BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG...

77
ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT” Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan “Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”. Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku diskriminatif tersebut. III.1. Profil Informan III.1.1. Informan Pertama, MAD Informan pertama, berinisial MAD adalah seorang tokoh masyarakat berusia 30 tahun yaitu sebagai sekretaris atau carik di Desa Sidoharjo tersebut. MAD berasal dan lahir di Dukuh Gupak Warak, Desa Krebet RT.03/RW.05.

Transcript of BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG...

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

BAB III

KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”

Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada

saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam

bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan

“Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas

stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”.

Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi

antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan

mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa

Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah

peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh

peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus

permasalahan dalam penelitian ini.

Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga

dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan

perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku

diskriminatif tersebut.

III.1. Profil Informan

III.1.1. Informan Pertama, MAD

Informan pertama, berinisial MAD adalah seorang tokoh masyarakat

berusia 30 tahun yaitu sebagai sekretaris atau carik di Desa Sidoharjo tersebut.

MAD berasal dan lahir di Dukuh Gupak Warak, Desa Krebet RT.03/RW.05.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

MAD mendapatkan pendidikan SD di SD MI Krebet, SMP Negeri 1 Jambon,

SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo dan sekarang beliau belum menyelesaikan

pendidikannya di Universitas Merdeka Ponorogo.

Pada akhirnya beliau tinggal di Desa Sidoharjo setelah menikah dengan

seorang wanita dari desa tersebut dengan dikaruniai seorang putri yang masih

berusia 3 tahun, kemudian menjabat sebagai sekretaris desa atau carik pertama

yaitu pada tahun 2006 sampai sekarang. Selain menjabat sebagai sekretaris desa

kesibukan lainnya adalah sebagai petani dengan mengurus beberapa lahan yang

ada di desa tersebut. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pekerja keras dan

ramah kepada masyarakatnya.

III.1.2. Informan Kedua, INU

Informan kedua, berinisial INU adalah seorang tokoh masyarakat berusia

55 tahun di Desa Sidoharjo. INU adalah mantan kepala Desa pertama di Desa

Sidoharjo. INU termasuk warga asli di Desa Sidoharjo tepatnya di Dukuh Klitik

RT.01/RW.01, INU menempuh pendidikan pertama di SD Negeri 1 Krebet

kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri 1 Badegan, itu menjadi pendidikan

terakhir beliau yang telah beliau lalui. Samapai sekarang beliau dikaruniai satu

orang putri yang sekarang telah menikah dan satu orang putra yang sekarang juga

telah menikah yang menjabat sebagai seorang polisi di Kabupaten Ponorogo.

III.1.3. Informan Ketiga, DEV

Informan ketiga, berinisial DEV adalah bisa diatakan seorang tokoh

masyarakat di Desa Sidoharjo karena beliau juga bekerja sebagai Kaur Kesra di

Desa tersebut, beliau berusia 34 tahun yang memiliki dua orang pura, putra yang

pertama berusia 12 tahun yang sekarang duduk di kelas 6 SD, sedangkan putra

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

kedua masih 18 bulan. DEV termasuk sosok orang yang beragama islam yang

sangat religius. DEV bukan warga asli yang lahir di desa ini, beliau berasal dari

Kota Blitar yang menikah dengan orang Desa Sidoharjo yang akhirnya menetap di

desa ini tepatnya di Dukuh Karangsengon.

DEV saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas

Muhammadiyah Ponorono, selain kuliah dan bekerja sebagai kaur kesra di balai

desa beliau juga sibuk mengajar di yayasan pendidikannya, karena beliau

mempunyai sebuah yayasan pendidikanMadrasah Iftidaiyah di Desa Sidoharjo ini,

yang ia bangun dan kelola sendiri dengan jumlah pengajar 7 orang. Walaupun

masih ada 2 kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2 yayasan pendidikan yang ia bangun

ini cukup mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar, karena putra-putri

mereka selain belajar ilmu umum juga mendapatkan pendidikan agama yang baik.

III.1.4. Informan keempat, ARI

Informan keempat, berinisial ARI adalah salah satu informan yang tidak

mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun, tempat tinggalnya

dekat dengan rumah salah satu keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang

keterbelakangan mental.ARI adalah ibu rumah tanggal yang saat ini berusia 26

tahun yang mempunyai satu orang putra berusia 6 tahun yang sekarang duduk di

kelas 1 SD. Pekerjaan sehari-hari selain sebagai ibu rumah tangga adalah menjaga

warung kecilnya, dan juga sesekali membantu suaminya di sawah. ARI

sebenarnya bukan warga asli Desa Sidoharjo ini, beliau berasal dari Desa

Jenangan Ponorogo. Namun, setelah menikah dengan orang dari Desa Sidoharjo

ini akhirnya beliau tinggal menetap di Desa Sidoharjo ini.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Meskipun ARI hanya lulusan SD di salah satu SD di Desa Krebet, Beliau

seorang yang sangat memperhatikan agama dan pendidikan anaknya, beliau

menginginkan anaknya selain mendapat pendidikan umum juga mendapat

pendidikan agama, lewat sekolah dan TPA(Taman Pendidikan Al-Quran. ARI

sesosok orang yang ramah dan sangat terbuka. Disaat peneliti melakukan

wawancara denga ARI, beliau sangat komunikatif dan sangat lancar menjawab

semua peretanyaan-pertanyaan dari peneliti.

III.1.5. Informan Kelima, TIN

Informan kelima, berinisial TIN adalah salah satu informan yang

mempunyai dua anggota keluarga perempuan yang keterbelakangan mental.TIN

adalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini masih berusia 23 tahun yang

mempunyai satu orang putri berusia 3 tahun. Dengan kondisi keluarganya yang

tergolong keluarga yang kurang mampu TIN begitu sabar mengurus keluarganya

tersebut tanpa kehadiran sosok suaminya, karena suaminya sudah tiga bulan ini

bekerja sebagi seorang buruh bangunan di Jakarta. Selain mengurus dua anggota

keluarganya yang keterbelakangan mental dan satu orang putrinya TIN juga harus

memperhatikan ibunya yang sangat ini juga sudah tua. Namun, begitu ibunya

sesekali juga membantu TIN mengurus dua anggota keluarganya yang

keterbelakangan mental tersebut. TIN hidup sederhana yang hanya

menggantungkan hidupnya dari upah yang diterima sualinya yang bekerja sebagai

buruh bangunan tersebut, sesekali suami menelpon yang hanya sekedar

mengetahu keadaaan dan melepas rasa rindu dengan keluarganya dirumah.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.1.6. Informan keenam, IIM

Informan keenam, berinisial IIM adalah warga asli Desa Sidoharjo

RT.01/RW.10 Dukuh Karangsengon. IIM tidak mempunyai keluarga yang

keterbelakangan mental namun rumah IIM sesekali didatangi salah seorang yang

keterbelakangan yang hanya sekedar makan atau minta uang. IIM adalah ibu

rumah tangga yang saat ini berusia sekitar 50 tahun yang mempunyai dua orang

putra yang masih-masing bekerja di luar negeri, putra yang pertama bekerja di

Taiwan, putra yang kedua bekerja di Malaysia dan satu orang putri yang masih

sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Jambon. Kesibukan IIM selain sebagai

ibu rumah tangga, beliau juga membantu suaminya di sawah.

