BAB III KONSEP MASHLAHAT DALAM HUKUM ISLAM A....

17
59 BAB III KONSEP MASHLAHAT DALAM HUKUM ISLAM A. Definisi Mashlahat Mashlahat (مصلحتال) secara bahasa berarti al-manfa’ah atau manfaat/faidah. Mashlahat merupakan ism al-masdar dari shaluha, shalaha dan berlawanan kata dengan al-mafsadah (mafsadat) yang berarti keruskan. Dalam Lisān al-Arab sebagaimana dikutip Said Ramdhan Al- Buthi pada karyanya Dhawābith al-Mashlahah fi al-Syarȋah al-Islāmiyah, dijelaskan bahwa : يه النفع فل ماكانلمصالح، فكت واحدة امصلح ال- سىاب والتجل ء كان بال حصيل الفى ائد وا ل لمر والمضاد اقاء، كاستبعا تلدفع وائذ، أو با ذا فهى جديز بأنى مصلحت. يسم(al-Buthi, tt : 23) “Bentuk jama‟ dari kata maslahat adalah al-mashālih, dan setiap hal yang di dalamnya terdapat manfaat - seperti halnya mencari faidah dan kenikmatan atau menolak dan mencegah dengan menjauhkan dari kesusahan dan bahaya - maka bisa dikatakan sebagai maslahat.” Mashlahat menurut ulama ahli fiqih bisa dipahami maksudnya dengan pernyatan mashlahat adalah manfaat yang dimaksudkan oleh pembuat hukum (al-syāri’) untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta benda dengan menetapkan peraturan-peraturan secara urut dan jelas(al-Buthi, tt : 23). Secara terminologis, mashlahat telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama ushul al-fiqh. Al-Ghazāli (w.505 H) misalnya mengatakan bahwa makna dasar dari mashlahat adalah menarik/

Transcript of BAB III KONSEP MASHLAHAT DALAM HUKUM ISLAM A....

59

BAB III

KONSEP MASHLAHAT DALAM HUKUM ISLAM

A. Definisi Mashlahat

Mashlahat (المصلحت) secara bahasa berarti al-manfa’ah atau

manfaat/faidah. Mashlahat merupakan ism al-masdar dari shaluha,

shalaha dan berlawanan kata dengan al-mafsadah (mafsadat) yang berarti

keruskan. Dalam Lisān al-‘Arab sebagaimana dikutip Said Ramdhan Al-

Buthi pada karyanya Dhawābith al-Mashlahah fi al-Syarȋah al-Islāmiyah,

dijelaskan bahwa :

حصيل ء كان بالجلب والتسىا -المصلحت واحدة المصالح، فكل ماكان فيه النفع

فهى جديز بأن –ذائذ، أو بالدفع واال تقاء، كاستبعاد المضار واآلالم للائد واالفى

(al-Buthi, tt : 23) يسمى مصلحت.

“Bentuk jama‟ dari kata maslahat adalah al-mashālih, dan setiap

hal yang di dalamnya terdapat manfaat - seperti halnya mencari

faidah dan kenikmatan atau menolak dan mencegah dengan

menjauhkan dari kesusahan dan bahaya - maka bisa dikatakan

sebagai maslahat.”

Mashlahat menurut ulama ahli fiqih bisa dipahami maksudnya

dengan pernyatan “mashlahat adalah manfaat yang dimaksudkan oleh

pembuat hukum (al-syāri’) untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan

harta benda dengan menetapkan peraturan-peraturan secara urut dan jelas”

(al-Buthi, tt : 23).

Secara terminologis, mashlahat telah diberi muatan makna oleh

beberapa ulama ushul al-fiqh. Al-Ghazāli (w.505 H) misalnya

mengatakan bahwa makna dasar dari mashlahat adalah menarik/

60

mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan.

Menurut al-Ghazali, yang dimaksud maslahat dalam terminologi syar‟i

adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang

berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta benda.

Ditegaskan oleh Al-Ghzali bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin

dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut

dikualifikasikan sebagai mashlahat. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat

mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai

dengan al-Mafsadah; maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang

dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut

dikualifikasikan sebagai mashlahat (al-Ghazāli, 1997 : 416-417).

