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea,

Jepang, Inggris, Rusia, Jerman, Perancis, Cheko, dan Swedia. 2

Ibu Rendra bernama Raden Ayu Ismaidillah seorang penari srimpi

keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang

masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu mengajarkan

bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati

olah kelana, olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar

badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.

Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapatkan

pada masa kanak-kanak dan masa remaja itulah yang berpengaruh kepada

wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu,

kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembelaan kepada daya hidup dan

daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, dan juga

kepekaannya kepada masalah-masalah pendidikan dan keadaan sosial. Hal

itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontrofersi bagi politisi-politisi dan

budayawan-budayawan yang tidak kreatif.

Rendra menamatkan SMA-nya pada tahun 1955. Di masa kanak-

kanak sebenarnya ia bercita-cita untuk memasuki Akademi Militer tetapi

cita-cita itu gagal karena ilmu hitung dan ilmu pastinya buruk. Setelah

tamat SMA ia masuk Universitas Gajah Mada belajar sastra barat di

Fakultas Sastra dan Kebudayaan.

Tahun 1964, sebagai penyair, ia berangkat ke Amerika untuk

memenuhi undangan Pof. Dr. Henry Kissinger untuk mengikuti seminar

Humaniora di Harvard University. Disusul kemudian menjadi tamu US

State Departement untuk berkeliling Amerika Serikat. Diakibatkan situasi

politik ia tidak dapat kembali ketanah air, kebetulan ia mendapat

kehormatan sebagai tamu dari The Roclefeller Foundation lalu kemudian

dilanjutkan menjadi tamu JDR IIIrd Foundation. Ia mengisi waktunya

dengan belajar drama di American Akademy Of Dramatic Arts, di New

2 WS. Rendra, Penyair Dan Kritik Sosial, Kepel Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 161

48

york. Meskipun jauh sebelum ia berangkat ke Amerika serikat ia sudah

lebih dulu membuat eksperimen-eksperimen dalam seni drama bersama

grupnya ”Lingkaran Drama Yogyakarta” yang ia dirikan pada tahun 1962.

Namun begitu di bidang Humaniora ia mendapat banyak pelajaran di

Amerika Serikat, khususnya dari kampus New York University dimana ia

mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dan antropologi.

Pengalaman-pengalaman ilmiah selama di Amerika serikat sangat

mempengaruhi keseniannya, sebagaimana seniman ia lebih terlibat

terhadap masalah-masalah sosial-politik-budaya. Itulah periode ia bergulat

mencari bentuk seni yang tepat untuk tema-tema sosial politik dari

inspirasinya. Ia tidak bisa menerima kredo-kredo sosial realisme yang

banyak dianut seniman pada waktu itu. Akhirnya ia menemukan rumusan

estetik untuk sajak-sajaknya yang bertemakan sosial politik sebagai

berikut: metafora yang dipakai bersifat grafik dan plastik. dan dalam

bentuk semacam itu ternyata ia bisa menciptakan sajak-sajak yang enak di

baca di muka umum. 3

Masa remajanya WS. Rendra mengaku penah mengalami kondisi

kejiwaan tanpa agama. Ia mengaku hanya berketuhanan dan merasa tidak

puas dengan agama yang ada, juga dengan agama yang dianutnya saat itu

(Katholik). Pada tahun 70-an ia mengaku sempat tertular animisme jiwa

karena peseona kekuatan jagat alam. Namun ditengah kegalauan jiwa itu,

muncul dalam pikirannya bahwa manusia tidak cukup hanya berketuhanan

saja. Dalam pandangan Rendra, agama memberikan liturgi, kitab suci,

kesempatan berjamaah, serta segala sesuatu pasti akan kembali kepada-

Nya, sambil menunjukkan jari ke atas.

Pada masa selanjutnya Rendra mulai mempelajari agama-agama

lain, seperti Hindu, Budha, Taoisme dan sebagainya termasuk agama

Islam. Dia juga banyak membaca Al-qur’an. Dari perbandingan ini,

Rendra menemukan tidak ada yang seindah ayat-ayat Alqur’an. Membaca

3 Ken Zuraida, op.cit,hlm.1

49

Alqur’an melukiskan ke-Esaan Tuhan yang sungguh indah. Meski begitu,

ia belum mempunyai keinginan masuk Islam. Stereotip masyarakat Islam

yang suka bertikai, gampang tersinggung , dan prilaku buruk lainnya,

menjauhkan pikiran Rendra untuk masuk Islam. Akhirnya ia memutuskan

Alqur’an hanya menjadi bacaan saja.

Pada tahun 1979, suatu hari ia di ajak kawan-kawannya ke

parangtritis untuk melihat matahari terbenam. Saat asyik menyaksikan

tebenamnya matahari, sambil duduk bersila, tiba-tiba seluruh tubunhnya

merinding dan bergetar hebat. Tetapi justru ia merasakan nikmat luar

biasa, dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Pada puncak

kenikmatan itu tanpa sadar ia mengucapkan kalimat syahadat dengan

lantangnya, setelah itu jiwanya merasa tenang dan damai, tubuhnya

menjadi berhenti bergetar, namun konflik batin masih menghantuinya

pikirannya. Ia berbicara dengan hatinya sendiri,”kan saya sudah

mengislamkan diri, selanjutnya ia terus mencari dan terus mengalami

pergolakan batin untuk menemukan Islam yang sebenarnya, menurut akal

dan wahyu, karena ia masih bingung dengan Islam dan segala ragam aliran

di dalamnya.4

Alasan lain mengapa Rendra lebih memilih masuk Islam, dalam

sebuah wawancara dengan penulis, Rendra menyatakan bahwa tempat

tinggalnya dari kecil selalu dekat dengan Masjid dan ia tertarik dengan

segala aktifitasnya, dan merasa ingin mengikutinya. Ia tertarik dengan

suara azan, orang mengaji, pujian-pujian, sampai bacaan shalawat barjaji

yang sempat menjadi inspirasi untuk kumpulan karyanya, yaitu Qasidah

barzanji yang pernah dipentaskannya pada tahun 70-an.5

Demikian riwayat hidup WS. Rendra dengan perjalanan

spiritualnya yang begitu mengagumkan dan berliku-liku, dan inilah yang

menjadi sumber inspirasinya dalam karya-karyanya.

