BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI...

39
59 BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI DERMOLO: REPRESENTASI DOMINASI KELOMPOK AGAMA DI TINGKAT LOKAL A. Dermolo sebagai Setting Kajian Desa Dermolo merupakan bagian dari teritori kecamatan Kembang kabupaten Jepara. Kecamatan Kembang berbatasan dengan kecamatan Keling di sebelah Timur; kecamatan Bangsri di sebelah Barat dan Selatan; dan Laut Jawa di sebelah Utara. Luas wilayah Desa Dermolo 979,380 Ha (kepadatan penduduk: 522 jiwa/Km 2 ). Desa ini memiliki sumberdaya alam yang besar. Ia memiliki perkebunan negara (700 Ha) dan hutan karet yang sangat luas (300 Ha) dan dikelola oleh PTPN yang bergerak di bidang pengolahan bahan karet mentah. 1 Kondisi ini kemudian berdampak pada jenis mata pencaharian yang dipilih oleh warga. Sebanyak lebih dari 70% penduduk Dermolo menggantungkan hidupnya kepada PTPN, sebuah perusahaan milik negara di bidang pengolahan karet mentah. Selainnya, sebanyak 28% bertani dan 2% wiraswasta. Jika honorarium pekerja PTPN sebesar Rp. 30 ribu/hari bagi pekerja tetap dan Rp. 17.500/ hari untuk pekerja lepas, dapat dikatakan bahwa dari tingkat kesejahteraan, masyarakat Dermolo pada level sedang. Sesuai data yang dirilis oleh Badan Statistik tahun 2012, kondisi masyarakat pra-sejahtera sebesar 37,4%, sejahtera I: 14%, sejahtera II: 18%, sejahtera III: 19,9%, sejahtera plus: 10,6%. 1 Kantor Kecamatan Kembang dan Kantor Statistik Kecamatan, Kecamatan Kembang Dalam Angka 2013 (Jepara: BPS Jepara), 81-95.

Transcript of BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI...

Page 1: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

59

BAB III

PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI DERMOLO:

REPRESENTASI DOMINASI KELOMPOK AGAMA

DI TINGKAT LOKAL

A. Dermolo sebagai Setting Kajian

Desa Dermolo merupakan bagian dari teritori kecamatan Kembang

kabupaten Jepara. Kecamatan Kembang berbatasan dengan kecamatan Keling di

sebelah Timur; kecamatan Bangsri di sebelah Barat dan Selatan; dan Laut Jawa di

sebelah Utara. Luas wilayah Desa Dermolo 979,380 Ha (kepadatan penduduk:

522 jiwa/Km2). Desa ini memiliki sumberdaya alam yang besar. Ia memiliki

perkebunan negara (700 Ha) dan hutan karet yang sangat luas (300 Ha) dan

dikelola oleh PTPN yang bergerak di bidang pengolahan bahan karet mentah.1

Kondisi ini kemudian berdampak pada jenis mata pencaharian yang dipilih

oleh warga. Sebanyak lebih dari 70% penduduk Dermolo menggantungkan

hidupnya kepada PTPN, sebuah perusahaan milik negara di bidang pengolahan

karet mentah. Selainnya, sebanyak 28% bertani dan 2% wiraswasta. Jika

honorarium pekerja PTPN sebesar Rp. 30 ribu/hari bagi pekerja tetap dan Rp.

17.500/ hari untuk pekerja lepas, dapat dikatakan bahwa dari tingkat

kesejahteraan, masyarakat Dermolo pada level sedang. Sesuai data yang dirilis

oleh Badan Statistik tahun 2012, kondisi masyarakat pra-sejahtera sebesar 37,4%,

sejahtera I: 14%, sejahtera II: 18%, sejahtera III: 19,9%, sejahtera plus: 10,6%.

1Kantor Kecamatan Kembang dan Kantor Statistik Kecamatan, Kecamatan Kembang

Dalam Angka 2013 (Jepara: BPS Jepara), 81-95.

Page 2: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

60

Kondisi ini setidaknya tergambar secara fisik di mana masih banyak rumah-rumah

yang berdiri dengan kondisi sederhana. Tercatat, rumah gedung/permanen

sebanyak 407 rumah, dan rumah gayu/genting sebanyak 1000 rumah. Bagi

sebagian besar orang, rumah ditempatkan sebagai simbol status sosial

pemiliknya.2

Gambaran ekonomi di atas sekaligus memberikan gambaran lain tentang

tingkat pendidikan masyarakat Desa Dermolo. Tidak lebih dari 12% remaja usia

kuliah, melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi, baik di Jepara maupun luar

Jepara. Terlebih, fasilitas sekolahan yang ada di Desa Dermolo hanya berjumlah

9; 3 Sekolah dasar Negeri (SDN) dan 6 Taman Kanak-kanak. Jauhnya jarak dari

ibu kota kabupaten Jepara, yaitu sejauh 21 Km turut menyumbang faktor

rendahnya pendidikan. Ini berhubungan dengan faktor terkait, misalnya kesulitan

biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

Rendahnya tingkat pendidikan warga di desa tersebut salah satunya dipicu

oleh kesulitan biaya bagi orangtua. Ini seringkali dijadikan sebagai alasan utama.

Orangtua umumnya masih berpandangan bahwa menyekolahkan anak ke

perguruan tinggi membutuhnya biaya yang besar, sementara banyak lulusannya

yang menganggur. Karena itu, secara umum mereka mengatakan, lebih baik anak

disuruh kerja karena menghasilkan uang, daripada kuliah yang hanya

menghabiskan uang. Sementara bagi kalangan tertentu, yaitu dari tokoh

masyarakat, sebagian besar mengarahkan anaknya memilih perguruan tinggi atau

2 Ibid, 78-80.

Page 3: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

61

fakultas yang lebih menjanjikan pekerjaan, misalnya Akademi Kepolisian

(Akpol), STPDN, atau Akademi Militer (Akmil) yang memiliki ikatan dinas.

Karakter dan tipe keluarga di desa tersebut dikategorikan sebagai keluarga

kecil (nuclear family). Jika jumlah rumah di Desa Dermolo berjumlah 1.407 dan

dihuni oleh sebanyak 1860 jiwa, berarti setiap rumah bangunan dihuni oleh sekitar

3-4 orang. Ini dapat dijelaskan bahwa bentuk keluarga yang umum adalah

keluarga kecil, di mana rata-rata dalam satu rumah tangga, terdiri dari pasangan

suami-istri dengan dua anak.

Dalam konteks Desa Dermolo, rata-rata warga penduduk yang secara

ekonomi dianggap cukup kaya, adalah mereka yang bekerja sebagai pengusaha

seperti pengusaha meubel (meubeler), usaha jasa, seperti usaha angkutan, dan

petani yang memiliki sawah luas dan pekerjaan „sampingan‟ atau tambahan.

Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan yang dipilih, dan tingkat kesejahteraan

keluarga, serta tipologi rumah yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan di atas,

menggambarkan adanya keterkaitan terhadap lingkungan alam fisik dalam satu

sisi, dan perubahan sosial pada sisi yang lain. Pada lingkungan alam fisik,

pekerjaan-pekerjaan buruh, baik di pabrik (70%) maupun di perusahaan meubel

(40%) menjadi pilihan mayoritas, dan kemudian disusul oleh profesi tani (28%),

wiraswasta, dan pegawai (2%).3

Persentase ini menunjukkan fakta (1) berkurangnya jumlah pekerja boro.

(2) meningkatnya dinamika ekonomi di desa setempat. Ketika sebagian kecil dari

masyarakat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi sebagian besar

3Ibid, 22-37.

Page 4: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

62

yang lain, akan muncul keinginan untuk tetap di kawasan itu. Dengan begitu,

“para suami” yang umumnya diposisikan sebagai tulang-punggung pencari nafkah

bagi keluarga, berkurang minatnya pergi ke luar Jepara.

B. Sosial Keagamaan Penduduk

Identifikasi keagamaan sebagaimana tercatat dalam laporan pemerintahan

kecamatan, menjelaskan bahwa warga masyarakat Desa Dermolo 95% mengaku

atau dicatat sebagai orang Islam.4 Jumlah terbanyak kedua, adalah pemeluk Budha

(3%).5 Dan Jumlah terbanyak ketiga, adalah pemeluk Kristen, yaitu sebanyak

1%.6 Di desa ini baik pemeluk Kristen, Budha maupun Islam memiliki hubungan

kekerabatan cukup dekat. Pertalian ini kemudian berpengaruh terhadap dinamika

kemasyarakatan pada ranah sosial dan keagamaan. Pada acara kerja bakti ataupun

selamatan, satu sama lain saling mengundang. Begitu pula dalam pendirian

masjid, mushalla, wihara bahkan gereja, masyarakat terlibat tanpa membedakan

identitas agamanya.

Dengan kata lain, sebelum terjadinya polemik penggunaan gereja, interaksi

umat beragama di Desa Dermolo terbina secara baik. Di tengah kemajemukan

umat beragama, masing-masing dapat mengedepankan toleransi, sehingga tensi

4Islam merupakan agama yang pertama kali eksis di desa ini. Agama ini dibawa oleh sang

babat desa yang bernama Mbah Tambar dan Mbah Giah. Dari kedua orang ini lalu diwarisi secara

turun temurun kepada anak cucunya. 5Pemeluk Budha di desa ini mulai ada sejak tahun 1969 yang notabene merupakan satu

keluarga, yaitu keluarga besar pak Saimin, seorang muslim yang kemudian mengikrarkan diri

untuk memeluk agama Budha (wawancara dengan sesepuh agama Budha). 6 Sebelum Budha, cikal bakal umat Kristen lebih dulu ada di Dermolo sekitar tahun 1960-

an (ada pula versi yang mengatakan tahun 50-an) tepatnya sebelum peristiwa (G30 SPKI). Bahkan

pada tahun 1970 salah seorang mantan kepala desa menceritakan terdapat ratusan umat Kristiani

yang bertempat tinggal di Dermolo. Dikarenakan kebijakan dari Sinode untuk transmigrasi ke

Maluku, Sumatera dan lainnya, banyak warga Kristen Dermolo yang kemudian melakukan

transmigrasi dan menyisakan puluhan orang saja.

