BAB III PEMBAHASAN A. Reorentasi pidana bersyarat dalam...

71
170 BAB III PEMBAHASAN A. Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan Hukum pidana merupakan hukum publik yang berlaku secara nasional, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana dan menentukan syarat- syarat pidana dapat dijatuhkan. Oleh karena itulah pembahasan mengenai hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Hukum pidana bagi kepentingan masyarakat Indonesia mengacu pada dua fungsi dalam hukum pidana, yang pertama fungsi primer atau utama dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan fungsi sekunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, disamping usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut, pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis.

Transcript of BAB III PEMBAHASAN A. Reorentasi pidana bersyarat dalam...

170

BAB III

PEMBAHASAN

A. Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan

perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan

Hukum pidana merupakan hukum publik yang berlaku secara nasional, di dalam

hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang

tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana dan menentukan syarat-

syarat pidana dapat dijatuhkan. Oleh karena itulah pembahasan mengenai hukum pidana

dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di

mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana

hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya

hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian

dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk

jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.

Hukum pidana bagi kepentingan masyarakat Indonesia mengacu pada dua fungsi

dalam hukum pidana, yang pertama fungsi primer atau utama dari hukum pidana yaitu

untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan fungsi sekunder yaitu menjaga agar penguasa

(pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai

dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk

menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal,

disamping usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut,

pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan

hukum. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana sebagaimana telah diuraikan dalam bab

sebelumnya terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis.

171

KUHP warisan kolonial ini dilatarbelakangi pada pemikiran/paham individualisme

liberalisme dan sangat dipengaruhi oleh aliran klasik dan neoklasik Terhadap teori hukum

pidana dan pemidanaan dari kepentingan kolonial Belanda di Negeri-negeri jajahannya.1

Undang-undang hukum pidana di Indonesia atau KUHP ini bukan berasal dari

pandangan/konsep nilai-nilai dasar (grounnorm) dan kenyataan sosio-politik, sosio-

ekonomi, dan sosio-budaya yang hidup di alam pikiran masyarakat/bangsa Indonesia

sendiri. Sehingga KUHP yang berlaku ini tidak akan cocok lagi dengan pemikiran

manusia indonesia dewasa ini. Hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan

melalui undang-undang hukum pidana, sehingga ketakutan akan kejahatan dapat dihindari

melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidananya. Hukum pidana dengan

ancaman sanksi pidana tidak bisa menjadi jaminan hukum atau ancaman utama terhadap

kebebasan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sanksi pidana

yang dimaksud disini untuk memulihkan situasi semula akibat dari pelanggaran hukum

yang dilakukan oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang memerlukan adanya

kepastian dan penegakan hukum.

Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berbentuk negara merupakan

suatu pertumbuhan dan perkembangan yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Adanya kriminalitas di dalam masyarakat dapat mengganggu tercapainya

tujuan negara yakni terciptanya kesejahteraan sosial dalam masyarakat indonesia. Oleh

karena itu perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula dibarengi

dengan usaha perlindungan sosial dengan hukum pidana dalam rangka penanggulangan

1 Teguh dan Aria, 2011, Hukum Pidana Horizon baru Pasca Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal. 8

172

terhadap kejahatan dengan sanksi pidana. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam

kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu :2

a. Perlu ada pendekatan integral antara kebijakan penal dan non-penal

b. Perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi

pidana

Salah satu jenis pidana yang paling sering digunakansebagai sarana untuk

menanggulangi masalah kejahatan ialah pidana penjara. Dilihat dari sejarahnya

penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum para penjahat baru dimulai

sejak abad 18, dimana pidana penjara memiliki peranan penting dan menggeser

kedudukan pidana mati dan pidana badan yang kejam.3 Namun, seiring dengan

perkembangan masyarat efektivitas dari pidana penjara mulai dipertanyan. Dalam salah

satu laporan kongres PBB kelima mengenai prefention of crime and treatment of

offenders antara lain mentakan, efektivitas pidana penjara menjadi perdebatan sengit di

kebanyakan negara, ada krisis dalam kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas dari

pidana penjara dan pengalaman penjara begitu berbahayanya, sehingga merintangi secara

serius kemampuan sipelanggar untuk kembali patuh terhadap hukum.4

Sanksi pidana penjara yang sudah mulai mengalami krisis kepercayaan dalam

masyarat terhdap pengggunaannya yang memunculkan kerugian-kerugian, sehingga

kebijakan ini harus diimbangi dengan kebijakan represif. pidana bersyarat sebagai salah

satu sanksi pidana yang muncul dari pengaruh paham individualisasi pidana ini dapat

dilihat sebagai suatu kebijakan untuk memperlunak penetapan jenis pidana penjara oleh

hakim. Pidana bersyarat disini dimaksudkan untuk mengurangi sifat kaku dari sistem

2 Barda nawawi arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, genta publishing, Yogyakarta. Hal. 34 3 Ibid 4 Ibid. Hal. 110

173

perumusan tungga yakni pidana penjara yang merupakan warisan dari aliran klasik atau

paham dari teori retributif.

Pidana bersyarat yang diharapkan mampu menguangi sifat kaku dari sistem

perumusan pidana penjara secara tunggal hingga hari ini belum banyak pengaruhnya

terhadap penerapan pidana oleh hakim. Pidana bersyarat yang ada tidak seberapa

mengurangi kekakuan dari sistem perumusan tunggal yang menyebabkan hakim tidak

mau harus menjatuhkan pidana penjara. Keadaan semacam ini dikarenakan beberapa

faktor dari pidana bersyarat itu sendiri, yaitu :5

1. Ketentuan pidana bersyarat selama ini memang bukansuatu ketentuan yang

secara khusus diperuntukkan bagi hakim dalam menghadapi sistem perumusan

pidana penjara secara tunggal.

2. Menurut sistem KUHP pidana bersyarat bukanlah jenis pidana yang berdiri

sendiri. Jadi, bukan bukan sebagai suatu jenis alternatif dari pidana penjara.

Terdakwa yang ternyata tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan umum

maupun khusus selama masa percobaan, akan tetap menjalani pidana penjara

yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan hal ini.

3. Pidana bersyarat menurut sistem KUHP hanya dapat diberikan oleh hakim

apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama satu tahun. Terhadap

mereka yang dijatuhi pidana penjara lebih dari satu tahun, tidak mungkin

dikenakan pidana bersyarat. Jadi, penggunaannya sangat terbatas dan

pembatasan inipun tampak masih dikaitkan dengan ide pembalasan.

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Jonkers sebagai berikut :

5 Ibid. Hal. 173

174

Pembatasan yang terakhir ini (maksudnya, untuk pidana penjara paling lama satu tahun) berdasarkan pendapat bahwa terhadap peristiwa yang lebih berat, yang menurut pendapat hakim harus dihukum dengan hukuman penjara yang lebih dari satu tahun karena alasan pembalasan, tidak boleh dijatuhkan hukuman yang bersyarat.

4. Pidana bersyarat yang menurut sistem KUHP yang hanya dapat diberikan

kepada orang yang dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari satu tahun, itupun

hanya bersifat fakultatif. Tidak ada ketentuan atau pedoman yang

mengharuskan hakim menjatuhkan pidana bersyarat dalam hal-hal tertentu,

misalnya terhadap anak-anak atau berdasarkan pada pertimbangan yang

berorentasi pada diri si pembuat.

5. Walaupun dalam prakteknya hakim paling banyak menjatuhkan pidana penjara

di bawah satu tahun, namun kenyataannya menunjukkan bahwa pidana

bersyarat juga jarang sekali dijatuhkan oleh hakim. sikap hati-hati dari jaksa

dan hakim dalam menuntut dan menjatuhkan pidana bersyarat ini antara lain

karena alasan praktis, yaitu kemampuan untuk mengawasi masih terbatas

berhubung dengan sarana/prasarana yang tersedia masih belum mencukupi.

Jadi faktor penyebabnya antara lain terletak pada lemahnya pengawasan dari

lembaga pidana bersyarat itu sendiri. Selain itu juga disebabkan oleh tidak

adanya ketentuan mengenai pemberian pidana bersyarat yang bersifat

imperatif seperti dikemukakan di atas.

Berdasarkan dari uraian beberapa hal di atas terkait dengan pidana bersyarat itu

sendiri. Maka dapat di tegaskan bahwa pidana bersyarat yang ada selama ini perlu

ditinjau kembali. Dalam rangka memperlunak atau mengimbangi sistem perumusan

pidana penjara yang bersifat imperatif dan absolut. Selain dengan hal-hal yang terkait

dengan pidana bersyarat itu sendiri, juga harus melihat beberapa kebijakan dalam

175

penggunaan sanksi pidana, sehingga dapat melakukan peninjauan kembali terhadap

pidana bersyarat dalam rangka pemberian pidana yang tidak semata-mata hanya senagai

pembalasan. Namun pidana yang lebih berperikemanusiaan sesuai dengan tujuan pidana

di zaman modern ini. Berikut akan di uraikan beberapa hal yang menjadi dasar perlu

adanya reorentasi terhadap pidana bersyarat untuk mengurangi sifat kaku dan stigma

negatif yang dimunculkan dengan adanya pidana penjara.

A. 1. Kritik Terhadap Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari

seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah

lembaga permasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk mentaati semua peraturan

tata tertib yang berlaku di dalam lembaga permasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu

tindakan tata tertib bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan

tersebut.6 Pidana penjara dewasa ini mulai berkembang sejak dihapuskannya pidana mati

dan pidana badan, namun perlakuan dari pidana penjara hari ini masih sering kali sifatnya

adalah tidak manusiawi. Sifat yang tidak manusiawi dari pidana penjara dan sifat-sifat

yang merugikan dewasa ini terus dicarikan solusinya dan diganti dengan tindakan-

tindakan yang bersifat lunak dan lebih manusiawi.

Dalam salah satu laporan kongres PBB kelima mengenai prevention of crime and the

treatment of offenders antara lain dinyatakan, efektifitas pidana penjara menjadi

perdebatan sengit di kebanyakan negara, ada krisis dalam kepercayaan masyarakat

terhadap efektifitas pidana penjara dan pengalaman penjara demikian berbahayanya,

sehingga merintangi secara serius kemampuan si pelanggar untuk kembali patuh terhadap

hukum. Namun demikian, eksistensi pidana penjara tetap diakui, hanya saja sebagai suatu

6 Lamintang , Logcit. hal. 54

176

masalah kebijakan publik penggunaannya harus dibatasi terhadap para pelanggar yang

perlu dinetralisir untuk kepentingan keamanan umum dan perlindungan bagi masyarakat.7

Berikut adalah kritik terhap pidana penjara. Kritik terhadap pidana penjara pada

dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu :8

1. Kritik yang moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara, namun

penggunaannya dibatasi. Kritik yang menyangkut sudut strafmodus melihat dari sudut

pelaksanaan pidana penjara. Jadi dari sudut sistem pembinaan (treatment) dan

kelembagaannya. Kritik dari sudut strafmaat melihat dari sudut lamanya pidana

penjara, khususnya ingin mengurangi atau membatasi penggunaan pidana penjara

pendek. Kritik dari sudut pandang strafsoort ditujukan pada penggunaan atau

penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana, yitu adany kecenderungan

untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan

selektif.

2. Kritik yang ekstrim menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara. Gerakan

penghapusan pidana penjara (pison abolition) ini terlihat dengan adanya International

Conference On Prison Abolition (ICOPA) yang diselenggarakan pertama kali pada

bulan mei 1983 di toronto Kanada, yang ke-2 pada tanggal 24-27 juni 1985 di

Amsterdam dan ke-3 pada tahun 1987 di Montreal Kanada. Pada konferensi yang ke-

3 inilah istilah “prison abolition” diubah menjadi “penal abolition”.

Apabila ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan pidana

perampasan kemerdekaan tersebut, Herman G. Moeller berpendapat bahwa terdapat hal-

7 Barda nawawi Arief, 2010, Log CIt. Hal. 110 8 Dwidja priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara, PT Refika Aditama, Bandung. Hal. 84

177

hal yang saling bertentangan dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang bertentangan

antara lain sebagai berikut :9

1 Bahwa tujuan dari penjara, pertama adalah menjamin pengamanan narapidana,

dan kedua adalah memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk

direhabilitasi.

2 Bahwa hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas seringkali mengakibatkan

dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi

narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidakmampuan

narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam

masyarakat.