Pengertian mashlahat juga dikemukakan oleh Izz al-Dȋn Abd al-

Salām (w.660 H) dalam pandanganya mashlahat itu identik dengan al-

khair (kebajikan), al-naf’ (kebermanfaatan), dan al-husn (kebaikan).

Sementara Najm al-Dȋn al-Tūfi (w. 716 H) berpendapat bahwa mashlahat

dapat ditinjau dari segi urfi dan syar’i. Menurut al-Tūfi dalam arti urfi

maslahat adalah sebab yang membawa kepada kebaikan dan kemanfaatan,

seperti perniagaan yang merupakan sebab yang membawa kepada

keuntungan, sedang dalam arti syar’i mashlahat adalah sebab yang

membawa kepada tujuan al-syāri’ baik yang menyangkut ibadah maupun

muamalah, dan ditegaskan bahwa mashlahat masuk dalam cakupan

maqāshid al-syarȋ’ah (Asmawi, 2010 : 35-36).

61

B. Dasar Kehujahan Mashlahat

Dari berbagai macam kriteria dan pembagian mashlahat yang

penulis kemukakan diatas, ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa

mashlahat al-mua’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam

menetapkan hukum Islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk dalam

metode qiyas.1 Jumhur juga bersepakat bahwa mashlahat al-mulgha tidak

dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum Islam karena tidak

ditemukan dalam praktik syarā‟. Adapun terhadap mashlahat al-mursalah,

pada prinsipnya jumhur ulama menerima sebagi salah satu alasan dalam

menetapkan hukum syarā‟. Sekalipun dalam penerapan dan syaratnya

mereka berbeda pendapat. (Harun, 1997 : 120)

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan

mashlahat al-mursalah sebagai dalil, disyaratkan mashlahat tersebut

harus berpengaruh kepada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma‟

yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemashlahatan itu

merupakan „illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau

1 Mashlahat al-mu’tabarah yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syarā‟.

Maksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahatan tersebut.

contohnya adalah qiyas Umar ibn al-Khattab terhadap orang yang meminum khamr kepada

orang yang menuduh zina dengan 80 kali deraan. Logikanya adalah seseorang yang meminum

minuman keras apabila mabuk, bicaranya tidak terkontrol dan diduga keras akan menuduh

orang lain berbuat zina. Hukuman untuk seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina

adalah 80 kali deraan (Q.S al-Nur, 24 : 4). Oleh karena itu adanya dugaan keras menuduh

orang lain berbuat zina akan muncul dari orang yang mabuk, maka Umar ibn al-Khattab dan

Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman keras (khamr)

hukumnya sama dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Cara melakukan qiyas

(analogi) ini, menurut ulama ushul fiqih termasuk kemashlahatan yang di dukung oleh syarā‟.

Artinya bentuk dan jenis hukuman dera 80 kali bagi seseorang yang meminum minuman keras

di analogikan kepada hukuman orang yang melakukan tuduhan zina. (Harun, 1997 : 117-118)

62

jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash

sebagai motivasi suatu hukum.2

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahat al-

mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka

dianggap sebagai ulama fiqh paling banyak dan luas menerapkannya.

Menurut mereka mashlahat al-mursalah merupakan induksi dari logika

sekumpulan nash dan bukan dari nash yang terperinci seperti berlaku

dalam qiyas. Untuk bisa menjadikan mashlahat al-mursalah sebagai dalil

dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabillah

mensyaratkan tiga syarat yaitu :

a. Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syarā‟ dan termasuk

dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum.

b. Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar

perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahat al-

mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari

atau menolak kemudharatan.

2 Contoh jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah Rasulullah

SAW melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud untuk

membeli barang mereka, sebelum petani itu memasuki pasar (HR. al-Bukhari dan Abu Daud).

Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemudharatan bagi petani dengan terjadinya

penipuan harga oleh pedagang yang membeli barang petani tersebutdibatas kota. Sifat yang

menjadi dasar larangan ini adalah adanya kemudharatan dan aspek kemudharatan ini

berpengaruh kepada hukum jual beli seperti yang dilakukan pedagang tersebut. jenis

kemudharatan seperti ini juga ada dalam masalah lain seperti masalah dinding rumah yang

hampir rubuh ke jalan karena kondisi dinding itu bisa member mudharat kepada orang lain.

Kemudharatan petani dalam jual beli diatas menurut ulama Hanafiyah sejenis dengan

kemudharatan dinding yang hampir roboh tersebut. oleh sebab itu motivasi hukum („illah)

dalam masalah jual beli diatas, yaitu sama-sama member mudharat. Menghilangkan

kemudharatan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syarā‟ yang wajib dilakukan.

Menolak kemudharatan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan

demikian, ulama Hanafiyah menerima mashlahah al-mursalah, sebagai dalil dalam

menetapkan hukum dengan syarat sifat kemashlahatan itu sama dengan kemashlahatan yang

didukung oleh nash. (Nasroen Harun, 1997 : 121)

63

c. Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan

kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu (Harun, 1997 :

122).

Ulama golongan Syafi‟iyah pada dasarnya juga menggunakan

mashlahah al-mursalah sebagai salah satu dalil syarā‟. Akan tetapi al-

Syafi‟i memasukkannya kedalam qiyas. Misalnya Ia meng-qiyaskan

hukuman bagi peminum khamr kepada hukuman bagi orang yang

menuduh zina, yaitu sebanyak 80 kali deraan, karena orang yang mabuk

akan mengigau dan dalam pengigauanya di duga keras akan menuduh

orang lain berbuat zina. (Nasroen Harun, 1997 : 123)

Dengan demikian, jumhur ulama sepakat bahwa mashlahah al-

mursalah sebagai salah satu metode dalam menginstinbathkan hukum

Islam. dalil yang dijadikan hujjah dalam menetapkanya antara lain adalah:

1. Induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum

mengandung kemashlahatan bagi manusia, antara lain adalah Q.S al-

Anbiya, ayat (107) :

Artinya : “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk

(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Departemen

Agama, 1971 : 508)

Menurut jumhur ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat

apabila bukan dalam rangka memenuhi kemashlahatan umat manusia.

Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnnah

64

Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan

umat manusia, di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan

mashlahat terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung

kemashlahatan adalah legal.

2. Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan

tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari‟at Islam

terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa

perbuatan sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Quran atas

saran Umar ibn al-Khattab sebagai salah satu kemashlahatan untuk

melestarikan al-Quran dan menuliskan al-Quran pada satu logat bahasa

di zaman „Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadinya

perbedaan bacaan al-Qur‟an itu sendiri (Harun, 1997 : 124).

Berbeda dengan jumhur ulama, al-Thūfi berpendapat bahwa

seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahat

(kemashlahatan) bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk

kemashlahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh

nash tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nash.

Mashlahat menurutnya merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri

dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syarā‟. Ada empat

prinsip yang dianut oleh al-Thūfi tentang mashlahat yang menyebabkan

pandanganya berbeda dengan Jumhur ulama yaitu :

1. Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan

(kemudharatan), khususnya di bidang mu‟amalat dan adat. Untuk

65

menentukan sesuatu (termasuk kemashlahatan atau kemudharatan)

cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama yang

mengatakan bahwa sekalipun kemashlahatan dan kemudaharatan itu

dapat dicapai dengan akal, namun kemashlahatan itu harus mendapat

dukungan dari nash atau ijma‟, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.

2. Mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh

sebab itu, untuk kehujahhan mashlahat tidak perlu dalil pendukung

karena mashlahat itu di dasarkan kepada pendapat akal semata.

3. Mashlahat hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat

kebiasaan, adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang

ditetapkan syarā‟, seperti shalat dzuhur empat raka‟at, puasa selama

satu bulan lamanya, tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk

obyek mashlahat, karena mashlahat-mashlahat seperti ini merupakan

hak Allah semata.