Page 5: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

63

hubungan antarumat beragama berjalan stabil. Dalam ranah sosial, pemeluk ketiga

agama bisa saling bahu-membahu dalam relasi sosial dan saling menghormati

dalam hal pilihan keyakinan. Faktor lain terciptanya harmoni ini adalah nilai

toleransi yang diturunkan (ultimate value) oleh mbah Giah dan mbah Tambar; dua

tokoh dalam babat desa (cultural hero) yang dikenal sebagai orang yang babat

alas Desa Dermolo.7

Sebagaimana dituturkan oleh salah seorang sesepuh di Desa Dermolo8,

mulanya, stratifikasi sosial di desa ini memiliki kesamaan dengan masyarakat

Mojokuto yang diteliti oleh Clifford Geertz. Dalam Agama Jawa, Geertz,

memberikan klasifikasi keagamaan orang-orang Islam Jawa menjadi tiga bagian,

yaitu abangan (petani), santri (pedagang), dan priyayi (birokrat).9

Dalam konteks Dermolo saat ini, seiring perubahan kondisi sosial dan

ekonomi masyarakat, stratifikasi masyarakat mengkristal menjadi dua, pertama,

santri, yaitu orang muslim yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh

dan dengan teliti mengamalkan perintah ajaran Islam. Ini biasanya ditandai

dengan keikutsertaannya dalam upacara-upacara agama yang dilakukan oleh

ummah (umat Islam); kedua, abangan yang secara harfiah berarti „yang merah‟,

yang diturunkan dari kata abang (merah). Orang Dermolo lebih suka menyebut

7 Wawancara dengan mantan Kepala Desa Dermolo, pada 13 Juli 2014.

8 Wawancara dengan sekretaris Desa (Carik) yang telah menjabat sejak tahun 90-an hingga

sekarang, dilakukan pada 13 Juli 2014. 9Dalam identifikasi Geertz, kelompok abangan diatribusikan pada masyarakat pedesaan

yang sistem keagamaannya terintegrasi secara berimbang antara unsur animisme, Hindu, dan

Islam. Di sini terjadi sinkretisme antara ajaran agama dengan local wisdom. Adapun kelompok

santri lebih diatribusikan pada para pedagang. Jika ditarik ke belakang, fakta ini berhubungan

dengan pertemuan para pedagang lokal dengan para pedagang dari Timur Tengah yang selain

melakukan kegiatan perdagangan, juga membawa misi keagamaan. Sementara kelompok priyayi

adalah kalangan aristokrasi turun-temurun yang oleh Belanda diambil dari raja-raja pribumi dan

kemudian direkrut sebagai pegawai. Clifford Gertz, The Religion of Java terj. Agama Jawa;

Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2012), xv-xxiii.

Page 6: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

64

dirinya nasionalis. Kelompok ini biasanya mengenai muslim Jawa yang tidak

seberapa menjalankan perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi

kewajiban-kewajiban agama. Jadi, kelompok tersebut tidak lagi berlatar belakang

sebagaimana pada klasifikasi yang diberikan oleh Geertz.

Jika ditinjau dari klasifikasi keberpihakan terhadap Ormas, seperti NU dan

Muhammadiyah, komposisinya 90% mengikuti NU, dan selebihnya ke

Muhammadiyah. Persentase demikian semata-mata didasarkan pada pengakuan

mengenai agama yang dipeluk, dan tidak terkait dengan kualitas keagamaannya

sendiri. NU sebagai mayoritas di desa ini lebih disebabkan kuatnya pengaruh

Islam yang dibawa oleh para tokoh yang babat alas di sejumlah daerah di Jawa,

yang masih melestarikan tradisi-tradisi kejawen.

Sebagaimana diungkapkan sesepuh di Dermolo, awalnya tidak ada NU dan

Muhammadiyah. Masyarakat menjalankan syariat Islam secara normatif, misalnya

shalat, zakat, puasa, dan sebagainya tanpa melabeli ibadahnya dengan madzhab

atau konsep organisasi keagamaan tertentu. Jika pada satu sisi syariat Islam

dijalankan, pada sisi yang lain, tradisi kejawen masih terus dilestarikan, misalnya

kabumi, ruwatan, selamatan dan sebagainya.

Pada perkembangannya, seorang tokoh agama bernama Romo Sadyo yang

sepulang „nyantri‟ di sebuah pondok pesantren di Jombang Jawa Timur berganti

nama menjadi Mohammad Shofi‟i (selanjutnya disebut Shofi‟i), membawa iklim

baru keagamaan. Ia mulai mengenalkan bagaimana tata cara ibadah sesuai dengan

aturan syara’ (Hukum Islam). Dari sini lalu masyarakat mulai mengenal aturan

syariat Islam ala Nahdlatul Ulama (NU). Corak Islam ala NU yang permisif

Page 7: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

65

terhadap kesalihan lokal (local wisdom) mendapatkan respon positif dari

masyarakat karena ia tidak serta merta menghilangkan tradisi-tradisi yang sudah

mengakar di masyarakat.

Situasi tersebut berpengaruh terhadap kemauan mereka untuk mengikuti

ajaran-ajaran yang dibawa oleh Shofi‟i. Jadi, pada satu sisi kewajiban-kewajiban

ritual keagamaan dijalankan dengan baik, pada sisi yang lain, kesalihan lokal yang

biasa dilakukan, seperti sedekah bumi (kabumi) yang mempertahankan tradisi

warisan kedua tokoh di atas (mbah Giah dan mbah Tambar) terus dilestrikan.

Untuk menggerakkan semangat beragama, Shofi‟i lalu membangun sebuah

masjid yang diberi nama Baitul Makmur. Masjid ini selain difungsikan sebagai

tempat ibadah, juga menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Ritual ibadah

yang dipraktikkan di masjid ini adalah ala NU. Sebagai ciri –misalnya, adzan

pada shalat Jum‟at dikumandangkan sebanyak dua kali dan membaca wiridan

secara kolektif selepas menunaikan ibadah shalat fardlu.

Sepeninggal Shofi‟i, ritual ini dapat terus bertahan hingga hadirnya

seorang pendatang bernama Teko (yang kemudian berganti nama menjadi

Mohamad Ihsan), yang pada akhirnya menikahi putri Shofi‟i. Mohamad Ihsan

dikenal sebagai salah satu tokoh yang membawa semangat baru dalam diskursus

keagamaan. Ia prihatin ketika melihat masyarakat menjalankan dua idealitas yang

menurutnya saling bertentangan.

Idealitas yang pertama, berhubungan dengan idealitas keagamaan bahwa

masyarakat di Desa Dermolo tergolong taat menjalankan ibadah sesuai dengan

yang dicontohkan oleh Shofi‟i. Namun pada sisi yang lain, tradisi-tradisi seperti

Page 8: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

66

kabumi yang mendorong seseorang kepada tindakan yang berbau khurafat dan

tahayyul masih terus dipertahankan. Di sinilah Mohamad Ihsan (selanjutnya

disebut dengan Ihsan) membawa semangat baru untuk memurnikan ajaran Islam

dari tradisi-tradisi Jawa yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai Islam

yang dikenal sebagai mainstream dakwah Muhammadiyah.

Tepatnya pada tahun 1966 Ihsan mulai mentransformasikan paham

keagamaan yang berorientasi pada pemurnian ajaran agama Islam dengan

berpegang-teguh pada al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dari sini kemudian muncul

variasi kegiatan keagamaan. Sebagian kelompok mempertahankan syariat-

normatif dan kesalehan lokal, sementara sebagian yang lain berupaya

“memurnikan” syariat-normatif dari kesalehan lokal (local wisdom) yang

dianggap mengkontaminasi kemurnian agama.

Setelah Ihsan pindah ke Jawa Timur (1985), seorang tokoh asal desa

Bangsri, membawa semangat baru dalam paham keagamaan masyarakat Desa

Dermolo. Bersama tokoh setempat yang mengikuti perjuangan dan dakwah Ihsan,

tokoh dari Bangsri itu membentuk Muhammadiyah ranting Desa Dermolo. Dari

sini, perbedaan paham mengkristal menjadi kelompok yang terpisahkan. Jika

warga Muhammadiyah mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang memurnikan

ajaran Islam dengan hanya berpegangteguh pada al-Qur‟an dan al-Sunnah, warga

NU mengidentifikasi dirinya sebagai pelestari paham yang mengkompromikan

nilai-nilai dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan local wisdom dalam

masyarakat.

Page 9: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

67

Pada ranah sosial keagamaan, kedua kelompok bermetamorfosa dalam

wadah keorganisasian, sehingga kelompok NU menyatu dalam komunitas sesama

nahdliyyin, dan kelompok Muhammadiyah mengelompok dalam komunitas

Muhammadiyyin. Masing-masing mendinamisasi kelompoknya dengan idealitas

NU dan Muhammadiyah. Komunitas NU mendinamisasi kelompoknya dengan

kegiatan seperti barzanji, tahlilan, muslimatan, dan sebagainya. Sementara

kelompok Muhammadiyah menjalankan rutinitas idarohan.

Lahirnya kelompok-kelompok sosial keagamaan ini lalu berdampak pada

sikap dan penyikapan atas tradisi sosial di Desa Dermolo. Satu contoh dalam hal

kabumi (sedekah bumi) . Tradisi yang terus dilestarikan oleh kelompok nasionalis

direspon positif oleh kelompok NU. Menurutnya, tradisi ini tak selalu

bertentangan dengan nilai dalam Islam karena hal itu masuk dalam ranah sosial

yang disemangati oleh penghormatan atas jasa tokoh awal di desa ini.

Bagi masyarakat NU, tradisi yang biasa dilakukan dalam kabumi seperti

menangkap ikan Wader di belik mbah Giah, menyuguhkan ayam ingkung dan

ikan Badek dalam rangkaian pra kabumi, menyelenggarakan tontonan tayub dan

wayang, adalah bagian dari budaya masyarakat yang mengandung nilai luhur

sebagaimana diwarisi leluhur, yaitu menghormati jasa orang lain dan membangun

kebersamaan (solidaritas) dalam masyarakat. Namun bagi kelompok

Muhammadiyah, tradisi kabumi dinilai tak hanya urusan sosial atau budaya,

melainkan telah membahayakan ranah ideologi. Maka, tak ada jalan selain

menolaknya. Penolakan ini diwujudkan dalam bentuk tidak bersedia memberikan

iuran dan hadir dalam kegiatan.

