BAB III Rakayasa Jalan Raya Ok

55
BAB III PERENCANAAN ALINYEMEN A. Umum Perencanaan alinyemen adalah perencanaan untuk mendimensi suatu rute jalan secara nyata sesuai dengan tuntutan dan sifat –sifat lalu lintas. Didalam merencanakaan alinyemen jalan harus memperhatikan dan mempertimbangkan factor-faktor yang mempengaruhi, seperti : keadaan fisik dan fotografi daerah data lalu lintas,keamanan,analisa, ekonomi dan sebagainya. 1. Kondisi Fisik Dan Topografi Kondisi fisik dan topografi daerah sangat mempengaruhi penetapan alinyemen, kelandaian dan jarak pandang. Pada daerah yang curam lebih menyulitkan dibandingkan dengan daerah datar karena akan menimbulkan pekerjaan tanah yang besar akan membutuhkan peralatan dan teknologi yang tinggi, sehingga kalau ditinjau dari segi ekonomi akan kurang efesien. Untuk menghindari biaya yang tidak efesien tersebut, maka kelandaian jalan dapat disesuaikan dengan keadaan tertentu yang ada 25

description

mantap

Transcript of BAB III Rakayasa Jalan Raya Ok

BAB III

PERENCANAAN ALINYEMEN

A. Umum

Perencanaan alinyemen adalah perencanaan untuk mendimensi suatu rute jalan

secara nyata sesuai dengan tuntutan dan sifat –sifat lalu lintas. Didalam

merencanakaan alinyemen jalan harus memperhatikan dan mempertimbangkan

factor-faktor yang mempengaruhi, seperti : keadaan fisik dan fotografi daerah

data lalu lintas,keamanan,analisa, ekonomi dan sebagainya.

1. Kondisi Fisik Dan Topografi

Kondisi fisik dan topografi daerah sangat mempengaruhi penetapan

alinyemen, kelandaian dan jarak pandang.

Pada daerah yang curam lebih menyulitkan dibandingkan dengan daerah datar

karena akan menimbulkan pekerjaan tanah yang besar akan membutuhkan

peralatan dan teknologi yang tinggi, sehingga kalau ditinjau dari segi ekonomi

akan kurang efesien. Untuk menghindari biaya yang tidak efesien tersebut,

maka kelandaian jalan dapat disesuaikan dengan keadaan tertentu yang ada

konsekuensi turunanya kapasitas karena turunnya kecepatan jalan.

2. Kondisi Lalu Lintas

Kondisi lalu lintas mempunyai pengaruh di tinjau dari volume lalu lintas dan

kecepatannya.

a. Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas mempunyai pengaruh langsung pada lebar jalan yang

diperlukan dan volume disini dinyatakan dengan LHR (Lalu Lintas

Harian Rata-rata).

25

Selain jumlahnya volume data lalu lintas harus menunjukan komposisi

dari lalu lintas tersebut, karena jalan yang diperlukan untuk jumlah lalu

lintas yang sama tapi komposisinya berbeda akan berbeda pula lebarnya.

Yang dimaksud komposisi disini adalah pembagian kendaraan menurut

jenisnya, biasanya dibagi menurut 2 golongan besar, yaitu:

1. Kendaraan ringan

2. Kendaraan berat

Yang dimaksud dengan kendaraan ringan adalah kendaraan yang

mempunyai berat lebih kecil dari 5 ton, seperti : mobil penumpang,

sedan, jep, pick ap. Sedangkan yang dimaksud kendaraan berat adalah

kendaraan yang beratnya lebih berat atau sama dengan 5 ton seperti : bus

truk as tunggal dan truk as ganda.

b. Kecepatan

Seperti disebutkan diatas bahwa pengaruh lalu lintas terhadap

perencanaan jalan selain volume adalah kecepatannya. Hal ini jelas

karena kondisi fisik yang akan melayani jalan dengan keecepatan rendah

tentu saja berbeda dengan jalan untuk kendaraan dengan kecepatan tinggi.