4. Mashlahat merupakan dalil syarā‟ paling kuat. Oleh sebab itu, ia juga

mengatakan apabila nash, atau ijma‟ bertentangan dengan mashlahat

maka di dahulukan mashlahat dengan cara men-takhsȋs nash tersebut

(pengkhususan hukum) dan bayān (perincian penjelasan). (Harun,

1997 : 124)

Penolakan kehujjahan mashlahat datang dari ulama Zhahȋriyah

dan Syȋ‟ah. Menurut mereka, apabila mashlahat dapat diterima sebagai

dalil syarā‟, maka akan mengakibatkan hilangnya kesucian hukum-hukum

syarā‟, disebabkan unsur subyektif yang akan timbul dalam menetapkan

suatu kemashlahatan. Disamping itu, kemashlahatan itu sendiri terletak

66

diantara dua kemungkinan, yaitu kemungkinan di dukung syarā‟ dan

kemungkinan ditolak syarā‟. Sesuatu yang keberadaanya masih dalam

kemungkinan, tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.

(Harun, 1997 : 128)

C. Mashlahat dan Maqāshid al-Syarȋ’ah

Secara etimologi maqāshid al-syarȋ’ah, merupakan istilah

gabungan dari dua kata yaitu maqāshid dan al-syarȋ’ah. Maqāshid adalah

bentuk plural dari qashd, maqshad yang merupakan derivasi dari kata

kerja qhasada, yaqshidu, qashdan yang maknanya bisa berarti menuju

arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Sementara al-

syarȋ’ah secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Menurut ar-

Raisyuni menyatakan bahwa al-syarȋ’ah bermakna sejumlah hukum

„amaliyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan

konsepsi aqidah maupun legislasi hukumnya (Jamhar, 2012 : 51).

„Allāl al-Fāsy, sebagaimana dikutip Basro Jamhar mendefinisikan

maqāshid al-syarȋ’ah sebagai tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-

rahasia yang ditetapkan oleh Syāri’ (pembuat hukum) dalam menetapkan

hukum terhadap hamba-Nya. Adapun inti dari maqāshid al-syarȋ’ah

adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan,

atau menarik manfaat dan menolak mudharrat, atau dengan kata lain

adalah untuk mencapai kemashlahatan, karena tujuan penetapan hukum

dalam Islam adalah untuk menciptkan kemashlahatan dalam rangka

memelihara tujuan-tujuan syara‟ (Jamhar, 2010 : 52).

67

Sumber hukum Islam utama yang menjadi konsensus para ulama

adalah al-Qur‟an dan Al-Hadȋts . Sebagai sumber utama hukum Islam Al-

Qurȃn telah meletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum

hukum Islam. salah satu diantaranya yang paling dominan adalah prinsip

mashlahat. Pada umumnya ayat-ayat yang berkaitan dengan legislasi

hukum (tasyri’) selalu menjadikan mashlahat sebagai faktor penentunya.

Atas dasar itu para ulama mengambil kesimpulan bahwa mashlahat

merupakan tujuan inti/pokok legislasi dalam hukum Islam.

Dilihat dari sudut pandang “kerasulan” (tujuan utama di

turunkanya utusan/rasul), dapat diketahui bahwa syariat Islam diturunkan

oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara

keseluruhan. Hal ini disebut secara jelas dalam surat Al-Anbiya‟ ayat 107

yang berbunyi :

Artinya : “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam.” (Departemen Agama, 1971 : 508)

Menurut Alaiddin Kotto, alam adalah apa-apa selain Allah. Oleh

sebab itu, kerasulan Muhammad tersebut bukan hanya untuk manusia

semata melainkan juga untuk mahluk Allah lainya. Namun demikian,

mahluk itu pada umumnya diciptakan Allah untuk manusia, maka dalam

hal ini al-Syatibi berpendapat inti pokok syariat Allah adalah untuk

manusia (Kotto, 2006 : 121).

