BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA...

24
35 BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA PERKEBUNAN TEMBAKAU WEDI-BIRIT Pada musim-musim tertentu, apabila kondisi alam yang kurang mendukung mutu dari tembakau Vorstenlands mengalami penurunan. Ada beberapa penyebab terjadinya penurunan tersebut yaitu sempitnya lahan pertanian, rendahnya sumber daya petani, dan kurangnya pengalaman pada petani penggarap lahan perkebunan, yang mengakibatkan penggarapan menjadi kurang baik sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil tembakau, dan kurang memadahinya teknologi pertanian yang diterapkan, yaitu kurang terpenuhinya aspek teknis-agronomis baik saat tahap pra-panen maupun pasca-panen yang telah direkomendasikan oleh penyuluh lapangan. 1 Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi timbulnya beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengoptimalkan sektor pertanian. Kebijakan dikeluarkan guna menangani permasalahan yang timbul dalam permasalahan lahan dan hubungan antara petani dan perkebunan, kemudian menghasilkan sebuah program intensifikasi. Program ini digunakan untuk meningkatkan hasil pertanian dan mempererat kerjasama antara petani dan perkebunan dalam pengusahaan tanaman tembakau. 1 Soegijanto Padmi & Edie Djatmiko, op.cit, hlm. 80.

Transcript of BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA...

Page 1: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

35

BAB III

PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA

PERKEBUNAN TEMBAKAU WEDI-BIRIT

Pada musim-musim tertentu, apabila kondisi alam yang kurang mendukung mutu

dari tembakau Vorstenlands mengalami penurunan. Ada beberapa penyebab terjadinya

penurunan tersebut yaitu sempitnya lahan pertanian, rendahnya sumber daya petani, dan

kurangnya pengalaman pada petani penggarap lahan perkebunan, yang mengakibatkan

penggarapan menjadi kurang baik sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan

kuantitas hasil tembakau, dan kurang memadahinya teknologi pertanian yang diterapkan,

yaitu kurang terpenuhinya aspek teknis-agronomis baik saat tahap pra-panen maupun

pasca-panen yang telah direkomendasikan oleh penyuluh lapangan.1

Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi timbulnya beberapa kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah untuk mengoptimalkan sektor pertanian. Kebijakan dikeluarkan

guna menangani permasalahan yang timbul dalam permasalahan lahan dan hubungan

antara petani dan perkebunan, kemudian menghasilkan sebuah program intensifikasi.

Program ini digunakan untuk meningkatkan hasil pertanian dan mempererat kerjasama

antara petani dan perkebunan dalam pengusahaan tanaman tembakau.

1 Soegijanto Padmi & Edie Djatmiko, op.cit, hlm. 80.

Page 2: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

36

A. Latar Belakang Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL)

Telah dikemukakan oleh Soegijanto Padmo bahwa budidaya tembakau untuk

pasaran ekspor, telah dilakukan oleh orang-orang Belanda di pulau Jawa sejak abad XIX.

Sekitar tahun 1858 di desa Jetis onderdistrik Gondang, merupakan daerah yang pertama

kali ditanami tembakau. Percobaan penanaman tersebut berhasil dan kemudian diperluas

ke daerah-daerah sekitarnya seperti Kebonarum, Wedi-Birit dan Manjung.2

Tembakau merupakan salah satu komoditi yang memiliki peranan cukup penting

bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari segi perdagangan tembakau di luar

negeri dan dampak sosial-ekonomi untuk negara. Dalam usaha perkebunan rakyat di

Indonesia melibatkan petani dalam jumlah yang banyak, oleh karena itu sub sektor

Perkebunan rakyat merupakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan serta menjadi

sumber utama pendapatan penduduk.

Perkebunan rakyat sebagai usaha tani keluarga mencakup berbagai tanaman

perdagangan seperti karet, kopi, lada, tembakau, dan cengkeh.3 Jenis-jenis komoditi

tersebut telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi perekonomian Indonesia,

begitu juga pada kehidupan petani. Di Kecamatan Wedi ini banyak petani yang

menggantungkan kehidupannya dari hasil pertanian.

Dengan diandalkannya perkebunan bagi keberlangsungan kehidupan petani,

perkebunan merupakan satu hal yang penting dalam perekonomian petani sekitar

perkebunan. naik turunnya pendapatan petani tergantung dari keadaan perkebunan itu

2 Soegijanto Padmo, op.cit, hlm. 34.

3Mubyarto.dkk., op.cit, Hlm. 187.

Page 3: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

37

sendiri. Kondisi perkebunan mulai mengalami penurunan produksi pasca

penasionalisasian perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di Indonesia. Begitu juga

pada perkebunan tembakau di Kecamatan Wedi, pasca diadakan nasionalisasi tersebut,

produksi tembakau mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh masih adanya

pengaruh pendudukan Jepang sebelum itu, hampir seluruh perkebunan di wilayah Wedi

dialihfungsikan untuk menanam tanaman bahan pangan serta tanaman rosella, dan

terjadinya perang kemerdekaan (1945-1949) telah mengakibatkan kehancuran bagi

perekonomian Indonesia, serta kondisi politik yang tidak stabil setelah adanya proses

nasionalisasi.4

Tembakau merupakan tanaman rakyat yang memiliki faktor-faktor kelemahan

dalam pengusahaannya yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, untuk

meningkatkan hasil kualitas dan produktivitas. Pada masa Orde Baru muncul kebijakan

Revolusi Hijau, sebuah kebijakan dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau merupakan

suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah yang berupa

benih unggul baru dari berbagai varietas komoditi yang mengakibatkan meningkatnya

hasil panennya.5

Adapun tujuan dari Revolusi Hijau ini sendiri adalah mengubah pola pertanian

tradisional menuju ke pola pertanian yang moderen, dengan kata lain memodernisasikan

pertanian gaya lama guna memenuhi kebutuhan ekonomi nasional. Hal ini disebabkan,

4 Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia

Menguatnya Peran Ekonomi Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 12.

