BAB III PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD …digilib.uinsby.ac.id/1309/6/Bab 3.pdf · sekolah...

38
55 BAB III PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN A. Kondisi Pendidikan Islam di Nusantara 1. Pada Masa KH. Ahmad Dahlan Memasuki abad ke-20, Indonesia merupakan negara yang terbelakang. keterbelakangan ini dibuktikan dengan hancurnya berbagai tatanan kehidupan kenegaraan, ekonimi, sosial, bahkan ideologi masyarakat muslim. Setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarki di Nusantara, negara ini terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir seluruh aspek kehidupan terbelenggu oleh berbagai praktek kolonialisasi yang merampas hak dan hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung berabad-abad, rakyat menderita, sebagian besar mereka menderita kemiskinan dan kebodohan. Pada sejarah kolonialisme di Indonesia, umat Islam turut menaggung akibatnya. Umat Islam pun menjadi objek dan sasaran kolonialisasi, karena terbukti menyulutkan perlawanan rakyat secara terbuka dan besar-besaran. Diantara peristiwa tersebut adalah pecahnya Perang Suci. Perlawana umat Islam yang paling berdarah sepanjang sejarah yang digerakkan dan dipelopori oleh ulama Aceh, juga di berbagai belahan Nusantara, yakni perang Padri di Minangkabau yang dipelopori oleh Imam Bonjol dan Haji Miskin (1821-11838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori oleh Pangeran

Transcript of BAB III PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD …digilib.uinsby.ac.id/1309/6/Bab 3.pdf · sekolah...

55

BAB III

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN

A. Kondisi Pendidikan Islam di Nusantara

1. Pada Masa KH. Ahmad Dahlan

Memasuki abad ke-20, Indonesia merupakan negara yang terbelakang.

keterbelakangan ini dibuktikan dengan hancurnya berbagai tatanan

kehidupan kenegaraan, ekonimi, sosial, bahkan ideologi masyarakat

muslim. Setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarki di Nusantara,

negara ini terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir seluruh aspek kehidupan

terbelenggu oleh berbagai praktek kolonialisasi yang merampas hak dan

hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung

berabad-abad, rakyat menderita, sebagian besar mereka menderita

kemiskinan dan kebodohan. Pada sejarah kolonialisme di Indonesia, umat

Islam turut menaggung akibatnya. Umat Islam pun menjadi objek dan

sasaran kolonialisasi, karena terbukti menyulutkan perlawanan rakyat secara

terbuka dan besar-besaran.

Diantara peristiwa tersebut adalah pecahnya Perang Suci. Perlawana

umat Islam yang paling berdarah sepanjang sejarah yang digerakkan dan

dipelopori oleh ulama Aceh, juga di berbagai belahan Nusantara, yakni

perang Padri di Minangkabau yang dipelopori oleh Imam Bonjol dan Haji

Miskin (1821-11838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori oleh Pangeran

56

Dipolegoro (1825-1838), serta pemberontakan Tjilegon Banten yang

dipelopori oleh Hadji Wasit dan Tubagus Hadji Ismail (1888).1

Rangkaian perang tersebut merugikan Belanda dan Juga pribumi.

Maka Belanda melakukan Politik Etis yang ditandai dengan hadirnya

misionaris Belanda Cristian Snouck Hurgronye, yang tujuannya untuk

memecah belah umat Islam. Yaitu menguatkan gelombang Westernisasi

pendidikan di budaya lapisan elit (kaum terpelajar) dan menggairahkan

kembali tradisi Hindu-Islam yang memicu maraknya praktek takhayul,

bid’ah dan syirik yang juga marak dilakukan umat Islam.

Penjajah Belanda selain mencari kekayaan (gold) dan kejayaan

(glory), ternyata juga untuk menyebarkan agama kristen (gospel).2 Dan

meskipun Belanda menuai hasil yang gemilang dengan Politik Etisnya.

Benih-benih nasionalisme modern (perlawanan melalui pintu perdagangan

dan pendidikan) di Indonesia juga belum surut, melalui surat-surat kartini

dari Jepara kepada Belanda, lahirnya Budi Utomo berdiri 1908 dan memulai

sekolah Kweekschool miliknya kolonial Belanda di Jetis Yogyakarta.

Namun demikian, Belanda masih mendominasi dalam kebijakan dan

kekuasaan di Nusantara.

Fakta membuktikan bahwa dominasi kalangan Eropa dan elit pribumi

dalam dunia pendidikan menyebabkan rakyat yang mayoritas muslim tidak

cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern, sementara kebekuan

1 Biyanto, dkk., Materi Kuliyah Pendidikan Kemuhammadiyahan (Sidoarjo: Umsida Press, 2011), 8. 2 Muh. Kolid AS, Pendidikan Kemuhammadiyahan untuk SMP/MTs Muhammadiyah Kelas VIII (Surabaya: Majlis Dikdasmen PWM Jatim, 2013), 3.

57

sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin meninggalkan ketidak

berdayaan. Ditengah keterbelakangan umat Islam, masih ada pribumi Islam

yang bergerak dibidang industri dan perdangana seperti batik, rokok dan

kerajinan yang tersebar di Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Palembang dan

sekitarnya yang memiliki ikatan sosial kuat dalam bersaing dengan

pengusaha tingkat Eropa, Cina, Arab dan India yang lebih dulu singgah di

Nusantara. Pada daerah-daerah tersebut kondisi ekonomi mereka cukup

mapan untuk bergaul, baik melalui ibadah haji di Makkah, mengirimkan

anak mereka ke pesantren dan lembaga pendidikan di Indonesia, maupun

luar negeri seperti Arab, Mesir dan Eropa.

Peristiwa pergi haji menjadi sangat penting bagi umat Islam di dunia,

khususnya di Indonesia.3 Dengan demikian interaksi mereka dengan

masyarakat lebih luas berlangsung secara reguler. KH. Ahmad Dahlan, salah

satu diantara masyarakat kelas menengah pribumi yang menjalani hidup

hanya sekedar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung

Kesultanan Yogyakarta. Namun kehadiran dan kiprahnya melahirkan

gagasan besar yang mencerahkan ditengah nasib bangsa yang masih

terbelenggu oleh kolonialisme.

KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru atau pelopor pendidikan

Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut di

atas. Beliaulah tokoh yang berusaha memasukkan pendidikan umum ke

dalam kurikulum madrasah, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam

3 Hanun Asrohah, Transformasi Pesantren; Pelembagaan, Adaptasi dan Respon Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Dwi Pustaka Jaya, 2012), 137.