Didalam rekayasa jalan raya kecepatan dibagi menjadi tiga, yaitu :

1). Kecepatan Rencana

Berdasarkan pertimbangan keamanan, kenyamanan dan ekonomis

serta memperhatikan keadaan lalu lintas dan topografi tempat dapat

ditetapkan suatu kecepatan yang sesuai dengan kelas jalan yang

diambil kecepatan ini disebut “kecepatan rencana” yang

kelanjutannya akan digunakan sebagai dasar perhitungan geometrik

jalur jalan yang bersangkutan. Dengan pengertian lain kecepatan

rencaana adalah kecepatan aman maksimum yang bisa dijalankan

pada suatu bagian/jalur tertentu.

26

Jadi secara umum kecepatan rencana dapat didefinisikan sebagai

berikut : Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk

kecepatan merencanakan dan mengkorelaksikan bentuk-bentuk setiap

bagian jalan raya seperti : tikungan, kemiringan, jarak pandang, dan

sebagainya, dimana tergantung pada keamanan jalannya kendaraan.

Penetapan kecepatan rencana sangat tergantung pada kelas jalan dan

keadaan topografi suatu daerah. Ketentuan kecepatan rencana

menurut bina marga adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Kecepatan Rencana

Kelas Jalan Kondisi Medan Kecepatan Rencana (km/jam)

I DBG

12010080

IIA D

B

G

100

80

60

IIB D

B

G

80

60

40

IIC D

B

G

60

40

30

III D

B

G

60

40

30

27

Seperti terlihat pada tabel diatas bahwa untuk membuat biaya, standar

perencanaan perlu disesuaikan dengan keadaan tofografi (kondisi

medan). Disini jenis medan dibagi menjadi 3 golongan yang dibedakan

menurut besarnya lereng melintang dalam arah kurang lebih jarak

lurus sumbu jalan.

Klasifikasi medan dan besarnya kemiringan lereng melintang yang

bersangkutan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2. Penggolongan Kondisi Medan

Kondisi Medan Lereng Melintang

Datar (D)

Perbukitan (B)

Pegunungan (G)

0% - 9,9%

10% - 24,9%

2). Kecepatan Jalan

Yang dimaksud dengan kecepatan jalan adalah kecepatan kendaraan

pada suatu ruas jalan tertentu merupakan pembagian jarak yang

ditempuh dibagi dengan waktu tempuh.

Kecepatan jalan yang digunakan untuk mengetahui kecepatan rata-rata

kecepatan yang melalui suatu ruas jalan yang akan digunakan untuk

meneliti kondisi jalan tersebut hasilnya untuk mengetahui kapasitas

jalan pengaruh lalu lintas terhadap lingkungan dan lain-lain.

3). Kecepatan Batas

28

Kecepatan batas adalah batas kecepatan yang di ijinkan oleh

pemerintah untuk suatu jalur jalan tertentu. Biasanya besarnya

kecepatan batas ditetapkan sedikit lebih rendah dari kecepatan rencana

jalan tersebut. Hal ini disebabkan kecenderungan manusia untuk

melanggar kecepatan yang ditetapkan, sehingga apabila pengemudi

mengendarai kendaraan diatas kecepatan batas mereka masih dalam

batas yang aman.

B. Perencanaan Alinyemen Horisontal

Yang dimaksud elinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang

horizontal. Alinyemen Horisontal disebut juga dengan gambar “situasi jalan atau

trase jalan”.

Alinyemen Horisontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan

garis lengkung, garis lengkung bisa berupa busur lingkaran dengan busur

peralihan atau busur peralihan saja.

1. Gaya Sentrifugal

Apabila suatu kendaraan berjalan pada suatu tikungan akan mengalami gaya

sentrifugal besar dan kecepatan gaya yang terjadi menentukan bentuk lintasan

kendaraan yang bersangkutan dengan kecepatan rencana yang telah ditentukan

dapat ditentukan besarnya jari-jari minimum tikungan sehingga kendaraan

aman melewatinya.

R =

dimana :

R = Jari-jari minimum (meter)E = Kemiringan jalan maksimum pada tikungan (meter/meter)F = Koefesien gesekan antara roda kendaraan dengan permukaan jalan.

29

Koefisien gesekan (F) dapat diitentukan dengan menggunakan grafik dibawah

ini, dan besarnya tergantung dengan kecepatan rencana.