Page 10: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

68

Sikap inipun berlanjut pada penyikapan terhadap keberadaan gereja di

Dermolo. Kelompok NU cenderung terbuka dan bisa menerima. Karena bagi

mereka, warga kristen juga memiliki hak yang sama untuk memiliki tempat

ibadah sebagaimana warga Budha. Mayoritas kelompok NU adalah nasionalis,

karena itu kebersamaan dan sikap saling menghormati antar warga lebih

diprioritaskan, asal tidak mengganggu atau mempengaruhi yang lain. Apalagi

menurut mereka, warga kristen Dermolo adalah warga asli yang telah lama ada di

Dermolo dan bersikap toleran. Kebiasaan untuk saling membantu bahkan ketika

ada perayaan keagamaan seperti perayaan natal, brayatan, panglipuran dan

sebagainya telah menjadi tradisi turun temurun. Sebagai bentuk toleransi warga

kristen, penyembelihan binatang ternak yang akan dimakan bersama warga

muslim terlebih dahulu mereka bawa ke Modin10

untuk disembelihkan.

Di sisi lain, kelompok muhammadiyah cenderung menolak penggunaan

gereja di Dermolo. Selain dilatarbelakangi oleh faktor historis di mana kelahiran

Muhammadiyah salah satunya adalah merespon arus Kristenisasi. Penolakan juga

disemangati oleh upaya memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh eksternal,

seperti kehadiran gereja. Bagi kelompok Muhammadiyah, keberadaan gereja di

Dermolo harus digagalkan karena berpotensi merusak ideologi muslim sebagai

mayoritas di Dermolo. Menurut pemahaman mereka, penentangan terhadap

penggunaan gereja di Dermolo merupakan upaya nahi munkar (melawan

kemungkaran) dan bagian dari perintah agama, sehingga mendapat ganjaran

pahala dari Allah SWT.

10

Modin adalah sebutan untuk tokoh agama yang diangkat sebagai perangkat desa yang

bertugas untuk mengurus prosesi keagamaan dalam Islam seperti pernikahan, prosesi jenazah,

selamatan, mengurus sengketa tanah dan sebagainya

Page 11: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

69

Bahkan, perbedaan paham keagamaan kelompok NU dan Muhammadiyah

telah mengkristal menjadi polemik tersendiri bagi keduanya. Proses pembangunan

masjid At-taqwa (representasi masjid Muhammadiyah) yang berada tidak jauh

dari masjid Baitul Makmur (peninggalan Shofi‟i) mengindikasikan bahwa kedua

ideologi Islam tersebut tidak lagi dapat dipersatukan dalam semangat

kebersamaan dan toleransi sebagaimana terbina sebelumnya.

C. Forum Solidaritas Muslim Dermolo dan Polemik Penggunaan Gereja

Harmoni umat beragama yang terbina baik di masyarakat Desa Dermolo,

menemui sisi lain ketika Pembangunan rumah ibadah Gereja Injili Tanah Jawa

(GITJ) di dukuh Dombang Dermolo dihentikan dan ditolak oleh Forum

Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD). Ketua FSMD saat ini (yang menggantikan

ketua FSMD sebelumnya karena wafat) menegaskan bahwa dari awal FSMD

memang dibentuk dalam rangka merespon pembangunan Gereja di Desa

Dermolo, dengan demikian FSMD lahir setelah adanya pendirian gereja. Pada

kesempatan berbeda seorang tokoh masyarakat yang juga mantan kepala Desa

Dermolo memperkuat pernyataan tersebut, ketika ditanya perihal kelahiran

FSMD.11

Sebagai putra tokoh Muhammadiyah, ketua FSMD tersebut

mengungkapkan bahwa terbentuknya FSMD merupakan inisiasi dari para tokoh

Muhammadiyah Dermolo. Awalnya tokoh Muhammadiyah, yang tidak lain

adalah ayahnya, mendapat pengaduan dari beberapa warga dukuh Dombang, yang

11

Pernyataan ini sekaligus menganulir pernyataan lain dari Pengurus FSMD yang

menyebutkan bahwa FSMD telah lahir sebelum berdirinya gereja dalam rangka mengelola

kemajemukan yang ada di Dermolo.

Page 12: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

70

sebelumnya mengaku telah mengadu kepada para tokoh NU, namun tidak

mendapatkan tanggapan positif. Karena merasa sebagai Islam minoritas, maka

para tokoh Muhammadiyah kemudian mengajak pengurus NU untuk ikut

bergabung membentuk FSMD dalam rangka mengawal proses pendirian gereja

agar tidak menciderai ideologi muslim sebagai kelompok mayoritas di Dermolo.

Untuk memperkuat legitimasi forum, diangkatlah ketua ranting NU Dermolo

sebagai ketua FSMD pertama dan dari pihak Muhammadiyah sebagai sekretaris.12

Setelah kepengurusan FSMD terbentuk, FSMD melakukan langkah awal

untuk membuat pernyataan sikap dengan melayangkan surat kepada kepada

jajaran Pemerintah Kabupaten Jepara nomor 01/FSMD/V/2002 tanggal 10 Mei

2002 dan disusul dengan surat pengaduan nomor 02/FSMD/V/2002. Surat ini

dibuat dengan merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) nomor

01/Ber/MDN-MAG/1969 (sebagaimana terlampir). Kedua surat inilah yang

kemudian mampu mengundang keberpihakan Bupati bersama Muspida kabupaten

Jepara, MUI, Departemen Agama, dan DPRD di lingkungan kabupaten Jepara

yang kemudian ditindak lanjuti oleh Camat Kembang.

Menanggapi surat pengaduan tersebut, aparat kecamatan Kembang

memfasilitasi pertemuan antara pihak GITJ yang dikoordinir oleh salah seorang

tokoh agama Kristen Dermolo dan pihak FSMD yang juga diwakili salah satu

12

Menurut salah seorang sesepuh desa menuturkan, meski NU di Dermolo mayoritas,

namun menjadi pengurus NU bukanlah sebuah prestise, sehingga tidak banyak yang berminat

untuk duduk dalam kepengurusan organisatoris NU. Karena itu, orang-orang yang ada dalam

kepengurusan NU adalah orang-orang yang kurang memiliki kapasitas memadai dan tidak

mengenyam pendidikan formal yang cukup, sehingga secara strata ekonomi/sosial juga rendah.

Inilah yang menyebabkan organisasi NU di Dermolo kurang terorganisir dan mudah dipengaruhi.

Sebagai contoh, ketua ranting NU saat itu berprofesi sebagai buruh bangunan. Hal ini berbeda

dengan Muhammadiyah, karena kepengurusan organisasinya di isi oleh orang-orang yang telah

mapan secara ekonomi dan sosial, seperti PNS di salah satu departemen, guru, dokter dlsb.

Page 13: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

71

tokohnya. Musyawarah yang di adakan di kantor kecamatan Kembang berjalan

alot karena masing-masing mempertahankan argumennya. Tokoh agama Kristen

berpendapat, IMB yang memberikan ijin pembangunan GITJ adalah sah secara

hukum. Sementara pihak FSMD bersikukuh bahwa penolakan warga muslim yang

notabene mayoritas, penting untuk dipertimbangkan. Negosiasi ini tidak

menemukan titik temu. Kedua pihak kemudian bersepakat membawa persoalan ini

ke Bupati Jepara.

Namun audiensi di tingkat kabupaten yang difasilitasi oleh Wakil Bupati

Jepara saat itupun, tetap tidak menghasilkan keputusan final. Pihak FSMD bahkan

mengusulkan agar IMB yang terbit dengan nama Pendirian Gereja Injili Tanah

Jawa (GITJ) diganti redaksinya dengan “mendirikan tempat tinggal”. Harapannya,

redaksi ini menjembatani pemeluk Kristen agar tetap beribadah meskipun

bertempat di rumah. Atas wacana tersebut, pemuka agama Kristen menyatakan

keberatan karena wacana ini dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan, terlebih

dengan merubah redaksi dalam IMB hanya akan menimbulkan persoalan baru.

Kedua pihak kemudian menyepakati agar masalah ini dipetieskan terlebih dahulu.

Berdasar pada catatan wira-wiri Kepala Desa Dermolo saat itu, Bupati

Jepara menginstruksikan agar pembangunan dihentikan sementara dan selanjutnya

akan dirapatkan dengan Muspida pada tanggal 8 Mei 2002. Hasilnya; (1)

pembangunan gereja tidak boleh dilanjutkan karena dapat menciptakan suasana

yang tidak kondusif; (2) IMB dicabut; (3) pihak Departemen agama memberikan

saran agar kebaktian dan kegiatan keagamaan Kristen lainnya diselenggarakan di

rumah tinggal. Ketika penulis mencoba melakukan cross check pada FSMD

Page 14: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

72

terkait catatan wira-wiri, pihaknya menyesalkan hal itu karena mereka memang

tidak mengetahui dari awal bahwa telah ada surat keputusan dari Bupati Jepara

terkait pencabutan IMB, sehingga berbagai upayapun ditempuh oleh FSMD.

Upaya-upaya yang dilakukan FSMD untuk mengagalkan penggunaan

gereja membuahkan hasil. Pemerintah kabupaten Jepara dengan pertimbangan

dari Departemen Agama dan MUI menerbitkan surat A.n Bupati Jepara Nomor

452.2/2381 tanggal 17 Juni 2002 kepada Camat Kembang yang menyatakan

bahwa “pembangunan gereja di dukuh Dombang Desa Dermolo kecamatan

Kembang, untuk saat ini belum memungkinkan.” Pernyataan serupa juga

ditujukan kepada panitia pembangunan GITJ Dermolo dalam surat dengan Nomor

452.2/3901 tanggal 29 Agustus 2002 (terlampir).