4 “Pengembaraan Spiritual WS. Rendra”, Harian Republika, Jum’at, 2 Mei 2003

5 Wawancara dengan WS. Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003

50

2. Karya-Karya WS. Rendra

Sebagai penyair ia telah melahirkan sajak-sajak sebagai berikut:

1. “Balada Orang-orang Tercinta”, 1957

2. “Rendra : Empat Kumpulan Sajak”, 1961

3. “Blues untuk Bonnie”,1971

4. “Sajak-sajak Sepatu Tua”., 1972

5. “Potret Pembangunan dalam Puisi”, 1980

6. “Nyanyian Orang Urakan”, 1985

7. “Nine Poems”, 1988

8. “Orang-orang Rangkasbitung”, 1990

9. “Penabur Benih”, 1992

10. “Disebabkan oleh Angin” 1993

11. “Mencari Bapa”, 1996

12. “Perjalanan Bu Aminah”, 1996

13. “Ten Poems”, 1997

Ia juga telah menulis berbagai naskah Drama, diantaranya yang

sangat terkenal ialah:

1. “Orang-orang di Tikungan Jalan”

2. “Mastodon dan Burung Kondor”

3. “Kisah Perjuangan Suku Naga”

4. “SEKDA”

5. “Panembahan Reso”

Selain itu ia juga menerjemahkan trilogi karya Shopocles “Oidipus

Rex”, “Oidipus di Kolonus” dan “Antigone” serta dua buah tragedi karya

W. Shakespeare, yaitu: “Hamlet” dan “Macbeth”.

Dalam seni drama ia dipengaruhi oleh bentuk teater rakyat dan

teater tradisional Jawa dan Bali. Namun begitu ia tidak mengkopi bentuk-

bentuk tradisional itu, melainkan melewati metabolisme dari daya

kreatifnya ia melakukan perombakan atau pengembangan yang dituntut

51

oleh kesadaran pikirannya yang modern. Metode latihan seni teater yang ia

ciptakan sebagai penerusan dari trasdisi kejawen dan yoga India, telah

dianut dan dijalankan oleh hampir semua group teater kontemporer di

Indonesia. dan juga mendapat sambutan yang hangat dari kalangan

seniman teater di Australia, jepang dan Malaysia waktu ia mengadakan

workshop di negara-negara tersebut.

Di workshopnya yang terletak di desa Cipayung jaya, Kecamatan

Pancoran Mas, Depok, Banyak pendatang dari Jerman, Jepang, Kolombia,

Inggris, Korea, Vietnam, Belanda, Australia, Amerika serikat, Cheko,

Malaysia, dan Swiss yang bergabung di dalamnya untuk beberapa waktu.

Sebagai penyair ia juga telah banyak melakukan pembacaan sajak

tunggal di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jember,

Malang, Banyuwangi, Pangkalpinang, Tembilahan, Bandarlampung,

Tasikmalaya, Pontianak, Sukabumi, Medan, Tegal, Ujungpandang,

Manado, Rotterdam, Leiden, Den Haag, Aachen, Berlin, Koln, Frankfurt,

Luneberg, Bremen, Hanburg, Sydney, Canberra, Amellbourne, Adelaide,

Perth, New Delhi, Bhopal, Trivandrum, Kuala Lumpur, Kota Kinabalu,

Kuala Terengganu, Kota Bharu, Malacca, Bandar Seri Begawan, New

York, Tokyo, Kyoto, Hiroshima, Leuven, Brussel, StocKholm, Paris, juga

Praha.

Di samping itu juga ia telah menulis banyak naskah sandiwara

saduran di antaranya:

1. “Kereta Kencana”,1962

2. “Eksperimen Paraguay” 1963

3. “Pangeran Honburg”, 1968

4. “Menunggu Godot”, 1969

5. “Lingkaran Kapur Putih”, 1976

6. “Lysisastra”, 1974

7. “Perampok”,1976

8. “Buku Harian Seorang Penipu”, 1989

dan puluhan naskah barat klasik maupun kontemporer lainnya.

52

Sebagai dramawan ia pernah diundang untuk mementaskan

karyanya ”Selamat Anak Cucu Sulaiman” di New York dalam The Firs

New York Festifal of Asean Arts, pada tahun 1988, serta pada tahun 1991

di tokyo untuk pembukaan ASEAN Culture Center, serta di Hiroshima

Jepang. Rendra turut memeriahkan “’98 Kwachon Int’I Open Air Festival”

di Kwachon, Korea selatan dengan reportoar yang sama. Diundang pula

“Indonesian Art Summit 1998” dengan reportoar “Kisah Perjuangan Suku

Naga”.

Berbagai Hadiah yang pernah diterima Rendra, antara lain :

1. Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk kumpulan

Sajaknya ”Balada Orang-orang Tercinta”, 1957

2. Anugrah seni dari menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia atas eksperimen teaternya, 1969

3. Hadiah Akademi Jakarta, untuk karya-karyanya selama kurun 1970-

1975

4. Penghargaan Adam Malik, dalam bidang kesenian, 1989

5. Wertheim Award untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dalam

karya-karyanya, 1991

6. Anugrah Hendar Fahmi Ananda, dari Senat mahasiswa Unuversitas

Mataram, untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dan demokrasi,

1991

7. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, sebagai

sasterawan terbaik, 1997

8. The SEA write Award dari putra Mahkota Thailand, untuk kumpulan

sajaknya “Orang-orang dari Rangkasbitung”, 1997

9. Medali Jos Kad Tyl, dari Duta Besar Czech untuk Indonesia untuk

perannya mempererat kebudayaan Indonesia dan Cheko.

10. The Habibie Award, dalam bidang filsafat, seni dan agama, 2000.

Serta banyak penghargaan lainnya baik dalam maupun luar negeri.

Naskah sandiwara karyanya “Mastodon Burung-burung Kondor”

dan “Kisah Perjuangan Suku Naga” sudah diterjemahkan dan diterbitkan

53

dalam Bahasa Inggris di India dan Australia. Sedangkan kumpulan sajak-

sajaknya “Ballada Orang-orang Tercinta”, “Blues untuk Bonnie” dan

“Potert Pembangunan dalam Puisi” diterjemahkan dan diterbitkan dalam

bahasa Inggris, Jerman dan Belanda. Antologi salak-sajak pilihan

karyanya sudah pula diterjemahkan dan diterbitkan di Belanda, Jerman,

Jepang, Rusia, Swedia, Malaysia, dan India. Sementara sajak-sajaknya

yang tercecer diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai majalah

kebudayaan di Perancis, Italia, Korea, Africans, Bulgaria, Hongaria,

Czech, Swedia, Jepang, dan India.6

Buku (Esay) yang pernah ditulisnya:

1. “Persiapan Seorang Aktor”

2. “Mempertimbangkan Tradisi”

3. “Seni Drama untuk Remaja”

4. “Memberi Makna pada Hidup yang Fana”

5. “Megatruh”

6. “Megatruh Kambuh”

