BAB III PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG NEGARA...

21
64 BAB III PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG NEGARA ISLAM A. Biografi Muhammad Asad 1. Latar Belakang Muhammad Asad Mohammad Asad Leopold Weiss dilahirkan di Livow, Austria pada tahun 1900. Pada umur 22 tahun, beliau mengunjungi Timur Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian "Frankfurter Zeitung." Setelah masuk Islam, ia pergi dan bekerja di seluruh dunia Islam, mulai Afrika Utara sampai Afganistan di bagian Timur, dan setelah beberapa tahun mempelajari Islam, ia telah menjadi seorang Muslim terpelajar yang terkemuka di abad kita sekarang. Setelah berdirinya negara Pakistan, ia ditunjuk menjadi Director of the Department of Islamic Reconstruction di Punjab Barat, kemudian diangkat sebagai wakil Pakistan di PBB. Tiga buku Mohammad Asad yang penting ialah "Islam in the Cross Roads, Road to Mecca (Jalan ke Mekah), The Principles of State of Government in Islam (Dasar-Dasar Negara dan Pemerintahan Dalam Islam). Beliau juga menerbitkan majalah bulanan "Arafat". 1 Muhammad Asad belajar kitab-kitab suci Yahudi - Kristen dengan bahasa Ibrani - Aramea, Polandia dan Jerman, belajar sejarah, falsafah dan psikologi. Ia wartawan United Telegraph di Berlin (1921), wartawan 1 http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Asad.html , diakses tanggal 30 Juli 2005

Transcript of BAB III PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG NEGARA...

64

BAB III

PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG

NEGARA ISLAM

A. Biografi Muhammad Asad

1. Latar Belakang Muhammad Asad

Mohammad Asad Leopold Weiss dilahirkan di Livow, Austria

pada tahun 1900. Pada umur 22 tahun, beliau mengunjungi Timur Tengah

dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian "Frankfurter

Zeitung." Setelah masuk Islam, ia pergi dan bekerja di seluruh dunia

Islam, mulai Afrika Utara sampai Afganistan di bagian Timur, dan setelah

beberapa tahun mempelajari Islam, ia telah menjadi seorang Muslim

terpelajar yang terkemuka di abad kita sekarang.

Setelah berdirinya negara Pakistan, ia ditunjuk menjadi Director of

the Department of Islamic Reconstruction di Punjab Barat, kemudian

diangkat sebagai wakil Pakistan di PBB. Tiga buku Mohammad Asad

yang penting ialah "Islam in the Cross Roads, Road to Mecca (Jalan ke

Mekah), The Principles of State of Government in Islam (Dasar-Dasar

Negara dan Pemerintahan Dalam Islam). Beliau juga menerbitkan majalah

bulanan "Arafat".1

Muhammad Asad belajar kitab-kitab suci Yahudi - Kristen dengan

bahasa Ibrani - Aramea, Polandia dan Jerman, belajar sejarah, falsafah dan

psikologi. Ia wartawan United Telegraph di Berlin (1921), wartawan

1 http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Asad.html, diakses tanggal 30 Juli 2005

65

Frankfurter Zeitung dan koresponden di Timur Tengah (1922-1926),

Masuk Islam di Berlin dan memilih nama Muhammad Asad (1926).

Muhammad Asad tinggal di Hejaz dan Najd (Saudi Arabia) (1926-

1932) menjelajah wilayah-wilayah negeri Islam (1932-1947) kecuali Asia

Tenggara. Bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk Raja Abdul

'Aziz, Ibnu Saud dan Muhammad Iqbal. Selanjutnya ia pernah

membatalkan rencana ke Indonesia dan Asia Tenggara karena ditugaskan

membentuk dan mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam Pakistan

(1947-1951).

Ketika Muhammad Asad menginjak usia 14 tahun, ia lari dari

rumahnya untuk bergabung dalam perang dunia pertama. Ia dapat

meyakinkan tentara Austria untuk memasukkannya dalam barisan tentara.

Pada usia 19 tahun, ia bekerja sebagai pembantu Doktor Mornoe,

kemudian, setelah itu pada Maks Rainhart. Kedua lelaki tersebut adalah

produser film terkenal pada masa awal perfilman.2

Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi koresponden Harian Surat

Kabar Jerman yang paling terkenal "Frankfurt Zeitung" untuk wilayah

Timur Dekat. Setelah memeluk Islam, pada tahun 1926, ia menjadi

sahabat Raja Ibn Sa'ud dan Muhammad Iqbal. Pada akhir Perang Dunia II,

ia sedang berada di India. Ketika negara Pakistan didirikan, ia menjabat

sebagai pembantu menteri luar negeri untuk urusan Timur Dekat, di

2http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Asad.html, diakses tanggal 2 agustus 2005

66

kementerian luar negeri negara yang masih bayi tersebut. Kemudian

mengirimnya ke New York sebagai perwakilan tetap mereka di PBB.