0,18

KOEO

FISI

EN G

ESEK

AN M

ELIN

TAN

G (f

)

0,17

0,16

0,15

0,14

0,13

0,12

0,11

0,10 112

40 50 60 70 80 90 100 110 120

KECEPATAN KM PER JAM

Gambar 3.1. Garfik Koefisien Gesek

C. Lingkungan Peralihan

Pada lengkung horizontal yang mempunyai jari-jari yang besar lintasan

kendaraan masih dapat tetap berada pada lajur jalannya, tetapi pada tikungan

yang tajam (sudut perpotongan besar) kendaraan akan menyimpang dan keluar

jalur yang disediakan dan mengambil lajur lain disampingnya. Guna menghindari

hal tersebut diatas, sebaiknya dibuatkan lengkung peralihan dimana lengkung

tersebut merupakan lengkung peralihan dari R = tak terhingga ke R = jari-jari

lingkaran (Rc). Lengkung ini disebut lengkung peralihan atau lengkung spiral.

30

F=-0,00065V + 0,192

F=-0,00125 V + 0,24

Keuntungan dari penggunaan lengkung peralihan pada alinyemen horizontal

adalah :

1. Pengemudi dapat dengan mudah mengikuti lajur yang disediakan, tanpa

melintasi lajur lain.

2. Memungkinkan pengadaan perubahan dari lereng jalan normal kemiringan

super elevasi secara berangsur-angsur.

3. Memungkinkan mengadakan peralihan pelebaran perkerasan yang diperlukan

jalan lurus ke kebutuhan lebar perkerasan pada tikungan.

4. Menambah keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, karena sedikit

kemungkinan pengemudi keluar dari lajur.

5. Menambah keindahan bentuk jalan tersebut, menghindari kesan patahnya

jalan pada batas bagian lurus dan bagian lengkung lingkaran.

D. Perhitungan Alinyemen Horisontal

Dalam perencanaan alinyemen horizontal dikenal ada tiga macam lengkung

yaitu :

1. Spiral-Circle-Spiral (SCS)

Lengkung yang terdiri dari bagian lingkaran (circle) dengan bagian

peralihan (spiral) untuk menghubungkan dengan bagian lurus (tangen).

Gambar 3.2. Lengkung Spiral Circle Spiral

31

Lengkung TS – SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid)

yang menghubungkan bagian lurus dengan radius tak terhingga diawal

spiral (kiri TS) dengan bagian lingkaran dengan radius = Rc diakhiri

spiral (kanan SC).

Titik TS adalah titik peralihan dari bagian lurus kebagian berbentuk spiral

dengan titik SC adalah titik peralihan bagian spiral kebagian lingkaran.

Rumus perhitungan :

Ts = (R + P ) tg ½

Es =

Lt = Lc + 2 Ls

Lc = . 2

= - 2

Radius ditentukan dulu berdasarkan R minimum serta kondisi lapangan,

kemudian lihat tabel (lampiran I) untuk menentukan Ls, deengan Ls dan

R yang ada maka p, k, dan dapat dicari dengan menggunakan tabel

(lampiran II).

Kontrol :

1. Ls minimum = 0,022 - 2,727

32

C = Perubahan Kecepatan = 0,4 m/detik³

e = Superelevasi

2. Lc

3. Lt

2. Spiral – Spiral (SS)

Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa harus

lingkaran sehingga titik SC berimpit dengan titik CS.

Gambar 3.3. Lengkung Spiral-Spiral

Rumus perhitungan :

Ls =

33

Ls = R

Ts = (R+ p) tg ½

Es = - R

di hitung dulu secara analitis, kemudian dihitung dan harga p dan k

dilihat pada tabel lampiran, pada baris yang sesuai dengan

P = P* . Ls

K = k* . Ls

Kontrol 2 Ls

3. Lengkung Lingkaran Sederhana / Full Circle (FC)

Tidak semua lengkung dapat dibuat berbentuk lengkung/busur lingkaraan

sederhana, hanya lengkung dengan radius besar yang diperbolehkan.

Tabel 3.3. Radius Minimum Untuk Lengkung Full Circle

Kecepatan Rencana

(Km/Jam)

Radius Minimum

(m)

34

120

100

80

60

50

40

30

2.000

1.500

1.100

700

440

300

180

Gambar 3.4. Lengkung Full Circle

T = R . Tg. ½

E = T . Tg .1/4

L = .