5 Loekminto Soertrisno, Pertanian Pada Abad Ke 21, (Jakarta: Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan Dan Kebudayaan, 1998), hlm. 13.

Page 4: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

38

saat pemerintahan Orde Baru memiliki tekad untuk memperbaiki seluruh aspek

kehidupan bangsa, termasuk didalamnya kehidupan ekonomi. Setelah diadakannya

stabilisasi dan rehabilitasi, kemudian dilaksanakan pembangunan nasional yang menitik

beratkan pada pembangunan ekonomi dengan penekanan pada sektor pertanian. Sasaran

utamanya adalah peningkatan pangan dan penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus untuk

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.6 Pada masa pemerintahan Orde Baru

ini, pemerintah berupaya untuk membangun perkebunan dengan sasaran untuk

meningkatkan taraf hidup petani. Berbagai cara dilakukan mulai dari mengadakan

program UPP (Unit Pelaksanaan Proyek), lalu PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang

kesemuanya kurang terlaksana dengan baik, hal ini diakibatkan oleh penanganan yang

kurang matang.7

Guna meningkatkan sub sektor perkebunan pemerintah membuat sebuah

kebijakan dengan menggunakan tiga cara yaitu diversifikasi, perluasan area, dan

intensifikasi. Untuk komoditi tembakau program Intensifikasi baru dimulai sejak tahun

1983. Selain pada tanaman tembakau program intensifikasi ini dilakukan pula pada

beberapa tanaman pertanian seperti tanaman pangan (padi) dan tanaman perkebunan

yaitu tebu (Intensifikasi Tebu Rakyat), serta tembakau yaitu intensifikasi tembakau

Vorstenlands (ITVL) dan intensifikasi tembakau virginia (ITV).8

6 Tubagus Hafids, “Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat Di Kecamatan Teras

Boyolali Dalam Industri Pengolahan Tembakau Tahun 1984-998”, Skripsi, Sarjana Strata

Satu Jurusan Ilmu Sejarah, FIB Universitas Sebelas Maret, hlm. 5.

7 Mubyarto., op.cit, hlm. 125.

8 Repelita Ke IV Daerah tahun 1986/1987, hlm. 568.

Page 5: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

39

Tujuan dari diadakannya intensifikasi tembaku ini adalah untuk meningkatkan

pendapatan petani melalui peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi tembakau

untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun meningkatkan jumlah ekspor, dan

meningkatkan penerimaan negara melalui peningkatan bea cukai dan peningkatan devisa

hasil ekspor. Program ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan hubungan antara pihak

perkebunan dengan petani sebagai pemilik sawah yang di sewa tanahnya dan menjadi

mitra kerja bagi perkebunan dan saling menguntungkan.

B. Implementasi Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL)

Program intensifikasi diterapkan di beberapa daerah yang mengusahakan

tanaman-tanaman komoditi. Salah satu daerah yang menerapkan program intensifikasi ini

adalah perkebunan tembakau di Kecamatan Wedi. Jenis intensifikasi yang diterapkan

pada perkebunan tembakau Wedi-Birit di Kecamatan Wedi ini adalah intensifikasi

tembakau Vorstenlands (ITVL). Hal ini dikarenakan jenis tanaman tembakau yang

dibudidayakan di kecamatan Wedi merupakan jenis tembakau Vorstenlands. Jenis

tembakau Vorstenlands merupaka jenis tembakau yang dulunya hanya ditanam dan

dibudidayakan di daerah Vorstenlanden (tanah Kerajaan) yaitu sekitar wilayah

Yogyakarta dan Surakarta, salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Klaten.

Adapun program intensifikasi yang diterapkan di Kecamatan Wedi ini terjalin

antara dua pihak yaitu pihak perkebunan yang diwakili oleh PNP XIX dan pihak petani.

Program ini berlangsung dari tahun 1983, yaitu sejak diberlakukannya program ITVL

oleh pemerintah. Peserta dari program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands ini adalah

para petani pemilik tanah yang mengusahakan tanaman tembakau pada tanah miliknya

Page 6: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

40

sendiri, pemegang bengkok yang mengusahakan tanaman tembakau di atas tanah mereka,

dan penggarap yang diberikan kuasa oleh pemilik tanah yang diusahakannya dengan

ketentuan luas tanah garapannya termasuk tanah miliknya sendiri tidak lebih dari dua

hektar.9 Adapun tanah yang dimanfaatkan untuk program Intensifikasi Tembakau

Vorstenlands ini terdiri dari tanah sanggan, lungguh, pituas, kas desa/tanah bengkok.

Kerjasama yang terjalin antara peserta atau kelompok tani dan pengelola

dituangkan dalam sebuah surat perjanjian yang menyebutkan hak dan kewajiban masing-

masing pihak, yang diketahui oleh Kepala Desa. Adapun kewajiban pengelola adalah

menyelenggarakan bimbingan tehnis operasional pengolahan tanah, pembibitan,

penanaman, pemeliharaan dan pengolahan hasil tembakau. sedangkan kewajiban petani

sebagai pihak pelaksana dalam pengusahaan tanaman sejak dari pembibitan, penanaman,

pemeliharaan, dan panenan/pengolahan hasil yang dikelompokkan dalam satu wadah

kegiatan kerjasama kelompok tani. Program ITVL yang berada di kecamatan Wedi

berjalan sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Klaten yang dikeluarkan pada setiap

tahunnya sebelum musim tanam tembakau berlangsung. Program ITVL selain

berdasarkan SK Bupati, juga dijalankan dengan pengarahan dan diawasi dalam

pelaksanaannya oleh PNP XIX selaku pihak perkebunan.10

Program ITVL yang diterapkan di Kecamatan Wedi ini memiliki dua pola yaitu

yang pertama petani melaksanakan usaha tani sendiri, sejak penanaman hingga

9 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: KB.420/148/Kpts/3/1984 tanggal 27

Maret 1984, tentang Program Intensifikasi Tembakau Musim Tanam Tahun 1984/1985,

hlm. 14.