68

Al-Syatibi dalam al-Muwāfaqāt fȋ Ushūl al-Syarȋ’ah

mengemukakan bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah

untuk kemashlahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Kemashlahatan

itu akan terwujud dengan cara terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat dharuriyyat, hajiyyat dan terealisasinya kebutuhan tahsiniyyat bagi

manusia itu sendiri.3

Pada dasarnya, ulama ahli ushul menamakan mashlahah sebagai

tujuan Allah selaku Pencipta Syariat (qhasd al-Syȋri’). Jadi secara teologis

pakar ushul fiqh menerima paham yang mengatakan bahwa Tuhan

mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya. Hal ini sebenarnya

merupakan masalah yang diperselisihkan dalam teologi Islam, bahkan

menjadi perbincangan dalam filsafat (Hamka Haq, 2007 : 78).

3 Kebutuhan dharuriyyat, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan

manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal-hal tersebut mencakup lima sendi

utama yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Bila sendi itu tidak ada atau tidak

terpelihara secara baik, kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatanya tidak terwujud

dengan baik di dunia maupun akhirat. Menurut al- Ghazali, yang menjadi inti pokok dari apa

yang dimaksud dengan mashlahat. Dengan kata lain, mashlahat itu adalah segala bentuk

perbuatan yang mengacu kepada terpeliharanya lima kebutuhan paling mendasar bagi manusia

seperti disebutkan diatas. Kebutuhan hajiyyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan

oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya ketiadaan

aspek hajiyyat, ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak,

melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Perinsip utama aspek ini

adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif dan memudahkan urusan

manusia. Untuk maksud ini, Islam menetapkan sejumlah ketentuan-ketentuan dalam beberapa

bidang, salah satunya adalah ‘uqūbat. Islam menetapkan kewajiban membayar denda (diyat)

bukan qishās bagi orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak

pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap yang membunuh anaknya.

Kebutuhan tahshiniyāt adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan

dengan al-mukarrim al-akhlāq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang

ibadah, adat dan muamalah. Artinya seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan

manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan

juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun

ketiadaan aspek ini menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal

sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatutan, dan menurunkan martabat pribadi masyarakat

(Kotto, 2006 : 122-125).

69

Dalam filsafat agama, terdapat satu paham yang berpendapat

bahwa segala kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa dirancang

sebelumnya. Paham ini disebut okkosionalisme.4 Menurut paham ini jika

ada peristiwa yang kelihatanya serasi dan sejalan, hal itu sebenarnya

terjadi secara seketika karena Tuhan memang menjadikan keduanya

demikian, seperti dua buah jam yang dapat menunjukkan waktu yang sama

karena sang pembuat menjadikanya demikian.

Majid Fakhri berpendapat bahwa paham ini dikembangkan oleh

Asy‟ariyyah yang dasar pemikirannya memandang bahwa Tuhan sebagai

penguasa langit dan bumi yang segala kemauan-Nya tidak dapat ditolak

dan tidak dapat dijangkau akal. Tuhan dapat berbuat sesuatu tanpa tujuan

tertentu. Intinya segala kejadian di alam ini tergantung sepenuhnya pada

kehendak mutlak Tuhan.

Sebaliknya, Mu‟tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai

tujuan dalam mengadakan syariat, yaitu untuk menjaga kemashlahatan

manusia (mashālih al-‘ibād). Dengan menggunakan metode induksi al-

Syatibi sependapat dengan Mu‟tazilah bahwa Tuhan mengirimkan syariat

dengan tujuan untuk menjaga kemashlahatan manusia.

Pandangan al-Syatibi dan Mu‟tazilah sangat sejalan dengan

argumen teologis yang dipakai dalam filsafat agama untuk membuktikan

adanya Tuhan. Argumen ini berdasar pada keteraturan benda-benda dan

4 FR. Tenant sebagaimana dikutip Hamka Haq menjelaskan bahwa menurut paham

ini, manusia hanyalah penonton terhadap gerakan-gerakan jasmani yang digerakkan

sepenuhnya oleh Tuhan. Selanjutnya paham ini dikembangkan oleh Melebrence (1638-1715

M) yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara dua peristiwa yang tampaknya

merupakan rangkaian sebab akibat (Hamka Haq, 2007 :126).

70

peristiwa-peristiwa yang terjadi pada alam semesta yang mengarah pada

tujuan tertentu yaitu kebaikan universal. Untuk itu, pasti ada dzat yang

menentukan tujuanya yaitu Tuhan.