7. “Agenda Reformasi seorang Penyair”

8. “Rakyat belum Merdeka”

9. “Maskumambang”

10. “Penyair dan Kritik Sosial”

11. “Rendra dan Teater Modern Indonesia”

Buku-bukunya yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa asing :

1. “Rendra: Ballads and Blues” terbitan Oxford University Press, 1974

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel, Harry

Aveling dan Derwent May

2. “Pamfletten van een dichter” disunting Thomas dan Eras, 1979

diterjemahkan ke dalam bahasa belanda oleh AA. Teeuw

3. “State of Emergency” terbitan Wild and Wolley, 1980 diterjemahkan

6 Ibid, hlm.2-4

54

ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling

4. “RENDRA” terbitan Daido Life Foundation diterjemahkan ke dalam

bahasa Jepang oleh Tetsuro Indoh

5. “Weltiche Gesange und Pamphlete” terbitan Horlemann, 1991

diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Beate dan Rainer

6. ”Ijzeren Wereled” terbitan De Geus, 1991 diterjemahkan ke dalam

bahasa Belanda oleh Kees Snoek

7. “Puisi-puisi Rendra” terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,

1992 diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia oleh Dewan Bahasa

dan Pustaka Malaysia

8. “Naga Zoku-no Takai-no Monogatari” terbitan Mekon Publication,

1998 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Dr Y Murai

9. “WS RENDRA” diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia

oleh Maria A Boldyreva, 1995. 7

Festival yang pernah diikutinya:

1971 - The Rotterdam International Poetry Festival, Rotterdam

1979 - The Rotterdam Poetry Festival, Rotterdam

1981 - The Amsterdam Third World Poetry Festival, Amsterdam

1985 - The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi

- Berliner Horlizonte Festival, Berlin

1986 - The First New York Festival Of The Arts

- Carnivale Festival, Sydney

- Spoleto Festival, Melboudne

1989 - Vagarth World Poetry Festival, Bhopal

1991 - Festival Indonesia, Amsterdam

1992 - World Poetry Festival, Kuala Lumpur

- Singapore Poetry Festival, Singapore

1993 - Interlit 3, Erlangen and Berlin

7 Ken Zuraida, Biodata Rendra 2003, Dokumen pribadi, hlm. 1-2

55

1994 - Adelaide International Festival, Adelaide

- Tokyo International Festival, Tokyo

1995 - Istiqlal International Festival, Jakarta

- Winternacht Festival, Den Haag

1997 - Winternacht Festival, Den Haag

1998 - Poetry Africa, Durban

- Indonesia Art Summit, Jakarta

- Kwachon International Open Air Festival, Kwachon

1999 - Winternachten Festival, Den Haag

- Indonesian Culture Festival, Koln

- Poetry On The Road, Bremen

- Berlin Poetry International, Berlin

- Dresden Literaturtage, Dresden

2001 - Literatur Werkstatt Festival, Berlin

2003 - Dunia punya Festival, Rotterdam

- Borobudur Agitatif, Magelang

- Surabaya Festifal, Surabaya

- Images of Asia, Denmark

Karya yang sudah kemas dalam Cassette, CD And Video CD :

1 “Ballada Orang-orang Tercinta” - Naviri Record, 1977

2 “Sajak-sajak Cinta” - Granada Record, 1979

3 “2R”,ABC Recorc, 1983

4 “Rendra”, Blackboard, 1997

5 “Sajak-sajak Cinta Rendra”, Lies Hadi & Shandy Production, 1998.8

Masih banyak dokumentasi pementasan teater yang disutradarai

Rendra tetapi belum dipublikasikan.

B. Puisi-puisi WS. Rendra

Kumpulan sajak-sajak Rendra yang diterbitkan, merupakan jawaban

8 Ibid, hlm.5-6

56

pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong, kesaksian demi

keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam

kepenuhan kehidupan itu. demikian sebenarnya dapat ditandai nada-dasar

sajak-sajak dan drama karya Rendra.

Penemuan diri Rendra tidak pernah terlepas dari keterkaitannya

dengan masyarakatnya, kaitan dunia kosmos, dan yang senantiasa menjiwai

sajak-sajak penyair ini sejak semula. Rendra senantiasa telah menggarapnya

dengan sentuhan pribadi, memberinya isi, dan ekpresi baru, pada lambang-

lambang lama dia menyandangkan dimensi-dimensi baru. Untuk itu,

penghayatan eksistensi diri, kehidupan masyarakat dan alam, kosmos dan

Tuhan senantiasa merupakan suatu kesatuan. Orang dapat membeda-bedakan

aspek-aspek penghayatan kenyataan melalui puisi-puisinya, namun

pengisolasian dan pemutlakan, baik segi pribadi, kemasyarakatan maupun segi

kosmis-rellijius dari puisinya, tidak dapat dikenakan pada penyair ini. Dalam

sebuah esainya, ia membicarakan kehidupan, khususnya masa muda Sultan

pertama yokyakarta, Mangkubumi, atau Hamungkubuono I, Pengembaraan

Raden Mas Sujono ke tepi pantai, hutan-hutan dan gunung-gunung ini bersifat

religius, merupakan ritual untuk berkomunikasi dengan Tuhan, kang murbeng

jagat, penguasa alam semesta, pendekata diri kepada dewa-dewa dan mahluk-

mahluk lain di dunia. lewat pengembaraan ini dia dapat menghayati pergaulan

dengan pohon-pohon, tetumbuhan, binatang-binatang, embun, hewan dan

segala ciptaan yang tergelar di bumi ini.

Hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos,

manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan, dan akhirnya mencapai cita-cita

”Manuggaling kawulo Gusti”. Kesatuan antara yang disembah dan yang

menyembah. Juga ”Masmur Mawar” Rendra yang diilhami agama Katholik

dijelujuri mistik solidaritas ini. Singkretisme jawa juga menyertai lambang-

lambang Kristiani dalam puisinya.