58

lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan, KH. Ahmad Dahlan

menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan

dan kecintaan kepada tanah air. Beliaulah tokoh yang telah berhasil

mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern ke

seluruh pelosok tanah air melalui perkumpulan Muhammadiyah yang

didirikannya, dan hingga kini makin menunjukkan eksistensi secara

fungsional.

Mereka (Dahlan dan murid-muridnya) menerima kemajuan dan ilmu

pengetahuan dari Barat secara selektif, dan pada saat yang sama tetap

memepertahankan nilai-nilai dan budaya Islam secara kritis.4 Sebagaian

mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kemajuan Barat dan

sekaligus menguasai pengetahuan Islam. Melalui kiprahnya dalam

pencerahan umat dan bangsa, maka kondisi pendidikan Islam di Nusantara

waktu itu betul-betul hanya dinikmati oleh kalangan atas (hight Class), baik

kalangan ningrat, raja dan pengusaha. Sedangkan kalangan menengah

kebawah tidak memperoleh pendidikan yang layak, maka mereka rata-rata

masuk pesantren yang kala itu masih sangat tradisional dan terbelakang.

Fenomena dualisme pendidikan tersebut terpisah secara jauh dan

diametral. Tidak hanya itu, pendidikan umum dan agama sangat terpisah,

disamping itu beliau juga mendirikan lembaga pendidikan diniyah yang

mengajarkan agama untuk mengimbanginya. Kondisi inilah yang

memberanikan KH. Ahmad Dahlan untuk menerobos benteng modernisasi

4 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam Islam (Malang: UMM Press, 2001), 5.

59

dan benteng tradisi. Yakni memberanikan dirinya untuk mengajar di sekolah

miliknya Belanda.

2. Realitas Pendidikan

Dunia pendidikan Indonesia saat ini dihadapkan kepada berbagai

masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak

mustahil dunia pendidikan akan ditinggal zaman. Hal ini dapat dibuktikan

bahwa peringkat pendidikan Indonesia jauh dibawah negara-negara asia

tenggara, apalagi negara-negara maju.

Data Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2011 yang

dikeluarkan Unesco pada tanggal 1 Maret 2011 telah menunjukan indeks

pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 di 127 negara

yang disurvei. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja dan

Laos. Pendidikan nasional juga dikritik karena belum mampu melahirkan

individu yang berkarakter dan berintegritas kuat. Yang ironis, justru terjadi

ketidakjujuran akademik (academic dishonesty) yang melibatkan unsur-

unsur disekolah saat ujian nasional (UN). Kasus contekan massal di SD

Negeri 2 Gadel, menjadi contoh.5 Dan masih banyak lagi di daerah lain.

Maka kegagalan dunia pendidikan Indonesia dalam menyipakan masa depan

umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan

bangsa dan peradabannya.

Kemudia pada tahun 2012 menurut Education For All (EFA) yang

dikeluarkan oleh UNESCO, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64

5 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan Unggul (Surabaya: Hikmah Press, 2012), 23.

60

untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara.6 Programme for

International Study Assessment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia

sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu

pendidikan. Pemeringkatan tersebut dapat dilihat dari skor yang dicapai

pelajar usia 15 tahun dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains.

“Selama mengikuti studi tersebut sejak 2000, Indonesia selalu berada pada

salah satu peringkat rendah,” kata anggota Koalisi Pendidikan, Ade Irawan,

melalui rilis pers pada Jumat, 6 Desember 2013.7

Menurut PERC (berbasis di Hongkong), sistem pendidikan Indonesia

dianggap terburuk dikawasan Asia. Sistem pendidikan Indonesia menurut

PERC ditempatkan pada peringkat 12 negara dari 12 negara, setingkat

dibawah Vietnam. Dalam hal ini PERC telah menganlisis sistem 12 negara

di Asia dengan beberapa indikator. Yakni, impresi masyarakat mengenai

sistem pendidikan, penguasaan teknologi, serta penggunaan bahasa Inggris

dan bahasa asing lainya.

Bukan hanya PERC, laporan Human Developmen Index (HDI) yang

menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada urutan 120

dari 164 negara. Demikian juga dengan laporan Internasional Institut For

Development (IID) yang menenpatkan sistem pendidikan Indonesia pada

peringkat 49 dari 49 ngara. Kenyataan tersebut jelas merupakan suatu yang

6 http://kampus.okezone.com/read/2013/06/01/373/816065/astaga-ri-peringkat-ke-64- untuk-pendidikan (5 maret 2014). 7 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/06/173535256/Mutu-Pendidikan-Indonesia-Terendah-di-Dunia (5 maret 2014).

61

sangat ironis. Apalagi jika dikatakan bahwa sistem pendidikan kita kalah

dengan Malaysia yang pada era 1980-an masih belajar di Indonesia.8

Realitas pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami

intellectual deadlock, yaitu kemandegan atau kemunduran dalam

melahirkan cendekiawan yang diharapkan. Indikasinya adalah:9

a. Minimnya upaya pembaruan. Jika ada kalah cepat dengan perubahan

sosial, politik, dan kemajuan iptek. Ini terbukti dari ketidakberdayaan

kurikulum dan silabi yang umumnya dipakai oleh lembaga pendidikan

Islam (LPI) dalam mengantisipasi perubahan global, sedemikian hingga

begitu seorang murid tamat atau lulus dari jenjang pendidikan, ia masih

saja kebingungan dengan bekal keilmuan yang diperolehnya bila

dihadapkan pada lapangan kerja yang ada, kondisi masyarakat, kebijakan

pendidikan elit politik, bahkan ketinggalan dengan akselerasi iptek.

b. Praktik pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan lama, dan

tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap

isu-isu aktual. Akibatnya ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu

klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tak tersentuh sama sekali.

c. Model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada

pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegaskan pentingnya

interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid.

Pembelajarannya menjadi bersifat transfer of knowledge atau learning to

know dengan perlakuan bahwa guru diidealisasikan sebagai pihak yang 8 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan, 141. 9 Imam Machali, dkk., Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), 8-9.

62

lebih tahu dan yang perlu mentransfer berbagai kelebihannya tadi kepada

murid yang dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu.

d. Orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan ‘abid

atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter

manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardh.

Walaupun saat ini sudah ada upaya-upaya baru untuk memperbaiki

pendidikan Islam, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta, untuk

mengembalikan pendidikan Islam pada tingkat yang baik. Namun realitas

pendidikan Islam saat ini harus diakui masih jauh terbelakang dengan

negara-negara tetangga.

3. Dikotomi Pendidikan

Pada awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai oleh

adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dengan

pendidikan umum. Di satu sisi terdapat madrasah yang mengajarkan

pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi

terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pada

saat itu pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang

jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat

Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang

tradisional.10

10 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 98.