Dalam argumen ini, Tuhan dipandang Maha Bijaksana dan

mempunyai maksud tertentu dalam perbuatan-Nya. Dengan demikian,

segala peristiwa dan apa saja yang ada dalam ala mini tidak terjadi begitu

saja, tetapi Tuhan membuat suatu rencana untuk satu tujuan tertetu, yaitu

kemashlahatan. (Hamka Haq, 2007 : 79-80).

Mashlahat yang diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan

manusia itu sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Namun demiian,

manusia tidak boleh menurutkan nafsunya, tetapi harus bedasar pada

syariat Allah. Hal ini karena syariat diadakan untuk kemashlahatan

manusia maka perbuatan manusia hendaklah mengacu pada syariat.

Al-Syatibi menjelaskan bahwa mashlahat bersifat universal,

berlaku umum dan abadi atas seluruh manusia dan dalam segala keadaan.

Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syariat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bahwa setiap aturan (nidzam) bagi kemashlahatan diciptakan tuhan

secara harmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak

harmonis dan saling bertentangan, Tuhan tentu tidak mensyariatkanya,

karena hal itu lebih tepat disebut dengan sumber keruskan (al-

mafsadah), sedangkan Tuhan menghendaki kemashlahatan secara

mutlak. Teori keharmonisan tatanan alam sangat sejalan dengan

argument filosofis, yaitu bahwa jika dunia diamati, kita menemukan

71

adanya hukum keteraturan universal. Bedasarkan hal ini, dapat

diketahui bahwa perbuatan Tuhan mestilah menghendaki

keharmonisan dalam berbagai proses peristiwa di alam ini.

2. Kemashlahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan

hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Untuk itu

syariat berlaku secara umum pula. Hal ini sesuai dengan QS. al-Sabā‟

ayat 28 :

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat

manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan

sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia

tiada mengetahui.” (Departemen Agama, 1971 : 688)

Selain itu manusia memiliki kesamaan tabiat dan kecenderungan

kepada mashlahat. Jika hukum syariat itu berlaku secara khusus atas

sebagian manusia saja maka kaidah pokok ajaran Islam seperti iman,

tidak berlaku secara umum pula.

3. Mashlahat universal (kulliyah) adalah mashlahat yang diterima secara

umum. hal ini sesuai dengan sifat syariat yang di maksudkan Tuhan

untuk berlaku secara umum menurut kondisi manusia (‘ādah). Jika

pertentangan antara mashlahat universal dan mashlahat parsial, maka

mashlahat universal yang berlaku. Universalitas mashlahat tidak

hilang meski bertentangan dengan kenyataan parsial. Misalnya

kewajiban memelihara jiwa secara universal tetap berlaku meski

dengan jalan menghilangkan jiwa seseorang melalui qishāsh.

72

4. Kaidah-kaidah pokok mashlahat universal bersifat tegas dan pasti

(qhat’i) bukan bersifat samar atau tidak pasti (mutasyābih). Al-Syatibi

berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah pokok disini

adalah kaidah dalam teologi ushūl al-dȋn dan ushūl fiqh.

5. Kaidah-kaidah mashlahat universal tidak berlaku padanya nashakh

(pembatalan). Nasakh hanya terjadi pada kaidah-kaidah parsial,bahkan

para ahli ushul mengakui dalam setiap agama meski dalam cara yang

berbeda-beda.

Bedasarkan argumen diatas, diketahui bahwa universalitas

mashlahat dan syariat mengandung arti keharmonisan dan keutuhan

hukum Tuhan, yaitu tidak ada kontradiksi antara satu bagian dan bagian

yang lain. Teori keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut oleh

Mu‟tazilah yang dalam hal ini menyatakan bahwa perbuatan Tuhan

bersifat harmonis dari segi strukturnya, maka tidak lepas pula dari kaitanya

dengan hukum taklif dan mukkallaf. Segala perbuatan Tuhan tidaklah

mengacaukan dua hal (hukum taklif dan mukallaf) dan tidak membawa

mukallaf keluar dari kesungguhan berbuat. Demikian itulah disebut

dengan harmonis (Hamka Haq, 2007 : 81-84).