Penghayatan liris eksistensi pribadi, terutama lewat erotik, keteribatan

sosial serta kaitan kosmis dalam kehidupan dan karya Rendra sepanjang

57

tahun-tahun ini, semakin teranyam menjadi satu, mendalam dan mesra.9

Dalam karya Bengkel Teaternya, Rendra selalu menekankan

pentingnya integrasi (kesatuan) antara kreatifitas pribadi, keterlibatan dengan

masyarakat dan religiusitas yang kosmis-mistik. Pada tahun 1975, dalam

latihan-latihan drama kisah Perjuangan Suku Naga, sebuah drama yang

penuh kritik tajam dan sengit terhadap kebijaksanaan pembangunan nasional

Indonesia, namun juga diarahkan pada gaya hidup pemimpin-pemimpin

rakyat. Repetisi-repetisi demikian itu selalu di dahului oleh latihan-latihan

mistik yoga, dibawah pimpinan Rendra sendiri, yang diikuti oleh seluruh

rombongan : meditasi, konsentrasi, yang dilakukan lewat praktek-praktek

yoga, didasari gerak badan Zen-Budis dan Jawa tradisional, namun di sini

diolah lagi menurut cara individual. 10

Rendra telah berpamit dengan kata-kata sastra yang indah, demi

keindahan kata itu sendiri seperti yang setelah sekian lama mendominasi puisi

Indonesia. Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk di dengar, dia tidak

menghilangkan teka-teki tetapi untuk dimengerti. Rendra sangat memahami

bahwa dia tidak dapat mengungkap kehampaan dan arti ganda kata-kata resmi

Indonesia yang formulais-ritual itu, kecuali dengan “membiarkannya bicara

sendiri” yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam konteks puisinya, ke

dalam dunia pengertian (atau konsep) profetisnya dan di dalam retorik-

lyrisnya. Dengan demikian di antara sajak-sajak ini sepintas-kilas memang

nampak hampir antipuitis. Sajak-sajak itu terbaca “seperti koran,” tetapi efek

ini sengaja dipilih, sehingga suara Rendra yang benar-benar lyris, yang

terantam disela-selanya, semakin memperkuat imajinasi visioner atau gugatan

profetisnya. 11

Untuk memudahkan pengidentifikasian karya dan agar memudahkan

apresiasi puisi, berikut ini adalah pengelompokan kumpulan sajak-sajak

Rendra, sebagaimana data dan analisa yang dikumpulkan oleh penulis, setelah

9 Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1993 hlm. 7-10 10 Ibid, hlm. 15 11 Ibid, hlm. 22

58

melakukan penelitian dan pengumpulan data yang mendalam. Penggolongan

ini dilakukan dengan mencari puisi-puisi yang mempunyai nilai religius yang

cukup tinggi, dan mengambil satu dari puisi tersebut, yang cukup mewakili

dari keseluruhan puisi-puisi Rendra:

1. Sajak-sajak Alam, Kehidupan dan Percintaan

a. Sajak Alam

Rendra pernah menulis sajak-sajak yang bertema tentang alam.

Sajak-sajak tersebut dapat kita jumpai dalam kumpulan sajak “Empat

Kumpulan Sajak”, diantaranya; Kali Hitam, Remang-Remang, Kangen,

Ibunda, dan sebagainya. Di antara sajak-sajak tersebut, sajak “Ibunda”

dipilih sebagai sajak yang paling religius dalam mengungkapkan

kecintaan penyair terhadap alam:

IBUNDA

Engkau adalah bumi, mama

Aku adalah angin yang kembara

Engkau adalah kesuburan

Atau restu atau kerbau bantaian

Kuciumi wajahmu wangi kopi

Dan juga kuinjaki sambil pergi

Kerna wajah bunda adalah bumi,

Cinta dan korban tak bisa dibagi. 12

Cinta bukan hanya terhadap kekasih, melainkan dalam

kehidupan harus disertai pula. Sebab tanpa itu semua akan sia-sialah

hidup ini.

Betapa manis, betapa indah, dan mempesona dilukiskan penyair

dengan “kerna wajah bunda adalah bumi”, yang tiada lain adalah

tanah air. Cinta terhadap tanah air tak dapat dibagi, berpaling

12 Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, cet. 6, 1990, hlm. 69

59

daripadanya berarti penghianatan.13

b. Sajak Kehidupan

Kebanyakan sajak Rendra adalah segala sesuatu yang sekarang,

atau mungkin kapan saja yang sedang terjadi dengan intensitas yang

sangat tinggi di negeri ini. Pendeknya sajak Rendra banyak memuat

tentang masalah kehidupan. Sapardi Djoko Damono memilih sajak

“Orang Biasa” sebagai sajak kehidupan yang paling mempunyai nilai

tinggi diantara sajak kehidupan Rendra lainnya. Dalam sajak ini

digambarkan seorang lelaki yang memilih pekerjaan sebagai guru.

Karena hanya sebagai gurulah ia merasa menjadi orang yang berarti.

...

Jangan disangka aku tidak pernah mencoba

Pengalaman lainnya.

Menjadi tentara. Agen koran.

Penagih rekening. Mengurus restoran.

Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku.

Apabila menjadi guru.

Semangatku bergelora, gairah hidupku menyala,

Dalam suka maupun duka, apabila aku menjadi guru.14

Duda tua dalam sajak ini menganggap dirinya sebagai orang

saja, namun sebenarnya ia menyaksikan konflik yang sedang terjadi di

sekelilingnya, yang mau tak mau terjadi juga di keluarganya. Berkat

kegigihan mendidik anak-anaknya, dua orang di antaranya menjadi

orang yang “tidak biasa” dalam masyarakat, seorang menjadi jendral,

seorang lagi menjadi istri bankir Jepang dan tinggal di Osaka. Kedua

anaknya itu ternyata sama sekali tidak bisa memahami hakikat hidup

ayahnya. Mereka bilang, “Ayah kurang ambisi. / kalau ayah mau /

13 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-sajak WS. Rendra, Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, 1978, hlm. 29 14 WS. Rendra, Orang-orang Rangkasbitung, Perum Senosewu, Yogyakarta, 1993, hlm. 15

60

bisa lebih menjadi seorang.” Hanya anaknya yang bungsulah, yang

kebetulan juga menjadi guru dan menjabat sebagai pembantu rektor di

Universitas Gajah Mada, yang bisa memahami sikapnya.

Dalam keluarga mantan guru itu ternyata telah terjadi peristiwa

penting, yakni pergeseran nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang

bersumber pada kemajuan pendidikan. Karena pendidikan, anak-anak

pak guru telah mengalami perubahan hidup dan sikap, yang dalam

pandangan pak guru merupakan suatu hal yang tidak bisa

dipahaminya. Sementara menurut pandangan anak-anaknya, justru

sebaliknya.15

c. Sajak Cinta:

Sajak-sajak cinta Rendra banyak kita jumpai dalam kumpulan

sajak “Empat Kumpulan Sajak” dalam kumpulan itu banyak

membicarakan tentang kisah cinta sang penyair sendiri sampai ia

menemukan jodohnya. Betapa lembut dan manisnya penyair

melukiskan tentang perkawinannya, seperti dalam sajak “Kakwin

Kawin”,sebagai berikut :

....

maka hujanpun turun.