35

Bagian lurus dari jalan (dikiri TC atau dikanan CT) dinamakan bagian

TANGEN. Titik peralihan dari bentuk tangent kebentuk busur lingkaran

dinamakan titik TC dan titik peralihan dari bagian busur lingkaran

kebentuk lurus dinamakan titik CT.

4. Diagram Superelevasi

Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang memperlihatkan

panjang yang diperlukan untuk merubah kemiringan melintang dari

keadaan normal sampai superelevasi penuh dan juga memperlihatkan

besarnya superelevasi yang terjadi pada setiap bagian tikungan. Jadi

diagram superelevasi menunjukan perubahan penampang melintang dari

bentuk normal (normal cown) menjadi bentuk super elevasi penuh.

Yang dimaksud superelevasi penuh adalah kemiringan maksimum yang

harus dicapai pada suatu tikungan tergantung dari kecepatan rencana yang

digunakan.

Untuk merubah penampang melintang dari normal sampai kesuperelevasi

penuh ada 3 macam :

1. Perubahan dengan as jalan sebagai sumbu putar

2. Perubahan dengan tepi luar jalan sebagai sumbu putar

3. Perubahan dengan tepi jalan dalam jalan sebagai sumbu putar.

yang akan dibicarakan disini hanya dengan pertama karena cara ini yang

sering di gunakan di Indonesia.

36

Gambar 3.5. Jenis Diagram Superelevasi

5. Pelebaran Perkerasan Pada Alinyemen Horisontal

37

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ketikungan, seringkali tak

dapat memperhatikan lintasanya pada jalur yang disediakan. Hal ini

disebabkan karena :

a. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda

depan ,sehingga lintasan roda belakang agak keluar jalur (off tracking).

b. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena roda depan dan

belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan

lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.

c. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasan

tetap pada jalur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau

pada kecepatan-kecapatan yang tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut diatas maka pada tikungan-tikungan yang

tajam perlu perkerasan jalan diperlebar. Pelebaran perkerasan ini

merupakan factor dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis dan

ukuran kendaraan rencana yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan.

Pada umumnya truk tunggal merupakan jenis kendaraan yang

dipergunakan sebagai dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang

dibutuhkaan. Tetapi pada jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan

berat, jenis keendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok

dipiliih untuk kendaraan rencana. Tentu saja pemilihan jenis kendaraan

rencana ini sangat mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan

dan biaya pelaksanaan jalan tersebut.

Elemen-elemen dari pelebaran tikungan terdiri dari :

1. Off tracking (U)

2. Kesukaran dalam mengemudi di tikunggan (Z)

38

Gambar 3.6. Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

Dari Gambar 3.5 dapat dilihat :

b = Lebar kendaraan rencana

B = Lebar perkerasan yang ditempat satu kendaraan ditikungan pada lajur

sebelah dalam

U = B-b

C = Lebar kebebasan samping dikiri dan kanan kendaraan

Z = Lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi ditikungan

Bn = Lebar total perkerasan pada bagian lurus

Bt = Lebar total perkerasan ditikungan

N = Jumlah lajur

Bt = n(B+C)+Z

= Tambahan lebar perkerasan ditikungan

= Bt-Bn

39

1. Off Tracking(U)

Untuk perencanaan geometri jalan antar kota, Bina Marga

memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi kritis kendaraan yaitu

pada saat roda depan kendaraan pertama kali dan tinjauan dilakukan untuk

lajur sebelah dalam.

Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 3.5 yang berdasarkan kendaraan

rencana truk tunggal.

Rw = Radius lengkung keluar dari lintasan kendaraan pada lengkungan

horizontal untuk jalur sebelah dalam. Besarnya Rw dippengaruhi oleh

t²onjolan depan (A) kendaraan dan sudut belokan roda depan.