Sehubungan dengan hal di atas, Berners dan Teeters menyatakan :

“penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-

penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat

kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan

penjahat-penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk

menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini”. 10

Efektivitas dari pidana penjara dapat pula ditinjau dari dua aspek pokok tujuan dari

pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan sipelaku.11 Aspek

perlindungan masyarakat ialah mencegah, mengurangi, atau mengendalikan tindak pidana

dan memulihkan keseimbangan masyarakat.Sedangkan perbaikan si pelaku ialah

dimaksudkan untuk antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si

pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. Jadi jika

9 Herman G. Moeller sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Hal. 77 10 Ibid, hal. 79 11 Ibid

178

dilihat dari aspek perlindungan masyarakat suatu pidana dapat dikatakan efektif apabila

pidana itu dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriterianya terletak pada

pencegahan umum dari pidana penjara dalam mencegah masyarakat pada umumnya

untuk tidak melakukan kejahatan. Sedangkan dilihat dari efektifitasnya dari aspek si

pelaku. Maka ukurannya dilihat dari pencegahan khusus dari pidana penjara dengan

melihat seberapa jauh pidana penjara mempunyai pengaruh terhadap si pelaku dengan

menggunakan indikator residivis.

Melihat berbagai kelemahan dan kritik terhadap pidana penjara, maka penggunaan

atau penetapan pidana penjara dalam perundang-undangan seharusnya seharusnya

ditempuh dengan selektif dan limitatif. Kebijakan demikian tidak berarti bahwa harus ada

penghematan dan pembatasan terhadap pidana penjara, namun juga harus ada peluang

bagi hakim untuk menerapkan pidana penjara itu secara selektif dan limitatif. Hal ini

berarti harus tersedia pula jenis-jenis pidana alternatif lain untuk mengimbangi sifat kaku

dari pidana penjara.

A. 2. Paradigma Pemidanaan yang Berperikemanusiaan

Pembahasan terkait dengan pemidanaan yang berprikemanusian dalam penulisan ini

sangat erat kaitannya dengan tujuan pemidanaan pada saat ini. Pada dasarnya tujuan

pemidanaan dewasa ini sebenarnya masih banyak terpengaruh pada pemikiran-pemikiran

beberapa abad yang lalu yaitu tentang paham pembalasan (vergeldings idee) dan paham

membuat jera (afschrikkings idee) ataupun tentang dasar pembenaran (recht vaardigings

grond). Namun tujuan pidana di zaman modern ini bukan semata-mata bertujuan sebagai

pembalasan atau pembuat jera bagi para pelaku tindak pidana, melainkan tujuan pidana

guna melindungi hak asasi manusia (HAM) maupun guna melindungi kepentingan-

kepentingan masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan.

179

Pada dasarnya tujuan pemidanaan dalam hukum pidana kita sekarang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah tersebut. Selama ini belum ada

rumusan yang jelas tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia.

Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana

atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang

dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak

dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi yang mengacu pada

perlindungan masyarakat (social defence) menuju pada kesejahteraan masyarakat. Dilihat

dari sudut politik kriminal, maka tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang

semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang

dipilih dan ditetapkan atau kurang maksimalnya sistem pemidanaan kita dalam praktek,

sehingga kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan adanya pemidanaan hanya sebagai

harapan belaka.

Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung

dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :12

a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan

sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang,

pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.

b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian

proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga

tahap (Formulasi, Aplikasi, dan Eksekusi). Agar ada keterjalinan dan

keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan,

maka dirumuskan tujuan pemidanaan.

12 Barda nawawi arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, kencana prenada media group, jakarta. Hal. 105.

180

c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian

kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan

motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama

dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas

tindak pidana yang terjadi seperti pandangan berabad-abad yang lalu atau merupakan

tujuan yang layak dari proses pidana yaitu pencegahan tingkah laku yang anti sosial

menuju pemidaan yang berperikemanusiaan. Menentukan titik temu dari dua pandangan

tersebut tidaklah muda, memerlukan adanya formulasi baru dalam sistem atau tujuan

pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia.

Perkembangan paradigma pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia hingga

hari ini pada dasarnya lebih berorentasi terhadan pelaku tindak pidana (Individualisasi

pidana). Hal itu terlihat sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perhatian terhadap kedudukan

pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin

memperoleh perhatian utama. Ide tersebut muncul karena di masa lalu berbagai kritikan

terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan dianggap banyak melanggar Hak Asasi

Manusia (HAM). Ironisnya, banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang

perlindungan pelaku kejahatan tidak diimbangi dengan porsi perlindungan yang diberikan

kepada korban kejahatan.

Beberapa aspek HAM dalam KUHAP tentang perlindungan terhad pelaku tindak

pidana sebagai berikut :

a) Pasal 17 : Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

181

b) Pasal 18 ayat (1) : Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas

kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta

memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan

identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat

perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

c) Pasal 18 ayat (3) : Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan

dilakukan.

d) Pasal 19 ayat (1) : Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat

dilakukan untuk paling lama satu hari.

e) Pasal 19 ayat (2) : Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan

penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-

turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

f) Pasal 21 ayat (1) : Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak

pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang

menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,

merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

g) Pasal 21 ayat (2) : Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik

atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat

perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas

tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat

perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.

182

h) Pasal 21 ayat (3) : Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan

atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan

kepada keluarganya.

i) Pasal 21 ayat (4) : Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka

atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun

pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335

ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,

Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran

terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931

Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi

(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor

8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48

Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun

1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Dari beberapa pasal tersebut, terlihat bahwa dalam KUHAP terdapat beberapa pasal

guna melindungi pelaku tindak pidana dari kesewenang-wenangan. Misal dalam

penjelasan pasal 17 ialah yang dimaksud dengan bukti permulaan dalam pasal 17 ialah

bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi dari pasal 1

butir 14 KUHAP pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat tidak

dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi di tujukan kepada mereka yang betul-betul

melakukan tindak pidana.

183

Dalam tahapan ini penangkapan ataupun penahanan diperlukan adanya surat yang

harus di berikan kepada pelaku, saat terjadinya penangkapan ataupun penahanan untuk

diketahui oleh pelaku yang telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal

penahananpun berlaku hanya kepada beberapa pasal saja yang ada d KUHP serta dengan

alasan-alasan yang jelas adanya penahanan tersebut, sehingga negara dengan

perangkatnya dalam hal penegakan hukum pidana formil tidak dapat sewenang-wenang

dalam memperlakukan pelaku tindak pidana. Aspek HAM dari beberapa ketentuan

tersebut sangat jelas tergambarkan.

Jadi negara melalui perangkatnya yakni kepolisian ataupu kejaksaan dalam hal

penangkapan dan penahanan harus memperhatikan aspek HAM yang di lindungi dalam

KUHAP tersebut. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar pelaku tindak pidana tetap

mendapatkan hak-haknya. Negara tidak dapat sewenang-wenang dalam hal melakukan

perlindungan terhadap warga negaranya dalam hal ini korban dan masyarakat. Dalam

melakukan perlindungan terhadap HAM pemerintak tetap harus melindungi aspek HAM

yang melekat dalam diri pelaku tersebut. Beberapa pasal di atas sejalan dengan kesepatan

internasional dalam pasal 9 ICCPR (International Covenant On Civil And Political

Rights) sebagaimana telah di ratifikasi oleh indonesia dengan undang-undang nomor 12

tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan

Politik yang berbunyi sebagai berikut :

1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun

dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat

dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai

dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan

harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan

184

terhadapnya.

3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera

dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh

hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam

jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan

umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan

dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap

tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.

4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau

penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar

pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya,

dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut

hukum.

5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak

sah, berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.

Berdasarkan aturan tersebut di atas HAM merupakan aspek kemanusiaan yang harus

di perhatikan oleh negara dalam hal apapun termasuk saat warga negaranya melakukan

kejahatan atau tindak pidana. Negara tidak dapat sewenang-wenang dalam memberikan

pidana terhadap warganya. Bahkan saat pejabat negara dengan sengaja melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dapat dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang.

Berikut bunyi pasal 9 undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman:

185

Ayat 1 : Setiap orang yang di tangkap, di tahan, di tuntut, atau di adili tanpa alasan

berdasarkan undang-undang atu karena kekeliruan mengenai orangnya atau

hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi

Ayat 2 : pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku

kejahatan haruslah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan. Mengingat bahwa korban

dalam hukum pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling

dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi

korban dan masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga

menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara

pidana. Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara

pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana

di Indonesia.

Jika kita berbicara HAM sebagai tujuan dari hukum pidana, seharusnya tidak hanya

terhadap pelaku kejahatan, sebagaimana disebutkan diatas. Namun HAM juga meliputi

upaya perlindungan terhadap korban kejahatan. jadi berdasarkan pemaparan diatas dan

dalam bab sebelumnya, terkait dengan tujuan pemidanaan penulis berpendapat bahwa

tujuan pemidanaan pada dewasa ini tidak semata-mata sebagai pembalasan atau pembuat

jera bagi para pelaku tindak pidana sebagaimana pemikiran-pemikiran terdahulu,

melainkan tujuan pidana guna melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi pelaku

kejahatan atau korban kejahatan maupun guna melindungi kepentingan-kepentingan atau

perlindungan bagi masyarakat (social defence) untuk memenuhi rasa keadilan dalam

masyarakat.

186

Mengingat bahwa dalam hukum pidana di Indonesia saat ini belum menentukan

secara jelas tentang tujuan pemidanaan. Pemidanaan di indonesia hingga hari inipun

masih terpengaruh dengan aliran-aliran terdahulu yang menganggap bahwa pidana

sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak pidana. Oleh karena itu penulis coba

mengerucutkan pembahasan tentang tujuan pemidanaan yang berperikemanusiaan dalam

penulisan ini sebagaimana telah diuraikan dalam BAB II penulisan ini. Dengan demikian

tujuan pemidanaan yang berperikemanusiaan adalah sebagai perlindungan bagi masyarat

(social defence), perlindungan bagi hak asasi manusia (HAM) serta memelihara

solidaritas dalam masyarakat untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dengan

memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana yang

terjadi. Jadi, pemidanaan yang berperikemanusiaan menurut penulis sebagaimana

dimaksud diatas adalah : 1) perlindungan bagi masyarakat (social defence); 2)

perlindungan bagi HAM (hak asasi manusia); 4) memelihara solidaritas masyarakat.

A. 3 Relevansi Pidana Bersyarat Terhadap Pemidanaan Yang

Berperikemanusiaan

1. Perlindungan bagi masyarakat

Salah satu dari tujuan utama pemidanaan yang berperikemanusiaan ialah sebagai

perlindungan bagi masyarakat. Sebagai tujuan dari pemidanaan usaha melakukan

perlindungan terhadap masyarakat mempunyai dimensi yang begitu luas, karena secara

fundamental itu merupakan tujuan dari semua pemidanaan. Perlindungan bagi masyarakat

ini tergambarkan misalnya dalam pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan

dengan dipidananya pelaku tindak pidana agar masyarakat terlindungi dari bahaya

pengulangan tindak pidana.

187

Upaya perlindungan terhadap masyarat inipun sama halnya dengan upaya

pencegahan terhadap adanya tindak pidana dalam masyarakat. Upaya pencegahan ini

bersifat ganda yakni sebagai pencegahan individual maupun sebagai pencegahan yang

bersifat umum. Tujuan pemidanaan ini dimaksudkan agar dapat mencegah atau

menghalangi terjadinya tindak pidana dalam masyarakat sebagai upaya melakukan

perlindungan terhadap masyarakat.

Pecegahan bersifat individual disini maksudnya ialah dengan adanya pidana

dimaksudkan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya dikemudian hari,

dengan pidana pelaku kejahatan mampu menyadari tindakannya dan patuh akan hukum.

Pidana disini dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki. Bersifat umum maksudnya

ialah pidana itu dapat menghindarkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan pidana

dikemudian hari dan juga mampu menghindari dari orang-orang yang sudah mempunyai

niat atau yang akan melakukan pidana dikemudian hari tidak terjadi.