Pada akhir 2003 polemik kembali dibuka. FSMD mendengar beredarnya

kabar bahwa jamaat GITJ akan menyelenggarakan perayaan natal besar-besaran di

GITJ Dermolo. Merespon hal itu, FSMD kemudian mengirimkan surat bernomor

08/FSMD/XI/2003 tanggal 3 Desember 2003 perihal pengaduan masalah tempat

ibadah kepada Kepala Desa Dermolo. Dalam surat, pihak FSMD menyampaikan

bahwa pihak GITJ dinilai tidak memiliki itikad baik menjaga kerukunan umat

beragama di dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada dua hal; (1) bangunan

yang kemudian diatasnamakan sebagai tempat tinggal tersebut, dinilai lebih mirip

dengan gereja utuh dengan fasilitasnya, (2) digunakannya bangunan untuk acara

kebaktian dan adanya indikasi Perayaan Natal Tahun 2003 di sana.

Pada tanggal 8 Desember 2003, diselenggarakan Rapat Penyelesaian

Pengaduan Tempat Ibadah (Gereja) Dermolo. Hasil dari rapat adalah; (1)

Page 15: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

73

undangan Perayaan Natal Tahun 2003 agar diralat isi dan kopnya; (2) lokasi

perayaan natal agar direlokasi, bukan di tempat yang dikonotasikan sebagai

Gereja Pepanthan Desa Dermolo; (3) tempat atau bangunan yang dikonotasikan

sebagai gereja tidak digunakan untuk kegiatan layaknya sebagai gereja; (4) usulan

kembali perubahan IMB tentang pemilik bangunan dari atas nama Gereja

Dermolo menjadi atas nama Supardi sebagai tempat tinggal. Hasil rapat

ditandangani oleh pihak Kesbanglinmas, Camat Kembang, Kepala Desa Dermolo,

dan tiga orang dari pemeluk Kristen (terlampir). Namun usulan tentang perubahan

status IMB Gereja menjadi rumah tinggal tidak dipenuhi pihak GITJ karena opsi

ini dinilai melemahkan materi dalam IMB yang berstatus hukum.

Salah seorang tokoh FSMD yang juga berprofesi sebagai Pegawai Negeri

Sipil di salah satu Departemen di Kabupaten Jepara menyatakan, bahwa bagi

pihak FSMD Indonesia merupakan negara hukum, sehingga pendirian rumah

ibadah harus mentaati regulasi yang ada. Penolakan terhadap pendirian GITJ

Dermolo mereka nilai sudah tepat karena merujuk pada SKB No. 1 Tahun 1969

yang menyebutkan bahwa penyebaran agama tetap harus dibawah pengawasan

pemerintah. Dalam hal pendirian rumah ibadah, terdapat beberapa syarat yang

harus dipenuhi, misalnya supervisi dari Kementerian Agama setempat sebagai

representasi dari pemerintah, melihat situasi keberagamaan di lokal tertentu, serta

pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Terkait dengan jajak pendapat yang telah dilakukan sebelum pembangunan

gereja, FSMD menilai pendirian rumah ibadah yang hanya didasarkan pada jajak

pendapat dengan sebagian masyarakat Desa Dermolo yang tidak melibatkan tokoh

Page 16: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

74

masyarakat yang representatif serta berlandaskan pada sikap pribadi Petinggi

(kepala desa) saat itu sebagai aparat, dinilai tak cukup untuk mendirikan rumah

ibadah. Menurut salah satu punggawa FSMD, persoalan pendirian rumah ibadah

tak bisa hanya dilihat dari aspek normatif bahwa rumah ibadah dan beragama

adalah hak asasi manusia. Namun hal itu tetap harus mengacu pada regulasi yang

ada dan harus dibaca secara komprehensif.

Lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2007 FSMD menyatakan IMB

cacat hukum karena tidak memenuhi aturan sebagaimana tertuang dalam

Peraturan Bersama Menteri (PBM) nomor 08 dan 09/Ber/MDN-MAG/2006. Dua

ayat yang disitir adalah sebagai berikut:

“Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-

sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat

beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa”(Pasal 13 Ayat 1).

“Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat [1],

pendirian tempat ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, meliputi;

daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah

paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat

setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud pada

pasal 13 ayat 3” (Pasal 14 Ayat 2).

Menanggapi hal ini, pihak GITJ menilai bahwa klausul itu tidak bisa

diberlakukan pada kasus yang terjadi tahun 2002. Jadi, PBM Nomor 8 dan 9 tahun

2006 tidak tepat dipedomani untuk kasus yang terjadi sebelum diterbitkannya

peraturan ini. Dalam perkembangannya sikap warga kristen melunak, dengan

mengumpulkan persyaratan jumlah tandatangan yang diminta. Dikoordinir oleh

ketua panitia pembangunan gereja, terkumpul sebanyak 110 tandatangan pemeluk

Kristen (diketahui oleh Camat Kembang) dan 182 tandatangan warga sekitar

Page 17: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

75

(diketahui oleh Kepala Desa Dermolo). Hal ini dijadikan sebagai bahan untuk

mengusulkan pengaktifan kembali bangunan tersebut menjadi tempat ibadah.

Namun FSMD menilai, apa yang dilakukan oleh pihak Kristen belum

sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahwa yang dimaksud dengan ber-KTP

dalam Peraturan itu adalah ber-KTP Desa Dermolo. Sementara daftar jemaat yang

diajukan oleh GITJ, sebanyak 71 orang bukan warga Desa Dermolo. Pada pihak

lain, GITJ beralasan bahwa redaksi ber-KTP dalam Peraturan tidak secara tersurat

harus ber-KTP Dermolo. Ini bersifat interpretable. Selain itu, terdapat perbedaan

tradisi ibadah antara Kristen dengan Islam, bahwa dalam tradisi Kristen, jemaat

suatu gereja dapat berasal dari daerah manapun. Ini yang menjadi alasan GITJ

Dermolo, mengapa tandatangan jemaat yang berasal dari desa lain dibubuhkan

dalam surat keterangan itu.

Sikap FSMD, tetap tidak dapat menerima alasan dari GITJ.

Ketidkaksepakatan ini oleh FSMD ditindak lanjuti dengan mengirimkan surat

kepada pemerintah kabupaten perihal ketidaksesuaian persyaratan tandatangan

yang disampaikan oleh pihak GITJ, selanjutnya meminta pemerintah agar

bersikap lebih tegas terkait PBM yang baru digulirkan dan menganulir surat

pernyataan yang telah diberikan pada pihak GITJ.

Hingga tahun 2014, rentetan peristiwa diatas, terus menerus terulang

dengan pola yang hampir sama. Aparat Desa hingga Kabupaten seakan

“tersandera” dalam hegemoni kelompok masyarakat yang mengatasnamakan

mayoritas. Bahkan, sebagian besar masyarakat muslim yang awalnya toleran dan

mendukung keberadaan gereja di dukuh Dombang Dermolo, tidak lagi terdengar

Page 18: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

76

suaranya (apriori) karena dominasi FSMD telah menjadikan aparat Pemerintah

dan keamanan lebih berpihak pada yang kuat.

Terkait dengan masyarakat muslim sekitar yang mendukung penggunaan

gereja di dukuh Dombang Dermolo, Jumali yang juga merupakan salah satu

anggota FSMD- menuturkan, memang benar awalnya sesama muslim sendiri

terlibat pro dan kontra terkait penggunaan rumah ibadah tersebut. Bahkan ia

menceritakan pernah hampir terlibat adu fisik dengan beberapa orang Islam yang

mendukung penggunaan gereja di Dermolo. Namun polemik akhirnya bisa di

jembatani oleh Petinggi yang baru, yang lebih berpihak pada FSMD. Menurut

Jumali, atas mediasi Petinggi tersebut pihak yang pro akhirnya bisa memahami

alasannya menolak keberadaan gereja di dukuh Dombang.

Demikianlah upaya-upaya FSMD--yang digawangi oleh muslim minoritas

(muhammadiyah) di Dermolo- dalam mencari dukungan dari masyarakat sekitar

dan Pemerintah serta pihak-pihak terkait. Dalam mewujudkan tujuannya, FSMD

membangun komunikasi terus-menerus secara intensif dengan Pemerintah desa

hingga Kabupaten. Bahkan dari pengakuan ketua FSMD, pihak Pemerintah,

Departemen Agama maupun MUI selalu menghubunginya terlebih dahulu ketika

ada isu-isu ataupun ketegangan terkait dengan GITJ Dermolo. Aksi FSMD yang

menafikkan kebebasan beragama, pluralisme dan toleransi ternyata „seirama‟

dengan sistem nalar berbangsa dan beragama banyak pihak. Meski tak memiliki

status hukum tetap, namun opsi-opsi FSMD seringkali dijadikan pijakan

pemerintah dalam menetapkan keputusan terkait polemik penggunaan gereja

Pepanthan Dermolo.

Page 19: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

77

D. Gereja Dermolo dan Permasalahannya

Gereja Dermolo adalah gereja injii tanah Jawa (GITJ). Sebagaimana

tertulis dalam surat IMB, GITJ Dermolo terletak di RT. 02 RW 06 dukuh

Dombang, Desa Dermolo Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan GITJ seluas

93,5 m2 tersebut mengahadap ke arah selatan, tepat berada di depan makam Islam

Dermolo, dan merupakan satu-satunya gereja di desa itu.

Sebagaimana diakui salah satu jemaat GITJ, gereja Dermolo memang

merupakan mimpi setiap umat kristiani Dermolo. Akan tetapi ide pendirian gereja

pada mulanya dilontarkan oleh salah seorang tokoh masyarakat (nasionalis)

Dermolo, seorang muslim yang saat itu menjabat sebagai Petinggi (Kepala Desa)

Dermolo selama dua periode. Menurut penuturan tokoh nasionalis yang penulis

temui di kediamannya, gagasan itu muncul atas keprihatinan ketika melihat salah

satu kerabatnya, yang memeluk agama Kristen--yang sudah ada sejak tahun 1960-

an- harus melakukan kebaktian di Desa Beji yang terletak 8 KM dari Desa

Dermolo.