63

Persaingan antara sistem pendidikan warisan Kolonial dengan sistem

pendidikan tradisional Muslim terus berlangsung cukup lama.11 Munculnya

dualisme pendidikan antara Barat dan Timur telah memunculkan beberapa

permasalahan. Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.

Salah satu dampak negatifnya adalah dikotomi sistem pendidikan, terutama

di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidkan Islam.

Kedua, kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam.

Sistem yang bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang

memisahkan “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu ilmu dunia”. Pandangan ini

bertentangan dengan Islam sendiri yang memiliki konsep integralistik.

Ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam. Hingga saat ini boleh

dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadi perpaduan (usaha

integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian antara

pendidikan umum dengan pendidikan agama. Keempat, inferioritas para

pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan

pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan umum, masih sangat erat

kaitannya dengan sistem pendidikan Barat sebagai tolak ukur kemajuan.

Dalam kenyataanya cara pandang ini senantiasa memunculkan pendekatan

hipotesis devisit.12

Menurut A. Syafi’i Ma’arif, diterimanya prinsip dikotomi kedalam

sistem pendidikan adalah merupakan suatu indikasi rapuhnya dasar filosofi

11 Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 247. 12 Ibid., 249-250.

64

pendidikan Islam.13 Karena keterbatasan hasil pemikiran, maka setiap kader

harus meng-up grade (tajdi>d) sturktur kognisi atau budayaannya secara terus

menerus.14 Agar manusia bisa menemukan identitas kemanusaiannya, yang

semuanya itu digunakan sepenuhnya dalam mengaktualisasikan ide

pemikirannya untuk perbaikan dan pembaruan umat manusia. Maka

pendidikan Islam mestinya kembali ke dasar, yakni al-Qur’an dan Hadith

sebagai identitas lokal dengan tetap mengambil perkara yang baru dan lebih

baik dalam hal sains dan teknologi, sehingga pendidikan Islam berwawasan

terbuka, inklusif dan global. Selain itu, perlunya dibangun ulang format

pendidikan Islam yang sesuai dengan konteks globalisasi dan peradaban

zaman yang tentunya tidak meninggalkan nilai-nilai agama.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membangun format

pendidikan Islam, yaitu masalah dikotomi ilmu dan pola pikir teosentris

yang tidak seimbang. Dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah berjalan

cukup lama, berawal ketika terjadi pemisahan antara ilmu agama dan ilmu

umum. Terlebih masih adanya pemahaman sebagian ulama yang

mengartikan menuntut ilmu agama tergolong fardhu ‘ain, sedangkan

menuntut ilmu non agama termasuk fardhu kifayah. Hal tersebut

mengakibatkan sebagian besar umat ini berbondong-bondong mempelajari

ilmu agama seraya mengalihkan perhatiannya pada ilmu-ilmu umum.

Padahal, dalam Islam sendiri tidak dijelaskan pemisahan bentuk kewajiban

tersebut. Ilmu itu utuh, satu kesatuan yang tidak perlu dipisah-pisahkan.

13 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), 105. 14 Suyoto, Melati di Taman Bangsa (Yogyakarta: Aditya Media, 2002), 20.

65

Format ulang terhadap pendidikan Islam yang kontekstual terhadap

arus global pada intinya adalah menghilangkan batas pendidikan Islam yang

dikotomik menuju pendidikan yang integralistik. Dalam pencarian format

pendidikan Islam yang ideal sesuai dengan konteks sekarang, tentunya tidak

terlepas dari kondisi empirik pendidikan di Indonesia. Karena perjalanan

pendidikan Islam di Indonesia memiliki keterkaitan yang mendasar terhadap

perjalanan pendidikan di Indonesia. Upaya reformulasi pendidikan Islam

dalam perspektif global, tentunya tetap harus berpijak dari sumber utama

pendidikan Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan Hadith.

B. Pembaruan Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan

1. Filosofi Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan

Menurut Kuntowijiyo, gagasan pendidikan yang dipelopori oleh Kiai

Dahlan merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek

“Iman” dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim

terpelajar yang mampu hidup di zaman modern.15 Oleh sebab itu untuk

menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Kiai musti lebih

banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun

naskah pidato terakhir Kiai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik

untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kiai terhadap

pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat

kunci yang menggambarkan tingginya minat Kiai dalam pencerahan akal,

15 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan, 30.

66

yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup

yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan

akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang

suci, (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia, (3) ilmu mantiq atau

logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan

dicapai hanya jika manusia berserah kepada petunjuk Allah SWT.16 Pribadi

Kiai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang

tersirat dalam tafsir Al-Mana>r sehingga meskipun tidak punya latar

belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas

melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.

Meskipun tema pembaruan pendidikan KH. Ahmad Dahlan

memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah

pendidikan Indonesia, namun sejauh ini sangat sedikit karya yang

menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang

dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Untuk melangkah ke arah itu bisa

dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni

bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah

Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian

rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan, (2) pendekatan

filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat

kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan, (3) pendekatan formal

dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan, (4)

16 Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah (Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan, 1990), 46.

67

pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep

dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam

Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.17

Dalam hal ini muridnya KH. Ahmad Dahlan adalah KRH. Hadjid,

beliau sangat tekun dan menulis apa-apa yang dipaparkan gurunya, ia

rangkum dalam sebuah tulisan tujuh falsafah atau tujuh perkara pelajaran

KH. Ahmad Dahlan. Pelajaran pertama: mempelajari tentang perkataan

ulama tentang manusia itu semuanya mati. Pelajaran kedua: mempelajari

tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri sendiri

(individual). Pelajran ketiga: mempelajari tentang perkataan ulama tentang

akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan. Pelajaran keempat:

mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu

kebenaran. Pelajaran kelima: mempelajari tentang perkataan ulama tentang

penyucian diri. Pelajaran keenam: mempelajari tentang perkataan ulama

tentang ikhlas dalam memimpin. Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang

perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau

teori (belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal).18

Dalam hal ini apabila sudah mendengar, apa kita sudah melaksanakan

dengan sungguh-sungguh?. Berikut catatan yang diungkapkan oleh KRH.

Hadjid.

17 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: KANISIUS, 1990), 67. 18 Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an (Yogyakarta: UMM Press, 2005), 9-10.

68

2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan

Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan

umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang

dinamis adalah melalui pendidikan.19 dengan pengembangan daya kritis,

sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara

strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi. Dari batasan ini

terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi

reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan

modern dan tradisional secara harmonis dan integral.

Pendidikan sejatinya merepresentasikan cita-cita luhur yang hidup

dan berkembang dalam satu kelompok masyarakat.20 Seluruh praktek

pendidikan pada hakekatnya adalah upaya mengimlementasikan nilai-nilai.