Karena hujan adalah rahmat

Dan rahmat adalah bagi pengantin

Angin jantan yang deras

Menggosoki sekujur badan bumi

Menyapu segala nasib yang malang.

Pohon-pohon membungkuk

Segala membungkuk bagi rahmat.

Dan rahmat hari ini

Adalah bagi pengantin.

15 Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra, Dewan Kesenian Jakarta, 1997, hlm. 3

61

Penyair dalam sajak ini tidak begitu banyak menggunakan

kata-kata yang sulit, tetapi semuanya dibangun oleh kesederhanaan

yang mengesankan. Perumpamaan-perumpamaannya tidak muluk-

muluk, tetapi lembut dan mempesona. Kisah percntaannya yang

penuh dengan suka dan duka, sedih dan gembira, cemburu,

menggairahkan dan sebagainya, diumpamakan sebagai angin

jantan yang deras / menggosoki sekujur badan bumi / menyapu

segala nasib yang malang.

Nasib yang malang telah dilaluinya, nasib yang penuh

dengan segala perjuangan bercinta telah dilaluinya. Kini semuanya

telah menemukan pelabuhan segala duka dan lara.16

2. Sajak-sajak Perjuangan dan Pemberontakan

a. Sajak Perjuangan;

Rendra telah banyak menulis sajak-sajak perjuangan, sajak-

sajak itu terdapat hampir dalam seluruh kumpulan karyanya. Baik

dalam kumpulan Sajak-sajak Sepatu Tua, Ballada Orang-orang

Tercinta, Empat Kumpulan Sajak dan dalam kumpulan karya lainnya.

Perjuangan menurut Rendra adalah perjuangan mempertahankan hidup

dari segala aspek kehidupan. Dari kekerasan, penindasan, fitnah,

politik kotor, dan sebagainya. Kekerasan memperjuangkan hidup lebih

nyata dalam sajaknya “lelaki-lelaki yang lewat” yang dapat kita jumpai

dalam kumpulan sajak “Empat Kumpulan Sajak”(EKS: 69)

.....

Dini hari yang segar

Dengan buahan di pepohonan.

Lelaki yang payah telah butuhkan rumah.

Mereka telah lewat dengan nyanyinya.

Lelaki-lelaki menjual umur dengan berani.

Mereka menyanyi dan selalu menyayi.

16 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 24

62

Ah, ya, tentu dengan kenangan yang indah.

.......

Setiap laki-laki tentu akan bertanggung jawab untuk bekerja

keras, tak perduli dengan usianya lagi, mereka telah menjual umur

dengan berani.17

b. Sajak Pemberontakan

Pemberontakan merupakan tema paling dominan dari karya

Rendra, tema-tema tersebut paling banyak mendominasi setiap

karyanya khususnya dalam kumpulan sajak “Ballada Orang-Orang

Tercinta”. Pemberontakan bagi Rendra bukan pemberontakan

memperjuangkan kekuasaan pemerintahan atau lembaga lainnya.

Melainkan mereka yang selalu memberontak terhadap keterbatasan

keadaan dirinya.18

Dalam sajak “Ballada Lelaki Tanah Kapur” (BOT : 10), para

lelaki dihadapkan pada para penyamun berkuda. Dimuka tegak para

penyamun, sedangkan di belakang pintu rumah terkunci siap menolak

mereka yang mundur tidak mau berlaga. Dalam keadaan seperti ini

menjadi lelaki bersedia menumpahkan darah. Justru dalam berhadapan

dengan maut inilah sifat-sifat terdalam seseorang akan muncul. Di sini

kita diperkenalkan dengan lurah Kudo Seto yang pulang kerumahnya

membawa belati kepala penyamun untuk anaknya. Di rumah, istri,

keluarga, dan para tetangga menyambutnya sebagai pahlawan.

Para lelaki telah keluar jalanan

Demikian kilatan-kilatan ujung baja

Dan kuda-kuda para penyamun

Telah tampak di perbukitan kuning

Bahasa kini adalah darah.

.........

Tema-tema serupa ini tampak pula dalam sajak-sajak lainnya

17 Ibid, hlm. 36 18 Rendra, Potret Pembangunan.....Op. cit, hlm. 27

63

walaupun dalam situasi yang berbeda, seperti dalam “Tahanan” (BOT :

20), “Gerilya” (BOT : 18) dan sajak pemberontakan lainnya.19

3. Sajak-sajak Ketuhanan dan Kemasyarakatan (Sosial)

a. Sajak Ketuhanan

Manusia sering lupa akan dosanya ketika berbuat dan baru

ingat setelah berbuat. Kadang-kadang lupa sama sekali. Barangkali

lupa pula atau tak disadari apa itu dosa. Segala yang diperbuatnya

hanya kepuasan dan kesenangan pribadinya masing-masing. Tak ada

yang dipikirkannya lagi waktu ia berbuat yang menurut dirinya

menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dan segala apa

yang berwarna kesenangan. Jauh, terhadap Tuhan. Lebih baik mereguk

segala apa yang menurut dirinya demi kepuasan hidup. Akan tetapi

ketika dirinya digelimangi, dibayangi rasa takut, yang mungkin setelah

dirinya sadar, maka timbullah keinginan untuk bertaubat (meskipun

banyak yang tak mau bertobat sama sekali!). Sajak “Tobat” telah

dipilih menjadi sajak ke-Tuhanan Rendra yang paling religius di antara

sajak ke-Tuhanan lainnya:

........

Aku tobat, ya Tuhanku

Tobat atas segala dosaku.

Burung-burung kecil di belukar

Batang pimping menggeliat.

Mulut-Mu di hutan

Di injak kaki petani

Aku tobat, ya Tuhanku

Telah kuinjak mulut-Mu

Dan juga jantung-Mu.20

19 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 10 20 Ibid, hlm. 65

64

Seorang yang baik adalah orang yang mengetahui dosa-

dosanya dan segera bertaubat, minta pengampunan Tuhan dan

merubah hidupnya menjadi lebih baik. “Telah kuinjak mulut-Mu / dan

jantung-Mu” berarti seseorang tersebut merasa kalau dirinya telah

menyalahi hukum Tuhan dan sadar kalau dirinya telah salah dan

akhirnya mau bertaubat.

b. Sajak Sosial

Banyak sajak-sajak Rendra yang bertema sosial atau

kemasyarakatan, seperti sajak “Dengan Kasih Sayang” yang

menuntun manusia untuk saling menyayangi antara satu sama lannya,

kemudian sajak “Ho Liang” yang menceritakan tentang seorang yang

kehilangan sahabatnya, Dan sajak-sajak lainnya. Rendra merupakan

penyair yang peka dengan keadan masyarakat (sosial), belas kasihnya

sangat tampak dalam sajak “Hari Hujan”, yang ditujukan kepada

tukang becak dan orang-orang yang tidak dapat bekerja karena hujan,

seperti dalam sajak berikut :

Hujan datang tercurah hujan

uang satu perak menggigil pulang abang becak

ditendang pintu rumah tumpah marah pada istri.