Fazlur Rahman juga menerima konsep keharmonisan ciptaan dan

hukum-hukum Tuhan. Menurutnya, kehidupan manusia tidak bermakna

kecuali jika ala mini sendiri punya tujuan. Tujuan itu terdapat suatu

rancangan pada ala mini, sedang rancangan itu sendiri ada karena Allah

menciptkanya. Lebih dari itu Fazlur Rahman menyatakan bahwa ala mini

tidak hanya merupakan satu tatanan fisik tetapi juga merupakan satu

73

tatanan moral. Dengan kata lain, ala mini tidak tersusun atas fakta-fakata

empirik bedasarkan kausalitas, tetapi juga adalah suatu dunia moral yang

didalamnya kemashlahatan (goodness) menjadi jalan sebaik-baiknya bagi

perilaku manusia (Hamka Haq, 2007 : 85).

Dari berbagai macam argumen diatas, dapat diambil suatu

kesimpulan bahwa Tuhan mempunyai tujuan tertentu dalam perbuatan-

Nya dan tujuan utama adanya syariat yang bersumber dari Tuhan adalah

untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat (mashālih

al-‘ibād fȋ al-dunya wal al-akhirah).

D. Mashlahat sebagai Metode Istinbat Hukum

Metode istinbat hukum dengan dasar mashlahat, lebih sering

dikenal dengan metode istishlāh. Sebagaimana metode ijtihad lainya,

istishlāh juga merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak

diatur secara eksplisit dalam sumber utama syariah yaitu Al-Quran dan

Al-Hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek

mashlahat secara langsung.

Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu ushul fiqih dikenal

ada tiga macam mashlahat yaitu mashlahat al-mu’tabarah, mashlahat al-

mulgah, dan mashlahat al-mursalah.5 Mashlahat al-mu’tabarah adalah

5 Pembagian mashlahat dalam segi ini adalah pembagian dari adanya pengakuan

syarā‟. Maslahat yang mu’tabarah yaitu mashlahat yang secara khusus mendapatkan

pengakuan syarā’, mashlahat jenis ini merupakan al-hujjah as-syar’iyyah dan buahnya adalah

qiyas yang mengandung makna memetik hukum dari kandungan makna logis suatu nash dan

ijma’. Kedua maslahat mulghah yaitu mashlahat yang secara tegas mendapat dalil

penolakanya. Al-Ghazālimencontohkan mashlahat mulgha yang terjadi pada kasus fatwa

seorang ulama kepada seorang raja yang menyetubuhi istrinya disiang hari pada bulan

Ramadhan . Ketiga mashlahat mursalah yaitu mashlahat yang tidak terdapat dalil dari syarā‟

yang secara khusus mengakui maupun menolaknya. Jumhur ulama ushul sepakat bahwa

74

mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam al-Quran

maupun dalam al-Hadits. Sedangkan mashlahat al-mulgah adalah

mashlahat yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam

kedua sumber hukum Islam al-Quran dan al-Hadits. Mashlahat al-

mursalah yaitu mashlahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber

tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya (al-Quran dan al-

Hadits) (Djamil, 1997 : 141).

Imam Al-Ghazāli dalam al-Mustashfā min ‘Ilm al-Ushūl,

menetapkan beberapa syarat agar mashlahat dapat dijadikan sebagai dasar

hukum. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kemashlahatan itu termasuk kategori peringkat dharuriyyat.6Artinya

bahwa untuk menetapkan suatu kemashlahatan, tingkat keperluan-nya

harus diperhatikan. Apakah akan sampai mengancam eksistensi lima

unsur pokok mashlahat atau belum sampai pada batas tersebut.

mashlahat mursalah bisa dijadikan hujjah syariyyah. Untuk menggunakan metode ini para

ulama memberikan syarat. Imam malik memberikan persyaratan pertama mashlahat tersebut

harus bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang

ditetapkan. Kedua mashlahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan

menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj) dengan menghilangkan masyaqqat dan madharat.