III.1.7.Informan Ketujuh, WAR

Informan ketujuh, berinisial WAR ini adalah salah seorang tokoh

masyarakat, WAR adalah seorang ulama masyarakat yaitu sebagai seorang Modin

yang ada di Desa Sidoharjo. Beliau saat ini berusia 46 tahun. WAR bukan warga

asli yang lahir di Desa Sidoharjo namun, beliau adalah warga yang berasal dari

Desa Badegan. Namun, setelah menikah dengan salah seorang di Desa Sidoharjo

akhirnya beliau mengikuti istrinya untuk tinggal di Desa Sidoharjo, yang saat ini

tinggal di Dukuh Klitik, RT.08/RW.02. WAR mempunyai tiga orang putra, putra

pertama Aliyah kelas 3 dan putra kedua Aliyah kelas 2 yang sama-sama

menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hudha Mayak Ponorogo,

sedangkan putra ketiga SD kelas 5.

III.1.8.Informan Kedelapan, SOI

Informan kedelapan, berinisial SOI adalah seorang laki-laki yang berusia

sekitar 50 tahun, dengan kondisi keluarga dan tempat tinggalnya yang sangat

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

memperhatinkan, SOI seorang diri mengurus dua anggota keluarganya yang

keterbelakangan mental, yaitu seorang anak perempuannya yang berusia 13 tahun

dan seorang keponakan perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun.

Keponakannya tersebut adalah yatim piatu dia adalah anak dari kakak perempuan

SOI.SOI memberikan penjelasan bahwa anaknya tersebut lahir dalam keadaan

normal seperti bayi pada umumnya namun, pada usia tujuh bulan anaknya terkena

panas yang sangat tinggi atau dalam istilasnya „step‟, yang ketika itu tidak

langsung mendapat penanganan secara langsung.

III.1.9. Informan Kesembilan, DAR

Informan kesembilan, berinisial DAR adalah seorang laki-laki yang

berusia 29 tahun dan penduduk asli Desa Sidoharjo yang juga menikah dengan

orang Desa Sidoharjo, WAR sangat ini masih dikaruniai satu orang putri yang

berusia 3 tahun. DAR adalah seorang tokoh masyarakat, yang saat ini menjabat

sebagai kamituwo Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sampingan DAR adalah

seorang fotografer yang sering diundang untuk acara pernikahan maupun foto

keluaraga.Karena DAR belum memiliki studio foto sendiri dia masih bergabung

dengan temannya untuk menjalankan usahanya tersebut.

III.1.10.Informan Kesepuluh, TUN

Informan kesepuluh, berinisial TUN adalah seorang ibu rumah tangga

yang berusia 54 tahun yang memiliki empat orang anak yang semuanya telah

berumah tangga sendiri-sendiri.TUN adalah salah satu informan dalam kategori

keluaraga menengah kebawah yang sering menerima bantuan sosial dari para

donator maupun dari pemerintah.TUN juga memiliki dua anggaota keluarga yang

berketerbelakangan mental.Dua anggota keluarga laki-laki yang

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

berketerbelakangan mental tersebut semuanya adalah saudara laki-laki dari suami

informan yang tinggal dirumahnya.Karena sejak lahir sudah berketerbelakangan

mental dan orangtuanya telah meninggal dunia, maka mereka ikut dan tinggal

dengan keluarga TUN tersebut.

III.1.11.Informan Kesebelas, MAN

Informan kesebelas, berinisial MAN adalah laki-laki berusia 26 tahun

yang bekerja sebagai sopir truk. MAN bukan warga Desa Sidoharjo asli, MAN

tinggal di Desa Sidoharjo sekitar 6 bulan yang lalu setelah menikah dengan warga

Desa Sidoharjo, sehingga MAN tinggal di desa tersebut. Sekarang ini MAN

dikaruniai satu orang putri berusia 2 tahun. Keluarga MAN termasuk salah satu

keluarga dalam kategori menengah kebawah, yang sering menerima bantuan dari

pemerintah.

III.1.12.Informan Keduabelas, LAN

Informan keduabelas, berinisial LAN adalah seorang ketua RT. 4 Dukuh

Klitik Desa Sidoharjo yang saat ini berusia 48 tahun.Informan LAN juga warga

asli Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sehari-harinya adalah seorang petani dan

mencari rumput untuk beberapa ekor kambing miliknya.Informan LAN saat ini

mempunyai tiga orang anak, yang kedua anaknya sudah berkeluarga sedangakan

anaknya yang terakhir masih bekerja di Surabaya.Sehingga saat ini LAN hanya

tinggal dengan istrinya, yang sesekali istrinya juga membantu LAN di sawah.

III.1.13.Informan Ketigabelas, INA

Informan ketigabelas, berinisial INA adalah seorang ibu rumah tangga

yang berusia 48 tahun, yang saat ini tinggal di Jl. Halmahera Ponorogo.Informan

INA memiliki tiga orang anak.Anak pertama laki-laki yang saat ini berusia 20

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

tahun yang sedang kuliah di Universitas Muhammadyah Ponorogo, anak kedua

berusia 17 tahun yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sedangkan anak yang

terakhir masih kelas 5 Sekolah Dasar.Informan INA mengaku sering mendengar

kabar mengenai “Kampung Idiot” yang berada di Kecamatan Jambon tersebut,

namun beliau belum pernah melihat daerahnya secara langsung.

III.1.14.Informan Keempatbelas, WAN

Informan keempatbelas, berinisial WAN adalah seorang laki-laki berusia

35 tahun, yang saat ini memiliki tiga orang putra dan putri yang masih kecil, anak

pertama masih SD, anak kedua TK sedangkan yang terakhir masil play group.

WAN saat ini bekerja sebagai seorang satpam atau petugas keamanan di Kantor

Pemerintahan Kota Ponorogo. WAN tinggal di JL.A. Yani Kota Ponorogo.WAN

mengaku pernah ke Kecamatan Jambon, namun dia belum pernah mengunjungi

langsung Desa yang disebut “Kampung Idiot” tersebut. “Kampung Idiot” menurut

WAN sudah sangat terkenal dimana-mana, yang menurut WAN sebagai bentuk

kejadian yang turun-temuran dari nenek moyang mereka.