Ri = Radius lengkung terendam dari lintasan kendaraan pada lingkungan

horizontal oleh jarak pandang kendaraan (P)

B = Rw - Ri

Ri + b = ²

Rw =

Ri = Rw - B

Rw + B + b =

B = Rw + b

Rc = Radius lengkung untuk lintasan luar roda depan yang

besarnya dipengaruhi oleh sudut

Rc = Diasumsikan sama dengan Ri + 1/2 b

Rc² = (Ri + 1/2)² + (P + A)²

(Ri + 1/2 b)² = Rc² - (P + A)²

(Ri + 1/2 b) =

40

Ri = -(P+A)²-1/2 b

Rw =

B =

U = B - b, sedangkan ukuran kendaraan rencana truk adalah

P = Jarak antara gandar = 6,5 m

A = Tonjolan depan kendaraan = 1,5 m

B = Lebar kendaraan = 2,5 m

Sehingga :

B = - + 1,25

Dan Rc = Radius lajur sebelah dalam - 1/2 lebar perkerasan + 1/2 b

2. Kesukaran Dalam Mengemudi di Tikungan

Tambahan lebar perkerasan akibat kesukaran dalam mengemudi ditikungan

diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan radius sebelah

dalam. Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan semakin tajam tikungan

tersebut, semakin besar tambahan perlebaran akibat kesukaran dalam

mengemudi. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan terlemparnya

kendaraan kearah luar dalam gerakan menikung tersebut.

41

Z = (0.105V) / VR

Dimana : V = Kecepatan, km/jam

R = Radius lengkung, m

Kebebasan samping dikiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi

keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar 0,5

m, 1 m, dan 1,25 m cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6 m, 7

m, dan 7,50 m.

3. Pencapaian Pelebaran Pada Lengkung Horisontal

Pelebaran pada lengkung horizontal harus dilakukan perlahan-lahan dari

awal lingkungan kebentuk lengkungan penuh dan sebaliknya, hal ini

bertujuan untuk memberikan bentuk lintasan yang baik bagi kendaraan

yang hendak memasuki lengkungan atau meninggalkannya.

Pada lengkung-lengkung lingkaran sederhana, tanpa lengkung peralihan

pelebaran perkerasan sederhana, tanpa lengkung peralihan pelebaran

perkerasan padat dilakukan disepanjang lengkunan peralihan fiktif, yaitu

bersamaan dengan tempat perubahan kemiringan melintang.

Pada lengkung-lengkung dengan lengkung peralihan tambahan lebar

perkerasan dilakukan seluruhnya disepanjang lengkung peralihan tersebut.

E. Perencanaan Alinyemen Vertikal

Perubahan dari suatu kelandaian kelandaian yang lain diperhitungkan dengan

menggunakan lengkung vertikal.

1. Macam-macam Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal ada 2, macam yaitu :

42

a. Lengkung Vertikal cekung, yaitu lengkung dimana titik perpotongan

antara kedua tangan berada dibawah permukaan jalan.

b. Lengkung Vertikal cembung, yaitu lengkung dimana titik perpotongan

antara kedua tangan berada diatas permukaan jalan

Gambar 3.7. Jenis Lengkung Vertikal

Lengkung a,b dan c dinamakan lengkung vertical cekung.

Lengkung d,e, dan f dinamakan lengkung vertical cembung.

Pada umumnya di Indonesia menggunakan lengkung parabola sederhana

untuk lengkung vertical cembung maupun cekung, dengan rumus umum

sebagai berikut :

43

A = [ g1 – g2 ]

Ev =

Lv = dilihat pada grafik besarnya tergantung pada A dan kecepatan

rencana.

Y = x²

Dimana :

Ev = Pergeseran vertikal (m)

X = Jarak horizontal dari setiap titik pada garis kelandaian terhadap PLv

(peralihan lengkung vertical)

Y = Panjang pergeseran vertical dari titik yang bersangkutan

Lv = Jarak horizontal antara PLV dan PTV (peralihan tangen vertikal)

disebut panjang lengkung

A = Perbedaan panjang landai (%)

2. Kelandaian Maksimum dan Panjang Kritis

44

Sebelum menghitung alinyemen vertical ada beberapa tahapan yang perlu

diperhatikan.