Demikian pula dalam laporan simposium pembaharuan hukum pidana nasional

tahun 1980 oleh BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) departemen kehakiman,

dalam salah satu laporannya menyatakan :13 Sesuai dengan politik hukum pidana maka

tujuan pemidanaan harus di arahkan kepada upaya perlindungan masyarakat dari

kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, negara, korban, serta pelaku. Atas

dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur kemanusiaan dalam arti

bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

Penekanan pada sifat pidana yang berperikemanusiaan, yaitu harus menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia juga merupakan hal yang di tonjolkan dalam salah

13 Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta. Hal. 83

188

satu kesimpulan kongres PBB kelima tahun 1975 mengenai Prevention Of Crime And The

Treatment Of Offenders penekanan tersebut lebih terlihat lagi dengan di terimanya oleh

kongres PBB kelima itu deklarasi mengenai “perlindungan semua orang terhadap

penyiksaan dan tindakan atau pidana lainnya yang kejam, tidak manusiawa, dan

merendahkan martabat manusia” ditegaskan dalam artikel 2 deklarasi insetiap tindakan

penyiksaan atau tindakan perlakuan atau pidana lainnya yang kejam tidak manusiawi dan

merendahkan martabat manusia merupakan suatu penolakan terhadap prinsip-prinsip dari

piagam PBB dan akan di kutuk sebagai suatu pelanggaran HAM dan kebebasan-

kebebasan fundamental dalam Deklarasi hak-hak asasi manusia.14

Pengaruh dari pidana bersyarat terhadap pemidanaan yang berperikemanusiaan

sebagai perlindungan bagi masyarakat terlihat dari tujuan pidana bersyarat yakni

menghindarkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana

bersyarat memungkinkan bagi siterpidana untuk tidak menjalankan pidananya di dalam

lembaga permasyarakatan. Sehingga pelaku tindak pidana dapat dapat memperbaiki

dirinya di dalam masyarakat dan kembali bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal ini merupakan cerminan dari aliran defense social nouvlle yang mengutamakan

pengakuan, penggunaan, dan pengembangan atas rasa tanggung jawab yang merupakan

bagian penting dari setiap manusia, termasuk pelaku tindak pidana.15

2. Perlindungan Bagi Hak Asasi Manusia

Perlindungan bagi HAM dalam hukum pidana pad dasarnya harus di tegakkan tidak

hanya terhadap pelaku tindak pidana, juga terhadap korban dan masyarakat sebagaimana

telah di uraikan sebelumnya. Selain itu negara dalam melakukan kewajibannya

melindungi HAM terhadap warga negaranya tidak boleh ada pembedaan Semua warga

14 Ibid. Hal. 86 15 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, alumni, bandung, hal. 89

189

negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Negara dalam memberikan

perlindungan HAM bagi warga negaranya pada dasarnya dalam aspek hukum pidana

meliputi kemerdekaan dan kebebasan seseoang dalam bergerak. Perlindungan terhadap

HAM inipun agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dari negara dalam proses

penyelesaian hukum pidana.

Pada dasarnya upaya terhadap perlindungan HAM muncul dari teori individualisasi

pidana, dimana muncul aliran ini karena tindakan kesewenang-wenangan dimasa lalu dari

pemerintah pada waktu itu terhadap pelaku tindak pidana. Aliran ini tidak jauh berbeda

dengan paham bahwa pidana itu merupakan balasan bagi pelaku tindak pidana. Sehingga

hak asasi manusia disini kurang mendapat perhatian, karena pelaku tindak pidana

dianggap pantas menerima pembalasan dan penderitaan akibat dari tindakannya tersebut.

Namun seiring dengan perkembangan pengaturan dan perlindungan terhadap HAM dalam

hukum pidana sebagaimana telah di sampaikan sebelumnya negara melalui alat

kelengkapannya tidak lagi dapt memperlakukan pelaku atau korban dengan sewenang-

wenang.

Perlindungan HAM dalam hukum pidana ini demi terwujudnya pemidanaan yang

berperikemanusiaan. Karena hak asasi manusia menjadi tanggung jawab dari negara

untuk melindunginya dan HAM merupakan bagian yang sangat penting di dalam hukum

pidana agara seseorang tidak akan terpaksa memilih jalan main hakim sendiri saat merasa

hak-haknya dirampas oleh orang lain. Pada dasarnya perlindungan terhadap HAM dalam

hukum pidana untuk melindungi kepentingan HAM yang lebih luas yang ada dalam

masyarakat untuk menjaga keseimbangan yang terjadi di masyarakat. Aspek kemanusiaan

lainnya yang sangat mendasar dilihat dari sudut hukum pidana ialah :16 a) seseorang harus

dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; 16 Barda nawawi arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, kencana prenada media group, semarang. Hal. 69

190

b) seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan. Sebagaimana asas dalam

hukum pidana nulla poena sine culpa.

Dari uraian tersebut diata bahwa aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia

dalam hukum pidana pada hakekatnya merupan kepentingan hukum yang sepatutnya

mendapat perlindungan dari hukum pidana itu sendiri. Tidak hanya dalam hukum pidana

di indonesia yang memberikan jaminan terhadap perlindungan HAM, di dalam UUD

1945 tertuang dalam pembukaan terkait dengan hak atas kemerdekaan, berkehidupan

yang bebas, berkebangsaan, bermusyawarah/berperwakilan, berperikemanusiaan,

berkeadilan, dan berkeyakinan ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari uraian perlindungan HAM yang menjadi tujuan dari pidana. Berikut merupakan

uraian terkait dengan pidana bersyarat dalam hubungannya dengan HAM yang menjadi

tujuan dari hukum pidana. Pidana bersyarat pada awal kemunculannya dimaksudkan

untuk mengurangi sifat kaku dari adanya pidana penjara. Pidana bersyarat juga

dimaksudkan untuk menghindari stigma negatif bagi pelaku tindak pidana dengan pidana

penjara. Hal ini dimaksudkan dalam pidana bersyarat sangat melindungi hak asasi

manusia, karena tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya sebagai pembalasan, namun

pidana disini dimaksudkan untuk melindungi HAM bagi tindak pidana-tindak pidana

tertentu sehingga pidana penjara dalam jangka waktu pendek berusaha untuk dihindari.

Dalam Pasal 14a (1) yang berbunyi Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama

satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam

putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika

dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana

melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah

tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi

syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

191

Pasal 14c (1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan

pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan

tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana ,

hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih

pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian

yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Ayat (2) Apabila hakim menjatuhkan pidana

penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran

berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat

khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa

percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. Ayat (3) Syarat-syarat tersebut di

atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik

terpidana.

Pasal-pasal tersebut sejalan dengan beberapa pasal dalam Kovenan Internasiona

tentang Hak Sipil dan Politik dan juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) sebagaimana berikut :

a) Pasal 10 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik

1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi

dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.

2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan

dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan

statusnya sebagai orang yang belum dipidana;

3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat

mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.

192

4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan

rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus

dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum

mereka.

b) Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini

mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya

sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan

kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk

menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

c) Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak

manusiawi atau merendahkan martabat.

d) Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

1. Setiap orang mempunyai kewajiban kepada masyarakat tempat satu-satunya di

mana ia dimungkinkan untuk mengembangkan pribadinya secara bebas dan penuh.

2. Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada

batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin

pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan

193

memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan

umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.

Dalam ketentuan Pasal 14 a dimana hakim dapat menerapkan ketentuan pidana

bersyarat terhadap terpidana yang di jatuhi pidana penjara maksimal 1 tahun. Ketentuan

tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya pidana penjara dalam jangka waktu

pendek untuk menghindari dampak negatif dari pidana penjara. Dalam hal perlindungan

terhadap HAM sebagai tujuan dari pemidanaan yang berperikemanusiaan ketentuan

tersebut sejalan dengan perlindungan HAM yang terdapat dalam pasal Pasal 10 Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik bahwa Setiap orang yang dirampas

kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat

yang melekat pada diri manusia.

Pidana bersyarat ini memungkinkan terpidana untuk tidak menjalankan pidana

penjara, namun di kembalikan ke masyarakat sebagaimana dalam pasal 14 c. Dalam 14 d

hakim dapat menunjuk lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di

Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ,

atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana

dalam memenuhi syarat-syarat khusus. Ketentuan tersebut sejalan dengan pasal 29

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun dalam pasal 10 ayat 4 Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Jadi beberapa pasal yang mengatur tentang pidana bersyarat dalam KUHP kaitannya

dengan tujuan pemidanaan yang berperikemanusiaan yang salah satunya merupakan

perlunya perlindungan terhadap HAM. Pidana bersyarat sudah mencerminkan

perlindungan terhadap HAM dari beberapa pasalnya yang di uraikan di atas dimana

dalam beberapa pasal tersebut sejalan dengan perlindungan HAM yang terdapat dalam

ketentuan pasal DUHAM ataupun Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.

194

3. Memelihara solidaritas sosial

Tujuan pemidanan untuk memelihara solidarita sosial dalam ini mengandung

beberapa pengertian. Pertama dikaitkan dengan pengertian, bahwa pemidanaan bertujuan

untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan,

atau balas dendam yang tidak resmi (private revenge or unofficial retaliation).17

Pengertian solidaritas ini sering dibicarakan pula dalam kaitannya dengan masalah

kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara, misal dalah hal tindak

pidana kekerasan. Singkatnya disini solidaritas terhadap orang yang menjadi korban

kejahatan.18

Menjaga solidaritas yang dimaksud dalam tujuan pidana disini juga untuk mencegah

dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat. Pidana disini tidak dimaksudkan hanya semata-mata demi untuk pembalasan,

namun pidana disini juga untuk memasyarakatkan pelaku tindak pidana dengan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Menyelesaikan konflik

pidana yang terjadi di masyarakat akibat dari adanya tindak pidana dengan memulihkan

keseimbangan dalam masyarakat dan mendatangkan rasa damai di dalam masyarakat

dalam rangka menjaga solidaritas yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Pidana bersyarat yang sudah diatur dalam KUHP Indonesia setidaknya telah

mencerminkan tujuan pemidanaan sebagaimana dimaksud disinji yaitu menjaga solidarita

masyarakat. Pidana bersyarat memungkinkan untuk menjalani hukumannya didalam

masyarakat, agar siterpidana dapat kembali hidup bermasyarakat. Terpidana disini

memungkinkan untuk memperbaiki konflik yang terjadi akibat dari adanya tindak pidana

dengan kembali kemasyarakat untuk menyadarkan akan perbuatan yang telah

17 Muladi, Log Cit. hal. 84 18 Ibid

195

dilakukannya tersebut. Terpidana tidak harus menjalani hukumannya didalam lembaga

permasyarakatan yang akan menimbulkan stigma negatif terhadap siterpidana itu sendiri.

Pidana bersyarat disini juga mampu mengakomodir kerugian korban yang

dideritanya akibat dari adanya tindak pidana. Sehingga korban dapat kompensasi yang

sesuai dengan kerugian yang telah dideritanya akibat dari adanya tindak pidana tersebut

sehingga kembali seperti semula sebelum adanya tindak pidana yang dilakukan. Dengan

mengakomodir kepentingan korban dalam pidana bersyarat ini sebagai langkah untuk

menyadarkan pelaku untuk tidak berbuat tindak pidana lain dikemudian hari. Karena

akibat dari tindakannya tersebut dapat dirasakan langsung oleh pelaku tindak pidana

bahwa akibatnya telah merugikan orang lain.

Dalam hal menjaga solidaritas tersebut pelaku tindak pidana akan bisa kembali

kemasyarakat dan tidak akan mengulangi lagi perbuatan pidananya dikemudian hari.

Pelaku pidana disini disadarkan atas tindakannya tersebut yang telah merugikan orang

lain denbgan cara mengembalikannya ke masyarakat. Masyarakatpun disini tidak akan

terjadi pembalasan kepada pelaku, karena pelaku telah bertanggung jawab akan

tindakannya tersebut dengan cara memperbaiki langsung dengan kembali kemasyarakat.

B. Pidana bersyarat dan relevansinya dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan

restoratif (restorative justice) dalam perkembangan paradigma pemidanaan

yang berperikemanusiaan

B. 1. Konsep Keadilan Restoratif

196

Awal mula lahirnya konsep keadilan restoratif tidak ada kesepahaman antara para

pakar pidana. Ada pakar yang menyatakan lahirnya konsep keadilan restoratif sama

tuanya dengan hukum pidana itu sendiri, ada yang menganggap lahir dari hukum adat,

ada pula yang beranggapan lahirnya keadilan restoratif dari negara yang menganut

common law sistem. Lahirnya konsep keadilan restoratif dikarenakan banyak negara di

dunia, mengalami ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal telah

memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di

negara tersebut. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada

sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia serta transparansi terhadap kepentingan umum

yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah cara baru berpikir tentang bagaimana kita

harus melihat dan menanggapi kejahatan telah muncul dan mulai membuat terobosan

yang signifikan terhadap kebijakan peradilan pidana dan praktek melalui ide tentang

keadilan restoratif. Keadilan restoratif berkisar pada ide bahwa pada dasarnya kejahatan

adalah pelanggaran atas seseorang oleh orang lain, dalam menanggapi kejahatan ide ini

menitik beratkan pada proses penyelesaian dengan melibatkan semua pihak yang terlibat

antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari

berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam

menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah

digariskannya menilai bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang

dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan

pandangan G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a

197

rational total of the responses to crime). Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu

paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana

yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang

ada saat ini.

Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan

sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat

dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem

peradilan pidana yang ada pada saat ini. Disisi lain, keadilan restoratif juga merupakan

suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak

pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan

keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami

dan menangani suatu tindak pidana.

Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama

seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan

masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan

restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara,

sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan

menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu

tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan

masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat

dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan

keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.

Dalam Pasal 9 Konvensi PBB tentang Restorative Justice telah diupayakan

diterapkan di sejumlah negara di dunia, seperti di Inggris, Austria, Finlandia, Jerman, AS,

Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika, dan Kolombia. Pada umumnya

198

prinsip dasar restorative justice yang lewat mediasi menentukan beberapa prasyarat

terjadinya restorative justice, misalnya kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan

seksual, seperti korban kejahatan harus menyetujui, kekerasan harus dihentikan, pelaku

kejahatan harus mengambil tanggung jawab, hanya pelaku kejahatan yang harus

dipersalahkan bukan pada korban, proses mediasi hanya dapat berlangsung dengan

persetujuan korban.

Dari prasyarat mediasi penal tersebut terlihat bahwa martabat kemanusiaan korban

kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi penal melibatkan proses spiritual untuk

memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri korban. Urgensi dari mediasi penal

menuju restorative justice merupakan upaya mencapai proses penyelesaian perkara yang

berkualifikasi win-win solution. Beberapa alasan perlunya restorative justice melalui

mediasi penal misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga: (1) mereka tidak ingin

kasusnya sampai ke pengadilan (misalnya, karena akan malu), (2) mereka tidak melihat

hukuman penjara merupakan jalan keluar, (3) mereka memerlukan hubungan berubah, (4)

mereka menginginkan jalan keluar dari persoalan kekerasan rumah tangga.19

Dari alasan yang menuntut adanya mediasi tersebut, tak diperlukan pola yang baku

dalam mengupayakan mediasi penal. Indonesia bisa saja membuat prosedur berbeda

dengan negara lain, misalnya mengambil nilai kearifan hukum lokal, seperti kearifan

hukum lokal Papua, Aceh, dan lain sejenisnya. Namun, yang harus dipedomani adalah

adanya perlindungan bagi korban, prosedur-prosedur yang memberikan alternatif bagi

upaya sukarela, pendekatan multiaspek, tersedianya dukungan pelayanan, sumber daya

tenaga staf yang cukup, serta pelatihan dan pengawasan yang sungguh-sungguh.

19 Artidjo Alkostar, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung RI; Dosen Fakultas Hukum UII, kompas, Senin, 4 April 2011.

199

Respons masyarakat pemangku kepentingan dan negara terhadap kejahatan

merupakan prasyarat tegaknya keamanan, ketertiban, ketenteraman, dan keadilan.

Respons berupa tindakan hukum atau proses peradilan pidana formal maupun melalui

mekanisme peradilan pidana informal merupakan tindakan hukum menghindari impunitas

yang akan menjadi benih kejahatan dan lunturnya kewibawaan hukum. Hilangnya daya

imbau hukum akan menjadi faktor penyebaran kehendak individu untuk bertindak asosial

dan ilegal. Dalam arti pula, hukum menjadi kehilangan nilai substantifnya sebagai

otoritas netral yang sejatinya selalu dihormati oleh masyarakat dan negara.20

Tindakan pemidanaan alternatif harus diupayakan oleh negara agar daya rekat

persatuan berbangsa menjadi kokoh dan menjadi potensi pembangunan sosial-ekonomi

dan politik negara. Kepatutan penjatuhan pidana melalui keadilan restoratif jadi tugas dan

tanggung jawab penegak hukum untuk mempertajam analisis hukum dan memperpeka

nurani kemanusiaan. Keadilan restoratif akan menjadi lembaga yang dapat menjadi

sarana pemerataan keadilan, terutama bagi korban dan pihak yang rentan secara sosial-

politik dan lemah secara ekonomi. RKUHAP yang telah dipersiapkan oleh pemerintah

harus dapat mengadopsi keberadaan keadilan restoratif. Hal ini agar proses penegakan

hukum di negara kita tidak tersendat, karena kurang cepat mengadopsi instrumen-

instrumen hukum negara modern dan kurang peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal

yang ternyata telah ada memberlakukan substansi keadilan restoratif.

Dalam setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang dikenal

dengan nama ”Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders”. Kongres

ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan tentang perkembangan kejahatan,

penanggulangannya dan penanganan pelaku kejahatan serta berbagai topik terkait. Dalam

kongres tersebut dibuka kesempatan bagi sejumlah negara untuk berbagai pengalaman

20 http://infokorupsi.com/id/opinion.php?ac=304&l=keadilan-restoratif, di akses pada tanggal 2 juni 2012.

200

atas sejumlah program yang dikembangkan termasuk juga berbagai permasalahan yang

muncul dalam penyelenggaraannya. Dalam kesempatan ini, sejumlah negara juga

mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengadakan kerjasama dalam rangka upaya

pencegahan dan penangulangan kejahatan terutama dalam kejahatan yang dilakukan

secara lintas negara.

Pada kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga

swadaya masyarakat dari beberapa negara mensponsori sejumlah sesi pertemuan untuk

secara khusus berdiskusi tentang restorative justice. Sejak itu berbagai minat dan program

serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan diberbagai negara dan

menjadi topik yang mengemuka. Pada Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sessi

pertemuan di kongres yang dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam dan

mendalam hal-hal yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan restorative

justice dalam penanganan perkara pidana. Hingga pada kongres selanjutnya yang digelar

pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif

Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar

dari penggunaan pendekatan restorative justice.21

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif

pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku

dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara

para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan

adanya perbuatan yang merupakan gambaran dari perubahan sikap para pihak dalam

upaya mencapai tujuan bersama yaitu perbaikan. Melalui identifikasi permasalahan secara

bersama-sama dan mencari akar permasalahannya, maka kebutuhan yang dipersyaratkan

21 http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-indonesia.html, di akses pada tanggal 2 juni 2012.

201

sebagai upaya perbaikan serta kewajiban-kewajiban yang timbul karenanya, upaya

perbaikan timbul.

Sementara program dari keadilan restoratif adalah program yang menggunakan

konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu

kesepakatan antara para pihak yang terlibat.22 Kesepakatan disini adalah kesepakatan para

pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas

kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Kesepakatn disini juga dapat

diartikan sebagai upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh

karenanya kesepakatan tersebut dapat berbentuk sejumlah program seperti reparasi

(perbaikan), restitusi ataupun community services.23

Prinsip-prinsip lain dalam restorative justice juga dijelaskan oleh Adrianus Meliala

yaitu sebagai berikut :24

a. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang

ditimbulkan akibat kesalahannya;

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas

dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;

c. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian

masalahnya;

d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;

e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah

atau jahat dengan reaksi sosial yang formal.

22 Ibid 23 DR. Eva Achjani Zulfa.SH. MH, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV.Lubuk Agung, Bandung , 2011 24 Adrianus Meliala, makalah Restorative Justice, Apa dan Bagaimana, www.adrianusmeliala. com/files/, di akses tgl 20 Feb 2012

202

Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and

Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu :25

a. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

b. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada

akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku

secara utuh;

d. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat

yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

e. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat

mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif berbeda dengan proses pradilan

konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan

dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam

sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan

yang sistemik. Sedangkan keadilan restoratif menurut Howard Zehr adalah melihat suatu

proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal yang diartikan sebagai

kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain.

Keadilan restoratif dilakukan untuk memulihkan sesuatu menjadi baik kembali

seperti semula dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi

yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi dan perlindungan kembali. Howard Zehr

menyebutkan perbandingan antara “retributive justice” dan “restorative justice” adalah :26

25 Mudzakkir, Sistem Peradilan Pidana Harusnya Terapkan Restoratif Justice, http://www.negarahukum.Com / hukum /keadilan-restorasi.html, di akses pada tanggal 2 juni 2012 26 Ibid

203

a. Retributive Justice memfokuskan pada perlawanan terhadap hukum dan negara,

sedangkan restorative justice pada pengrusakan atau kekerasan terhadap manusia

yang berhubungan dengannya.

b. Retributive Justice berusaha mempertahankan hukum dengan menetapkan

kesalahan dan mengatur penghukuman, sedangkan Restorative Justice

mempertahankan korban dengan memperhatikan perasaan sakitnya dan membuat

kewajiban pertanggungjawaban pelaku kepada korban dan masyarakat yang

dirugikan sehingga semuanya mendapatkan hak masing-masing.

c. Retributive Justice melibatkan negara dan pelaku dalam proses peradilan formal,

sedangkan restorative justice melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam

suasana dialog untuk mencari penyelesaian.

d. Dalam retributive justice korban hanya merupakan bagian pelengkap, sedangkan

dalam Restorative Justice korban adalah posisi sentral.

e. Dalam retributive justice posisi masyarakat diwakili oleh Negara, sedangkan

restorative justice masyarakat berpartisipasi aktif.

Dari uraian terkait dengan konsep lahirnya dan prinsip-prinsip dalam keadilan

restoratif, menurut hemat penulis keadilan tujuan dari keadilan restoratif adalah

mendorong terciptanya peradilan yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta

didalamnya. Korban merasa bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang

disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak

mesti mengalami penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan

kesepakatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut

204

dapat diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam

kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah.27

Tujuan utama dari keadilan restoratif adalah memberdayakan korban, dimana pelaku

didorong agar memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan

terpenuhinya kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan

keadilan restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku, bukan

diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat mungkin pelaku

dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tapi, seperti yang dikatakan Kent Roach,

keadilan restoratif bukan hanya memberikan alternatif bagi penuntutan dan pemenjaraan,

melainkan juga meminta tanggungjawab pelaku. Tindakan kriminal dalam keadilan

restoratif, ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan negara, lagi pula yang

dihadapi pelaku adalah korban dan komunitasnya, bukan pemerintah.28

Proses penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif tidak lagi

menggunakan cara-cara konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan

pidana, yang hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta

mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut.

Sementara dalam penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif lagi kedua hal tersebut,

yang diinginkan oleh keadilan restoratif adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia

tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai

27 Eva Zulfa, Keadilan Restofatif di Indonesia (Studi Tantang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), disertasi FH UI. Hal. 44 28 Michele Mais, “Restorative Justice” dalam Guy Burgess and Heidi Burgess, eds, Beyond Intractability (University of Colorado Conflict Research Consortium, Boulder), dan “What is Restorative Justice”, Mei 2005, hlm 1, juga Muladi, “KKR dan…” KCM, 21 April 2005.

205

pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya

kehidupan dapat kembali seperti semula.29

Dalam uraian di atas penulis memberikan rumusan tentang prinsip kunci dari

keadilan restoratif sebagaimana juga telah diuraikan dalam BAB II penulisan ini.

Merumuskan prinsip kunci dalam penerapan keadilan restoratif di harapkan mampu

diterapkan dalam sebuah program dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif

dengan menggunakan prinsip kunci sebagaimana berikut :

1. Korban

Tujuan utama dari pendekatan keadilan restoratif adalah terbukanya akses korban

untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana.

Karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita. Oleh

karena itu, pada tiap tahapan penyelesaian yang dilakukan harus tergambar bahwa proses

yang terjadi merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya upaya

perbaikan dan ganti kerugian atas kerugian yang diderita oleh korban. Proses penanganan

perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dapat membuka akses kepada korban untuk

berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana yang terjadi.

2. Pelaku

Tujuan lain dari penyelesaiaan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif adalah

kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas prbuatan yang telah dilakukannya. Makna

kerelaan harus diartikan bahwa pelaku mampu melakukan introspeksi diri atas apa yang

telah dilakukannya. Serta mampu melakukan evaluasi diri sehingga muncul akan

29 Braithwaite, John “Restorative Justice Assesing Optimistic and Pessimistic Accounts” dalam Crime and Justice, vol. 25 hal 1-127, The University of Chicago Press, 1999, http://rachmatharyanto.wordpress.com, di akses 15 mei 2012

206

kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang benar. Dalam

penyelesaian menggunakan pendekatan keadilan restoratif ini dimaksudkan agar pelaku

menyadari atas segala kesalahannya yang telah dilakukan dan menyadari bahwa

perbuatan pidana merupakan suatu tindakan yang tidak dapat diterima dalam masyarakat.