Ide ini disambut gembira oleh warga Kristiani. Ketua panitia

pembangunan kemudian membeli sebidang tanah milik seorang pemeluk Budha,13

setelah sebelumnya panitia gagal membeli tanah ditempat lain di pusat desa untuk

digunakan sebagai gereja.

Bersama pemuka agama Kristen Dermolo, ketua panitia kemudian

mensosialisasikan rencana pendirian gereja di areal tanah di dukuh Dombang.

13

Selain Petinggi, sosok lain yang dianggap berperan dengan berdirinya gereja di Dermolo

adalah Mbah Warno (alm.), seorang berkepribadian kejawen dan sering mengenakan ikat kepala

adat Jawa bagi orang tak berpangkat, yang disebut “iket”. Ia dianggap berjasa karena telah menjual

tanahnya untuk gereja dengan harga murah dan boleh dibayar berangsur. Ini ia lakukan karena

merasa prihatin atas tekanan yang dialami warga Kristen.

Page 20: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

78

Secara lisan, mereka menyampaikan rencana itu kepada warga. Sebagai penguat

dan bukti persetujuan warga, ia meminta tandatangan dari warga door to door.

Dari sini terkumpul sebanyak 55 tandatangan. Persetujuan ini dituliskan dalam

surat pernyataan yang menyatakan bahwa:

“Yang bertanda tangan dibawah ini, kami mewakili masyarakat Desa

Dermolo, kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara menyatakan dengan

sebenarnya bahwa tidak keberatan di Desa Dermolo dibangun tempat

ibadah (gereja), sesuai dengan bunyi sila I dari pancasila serta UUD 1945

pasal 29 ayat (1) dan (2).”

Surat pernyataan tersebut oleh warga Kristen dianggap sebagai persetujuan

dari warga sekitar dan telah memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki SKB

nomor 01/ber/MDN-MAG/1969.

Dengan difasilitasi aparat desa, diselenggarakan jajak pendapat di SDN 03

Dermolo untuk mengetahui respon warga terkait inisiatif pendirian rumah ibadah

yang akan berlokasi di dukuh Dombang. Hadir dalam jajak pendapat jajaran

Muspika, pejabat kecamatan, tokoh masyarakat, dan warga dukuh Dombang baik

yang beragama Islam maupun Budha. Hasilnya, peserta jajak pendapat

menyetujui pendirian GITJ di dukuh Dombang Desa Dermolo.

Tim Pembangunan mulai bekerja. Panitia kemudian mengurus persyaratan

administratif, termasuk Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dukungan moril juga

datang dari pengurus GITJ Kebun Beji Jepara. Surat yang ditandatangani oleh

Majelis GITJ Beji pada tanggal 22 April 2002, berisi permohonan pendirian GITJ

di Dermolo. Dengan mengajukan argumen bahwa di Desa Dermolo terdapat

Page 21: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

79

sebanyak 35 orang kristiani. Maka, jemaat yang sudah ada sejak tahun 1960-an

agar bisa difasilitasi dengan rumah ibadah.14

Tanpa kesulitan yang berarti, pada tanggal 9 Maret 2002 Dinas Pekerjaan

Umum (DPU) telah mengabulkan dan menerbitkan IMB pendirian Gereja Injili

Tanah Jawa (GITJ) dengan Nomor IMB: 648/150 (sebagaimana terlampir).

Bermodalkan IMB, Tim Pembangunan memulai pengerjaan bangunan. Tokoh

agam Kristen menceritakan bahwa munculnya IMB telah melalui proses

tandatangan warga disekeliling gereja, RT/RW, petinggi, dan Camat. Menurutnya,

proses itu telah dilakukan secara mendetail dan prosedural sesuai mekanisme yang

berlaku. Maka ketika ada tuduhan terkait penyuapan atau pendekatan kepada

orang dekat, ia menegaskan “sama sekali ndak!...dan kami berani mbangun kan

karena ada IMB ini...”.

Ketika bangunan fisik gereja telah mencapai 60%, barulah muncul

penolakan dari sejumlah warga yang dimotori oleh FSMD. Dalam aksinya, FSMD

menuntut agar pembangunan gereja ditangguhkan demi kerukunan warga,

utamanya di dukuh Dombang. Sikap ini didasarkan pada alasan bahwa pemeluk

Kristen saat itu jumlahnya terlalu kecil. Sehingga pendirian rumah ibadah secara

khusus dinilai tidak mendesak.

Penolakan juga diiringi dengan hembusan isu dan prasangka yang

dilancarkan pihak FSMD bahwa ada misi tersembunyi di balik rencana pendirian

gereja. Bagi warga kristiani, isu kristenisasi merupakan isu paling mewarnai

konflik antarumat Islam dan Kristen di Dermolo. Kecurigaan ini berbuah pada

14

Dapat dilihat dalam surat rekomendasi dari GITJ Kebun Beji Jepara kepada Kepala

Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara

Page 22: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

80

sikap, ucapan serta tindakan warga Dermolo yang menentang berdirinya gereja,

yang secara tidak langsung memunculkan regulasi sosial dan menyebabkan umat

Kisten tidak lagi nyaman dalam menjalankan ibadah. Jelas sekali, ketua Panitia

yang merasa sebagai garis depan pembangunan gereja Dermolo menuturkan isu

kristenisasi telah menjadi momok bagi warga kristiani.

Ditempat berbeda, pernyataan ini diamini oleh tokoh agama Kristen

Dermolo. Menurutnya isu kristenisasi semakin tampak jelas ditujukan kepada

umat kristiani ketika ada momentum pertemuan antar umat beragama yang

digelar di desa maupun di kecamatan. Ia menceritakan perdebatan-demi

perdebatan sambil mengekspresikan kekesalannya karena disudutkan.

“Ketika pertemuan di kecamatan, saya sampai mengatakan demikian; tidak

perlu khawatir pak. Jika saya melanggar hukum, saya siap dipenjara. Ini

KTP saya sebagai jaminan. Jika saya melihat ada orang sedang kesusahan,

apalagi tetangga saya, pasti saya tolong. Namun saya tidak mengajak

orang lain untuk ikut saya. Itu hanya prasangka. Saksinya juga banyak kok.

Jika saya melakukan itu, juga akan terlihat.” (Pemuka agama di GITJ

Dermolo)

Dari tutur diatas memang terasa jelas isu kristenisasi telah menjadi alasan

utama FSMD menentang pendirian dan penggunaan gereja. Selain adanya

kecurigaan kristenisasi, FSMD juga menganggap bangunan gereja itu sebagai

rumah tinggal. Sehingga dalam pandangan mereka, warga kristen tidak memiliki

ijin dalam pendirian gereja dan menempatinya secara ilegal. Menurut tokoh

agama yang juga panitia pembangunan gereja Dermolo, tuduhan inilah yang

sering menjadi alasan penentangan gereja agar tidak ditempati sebagai tempat

ibadah, meski bangunan telah berdiri.

Page 23: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

81

Tokoh agama Kristen Dermolo ini menceritakan bahwa tuduhan itu

berawal ketika dalam audiensi pertama dengan bupati Jepara FSMD mengajukan

tuntutan agar IMB pendirian gereja dirubah untuk rumah tinggal. Baginya,

tuntutan itu menjadi ironi karena hanya akan menjadikan IMB cacat hukum. Ia

tidak menanggapi tuntutan secara gegabah, karena ia sudah memahami benar

bahwa tuntutan ini bertujuan untuk melemahkan gereja yang telah memiliki IMB

dan berkekuatan hukum tetap.

Anggapan ini dikuatkan oleh isu yang dihembuskan pada masyarakat,

bahwa yang disosialisasikan oleh ketua panitia saat itu adalah bangunan rumah

yang difungsikan untuk peribadatan. Penuturan tersebut sejalan dengan penuturan

salah satu jemaat GITJ :

“Rumahose tiyang-tiyang niku mboten badhe kangge gerejo, tapi kangge

griyo. Wong mpun jelas mboten didamel kothak-kothak niku jane kan

mpun jelas. Tapi namine tiyang pados salah niku kan saget mawon.

Rumahose tiyang-tiyang niku kangge griyone pak pardi, mboten ngge

gerejo. Padahal kan mpun jelas gadhah ijin saking kabupaten, mpun

gadhah IAINB duko nopo niku namine...”

“Orang-orang mengira itu tidak untuk (pembangunan) gereja, tapi untuk

rumah. Itu sudah jelas tidak dibuat kotak-kotak. Itu kan sudah jelas.

Namun orang ingin mencari-cari kesalahan kan bisa saja. Orang-orang

mengira itu untuk rumah tinggal (ketua panitia pembangunan), bukan

gereja. Padahal kan sudah jelas mendapatkan ijin dari kabupaten, sudah

punya IAINB atau apa itu namanya... (yang dimaksud IMB)” (Jemaat

GITJ Dermolo)

Penuturan istrinya ini dibenarkan oleh ketua Panitia sambil tertawa

keheranan:

“Hehehe...pancen nggih kok...anci ngoten. Rumahose wong-wong niku

dianggepe omahe kulo. Lha kok sugih men nduwe omah neh, wong

pangkate wong ngojek mawon. Paling-paling nek mboten ngojek kulo

nggih macul...hehehe...”

Page 24: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

82

“Hehehe...memang iya kok..memang begitu. Orang-orang mengira itu

adalah rumah saya. Lha kok (saya) kaya sekali punya rumah lagi, padahal

kerjaan cuma tukang ojek. Paling-paling kalau tidak ngojek, ya macul

(buruh tani)...hehehe..” (Ketua Pembangunan GITJ Dermolo)

Tahun 2013 pihak gereja melakukan audiensi dengan Dewan perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Jepara. Audiensi menghasilkan surat rekomendasi yang

diterbitkan pada 27 Agustus 2013 dengan Nomor 30 Tahun 2013 yang

ditandatangani oleh Ketua DPRD dan 3 orang Wakil Ketua. Isinya adalah sebagai

berikut: (1) Memberikan rekomendasi terhadap pemakaian gereja Desa Dermolo

Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, (2) rekomendasi sebagaimana dimaksud

pada diktum pertama berupa saran agar gereja yang berada di Desa Dermolo dapat

dipakai/dimanfaatkan warga Kristiani setempat sebagaimana mestinya dan seruan

kepada pemerintah untuk melindungi hak masyarakat dalam menjalankan ibadah

sesuai agama dan keyakinannya.