III.1.15. Informan Kelimabelas, ENA

Informan Kelimabelas, berinisial ENA adalah seorang perempuan yang

berusia 25 tahun dan saat ini ENA belum menikah atau berkeluaraga. ENA

bekerja sebagai seorang pelatih kursus mengemudi di daerah Ponorogo.ENA

tinggal di daerah Jenangan Ponorogo. ENA mengaku belum pernah pergi ke Desa

Sidoharjo, walaupun belum pernah melihat secara langsung keadaan atau kondisi

“Kampung Idiot” itu seperti apa namun ENA sering mendengar istilah daerah

“Kampung Idiot”, yang menurut ENA banyak masyarakatnya yang „idiot‟.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.1.16.Informan Keenambelas, YAH

Informan keenambelas, berinisial YAH adalah salah satu pedagang jeruk

di Pasar Songgolangit Ponorogo.Informan perempuan ini berusia 50 tahun.YAH

mengaku pernah membeli jeruk dari seorang petani yang ada di Kecamatan

Balong Ponorogo, yang juga salah satu kecamatan yang sebagian penduduknya

ada yang penyandang keterbelakangan mental. Walaupun YAH belum pernah

melihat salah satu penyandang yang ada disana namun, YAH mengetahui pada

waktu itu daerah tersebut dekat dengan hutan dan pegunungan yang banyak batu

kapurnya, yang sangat jauh dengan pusat kota Ponorogo, sehingga menurut YAH

daerahnya sangat gersang dan panas.

III.2. Kondisi Lingkungan Sosial “Kampung Idiot”

Kondisi lingkungan sosial merupakan representatif dari lingkungan sekitar

kampung idiot, kondisi tersebut meliputi kondisi sosial yang ada di dareah

kampung idiot baik dari segi perlakukan yang positif maupun yang negatif bagi

para penderita keterbelakangan mental, selain kondisi sosial juga meliputi kondisi

ekonomi dan juga kondisi politik.

Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang

mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk diskriminasi

misalnya:Tidak mendapatkan kesamaan hak yang sama dalam PEMILU,

menerima penolakan dari lingkungan sosialnya serta tidak mendapatkan kesamaan

yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

III.2.1. Kondisi Sosial

Kondisi sosial adalah suatu kondisi tertentu dimana berlangsungnya

hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain yang tentunya akan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

terjadi saling mempengaruhi.Kondisi sosial dalam masyarakat “Kampng Idiot”

pastinya akan terjadi saling berhubungannya antara penyandang keterbelakangan

mental dengan masyarakat yang ada disekitarnya, termasuk dalam hal ini juga

adalah tokoh masyarakatnya.

Berdasarkan dari pernyataan dari Informan TIN yang mempunyai keluarga

keterbelakangan dua orang ini, mengatakan bahwa belum pernah keluarganya

yang penyandang tersebut menerima tawaran atau bantuan obat dari tetangganya

disaat keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut sakit,

bahkan keluarganya yang penyandang tersebut disaat sakit langsung meminta obat

ke pukesmas.

“Mboten, mboten mbak. Nek sakit nggeh kadang teng Pukesmas

piyambak”.

(TIN, 2015)

Artinya:

“Tidak, tidak mbak. Kalau sakit ya kadang ke Pukesmas sendiri”.

(TIN, 2015)

Menurut keterangan TIN tersebut dapat diketahui bahwa, kepedulian

masyarakat terhadap keluarga penyandang tersebut tidak seintens dengan keluarga

yang lain. Dimana dapat dilihat bahwa sikap yang diberikan oleh salah satu

tetangga dari keluarga penyandang menunjukkan sikap yang berbeda dengan

keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga penyandang.

Berbeda dengan informan IIM, informan ini mengaku tidak pernah

mengundang orang yang mempunyai keterbelakangan mental dalam acara-

acaranya seperti acara rutin yasinan maupun acara selamatan dirumahnya.

“Mboten. Mboten mbak, kula mboten nate ngundang nek mriki

wonten slametan nopo yasinan “.

(IIM,2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Artinya:

“Tidak, tidak mbak, kalau saya tidak pernah mengundang kalau sini

ada selamatan atau yasinan(tahlilan)”.

(IIM, 2015)

Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan

sikap antara orang-orang yang normal dengan mereka-mereka yang mengalami

keterbelakangan mental. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan kepada keluarga

penyandang yang memberikan perilaku diskriminatif kepada keluarga penyandang

keterbelakangan mental tersebut.

Bukan hanya itu saja, informan IIM juga pernah melihat keluarga dan

kerabat mereka sendiri memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan

kepada salah satu penyandang yang datang kerumahnya.

..”nggeh kadang niku mriki niku tiyangnge katah wonten lare

kadang niku nyuwun nopo ngoten kadang-kadang nek mboten

disukani niku nesu kadang niku lare-lare niku, ndang gek diweh i

gek ngaleh. ngoten mbak ngoten niku mbak paling”.

(IIM, 2015)

Artinya:

“…”ya kadang itu sini itu orangnya banyak ada anak kadang itu

minta apa gitu kadang-kadang kalau tidak diberi itu marah kadang

itu anak-anak itu, cepet dikasih terus pergi, gitu mbak gitu itu

mungkin”.

(IIM, 2015)

Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa, adanya

penolakan dari masyarakat tertentu terhadap penyandang keterbelakangan mental

tersebut. Penolakan tersebut berupa tidak adanya penerimaan sosial atas kehadiran

penyandang keterbelakangan mental tersebut.

Berbeda lagi dari salah informan INU yang merupakan mantan Kepala

Desa Sidoharjo. INU mengatakan bahwa, belum ada kegiatan desa seperti lomba

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

agustusan yang melibatkan penyandang keterbelakangan mental. INU juga

memastikan bahwa tidak akan melibatkan warga penyandang dalam masalah

lomba-lomba seperti agustusan tersebut.

“Nek kegiatan-kegiatan lomba-lomba nopo ngoten niku ngantos sak

meniko mriki nik sak meniko dereng enten. Yo sing jelas nek

masalah agustusan niku mboten mbak, mboten diikutkan”.

(INU, 2015)

Artinya:

“Kalau kegiatan-kegiatan lomba-lomba apa gitu sini sejauh ini sini

sejauh ini belum ada. Ya yang jelas kalau masalah acara lomba

agustus itu tidak mbak, tidak diikutkan”.

(INU, 2015)

Menurut pernyataan informan INU tersebut secara rasional memang

mereka-mereka yang keterbelakangan mental akan sulit mengikuti kegiatan-

kegiatan tersebut, namun secara moral mereka juga mempunyai hak untuk

memperoleh kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat seperti orang-

orang normal lainnya.