Muhammad Asad mengepalai bagian Timur Tengah Kementerian

Luar Negeri Pakistan. Menjadi Duta tetap Pakistan untuk PBB.

Muhammad Asad diangkat sebagai warga negara kehormatan di berbagai

negeri Islam; terakhir tinggal di Maroko.3

Muhammad Asad sebelum memeluk Islam bernama Leopold

Weiss. Latar belakang ia memeluk dan tertarik dengan Islam telah ia

ceritakan secara jujur dalam pengakuannya sebagai berikut:

Pada tahun 1922, saya meninggalkan tanah air Austria untuk

melakukan perjalanan ke Afrika dan Asia, sebagai wartawan khusus untuk

beberapa harian yang besar di Eropa. Sejak itu, hampir seluruh waktu saya

dihabiskan di negeri-negeri Timur-Islam. Lebih lanjut Muhammad Asad

menjelaskan:

Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya kunjungi itu mula-mula adalah sebagai orang luar saja. Saya melihat susunan masyarakat dan pandangan hidup yang pada dasarnya berbeda dengan susunan masyarakat dan pandangan hidup orang-orang Eropa, dan sejak pandangan pertama, dalam hati saya telah tumbuh rasa simpati terhadap pandangan hidup yang tenang, yang boleh saya katakan lebih bersifat kemanusiaan jika dibanding dengan cara hidup Eropa yang serba terburu-buru dan mekanistik. Rasa simpati ini secara perlahan-lahan telah menyebabkan timbulnya keinginan saya untuk menyelidiki sebab adanya perbedaan itu, dan saya menjadi tertarik dengan ajaran-ajaran keagamaan orang Islam. Dengan persoalan ini, saya belum merasa tertarik cukup kuat untuk memeluk agama Islam, akan tetapi telah cukup membuka mata saya terhadap suatu pemandangan baru mengenai masyarakat kemanusiaan yang progresif dan teratur, dengan mengandung hanya sedikit pertentangan, tapi dengan rasa

3Ibid, hlm.2

67

persaudaraan yang sangat besar dan sungguh-sungguh, walaupun kenyataan hidup orang-orang Islam sekarang masih jauh berbeda dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan oleh ajaran-ajaran Islam.4 Selanjutnya, menurut Muhammad Asad, bahwa apa saja yang

dalam ajaran Islam merupakan gerak dan maju, di kalangan orang Islam

telah berubah menjadi kemalasan dan kemandegan. Apa saja yang dalam

ajaran Islam merupakan kemurahan hati dan kesiapan berkorban, di

kalangan muslimin sekarang telah berubah menjadi kesempitan berpikir

dan senang kepada kehidupan yang mudah, sehingga saya benar-benar

bingung memikirkannya, keadaan yang sangat bertentangan antara kaum

muslimin dahulu dan kaum muslimin yang sekarang.

Hal inilah yang telah mendorong saya untuk lebih mencurahkan

perhatian terhadap persoalan yang rumit ini. Lalu saya mencoba

menggambarkan seolah-olah saya sungguh-sungguh merupakan salah

seorang anggota masyarakat Islam. Hal itu merupakan percobaan ilmiah

murni yang telah memberikan kepada saya dalam waktu yang singkat

tentang pemecahannya yang tepat.

Saya telah dapat membuktikan bahwa satu-satunya sebab

kemunduran sosial dan budaya kaum Muslimin sekarang ialah karena

mereka secara berangsur-angsur telah meninggalkan semangat ajaran

Islam. Islam masih tetap ada, tapi hanya merupakan badan tanpa jiwa.

Unsur utama yang dahulu pernah tegak berdiri sebagai penguat dunia

Islam, sekarang justru menjadi sebab kelemahannya. Masyarakat Islam

4 Ibid, hlm. 2 - 3

68

sejak mulai berdirinya telah dibina atas dasar keagamaan saja, dan

kelemahan dasar ini tentu saja melemahkan struktur kebudayaan, bahkan

mungkin merupakan ancaman terhadap kehancurannya sendiri pada

akhirnya.5

Semakin saya mengerti bagaimana ketegasan dan kesesuaian

ajaran Islam dengan praktek, semakin menjadi-jadilah pertanyaan saya,

mengapa orang-orang Islam telah tidak mau menerapkannya dalam

kehidupan yang nyata? Tentang ini saya telah bertukar pikiran dengan

banyak ahli pikir kaum Muslimin di seluruh negara yang terbentang antara

gurun Libia dan pegunungan Parmir di Asia tengah, dan antara Bosporus

sampai Laut Arab. Suatu soal yang hampir selalu menguasai pikiran saya

melebihi pemikiran tentang lain-lain kepentingan dunia Islam. Soal ini

tetap menjadi titik berat perhatian saya, sampai akhirnya saya, seorang

yang bukan Muslim, berbicara terhadap orang-orang Islam sebagai

pembela agama Islam sendiri menghadapi kelalaian dan kemalasan

mereka.