Program penyadaran bagi pelaku semacam itu sehingga pelaku dapat tersadarkan

atas segala kesalahan yang telah dilakukannya telah merugikan masyarakat serta pelaku

juga akan taat terhadap hukum dengan tidak lagi mengulangi perbuatan pidana di lain

waktu. Pelaku juga sadar akan tanggung jawab yang harus dijalaninya karena telah

melakukan tindak pidana yang merugikan korban maupun masyarakat. Tanpa proses

penyadaran terhadap kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku, akan sangat mustahil

dapat membawa pelaku secara sukarela untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang

dilakukannya.

3. Masyarakat

Dalam proses yang terakhir dengan pendekatan keadilan restoratif ini. Bahwa suatu

perkara pidana dengan menggunakan model pendekatan keadilan restoratif tergambar

bahwa akses terhadap penyelesaiannya bukan hanya milik korban dan pelaku, akan tetapi

masyarakatpun dianggap memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses ini

maupun dalam tahap pelaksanaan hasil proses. Baik sebagai penyelenggara, pengamat,

ataupun sebagai fasilitator bagi korban dan pelaku.

Selanjutnya akan coba diuraikan terkait dengan konsep dan latar belakang

berlakunya pidana bersyarat, untuk mengetahui sebagaimana pidana bersyarat yang akan

diuraikan dalam sub bab selanjutnya dapat mewujudkan nilai-nilai dalam keadilan

207

restoratif. kedua konsep tersebut antara keadilan restoratif dan pidana bersyarat akan coba

dipadukan oleh penulis untuk menjawab rumusan masalah yang kedua dalam penulisan

ini. Menurut penulis seperti telah diuraikan dalam latar belakang penulisan ini bahwa

setidaknya pidana bersyarat yang hari ini berlaku dalam hukum pidana di Indonesia telah

mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan restoratif. Maka dari itu penulis coba

menyajikan analisa terkait dengan konsep dan latar belakang lahirnya pidana bersyarat

sebelum memadukan nilai-nilai yang terkandung antara kedua konsep tersebut.

B. 2. Konsep dan latar belakang berlakunya Pidana Bersyarat

Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan

kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan lembaga-

lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.30 Lembaga seperti ini

pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1887, dengan nama probation.

Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk menunda penjatuhan pidana dengan cara

menempatkan terdakwa dalam probation dengan pengawasan seorang probation officer.

Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke negara-

negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis dan Belgia,

lembaga ini berubah menjadi penundaan pelaksanaan pidana dan tidak diperlukan

probation officer untuk melaksanakan pengawasan terhadap terpidana. Jadi, menurut

sistem Amerika Serikat dan Inggris, hakim pada waktu mengadili terdakwa tidak

menetapkan pidana, tetapi menentukan jangka waktu tertentu bagi terdakwa untuk berada

dalam probation, dengan ketentuan atau syarat-syarat tertentu. Agar terdakwa menepati

30 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2006, hal. 33.

208

syarat-syarat tersebut, maka ia diawasi oleh petugas. Apabila selama dalam probation,

terdakwa melakukan tindak pidana atau melanggar syarat lain yang ditentukan, maka ia

akan diajukan lagi ke persidangan untuk dijatuhi pidana.

Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486,

pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172. Pidana

bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan (Voorwardelijke

Veroordeling). Namun berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang

sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat

itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada

syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang

telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis

penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat

penerapan sanksi pidana lain yang di luar lembaga permasyarakatan, yaitu:

a. Pelepasan bersyarat

b. Bimbingan lebih lanjut

c. Proses asimilasi/ integrasi

d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak

e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau\orang

tua/ wali

Pada dasarnya keberadaan diberlakukannya pidana bersyarat ini diakibatkan adanya

ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang dalam

berbagai hasil penelitian terbukti sangat merugikan, baik terhadap individu yang di kenai

209

pidana maupun terhadap masyarakat. Adapun kerugian-kerugian sebagaimana dimaksud

nadalah :31

1) Kerugian yang bersumber pada hakikat pengertian penjara pada dasarnya adalah

menjamin pengamanan narapidana dan memberikan kesempatan kepada

narapidana untuk di rehabilitasi, namun hakekat fungsi pidana penjara tersebut

sering kali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya

menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga,

berupa ketidakmapuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya

secara produktif di dalam masyarakat.

2) Kerugian dari sub kultur narapidana bahwa sub-kultur narapidana ini mempanyai

pengaruh besar terhadap kehidupan individu masing-masing narapidana

khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam masyarakat

narapidana yang disebut “prisonisasi”.

3) Kerugian lain ialah dengan pidana penjara telah terjadi stigmatisasi, Hoefgels

menegaskan : “Stigma terjadi jika identitas seseorang terganggu atau rusak, yang

berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan

masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak. Stigmatisasi itulah pada dasarnya

menimbulkan stigma lagi. Karena suatu kejahatan seseorang resmi dipidana

sehingga ia kehilangan pekerjaannya, selanjutnya hal tersebut menempatkannya

di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi

menyingkirkannya dari lingkungan yang benar. Stigma meningkatkan sanksi

negatif dan stigma negatif trersebut meningkatkan stigma”.

31 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung. Hal. 116

210

Dari hasil penelitian mengenai pelaksanaan pidana penjara dapat di kemukakan di

sini sebagai berikut :32

1) Para tokoh masyarakat

Kebanyakan menyebutkan bahwa bekas narapidana adalah orang-orang jahat,

dengan alasan telah merugikan masyarakat dan tidak dapat diperlakukan sama dengan

warga masyarakat lain, sehingga mereka :

a) Harus di asingkan dari pergaulan

b) Harus selalu di awasi

c) Dipersulit membuat surat keterangan kelakuan baik

d) Tidak dapat menduduki jabatan pamong

2) Para Narapidana

Kebanyakan mereka menyatakan :

a) Rasa malu, sehingga menimbulkan kesadaran

b) Rasa malu, menyebabkan pindah tempat usaha

c) Rasa malu, sehingga tidak betah di rumah dan sering pergi

d) Rasa malu, mendorong melakukan kejahatan lagi

e) Rasa malu, menyebabkan sikap menyendiri

f) Sedih dan batin tertekan karena keluarganya termasuk anak-anaknya di jauhi

kawan-kawannya

Berdasarkan pada pemaparan di atas terkait dengan konsep dan latar belakang

munculnya ide pidana bersyarat sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa

32 Ibid, hal. 119

211

pidana bersyarat lebih memfokuskan masalah pidana pada pencegahan tindak pidananya.

Dalam pandangan pidana bersyarat bahwa adanya pidana tidak semata-mata sebagai

pembalasan terhadap pelaku pidana sebagaimana dalam teori retributif, namun pidana

ditujukan kepada pelaku tidak pidana agar tidak mengulangi lagi perbuatan pidanya di

lain hari. Pidana besyarat memfokuskan pada pelaku tindak pidana agar taat dan patuh

hukum agar tidak mengulangi perbuatan pidana dikemudian hari, selain itu dalam pidana

bersyarat memungkin juga bagi terpidana untuk memulihkan konflik dalam masyarakat

yang terjadi akibat tindak pidana yang dilakukannya.

Bagi korban tindak pidana, meskipun pidana bersyarat memfokuskan

pembahasannya pada perbaikan pelaku tindak pidana, namun juga memungkinkan korban

mendapatkan ganti kerugian akibat terjadinya tindak pidana tersebut sebagaimana

tercantum dalam pasal 14 KUHP bahwa hakim dapat menetapkan syarat-sarat khusus

bagi terpidana saat menjalankan masa percobaan pidananya di luar lembaga

permasyarakatan untuk memulihkan kondisi yang terkoyak akibat tindak pidana yang

sudah dilakukannya. Sehingga selain fokus pada perbaikan pelaku tindak pidana, dalam

hal penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim dapat juga sebagai langkah dalam melindungi

korban kejahatan dan masyarakat dengan adanya syarat khusus yang dapat dijatuhkan

oleh hakim kepada terpidana untuk memperbaiki tindakannya di masyarakat dalam

rangka memulihkan kondisi yang sudah terkoyak.

B. 3. Pidana Bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif

Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan nilai-nilai ataupun konsep lahirnya

keadilan restoratif ataupun pidana bersyarat. Selanjutnya penulis akan memaparkan

terkait dengan pidana bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai dalam keadilan restoratif

dalam pembahasan berikut. Keadilan restoratif pada dasarnya merupakan ide baru dalam

lapangan hukum pidana, meskipun beberapa ahli pidana beranggapan bahwa keadilan

212

restoratif yang berakar dari hukum adat sudah lama muncul, bahkan umurnya sama

tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Ide dari keadilan restoratif sebagaimana dalam

kongres PBB, dan ide keadilan restoratif yang berkembang di indonesia memfokuskan

diri pada pembahasan penyelesaian sengketa atau penyelesaian tindak pidana dengan cara

melibatkan semua pihak terkait, antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Ide keadilan restoratif dewasa ini tidak dapat dihindari, munculnya konsep keadilan

restoratif ini karena kecenderungan masyarakat yang mulai tidak percaya terhadap

lembaga penegakan hukum kita mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan yang

mempunyai tujuan mencari keadilan. Dengan adanya ketidak percayaan tersebut,

sehingga lembaga-lembaga penegak hukum saat ini mencoba untuk menarik lagi

kepercayaan masyarakat dengan menggunakan pendekatan restoratif. Dalam pendekatan

keadilan restoratif inilah lembaga penegak hukum dapat melibatkan korban dan juga

masyarakat, tidak hanya mengadili pelaku semata. Meskipun dalam penerapan keadilan

restoratif sekarang ini belum ada suatu sistem baku yang diterapkan oleh lembaga

penegakan hukum dalam mempraktekkan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak

pidana yang terjadi.

Pada dasarnya keberadaan diberlakukannya pidana bersyarat ini tidak jauh berbeda

dengan munculnya konsep keadilan restoratif, karena kemunculannya diakibatkan adanya

ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana yang berlaku. Akibat dari ketidakpuasan

tersebut, sehingga muncul sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam

menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang

terjadi. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang

menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan

terhadap hak asasi manusia.

213

Jadi, hemat penulis antara pidana bersyarat dan keadilan restoratif merupakan dua

konsep yang muncul sebagai langkah guna menjawab sistem peradilan pidana yang sudah

kurang efektif dalam hal pencegahan kejahatan meskipun kedua konsep ini berbeda

dalam hal tujuannya. Mengingat bahwa pidana bersyarat lebih bertujuan terhadap

perbaikan pelaku tindak pidana, sedangkan keadilan restoratif lebih memfokuskan pada

pelibatan korban dan masyarakat dalam hal penyelesaian tindak pidana yang terjadi.

Namun antara pidana bersyarat dan keadilan restoratif dalam hal teori tetap memiliki

kesamaan. Keduanya antara pidana bersyarat dan keadilan restoratif lebih bersifat

pencegahan ataupun penanggulangan kejahatan, ide dari keduanya tidak semata-mata

berpandangan bahwa pidana merupakan konsekwensi atas tindak pidana yang sudah

dilakukan atau pidana tidak dipandang sebagai unsur pembalasan.

Pidana bersyarat dan keadilan restoratif sama-sama memiliki tujuan agar tidak lagi

terjadi tindak pidana kedepannya, diantara keduanyapun sama dapat melibatkan korban

dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat akibat tindak

pidana tersebut, dalam hal memulihkan kondisi dalam masyarakat sebagai dampak dari

adanya tindak pidana, pidana bersyarat dapat dengan cara syarat khusus yang dapat

dijatuhkan oleh hakim terdap terdakwa untuk dapat kembali kemasyarakat, dan juga

melakukan ganti kerugian terhadap korban kejahatan akibat dari tindak pidananya.

Meskipun diantara keduanya memiliki persamaan tersebut di atas, akan tetapi yang patut

menjadi titik fokus dalam pembahasan bahwa pidana bersyarat yang sudah tertuang

dalam KUHP masih mengalami banyak persoalan dalam praktetnya,

Pidana bersyarat hanya memfokuskan pada perbaikan pelaku dengan tidak

mengesampingkan kepentingan publik. Namun dalam keadilan restoratif lebih

menekakan kepada pelibatan korban dan masyarakat dengan harapan dapat memulihkan

situasi dalam masyarakat dan stigma negatif seandaiya pelaku tindak pidana dipenjara.

214

Selain itu juga pidana bersyarat yang lebih memfokuskan pada perbaikan bagi pelaku

tindak pidana agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Sedangkan ganti kerugian dan

pemulihan akibat dari tindak pidana yang lebih menjadi fokus dari kadilan restoratif tidak

melekat pada pidana bersyarat itu sendiri dalam pengaturannya di KUHP indonesia,

namun pemulihan terhadap kondisi yang terlah terkoyak dalam masyarakat akibat adanya

tindak pidana dan pemulihan kerugian terhadap korban tindak pidana yang berupa ganti

rugi, hanya bisa dijatuhkan dengan adanya syarat khusus yang diatur dalam pasal 14C

ayat (1) KUHP dan bergantung terhadap penilaian dari hakim yang mengadili tindak

pidana tersebut.