Informan DEV adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama

yang ada di Desa Sidoharjo ini, DEV juga aktif mengajar mengaji disalah satu

masjid yang DEV dan keluarga DEV dirikan. Menurut pernyataan DEV mengenai

soal pendidikan inklusi atau sekolah inklusi khususnya di Desa Sidohajo sendiri

belum ada. Menurut DEV hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengajar yang

khusus mampu menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus.

“Kalau yang inklusi kita tidak bisa menjawab sepenuhnya, artinya

begini, memang inklusi ini membutuhkan penanganan dan layanan

khusus ya, jadi harus ada guru khusus yang ahli dibidangnya..”

(DEV, 2015)

Melihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 1997

tentang Penyandang Cacat. Bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk

didalamnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dari pernyataan

informan DEV tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah daerah khususnya

perangkat desa dalam hal ini kurang memberikan perhatian kepada warga

masyarakatnya yang berkebutuhan khusus, padahal mereka mempunyai hak untuk

memperoleh pendidikan sesuai dengan kondisi mereka tersebut.

III.2.2. Kondisi Ekonomi

Kondisi ekonomi merupakan suatu kondisi yang menunjukkan pada

kemampuan pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Kemampuan

pemenuhan kebutuhan keluarga penyandang keterbelakangan mental merupakan

salah satu yang menjadi perhatian utama, mengingat mayoritas keluarga yang

mempunyai anggota yang keterbelakangan mental tingkat perekonomiannya

sangat rendah, bahkan dapat dikatakan mereka tergolong miskin.

Berdasarkan dari pernyataan dari Informan DEV, bahwa mayoritas

keluarga penyandang adalah keluarga yang tingkat perekonomiannya sangat

rendah, mereka tergolong lebih dari miskin bahkan termasuk duafa fakir.

Masyarakat fakir adalah masyarakat yang tidak mempunyai kecukupan harta

untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal

yang merupakan kebutuhan primer manusia.

“Kalau dari aspek ekonominya sebagian besar mereka itu dari

golongan duafa mbak, miskin ya. Lebih dari miskin ya, duafa fakir,

mereka menghidupi keluarganya mencari penghasilan untuk

kebutuhan keluarganya itu juga asal-asalan. Satu hari saja kadang

gak cukup. Bekerja satu hari untuk makan sehari itu...”

(DEV, 2015)

Menurut argumen DEV melihat perbedaan pemenuhan kebutuhan dari

orang yang berada di “Kapung Idiot” terbagi dari miskin dan duafa fakir. Orang

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

yang termasuk miskin adalah mereka yang memerlukan sesuatu, yang tidak dapat

memenuhi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, sedangkan

duafa fakir kondisinya lebih buruk daripada orang miskin karena duafa fakir

adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok

sehari-hari.

Informan WAR mempunyai pernyataan yang hampir sama dengan

informan DEV. Bedanya informan DEV menganggap bahwa mereka termasuk

keluarga fakir duafa, sedangkan informan WAR menganggap mereka termasuk

orang atau keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Mereka masih dapat

mencari pekerjaan walaupun itu hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari.

“Yowes rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya

orang-orang yang min memang mbak. Yowes rata-rata ya seperti

itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang

kekurangan zat atau gizi atau kurang zat yodium itu tadi”.

(WAR, 2015)

Artinya:

“Ya sudah rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang

ya orang-orang yang kurang (minus) memang mbak. Ya suda rata-

rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan

dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kekurangan zat

yodium itu tadi”.

(WAR, 2015)

Menurut argumen WAR tersebut menunjukkan bahwa, mereka yang

termasuk ekonomi kurang. Dalam hal ini mereka masih dapat memenuhi

kebutuhannya sehari-hari namun, masih kurang dari standar rata-rata yang sesuai

dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Berbeda dari pernyataan informan MAD, bahwa keluarga yang

mempunyai keterbelakangan mental tersebut ada yang keluarganya berkecukupan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

karena ada salah satu anggota keluarganya yaitu ibunya yang bekerja di luar

negeri sebagai TKI, sehingga menurut informan MAD mereka tidak termasuk

keluarga yang miskin namun masih dalam kategori berekonomi sedang.

...”ada sing ibuk e TKI, dadi nek dianggap miskin mboten lah nek

TKI niku miskin yo sedang ngono ae...”

(MAD, 2015)

Artinya:

...”ada yang ibuknya TKI, sehingga kalau dianggap miskin tidaklah

kalau TKI itu miskin ya sedang gitu saja...”

(MAD, 2015)

Menurut pendapat informan MAD tersebut, dapat diketahui bahwa

sebagian dari mereka ada yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mereka masih tergolong keluarga

menengah kebawah. Dari pendapat informan MAD tersebut jika salah satu

anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, itu berarti masih ada anggota

keluarganya yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan penghasilan

yang cukup untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari keluarganya.

Disamping potret kehidupan keluarga penyandang keterbelakangan mental

tersebut yang jauh dari berkecukupan namun, ada beberapa penyandang

keterbelakangan yang dapat bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Seperti

pernyataan salah satu informan MAD yang menyatakan bahwa, hasil kerja

mencangkul salah satu penyandang keterbelakangan mental lebih bagus daripada

orang normal lainnya.

...”ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing

mriki niku biasane sadean godong jati, Bagong sing Klitik kaleh

Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae

mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku...”

(MAD, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Artinya:

...”ada tiga bagong yang semuanya pekerja disini. Bagong yang

disini ini biasanya jualan daun jati, Bagong yang Klitik dengan

Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul sungguh

mencangkulnya bagus mbak itu dengan orang normal gitu menurut

saya bugus itu...”

(MAD, 2015)

Kenyataan bahwa para penyandang yang keterbelakangannya masih dalam

kategori ringan masih dapat bekerja dan mencari nafkah untuk hidupnya, padahal

secara ekonomi keluarga para penyandang sangat kekurangan dan tidak sedikit

mereka adalah dalam kategori miskin. Namun, banyak para tetangganya yang

meragukan hasil kerja para penyandang tersebut, hal tersebut dikarenakan

keadaan fisik maupun mentalnya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat

lainnya. Dari argumen informan tersebut menunjukkan suatu bentuk perlakuaan

diskriminatif dalam aspek ekonomi, dalam hal untuk memperoleh pekerjaan

antara orang normal dengan orang yang berkebutuhan khusus, terlepas dari

penyandang tersebut dapat bekerja dengan baik maupun tidak.

Informan WAR misalnya dia tidak pernah menggunakan tenaga

penyandang tersebut untuk membantu pekerjaannya dirumah. Karena dengan

kondisi penyandang tersebut yang membuat WAR sendiri ragu untuk memberikan

pekerjaan untuknya.