Ketiga maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud yang di syariatkan huku (maqashid al-

syariat) (Fathurrahman Djamil, 1997 : 141). 6 Di sisi lain, al-Ghazāli juga mengkategorisasikan mashlahat berdasarkan kekuatan

subtansinya (quwwatiha fi dzātiha), dimana mashlahat itu dibedakan menjadi tiga, yaitu

mashlahat tingkat dharuriyyat, mashlahat tingkat hajjiyāt dan mashlahat tingkat tahsiniyāt.

Masing-masing bagian disertai oleh mashlahat penyempurna/pelengkap (takmiliah).

Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-ushūl al-khamsah) yang berada pada tingkatan

daruriyyat merupakan tingkatan tertinggi dari mashlahat. Kelima tujuan/prinsip dasar

mencakup memelihara (hifdz al-dȋn), memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal pikiran

(hifdz al-‘aql), memelihara keturunan (hifdz al-nasl) dan memelihara harta kekayaan (hifdz al-

mal). Pandangan al-Ghazāli tentang al-ushūl al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihab

al-Dȋn al-Qarāfi dengan menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi yakni memelihara

kehormatan diri (hifdz al ‘ird) meskipun diakui sendiri oleh al-Qarāfi bahwa hal ini menjadi

bahan perdebatan para ulama. Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya teks

suci syariah yang secara eksplisit melarang al-qadzaf (tindakan melempar tuduhan palsu zina

terhadap orang lain) dan sekaligus mengkriminalisasikanya (Asmawi, 2010 : 51).

75

b. Kemashlahatan itu bersifat qath’i. Artinya, yang dimaksud dengan

mashlahat tersebut benar-benar telah diyakini sebgai mashlahat tidak

pada dugaan atau dzan semata.7

c. Kemaslahatan itu bersifat kullȋ. Artinya bahwa kemaslahatan itu

berlangsung secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual.

Apabila mashlahat itu bersifat individual, maka al-Ghazāli

mensyaratkan mashlahat tersebut harus sesuai dengan maqhasid al-

syari’at (Djamil, 1997 : 142).

Bedasarkan persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para

ahli ushūl al- fȋqh diatas, dapat dipahami bahwa hubungan antara metode

istishlāh dengan maqāshid al-syari’ah sangatlah erat. Imam Malik

mengungkapkan bahwa mashlahat itu harus sesuai dengan tujuan

disyariatkanya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan

kesulitan, jelas memperkuat asumsi ini. Begitu pula dengan syarat

pertama yang di kemukakan Al-Ghazāli bahwa yang dimaksud

memelihara aspek daruriyyat adalah untuk memelihara lima unsur pokok

mashlahat yang berupa agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Djamil,

1997 : 143).

7 Husain Hamid Hisan dalam nadzariyat al-mashlahat fi al-Fiqh al-Islāmi,

sebagaimana dikutip Bazro Jamhar menjelaskan bahwa ditinjau dari sisi cakupanya, mashlahat

dibagi menjadi tiga jenis yang pertama, berkaitan dengan semua orang. Seperti menjatuhkan

hukuman mati terhadap pembuat bid‟ah merupakan kemashlahatan yang berhubungan erat

dengan semua orang, sebab akibat perbuatanya dapat mengakibatkan kemudharatan bagi senua

orang. Kedua, mashlahat yang berkaitan dengan mayoritas (kebanyakan) orang, tetapi tidak

bagi semua orang. Seperti orang yang mengerjakan bahan baku pesanan orang lain untuk

dijadikan sebagai barang jadi atau setengah jadi, wajib mengganti bahan baku yang dirusaknya.

Kewajiban ini diberlakukan jika kenyataan menunjukkan pada umumnya penerimaan pesan

tidak berhati-hati dalam pekerjaanya. Ketiga, mahslahat yang berkaitan dengan orang-orang

tertentu. Hal ini sebenarnya jarang terjadi, seperti adanya kemashlahatan bagi seorang istri agar

hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya dinyatakan hilang (mafqud) (Jamhar,

2012 : 57).