Dengan adanya surat rekomendasi ini, akhirnya setelah lebih dari 11

tahun gereja tidak difungsikan, jemaat GITJ Dermolo dapat melakukan kebaktian

pertamanya pada 1 Desember 2013. Akan tetapi pada kebaktian kedua tanggal 8

Desember 2013 gereja didatangi oleh FSMD yang mencoba mengganggu

kekhusyukan ibadah jemaat. Salah seorang jemaat Kristen menceritakan

intimidasi yang dilakukan oleh kelompok penentang gereja sebagai dampak dari

penerbitan rekomendasi DPRD.

“Wekdal jemaat Kristen nembe kebaktian, tiyang-tiyang nekani gereja.

Tiyang kaleh mlebet gereja lan sanese jagi ten njawi. Tiyang kaleh niku

mendet gambar mawi kamera. Niki kan ndamel gersah kagem jemaat

Kristen lan kebaktian dipun lereni mendadak dening pak pendeta.”

Page 25: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

83

“Ketika jemaat Kristen sedang melakukan kebaktian, beberapa orang

mendatangi gereja. Dua orang memasuki gereja dan lainnya berjaga-jaga

di luar. Dua pemuda itu lalu mengambil beberapa gambar melalui

kamera. Hal ini kemudian menimbulkan keresahan di kalangan jemaat

Kristen dan kebaktian dihentikan secara mendadak oleh pak pendeta.”

(Jemaat GITJ)

Bagi jemaat GITJ, tindakan sejumlah orang yang masuk ke dalam gereja

saat jemaat Kristen melakukan kebaktian, sebagai tindakan tidak patut dan

menciderai kehormatan agama. Ia pun menyesalkan pihak pemerintah yang tidak

mengambil tindakan atas peristiwa tersebut.

Atas peristiwa itu pula, surat rekomendasi dari DPRD direspon dengan

cepat oleh pemerintah Jepara. Pada tanggal 10 Desember 2013, diselenggarakan

Rapat koordinasi (Rakor) yang dipimpin oleh Asisten II Sekda Jepara dan dihadiri

oleh FKUB, Kementerian agama Jepara, Satpol PP, Kesbangpol, Bagian Kesra,

Camat Kembang, dan Kepala Desa Dermolo. Hasil Rakor menyebutkan bahwa

bangunan gereja belum bisa digunakan sepenuhnya karena tidak sesuai dengan

Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Dan pada malam sebelum kebaktian minggu ketiga, perwakilan GITJ di

undang pertemuan di rumah petinggi. Hadir pula dalam pertemuan Danramil,

Kepolisian dan Camat setempat. Hasil pertemuan melarang kebaktian jemaat di

GITJ Dermolo karena adanya informasi akan ada serangan dari sekelompok

masyarakat. Gereja Dermolo kemudin resmi diberhentikan kembali oleh

Pemerintah daerah Jepara melalui surat penghentian sementara pada tanggal 16

Desember 2013.

Atas keputusan tersebut, GITJ menyampaikan permohonan kepada aparat

setempat agar pemeluk Kristen diberikan alternatif tempat ibadah –meskipun

Page 26: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

84

tidak berada pada bangunan yang disengketakan. Namun aparat tidak dapat

mengabulkan permohonan tersebut. Pemerintah beralasan, bahwa persoalan tidak

pada boleh dan tidak menggunakan bangunan, melainkan pada terpenuhi dan

tidaknya syarat sesuai dengan ketentuan berlaku. Pemeluk Kristen akhirnya tetap

melaksanakan kebaktian dan kegiatan keagamaan lainnya di desa Beji dan atau di

kediaman tokoh agama Kristen Dermolo.

Meningkatnya eskalasi hubungan antara FSMD dan tokoh Kristen inipun

memicu datangnya dukungan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). Pihak gereja dengan didampingi Lakpesdam NU dan Lembaga Studi

Sosial dan Agama (Elsa) beraudiensi dengan Bupati Jepara. Hasilnya, Pemerintah

Kabupaten akan memberikan izin pemakaian sementara selama dua tahun. Pihak

GITJ pun segera mengurus izin agar para jemaatnya bisa segera menggunakan

gereja untuk beribadah. Akan tetapi, kini izin itu terkendala oleh izin Kepala Desa

setempat dengan alasan masih adanya penolakan dari sekelompok warga.

Bagi FSMD, kehadiran LSM ini dianggap sebagai kekuatan baru yang

menghadapkan FSMD dan pemerintah vis a vis LSM dan warga Kristen. Sikap ini

oleh FSMD dinilai sebagai upaya membangun kekuatan baru. Perang statement

antardua kubu menjadi tak terelakkan, termasuk di media massa.

Dalam satu wawancara seusai melakukan kebaktian minggu di

kediamannya, tokoh agama Kristen Dermolo itu mengemukakan, LSM yang

bergerak di bidang sosial-keagamaan ini memberikan pendampingan dalam upaya

menyelesaikan persoalan GITJ. LSM ini penting untuk memberikan balance dan

informasi yang berimbang, baik kepada pemerintah maupun FSMD. Berkat

Page 27: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

85

dorongan moril LSM ini pula pemerintah lalu menerbitkan Surat Ijin Sementara

penggunaan gereja. Berbekal surat tersebut lalu jemaat GITJ mendapatkan surat

izin sementara dari Kabupaten untuk melaksanakan kebaktian di gereja. Meski

belum bisa sepenuhnya digunakan karena belum dikeluarkan surat izin dari desa.

Ketika penulis mengkonfirmasi tentang polemik pada perayaan natal tahun

2014 lalu, dengan sedikit berkeluh kesah sembari tersenyum keheranan pemuka

Kristen Dermolo itu bercerita. Dua bulan sebelum acara natal ia menyampaikan

proposal dana dan surat pemberitahuan pelaksanaan Natal pada 14 Desember

2014 yang akan dilaksanakan di sebelah bangunan gereja Dermolo. Petinggi

Dermolo menyatakan akan memberikan bantuan dana dan kembali mengingatkan

agar tidak menggunakan daerah konflik.

Hal itu ditanggapi positif oleh jemaat GITJ. Pihak panitia akhirnya

memutuskan untuk menyelenggarakan di sebelah bangunan, tidak di dalam

bangunan. Bagi panitia, pernyataan petinggi untuk “tidak menggunakan daerah

konflik” diartikan penggunaan bangunan yang disengketakan. Sejumlah

perlengkapan dan kebutuhan Natal disiapkan. Petinggi memberikan bantuan

berupa tenda dan sejumlah dana.

Pada tanggal 14 Desember 2014 sejumlah aparat mendatangi kediaman

dan meminta agar pelaksanaan Natal direlokasi ke Balai Desa. Pertimbangannya

adalah; (1) pelaksanaan Natal di sebelah bangunan dinilai dapat memancing

terjadinya polemik di antara warga. Meskipun tidak di dalam bangunan, lokasi

tersebut dinilai masuk dalam wilayah gereja, (2) beredar kabar bahwa perayaan

Natal akan dihadiri secara massal oleh jemaat dari berbagai daerah. Situasi ini

Page 28: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

86

dikhawatirkan akan mengganggu lalu lintas jalan di dukuh Dombang karena

sempitnya areal untuk menampung volume mobil dalam jumlah besar.

Petinggi memberikan opsi agar perayaan direlokasi ke Balai Desa. Selain

menempati lokasi yang lebih netral, lapangan sepak bola di sebelah Balai Desa

dapat difungsikan sebagai areal parkir yang dapat menampung mobil dalam

jumlah besar, sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Petinggi juga

menyampaikan, pihaknya akan memobilisasi warga untuk membantu relokasi

acara perayaan natal.

Atas keputusan ini, pihak GITJ menyatakan menolak dengan alasan

pemberitahuan relokasi dinilai terlalu mendadak, sehingga relokasi tidak mungkin

dilakukan. Bersama jemaat yang lain pemuka agama Kristen itu lebih memilih

untuk melaksanakan perayaan secara sederhana di kediamannya. Ia menilai, pihak

pemerintah tak memiliki i‟tikad baik untuk menjaga harmoni keberagamaan. Ia

menyesalkan pembatalan yang dilakukan secara mendadak, yakni sehari sebelum

perayaan natal dilaksanakan.

Atas berbagai insiden yang menimpa pihak Kristen, pihaknya berencana

akan melayangkan permohonan kepada pemerintah agar pihaknya diberikan

kepastian, terutama dalam hal peribadatan. Pihak GITJ hanya minta pemerintah

memberikan alternatif lokasi peribadatan. Ia berharap pihak pemerintah dan

FSMD dapat memahami tradisi dalam Kristen yang saling mengundang dan atau

melibatkan jemaat lain dari luar lokasi pada perayaan natal.

Ia menyampaikan dua alasan penolakannya terhadap keputusan di atas;

yang pertama, pemerintah dinilai gamang sehingga tak bisa memberikan keadilan

Page 29: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

87

kepada kelompok minoritas. Menurutnya, kegamangan tampak dari

kekurangtegasan dalam memediasi konflik yang mempersoalkan IMB yang

memiliki ketetapan hukum; kedua, pemerintah mengingkari konstitusi negara

bahwa semua pemeluk agama harus dilindungi.

Ketika FSMD menolak pendirian GITJ, sesungguhnya tokoh Kristen

Dermolo itu telah menawarkan opsi kepada pemerintah bahwa para jemaat legawa

untuk tidak menggunakan gereja di lokasi konflik, asalkan pemerintah

memberikan alternatif lokasi yang representatif untuk peribadatan jemaatnya.

Namun, hal itu tidak dipenuhi. Atas dasar dua alasan diatas ia menilai pemerintah

gagal mengelola pluralitas keagamaan di Desa Dermolo.