10 Ibid.

Page 7: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

41

pengolahan hasil, kemudian kredit dari pemerintah dikelola langsung oleh petani

(kelompok tani) dengan mendapat pengarahan dan bimbingan dari PNP XIX. Pola yang

kedua yaitu pola kerjasama, dimana petani mengusahakan pengelolaan kredit yang

diterima dari pemerintah kepada pengelola, petani tetap dibina agar pada akhirnya

mampu melaksanakan usaha tani sendiri. Dari kedua pola tersebut sistem sewa tanah

yang berlaku adalah petani hanya sekedar menyewakan tanahnya, sedangkan untuk usaha

tani dilaksanakan oleh pihak perkebunan, dalam hal ini petani bersifat pasif, sedangkan

untuk hasil produksi merupakan milik dari petani, kemudian dibeli oleh pihak

perkebunan selaku pihak pengelola dengan harga yang telah ditetapkan secara

musyawarah antara kedua belah pihak dalam koordinasi Satpel Bimas (Satuan Pelaksana

Binaan Masal), dengan ketentuan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak.11

Dalam aplikasi pelakasanaannya pola yang dipakai untuk di daerah, sebagian besar masih

mempergunakan pola yang kedua, begitu juga untuk pelaksanaan ITVL di Kecamatan

Wedi juga menggunakan pola yang kedua.

1. Lahan Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Semenjak diterapkannya sistem kerjasama melalui program ITVL tahun 1983,

lahan yang digunakan untuk pengusahaan tanaman tembakau berada pada 6 desa di

Kecamatan Wedi. Adapun desa-desa yang lahannya digunakan tersebut adalah

Kalitengah, Canan, Gadungan, Pandes, Birit, dan Sukorejo. Penurunan atas permintaan

tembakau dipasaran mempengaruhi penggunaan lahan disekitar perkebunan. Selain itu

11

PTPN X(Persero), Makalah Dalam Rangka Rapat Kerja Pelaksanaan Program

(ITVL) MT. 1989/1990.

Page 8: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

42

alasan lain yang mendasari hanya beberapa desa yang digunakan untuk menanam

tembakau ini adalah alasan tingkat kesuburan tanah dari tiap desa, adanya serangan

penyakit tanaman tembakau di beberapa desa-desa.12

Di perkebunan Wedi-Birit penanaman tembakau dilakukan pada lahan

persawahan yang pada umumnya digunakan pula untuk menanam tanaman pangan yaitu

tanaman padi. Maka untuk mencegah hilangnya kesuburan tanah dilakukan berbagai cara

untuk menanganinya, salah satunya yaitu dengan cara penggiliran penanaman tanaman

pangan dengan penanaman tanaman tembakau. Pergantian tanaman yang terjadi di daerah

Wedi dilakukan seperti berikut:

Tabel 3.

Siklus Alokasi Sawah di Kecamatan Wedi

Tahun Bulan Keterangan

I

Januari – Maret Tanaman padi

April – Agustus Garapan tanah untuk tembakau

Agustus – Desember Tanaman tembakau

II

Januari – April Tanaman padi

Mei – Oktober Tanaman padi, gadung, atau

palawija

November – Maret Tanaman padi

III April – Agustus Garapan tanah untuk tembakau

Agustus – Desember Tanaman tembakau

Sumber: R.Sodo Adisewojo, Bertjotjok Tanam tembakau (Nicotiana tabacum), hlm.

12.

12

Informasi dari Pihak Kepala Gudang Pengolahan Wedi-Birit.

Page 9: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

43

Adanya penggiliran penanaman tersebut memiliki tujuan untuk menjaga kualitas

tanah akan kesuburannya. Hal ini karena tanah yang digunakan secara terus menerus

dengan tanaman yang sama, maka tingkat kesuburan yang dimiliki akan mengalami

penurunan. Lahan persawahan milik petani ini, tembakau bukan merupakan tanaman

pokok mereka, sehingga memang harus dilakukan penggiliran penanaman guna

memenuhi kebutuhan hidup petani dengan menanam tanaman pokok (padi) dan palawija

(kacang-kacangan, singkong dan ubi). Dengan adanya penggiliran penanaman tersebut

memberikan keuntungan tersendiri bagi petani, sebab tanah yang setelah ditanami

tembakau, akan memberikan hasil tanam padi yang lebih bagus.13

Menurut Mubyarto dalam buku Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian

Sosial Ekonomi, tanah merupakan faktor produksi utama dalam usaha perkebunan. Tanah

diperlukan sebagai tempat tumbuh komoditi-komoditi yang diusahakan. Wedi merupakan

sebuah daerah memiliki tanah subur yang sangat mendukung bagi berkembangnya usaha

perkebunan maupun pertanian pada umumnya. Untuk mengatasi keterbatasan tanah yang

dibutuhkan oleh perkebunan, jalan keluar yang digunakan adalah dengan cara menyewa

tanah pada masyarakat di sekitar perkebunan.