a. Menentukan kelandaian memanjang jalan, pada tahapan ini yang perlu

diperhatikan adalah jumlah galian harus sedikit lebih besar

dibandingkan dengan jumlah volume timbunan. Tetapi selain itu juga

harus mmemperhatikan kelandaian maksimum, yaitu kelandaian

terbesar yang diperbolehkan pada suatu kelas jalan dan kondisi medan

tertentu. Dirjen Bina Marga telah membuat batasan kelandaian

maksimum sebagai berikut :

Tabel 3.4. Kelandaian Maksimum

Kelas Jalan Kondisi Medan Kelandaian Maksimum (%)

I

II A

II B

IIC

III

DBG

DBG

DBG

DBG

DBG

3%5%6%

4%6%7%

5%7%8%

6%8%10%

6%8%12%

45

Selain kelandaian maksimum yang perlu diperhatikan lagi adalah

“panjang kritis” pada setiap kelandaian. Yang dimaksud dengan panjang

kritis adalah panjang jalan (diukur secara horizontal) yang mengakibatkan

pengurangan kecepatan kenddaraan sebesar 25 km/jam.

Tabel 3.5. Panjang Kritis

Kelandaian jalan (%)

3 4 5 6 7 8 10 12

Panjang Kritis

(meter)480 330 250 200 170 150 135 120

F. Jarak Pandang

Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi

pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi melihat

suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu

(antisipasi) untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman.

Jarak Pandang terdiri dari :

- Jarak pandang henti (Jh) dan

- Jarak pandang mendahului (Jd).

Menurut ketentuan Bina Marga, adalah sebagai berikut :

1. Jarak Pandang Henti (Jh)

a. Jarak Minimum

Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk

menghentikan kendaraanya dengan aman begitu melihat adanya

halangan didepan. Setiap titik disepanjang jalan harus memenuhi

ketentuan Jh.

46

b. Asumsi Tinggi

Jh di ukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah

105 cm dan tinggi halangan 15 cm, yang diukur dari permukaan

jalan.

c. Elemen – Jh

Jh terdiri atas 2 (dua) elemen jarak, yaitu :

1). Jarak Tanggap (Jht), adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan

sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia

harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem, dan

2). arak Pengreman (Jhr), adalah jarak yang dibutuhkan untuk

menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem

sampai kendaraan berhenti.

d. Rumus Yang Digunakan :

Jh adalah suatu meter, dapat dihitung dengan rumus :

Jh = Jht + Jhr

Jh = T +

dimana :

VR = kecepatan rencana

T = waktu tanggap, ditetapakan 2,5 detik

g = percepatan grafitasi, ditetapkan 9,8 m/detik²

fp = koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan

perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,28 – 0,45

(menurut AASHTO), fp akan semakin kecil jika

kecepatan (VR) semakin tinggi dan sebaliknya.

(menurut Bina Marga, fp = 0,35 – 0,55)

47

Persamaan tersebut diatas dapat disederhanakan menjadi :

Untuk jalan datar :

Jh = 0,278 VR .T +

Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :

Jh = 0,278 VR . T +

Dimana : L = landai jalan dalam (%) dibagi 100.

Tabel 5.1. Menampilkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan

persamaan dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagi VR

Tabel 3.6. Jarak Pandang Henti (Jh) minimum

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

2. Jarak Pandang Mendahului (Jd)

a. Jarak

Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului

kendaraan lain didepannya dengan aman sampai kendaraan tersebut

kembali kelajur semula (lihat Gambar 5.1)

48

Gambar 3.8. Proses Gerakan Mendahului

A = Kendaraan yang mendahului

B = Kendaraan yang berlawanan arah

C = Kendaraan yang didahului kendaraan A

1. Asumsi Tinggi

Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah

105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.

2. Rumus Yang Digunakan

Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :

Jd = d1 + d2 + d3 + d4

dimana :

49

d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)

d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali

kelajur semula (m),

d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang

datang dari arah yang berlawanan setelah proses mendahului

selesai (m)

d4 = jarak yangditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah

berlawanan.