“Belum pernah saya mbak, belum pernah. Karna saya sendiri

melihat kondisinya saya sudah nggak..., istilahnya kasian gitu”.

(WAR, 2015)

Menurut TIN salah satu informan yang mempunyai dua orang anggota

keluarga yang keterbelakangan mental dalam kategori sedang dan ringan mengaku

anggota keluarganya tersebut juga jarang ditawari pekerjaan oleh tetangganya,

padahal dahulu sering disuruh untuk cari air di sungai.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

“Nek riyen nggeh pernah di kongkon mendhet toyo riyen, nek sak

niki mboten, wonten sanyo punan”.

(TIN, 2015)

Artinya:

“Kalau dulu ya pernah disuruh ambil air dulu, kalau sekarang tidak,

ada sudah ada sanyo”.

(TIN, 2015)

Melihat kondisi mereka yang mempunyai keluarga keterbelakangan

mental mayoritas kondisinya sangat kekurangan, mereka bekerja sehari untuk

biaya hidup sehari, mereka sangat membutuhkan bantuan dari tetangganya.

Melihat dari argumen TIN tersebut dapat dikatakan bahwa penyandang

keterbelakangan mental menjadi terdiskriminasi dalam aspek ekonominya, dengan

kondisi yang serba kekurangan lapangan pekerjaan yang juga semakin sempit

membuat mereka semakin termajinilisasi dari aspek ekonominya.

III.2.3. Kondisi Politik

Kondisi lingkungan sosial “Kampunt Idiot” tidak hanya dapat di

representasikan melalui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat “Kampung

Idiot”namun juga harus dilihat dari kondisi politik masyarakatnya. Dengan

melihat kondisi politik masyarakatnya kita dapat melihat sejauh mana pemerintah

daerah maupun pemerintah Desa Sidoharjo melaksanakan fungsi politik dalam

warga masyarakatnya antara warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus

atau penyandang keterbelakangan mental dengan warga masyarakatnya yang

normal atau yang tidak berkebutuhan khusus tersebut.

Informan MAD sebagai sorang tokoh masyarakat yaitu sebagai sekretaris

Desa Sidoharjo mengaku bahwa MAD tidak pernah memberikan pendampingan

secara langsung kepada para penyandang keterbelakangan mental yang ingin

melakukan pemilihan suara di TPS (Tempat Pemilihan Suara). Namun, menurut

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

informan MAD tersebut ada sebagian warganya yang penyandang

keterbelakangan mental yang ikut memilih dan didampingi oleh keluarganya

sendiri. Menurut informan MAD perangkat desa tidak memberikan perlakuan

khusus atau pendampingan kepada warganya yang penyandang keterbelakangan

mental tersebut.

...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah enten..pernah

enten menggunakan suarana nggeh wonten sing didampingi

keluarganya. Kalau saya mgajak ndampingi mboten nate. Kalau

perlakuan khusus untuk mereka ya, nek ngurusi sing berkebutuhan

saja yo ra rampung”.

(MAD, 2015)

Artinya:

...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah ada...pernah ada

yang menggunakan suaranya ya ada yang didampingi keluarganya.

Kalau saya mengajak mendampingi tidak pernah. Kalau perlakuan

khusus untuk mereka ya, kalau mengurusi yang berkebutuhan saja

ya tidak selesai”.

(MAD, 2015)

Berdasarkan pernyataan informan MAD “nek ngurusi sing berkebutuhan

saja yo ra rampung”(kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai),

hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sekaligus berupa bentuk perilaku

diskriminasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk memberikan

pendampingan terhadap warganya yang akan melakukan hak politiknya. Padahal

mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental dan sebagai warga

Indonesia, sesuai Undang-Undang negara para penyandang cacat tetap

mempunyai hak untuk menyalurkan suaranya.

Berdasarkan dari pernyataan dari Informan INU bahwa, didalam aspek

politik misalnya PEMILU mereka tetap masuk dalam DPT, walaupun

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

kenyataannya mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena

keterbatasannya tersebut. Kalau untuk pendampingan dalam PILKADA kepada

masyarakatnya yang keterbelakangan mental maupun cacat fisik lainnya sampai

saat ini tidak ada.

..”yo tetep ndue hak, tetep ndue hak, tetep ditulis walaupun mengke

nek teko hari H niku saged rawuh nopo mboten. Nek pendampingan

yo sosok mbak sosok karek event ne, nek event ne pomo pemilihan

caleg pamane kan yo jauh lah istilah e, kui biasane ora..”

(INU, 2015)

Artinya:

..”ya tetap punya mbak, tetap punya hak, tetap ditulis walaupun

nantinya kalau pas hari H itu bisa datang atau tidak. Kalau

pendampingan ya terkadang mbak terkadang tinggal acaranya,

kalau acaranya seumpama pemilihan caleg misalnya kan ya jauh

lah istilahnya, itu biasanya tidak..”

(INU, 2015)

Namun, menurut informan INU jika pilkades karena ruang lingkupnya

kecil diadakan pendampingan oleh salah satu calon tertentu, karena dirasa masih

dalam lingkungan salah satu calonnya, sehingga warganya tersebut kesempatan

untuk dijadikan tambahan suara dalam pilkades.

...”lha nek pilkades niki termasuk tetep pamamne kulo jagone nggeh

bersaing kalih A nopo B niku ngroso lingkunganku yo tak warahi

kalih tim kulo terus mbenjeng nggeh didampingi kaleh, biasane

ngoten”.

(INU, 2015)

Artinya:

...”lha kalau pilkades itu termasuk tetap semisal saya calonnya ya

bersaing dengan A atau B itu merasa lingkunganku ya tak bimbing

dengan TIM saya terus besok ya didampingi juga, biasanya seperti

itu”.

(INU, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Berdasarkan argumen dari informan INU tersebut, dapat diketahui bahwa

terdapat diskriminasi dari penyaluran hak suara dalam pemilu. Bentuk

diskriminasi tersebut dapat kita lihat dalam penyaluran hak suara dari

masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Tidak ada

pendampingan dalam proses penyaluran hak suara mereka dalam pemilihan

kepala daerah atau calon legislatif. Namun, hal tersebut berbeda jika pemilihan

kepala desa, demi untuk menjomplang jumlah suara ada pendekatan khusus dari

beberapa calan kandidat kepla desa. Pendekatan tersebut dapat dilihat adanya

pendampingan khusus dari salah satu calon kandidat tertentu.