Nilai itulah yang memberi arah terhadap pelaksanaan pendidikan dan

sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur keberhasilan dan

kegagalannya.21 Maka cita-cita yang luhur dalam pendidikan Islam harus

direalisasikan sesuai dengan nilai-nilai Islam, agar nilai tersebut menjadi

bermakna dan bernilai bermanfaat.

Di dalam Muhammadiyah, pendidikan agama dan pendidikan umum

dipadukan sedemikian rupa, dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan as-

Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer

berbahasa Arab juga dipelajari di lembaga Muhammadiyah, yang dipadukan

19 Ahmad Syafii Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 221. 20 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek Kekerasan (Yogyakarta: Sinergi Press, 2002), 229. 21 Ibid., 321.

69

dengan pendidikan umum. Muhammadiyah dengan model ini telah

menggunakan sistem klasikal model Barat, yang meninggalkan model

Weton (mengaji dengan diajar satu persatu) dan Sorogan (mengajar mengaji

dengan Kiai membaca dan santri mendengarkan) dalam sistem tradisional.

Dengan pembaruan pendidikan seperti itu Muhammadiyah telah

mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral, sehingga hasil

belajar dapat dievaluasi. Hubungan guru dengan peserta didik didalam

lembaga Muhammadiyah kiranya lebih akrab, bebas dan demokratis, yang

berbeda dengan pendidikan tradisional yang mengesankan guru bersifat

otoriter dalam keilmuannya. Pendirian lembaga Muhammdiyah dengan

pembaruan model seperti itu merupakan kepedualian KH. Ahmad Dahlan

dalam mengimbangai dan menandingi sekolah pemerintah Belanda. Dengan

pembaruan pendidikan seperti itu berarti Muhammadiyah telah

memeprtehankan dimensi Islam yang kuat. Dari sini dapat dikatakan bahwa

KH. Ahmad Dahlan telah berhasil melakukan modernisasi sekolah

keagamaan tradisional.

Dari uraian tersebut, menurut Abudin Nata, ada beberapa catatan yang

perlu dikemukakan. Pertama, KH. Ahmad Dahlan telah membawa

pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula sistem

pesantren menjadi sistem sekolah. Kedua KH. Ahmad Dahlan telah

memasukan mata pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau

madrasah. Ketiga, KH. Ahmad Dahlan telah melakukan perubahan dalam

metode pengajaran, dari yang semula metode Weton dan Sorogan menjadi

70

lebih berfareasi. Keempat, KH. Ahmad Dahlan telah mengajarkan sikap

hidup yang terbuka dan toleran dalam pendidikan. Kelima, KH. Ahmad

Dahlan dengan Muhammadiyahnya telah berhasil mengembangkan lembaga

pendidikan yang beragama, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan

dari yang berbentuk sekolah agama hingga sekolah umum. Keenam, KH.

Ahmad Dahlan telah berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan

modern kedalam sistem pendidikan yang dirancangnya.22

Maka hasil kajian terhadap pembaruan pendidikan Islam pemikiran

dan praksis KH. Ahmad Dahlan, penulis diuraikan sebagai berikut:

a. Tujuan Pendidikan

Pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan bertujuan untuk

menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2)

luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum; (3) bersedia berjuang

untuk kemajuan masyarakat.23 Pandangan KH. Ahmad Dahlan ini

dikemukakan sebagai bukti ketidakpuasan Dahlan terhadap sistem dan

praktek yang ada pada saat itu. Dengan mengadopsi substansi dan

metodologi pendidikan model Barat yang dipadukan dengan sistem

model tradisional, KH. Ahmad Dahlan berhasil mensintesiskan keduanya

dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah.

KH. Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian

sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Beliau berpendapat

bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia dan di akhirat 22 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 310. 23 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam oleh Pergerakan Muhammadiyah (Jember : Universitas Muhammadiyah Jember, 1985), 95-96.

71

kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seseorang yang

berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-

Qur’an dan Hadith. Beliau juga berpandangan bahwa pendidikan harus

membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan

untuk mencapai kemajuan materi. Oleh karena itu, pendidikan yang baik

adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa

itu hidup.24 Berkaitan dengan keadaan pada masa itu, KH. Ahmad

Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan

tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman bagi

kemajuan bangsa.

Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan

pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan

pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan

pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan

mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda

merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama

sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub

intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak

menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum

tetapi tidak menguasai ilmu agama.

24 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan, 102.

72

Agar kegiatan belajar aktif tersebut menjadi lebih terarah sudah

tentu diperlukan metode pembelajaran yang relevan. Metode-metode

tersebut adalah:

1) Metode ceramah, apabila materi pelajaran tersebut berupa fakta-fakta

atau informasi yang memerlukan penjelasan.

2) Metode demonstrasi, apabila guru memandang perlu untuk

memperlihatkan sesuatu proses ataupun cara-cara tertentu.

3) Metode kerja kelompok, apabila permasalahan yang dikandung oleh

bahan pelajaran dipandang perlu untuk dipecahkan peserta didik

secara bersama-sama atau gotong royong dan berkelompok.

4) Metode karyawisata, apabila bahan pelajaran itu terdapat dalam obyek

yang berada di luar sekolah.

5) Metode drama, apabila bahan pelajaran itu menghendaki pengamatan

dan pengalaman buatan.

6) Metode bimbingan dan latihan, apabila berkenaan dengan

pengembangan minat, bakat, keterampilan dan kecakapan praktis.25

b. Pendidik dan Peserta Didik

Hakikat guru dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan adalah tenaga

pendidik professional yang diberi kepercayaan sebagai penanggung

jawab kurikuler dengan tugas-tugas pokok sebagai pendidik.26 Maka guru

harus mencurahkan segala ilmu dan pikiran untuk membimbing, melatih

dan membina peserta didik dengan nilai-nilai agama, sehingga mereka

25 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan Pendidikan, 210. 26 Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2007), 175.

73

menjadi manusia yang bisa mengamalkan ilmunya dalam kehidupan.

yang secara spesifik sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan

pengemban amanahNya sebagai khalifah dimuka bumi.

Hakikat peserta didik dalam konsep pendidikan Islam menurut KH.

Ahmad Dahlan adalah bahwa setiap umat manusia yang lahir kedunia ini

membawa bakat-bakat dan sifat dasar yang secara moral selaras dengan

fitrah penciptaan manusia yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran

Islam.27 Maka setiap peserta didik mendapatkan hak pengajaran dan

pendidikan yang layak untuk menunjang kehidupannya kelak.

c. Kurikulum

Pengalaman KH. Ahmad Dahlan dalam mengajar di sekolah

pemerintah membawanya pada kesimpulan bahwa, nilai etika dan

keagamaan menjadi materi-materi yang sangat penting dalam kurikulum

sekolah.28 Pengorganisasian kurikulum yang digunakan KH. Ahmad

Dahlan adalah menempatkan materi pelajaran agama Islam sebagai

kurikulum inti, yang menjiwai seluruh matari pelajaran yang disajikan.