Rumus yang digunakan :

d1= 0,278 T1 [ – m + ]

d2 = 0,278 T2

d3 = antara 30 – 100 m

Tabel 3.7. Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan yang

datang berlawanan

VR (km/jam) 50 – 65 65 - 80 80 – 95 95 – 110

d3 (m) 30 55 75 90

d4 = 2/3 d2

dimana :

T1 = waktu dalam (detik),∞ 2,12 + 0,026

T2 = waktu kendaraan berada dijalur lawan, (detik), ∞ 6,56 +

0,048

50

a = percepatan rata-rata km/jam/detik,(km/jam/detik),∞ 2,052 +

0,0036

m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan

kendaraan yang disiap, (biasanya diambil 10 -15km/jam)

Tabel 3.8. Panjang jarak pandang mendahului berdasarkan

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

3. Penyebaran Lokasi

Lokasi atau daerah untuk mendahului harus disebar disepanjang jalan

dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan

yang direncanakan.

G. Daerah Bebas Samping di Tikungan

Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (ditikungan), adalah

pandangan bebas pengemudi dari halangan benda-benda disisi jalan (daerah

bebas samping).

Daerah bebas samping ditikungan adalah ruang untuk menjamin

kebebasan pandang ditikungan sehingga Jh dipenuhi

Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahaan

pandangan ditikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang

sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek

penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi (lihat gambar-

5.10 dan gambar-5.11).

Daerah bebas samping ditikungan hitung berdasarkan rumus-rumus

sebagai berikut :

51

Gambar 3.9. Daerah bebas samping di tikungan untuk Jh < Lt

1. Jika > :

E = [ 1 - Cos ]

Gambar 3.10. Daerah bebas samping ditikungan, untuk Jh > Lt

E = [ 1- Cos ] + [ - sin ]

dimana :

R = jari-jari tikungan (m)

= jari-jari sumbu lajur dalam (m)

52

= jarak pandang henti (m)

= panjang tikungan (m)

Tabel 5.10 menampilkan nilai E dalam satuan meter,yang dihitung

menggunakan persamaan dengan pembulatan-pembulatan untuk

Sedangkan Tabel 5.11 digunakan untuk yang dihitung dari

persamaan

Tabel 5.11a untuk ( = 25m) dan tabel 5.11b untuk ( = 50 m).

53

54

55

H. Tikungan Gabungan

Pada perencanaan alinyemen horizontal, kemungkinan akan ada/ditemui

perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada route jalan

yang akan direncanakan sedemikian rupa sehingga terpaksa (tidak dapat

dihindari) harus dilakukan rencana tikungan gabungan searah dan tikungan

gabungan terbalik.

1. Tikungan Gabungan Searah

R1 > 1,5 R2 ---- Tikungan gabungan searah yang harus dihindari, jika

terpaksa dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC)

disarankan seperti pada gambar dibawah (Gambar 5.12.a, b, c).

56

2. Tikungan Gabungan Berbalik

Tikungan gabungan yang berbalik secara tiba-tiba, harus dihindari, karena

dalam kondisi ini pengemudi sangat sulit untuk mempertahankan kendaraan

pada lajurnya. Jika terpaksa dibuat tikungan gabungan dari dua busur

lingkaran (FC), disarankan seperti pada gambar dibawah (Gambar 5.13a,b,c)

57

Tikungan gabungan yang berbalik, akan menemui kesukaran dalam pelaksanaan

(kontruksi) kemiringan melintang jalan, terutama pada kontruksi timbunan yang

tinggi, tikungan semacam ini sedapat mungkin harus dihindari.

I. Soal - Jawab

1. Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan :

- Kecepatan rencana

- Kecepatan batas

- Kecepatan jalan

Jawab :

- Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk merencanakan

bagian-bagian dari jalan, misalnya : tikungan, kelandaian, jari-jari lengkung,

dsb. Apabila kendaraan melewati bagian jalan tertentu dan tidak melewati

kecepatan rencana, kendaraan harus aman (tidak terjadi kecelakaan).

Besarnya kecepatan rencana ditentukan berdasarkan klas jalan dan kondisi

medan.

- Kecepatan batas adalah kecepatan yang ditentukan untuk membatasi laju

kendaraan pada waktu memasuki ruas jalan tertentu. Biasanya kecepatan

58

rencana ditentukan sedikit lebih kecil dari kecepatan rencana, hal ini untuk

mengantisipasi kecenderungan manusia untuk melanggar.