Perkembangan ini tidak terasa oleh saya, sampai pada suatu hari

musim gugur tahun 1925 di pegunungan Afganistan, seorang Gubernur

yang masih muda berkata kepada saya: "Tapi Tuan adalah seorang

Muslim, hanya Tuan sendiri tidak menyadarinya." Saya sangat kaget

dengan kata-katanya itu dan secara diam-diam saya terus memikirkannya.

Sewaktu saya kembali ke Eropa pada tahun 1926, saya pikir satu-satunya

5 Ibid, hlm. 3

69

konsekwensi logis dari pendirian saya ialah saya harus memeluk agama

Islam. Hal itulah yang telah menyebabkan saya menyatakan ke-Islam-an

saya, dan sejak itu pulalah datang bertubi-tubi pertanyaan-pertanyaan

yang berbunyi: "Mengapa engkau memeluk Islam? Apanya yang telah

menarik engkau?6

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu saya akui bahwa

saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan selain keterangan

bahwa tidak ada satu ajaran tertentu dalam Islam yang telah merebut hati

saya, sebab Islam itu adalah satu keseluruhan yang mengagumkan; satu

struktur yang tidak bisa dipisah-pisahkan tentang ajaran moral dan

program praktek hidup. Saya tidak bisa mengatakan bagian manakah yang

lebih menarik perhatian saya.

Dalam pandangan saya, Islam itu adalah laksana sebuah bangunan

yang sempurna segala-galanya. Semua bagiannya, satu sama lain

merupakan pelengkap dan penguat yang harmonis, tidak ada yang berlebih

dan tidak ada yang kurang, sehingga merupakan satu keseimbangan yang

mutlak sempurna dan perpaduan yang kuat.

Mungkin kesan saya bahwa segala sesuatu dalam ajaran Islam dan

teori-teorinya itu tepat dan sesuai, telah menciptakan kekaguman yang

amat kuat pada diri saya. Mungkin memang demikian, mungkin pula ada

kesan-kesan lain yang sekarang sulit bagi saya menerangkannya. Akan

tetapi bagaimanapun juga hal itu merupakan bahan kecintaan saya kepada

6 Ibid, hlm. 3 – 4.

70

agama ini, dan kecintaan itu merupakan perpaduan dari berbagai macam

sebab; bisa merupakan perpaduan antara keinginan dan kesepian, bisa

merupakan perpaduan antara tujuan yang luhur dan kekurangan, dan bisa

merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan.7

Demikianlah Islam telah masuk ke dalam lubuk hati saya, laksana

seorang pencuri yang memasuki rumah di tengah malam. Hanya saja

Islam telah masuk untuk terus menetap selama-lamanya, tidak seperti

seorang pencuri yang masuk rumah untuk kemudian dengan tergesa-gesa

keluar lagi. Sejak itu saya telah bersungguh-sungguh mempelajari apa

yang dapat saya pelajari tentang Islam. Saya telah mempelajari Al-Qur'an

dan Sunnah Rasul S.a.w. Saya pelajari bahasa agama Islam berikut

sejarahnya, dan saya pelajari sebahagian besar buku-buku/tulisan-tulisan

mengenai ajaran Islam dan juga buku-buku/tulisan-tulisan yang

menentangnya. Semua itu saya lakukan dalam waktu lebih dari lima tahun

di Hejaz dan Najed, dan lebih banyak lagi di Madinah, sehingga saya bisa

mengalami sesuatu dalam lingkungan yang orisinal, di mana agama ini

dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Nabi yang berbangsa Arab.

Sedangkan Hejaz merupakan titik pertemuan kaum Muslimin dari

berbagai negara, di mana saya dapat membandingkan beberapa pandangan

keagamaan dan kemasyarakatan yang berbeda-beda yang menguasai dunia

Islam sekarang.

7 Ibid, hlm. 4.

71

Semua pelajaran dan perbandingan itu telah menanamkan

kepuasan dalam hati saya, bahwa Islam sebagai satu keajaiban rohani dan

sosial masih tetap tegak, walaupun ada kemunduran-kemunduran yang

ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan kaum Muslimin sendiri.