III.3. Stigma Negatif “Kampung Idiot”

Konsep “stigma” dalam pemikiran Erving Goffman(dalam Damaiyanti,

2009) yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang

bisa terlihat pada bahasa (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan

sehari-hari. Menurut Goffman, stigma diskredit adalah stigma yang dapat dimiliki

seseorang, dimana aktor menganggap perbedaan yang nampak pada seseorang

atau individu tersebut terlihat jelas bagi seseorang atau individu lain yang

melihatnya, misalnya cacat fisik yang nampak pada diri seseorang atau individu.

Orang yang mendapat stigma atau menerima stigma adalah mereka yang

tentunya berbeda dan tidak sesuai dengan yang ditetapkan masyarakat. Termasuk

bagi mereka yang menerima stigma diskredit dari masyarakat, misalnya orang-

orang yang cacat yang dapat terlihat secara jelas. Termasuk didalamnya adalah

orang-orang yang keterbelakangan mental, yang biasanya fisiknya ditandai

dengan kepala yang lebih besar, rahang gigi yang begitu menonjol atau

perilakunya yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Ciri-ciri fisik

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

tersebut yang dianggap memiliki kriteria khusus sehingga hal tersebut dianggap

sebagai salah satu yang menjadi syarat siapa-siapa yang pantas dan tidak pantas

diterima oleh masyarakat, walaupun tidak secara tertulis syarakat-syarat tersebut

secara langsung akan disetujui oleh masyarakat.

Studi ini menemukan dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami

keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk stigma dari masyarakatnya.

Bentuk-bentuk stigma yang diterima tersebut tidak hanya dalam bentuk verbal

misalnya seperti panggilan goblok, mendho, peko‟, idiot‟, budeg sampai pada

panggilan-panggilan yang bukan nama aslinya misalnya nama aslinya Nardi

dipanggil Bagong namun juga dalam bentuk stigma non verbal misalnya

mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu dan mendapatkan

pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain serta sampai disuruh

menyingkir saat datang diacara hajatan.Lebih jelasnya bentuk-bentuk stigma yang

diterima oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa

Sidoharjo tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Tabel 3.1

Bentuk-Bentuk Stigma yang Diterima

NO. INFORMAN STIGMA VERBAL STIGMA NON-

VERBAL

1. MAD - Mendho

- Robet(Orang Krebet)

Disuruh menyingkir saat

datang ke acara hajatan

dari salah satu warga.

2. INU - Wong pinggiran

- Ndeso

Pandangan bahwa

dianggap masyarakat

satu desa bodoh semua.

3. DEV

- Goblok

- Pekok

- Mendho

Sering ditanya-tanya

tempat tinggalnya dan

pendapatkan pandangan

yang kurang

menyenangkandari

orang lain.

4. ARI -Goblok

-Idiot

Disuruh menyingkir saat

orang yang

keterbelakangan

tersebut akan bergabung

bersama kelompok ibu-

ibu yang sedang

mengobrol.

5. TIN - peko‟

- bude‟ -

6. IIM - Goblok

- Gak iso omong(bisu)

Diusir oleh tetangganya

saat salah satu

penyandang datang

kerumahnya.

7. WAR - Panggilan

“Bagong” -

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa hampir semua informan yang

ada didekat para penyandang keterbelakangan mental pernah mendengar dan

melihat bahwa para penyandang keterbelakangan mental yang ada di desanya

menerima stigma bahkan dari tetangganya sendiri. Informan TIN salah satu

anggota keluarganya pernah disebut orang peko‟ (bodoh)dan bude‟ (bodoh).

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

“Nggeh, kasiann ngoten mbak dilok e. Kados budhe ne niki(sambil

mengelus rambut putrinya).Kadang-kadang nggeh, dijuluki peko‟,

bude‟ ngoten...”

(TIN, 2015)

Artinya:

“Ya, kasian gitu mbak lihatnya. Seperti tantenya ini (sambil

mengelus rambut putrinya). Kadang-kadang ya, dipanggil bodoh,

tuli seperti itu...”

(TIN, 2015)

Menurut pendapat TIN tersebut anggota keluarganya yang

keterbelakangan mental mendapat dua sebutan dari orang lain yaitu sebutan peko‟

dan bude‟. Kedua sebutan tersebut disematkan sebagai bentuk representatif dari

keadaan penyandang keterbelakangan mental tersebut, yang memang penyandang

mengalami tingkat penurunan ingat otak dan penurunan pendengarannya.

Berbeda dengan informan IIM yang pernah melihat dan mendengar sendiri

Painah salah satu penyandang keterbelakangan mental yang sering datang ke

rumahnya untuk meminta tepung gaplek (tepung ketela) menerima stigma dari

tetangga dan saudara-saudaranya berupa sebutan atau panggilan „goblok‟.

…”pamane mriki wonten tiyang mriki ngoten, ngeten mbak wong

goblok bolak-balik njaluk ae diweh i ora ngaleh ngoten. Kan Painah

niku lo mbak Sidowayah, niku mbendinten mriki mawon nyuwun,

pun disukani nopo nek dereng disukani glepung gaplek lebut niku

tasek nyuwun mawon”.

(IIM, 2015)

Artinya:

...”semisal disini ada orang yang datang gitu, gini mbak orang

bodoh itu sering sekali minta tapi sudah dikasih tidak mau pergi.

Kan Painah (salah satu nama penyandang) Sidowayah dikasih itu

setiap hari kesini terus minta, sudah dikasi apapun kalau belum

dikasih tepung singkong lembut itu masih saja minta terus”.

(IIM, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Menurut pengalaman IIM tersebut, tetanganya yang bernama Painah

mendapat sebutan goblok dalam bahasa Indonesia yaitu bodoh yang artinya

seseorang yang tidak banyak mempunyai pengetahuan dan sulit untuk memahami

dan mengerjakan sesuatu. Painah dianggap orang yang bodoh dan tidak

memahami apa yang dia lakukan, karena setiap hari hanya meminta tepung ketela

yang dimiliki IIM, serta tidak mau pergi sebelum mendapatkannya.

Penerimaan stigma tidak hanya dialami oleh mereka yang mempunyai

keterbelakangan mental saja. Namun, stigma juga dialami mereka yang bukan

penyandang keterbelakangan mental. Informan MAD yang dulunya pernah

sekolah di salah satu SMK Negeri di Kota Ponorogo, juga pernah menerima

perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya berupa sebutan

mendhodi sekolahnya.

...”ngerti omahku krebet ngono, layak mendho(sambil ketawa)

ngonten niku. Jane nggeh mboten mendho. Terus pomo aku rodok

ngantuk ngono ke, nek nggojloki emm besok sarapan yang agak

bergizi ya..(sambil ketawa)”.

(MAD, 2015)

Artinya:

...”tahu rumahku Krebet gitu, makanya bodoh (sambil ketawa)

seperti itu. Tapi ya tidak bodoh. Terus kalau saya sedikit mengantuk

gitu, kalau menertawain emm besok sarapan yang lebih bergizi

ya..(sambil tertawa)”.