Syarat khusus yang ada dalam pasal 14C ayat (1) sebagaimana disebutkan

sebelumnya, bukan merupakan suatu keharusan bagi seorang hakim dalam hal penjatuhan

pidana bersyarat bagi pelaku tindak pidana yang sedang diadilinya. Menurut hemat

penulis hal inilah yang menjadi pembeda antara penerapan konsep keadilan restoratif dan

penerapa pidana bersyarat dalam pengaturannya menurut hukum pidana di Indonesia.

Bilamana mana syarat umum atau khusus tidak terpenuhi, maka atas usul dari jaksa yang

mengawasinya hakim dapat memberikan peringatan ataupun hakim dapat memerintahkan

kepada terpidana untuk menjalankan pidananya sebagaimana di atur dalam pasal 14 f

KUHP.

Selain itu penerapan keadilan restoratif dalam hukum pidana di indonesia untuk saat

ini belum mempunyai dasar hukum yang kuat seperti pidana bersyarat yang sudah diatur

dalam pasal 14A sampai dengan 14F. Meskipun pengaturan pidana bersyarat itu sendiri

masih melekat terhadap pidana penjara. Bagi narapina yang mendapatkan pidana

bersyaratpun masih memungkinkan untuk menjalankan pidana penjara jika tidak

memenuhi syarat umum ataupun syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 f

KUHP. Dalam hal ini kedudukan dari pidana bersyarat itu sendiri tidak mempunyai dasar

215

yang kuat dalam penerapannya. Sehingga ketidak efektifan dari pidana bersyarat yang

menyebabkan minimnya penerapan pidana bersyarat terhadap narapidana yang di vonis

maksimal 1 tahun penjara.

Selama sepuluh tahun (1973-1982), hakim hanya menjatuhkan sekitar 8,88% pidana

bersyarat dari jumlah 434,541 terdakwa di seluruh indonesia untuk perkara kejahatan.

data hasil penelitian yang dilakukan oleh fakultan hukum UNDIP bekerjasama dengan

kejaksaan agung pada tahun 1979-1982 di jawa tengah diperoleh data dari perkara yang

dituntut oleh jaksa atau yang dijatuhi pidana oleh hakim dengan pidana bersyarat hanya

sekitar 1-5% (hal ini dikemukakan oleh 66,6% oleh jaksa dan 70% oleh responden

hakim).33 minim nya dari penerapan pidana bersyarat tersebut dikarenakan akan

minimnya kemampuan untuk mengawasi, sarana prasarana yang belum memadai.

Rendahnya penerapan pidana bersyarat itu juga disebabkan karena ketentuan pidana

bersyarat dalam KUHP masih melekat terhadap ketentuan dari pidana penjara.

Penerapan dari konsep keadilan restoratif dalam hukum pidana indonesia yang

penulis temukan dalam literatur dan praktek, meskipun belum mempunyai dasar yang

cukup kuat, namun bisa diterapkan melalui beberapa pasal yang memungkinkan

diterapkannya konsep keadilan restoratif tersebut. Pasal-pasal yang memungkinkan

diterapkannya konsep keadilan restoratif tersebut, seperti pasal 18 undang-undang nomor

2 tahun 2002 tentang POLRI, Skep KAPOLRI 737/X/2005 tentang kebijakan dan strategi

perpolisian masyarakat, selain itu juga melalui telegram KAPOLRI NO.Pol.:TR/1124/XI/

2006 tentang petunjuk dan arahan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum,

pasal 35 huruf C undang-undang kejaksaan (kewenangan Depoonering).

Penerapan pidana bersyarat juga dianggap mencerminkan nilai-nilai dari keadilan

restoratif, sehingga dalam putusan pidana bersyarat juga bisa diterapkannya konsep 33 Barda nawawi arief, Log Cit. Hal. 174

216

keadilan restoratif sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya terkait dengan

putusan pidana bersyarat dalam perkara NOMOR: 2238 K/PID/2009 dengan terdakwa

Andi marjun dalam kasasi yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dimana Vonis dari

judex factie pengadilan negeri Tahuna No.26/PID.B/2009/PN.Thna tanggal 03 juni 2009

menyatakan terdakwa andi marjun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

suatu tindak pidana.34Sedangkan Hakim kasasi memutus lain dengan menggukan alasan

keadilan restorarif menyatakan bahwa terdakwa andi marjun diputus dengan pidana

bersyarat dengan syarat khususnya mengganti uang kerugian sebesar Rp 25. 856. 000

yang diderita oleh korban.

Reorentasi penyelesaian perkara pidana dengan adanya keadilan restoratif tentunya

merupakan suatu perubahan terhadap proses penyelesaian perkara pidana selama ini.

Keberadaan keadilan restoratif bukan hanya memperkaya teori pemidanaan yang ada

tetapi juga memberikan suatu pandangan baru terhadap arah pemikiran hukum pidana.

Keadilan restoratif dianggap lebih mampu mereduksi kejahatan lebih baik dari pada

sistem peradilan pidana yang ada saat ini bila dilihat dari beberapa pandangan sebagai

berikut :35

1) Dilihat dari konsep keadilan prosedural, praktek keadilan pidana saat ini dianggap

telah gagal mereduksi kejahatan dilihat dari meningkatnya angka kejahatan setiap

tahunnya dalam statistik di berbagai negara. Begitu pula dilihat dari crime prevention

theory, sistem peradilan pidana nyatanya tidak mampu menghalangi terjadinya

kejahatan, apalagi sistem peradilan pidana

2) saat ini lebih banyak melihat kajahatan dari kacamata perbuatannya saja, tanpa

melihat motif yang menjadi latar belakang terjadinya tindak pidana sementara

34 Lihat Varia Peradilan, majalah hukum tahun XXVII No. 314 Januari 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Hal. 93 35 Eva achjani zulfa, Log Cit.

217

keadilan restoratif memperlakukan setiap tindak pidana secara kasus perkasus. Tidak

ada generalisasi dalam hukum pidana, karena setiap kasus memiliki karakteristiknya

tersendiri sehingga dianggap keadilan restoratif lebih mampu menghalangi terjadinya

kejahatan lebih baik daripada sistem poeradilan pidana meskipun sistem ini dilandasi

oleh deterrence theory.

3) Bila terdapat anggapan bahwa sistem peradilan pidana saat ini telah pula didasarkan

pada pandangan “selective” atas penanganan perkara karena setiap permasalahan pasti

memiliki ciri yang berbeda, dalam kenyataannya konsep pembinaan dan perhatian

bagi berbagai jenis tindak pidana cenderung sama tanpa melihat sebab musababnya.

Begitupun begitupun konsep rehabilitasi yang dianut oleh konsep rehabilitasi dalam

sistem peradilan pidana.konsep rehabilitasi dalam sistem peradilan pidana saat ini

ditujukan hanya kepada pelaku, sementara konsep rehabilitasi kepada korban belum

menjadi perhatian. Konsep rehabilitasi dalam keadilan restoratif bukan hanya

memperhatikan tindakan-tindakan perbaikan atau mengobati pelaku tetapi juga

meliputi tindakan-tindakan pemulihan yang ditujukan bagi korban.

4) Perubahan yang mendasar adalah bahwa posisi korban dan masyarakat bukan hanya

sebagai penonton atau pemeran pembantu dalam panggung peradilan pidana, tetapi

berperan sebagai aktor utama dan penentu dalam pencapaian akhir suatu proses

peradilan pidana itu sendiri. Korban danmasyarakat bersama-sama dengan pelaku

duduk bersama untuk menentuka apa yang menjadi upaya pemulihan atas kerusakan

yang diakibatkan atas terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini Brithwaite

menganggap bahwa posisi demikian membuat korban dan masyarakat lebih leluasa

dalam mengutarakan dan mengekspresikan kehendak disamping pelakupun dapat

mengutarakan pikiran-pikirannya secara langsung. Kesamaan persepsi yang

218

dihasilkan dan implementasinya dapat berdaya guna serta berhasil guna bagi semua

pihak.

5) Bila melihat kepada syarat dari program keadilan restoratif dimana dipersyaratkan

adanya unsur kerelaan dari korban dan pelaku untuk diselenggarakannya program ini

maka hal demikian seharusnya tidak terjadi, demikian pula anggapan bahwa program

ini akan lebih memberikan dampak stigma bagi pelaku.

6) Terkait dengan stigma yang melekat pada pelaku sebagai bagian dari hasil proses

sistem peradilan pidana, maka braithwaite mencoba menelaah dengan menggunakan

teori kriminologi. Dalam kajian kriminologi, reintegratif shaming theory dan

deviance theory merupakan dua teori yang memiliki perspektif yang berbeda atas

sebab kejahatan. Reintegratif shaming theory berakar dari teori kontrol sosial yang

melihat bahwa sebab musabab kejahatan berakar dari lemahnya kontorl yang bekerja

dalam masyarakat. Reintegratif shaming melihat faktor solidaritas masyarakat dalam

meningkatkan upaya perbaikan atas diri pelaku. Braithwaite membangun teori ini

berbeda dari labeling theory yang meletakkan stigma pada diri pelaku sebagai bagian

dari control social. Relasi sosial dalam masyarakat memegang peranan dalam

penanganan perkara pidana. Hal demikian merupakan hal yang berbeda dan tidak

terdapat dalam sistem peradilan pidana. Sementara deviance theory menitik beratkan

fokus perhatiannya terhadap kejahatan sebagai suatu prilaku menyimpang yang lahir

dari pengaruh faktor lingkungan. Pengendalian kejahatan dalam perspektif ini harus

dimulai dari lingkungan sehingga dapat diupayakan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan. Dalam perspektif ini jelas masyarakat memiliki peran penting untuk

melakukan hal tersebut dan hanya dimungkinkan melalui konsep keadilan restoratif.

7) Beberapa sarjana melihat bahwa sistem peradilan pidana pada dasarnya kurang

mampu mengaplikasikan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Orientasi bahwa

219

setiap tindak pidana hanya bisa diselesaikan melalui peradilan menyebabkan mau

tidak mau setiap perkara harus melewati setiap tahapan atau proses peradilan pidana

tak peduli bagaimana jenis dan sifat berbahaya dari perkara pidana tersebut. Pidana

penjarapun menjadi pilihan utama para hakim yang tanpa sadar makin memberatkan

beban negara untuk menambah anggaran dari institusi penjara. Melihat kesemuanya

itu dari kacamata perhitungan ekonomi merupakan proses yang memakan biaya

tinggi. Keadilan restoratif memberikan peluang untuk menyelesaikan perkara pidana

didalam dan diluar sistem dengan melihat karakteristik tindak pidana dan model

penyelesaian yang diinginkan oleh pelaku, korban, dan masyarakat, sementara negara

lebih banyak mengambil peran sebagai mediator atau fasilitator. Makin cepat proses

penyelesaian suatu perkara pidana, pada dasarnya biaya yang dikeluarkan untuk

memprosesnya menjadi semakin ringan.

Dari uraian diatas terkait dengan konsep dan latar belakang dari berlakunya keadilan

restoratif maupun munculnya ide pidana bersyarat dapat dikatan sebagai langkah

alternatif akibat dari ketidak efektifan bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada.

Ketidak efektifan itu sehingga memunculkan langkah-langkah alternatif sebagaimana

telah disampaikan dalam bab sebelumnya. Dari kedua intrumen penyelesaian perkara

pidana dengan menggunakan keadilan restoratif ataupun pidana bersyarat yang patut

menjadi perhatian adalah adanya penyelesaian proses pidana yang tidak wajar, yaitu

dengan melibatkan korban ataupun masyarakat. Bahkan dalam hal proses penyadaran

bagi pelaku tindak pidana tidak lagi perlu menggunakan balasan seperti pidana penjara

dalam tindak pidana tertentu, mesikupun pidana bersyarat itu sendiri masih melekat pada

adanya pidana penjara.

Konsep keadilan restoratif dimana dalam penyelesaian tindak pidana dalam konsep

ini melibatkan korban dan masyarakat, tidak hanya pelaku kejahatan dengan aparatur

220

negara. Mengingat bahwa keadilan restoratif mempunyai tujuan mengembalikan kondisi

yang terkoyak dalam masyarakat yang dikarena oleh tindak pidana agar kembali seperti

semula. Sehingga dalam hal ini peran korban dan masyarakat sangat menentukan. Pidana

tidak semata-mata sebagai pembalasan, namun pidana disini dimaksudkan untuk

melindungi individu atau pun kepentingan-kepentingan masyarakat, serta tujuan dari

negara sebagaimana menjadi tujuan dari pidana itu sendiri.