Penanaman tembakau di perkebunan Wedi-Birit telah berlangsung sejak Kolonial

Belanda berkuasa di Indonesia. Sejak Belanda hingga perkebunan dikuasai dan dikelola

oleh bangsa Indonesia, berbagai macam sistem penanaman telah diterapkan pada

perkebunan tembakau Wedi-Birit guna meningkatkan hasil produktivitas dan mutu

13

Wawancara dengan Bapak Sukino, mantan pengawas Perkebunan Wedi-Birit.

Page 10: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

44

tembakau. Dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan untuk penanaman tanaman

tembakau, salah satunya adalah sistem sewa atau bagi hasil.

Adapun pola kerjasama yang dipakai dalam hubungan antara petani dan

perkebunan adalah sistem bagi hasil. Dalam hubungan kerjasama yang menggunakan

sistem bagi hasil biasanya terdapat pada masyarakat yang masih bercorak feodal,

kapitalis dan sosialis, serta mengedepankan pertanian sebagai basis utama

perekonomiannya. Pada masyarakat yang masih memegang sistem seperti ini biasanya

masyarakat yang erat kaitannya dengan pertanian, seperti yang diungkapkan Scheltema,

Bagi hasil pada hakekatnya dilihat sebagai pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah

dan penggarap dalam suatu hubungan tertentu. Hubuangan tersebut tidak terutama

bersifat hukum, lagi pula apabila hubungan tersebut dicirikan oleh suatu transaksi

atau perjanjian yang melibatkan uang, maka tidak dikatakan adanya hubungan

bagi hasil. Hubungan-hubungan antara pemilik dan penggarap tanah yang bersifat

ekonomis dan memakai uang sebagai imbalan dan bukan nyata-nyata membagi

hasil, tidak tercakup di dalam definisi bagi hasil.14

Dalam pelaksanaannya kerjasama yang terjalin dalam program ITVL ini adalah

semua pembiayaan mengenai penanaman tembakau berasal dari PNP XIX sebagai pihak

pengelola program, petani hanya menyewakan lahan dan menggarap lahan. PNP XIX

menanggung semua biaya mulai dari awal penanaman hingga panen, seperti penyediaan

bibit, pupuk bagi tanaman dan segala kebutuhan kebun. Pembiayaan diberikan oleh PNP

tersebut bersifat pinjaman, jadi petani meminjam uang dari PNP untuk pembiayaan

penanaman tembakau. Petani mengembalikan uang pinjaman tersebut setelah panen

14

Scheltema, Bagi Hasil Di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1985), hlm. 6.

Page 11: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

45

berlangsung dengan memotong hasil penjualan daun tembakau kering yang disetorkan ke

PNP XIX.15

Pada masa sistem sewa atau bagi hasil ini berlangsung, areal tanah dibagi menjadi

dua blok yaitu blok A dan blok B. Penanaman tembakau dilakukan secara bergantian

pada tiap blok tiap tahunnya.16

Sistem sewa atau bagi hasil ini berbeda dengan sistem

penanaman yang di pakai dalam perkebunan tembakau sebelumnya yaitu sistem koletif,

yang berlangsung pada tahun 1962 hingga 1969. Pada sistem ini petani diwajibkan untuk

menyerahkan lahan pertanian kepada PNP XIX sesuai SK Bupati yang telah dikeluarkan.

Bedanya dengan sistem sewa, dalam sistem koletif ini meski lahannya diserahkan, namun

petani masih aktif dalam pengusahaan penanaman tembakau, yang meliputi pembukaan

area pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan, petik atau panen,

pengeringan, dan penyerahan tembakau kepada PNP XIX.17

Kerjasama yang terjalin

antara pihak perkebunan dengan petani merupakan kombinasi antara bagi hasil dan

kontrak sewa. Pada masa diberlakukannya sistem sewa ini kemudian muncul program

kerjasama antara perkebunan dengan petani yang bertujuan untuk meningkatkan hasil

produksi tembakau melalui program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL).

Kerjasama yang terjalin antara petani dengan PNP XIX dalam penyewaan tanah

pada sistem ITVL setiap tahunnya diawali dengan adanya Surat Keputusan Bupati yang

15

Wawancara Dengan Bapak Sukino, Tanggal 02 Mei 2016.

16 Faturochman dan Bimo Walgito, “Ketidak Berdayaan Pemilik Lahan Sawah

Dan Ketidakadilan Terhadap Mereka: Kasus Penanaman Tembakau di Klaten”, Jurnal

Populasi, Volume. 1 No. 13, 1999, hlm. 71.

17 Faturochman dan Bimo Walgito, op.cit, hlm. 70.

Page 12: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

46

mengharuskan pemilik menyerahkan sawahnya untuk ditanami tembakau. Setelah

turunnya Sk tersebut kemudian petani diharuskan mempersiapkan lahan yang dimiliki,

dalam artian tanah harus segera dikosongkan dari berbagai jenis tanaman lain hingga

pada akhirnya diserahkan kepada pihak perkebunan dan kemudian diolah lalu ditanami

tembakau.18

Dalam perjalanannya program ITVL ini tidak berjalan semulus yang

direncanakan. Terjadi naik turun hasil dalam program ini yang disebabkan oleh berbagai

faktor. Masa tanam tahun pada tahun 1988/1989 hingga 1989/1990 panen dari daun

tembakau berada pada hasil yang tinggi berkisar 1.156.643 sampai 1.655.408, dengan

harga jual 915/Kg sampai 950/Kg. Hal ini cukup mendatangkan keuntungan bagi kedua

belah pihak pada musim-musim tertentu, saat panen mengalami kenaikan. Akan tetapi,

pada tahun-tahun tersebut pula telah terjadi pengurangan lahan areal penanaman

tembakau pada program ITVL, yang semula luas areal yang digunakan adalah 1.400 Ha

kemudian dipangkas atau dikurangi sehingga menjadi 1.000 Ha, total luas lahan yang

digunakan disemua daerah yang menerapkan ITVL. Hal ini disebabkan adanya

penurunan kualitas dari daun tembakau yang tidak sesuai dengan permintaan pasar.