- Kecepatan jalan adalah laju kendaraan rata-rata pada waktu melewati ruas

jalan tertentu. Kecepatan jalan dapat dihitung dengan cara membagi jarak

tempuh dengan waktu tempuh kendaraan. Kecepatan jalan biasanya

digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja jalan tersebut.

2. Rencanakan sebuah lengkung horizontal, apabila diketahui sudut perpotongan

() = 44,33o, kecepatan rencana 60 km/jam.

Jawab :

Jari-jari minimum

R =

=

= 112,04 m

V = kecepatan rencana

e = kemiringan pada tikungan maksimum = 10 %

f = koefisien gesek , untuk V = 60 km/jam e = 0,153

Perencanaan lengkung horizontal menggunakan jenis spiral-circle-spiral

R min = 112,04 m dipakai R = 120 m

59

R = 120 dari tabel didapat :

V = 60 km/jam Ls = 70 m e = 0,099 m

Dari data Ls = 70 m dari tabel di dapat :

= 44,33o θs = 16,7160

k = 34,9013

x = 69,4078

p = 1,6961

y = 6,7627

Ts = ( R + p ) tg ½ + k

= ( 120 + 1,6961 ) tg 44,33 + 34,9013

= 84,44 m

Es = - R

= - 120

= 11,39 m

’ = - 2 θs

= 44,33 – 2 (16,7160)

= 10,88o

60

Lc = 2 π R

= 2 (3,14) (120)

= 22,77 m

Lt = Lc + 2 Ls

= 22,77 + 2 (70)

= 162,77 m

Kontrol :

1. Ls > Ls min

Ls min = 0,22 - 2,727

= 0,22 - 2,727

= 58,60 m

Ls > Ls min 70 > 58,60 m (OK !)

2. Lc > 20 m

22,77 > 20 m (OK !)

3. Lt < 2 Ts

61

162,77 < 2 (84,44)

162,77 < 168,88 (OK !)

3. Rencanakan sebuah lengkung vertical pada perubahan kelandaian dari +1,6%

ke +7%. Kecepatan rencana = 60 km/jam.

Perencanaan :

g1 = + 1,6% A = g1 – g2

g2 = + 7% = 1,6 – 7 = 5,4

Lengkung cekung

A = 5,4 dilihat dari grafik lengkung cekung

V = 60 km/jam didapat Lv = 75 m

Ev = = = 0,51 m

62

x1 = 15 m y1 = x2

= (15) 2

= 0,081 m

x2 = 30 m y2 = (30) 2

= 0,324 m

J. Soal - soal

1. Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan :

a. Kelandaian jalan

b. Pelebaran pada tikungan

c. Diagram superelevasi

2. Rencanakan sebuah lengkung horizontal pada ruas jalan yang akan

melayani Lalu lintas Harian Rata-rata = 4000 kendaraan perhari, kondisi

medan perbukitan, sudut potong () = 15o

63

3. Rencanakan sebuah lengkung vertical pada perubahan kelandaian dari +

2% menjadi - 1,5%. Lengkung tersebut berada pada jalan kelas II A

daerah perbukitan.

4. Gambarkan Diagram superelevasi untuk lengkung Full Circle, apabila

diketahui : lebar jalan 7 meter e maksimum = 3 % panjang lengkung (Lc)

= 100 meter

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan jarak pandang henti dan Jarak

pandang menyiap !

K. Referensi :

- Alik Ansyori Alamsyah, 2006, Rekayasa Jalan Raya, UMM Press, Malang

- Dirjen Binamarga Departemen Pekerjaan Umum, 1970, Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Badan penerbit PU, Jakarta

- Dirjen Binamarga Departemen Pekerjaan Umum, 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Badan penerbit PU, Jakarta

- Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Jalan ( UU RI No : 38 Tahun 2004 ), Sinar Grafika, Jakarta

- Pemerintah Republik Indonesia, 2006, Peraturan Pemerintah No : 34 Tahun 2006 Tentang Jalan. Jakarta

- Polytechnic Education Developmen Project, 1987,Konstruksi Jalan Raya I, Bandung

- Hendarsin Shirley L, 1987, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya, Politeknik Negeri Bandung - Jurusan Teknik Sipil, Bandung

- Sukirman Silvia, 1994, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan , Nova, Bandung

64