Dengan cara seperti ini, maka setiap materi pelajaran yang disajikan di

lembaga pendidikan tetap bersentuhan dengan iman dan kesalehan,

karena seluruh keilmuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang

terkandung dalam berbagai materi pelajaran tersebut tetap berorientasi

pada ajaran Islam.

27 Ibid., 176. 28 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, Terj. Ahmad Nur Fuad (Surabaya: LPAM, 2002), 197.

74

Menurut KH. Ahmad Dahlan, materi pendidikan adalah al-Qur’an

dan Hadith, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.

materi al-Qur’an dan Hadith meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi

perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah dan

pembuktian kebenaran al-Qur’an dan Hadith menurut akal.29 KH. Ahmad

Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum

sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan

As-Sunnah.

KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi

pendidikan hendaknya meliputi:

1) Pendidikan moral atau akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan

karakter manusia yang baik berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan

kesadaran individu yang utuh dan berkeseimbangan antara

perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek,

antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dengan akhirat.

3) Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan

kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.30

Sejalan dengan ide pembaruannya, KH. Ahmad Dahlan adalah

seorang pendidik yang sangat menghargai dan menekankan pendidikan

akal. Ini menunjukan bahwa dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan

bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Tetapi sering kali, akal

29 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan, 303. 30 Din Syamsuddin, dkk., Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), 43.

75

tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Karena itulah, pendidikan

harus memberikan siraman dan bimbingan yang sedemikian rupa

sehingga akal manusia dapat berkembang dengan baik.

Menurut KH. Ahmad Dahlan pengembangan diri manusia

merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Karena dalam proses kejadian

manusia, manusia diberikan Allah SWT dengan ruh dan akal. Untuk itu

pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan

potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan

kepatuhan manusia kepada Tuhannya. Di sini eksistensi akal merupakan

potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan.

Namun dalam al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemapuan

akal. Ada realitas yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akal

manusia. Hal ini disebabkan karena wujud yang ada di alam ini memiliki

dua dimensi yaitu metafsika dan fisika. Manusia merupakan integrasi

dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.

Abdul Munir Mulkan dalam bukunya “Paradigma Intelektual

Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikam Islam dan Dakwah”, dijelaskan

bahwa pandangan tersebut antara lain:

1) Penyebaran Islam dan ilmu pengetahuan adalah kewajiban setiap

Muslim.

2) Seorang Muslim wajib memiliki sifat belajar dan mengajar

sekaligus.

76

3) Pendidikan adalah merupakan kebutuhan umat, oleh karena itu perlu

disusun suatu kesatuan sistem dan asas pendidikan dan pengajaran

Islam.

4) Isi pendidikan Islam adalah pengajaran Islam yang bersumber al-

Qur’an, di samping pelajaran membaca, berhitung, menulis, ilmu

bumi dan menggambar.

5) Garis besar isi al-Qur’an adalah; a). ibadah, b). persamaan derajat.

6) Fungsi perbuatan manusia dalam penentuan nasibnya.

7) Musyawarah.

8) Pembuktian dan penjelasan kebenaran al-Qur’an dengan akal.

9) Perlu kerja sama antara agama, kebudayaan dan kemajuan.

10) Perubahan kehidupan ditentukan oleh hukum kausal.

11) Pengarahan nafsu dan kehendak.

12) Demokratisasi dan liberalisasi kemerdekaan berpikir.

13) Perkembangan kehidupan duniawi bersifat progresif sebagi bagian

dari peran aktif iman manusia.

14) Perbaikan akhlak dan budi pekerti.

15) Bimbingan bagi seluruh umat manusia.31

Kurikulum tersebut dapat terealisir jika dilakukan dengan etos

kerja, semangat perjuangan dan dengan penuh keikhlasan. Sehingga

tujuan pendidikan tercapai dengan maksimal.

31 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogjakarta: Sipress, 1998), 146-147.

77

d. Metode atau teknik pengajaran

Di dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan

tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Lalu

bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengajarkan agama, antara lain

dijelaskan oleh Mas Mansur, salah seorang murid dan teman

seperjuangan KH. Ahmad Dahlan. Dalam kaitan ini sebagimana dikutip

Amir Hamzah Wirjosukarto, menjelaskan bahwa KH. Ahmad Dahlan

gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Di samping

menggunakan penafsiran yang kontekstual, KH. Ahmad Dahlan

berpendapat bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau

dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan

kondisi.32

Gagasan KH. Ahmad Dahlan tentang ”pembumian” ajaran al-

Qur’an tersebut antara lain tercermin dalam pengajaran surat al-Mau>n

yang dalam perkembangannya melahirkan majelis pembinaan

kesejahteraan umat. Bagi KH. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan

membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali

dipraktekkan.

Pendidikan (pengajaran) agama harus didasari pengakuan atas hak

dan kebenaran akal dan ilmu, mengakui keinginan dan nafsu manusia,

dan dibuktikan dengan jalan ilmu dan akal-pikiran.33 Ketika menerapkan

al-Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 80, yang menyatakan bahwa Allah 32 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual,146-147.149. 33 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (Jakarta: Kompas, 2010), 145.

78

menyembuhkan sakit seseorang. Oleh karena itu, KH. Ahmad Dahlan

bersama perkumpulan Muhammadiyah mendirikan balai kesehatan

masyarakat atau rumah-rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk

memberi perawatan pada masyarakat umum, bahkan yang miskin

digratiskan, juga untuk memberi penyuluhan, betapa pentingnya arti

sehat. Sedangkan, ketika menerapkan al-Qur’an surat al-Alaq ayat 1 yang

memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan mendirikan

lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, buta huruf diberantas.

e. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran yang ditawarkan KH. Ahmad Dahlan lebih

berpusat pada nilai (value centered), yakni tidak hanya didominasi atau

terpusat pada guru dan tidak pula oleh peserta didik, karena kalau hanya

terpusat pada guru memperlihatkan posisi guru sebagai pemegang

kedaulatan absolut.

Oleh karena itu interaksi keduanya sebagai hubungan antar pribadi

yang saling mengakui kedaulatan kedua belah pihak sebagai pelaku

perubahan yang sama-sama aktif, sehingga memungkinkan untuk

merealisasikan keaktifan dan kedaulatannya masing-masing yang saling

menghargai dan menjujung tinggi etika, bahwa yang tua hendaklah

dihormati dan yang muda hendaklah disayangi.