.........

hujan datang tercurah hujan

diteras toko anjing angkat satu kaki

bertambah lagi air bumi.

(sehembus nafas kurang kerja).21

Demikian pengelompokan sajak-sajak Rendra, menurut tema-

tema yang ada dan sengaja dipilih sajak yang paling religius diantara

sajak-sajak yang mempunyai tema-tema yang sama, karena menurut

21 Ibid, hlm. 41

65

penulis karya-karya Rendra adalah berkisar pada tema-tema tersebut.

C. Religiusitas WS. Rendra dalam Puisi-puisinya

Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai pengertian

“religiusitas”, bahwa arti religius, adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan

sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan atau dalam pengertian lain

berarti : memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati

nurani. Religiusitas lebih melihat aspek “di dalam lubuk hati”, ( hati nurani

pribadi), sikap personalnya sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain,

karena menapaskan intimitas jiwa, “ducoeur” dalam arti menurut Pascal,

yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi)

kedalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas,

mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi.

Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya

lebih intim.22

Pengertian religiusitas memperlihatkan adanya hubungan transendental

antara manusia (penyair) dengan Tuhan ketika membaca kembali realitas

secara estetis, serta bagaimana hasil pembacaan itu difungsikan secara

horisontal (dalam hubungan sosial dengan manusia dan lingkungannya) dalam

wilayah pemaknaan yang berkenaan dengan moralitas (baik-buruk), politik

(adil-tidak-adil), bahkan memposisikan diri pada wilayah religius (benar-

salah, halal-haram).

Puisi mempunyai kecenderungan dan keterkaitan dengan religiusitas,

karena dalam puisi terkandung sebuah pesan oleh penyair kepada pembacanya

yang berisi tentang nilai-nilai, baik nilai keindahan (estetika), nilai moral, nilai

sosial, nilai agama dan sebagainya yang semua nilai itu merupakan sumber

nilai yang universal. Setiap puisi mesti berangkat dari sebuah nilai yang

disampaikan lewat tulisan atau dibacakan secara langsung, sehingga pembaca

atau pendengar tahu isi atau pesan dari puisi itu dan dapat memberikan

22 Jabrohim, Tahajud Cinta, Emha Ainun Najib, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 15

66

penilaian atas isi puisi tersebut.

WS. Rendra dalam perjalanan kepenyairannya telah menciptakan

banyak karya sastra, khususnya puisi yang tidak lepas dari nilai-nilai religius.

Hal yang menarik lagi adalah konversi agama (dari Kristen menjadi Islam)

yang dilakukan WS.Rendra, jika ditilik dari religiusitas puisinya. Ternyata,

tidak banyak terjadi pergeseran puitika yang lain. Berdasarkan penelitian awal

yang dilakukan Penulis dalam sejumlah wawancara intensif dengan Rendra

dan orang-orang di sekitarnya, ternyata, Rendra lebih ingin mengolah

kepekaan emosi dirinya sebagai seorang manusia yang tidak terpetak-petak

oleh aspek legal-formal agama, sehingga dapat dipahami mengapa pilihannya

jatuh pada puisi dan teater. Berkaitan dengan “religiusitas”, terdapat banyak

batasan. Religiusitas dari segi terminologi merupakan kata sifat yang merujuk

kepada arti “keberagamaan”, atau tepatnya bagaimana rasa keberagamaan

seseorang.

Rendra memberikan pengertian “religiusitas” dalam batasan yang

sangat luas, yakni tidak sekedar pengertian verbal-memakai simbol-simbol

agama melainkan apa saja yang tercakup dalam wilayah agama. Wilayah

agama sangat luas sehingga religiusitas juga luas cakupannya. Menurut WS.

Rendra “Religiusitas” tidak harus memakai simbol agama.

Rendra berpendapat, bahwa syairnya yang bertutur: “kemarin dan esok

adalah hari ini/bencana dan keberuntungan sama saja/langit di luar langit di

badan bersatu dalam jiwa…” merupakan syair yang religius; atau syair: “aku

mendengar suara/jerit makhluk terluka/ada orang memanah rembulan/ada

anak burung keluar dari sarangnya/orang-orang harus

dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan tetap terjaga”

merupakan puisi yang sangat religius. 23

Pada kesempatan lain, Rendra memperjelas pengertian “religiusitas”:

“Religiusitas adalah tata nilai, norma, pandangan hidup, dan semua tercakup

dalam agama. Jadi wilayah religiusitas adalah apa yang ada dalam wilayah

23 Wawancara dengan Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003

67

agama itu sendiri. Aspeknya sangat luas.”

Melihat uraian definisi tentang religiusitas dapat disimpulkan bahwa :

Relegiusitas adalah, manusia telah menerima ikatan dari Tuhan sebagai

sumber ketentraman dan kebahagiaan. Maka dengan hati nuraninya ia harus

mengetahui nilai-nilai yang universal, untuk itu wajib bagi manusia untuk

mengetahui yang baik dan buruk, halal dan haram, adil tak adil dan

sebagainya, yang semuannya itu merupakan sumber nilai.

Religiusitas harus dibedakan rasa keberagamaan, sebab tidak hanya

pemeluk agama saja yang mempunyai religiusitas, karena itu harus dibedakan

antara religiusitas kaum agamis dan religiusitas kaum non-agamis. Dalam

religiusitas kaum agamis (orang beragama), orang beragama memang banyak

yang religius, tetapi dalam kenyataannya ada orang yang beragama karena

jaminan material, karir politik, atau yang lain. Dalam hal ini memang sulit

dibedakan mana orang yang benar-benar beragama dan mana yang tidak,

karena secara kependudukan ia mempunyai KTP (kartu tanda penduduk) yang

cukup menjelaskan bahwa seseorang mempunyai agama, namun dalam

kenyataannya orang tersebut mungkin tidak menjalankan syari’at agamanya.