Dengan dikuranginya lahan sebagai areal penanaman tembakau ini mempengaruhi pula

pengurangan kerjasama antara perkebunan dengan petani.19

18

Wawancara dengan Bapak Yadi, pada 02 Mei 2016.

19 Koleksi Arsip PTPN X (Persero) Unit Klaten, tentang Sambutan Direksi PN.

Perkebunan XIX dalam Rapat dengan Kelompok Tani Peserta Program ITVL dan

Pemerintah Daerah ingkat II Kabupaten Klaten Tanggal 4 Maret 1989.

Page 13: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

47

Dengan masuknya sistem perkebunan tembakau pada masyarakat Klaten,

masyarakat mulai mengenal sistem sewa tanah. Kebanyakan perusahaan menyewa areal

tanah untuk penanaman tiap musim tanam dari masyarakat desa atau dari pemilik tanah

pribadi. Dalam sistem penggarapan tanah tersebut diatur sejak awal penyerahan tanah.

Tanah yang disewa untuk penanaman tembakau harus diserahkan kira-kira antara bulan

Juni dan pada bulan Agustus mulai dikerjakan. Namun penyerahan lahan tersebut sering

mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan.

Adanya keterlambatan penyerahan lahan dari petani kepada pihak perkebunan

pada tiap musim masa tanam tembakau, dapat mempengaruhi keberlangsungan

produktivitas perkebunan. Keterlambatan penyerahan lahan tersebut diakibatkan oleh

lahan yang sebelumnya ditanami tanaman pangan dan palawija. Munculnya

permasalahan tersebut mengharuskan pihak perkebunan untuk mencari cara untuk

mengatasi permasalahan tersebut. Guna mencegah semakin menurunnya produktivitas

perkebunan, maka pihak perkebunan memberlakukan sistem ajon-ajon.

Sistem ajon-ajon merupakan pemberian uang guna ganti rugi oleh pihak

perkebunan kepada petani. Dikatakan sebagai uang ganti rugi karena tanah yang sudah

diberikan uang ajon-ajon, petani tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah menjadi

hak perkebunan sampai tanah itu selesai digunakan untuk menanam tembakau. Jangka

waktu persewaan tanah selama satu musim tanam tembakau, selama kurun waktu tersebut

petani tidak berhak untuk mengolah tanahnya, dan hak pengelolaan atas tanah menjadi

hak PNP XIX. Adapun besarnya ajon-ajon yang diberikan kepada petani pada setiap

bulanya sebesar 1/7 (satu per tujuh) dari sewa pokok yang telah ditentukan. Besarnya

Page 14: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

48

ajon-ajon bisa berbeda-beda tergantung cepat tidaknya waktu penyerahan, semakin cepat

penyerahan lahan semakin besa jumlah ajon-ajon.20

Dengan sistem ajon-ajon ini pihak

perkebunan memiliki keuntungan yaitu dapat memperoleh kepastian tanah untuk proses

penanaman tembakau, berbeda dengan petani yang mendapat kerugian yaitu kehilangan

haknya atas tanah-tanah yang dimilikinya, selain itu masa tanam padi juga menjadi tidak

sesuai jadwalnya.21

Sistem ajon-ajon ini muncul pada saat sistem koletif berlangsung

hingga sistem sewa dan saat program ITVL ini berlangsung sistem ajon-ajon ini masih

digunakan.

Dalam urusan penyewaan lahan dari petani oleh pihak perkebunan pemerintah

selalu memiliki andil didalamnya. Hal ini dikarenakan oleh dasar dari adanya kerjasama

antara petani dan pihak perkebunan dalam sistem ITVL setiap tahunnya diawali dengan

adanya Surat Keputusan Bupati yang isinya mengharuskan pemilik menyerahkan

sawahnya untuk ditanami tembakau. Peran Surat Keputusan pada pihak petani

merupakan sebuah tanda bahwa petani harus segera menyerahkan sawahnya atau tidak.

Sebelum diserahkan kepada pihak perkebunan sawah harus dipersiapkan terlebuh dahulu,

yaitu sawah harus dikosongkan dari segala jenis tanaman pangan dan sejenisnya yang

sengaja ditanam.

20

Normalia Puspitasari, Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya

terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Klaten Tahun 1970-1983, Skripsi, Sarjana

strata Satu Jrusan Pendidikan IPS, FISIP Universitas Sebelas Maret, 2007, hlm. 28.

21 Faturochman dan Bimo Walgito, op.cit, hlm. 52.

Page 15: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

49

a. Luas Areal Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Luas areal yang digunakan untuk menanam tembakau di perkebunan tembakau

Wedi-Birit tergantung dari jumlah permintaan pasar terhadap tembakau pada tiap

tahunnya, sehingga luas areal tiap tahunnya bisa berbeda-beda. hal ini disebabkan lahan

pada perkebunan tembakau Wedi-Birit bukan merupakan milik perusahaan perkebunan,

melainkan milik dari petani sekitar yang disewa dengan sistem kerjasama untuk

digunakan menanam tembakau. Rata-rata petani di Kecamatan Wedi memiliki lahan

dengan luas 0,20 hektar, dengan 1 patoknya ada yang dimiliki hampir 8 sampai 10

orang.22

Saat pelaksanaan program ITVL penyediaan areal pada masing-masing kabupaten

ditentukan oleh Kepala Daerah Tingkat I setempat. Luas areal yang dipergunakan untuk