Sebegitu jauh Islam masih tetap merupakan kekuatan terbesar yang pernah

dikenal umat manusia. Sejak waktu itu, perhatian saya tumpahkan untuk

mengembalikan agama ini kepada kejayaannya semula.8

Dalam konteksnya dengan pengakuan Muhammad Asad di atas,

bahwa ada hal penting yang perlu ditegaskan yaitu menjelang akhir abad

XX, dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu seratus tahun terakhir ini,

tidak ada seorang pun yang mampu menandingi jasa seorang Austria,

yaitu Muhammad Asad -- sebelumnya bernama Leopold Weist dan

berasal dari keturunan Yahudi -- dalam menjelaskan dan menyebarkan

Islam di Barat.

2. Hasil Karya Muhammad Asad

Uraian di atas menggambarkan sebagian dari peran penting yang

dimainkannya pada masa hidupnya yang pantas dikagumi. Ia

menggabungkan pemikiran dengan perbuatan, filsafat dengan agama, dan

seni dengan politik dalam format keislaman yang hakiki. Dengan

demikian, Muhammad Asad dapat dianggap sebagai tokoh kebangkitan

Islam.9

8 Ibid, hlm. 5 9 Ibid, hlm. 5 - 6

72

Saat ini, seluruh buku-bukunya dapat digolongkan dalam

kelompok klasik asli. Bukunya: "Islam di Persimpangan Jalan" (1934),

banyak berperan dalam mengembalikan kemuliaan dan keyakinan dunia

Islam terhadap kebudayaannya sendiri setelah kehilangan kepercayaan

terhadap dirinya sendiri di hadapan perang kemajuan teknologi Barat.

Semenjak lebih 50 tahun yang lalu, di New Delhi, ia telah menulis dengan

pandangan yang jauh dan mengagumkan sambil memprediksi sebagai

berikut, "Tampaknya berkembangnya kegelisahan sosial dan ekonomi,

juga mungkin terjadinya rentetan Perang Dunia dengan dimensi yang

sebelumnya tidak diketahui, dan bermacam ketakutan yang diciptakan

dunia, akan menggiring manusia mencari kembali ketenangan dan hakikat

rohani. Pada saat itulah dakwah Islam akan banyak mendapat sambutan."

Dalam otobiografinya yang terkenal "Road to Mecca", Muhammad

Asad menjelaskan proses ia memeluk agama Islam. Dalam buku

karangannya: "Dasar-dasar Negara dan Pemerintahan dalam Islam"

(1961), Muhammad Asad mengakui, tanpa keraguan, bahwa tidak ada satu

pun negara Islam yang sebenarnya pada masa pasca-Abu Bakar, Umar,

Utsman, dan Ali, keempat khalifah yang memerintah di Madinah. Ia juga

berpendapat bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya menjelaskan amat

sedikit dasar-dasar pembentukan negara dan masyarakat Islam.10

Dalam karangannya tersebut, ia telah menarik kesimpulan-

kesimpulan yang amat penting, antara lain sebagai berikut. Pertama,

10 Ibid, hlm. 7

73

materi fikih Islam dalam perkembangannya selama delapan abad telah

menjadi jauh lebih besar dari asal pokoknya (syariat Al-Qur'an). Kedua,

dalam kerangka undang-undang (tasyri') yang merupakan refleksi dari

dasar pokoknya ini, negara Islam mendapatkan beberapa ciri yang amat

mirip dengan demokrasi parlementer dan hukum positif, termasuk di

antaranya Dewan Kepresidenan dan Mahkamah Agung Amerika. Ketiga,

oleh karena itu, pergerakan Islam tidak perlu menuntut untuk

mengembalikan pemerintahan agama kembali.

Di Madinah al-Munawwarah, dengan diiringi beberapa kesulitan,

Muhammad Asad dapat menyelesaikan karyanya yang paling cemerlang.

Ia menerjemahkan dan memberi komentar atas juz pertama kumpulan

Hadis Bukhari: Shahih al-Bukhari, Tahun-tahun Pertama Keislaman

(1938) dan menerjemahkan Al-Qur'an seluruhnya: "Risalah al-Qur'an"

(1980).