Pidana bersyarat meski tidak memberikan peran yang terlalu besar bagi masyarakat

ataupun korban seperti yang sudah diatur di dalam KUHP sekarang. Namun pidana

bersyarat masih memungkinkan pelibatan korban dan masyarakat dalam memberikan

suatu pidana terhadap pelaku kejahat. Hal itu sebagaimana dimaksud dalam pasal 14c

KUHP sebagai syarat khusus dalam penjatuhan pidana besrsyarat yang memungkinkan

bagi korban untuk mendapat ganti kerugian akibat adanya tindak pidana. Serta

memungkinkan bagi pelaku tindak pidana menjali hukumannya di lembaga-lembaga

sosial kemasyarakatan.

Jadi, nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif ataupun pidana bersyarat

sejalan dengan tujuan pidana di zaman modern ini, yakni sebagai upaya untuk melindungi

individu, HAM, serta kentingan-kepentingan masyarakat guna mewujudkan tujuan

negara. Perlindungan terhadap masyarakat didapat tidak hanya pemberian hukuman bagi

pelaku tindak pidana yang telah merusak tatanan kemasyarakatan, tetapi melakukan

pencegahan terhadap adanya tindak pidana lagi di lain waktu kedepannya. Pidana juga

seharusnya tidak hanya memberi efek jera sebagaimana dimakdud sebelumnya, namun

mampu memberikan pendidikan dan membina pelaku tindak pidana agar taat akan aturan

hukum guna menjadi warga negara yang baik.

C. Prospek Pengaturan Pidana Bersyarat Dalam Hukum Pidana Di

Indonesia

221

Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa, kurang

efektifnya pidana penjara sehingga menimbulkan kritikan dan rasa ketidakpuasan dari

masyarakat maupun negara-negara. Sehingga para pakar pidana mencari solusi untuk

mengurangi sifat kaku dengan adanya sistem perumusan secara tunggal ancaman pidana

penjara dengan pidana yang lebih berperikemanusiaan. Dalam hukum pidana di Indonesia

KUHP yang berlaku sekarang, sebetulnya sudah ada sarana pemidanaan yang lebih

berperikemanusiaan serta dapat mewujudkan nilai-nilai dari keadilan restoratif yaitu

dengan adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a-f KUHP.

Dalam ketentuan Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap

terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan

pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan

pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada

penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat, sehingga

dapat menghindari dampak negatif dari adanya pidana penjara untuk menghindari terjadi

proses stigmatisasi terhadap pelaku tindak pidana melalui keputusan hakim yang

disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Stigmatisasi tersebut dapat mendorong pelaku menjadi pesimis dalam menjalani

masa depan kehidupannya karena merasa hina dan terkucil dari lingkungan masyarakat,

sehingga merasa frustasi dan pada tahap selanjutnya akan berpotensi untuk melakukan

pengulangan tindak pidana lagi. Dengan demikian, pidana bersyarat yang ada dalam

hukum pidana di Indonesia dan berlaku sekarang dapat memberikan perlindungan

terhadap individu / pelaku tindak pidana dengan menghindari pidana perampasan

kemerdekaan terhadap tindak pidana tertentu untuk menghindari dampak negatifnya bagi

222

terpidana. Berdasartkan hal tersebut, maka berikut adalah manfaat-manfaat dari pidana

bersyarat yang disampaikan oleh Muladi yaitu:36

1) Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan

individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan

perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih

lanjut.

2) Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah

rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana

dengan masyarakat secara normal.

3) Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif

dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha

pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat.

4) Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat

untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna.

5) Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan

pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya

tergantung kepada si pelaku tindak pidana.

6) Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang integratif,

dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan

masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.

Disamping manfaat-manfaat dalam pidana bersyarat ada pula faktor-faktor

penghambat dari pidana bersyarat itu sendiri. Sebenarnya dasar pemikiran yang

melandasi sanksi pidana bersyarat tersebut untuk menghindari tindak pidana lebih lanjut,

36 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal. 197.

223

dengan cara mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat sebagaimana yang menjadi

tujuan dari keadilan restoratif juga agar terpidana terhindar dari stigma negatif dalam

masyarakat dan menyadarkan terpidana atas perbuatannya tersebut untuk kembali hidup

produktif di dalam masyarakat. Oleh karena itu, sanksi pidana untuk mencapai tujuan dari

pemidanaan dengan cara mengarahkan pelaksanaan sanksi pidana ke dalam masyarakat.

Hal ini dapat terjadi dengan adanya sanksi pidana bersyarat dan juga merupakan tujuan

dari keadilan restoratif sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Dalam hal mencapai tujuan pemidanaan dengan sanksi pidana bersyarat tidaklah

mudah, karena beberapa hal yang menjadi hambatan dari pidana bersyarat tersebut.

Berikut adalah hambatan-hambatan dari pelaksanaan pidana bersyarat sebagaimana

disaipaikan oleh Muladi :37

a. Sistem pengawasan dan pembinaan

Dalam hal pengawasan pidana bersyarat di bagi menjadi dua, pengawasan umum

dan pengawasan khusus. Pengawasan umum dilakukan oleh jaksa dan pengawasan

khusus dilakukan oleh lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin dari rumah

penampung atau pejabat tertentu (pasal 14 d ayat 2 KUHP). Pengawasan umum besifat

harus dilakukan, sedangkan pengawasan umum bersifat fakultatif. Pengawasan khusus

inipun tidak secara eksplisit tercantum dalam KUHP, melainkan dalam bentuk istilah

yaitu “memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat

khusus”. Pengawasan ini termasuk dari kelemahan pidana bersyarat karena belum adanya

pola-pola yang melembagadi dalam cara pengawasan dan sistem kerjasama di dalam

pengawasan. Sehingga yang terjadi sistem pengawasan di lapangan dalam pelaksanaan

pidana bersyarat ini berbeda-beda.

b. Perundang-undangan 37 Muladi, Ibid. hal. 177

224

Sepanjang menyangkut perundang-undangan yang mendasari sanksi pidana

bersyarat, maka yang menjadi permasalahan sentral adalah belum adanya kesatuan

pandangan tentang pedoman penerapan pidana bersyarat yang meliputi hakekat, tujuan

yang hendak dicapai, serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.

c. Teknis dan administrasi

Dalam bidang ini hambatan-hambatan yang ada meliputi :

1. Terpidana bersyarat tidak ada dirumah

2. Terpidana berdomisili di pelosok yang sulit dijangkau

3. Terpidana secara diam-diam pindah tempat tinggal

d. Sarana dan prasarana

Dalam hal ini hambatan-hambatannya adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya sarana angkutan untuk tugas pengawasan

2. Petugas-petugas BISPA (bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak)

jumlahnya terbatas

3. Anggaran perjalanan dinas jumlahnya terbatas

Di samping itu, dalam KUHP yang berlaku sekarang, pidana bersyarat ini bukan

merupakan suatu pidana pokok dan hanya merupakan cara penerapan pidana, sehingga

hal ini tidak memberikan dasar yang mantap bagi hakim dalam menerapkannya. Hal

tersebut seperti dikatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa ketentuan yang mengatur

tentang pidana bersyarat selama ini kurang dapat mengatasi sifat kaku dari sistem

perumusan pidana penjara secara imperatif, karena pidana bersyarat hanya merupakan

cara menjalankan pidana (strafmodus) dan tidak mengenai pemilihan jenis pidana

225

(strafsoort)”.38Dengan demikian, pengaturan tentang pidana bersyarat dalam KUHP yang

berlaku sekarang belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana pemidanaan

yang lebih berperikemanusiaan, khususnya belum bisa menghindari pidana penjara waktu

pendek.

Oleh karena itu, untuk menentukan formulasi alternatif untuk mengimbangi sifat

kaku adanya pidana perampasan kemerdekaan ataupun menghindari dampak negatif dari

pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP Nasional di masa yang akan datang,

diperlukan suatu formulasi baru yang lebih baik dari pidana bersyarat yang masih

mengalami banyak kelemahan dalam KUHP sekarang. sarana alternatif pidana

perampasan kemerdekaan yang lain, seperti pidana pengawasan (probation) yang telah

banyak dikembangkan di negara-negara lain dan telah di atur di dalam rancangan KUHP

tahun 2010.

Pidana pengawasan ini mulai mmuncul dalam rancangan KUHP sejak tahun 1982

dalam rangka usaha pembaharuan hukum pidana nasional yang telah menghasilkan

rancangan KUHP oleh badan pembinaan hukum nasional yang telah di bahas dalam

lokakarya pada tanggal 13-15 desember 1982.39dalam hal jenis-jenis pidana pokok,

terdapat jenis pidana pokok berupa pidana pengawasan yang dapat di jatuhkan dalam hal

hakim mengadili terdakwa yang melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana

permasyarakatan paling lama tujuh tahun atau kurang, usul rancangan KUHP tahun 1982

itu sebagai berikut :

1. Pidana pengawasan dijatuhkan kepada terpidana yang, dengan mengingat

keadaan dan perbuatannya untuk pembinaannya cukup di awasi.

2. Pidana pengawasan dijatuhkan paling lama 3 tahun. 38 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Genta

Publhising, Yogyakarta. Hal. 203. 39 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, banduugn. Hal 68

226

3. Pengawasan dilakukan oleh pejabat pembina departemen kehakiman yang

dapat minta bantuan dari pemerintah daerah, lembaga sosial atau orang lain.

4. Apabila selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan gejala-gejala

pelanggaran hukum, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim

pengawas untuk memperpanjang masa pengawasannya, yang lamanya tidak

melampaui maksimum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani, dan

sebaliknya apabila terpidana menunjukkan perbaikan dalam kelakuannya,

untuk memperpendek masa pengawasannya.

5. Hakim pengawas dapat memberikan perubahan penetapan jangka waktu

pengawasan setelah mendengar para pihak.

Selanjutnya dalam pasal 3. 04. 12 rancangan KUHP tahun 1982 sebagai berikut :

1. Apabila terpidana selama dalam menjalankan pidana pengawasan melakukan

tindak pidana dan dikenakan pidana, yang bukan pidana mati atau pidana

permasyarakatan, pidana pengawasan berjalan terus.

2. Dalam hal terpidana dikenakan pidana permasyarakatan, maka pidana

pengawasan di tunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai

menjalani pidana permasyarakatan.

Dari uraian diatas terlihat bahwa pengaturan pidana pengawasan dalam rancangan

KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1982. Namun, karena KUHP nasional hingga hari

ini belum disahkan, maka pidana pengawasan masih sebatas ide yang terus dilakukan

perbaikan dalam rangka pemidanaan yang berperikemanusiaan. Dalam Konsep KUHP

Nasional tahun 2010 yang merupakan rancangan KUHP Nasional terbaru di masa depan,

jenis pidana pengawasan ini sudah diatur dan ditempatkan sebagai salah satu pidana

227

pokok dalam pasal 65. Pengaturan tentang pidana pengawasan ini tercantum dalam Pasal

77, Pasal 78 dan Pasal 79. Perumusan dari ketiga pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 77

Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.

Pasal 78

1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan

pribadi dan perbuatannya.

2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk

waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat:

a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;

b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan,

harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana

yang dilakukan; dan/ atau

c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu,

tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang

228

masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa

pengawasan yang belum dijalani.

(6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang

baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memperpendek masa pengawasannya.

(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan

setelah mendengar para pihak.

Pasal 79

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana

dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka

pidana pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan

dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Ketentuan pidana pengawasan yang dirumuskan dalam Konsep KUHP 2010 Pasal

77 tersebut menyebutkan, bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.

Perumusan demikian secara umum menunjukkan bahwa hanya terhadap pelaku tindak

pidana yang diancam pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun hakim dapat

menggantikannya dengan menerapkan pidana pengawasan. Di sini pihak pembuat

undang-undang hendak memberikan ukuran obyektif, bahwa tindak pidana yang dapat

dikenai pidana pengawasan merupakan tindak pidana yang tidak berat.