Dengan demikian maka kegiatan belajarnya lebih mengarah pada

proses belajar aktif, yang diharapkan timbul dari kerelaan dan kesadaran

peserta didik sebagai perwujudan keaktifan dan kedaulatan yang

79

dimilikinya. Dalam konteks inilah, kewibawaan guru sebagai pendidik

Muslim yang memancar dari segenap kompetensi kepribadiannya sebagai

imamah dan teladan keutamaan yang pantas dihormati dan dihargai

merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan suasana belajar yang

aktif, disamping adanya kemampuan professional dalam menjalankan

tugas profesinya sebagai seorang pendidik muslim.

f. Integralistik Pendidikan

Amir Hamzah Wirjosukarto, dalam bukunya yang berjudul

“Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam” memaparkan mengenai

pribadi K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pencari kebenaran hakiki

yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Mana>r sehingga

meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka

lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan

ijtihad dan menolak taqlid.

Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua,

pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal

ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di

pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan

agama saja. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model

penyelenggaraan, krakter dan produk alumni model ala Barat di pihak

lain, seperti dijelaskan di atas mendorong KH. Ahmad Dahlan

mendirikan Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah KH. Ahmad

Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua

80

karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang saat itu,

mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian,

umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni

pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.

Pendidikan sejatinya merepresentasikan cita-cita luhur yang hidup

dan berkembang dalam satu kelompok masyarakat. Ia mengemban

amanat sosial yang untuk menghasilkan manusia idaman sesuai dengan

nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat tempat pendidikan itu

berlangsung.34 Disitulah letak relevansi pernyataan pemikiran

humanistik-idealistik Emmanuel Kant yang menyatakan bahwa hakekat

pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia.35 Itu

menunjukkan bahwa hakekat pendidikan sebenarnya terletak pada upaya

penanaman nilai-nilai akhlak yang diimplementasikan dalam pengabdian

dan kepemimpinan.

3. Pendidikan Kemuhammadiyahan

Secara umun visi pendidikan Muhammadiyah harus diarahkan untuk

mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan. Dalam Anggaran Dasar

dikatakan maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan

menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya. Bukan hanya pendidikan, seluruh amal usaha juga

diorientasikan untuk mencapai tujuan tersebut.36

34 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek, 299. 35 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek, 300. 36 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan, 26.

81

Maksud dan tujuan pendidikan kemuhammadiyahan ada dua macam

yaitu: tujuan khusus dan tujuan umum. Yang termasuk tujuan khusus

adalah:

a. Agar anak didik mengenali Muhammadiyah dengan baik

b. Sesuai dengan pepatah “tak kenal maka tak sayang”, maka setelah anak

didik mengenali Muhammadiyah, diharapkan akan tumbuh rasa memiliki

dan rasa tanggungjawab untuk meneruskan perjuangan Muhammadiyah.

Rasa memiliki ini akan menjadi motivasi yang baik sehingga anak didik

tahu kewajibannya sebagai kader. Jadi pendidikan kemuhammadiyahan

bukan sekedar ilmu untuk ilmu, yang hanya diketahui kemudian

dilupakan setelah lulus sekolah.

Adapun yang termasuk tujuan umum adalah:

a. Memberi bekan untuk anak didik agar siap mengenalkan dan

memperjuangkan Islam kepada lingkungannya dalam bingkai

kebersamaan (organisasi).

b. Menumbuhkan jiwa tajdid, sehingga anak didik bersemangat untuk

mengkaji Islam dari sumber utama yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dan

bukan menurut kata orang yang berakibat sikap ikut-ikutan (taqlid). Dari

pemahaman yang murni ini, akan diikuti dengan semangat beramal yang

nyata bagi sesama.37

KH. Ahmad Dahlan membagi pendidikan menjadi dua kelompok.

Yaitu: Kelompok pertama, pada masa awal adalah sekolah-sekolah umum

37 Tim Penulis, KEMUHAMMADIYAHAN untuk SMP/MTS kelas VII, (Surabaya: Majlis Dikdasmen PWM Jatim, 2007), 33.

82

dan kejuruan seperti; Volkschool, Standardschool, Hollands Inlands School

(HIS), Schakelsschool, MULO, Hollands Inlands Kweeksschool (HIK).

Yang pada umumnya mengadopsi kurikulum pemerintahan Belanda

(Sekolah-sekolah gubernemen). Sementara Kelompok kedua adalah sekolah-

sekolah keagamaan, seperti madrasah-madrasah; Diniyah Ibtidaiyah,

Wushta, Mu’allimin, Muballighin, Zu’ama38

KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya mendirikan sekolah

di Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915), dan Pasargede (1916). Di

samping itu pada tahun 1920 Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah di pindah ke

Suronatan karena gedung yang lama tidak lagi cukup untuk menampung

siswa yang jumlahnya terus bertambah. Meningkatnya jumlah siswa yang

belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah menuntut adanya sekolah guru.

Pada tahun 1918, Muhammadiyah membantu sebuah madrasah yang disebut

Qismul al Arqa di rumah KH. Ahmad Dahlan. Lulusan dari sekolah ini

diharapkan mampu mengajarkan agama di sekoah-sekolah pemerintah atau

sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada tahu 1920 madrasah ini berubah

menjadi Pondok Muhammadiyah. Perkembangan sekolah Muhammadiyah

mengalami ”booming” setelah tahun 1921. Pada tahun itu, pemerintah

mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pendirian-pendirian cabang-

cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Mengikuti diberlakukannya

peraturan itu, Muhammadiyah melakukan restrukturisasi organisasi, di mana

urusan-urusan sekolah yang sebelumnya di tangani langsung oleh

38 Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah, 182.

83

KH. Ahmad Dahlan, kemudian ditangan oleh bagian sekolah. Sebagai

dampak positif dari adanya lembaga ini, sekolah-sekolah baru terus

dibangun. Pada tahun 1922 Muhammadiyah membangun HIS Met de

Qur’an, yang tingkatnya setara dengan HIS Pemerintah, tetapi mengajarkan

pendidikan agama.39

Menurut Muhammad Yunus, banyak lembaga pendidikan yang

didirikan oleh Muhammadiyah, seperti Kweekschool Muhammadiyah

(Yogyakarta), Mua’llimin Muhammdiyah (Solo dan Jakarta), Mu’allimat

Muhammadiyah (Yogyakarta), Zu’ama/Za’imat (Yogyakarta), Kulliyah

Muballighin/Muballighat (Padang Panjang), Tablighschool (Yogyakarta),

dan berbagai sekolah model Belanda seperti HIK Muhammadiyah, HIS

Muhammadiyah Mulo Muhammmadiyah dan madrasah Muhammadiyah,

baik tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Wustha, yang semuanya

didirikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Adapaun pada masa kemerdekaan lembaga pendidikan

Muhammadiyah dibagi dalam dua katagori, yaitu sekolah agama dan

sekolah umum. Sekolah agama Muhammadiyah meliputi Madrasah

Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah

Mu’allimin dan Madrasah pendidikan guru Agama. Sedangkan sekolah

umum Muhammadiyah, mencangkup sekolah rakyat, SMP, SMA, TK,

SGB, SGA, sekolah kepanduan putri, SMEP dan SMEA, SGTK, SG

kepanduan putri, SG pendidikan Jasmanai, Sekolah pendidikan

39 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan, 105- 106.