Terjemahan yang agung ke dalam bahasa Inggris, dengan bahasa

Shakespeare ini mewujudkan karya sastra, ilmiah, dan sejarah yang

penting. Muhammad Asad, dalam memberi catatan kaki terhadap Al-

Qur'an, banyak berhutang pada reformer besar Mesir Syekh Muhammad

Abduh, dengan bukunya "Risalah Tauhid". Ia mengikuti Muhammad

Abduh dalam syarah-syarahnya dan dengan metode rasional yang

langsung menuju pokok masalah.11

11 Ibid, hlm. 7 – 8.

74

Dalam karyanya itu, ia selalu menyesuaikan dengan penemuan

terbaru dalam ilmu bahasa dan ilmu-ilmu alam. Juga menghindari

pemberian penghormatan imitatif atas tindakan yang menipu dan mitos-

mitos yang menutupi substansi hakiki Islam, sehingga menolak untuk

dikaji secara rasional.

Tokoh agung ini, dalam pembelaannya terhadap nilai-nilai rohani

dan etikanya, setelah mencapai usia delapan puluh tahun, berpindah dari

Madinah ke Tonja. Dari sana ia pindah ke Lisabon, selanjutnya ke

Spanyol, untuk membuktikan kepada semua orang bahwa Muhammad

Asad tetap jujur dengan dirinya: sebagai kritikus, penggerak, dan tetap

energik.12

B. Pendapat Muhammad Asad tentang Negara Islam

Menurut Muhammad Asad, saat untuk memilih dengan bebas ini,

sudah datang sekarang bagi bangsa-bangsa dari dunia Islam. Sesudah se abad

berjuang, berharap-harap, melakukan kesalahan-kesalahan, dan mengalami

kekecewaan-kekecewaan, maka kemerdekaan penuh dari penjajahan sudah

diperoleh oleh kebanyakan negeri yang didiami oleh kaum Muslimin. Tetapi

kemerdekaan itu menghadapkan bangsa-bangsa yang baru merdeka itu kepada

soal azas-azas pokok yang harus dijadikan dasar pemerintahan negerinya

supaya terjamin kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyat. Masalah ini

bukan saja bersangkutan dengan effisiensi dalam tata-usaha pemerintahan

tetapi juga dengan ideologi. Kaum Musliminlah yang harus memutuskan

12 http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, 2 Agustus 2005

75

apakah negara-negara mereka yang baru merdeka akan ditundukkan ke bawah

konsep negara-negara Barat modern yang tidak memberikan kepada agama

hak untuk membentuk kehidupan praktis sesuatu bangsa, ataukah akhirnya

akan mengambil bentuk pemerintahan Islam menurut arti kata yang

sebenarnya? Satu negara yang sebagian terbesar, atau malahan seluruh

penduduknya, menganut agama Islam tidaklah pasti sama artinya dengan satu

"negara Islam" negara itu menjadi negara Islam yang sesungguhnya hanya

apabila dengan sadar diterapkan ajaran-ajaran sosio-politik Islam kepada

kehidupan bangsa itu, dan dengan sadar dimasukkan ajaran-ajaran itu ke

dalam undang-undang dasar negara tersebut. 13

Muhammad meneruskan uraiannya dengan mengajukan pertanyaan

bahwa tetapi mungkin ada orang yang bertanya?: Apakah Islam sungguh-

sungguh mengharapkan kaum Muslimin akan berusaha, pada segala masa dan

dalam keadaan bagaimana juapun, menegakkan satu negara Islam ataukah

hasrat ke arah itu hanya berdasarkan kenang-kenangan kepada sejarah Islam di

masa yang lampau? Apakah Islam sungguh-sungguh dibentuk begitu rupa

sehingga menuntut pengikut-pengikutnya supaya menempuh satu jalan

tindakan politik bersama yang tertentu, ataukah seperti dilakukan agama-

agama lain, dia barangkali membiarkan semua tindakan politik diputuskan

oleh bangsa itu sendiri dengan mengingat kebutuhan-kebutuhan sesuatu masa?

Pendeknya, apakah, percampuran agama dan politik" merupakan satu postulat

sejati dari Islam, atau tidak?