Dalam ketentuan Pasal 77 Konsep di atas belum terjadi penjatuhan pidana penjara

secara pasti (final sentence) oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, karena baru pada

229

tingkatan ancaman. Jadi yang menentukan pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana

pengawasan adalah pidana penjara yang diancamkan, dan bukan pidana penjara yang

dijatuhkan sebagaiman penjatuhan pidana bersyarat dalam KUHP sekarang. Dengan

demikian dalam perumusan pidana pengawasan ini terdapat suatu penundaan penjatuhan

pidana penjara, yang selama ini seringkali memberikan pengaruh buruk bagi pelaku

tindak pidana termasuk adanya stigma sebagai penjahat/pelaku kejahatan/pelaku tindak

pidana dari masyarakat. Dengan penundaan penjatuhan pidana penjara melalui penerapan

pidana pengawasan ini diharapkan efek stigmatisasi dari penjatuhan pidana dalam suatu

proses peradilan pidana dapat diminimalisasikan

Dalam Pasal 78 Konsep KUHP 2010 perihal jangka waktu pengawasan ini

ditentukan, bahwa maksimal pengawasan ditentukan 3 (tiga) tahun (ayat 2). Dalam

keadaan tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sampai maksimal 2 (dua) kali sisa

waktu pengawasan yang belum dijalani (ayat 6) atau dapat mengubah jangka waktu

pengawasan setelah mendengar para pihak (ayat 7). Dalam pidana pengawasan, pelaku

tindak pidana dengan kriteria tertentu (perbuatan dan keadaannya) diputuskan untuk

dikembalikan pada masyarakat dengan pengawasan, bantuan, dukungan dan bimbingan

dari pejabat pengawas untuk menjadi manusia yang baik dan berguna bagi

masyarakatnya. Dalam hal ini, terdapat upaya guna menghindarkan atu melindungi

pelaku tindak pidana tersebut dari kemungkinan pengaruh buruk yang bisa terjadi bila

ditempatkan di dalam penjara.

Di samping hal tersebut di atas, pelaku tindak pidana yang dikenai pidana

pengawasan tetap diberi kesempatan untuk menjalani hidup dan kehidupannya secara

normal baik sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat dan warga negara

dengan tetap berpijak pada konsistensi untuk melaksanakan persyaratan yang telah

ditentukan oleh pihak pengadilan. Dengan ketentuan demikian dapat diasumsikan bahwa

230

terhadap pelaku tindak pidana dapat secara dini tercegah dari dampak stigmatisasi

sebagai orang jahat yang sedikit banyak dapat mempengaruhinya dalam melangsungkan

kehidupannya di masyarakat.

Jadi jenis pidana pengawasan semacam probation di atas bukanlah merupakan

tindakan pembebasan seutuhnya terhadap si pelaku. Oleh karena pada kenyataannya, jenis

pidana pengawasan berupa probation ini terdapat di dalamnya kewajiban-kewjiban

(syarat-syarat) yang justru akan dirasakan lebih berat dari pada jenis pidana yang telah

diatur secara formal seperti pidana denda. Kebebasan pelaku tindak pidana yang dikenai

pengawasan ini tidak diberikan secara utuh, namun dibatasi oleh adanya syarat-syarat

yang menyertainya dan harus dilaksanakannya. Dengan konsekuwensi apabila si pelaku

tersebut tidak memenuhi/melanggar syarat-syarat yang telah disepakati/ditentukan maka

yang bersangkutan akan dikenakan persyaratan yang lebih berat, atau bahkan apabila si

pelaku pada akhirnya tetap tidak mau bekerjasama, dia dapat dikenakan pidana yang lebih

berat dengan merampas kemerdekaan / kebebasannya itu dengan memasukkannya ke

dalam penjara.

C. 1. Perbandingan Pidana Bersyarat Dan Pidana Pengawasan

Dalam sus bab terakhir ini dalam rangka mencari solusi untuk mencari sanksi pidana

yang lebih berperikemanusiaan sebagai perbaikan di dalam sistem pemidanaan di massa

yang akan datang. Dengan adanya rancangan KUHP yang hingga kini tidak kunjung di

sahkan. Dari uraiaan di atas di sampaikan terkait dengan adanya kelemahan dalam pidana

bersyarat sehingga penerapan dari pidana bersyarat tidak bisa efektif, dikarenakan

beberapa hal. Dengan begitu pidana bersyarat yang di harapkan mampu menjadi jenis

pidana yang lebih berperikemanusiaan akan kurang maksimal dalam hal penerapannya ke

depan jika aturan mengenai pidana bersyarat tidak mengalami perubahan seperti saat ini.

Perbandingan ini dimaksudkan untuk mencari solusi dari banyak kritikan terhadap pidana

231

penjara. Berikut akan di uraikan beberapa perbandingan pasal-pasal terkait pidana

bersyarat yang berlaku sekarang dengan pidana pengawasan di dalam rancangan KUHP

nasional.

a) Syarat penjatuhan dan jenis pidana

Dalam hal syarat penjatuhan pidana bersyarat dan pidana pengawasan berbeda

dalam pengaturannya. Jenis pidana dari keduanyapun berbeda. Jika pidana bersyarat

hanya merupakan jenis penjatuhan pidana yang masih melekat terhadap pidana pokoknya

yakni pidana penjara berbeda dengan pidana pengawasan yang merupakan salah satu

jenis pidana pokok yang berdiri sendiri dalam penjatuhan pidananya.

Pasal 14 a KUHP :

Ayat (1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana

kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim

dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika

dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si

terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan

dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan

tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-

perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan

pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan

yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam

menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai

perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu

232

ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan

pasal 30 ayat 2.

(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga

mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.

(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat

berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya

syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-

syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang

menjadi alasan perintah itu.

Pasal 65 Rancangan KUHP 2010 :

Pidana pokok terdiri atas :

a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.

Pasal 77

Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh

hakim jika dalam putusan terhadap pidana penjara yang di jatuhkan yang lamanya tidak

lebih dari satu tahun. Sedangkan dalam pidana pengawasan dapat dijatuhkan oleh hakim

terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 7 tahun. Dari

233

pasal-pasal yang mengatur terkait dengan syarat penjatuhan pidana bersyarat dan syarat

menjatuhkan pidana pengawasan jelas berbeda. Jika pidana bersyarat masih bergantung

terhadap pututsan pidana penjara dan lamanya tidak lebih dari satu tahun. Sedangkan

pidana pengawasan merupan jenis pidana pokok yang tidak lagi bergantung terhadap

putusan pidana penjara. Hakim dapat memilih penjatuhan pidana pengawasan jika

ancama pidana terhadap tindak pidana tersebut tidak lebih dari tujuh tahun.

Dengan adanya ketentuan tersebut, penggunaan dari pidana pengawasan dalam

menghindari penjatuhan pidana penjara akan lebih efektik dari pada adanya pidana

bersyarat yang diatur dalam KUHP sekarang. Hakim dalam menjatuhkan pidana

pengawasan ada landasan yang kokoh, tidak seperti pidana bersyarat yang persyaratannya

dirasa kurang jelas oleh penulis, karena bergantung pada penjatuhan pidana penjara yang

tidak lebih dari satu tahun. Persyaratan dalam pidana bersyarat bukan berdasarkan pada

ancaman dari pidana yang tertuang dalam hukum pidana materiil. Hal ini karena pidana

bersyarat bukan suatu jenis pidana pokok sebagaimana pidana pengawasan yang ada

dalam rancangan KUHP nasional.

b) Jangka waktu lamanya Pengawasan

Pasal 14b KUHP :

Ayat (1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492,

504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling

lama dua tahun.

Ayat (2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah

diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-

undang.

234

Ayat (3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.

Pasal 14 c :

Ayat (1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana

denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan

tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak

pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu

tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala

atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.

Ayat (2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau

pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505,

506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah

laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian

dari masa percobaan.

Ayat (3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan

beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.

Pasal 14 d :

(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang

berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk

menjalankan putusan.

(2) Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk

badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah

penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya

memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat

khusus.

235

(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta

mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat

diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.

Pasal 14 e

Atas usul pejabat dalam pasal 14 d ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim

yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat

mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh

memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya

memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan

satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat

diterapkan untuk masa percobaan.

Pasal 78 Rancangan KUHP :

(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan

pribadi dan perbuatannya.

(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk

waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat:

a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;

b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan,

harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana

yang dilakukan; dan/ atau

c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu,

tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

236

(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang

masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa

pengawasan yang belum dijalani.

(6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik,

maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memperpendek masa pengawasannya.

(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah

mendengar para pihak.

Masa percobaan dalam pidana bersyarat ditentukan delama tiga tahun bagi kejahatan

dan pelanggara dalam pasal 492, 504, 506, 536 KUHP dan bagi pelanggaran lainnya dua

tahun. Sedangkan pidana pengawasan dijatuhkan paling lama tiga tahun. Pidana

pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan pengawasan dalam pidana

bersyarat dilakukan oleh jaksa selaku pelaksana dari putusan hakim.

pengawasan yang di atur dalam pidana pengawasan ini dapat diperpanjang jangwa

waktu pengawasannya atupun diselesaikan sebelum habis masa pengawasannya Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa

237

pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan

yang belum dijalani.

Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah

mendengar para pihak. Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan

kelakuan yang baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim

pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. Sedangkan dalam pidana

bersyarat ketentuan perpanjangan pengawan tidak disebutkan secara rinci dan jelas

sebagaimana pidana pengawasan ini dan juga tidak ada bentuk pelaporan yang kontinyu

seperti dalam pidana pengawasan. Perpanjangan pengawasan dalam pidana bersyarat

kurang jelas dikarenakan juga penjatuhan masa percobaannya berbeda-beda sebagaimana

diatur dalam pasal 14 b ayat (1).

Dalam hal pejabat yang melakukan pengawasan. Jika dala pidana pengawasan ada

pejabat khusus yang melakukan pengawasan yakni Balai Pemasyarakatan Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, sedangkan dalam

pidana bersyarat jaksa. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh jaksa, maka pengawasan

itu akan kurang maksimal dikarenakan beberapa faktor yang telah disampaikan dalam

pembahasan sebelumnya terkait dengan kelemahan pengawasan dari pidana bersyarat.

Pidana pengawasan dimana pengawasannya dilakukan oleh pejabat khusus akan dapat

melaksanakan tugas pengawasan itu lebih efektif dalam rangka perbaikan terhadap pelaku

tindak pidana.

c) Selesainya Masa Pengawasan

Pasal 14 f KUHP :

238

(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam

pasal 14 d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat

memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas

namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa

percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi

tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana

sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena

melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi

peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika peringatan itu.

(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat

diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena

melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian

berakhir dengan pemidanan yang memnjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua

bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya

pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.

Pasal 79

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana

dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana

pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan

dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Berakhirnya masa pengawasan dalam ketentuan pidana bersyarat dan pidana

pengawasan inipun juga mengalami perbedaan. Jika dalam pidana bersyarat hakim yang

memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya

dijalankan, atau memerintahkan supaya diberi peringatan pada terpidana, jika terpidana

239

selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan jika jika salah satu syarat lainnya

tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi

pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan

mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana

memberika peringatan itu.

Dalam pidana pengawasan akan berakhir sebagaiman waktu yang ditentukan oleh

hakim dengan maksimal masa pengawasan tiga tahun dan masa pengawasan tersebut

tidak ditambah lagi sebagaiman ketentuan dalam pasal 78 ayat (5) yang lamanya tidak

melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani. Dalam hal

terpidana melakukan tindak pidana saat dalam masa pengawasan yang bukan pidana mati

atau pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilakukan. Jika terpidana dijatuhi

pidana penjara maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah

terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Dari perbandingan pengaturan terkait dengan pidana bersyarat yang ada dalam

KUHP sekarang dan pidana pengawasan yang ada dalam rancangan KUHP mendatang.

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pidana bersyarat yang masih banyak mengalami

kekurangan dan bukan merupakan suatu jenis pidana pokok seperti pidana pengawasan

sehingga dalam hal penerapannya pidana bersyarat ini sangat jarang digunakan oleh

hakim, sehingga penerapan dari pidana bersyarat ini menjadi kurang efektif dalam rangka

mewujudkan nilai-nilai dari keadilan restoratif dan dalam kerangka pemidanaan yang

berperikemanusiaan.

Pidana bersyarat dengan berbagai kekurangan tersebut menjadikan pidana penjara

yang banyak mengalami kritikan dan terus dicarikan solusinya akan tetap menjadi pidana

yang akan paling sering di gunakan atau di jatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak

pidana. Hal itu juga dikarenakan pidana bersyarat sendiri masih melekat terhadap adanya

240

pidana penjara. Oleh karena itu untuk mewujudkan pemidanaan yang berperikemanusiaan

dibutuhkan adanya jenis pidana pokok seperti pidana pengawasan ini unutk menghindari

pidana penjara dalam waktu pendek sebagai solusi dalam mewujudkan pemidanaan yang

lebih berperikemanusiaan dalam sistem pemidanaan kedepan.