84

Kemasyarakatan, Sekolah putri ‘Aisyiyah, fakultas hukum, filsafat dan

perguruan tinggi pendidikan guru. Didalam sekolah-sekolah umum ini,

mulai dari tingkat rendah sampai sekolah tinggi, pemberian pelajaran

agama merupakan suatu kewajiban.40

Semboyan pendidikan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan

“jadilah guru sekaligus murid” ternyata mampu menggerakkan pengikut

Muhamadiyah.41 Sehingga gerakan ini menyebar meluas sampai keseluruh

lapisan masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, bahkan sudah merambah ke

berbagai negara secara internasional. Tanpa mengurangi pemikiran

intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran KH. Ahmad Dahlan

tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan

pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat

tantangan dari masyarakat pada waktu itu, terutama dari lingkungan

pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi KH. Ahmad Dahlan,

tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang

perlu dihadapi secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaruan terus

mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang

semakinkompleks.

Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting

dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini

disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis

untuk menyelamatkan bangsa dan mencerdaskan umat. Dalam konteks ini, 40 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), 269-217. 41 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial, 28.

85

setidaknya pembaruan pendidikan Islam dalam pemikiran KH. Ahmad

Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan

inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan

yang lebih proporsional. Sehingga Islam sesuai dengan tujuan dasarnya

adalah Rahmatal lil’a>lami>n.

C. Memaknai Pembaruan KH. Ahmad Dahlan

1. Denotasi pembaruan

Tajdi>d bermakna pembaruan. Kata “Tajdi>d” berasal dari bentukan

kata jadda-yaji>du jiddan/jiddata>n artinya sesuatu yang ternama, yang besar,

nasib baik dan baru.42 Makna Tajdi>d dari segi bahasa berarti pembaruan.

Dan dari segi istilah Tajdi>d memiliki dua arti, yakni (a) pemurnian, dan (b)

peningkatan, pengembangan, modernisasi.43 Pemahaman Pengertian dasar

istilah ini adalah memperbarui pemahaman terhadap teks agama.44 Hal itu

dilakukan karena pemahaman yang ada keluar dari teks yang sebenarnya

dari ajaran Islam.

Pembaruan (reformasi) atau Tajdi>d dalam istilah agama, mempunyai

dua pengertian yaitu tajdi>d pemurnian yang dapat disebut purifikasi

(purification) dan tajdi>d yang bermakna modernisasi, dinamisasi atau

reformasi. Tajdi>d dalam makna pemurnian adalah memurnikan pemahaman

dan pengamalan ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. 42 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 287. 43 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Idealis (Jakarta: LPPI, 2003), 162. 44 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam, 82.

86

Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang aqidah, ibadah

mahdhoh, dan akhlak.45 Sementara tajdi>d dalam makna modernisasi atau

dinamisasi adalah pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan

kemanjuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.

Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah mu’amalah.46

Bagi Steenbrink ada empat faktor yang mendorong gerakan

pembaruan Islam di Indonesia awal abad ke-20, yaitu: 1) Faktor keinginan

untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadith. 2) Faktor semangat

nasionalisme untuk melawan penjajah. 3) Faktor basis gerakan sosial,

ekonomi, budaya dan politik. 4) Faktor pembaruan pendidikan Islam di

Indonesia.47 Empat faktor inilah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam

melakukan gerakan pembaruan Islam di Indonesia melalui gerakannya.

Sebagai konsekwensi dari keinginan untuk menumbuhkan spirit

tajdi>d, Muhammadiyah menekankan pentingnya pembaruan (tajdi>d). 48 Hal-

hal yang terkait dengan aqidah tidak boleh diijtihadkan, apalagi

dirasionalkan. karena wilayah itu termasuk dalam kategori pemurnian

(purifikasi). Maka memaknai pembaruan dalam purifikasi adalah

memurnikan dan membersihkan dari bercampurnya ajaran Islam dengan

agama lain, yakni kembali pada kemurniannya yang sesuai dengan al-

Qur’an dan Sunnah. Sedangkan memaknai pembaruan dalam modernisasi

atau dinamisasi adalah pengembangan ajaran Islam sejalan dengan 45 Haedar Nasir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Prees, 2006), 46 Muh. Kolid AS, Pendidikan Kemuhammadiyahan, 12-13. 47 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma, 90. 48 Tim Penulis, Materi Kuliyah Pendidikan Kemuhammadiyahan (Sidoarjo: Umsidapress, 2011), 29

87

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial

masyarakat.

2. Pembaruan KH. Ahmad Dahlan dalam Pandangan

Langkah pembaruan yang dipelopori Kiai Dahlan menurut A. Mukti

Ali kendati cenderung pada amaliah, tetapi terdapat domain pembaruan

yang sangat sepesifik yang tidak dimiliki oleh pembaru-pembaru dalam

dunia Islam sebelumnya ialah gerakan pembaruannya dalam menampilkan

amalan-amalan sosial-kemasyarakatan dalam format kelembagaan (sekolah,

rumah sakit, panti asuhan, dll), termasuk dalam melahirkan gerakan

perempuan keruang publik.49 Langkah ini merupakan langkah KH. Ahmad

Dahlan yang strategis dalam mengaktualisasikan pemikiarannya dalam amal

yang nyata, yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia.

Muh. Nurhakim memaknai tajdi>d adalah mengembalikan

pemahaman-pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada

paham serta ajaran Islam yang benar sebagaimana yang ada pada masa

Rasulullah dan sahabatnya.50 Konsep ini sangat menekankan upaya kembali

kepada masa lampau, yakni masa Rasulullah secara totalitas. Sebagaimana

yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pembaruannya.

Syamsul Anwar memaknai tajdi>d sebagai ikhtiar menemukan kembali

substansi agama untuk pemaknaan baru dalam pengungkapannya yang suatu

49 A. Mukti Ali, “Amalan Kiai Ahmad Dahlan” dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 349. 50 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam, 83.