Kemudian untuk religiusitas non-agamis, banyak orang yang mengacu

pada cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari lebih dekat dengan

kesetiaan hati nuraninya, walaupun secara formal ia tidak beragama. Hal ini

banyak dijumpai dalam aliran-aliran kepercayaan, yang ajarannya hanya

menyuruh untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa ada Nabi

dan kitabsuci. Kesimpulannya adalah, banyak orang beragama yang tidak

religius dan ada orang yang tidak beragama tetapi lebih religius.24

Untuk melihat Religiusitas puisi-puisi WS. Rendra, sesuai kerangka

skripsi di atas, penulis akan mengkaji dengan kajian Psiko-historis, yaitu

berdasar pikiran apa yang melatarbelakangi kumpulan puisi tersebut, atau

pengaruh apa sehingga sajak itu tercipta. Historisitas sebuah karya sastra,

menurut Faruk HT. dalam Beyond Imagination menerangkan bahwa sastra

24 Jabrohim, Tahajud..op.cit, hlm. 17

68

tidak lagi di pahami sebagai subyektifitas seniman yang secara ideal dapat

merangkul keseluruhan semesta, melainkan sebagai sebuah fakta historis yang

hidup dalam konteks historis tertentu dan yang berhadapan dengan tantangan-

tantangan historis pula.25

Penulis akan menggunakan metode analisis kritis bahwa suatu teks

atau pemikiran bukanlah sesuatu yang independen dan dibentuk oleh konteks

yang mempengaruhi pemikir atau penulis konteks tersebut secara eksternal

seperti tindakan dan kondisi sosial, sejarah, dan unsur internal yaitu

kepribadian pemikir. Metode ini berusaha menggabungkan data yang telah

terkumpul dalam suatu penjelasan terperinci yang sudah cukup menjelaskan

suatu teori, sehingga, sifatnya tidak mentah dan bukan sekedar

mengumpulkan, karena peneliti terlibat sepenuhnya dalam pemilahan data

disertai argumentasi yang mendukung. Yang dijelaskan secara sintesis dalam

tahapan ini adalah religiusitas puisi-puisi WS. Rendra. Untuk itu penulis akan

memaparkan beberapa puisi WS. Rendra beserta alasan mengapa puisi

tersebut dijadikan sebagai contoh puisi paling religius diantara puisi Rendra

lainnya (yang mempunyai tema sama).

Kumpulan sajak pertama WS. Rendra yang pertama, berjudul Ballada

Orang-orang Tercinta banyak dibimbing dan di pengaruhi oleh tradisi

permainan dan imajinasi di dalam tembang dolanan anak jawa. Kemudian

kumpulan sajak Kakawin Kawin di bimbing oleh tradisi romantik tembang-

tembang palaran orang jawa. Sajak-sajak Sepatu Tua dan sajak-sajak lain di

tahun itu di bimbing oleh tradisi bahasa Koran. Kumpulan sajak Mamur

Mawar dan pementasan Kasidah Barzanji di bimbing oleh tradisi spirirual

mitologi Dewa Ruci dari orang-orang jawa. Pementasan Oidipus Rex

dibimbing oleh tradisi teater rakyat Bali. Gaya pementasan Macbeth diilhami

gaya folklor masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Kebanyakan karyanya di

pengaruhi oleh tradisi-tradiai orang jawa, khususnya dari tembang-tembang

25 Faruk H. T., Beyond Imagination (sastra mutakhir dan ideology), Gama Media,

Yogyakarta, 2001, hlm. 120

69

dolanan anak Jawa.26

Dalam sajak “Kali Hitam” pada kumpulan sajak Kakawin-kawin,

penyair menggambarkan Kali Hitam yang mengalir dengan keluh kesah, yang

dengan susah payah menerjang ke sana, ke sini. Hal ini merupakan

pelambangan yang dalam, yang akhirnya berakur di dasar dada. Satu

perenungan tentang pertemuannya alam dan dirinya;27

KALI HITAM

Kali hitam lewat dengan keluh kesah

Kawanan air dari tanah tak bernama.

Kali hitam lewat di tanah rendah

Kali hitam beralur di dasar dada.

Mengalir ia. Mengalir. Entah dari mana

Rahasia pertapa dan nestapa

Sunyi yang lahir dari tanya.

Betapa menjalar ini lidah yang berbisa !28

Kembalilah kepada diri sendiri, di mana sedang menghadapi atau

dalam gelimangan sunyi, maka akan menggelimanglah suatu sendatan

yang mungkin penuh oleh bermacam-macam pemikiran atau pertanyaan

dalam diri itu. Yang kemudian hanya diri itu sendiri yang akan mendapat

jawabannya, yang tiada lain penuh dengan rahasia “pertapa” dan “sunyi”

satu perbandingan. Orang bertapa tentu dalam sunyi, dalam suasana sepi.

Dalam menjalankan niat hatinya itu tentu mengandung banyak keinginan.

26 WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Gramedia, Jakarta, cet-I 1983, hlm. 5 27 Utjen Djusen R. Dkk, Memaham.......Op. cit, hlm. 27 28 WS. Rendra, Empat……..,op. cit, 1990, hlm.53

70

Di sinilah inti ekpresi sajak itu ditulis oleh seorang penyair.29

Bagaimanapun perjalanan hidup seseorang adalah adalah sebuah proses,

dalam proses itu pastilah menemui berbagai kendala atau halangan atau

rintangan, susah, senang, gagal, berhasil adalah sebuah akibat dari

perjalanan itu. sebagaimana kali yang mengalir, adalah untuk suatu

tujuan., yaitu kelestarian ekosistem yang ada di alam ini. Semua itu tidak

terlepas dari makna religius.

Dalam sajak Setelah Pengakuan Dosa, masih pada kumpulan sajak

Kakawin kawin adalah suatu perlambangan tentang adanya keremangan,

bayangan, kesunyian tanpa hati, yang kemudian mengesan dalam

kebimbangan, sadarlah kita bahwa hal itu menafaskan kematian. Maut

akan akan selalu datang menjemput kapan saja dan dimana saja. Akan

tetapi dalam hal ini penyair pun sadar dengan penuh bahwa “Tuhan adalah

bunga-bunga mawar yang merah, Tuhan adalah burung kecil berhati

merah seperti dalam sajak “Setelah Pengakuan Dosa”, berikut :

SETELAH PENGAKUAN DOSA

Telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu

Kau siram air mawar dari lukamu

Burung malam lari dari subuh.

Kijang yang lumpuh butuh berteduh

Di langit tangan-tangan tembaga terulur

Memanjang barat timur-bukit kapur.

Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang ramah.

Tuhan adalah burung kecil yang berhati merah.