13 Muhammad Asad, The Principles of State of Government in Islam, Kuala Lumpur:

Islamic Book Trust, 1980, hlm. 1

76

Menurut Muhammad Asad, hubungan yang erat antara agama dan

politik yang telah merupakan satu ciri dari sejarah perkembangan Islam, lebih

banyak daripada tidak, agak tidak dapat diterima oleh kaum terpelajar Islam

yang mendapat pendidikan Barat modern, yang sudah biasa memandang soal-

soal kepercayaan dan kehidupan praktis sebagai dua bidang yang satu terpisah

seluruhnya dari yang lainnya. Sebaliknya, adalah mustahil untuk memperoleh

satu penilaian yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian yang

penuh kepada masalah ini. Siapa saja yang sudah mengenal ajaran-ajaran

Islam, walaupun dangkal, akan mengetahui bahwa ajaran-ajaran itu bukan saja

melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga meletakkan satu

rangka dasar tertentu bagi kelakuan sosial yang harus diterima dan dijalankan

sebagai akibat dari hubungan itu. Dengan bertolak dari dugaan pokok bahwa

semua segi kehidupan sewajarnya adalah menurut iradat Tuhan, dan karena itu

mempunyai satu nilainya sendiri, maka' Qur'an banyak sekali memberikan

penjelasan bahwa tujuan terakhir dari penciptaan seluruh alam ini adalah

penundukan diri semua yang diciptakan kepada kehendak yang

Menciptakannya. Mengenai manusia, maka tindakan mematuhi ini yang

disebutkan Islam ditandaskan sebagai satu penundukan yang sadar dan aktif

dari keinginan-keinginan dan kelakuan manusia kepada peraturan-peraturan

hidup yang dititahkan oleh Pencipta (Khalik). Tuntutan ini menunjukkan

adanya anggapan bahwa setidak-tidaknya yang menyangkut kehidupan

manusia "konsep-konsep tentang yang benar" dan yang salah mengandung

makna-makna yang tidak berubah-ubah dari satu perkara ke perkara yang lain,

77

atau dari satu waktu ke waktu yang lain, tetapi tetap berlaku dalam segala

masa dan dalam semua keadaan. Jelaslah, bahwa tidak ada ketetapan

mengenai yang benar" dan yang salah" yang dicapai dengan pemikiran sendiri

akan dapat berlaku untuk selama-lamanya, sebab semua pikiran manusia pada

pokoknya adalah subyektif, dan karena itu sangat dipengaruhi oleh waktu dan

lingkungan, si pemikir itu. Sebab itu. jika agama sungguh-sungguh bertujuan

hendak menuntun manusia ke arah satu koordinasi keinginan-keinginan dan

kelakuannya dengan kehendak Tuhan, maka kepadanya harus diajarkan

menurut ketentuan-ketentuan yang tidak akan keliru, bagaimana

memperbedakan antara yang baik dan yang jahat, dan selanjutnya apa yang

harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Satu perintah yang

umum dalam etika saja, seperti cintailah saudaramu sesama manusia atau

berkata "benarlah selalu" atau tawakkallah kepada Tuhan tidaklah akan

mencukupi, karena perintah itu dapat ditafsirkan orang dengan banyak

interpretasi yang saling bertentangan. Yang diperlukan adalah satu himpunan

hukum yang saksama dan tegas. Yang menentukan walaupun dalam garis-

garis besarnya. Peraturan-peraturan yang wajib berlaku dalam kehidupan

manusia pada segenap seginya, kerohanian, jasmani, perseorangan,

kemasyarakatan, perekonomian dan politik.

Dalam pandangan Muhammad Asad bahwa Islam memenuhi

kebutuhan ini dengan perantara satu hukum Tuhan yang disebutkan syari'at-

syari'at yang ketentuan-ketentuannya sudah termaktub di dalam Kitab Suci Al-

Qur'an, dan ditambah atau lebih baik dikatakan diperinci dan diberikan

78

contoh-contohnya'' oleh Nabi Muhammad di dalam himpunan ajaran-

ajarannya yang kita lukiskan sebagai sunnah Nabi, atau cara hidup Nabi.

Dipandang dan sudut orang yang percaya Qur'an dan Sunnah membukakan

kepada kita satu bagian dari rencana penciptaan Tuhan yang meliputi seluruh

alam ini, yang dapat dipahamkan dengan pengertian. Mengenai manusia,

Qur'an dan Sunnah itu memuat petunjuk positif yang dapat diperoleh tentang

apakah yang dikehendaki Tuhan dengan kita, yakni harus menjadi apakah kita

dan apakah yang wajib kita lakukan. 14

Lebih jauh Muhammad Asad menandaskan bahwa tetapi Tuhan hanya

menunjukkan kehendak-Nya kepada kita; Dia tidak memaksa kita berbuat

menurutkan yang ditunjukkan itu. Dan. memberi kita kebebasan untuk

memilih. Jika kita memang ingin begitu. kita boleh dengan kesukaan sendiri

menundukkan diri kepada hukum yang diturunkan-Nya dan dengan demikian

seolah-olah bekerja sama dengan Tuhan; dan jika kita kehendaki pula, kita

boleh menentang iradat Tuhan, tidak mengindahkan Hukum yang

diturunkannya, dan menanggung segala akibatnya. Keputusan apa pun yang

kita ambil, tanggung-jawab adalah pada kita. Tidak usah dikatakan lagi,

bahwa kesanggupan kita untuk hidup menurutkan ajaran Islam adalah

bergantung kepada keputusan kita untuk memilih yang disebutkan lebih dulu.