E. Dominasi FSMD Dalam Kebijakan Penggunaan Gereja di Dermolo

1. Fenomena Silent Majority: Mengungkap Mayoritas dan Minoritas di

Dermolo

FSMD, sebagaimana diklaim oleh para anggotanya, merupakan

representasi dari mayoritas Islam di Dermolo. Pendefinisian sebagai mayoritas

mereka dasarkan pada keanggotaan FSMD yang terdiri dari para tokoh agama

yang merupakan keterwakilan dari warga muslim di Dermolo, baik NU maupun

Muhammadiyah. Dipilihnya ketua FSMD pertama dari pengurus (ketua) ranting

NU--sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Dermolo-, seolah ingin

menegaskan bahwa FSMD benar-benar merupakan representasi dari mayoritas

warga dermolo yang tidak menghendaki adanya bangunan gereja di wilayahnya.

Meski, pada realitasnya tidak sesederhana itu.

Page 30: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

88

Sebagaimana dituturkan oleh beberapa responden yang berhasil penulis

temui, pada awalnya gereja yang telah memperoleh IMB pada 9 Maret 2002 itu

telah mendapat persetujuan dari warga sekitar gereja dibangun. Hal ini dibuktikan

dengan berdirinya bangunan rumah ibadah umat kristiani atas swadaya dari umat

Islam maupun Budha. Ketiga umat beragama bahu-membahu membantu

pembangunan GITJ Pepanthan di dukuh Dombang Dermolo, baik dalam bentuk

cicilan lunak pembayaran tanah, maupun dalam bentuk bantuan tenaga secara

sukarela. Penolakan terhadap bangunan gereja baru dilayangkan oleh FSMD pada

bulan Mei, setelah dua bulan gereja melewati proses pembangunan, yang tahap

pembangunan saat itu telah mencapai 60%.

Maka, kerukunan di Desa Dermolo sesungguhnya telah menjadi bagian

intrinsik dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja kerukunan itu kemudian

tercerai-berai karena terciderai oleh sebagian warga yang tidak bisa menerima dan

menyesuaikan diri dengan keberadaan rumah ibadah di wilayahnya sebagai

kondisi baru, yang memerlukan pendewasaan diri untuk bisa berdampingan

dengan yang lain, yang berbeda.

Dermolo adalah sebuah desa yang heterogen. Di desa ini telah berkembang

dengan damai, tiga varian agama beserta kelompok keagamaanya.15

Islam sebagai

agama mayoritas bukanlah suatu realitas yang monolitik. Islam Dermolo terbagi

dalam dua kelompok yakni NU dan Muhammadiyah. Kelompok NU sendiri

terbagi menjadi dua, yakni kelompok santri dan abangan. Dalam konteks

Dermolo, mayoritas Islam disana adalah abangan (mereka menyebut dirinya

15

NU sebagai mayoritas di desa ini lebih disebabkan karena kuatnya pengaruh Islam yang

dibawa oleh para tokoh yang babat alas di sejumlah daerah di Jawa, yang masih melestarikan

tradisi-tradisi kejawen.

Page 31: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

89

dengan wong nasionalis16

). Wong nasionalis atau kaum nasionalis hampir menjadi

kelompok dominan di setiap dukuh di Desa Dermolo. Sedangkan kaum santri,

meski juga tersebar hampir di seluruh dukuh, justru merupakan minoritas.

Bagi wong nasionalis, beragama adalah menjaga keseimbangan, ngormati

liyan (menghormati yang lain).17

Maka ketika penulis bertanya tentang

keberadaan gereja kepada beberapa wong nasionalis, mereka memiliki pandangan

yang hampir sama, bahwa ketika umat Islam dan Budha bisa memiliki tempat

ibadah, maka umat Kristen pun berhak memiliki tempat ibadah sebagaimana yang

lain. Itulah makna menjaga keseimbangan (harmoni) dalam konteks beragama

kaum nasionalis yang merupakan silent majority di Dermolo. Faktor kuatnya

tradisi yang dipegang masyarakat Desa Dermolo, menjadikan figur yang menjadi

panutan adalah mereka yang dapat mentransformasikan nilai-nilai agama kepada

masyarakat dengan pendekatan persuasif. Inilah yang menyebabkan tokoh-tokoh

agama yang notabene kaum santri tidak lalu secara otomatis menjadi panutan

dalam hal agama.

Fenomena silent majority ini sekaligus mengindikasikan bahwa protes

serta ketidaknyaman terhadap keberadaan GITJ sesungguhnya hanya dirasakan

oleh segelintir orang di dukuh Dombang--tempat gereja dibangun.

Ketidaknyamanan itu kemudian mereka apresiasikan dengan menggalang

kekuatan dan menginisiasi penolakan terhadap keberadaan gereja, meski aksi-aksi

16

Definisi wong nasionalis disini adalah orang Dermolo yang “mengaku” beragama Islam

tetapi mempunyai cara ibadah tersendiri, atau tidak menjalankan ibadah wajib sebagaimana

umumnya orang-orang santri. 17

Wawancara dengan seorang perempuan nasionalis tanggal 31 Januari 2015.

Page 32: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

90

tersebut pada awalnya mendapat pertentangan dari sebagian warga yang sejak

awal telah menyetujui keberadaan gereja.

Keberlanjutan pertentangan ini bahkan berujung konflik sesama warga

muslim yang pro dan kontra. Yang perlu digaris bawahi, salah seorang yang

mengaku menjadi inisiator penolakan gereja notabene adalah seorang warga

pendatang, bukan warga asli Dermolo.18

Dari data ini penulis mengambil

kesimpulan bahwa polemik gereja yang terjadi sesungguhnya lebih disebabkan

oleh eksklusifitas yang dibawa oleh pendatang yang tidak terbiasa dengan

pluralitas, berhadap-hadapan dengan inklusifitas yang telah membudaya di warga

asli Dermolo. Dalam konteks inilah, eksklusivisme yang disemai para pendatang

berbuah penolakan (kontra), sedangkan inklusivisme dari kaum nasionalis

berbuah dukungan (pro) dalam merespon keberadaan gereja di Dermolo.

Fakta lain menyebutkan, bahwa warga yang menolak pendirian gereja

pada awalnya tidak mendapatkan dukungan dari kelompok NU sebagai organisasi

Islam terbesar di Dermolo. Mereka lantas mendatangi kelompok Muhammadiyah

dan memperoleh dukungan penuh untuk menggagalkan penggunaan gereja. Para

tokoh Muhammadiyah yang merasa sebagai minoritas muslim di Dermolo

kemudian melakukan konsolidasi dan pendekatan dengan para tokoh NU untuk

menggalang dukungan mayoritas muslim. Dukungan pun akhirnya didapatkan,

karena meski mayoritas warga Dermolo adalah NU, namun kepengurusan NU

18

Informan yang mengaku sebagai inisiator tersebut, menceritakan pada penulis terkait

usaha yang ia lakukan dalam rangka mengajukan keberatan atas berdirinya gereja diwilayah

tempat tinggalnya. Diantaranya dengan meminta tanda tangan ulang kepada warga muslim sekitar

gereja untuk mencabut kembali pernyataan persetujuan yang telah warga berikan pada Panitia

gereja. Meski aksinya tersebut menuai protes dari sebagian warga muslim yang pro dan tetap

ingin mempertahankan keberadaan gereja di dukuh Dombang.

Page 33: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

91

lebih banyak diisi oleh kelompok santri (minoritas NU) yang kebanyakan hanya

mengenyam pendidikan informal (agama) yang doktrinal dengan status

sosial/ekonomi yang rendah serta kurangnya pendampingan dan perhatian dari

pengurus cabang NU untuk mengawal organisasi dibawahnya. Hemat penulis,

inilah salah satu hal yang menyebabkan para pengurus NU di Dermolo

terombang-ambing, mudah dipengaruhi dan didominasi oleh kelompok-kelompok

tertentu untuk dimanfaatkan .

Setelah NU santri bergabung, Kelompok Muhammadiyah selanjutnya

mengusulkan pembentukan sebuah forum sebagai alat untuk melakukan kontrol

dan pengawasan terhadap pembangunan GITJ, yang kemudin diberi nama Forum

Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD). Untuk memperkuat legitimasi, diangkatlah

salah seorang pengurus NU sebagai ketua FSMD pertama, dengan sekretaris dari

pengurus Muhammadiyah.

Namun, dengan adanya realitas bahwa mayoritas warga muslim Dermolo

adalah kaum nasionalis, telah mementahkan argumen dari FSMD tentang

representasi mayoritas dengan bukti keterlibatan pengurus NU didalamnya.

Karena pada kenyataannya, kaum nasionalis yang merupakan kelompok silent

majority di Dermolo memiliki pandangan yang berbeda dengan FSMD.

Kelompok silent majority tidak terpengaruh dengan kehadiran jajaran pengurus

NU di FSMD. Bagi mereka, polemik gereja di Dermolo adalah polemik orang-

orang pintar atau para elit agama yang sama sekali tidak berdampak dengan

kehidupan keseharian dan tidak merubah pandangan mereka terhadap yang lain.

Page 34: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

92

Maka ketika ditanya tentang polemik gereja di Dermolo, beginilah

penuturan mereka:

Mesakke do mboten tenang ngibadah, kadose tiyang-tiyang pinter niku

sing taseh masalahno. Menggah kulo nggeh mboten nopo-nopo. Nopo

olone tiyang mbangun gerejo. Tur niku ngibadah corone dewe-dewe.

Kasihan mereka yang tidak tenang beribadah. Sepertinya orang-orang

pinter yang masih mempermasalahkan. Menurut saya tidak apa-apa. Apa

jeleknya membangun rumah ibadah. Itu juga ibadah dengan ketentuan

agamanya sendiri-sendiri. (wong nasionalis)

Sedoyo agami niku ngajaraken kesahenan. Menawi tiyang Islam pikantuk

hak ngibadah, nopo salahe menawi kito nggeh maringi kesempatan kagem

tiyang Kristen, kersane tenang ngibadah. Menggah kulo sih mboten

masalah menawi tiyang Kristen ngedekaken gereja. Tiyang Islam mpun

ajreh. Monggo sareng-sareng nyengkuyung kerukunan. Niku kan nggeh

sae.