(MAD, 2015)

Sebenarnya jika melihat kondisi MAD yang sebenarnya, MAD bukan

orang yang bodoh seperti stigma yang diberikan oleh teman-temannya tersebut.

MAD adalah salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya, MAD tidak pernah

tidak ranking satu di kelasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma yang

diberikan seseorang tidak selamanya mempresentasikan keadaan yang

sesungguhnya. Namun hanya label yang melekat di desanya sebagai desa yang

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental atau orang

memahaminya sebagai „tempat para orang bodoh‟ tinggal sehingga orang

normalpun mendapat stigma yang sama.

Selain itu juga dikarenakan MAD berasal dari Desa Krebet, informan

MADmengaku pernah mendapatkan perkataan-perkataan yang kurang

menyenangkan, seperti sebutan Robet yang artinya orang Krebet saat masa-masa

sekolah SMA dulu.

...”sampek dijuluki Robet, Orang Krebet, semua temen-temen saya

yang sekolah disitu, temen-temen disitu manggile Robet. Itu sebagai

beban tersendiri Robet ini wes sak elek-elek e wong. Jane Orbet

asline orang Krebet, orang-orang Krebet lo ya orang medho lah.

Nyek-nyek an, kesakitan nek nyang komunitas nongkronge cah-cah”.

(MAD, 2015)

Artinya:

...”sampai dipanggil Robet, Orang Krebet, semua teman-teman saya

yang sekolah disitu, teman-teman disitu memanggil Robet. Itu

sebagai beban tersendiri Robet itu sudah sejelek-jeleknya orang.

Aslinya Orber Orang Krebet, orang-orang Krebet ya orang Bodoh

lah. Ejek-ejekan, kesakitan kalau di komunitas nongkrong anak-

anak”.

(MAD, 2015)

Melihat pengalaman MAD terkait stigma-stigma yang pernah MAD terima

dari teman-temannya tersebut, sebutan „Robet‟ yang artinya orang Krebet sebagai

bentuk representasi bahwa tempat tinggal membawa dan mempengaruhi stigma

yang disematkan kepada orang lain. Sehingga stigma tidak hanya diberikan

kepada mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan saja, namun juga

kepada mereka yang tinggal dalam satu desa dengan para penyandang

keterbelakangan mental.

Informan WAR mempunyai cerita sendiri terkait stigma yang diberikan

masyarakat kepada beberapa penyandang keterbelakangan di desanya tersebut.

Mulai dari tokoh masyarakat sampai warga masyarakat di Desa Sidoharjo

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

mempunyai julukan tersendiri kepada tiga orang penyandang keterbelakangan

mental yang ada di Desa tersebut. Julukan tersebut adalah julukan „Bagong‟

kepada ketiga orang laki-laki penyandang keterbelakangan mental. Namun ketiga

orang tersebut masih dapat bekerja walaupun hanya dalam satu perintah

pekerjaan, karena masih dalam tinggal keterbelakangan mental sedang.

“Ya seperti umpamanya namanya Nardi tapi dipanggil Bagong

karna memang panggilannya tiap hari ya gitu.Tapi kalau nama di

identitas sebenarnya kan bukan itu”.

(WAR, 2015)

Artinya:

“Ya seperti semisal namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karena

memang panggilannya tiap hari ya seperti itu. Tapi kalau nama di

identitas sebenarnya kan bukan itu”.

(WAR, 2015)

Pernyataan WAR bahwa ketiga Bagong tersebut dapat bekerja, diperkuat

oleh informan MAD, memang di desa ini ada tiga orang Bagong. Saat peneliti

mengadakan wawancara dengan informan MAD, dia pernah menyebut tiga orang

penyandang yang namanya Bagong yang ketiganya masih bisa bekerja, untuk

memenuhi kehidupannya sendiri. Ternyata ketiga nama Bagong tersebut hanya

sebuah sebutan nama untuk ketiga penyandang keterbelakangan mental tersebut.

...”Niku Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental),

ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing

mriki niku biasane sadean godong jat. Nek Bagong sing Klitik kaleh

Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae

mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku”.

(MAD, 2015)

Artinya:

...”itu Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental), ada

tiga Bagong yang semuanya bekerja disini. Bagong yang disini itu

biasanya jualan daun jati. Kalau Bagong yang Klitik dengan

Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul hasil

mencangkulnya bagus itu dengan orang biasa/normal gitu menurut

saya bagus itu”.

(MAD, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Sehingga dari pernyataan kedua informan WAR dan MAD, dapat

disimpulkan bahwa stigma juga dapat berupa penggantian nama asli menjadi

nama panggilan yang disematkan kepada mereka-mereka yang mempunyain

karakteristik fisik maupun mental secara khusus.

Berbeda dengan argumen yang diberikan oleh salah satu informan ARI.

Pada waktu peneliti menanyakan kepada salah satu informan ARI, apakah beliau

mempunyai sebutan khusus atau panggilan khusus kepada warga masyarakatnya

yang mengalami keterbelakangan mental, ARI mengatakan bahwa sebutannya

„Idiot‟, adalah mayoritas sebutan yang sering digunakan masyarakat di desanya

tersebut.

“Ohh, kalau disini sebutanne ya idiot ngono mbak.”

(ARI, 2015)

Artinya:

“Ohh, kalau disini sebutannya atau panggilannya ya idiot gitu mbak”.

(ARI, 2015)

Menurut argumen dari informan ARI tersebut, sebutan „idiot‟ bagi

waganya yang mengalami keterbelakangan mental adalah sebagai bentu

representasi dari keadaan yang dialami oleh sebagian masyarakatnya tersebut.

Namun, sebutan idiot sesungguhnya adalah istilah yang diberikan kepada mereka-

mereka yang mengalami keterbelakangan mental dalam kategori berat saja, atau

dalam istilahnya mereka-mereka yang masuk dalam severe retardation (retardasi

mental berat) dengan IQ 20-34, anak dalam kategori retardasi mental berat, bisa

disebut dengan„idiot‟, karena kebanyakan IQ mereka dibawah 30. Dalam kategori

ini mereka sudah tidak bisa menerima pelajaran akademik dan sulit mengenali

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

orang-orang didekat mereka.Sehingga sangat membutuhkan bantuan orang lain

untuk melakukan kegiatan sehari-harinya, seperti: makan, mandi dan lain

sebagainya.Ditambah lagi mereka sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri,

sehingga membutuhkan banyak pengawasan dari orang disekitarnya. Padahal,

pada kenyataannya masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa

Sidoharjo tersebut ada yang dalam kategori ringan dan sedang. Sehingga tidak

semuanya dapat dikatan „idiot‟ maupun dalam kagori „idiot‟.