88

konteks baru yang berubah, baik melalui purifikasi maupun dinamisasi.51

Menemukan substansi agama dalam hal ini adalah matan atau nilai-nilai

yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sahihah yag betul-betul sesuai

dengan harapan dan cita-cita KH. Ahmad Dahlan.

Azumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau pembaruan

merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan

perkembangan sosial yang tejadi.52 waktu itu yang dilakukan KH. Ahmad

Dahlan adalah mengaktualisasikan ajaran Islam yang difahaminya yang

diamalkan dengan kondisi realitas sosial masyarakat setempat.

Harun Nasution berpendapat bahwa pembaruan mengandung arti

pikiran, aliran gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-

istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan

suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi (PITEK) modern.53 Maka pembaruan yang dilakukan oleh KH.

Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan ilmu bahasa Arab, Inggris dan

Belanda serta teknologi waktu itu seperti, bangku untuk belajar, peta untuk

memetak arah kiblat merupakan terobosan yang berani untuk mendongkrak

dan mengaktualisasikan ajaran Islam.

Asymuni Abdurrahman memaknai tajdi>d dari segi bahasa berarti

pembaruan; dan dari segi istilah memiliki dua arti yakni (a) pemurnian, dan

(b) peningkatan, pengembangan dan modernisasi, dan yang semakna

dengannya. Dalam arti “pemurnian”, tajdi>d dimaksudkan sebagai 51 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan, 288. 52 Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: AMZAH, 2012), 138. 53 Ibid., 138.

89

memelihara matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber pada al-

Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah. Dalam arti “peningkatan,

pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdi>d

dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam

dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah al-

Shahihah.54 Dalam melakukan pengertian tajdi>d tersebut diperlukan

aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri. Dan tujuannya adalah

mengfungikan Islam sebagai furqon, hudan, dan rahmatal lil-‘alami>n.

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, Kiai Dahlan adalah sosok

pencari kebenaran yang hakiki, yang sacara cerdas mampu menangkap

makna tersirat tafsir Al-Mana>r dalam langkah tajdidnya.55 Beberapa prinsip

penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir Al-Mana>r dapat

dijelaskan sebagai berikut: Pertama, penggunaan akal secara luas dalam

menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang

tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang

tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana

diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal,

tetapi tidak bertentangan dengan akal. Kedua, dikalangan ulama Tafsir,

Muhammad Rasyid Ridha dikenal sebagai face maker (peletak dasar)

penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya

kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan

keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan

54 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan, 295. 55 Haedar Nasir, Meneguhkan Ideologi., xxviii.

90

pembangunan.56 Pengkajian dan penafsiran KH. Ahmad Dahlan terhadap

Al-Mana>r inilah, yang mengaitkannya dengan fenomena kondisi sosial

masyarakat yang kala itu terhimpit dalam kemiskinan dan keterbelakangan

untuk selangkah lebih maju.

Sifat tajdi>d yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah disamping

berupaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel

pada tubuhnya, juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai

pembaruan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan

masyarakat, semacam pemyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim,

cara pengelolaan rumah sakit serta pelaksanaan shalat Ied.57

Muhammadiyah memandang bahwa reformasi sebagai proses tajdi>d,

Islah, atau pembaruan untuk menuju sesuatu yang lebih baik merupakan

sunatullah dan sekaligus aktualisasi dari misi dakwah Islam.58 Karena itulah

reformasi haruslah merupakan gerakan yang membawa nilai-nilai luhur

yang benar, damai, adil, bermoral, dan berupa kerja yang sistematik yang

dapat dipertanggungjawabkan kepada mahkamah sejarah bangsa dan Allah

SWT. Oleh karenanya, Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan

keagamaan yang berjuang melakukan gerakan pemurnian (purification,

tandhif), dan pembaruan (reformation, tajdi>d) terhadap praktek-praktek

keagamaan.59 Karena itulah Muhammadiyah telah mengambil sikap untuk

tidak bermazhab dalam bidang teologi, fiqih dan tasawuf. Karena itu yang 56 Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 260. 57 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan, 163. 58 M. Amin Rais, dkk., Muhammadiyah dan Rerormasi (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 59. 59 Muslimin Abdurrahman, Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural (Jakarta: Ideo Press, 2003), 48.

91

dilakukan agar Muhammadiyah bisa memahami Islam dari sumber yang

aslinya yaitu al-Qur’an dan hadith, salah satunya dalam pendidikan Islam.

Slogan kembali kepada al-Qur’an bukan berarti kembali kepada

tekstualisme Islam secara murni, tetapi melakukan penafsiran secara

kontekstual serta memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global.

Hal ini dapat dilakuka oleh Muhammadiyah dengan melakukan ijtihad dan

tajdi>d.60 Maka pembaruan yang ada pada pendidikan Islam termasuk

pembaruan modernisasi, yang mengupayakan adanya perubahan konsep,

sistem, menejemen, dan pengelolaan pendidikan yang proporsional dan

profesional. Para pembaru sesuai tingkat kebutuhan peserta didik yang

menekankan kwalitas dan terwjudnya akhlak mulia, tentunya sesuai dengan

nilai-nilai ajaran Islam.

Dalam beberapa hal diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa Dahlan

didalam melakukan pembaruan Islam melalui Muhammadiyahnya

dilakukan dengan empat cara. Pertama, Dahlan selalu menekankan

perlunyan dimensi ajaran kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan

dimensi ijtihad dan tajdi>d sosial keagamaan. Kedua, dengan

mengaktualisasikan cita-cita pembaruannya Dahlan menempuh sistem

organisasi. Ketiga, pemikiran Dahlan dengan Muhammadiyahnya bercorak

antikemapanan kelembagaan agama yang terlalu bersifat kaku. Keempat,

gagasan pembaruan Dahlan dengan Muhammadiyahnya selalu bersifat

responsif dan adaptif didalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan

60 Ali Usman (ed), Menegakkan Pluralisme (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2008), 147.

92

keempat metode ini, Islam Muhammadiyah di era Dahlan merupakan “Islam

sejati”, demikian penilaian yang dikemukakan Mulkhan.61 Penyematan

Islam sejati inilah pantas dan tepat yang diungkapkan oleh Mulkhan pada

KH. Ahmad Dahlan terhadap gerakannya yaitu Muhammadiyah. Yang

secara totalitas segala pemikirannya dicurahkan untuk perbaikan umat dan

bangsa, dengan segala daya dan kekuatannya sebagai pengabdian kepada

Allah SWT dan tugas kekalifahannya dimuka bumi.

61 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), 43-44.