Meskipun begitu, biarpun kita memilih untuk mematuhi Tuhan, kita mungkin

tidak selamanya sanggup melakukannya dengan sepenuhnya: sebab meskipun

sudah nyata bahwa inti tujuan Hukum Islam adalah supaya tiap-tiap orang

14Ibid, hlm. 4.

79

melakukan yang benar, tetapi adalah nyata pula, bahwa sebagian besar Hukum

itu tidak akan dapat menjadi efektif kecuali dengan usaha bersama dari banyak

orang yang dikoordinasikan secara sadar yaitu dengan satu daya-upaya

bersama. Sebagai akibatnya maka seseorang, bagaimana juga pun baik

niatnya, ia tidak dapat membentuk kehidupan pribadi hingga sesuai dengan

tuntutan-tuntutan Islam, kecuali jika dan sampai masyarakat di sekelilingnya

setuju untuk menundukkan urusan-urusan keduniawiannya kepada pola yang

gambarannya diberikan oleh Islam. Kerjasama yang dilaksanakan dengan

sadar itu tidak akan timbul dari semata-mata rasa persaudaraan saja:

pengertian persaudaraan itu harus dijelmakan di dalam tindakan sosial yang

positif, yaitu menyuruh orang berbuat baik dan melarang perbuatan yang

salah" (al-amr bi 'l-ma'ruf wa nahy 'an al-munkar) atau dengan perkataan lain,

menciptakan dan memelihara keadaan-keadaan masyarakat begitu rupa

sehingga memungkinkan sebagian terbesar manusia hidup di dalam

keselarasan, kebebasan dan ketinggian martabat.

Selanjutnya ketika menjelaskan negara secular, maka Muhammad

Asad menegaskan bahwa mengapa bukan Negara sekular? tiada sangsi lagi

bahwa tak terhitung banyaknya orang Islam yang sangat menginginkan satu

perkembangan sosial-politik menurutkan garis-garis Islam; tetapi sebaliknya

juga tidak disangsikan lagi bahwa di dalam iklim pikiran dunia modern

menjadi suatu kelainan suatu keyakinan teguh di dalam kalangan kaum

terpelajar, bahwa agama tidak patut mencampuri kehidupan politik. Dan

sementara azas sekularisme (keduniawian) secara otomatis diidentifikasikan

80

orang dengan kemajuan" (progress), maka tiap anjuran untuk memandang

politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dari sudut keagamaan ditolak

orang sebagai satu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya sebagai idealisme

yang tidak praktis kelihatannya banyak kaum muslimin yang terpelajar

mempunyai anggapan yang serupa pada waktu ini; dan dalam hal ini,

sebagaimana dalam begitu banyak bidang lain dari kehidupan dewasa ini,

kentara sekali pengaruh pikiran Barat.15

Menurut Muhammad Asad, di dalam suatu negara, "sekular" yang

tidak terdapat norma yang tetap yang dapat dipergunakan untuk membedakan

antara yang baik dan yang jahat dan antara yang benar dan yang salah. Satu-

satunya kritirium yang mungkin hanyalah: kepentingan bangsa. Tetapi karena

tidak ada satu ukuran yang obyektif dari nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai

kelompok manusia bahkan di dalam lingkungan satu bangsa, mungkin dan

biasanya mempunyai pandangan yang sangat. Berlainan mengenai apa yang

merupakan kepentingan bangsa yang utama. Sementara seorang kapitalis

dengan sangat tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia akan hancur jika

liberalisme ekonomis digantikan oleh sosialisme. Seorang sosialis dengan

setulusnya pula berpendapat, bahwa peradaban itu dapat dipelihara hanya jika

kapitalisme telah dibasmi dan diganti dengan sosialisme. Mereka masing-

masing mempunyai pandangan kesusilaan sendiri yaitu pandangan mengenai

apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan terhadap dan dengan orang-

orang lainnya, dan pandangan kesusilaan ini bergantung hanya kepada

15 Ibid., hlm. 4

81

pandangan-pandangan ekonomisnya; dan sebagai akibatnya adalah kekacauan

di dalam hubungan timbal-balik antara mereka.