Semua agama mengajarkan kebaikan. Jika orang Islam telah mendapatkan

hak beribadah, apa salahnya jika kita juga memberikan kesempatan kepada

orang Kristen agar tenang beribadah. Kalau saya sih tidak ada masalah jika

orang kristen mendirikan gereja. Orang Islam tidak perlu takut. Mari kita

menjunjung tinggi kerukunan. Itu kan juga baik. (tokoh nasionalis)

Identifikasi diatas dapat menjadi bukti bahwa suara FSMD yang

mengatasnamakan mayoritas muslim Dermolo tidak memiliki dasar yang kuat.

FSMD sesungguhnya adalah sebuah kelompok gerakan yang beranggotakan para

tokoh agama (kaum santri) yang tidak memiliki basis massa dan pengaruh yang

dominan di Dermolo. Ketokohan santri di Dermolo tidak dapat melebihi

ketokohan kaum nasionalis yang dijadikan panutan bagi sebagian besar warga

Dermolo. Dengan ungkapan lain, FSMD sesungguhnya adalah sebuah kelompok

gerakan kemasyarakatan yang beranggotakan tokoh elit agama yang cenderung

konservatif, namun memiliki pengaruh dominan.

Page 35: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

93

2. Dominasi FSMD: Dari Legitimasi, Justifikasi Hingga Diskriminasi

Jika secara kuantitas, FSMD yang merupakan sekumpulan elit kaum santri

adalah minoritas yang ketokohannya pun tidak dapat melebihi ketokohan kaum

nasionalis mayoritas, pertanyaan yang bisa diajukan kemudian, mengapa FSMD

memiliki suara dominan dalam setiap kebijakan terkait penggunaan GITJ

Pepanthan di dukuh Dombang, Dermolo?

Terdapat beberapa argumen yang dapat penulis ketengahkan disini,

argumentasi tersebut terklasifikasi dalam dua aspek, dimana keduanya saling

menguatkan dalam proses produksi kebijakan. Dua aspek ini adalah legitimasi

Pemerintah daerah dan justifikasi regulasi rumah ibadah yang sama-sama

diskriminatif.

Pertama, dominannya pengaruh FSMD salah satunya disebabkan oleh

sikap Pemerintah daerah yang tidak adil dan cenderung diskriminatif dalam

menanggapi persoalan penggunaan rumah ibadah di Dermolo. Hal tersebut

nampak dari keberpihakan Pemerintah pada FSMD --yang mengaku mewakili

mayoritas- dari pada membela hak umat Kristiani yang telah memiliki IMB

berkekuatan hukum tetap. Keputusan Bupati Jepara atas pertimbangan

Departemen Agama, MUI dan Muspida yang melarang penggunaan GITJ sampai

waktu yang tidak ditentukan, hingga terbitnya pencabutan IMB. Disadari atau

tidak telah berdampak sistemik terhadap keberlangsungan relasi umat beragama di

desa yang sebelumnya harmonis ini.

Sikap Pemerintah daerah kabupaten Jepara yang gamang, tidak netral dan

berat sebelah, dalam menyikapi setiap persoalan yang muncul dalam polemik

Page 36: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

94

gereja, menyebabkan pemerintah tidak dapat menjadi mediator yang baik dalam

menjembatani kepentingan kedua kubu. Sikap Pemerintah ini justru

memposisikan FSMD dan GITJ berhadap-hadapan secara diametral. Pada satu

sisi, keberpihakan Pemerintah telah menjadi alat justifikasi dan pembenar atas

segala bentuk intimidasi dan intoleransi yang telah dilakukan FSMD. Di sisi lain,

keberpihakan tersebut juga telah memposisikan GITJ --yang sesungguhnya adalah

korban- sebagai pihak yang bersalah.

Tidak adanya kesadaran Pemerintah akan pluralitas bangsa, berimplikasi

pada kegamangan sikap aparat Pemerintah daerah beserta jajarannya, yang tidak

mengayomi seluruh warganya secara sama dan setara. Hal ini kemudian membuat

FSMD semakin sewenang-wenang dan mengedepankan kekerasan dalam

melancarkan aksi dan manuvernya. Berbagai intimidasi dan teror di diterima

warga Kristen Dermolo, mulai intimidasi dalam bentuk surat resmi yang

diedarkan pada seluruh RT dan RW, hingga teror dengan menghimpun massa

untuk mengganggu peribadatan yang tengah dilakukan jemaat Kristen. Hal ini

juga nampak dari semakin gencarnya isu kristenisasi hingga isu IMB rumah

tinggal yang faktanya telah diputar balikkan. Kondisi ini berakibat pada

merenggangnya hubungan sosial antar warga Dermolo yang berbuntut pada sikap

saling curiga, bahkan konflik antar agama maupun intern agama.

Pada beberapa insiden yang telah menimpa GITJ, nampak Pemerintah

tidak memiliki keberanian untuk menegakkan konstitusi dan menjamin

implementasi hukum (law enforcement). Aparat Pemerintah daerah beserta

jajarannya baik MUI, FKUB, maupun Muspida selalu menjadikan opsi-opsi yang

Page 37: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

95

diajukan FSMD sebagai pijakan dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah

terlihat tidak bernyali ketika berhadapan dengan FSMD yang membawa bendera

mayoritas, meski mereka telah melakukan intimidasi demi intimidasi dan berlaku

sewenang-wenang. Aparat keamanan baik danramil maupun Polsek setempat,

juga tidak dapat memberikan jaminan keamanan yang diminta oleh pihak GITJ

secara langsung, dengan alasan tidak sanggup jika harus berhadapan dengan

massa yang jumlahnya lebih besar. Sikap-sikap ini kemudian mengakibatkan

trauma dan kekecewaan mendalam pada para jemaat GITJ Dermolo.

“Pemerintah selalu berdalih cara ini untuk menekan konflik yang lebih

besar karena berhadapan dengan kelompok mayoritas. Kami jadi bingung;

dimana Pemerintah saat kami harus berjuang menghadapi intimidasi demi

intimidasi yang mengganggu kami” (Bendahara Panitia Pembangunan

Gereja)

Pemerintah terbukti menggunakan kalkulasi mayoritas dan mengorbankan

kepentingan warga kristen yang minoritas, dengan alasan menjaga kerukunan

umat beragama dan bukan berpikir pada tanggung jawab penegakan konstitusi.

Pada posisi ini, Pemerintah lebih tunduk pada keinginan kelompok elit agama

karena dianggap sebagai “corong” Tuhan, dari pada menolong kaum

mustadz’afin, yang lemah, tertindas dan teraniaya karena kehilangan haknya

untuk beribadah dengan tenang. Tindakan intoleran seolah telah menjadi

kewajiban demi membela agama.

Kedua, faktor regulasi yang diskriminatif. Selain faktor tidak adilnya

perlakuan Pemerintah, faktor substansi, isi maupun materi regulasi yang

diskriminatif juga menjadi faktor yang memperkuat legitimasi dan dominasi

FSMD. Dengan berpegang pada SKB nomor 1 tahun 1969 dan PBM nomor 8 dan

Page 38: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

96

9 tahun 2006, FSMD berargumen bahwa dalam negara hukum tindakan mereka

telah on the track, karena berpijak pada regulasi yang telah dibuat oleh

Pemerintah. Kedua regulasi ini selalu dijadikan alat pijakan bagi FSMD untuk

mendukung aksi-aksi intoleransi dan intimidasi selama ini. Dan terbukti

kandungan dalam kedua regulasi memiliki banyak celah untuk mendukung

tindakan diskriminasi.

Lahirnya PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 yang mengatur secara kwantitas

pendirian rumah ibadah, memang semakin membatasi hak beragama kaum

minoritas disatu wilayah, seperti halnya umat kristen di Dermolo. Persoalan GITJ

Dermolo semakin berlarut dan menemukan momentumnya ketika FSMD

menggunakan PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 untuk mengusik kembali

keberadaan gereja di dukuh Dombang Dermolo yang telah empat tahun berdiri.

Pihak GITJ pun awalnya menilai bahwa peraturan yang baru terbit tahun 2006

tidak dapat diberlakukan untuk gereja yang telah berdiri tahun 2002. Meski pada

akhirnya pihaknya mengalah dengan mengumpulkan persayaratan tandatangan

sebagaimana termaktub dalam PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006.

Meskipun tandatangan telah dipenuhi dan pihak kecamatan menyetujui,

tetap saja FSMD belum bisa menerima karena adanya perbedaan tafsir regulasi.

GITJ menilai tandatangan pengusul adalah tandatangan jemaat yang tidak harus

ber-KTP Dermolo, karena klausul tidak ada dalam PBM. Sedangkan pihak FSMD

bersikeras bahwa tandatangan pengusul harus ber-KTP Dermolo dengan alasan

“suatu kelaziman” dimana dalam tradisi Islam anggota jemaat satu masjid berasal

Page 39: BAB III PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/3/T2_752013019_BAB... · biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.

97

dari satu desa. Ketidaksepahaman inipun harus diakhiri dengan ketegangan dua

kubu.

Baik SKB tahun 1969 maupun PBM tahun 2006, memang memberi celah

lebar untuk ditafsirkan, lebih-lebih dengan tafsir mayoritas. Pengimplementasian

kedua peraturan yang menggunakan logika mayoritas tersebut, justru melegitimasi

tindakan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah dan menjadi alat justifikasi bagi

tindakan intoleran yang mengakibatkan kekerasan demi kekerasan atas nama

agama, terutama pada warga minoritas, seperti yang dialami umat Kristen di

Dermolo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik SKB maupun PBM

adalah akar konflik dari aksi-aksi kriminal atas dasar penegakan agama yang

melanggar prinsip kebebasan beragama dan merupakan pelanggaran hukum berat.

Justifikasi regulasi dan legitimasi Pemerintah yang cenderung

diskriminatif, di satu sisi telah memperkuat dominasi dan hegemoni FSMD. Pada

sisi lain, memposisikan GITJ sebagai pihak yang bersalah. Dampak lainnya,

kelompok silent majority semakin apriori karena keberpihakan Pemerintah pada

FSMD. Sebagian warga muslim yang awalnya berani menunjukkan dukungan

terhadap penggunaan GITJ Dermolo, semakin tidak memiliki tempat dan tergerus

arus oleh sikap Pemerintah yang tidak dapat berdiri di tengah untuk menjadi

hakim yang adil bagi rakyatnya.