Syair “telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu”, ini

mengingatkan kita kepada kelapukan, ketuaan. Kemudian diperjelas

29 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-…Op.cit, hlm. 28

71

dengan “kijang yang lumpuh butuh berteduh”. Semua akan berhenti pada

akhirnya, yaitu istirahat panjang untuk selamanya, tetapi dengan harapan

tulus, karena Tuhan adalah bunga-bunga yang ramah, Tuhan adalah

burung kecil yang berhati merah”, melambangkan ketulusan. Tuhan akan

menerimanya siapa saja yang bertaubat dengan tulus.30

Sajak “Masmur Mawar” dalam Sajak-sajak Sepatu Tua

menceritakan seseorang yang tak mungkin dapat mengingkari kebesaran

Tuhan, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuasa, Maha Mengetahui,

dan Maha Segalanya. Namun di pihak lain penyair menganggap bahwa

Tuhan “adalah teman kita yang akrab, Ia adalah teman kita semua: para

musuh polisi, para perampok, pembunuh, penjudi, pelacur, penganggur,

dan peminta-minta”, seperti terbaca dalam sajak ini;

MASMUR MAWAR

Kita menuliskan nama Tuhan.

Kita menuliskan dengan segenap mawar

Kita menuliskan Tuhan yang manis,

Indah dan penuh kasih sayang.

Tuhan adalah serdadu yang tertembak.

Tuhan berjalan disepanjang jalan becek

Sebagai seorang miskin yang bijaksana

Dengan baju compang camping31.

Sajak di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah maha bijaksana,

tidak pandang miskin kaya, kapan dan di mana saja, atau kepada siapa

saja. Tuhan akan selalu ada dan kuasa-Nya mutlak, ganjaran atas

perbuatan diukur berdasar amal dan perbuatan manusia sendiri.

Rendra adalah penyair yang sangat konsisten terhadap tradisi tanah

30 Ibid, hlm. 31-32 31 Ibid, hlm. 58

72

kelahirannya, sehingga banyak karyanya dipengaruhi oleh tradisi orang

jawa ”kejawen”. Hal ini dapat dilihat dalam kumpulan sajak Anuning Ning

(1988), semua sajak di situ menggambarkan tentang tradisi orang-orang

jawa dalam berdoa kepada sang pencipta. Seperti dalam sajak “Doa

Mengolah Welas Asih” mengajak pembaca untuk mencoba mengolah hati

kita agar selalu sabar dan lapang dada, sebagaimana syair berikut:

DOA MENGOLAH WELAS ASIH

Wahai, citra welas asih yang purba,

Inti dari tenaga alam semesta,

Inti dari daya hidup,

Inti dari daya pertumbuhan,

Inti dari daya penyembuhan,

Semoga melewati kamu

Aku bisa lebih dekat

dengan kehendak Tuhanmu;

Semoga getaran wibawamu

Terpancar dari tempat ini

Segenap penjuru alam semesta.32

Selain dalam puisi-puisi bertemakan ketuhanan, puisi pamflet atau

puisi sosial religiusitas puisi Rendra juga dapat dilihat dalam puisi

pemberontakannya yang banyak kita temui dalam kumpulan sajak

“Ballada Orang-orang Tercinta” dan bahkan dalam seluruh karya

puisinya. Semisal dalam puisinya yang berjudul “Tahanan”;

TAHANAN

Atas ranjang batu

Tubuhnya panjang

Bukit barisan tanpa bulan

73

Kabut dan liat

Dengan mata sepikan terali.

Di lorong-lorong

Jantung matanya

Para pemuda bertangan merah

Serdadu-serdadu belanda rebah.

Di mulutnya menetes

Lewat mimpi

Darah di cawan tembikar.

Dijelmakan satu senyum

Bara diperut gunung.

(para pemuda bertangan merah

adik lelaki neruskan dendam).33

Puisi tersebut menuturkan kehidupan seorang pemberontak yang

akan dieksekusi karena melawan penjajah (Belanda), tetapi walau sampai

ia ditembak matipun ia tetap tidak mau mengatakan rahasia yang

sebenarnya diketahuinya, karena ia sedang membela tanah airnya yang di

jajah.

Dalam sajak Rendra “Mencari Bapa” merupakan gambaran

perjalanan hidup Rendra dalam mencari sampai menemukan ajaran agama

yang menurutnya dapat menjawab semua pertannyaan hidupnya, yaitu

agama Islam. Sebagaimana penggalan sajak berikut :

Namaku suto

Ketika aku lahir

Hujan turun dengan lebatnya

Di ujung senjakala

Sebagai bayi tubuhku terlalu besar

32 Rendra, Anuning ning, Pusat dokumentasi H.B. Jassin, TIM Jakarta, Dokumen pribadi 33 WS. Rendra, Ballada….op. cit, 1993, hlm. 22

74

Aku lahir dengan kaki lebih hulu

Ibuku berteriak : “Aaak!”—lalu mati.34

Dari kutipan sajak tersebut kita dapat memberi makna bahwa Suto

adalah anak yang lahirnya tidak wajar, dan menurut orang Jawa anak yang

lahir demikian nantinya akan membawa sial, selanjutnya sajak tersebut

bercerita setelah besar Suto diusir dari rumah karena sangat nakal, dan ia

mengembara kemana-mana sampai menemukan sebuah rombongan yang

sama-sama mengalami nasib serupa. Rombongan yang di maksud penyair

dalam sajak tersebut adalah Bengkel Teater Rendra, yang merupakan

rekan kerja Rendra dalam berkarya.

Beberapa contoh religiusitas puisi WS. Rendra di atas dapat kita

simpulkan bahwa, untuk berbicara tentang religiusitas dalam sebuah puisi,

tidak haruslah ketika puisi itu sedang berbicara tentang agama atau Tuhan.

Tetapi kita melihat makna yang terkadung dalam puisi tersebut, apakah itu

tentang kritik sosial, hukum pemerintah (politik), pemberotakan, tentang

alam, dan sebagainya. Tetapi nilai-nilai itu haruslah nilai yang universal,

atau sebagai sumber nilai.

Jika kita berbicara tentang religiusitas puisi-puisi WS. Rendra,

maka jawabannya adalah hampir semua puisi Rendra adalah religius,

karena puisi-puisinya banyak berbicara tentang nilai-nilai yang universal,

baik nilai ketuhanan, kemanusiaan, ataupun tentang alam.

Seperti pengakuan Ken Zuraida dalam sebuah wawancara dengan

penulis mengatakan: “Sebagian besar puisi Rendra religius, walaupun ia

sedang berbicara tentang pembangunan, percitaan dan sebagainya”.35

Pengakuan tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi religiusitas menurut

WS. Rendra. Untuk melihat bagaimana religiusitas puisi WS. Rendra

lebih jauh akan dianalisis dalam Bab IV. [j]

34 “Rendra Mencari Bapa”, Bonus Majalah Horison, Edisi Desember 1985 35 Wawancara dengan Ken Zuraida, Depok Jakarta 15 Oktober 2003