Dalam perspektif Muhammad Asad bahwa tidak ada satu bangsa atau

masyarakat yang akan dapat menikmati kebahagiaan, kecuali jika dan sesudah

dia betul-betul bersatu dari dalam, dan tidak ada satu bangsa atau masyarakat

akan dapat bersatu sungguh-sungguh dari dalam jika belum dicapainya satu

tingkatan yang berarti dari kesepakatan mengenai apa yang benar dan apa

yang salah di dalam pergaulan dan muamalat manusia dan kesepakatan serupa

itu tidak mungkin didapatkan, kecuali jika bangsa atau masyarakat itu

sepaham mengenai satu kewajiban moril yang timbul dari satu hukum moral

yang tetap dan mutlak. Jelaslah bahwa hanya agama yang dapat menyediakan

hukum serupa itu, dan dengannya dasar bagi satu persetujuan, di dalam salah

satu kelompok, tentang satu kewajiban moril yang mengikat semua anggota

kelompok itu.

Menurut Muhammad Asad yang disebut negara Islam adalah negara

yang mengharuskan kepada warganegaranya termasuk di dalamnya

pemerintahan untuk sungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam, dan ajaran

Islam masuk atau dimuat dalam konstitusi negara tersebut, serta seluruh

peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya berpedoman pada

konstitusi yang tertinggi.

Muhammad Asad sampai kepada kesimpulan: "... maka negara Islam

yang . . . eksistensi tergantung kepada kemauan rakyat dan ia berhak dikontrol

82

olehnya mendapatkan kedaulatannya pada akhirnya dari Tuhan."16 Tetapi

sebenarnya apa yang dimaksudkannya dengan kedaulatan Tuhan itu tidak lain

dari kedaulatan syari'ah atas seluruh warga negara suatu negara Islam.

Menurut Muhammad Asad langkah ke arah ini memerlukan

keberanian tingkat tinggi, keberanian yang disertai rasa tanggung jawab

terhadap Allah dan rasa cinta yang mendalam terhadap Islam dan umatnya.

Dari pendapat Muhammad Asad di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

perspektif Muhammad Asad, suatu negara dikatakan negara Islam bukanlah

berdasarkan pada jumlah warganegara yang menganut agama Islam. Meskipun

mayoritas warga negaranya Islam tetapi dalam konstitusinya tidak berdasarkan

syari'at Islam maka tidak bisa disebut negara Islam. Jadi syaratnya negara

Islam menurut Muhammad Asad yaitu apabila dalam konstitusinya tercantum

syariat Islam dan warga negaranya benar-benar melaksanakan ajaran Islam.

Terhadap syarat negara Islam, Muhammad Asad berpendapat bahwa

syarat negara itu bisa disebut negara Islam adalah apabila memiliki empat

pedoman dasar yaitu:

Pertama, negara pusat membuat instruksi pada daerah-daerah atau

negara bagian untuk menjalankan syari'at Islam. Kewajiban yang paling

didahulukan dari negara semacam itu ialah menjalankan peraturan-peraturan

syari'ah di wilayah-wilayah yang di bawah wewenangnya.

Kedua, negara menciptakan serangkaian undang-undang yang ada di

bawah konstitusi tertinggi. Namun demikian undang-undang yang di bawah

16Ibid, hlm. 43

83

konstitusi harus bersifat organik, artinya bersifat melaksanakan aturan

konstitusi tertinggi.

Muhammad Asad tampaknya menyadari bahwa hukum syar'i hanya

memuat prinsip-prinsip pokok yang mengatur tatanan negara dan tidak boleh

mengalami perubahan. Namun Muhammad Asad tampaknya mengantisipasi

bahwa konstitusi yang hanya memuat pengertian-pengertian pokok dan asas-

asas pokok hukum syar'i tidak mungkin bisa menjangkau seluruh persoalan

negara, karena itu diserahkan pada undang-undang yang merupakan produk

manusia.

Ketiga, warganegara harus tunduk dan patuh pada pemerintah.

Keempat, Azas kesetujuan rakyat (popular consent) mengandung arti bahwa

terbentuknya pemerintah sebagai demikian adalah berdasarkan pilihan rakyat

yang bebas dan sepenuhnya mewakili pilihan ini. Tetapi ada lagi satu segi lain

ungkapan "di antara kamu" yang tertera di dalam al-Qur'an itu. Ungkapan

tersebut menunjuk kepada masyarakat sebagai keseluruhan, dan bukan kepada

sesuatu kelompok tertentu atau tertentu atau satu kiasan di dalamnya. Artinya

supaya terpenuhi tuntutan-tuntutan hukum Islam, pimpinan negara haruslah

dipilih, dan sebagai konsekuensinya, sesuatu pengambilan kekuasaan

pemerintahan dengan cara-cara lain dari pemilihan misalnya berdasarkan "

hak kelahiran" yang sendinya fiksi belaka, yang terdapat di negeri-negeri yang

rajanya turun temurun dengan sendirinya menjadi tidak sah sebagai satu

pemaksaan kekuasaan dari luar umat Islam, walaupun raja itu mengaku

seorang muslim.

84