Program intensifikasi tembakau pada tiap daerah dan tiap jenis tembakau berbeda-beda,

untuk program ITVL areal yang digunakan seluas 1.400 Ha, meliputi beberapa daerah

yang menerapkan program ITVL dan Kecamatan Wedi menjadi salah satu daerah

didalamnya. Luas areal yang digunakan untuk Kecamatan Wedi pada tiap musim

tanamnya berkisar antara 173-221 Ha. Luas lahan yang digunakan tergantung dari

permintaan tembakau di pasaran. Pihak perkebunan yang diwakili oleh PNP sebagai

pengelola memberikan uang muka kepada petani peserta program ITVL sebesar Rp

300.000,-/Ha, untuk setiap lahan yang digunakan.23

22

Surat Direksi PNP XIX Nomor: 13/RHS/1987, tentang pelaksanaan ITVL. 23

Surat Administratur PN Perkebunan XIX Kebun Wedi-Birit Nomor:

14/D.7/350/1989, Tentang Uang Muka ITVL.

Page 16: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

50

Tabel 4.

Luas Areal, Produksi Kering Los dan Harga tembakau Vorstendlands

pada Tahun 1988-1997

Musim

Tanam

Luas Areal

(Ha)

Produksi Rerata (Kg/Ha) Harga (Rp/Kg)

1988 1.402,17 1.655.408 1.181 915

1989 946,93 1.156.643 1.221 960

1990 460,18 570.242 1.239 1. 205

1991 572,31 702.154 1.227 1. 302

1992 461,44 520.515 1.128 1. 405

1993 486,82 573.642 1.178 1. 505

1994 492,85 633.374 1.282 1. 650

1995 519,26 605.313 1.166 1. 800

1996 495,37 711.646 1.437 1.850

1997 513,64 768.024 1.495 4.100

Sumber: PT Perkebunan XXVII.

Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa hasil produksi dari tembakau pada setiap

tahunnya tidak selalu sama, juga tidak mengalami kenaikan yang stabil. Dalam tabel

tersebut hasil produksi mengalami fluktuasi atau naik turun pada hasil panen. Naik turun

yang terjadi pada hasil produksi dan harga daun tembakau kering ini setiap tahunnya

tidak selalu sama. Untuk harga tembakau sendiri mengalami kenaikan setiap musim

tanam namun kenaikan tersebut tidak sesuai dengan harapan petani. Kenaikan harga jual

tembakau tersebut mengalami puncaknya pada tahun 1997 mencapai Rp 4.100/Kg daun

tembakau kering.

Naik turunnya permintaan tembakau di pasaran atau produksi tembakau

mempengaruhi luas lahan yang dipergunakan untuk menanam tembakau. Adapun

beberapa faktor yang mempengaruhi tersebut yaitu saat permintaan tembakau naik maka

Page 17: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

51

lahan yang digunakan akan ikut meluas, begitu juga sebaliknya jika permintaan terhadap

tembakau menurun maka lahan yang digunakan pun akan ikut dikurangi.24

Selain faktor

tersebut ada alasan lain yaitu adanya persaingan antara tanaman perkebunan dan tanaman

pangan yang semakin menguntungkan. Berbeda dengan tanaman tembakau yang pada

tahun-tahun tersebut tengah mengalami penurunan kualitas, sehingga hasilnya tidak

mampu bersaing dengan tembakau lain di pasaran. Pada masa Orde Baru tengah gencar

dilakukan peningkatan terhadap pertanian tanaman pangan, sehingga tidak heran apabila

tanaman selain tanaman pangan kedudukannya tergeser.

Mulai tahun 1990-an terjadi penurunan permintaan sekaligus juga penurunan

harga tembakau. Hal ini disebabkan pasaran tembakau dunia didominasi oleh tembakau

yang berasal dari Amerika Selatan, sehingga permintaan akan tembakau Indonesia

mengalami penurunan, kemudian mempengaruhi terhadap harga jual tembakau yang

menurun pula.

Perkebunan tembakau Wedi-Birit mulai mengalami gejolak pada tahun 1998,

dimana terjadi kemerosotan pada hasil panenan, yang diakibatkan oleh penurunan

kualitas dan kuantitas dari hasil panen daun tembakau, pada tiap tahunnya yang

dihasilkan oleh perkebunan tembakau Wedi-Birit ini diakibatkan oleh beberapa faktor.

Walaupun telah diterapkan program ITVL yang digadang sebagai Program yang

mengubah sistem penanaman dari tradisional ke moderen, tidak bisa dihindari pula

penurunan mutu pada daun tembakau pada tiap musim panen. Hal ini disebabkan oleh

24

Wawancara dengan Kepala Gudang Pengolahan kebun Wedi-Birit, Pada

Tanggal 02 Mei 2016.

Page 18: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

52

beberapa faktor yang salah satunya merupakan faktor alam, yaitu terjadinya peningkatan

curah hujan yang turun pada kecamatan Wedi mengakibatkan menurunnya mutu (kualitas

dan kuantitas) dari daun tembakau yang dihasilkan, selain itu kurangnya ketelitian dalam

pengolahan seperti adanya penggantian bibit tembakau yang ditanam hingga sebab

penggantian pupuk. Alasannya karena petani tidak mampu membeli pupuk impor, harga

pupuk impor mengalami kenaikan yang disebabkan oleh krisis dari tahun 1997-1998. Hal

ini lah yang kemudian mempengaruhi penurunan kualitas dan kuantitas daun tembakau

yang dihasilkan pada tiap panen, yang berimbas kepada merosotnya hasil panen.

Pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 11% pada ke tiga perkebunan

tembakau andalan Indonesia yaitu Besuki, Deli dan Surakarta (Klaten). Penurunan yang

terjadi dari tembakaku yang dihasilkan pada tahun sebelumnya sebesar 17.624 ton

merosot hanya menjadi 15.626 ton saja. Disisi lain harga jual tembakau mengalami

kenaikan dari harga yang sebelumnya hanya US$ 6.245 per ton naik menjadi US$ 10.449

per ton. Harga jual tembakau dari tahun 1997 ke tahun 1998 mengalami kenaikan sebesar

67%.25

b. Hasil Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Pada periode tahun 1983-1988, perkembangan produksi tembakau di Indonesia

menunjukkan adanya perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Budidaya

tanaman tembakau di wilayah Klaten terutama Kecamatan Wedi merupakan jenis

tembakau cerutu. Tembakau ini umumnya untuk diekspor ke luar negeri. Semua

tembakau yang diekspor dari perkebunan tembakau Indonesia adalah tembakau cerutu,

25

Faturochman & Bimo Walgito, op.cit, hlm. 88.

Page 19: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

53

dengan pasaran di Breman. Produsen tembakau Deli khusus daun pembungkus halus,

sedangkan untuk tembakau Vorstenlands diklasifikasikan sebagai bladtabak dan

krosok.26

Pada perkebunan tembakau yang berada di wilayah Kabupaten Klaten ini

menanam dua jenis tembakau yaitu jenis tembakau Virginia untuk perkebunan

Kebonarum dan Gayamprit, untuk jenis tembakau Vorstenlands ditanam pada

perkebunan Wedi-Birit. Untuk jenis tembakau Vortenlanden ditanam dengan

menggunakan dua sistem penanaman yaitu tembakau bawah naungan (TBN) namun

sering juga disebut VBN (Vorstenlands Bawah Naungan) yang ditanam mulai bulan

Maret hingga September dan tembakau NO (Na-Oogst) yaitu tembaku yang ditanam

antara bulan Juni sampai Desember.27

Adapun hasil produksi dari perkebunan tembakau ini berupa daun tembakau yang

telah dikeringkan. Daun yang telah dikeringkan dibagi menjadi tiga tipe yaitu untuk

bahan isi cerutu (Filler), pembungkus (omblad), dan bahan pembungkus (deckblad). Dari

ketiga jenis daun tersebut memiliki harga yang berbeda-beda pula. Pengusahan tembakau

cerutu, selama dikelola oleh PNP XIX memiliki manajemen yang cukup baik. Hal ini

dapat dilihat dari hasil produktivitasnya yang cukup tinggi dan memiliki mutu yang

relatif baik, untuk setiap tahunnya tembakau cerutu Vorstenlands ini menghasilkan 1.500

26

Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko, op.cit, hlm. 40.

27 Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko, op.cit, hlm. 39-40.

Page 20: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

54

kg per hektar. Untuk hasil tembakau dari perkebunan tembakau Vorstenlands ini

merupakan yang paling banyak dibandingkan perkebunan tembakau lainnya.28

Banyak sedikitnya hasil produksi daun tembakau pada perkebunan tembakau

Wedi-Birit sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan cara pengolahan. Apabila saat

penanaman berlangsung curah hujan cukup tinggi dan keadaan berkabut maka daun

tembakau yang dihasilkan akan kurang bagus, bahkan bisa mengakibatkan kebusukan

pada daun tembakau. Selain itu perawatan yang dilakukan saat penanamn tembakau

berlangsung juga mempengaruhi terhadap hasil daun, sebab jika perawatan yang

dilakukan tidak sesuai maka akan menimbulkan beberapa penyakit dan serangan hama

pada daun tembakau.

Produksi tembakau periode tahun 1980-an, yang dihasilkan oleh perkebunan di

Kecamatan Wedi ini mengalami peningkatan hasil atau peningkatan produksi. Pada awal

tahun 1983, produksi mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dibandingkan pada

tahun sebelum-sebelumnya. Namun saat periode 1980-1985 produksi tanaman komoditi

tengah mengalami fluktuasi, yaitu sebuah keadaan ketidakstabilan pada hasil produksi

daun tembakau.29

Adanya tembakau yang di produksi oleh negara lain di pasaran dunia serta adanya

daun tembakau sintetis dan munculnya kelapa sawit sebagai primadona ekspor komoditi

pada awal tahun 1980-an, merupakan faktor terjadinya fuktuasi pada hasil produksi daun

28

PT Perkebunan X, Pedoman Manajemen Operasional Budidaya Tembakau

Vorstenlands.

29Tim P3PK UGM, op.cit, hlm. 73.

Page 21: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

55

tembakau, selain faktor menurunnya kualitas dan kuantitas daun tembakau. adanya

ketidak stabilan hasil produksi dapat dilihat pada tabel nilai ekspor berikut:

Tabel 5.

Berat dan Nilai Ekspor Tembakau Indonesia Tahun 1983-1987

Tahun Berat

(000 Ton)

Nilai

(000 US$)

1983 25,7 47.556

1984 23,0 44.629

1985 21,1 45.079

1986 24,9 72.320

1987 7,4 29.910

Sumber: P3PK UGM (1989).

Menurut kesepakatan dalam program ITVL, petani peserta program ITVL wajib

menjual hasil panen mereka kepada PNP XIX selaku pihak pengelola, yang membina

petani peserta program. Penjualan yang dilakukan meliputi daun tembakau yang telah

dikeringkan terlebih dahulu di los-los pengeringan. Untuk setiap kilogram daun tembakau

kering dengan panjang sekurang-kurangnya 20 cm petani menerima harga senilai dengan

dua kali harga dasar gabah kering giling menurut ketentuan yang berlaku. Petani

menerima pembayaran daun tembakau secara keseluruhan (total) senilai dengan harga

sepuluh kwintal tembakau kering, pembayaran uang hasil panen ini sudah termasuk

dengan uang muka yang telah diberikan sebelumnya. Petani menerima uang pembayaran

Page 22: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

56

hasil panen secara tunai setelah uang dikurangi uang pinjaman yang telah sebelumnya

dipinjam oleh petani selama masa tanam berlangsung.30

PNP XIX selaku pihak perkebunan membeli daun tembakau kering dari petani

dengan harga Rp 1.850/Kg. harga beli dari PNP XIX ini tergantung dari nilai jual

tembakau di pasaran dunia, apabila harga tembakau di pasaran ekspor mengalami

kenaikan maka harga beli juga akan naik begitu sebaliknya jika pasar ekspor menurun

maka harga beli juga ikut turun. Untuk harga beli daun tembakau dari petani oleh pihak

perkebunan sempat juga mengalami kenaikan yaitu dari tahun 1996 harga jual hanya

mencapai Rp 1.850/Kg pada tahun 1998 mampu menembus harga beli sebesar Rp

4.100/Kg.31

c. Kendala yang Terjadi Selama Pelaksanaan Program ITVL

Pelaksanaan program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands atau ITVL tidak lepas

dari masalah keterbatasan atau kendala. Baik kendala yang dialami oleh pihak

perkebunan maupun dari pihak petani. Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam

program ini yang pertama yaitu sempitnya lahan yang dimiliki oleh petani yang

mengikuti program ITVL ini, bagi perkebunan kepemilikan lahan yang sempit yaitu 0,20

30

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: KB.420/148/Kpts/3/1984 tanggal

27 Maret 1984, tentang Program Intensifikasi Tembakau Musim Tanam Tahun

1984/1985, hlm. 17.

31http://www.academia.edu/28332898/Objektivitas_Media_dalam_Gerakan_Sosia

l_Mengurai_Keterlibatan_Media_dalam_Jejaring_Gerakan_Petani_Vorstenlands,

Diunduh pada Tanggal 20 Oktober 2016 Pukul 23:00 WIB.

Page 23: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

57

hektar ini lebih menguntungkan pihak petani, dengan sempitnya lahan yang diserahkan

kepada pihak perkebunan dirasa tidak bisa memberikan keuntungan bagi perkebunan. 32

Disisi lain pengharusan penyerahan lahan lebih dini, dirasa merugikan bagi

petani. Hal ini dikarenakan apabila sudah masuk bulan penyerahan lahan untuk

penanaman tembakau, maka petani harus segera mengosongkan lahan mereka dari

tanaman-tanaman yang ada. Selain itu, petani mengharapkan selama lahan digunakan

untuk menanam tembakau menghasilkan sejumlah uang yang sama ketika lahan ditanami

tanaman pangan atau padi. Petani menginginkan harga jual tembakau, berpatokan pada

harga jual gabah. Perhitungan antara dua jenis tanaman yang diusahakan petani akan

sesuai bila menggunakan patokan perbandingan produktivitas padi dibandingkan dengan

tanaman tembakau 4:1. Maksud dari perbandingan 4:1 tersebut yaitu harga satu kilogram

tembakau sama dengan harga empat kilogram gabah.33

Pada tahun 1990-an harga gabah

sekitar Rp 1.000/Kg, sehingga bila dihitung sesuai keinginan petani yaitu 4:1 tersebut

harga tembakau menjadi Rp 4.000/Kg.

Kendala selanjutnya adalah kurangnya tenaga kerja di daerah dilaksanakannya

program ITVL yaitu wilayah kecamatan Wedi, yang menyebabkan petani pemilik lahan

ragu apakah mampu mengatasi kekurangan tenaga kerja ini, ditambah dengan tingginya

mobilitas tenaga kerja di daerah yang sebagian besar merupakan buruh tani/petani

penggarap artinya bahwa pemilik lahan pertanian sebagian besar sudah mempunyai

32

Koleksi Arsip PTPN X (PERSERO) Unit Klaten, Surat Direksi PN

PERKEBUNAN XIX Nomor: 13/RHS/1987, hlm. 1

33 Faturochman, “Krisis Dan Nasib Buruh Di Perdesaan”, Jurnal Populasi,

Volume 1, Universitas Gajah Mada 1999, hlm. 78.

Page 24: BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512009_bab3.pdf · Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan

58

profesi diluar sektor pertanian. Biasanya petani memiliki pekerjaan lain selain bertani di

rumah mereka memiliki pekerjaan diluar daerah selain menjadi petani. Sehingga

memungkinkan mereka meninggalkan daerah asal dalam jangka waktu yang cukup

lama.34

Kendala lainnya yaitu tempat tinggal dari pemilik lahan tidak sama dengan

tempat/lokasi lahan, banyak sekali petani yang memiliki lahan pertanian/sawah di luar

desa mereka sehingga lokasi sawah dan rumah mereka cukup jauh, hal ini menyulitkan

pendataan oleh pihak perkebunan. Serta kendala mengenai persyaratan baku tehnis yang

terlalu tinggi dalam persiapan dan pengolahan lahan, serta rumitnya ketentuan-ketentuan

yang harus dipenuhi pada waktu tanam, pemeliharaan tanaman, petik, angkut dan proses

di los pengeringan serta ketentuan dalam proses lainnya membuat petani merasa takut

dan tidak yakin akan pelaksanaan progran ITVL ini.35

34

Ibid.

35 Surat Direksi PN Perkebunan XIX Nomor: 13/RHS/1987, hlm. 2.