Stigma yang pernah didapatkan oleh masyarakat yang mengalami

keterbelakangan mental tidak hanya berupa stigma verbal saja, namun stigma non-

verbal pernah mereka dapatkan. Informan ARI pernah melihat tetangganya

penyandang keterbelakangan mental pernah mendapatkan penolakan dari

kelompok masyarakat tertentu, hanya karena dia dianggap tidak normal seperti

kebanyakan masyarakat lainnya.

“Yowes ngelok-ngelokne mandak koyo ngono wes neng kono ae wes

ra sah amor wong-wong ngene iki. Mayoritas mbak. Mandak koyo

ngono ae kerjone piye…kadang kan ngenyek ngoten niku lo. Mboten

nek koyo njuluki iki ke wong ngene ngoten niku mboten. Kula dereng

miring”.

(ARI,2015)

Artinya:

“Ya sudah menyebut-nyebut keadaan yang seperti itu sudah disitu

saja tidak uasah bergabung dengan orang-orang seperti ini.

Mayoritas mbak. Dengan keadaan seperti itu kerjanya

gimna…kadang kan mengejek seperti itu. Tidak kalau memberi

julukan ini orang seperti ini itu tidak. Saya belum pernah dengar”.

(ARI, 2015)

Selain informan ARI yang pernah melihat tetangganya yang

keterbelakangan tersebut mendapat penolakan oleh sekelompok

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

masyarakatnya.MAD juga pernah melihat penyandang keterbelakanganmental

mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan dalam suatu acara hajatan.

“Sing kerep kulo eroh i nggeh diusir niku wau umpamane, neng

rejan-rejan ngono kae nyedek ngono kui dikon ngaleh”.

(MAD, 2015)

Artinya:

“Yang sering saya tahu ya diusir itu tadi misalnya, dalam acara

pesta rakyat seperti itu mendekat gitu disuruh pergi”.

(MAD, 2015)

Menurut pernyataan ARI dan MAD tersebut, dapat disimpulkan bahwa,

mereka-mereka yang berkebutuhan khusus seperti penyandang keterbelakangan

mental tersebut sulit untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosial

mereka.Penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapat

penolakan dari lingkungan sosial mereka sendiri. Padahal mereka sesungguhnya

sangat membutuhkan bantuan dari orang lain dalam kehidupannya, selain itu juga

mereka berhak untuk bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain.

Pemaparan diatas menunjukkan stigmatisasi yang pernah dialami dan

diterima oleh beberapa masyarakat yang mengalamai keterbelakangan mental

yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal dengan “Kampung Idiot”.Stigma-stigma

tersebut tidak hanya berbentuk stigma verbal, namun juga stigma non-verbal juga

mereka terima. Stigma yang diberikan oleh mereka yang mengalami

keterbelakangan mental kemudian akan menciptakan perilaku diskriminatif.

Stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka-mereka yang menurut

masyarakat tidak sesuai kriteria yang ada dimasyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat akan menolak kehadiran pihak-pihak yang

mereka anggap berbeda dari masyarakat lainnya. Pihak-pihak yang dianggap

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

berbeda dari mereka akan mengalami penolakan sosial dari lingkungannya akibat

atribut yang melekat pada mereka-mereka yang dianggap berbeda tersebut.

Masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo

yang dikenal sebagai “Kampung Idiot” tersebut adalah salah satunya.

II.3.1. Identitas “Kampung Idiot” Berawal dari Jumlah Penyandang

Keterbelakangan Mental yang Ada di Desa Sidoharjo

Isu Desa Sidoharjo mendapatkan label sebagai “Kampung Idiot” awal

mulanya tidak lepas dari data banyaknya jumlah masyarakat yang menderita cacat

fisik dan mental.

Berikut tabel kategori jumlah penduduk Desa Sidoharjo menurut penderita

Cacat Fisik dan Mental tahun 2013 (dalam, Jambon dalam Angka 2014).

Tabel 3.1

Kategori Jumlah Penduduk Menurut Penderita Cacat Fisik dan Mental

NO. URAIAN JUMLAH

1. Tuna Netra 11 orang

2. Tuna Rungu 32 orang

3. Tuna Wicara 13 orang

4. Tuna Rungu Wicara 7 orang

5. Tuna Daksa 14 orang

6. Tuna Grahita 8 orang

7. Cacat Mental 111 orang

8. Cacat Ganda 43 orang

Jumlah 239 orang

Sumber: Jambon dalam Angka 2014

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Desa Sidoharjo

sebagian besar menderita cacat mental, yaitu sebesar 111 orang dari 239 orang

yang menderita cacat fisik dan mental.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.3.2. Status “Kampung Idiot” Diperkuat dengan Masuknya Media

Massa

Media massa merupakan salah satu institusi sosial yang penting dalam

kehidupan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu organisasi yang

hidup di tengah masyarakat. Salah satu fungsi media massa selain fungsi

informasi, fungsi hiburan dan fungsi penyebaran nilai, media massa juga

mempunyai fungsi penafsiran dengan memberikan penafsiran terhadap kejadian-

kejadian penting yang ada di masyarakat. Ada keterkaitan antara fungsi informasi

media dengan fungsi penafsiran, bahwa melalui informasi banyaknya masyarakat

penderita cacat fisik terutama cacat mental yang ada di Ponorogo khususnya di

Desa Sidoharjo tersebut, akhirnya media massa mempublikasikannya diberbagai

media cetak maupun elektronik dengan berbagai penafsiran yang dibuat media

tersebut.

Berdasarkan dari pernyataan dari salah satu informan MAD, bahwa isu

label atau sebutan “Kampung Idiot” tersebut pertama kali digulirkan oleh media.

Menurut MAD media menyebutnya bahwa ini adalah bentuk dendam dari

Undang-Undang pers pada era orde baru bahwa Undang-Undang media dibuat

sedemikian ketat sehingga membuat media semakin terbumkam dengan

informasi-informasi yang ada di masyarakatnya.

“Sejarah penyebutan kampong idiot niku..temen-temen media yang

menggulirkan, dulu sebelum ada keterbukaan informasi temen-temen

media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan keadaan

disini,...”

(MAD, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Artinya:

“Sejarah penyebutan Kampung Idiot itu.. teman-teman media yang

menggulirkan, dahulu sebelum ada keterbukaan informasi teman-

teman media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan

keadaan disini,..”

(MAD, 2015)

Akhirnya dengan perubahan masa dan perubahan mengenai Undang-

Undang kebebasan pers, media pada akhirnya dapat mengpublikasikan informasi-

informasi yang dulunya tidak sempat dipublikasikan yang menurut mereka

penting diketahui oleh masyarakat umum misalnya mengenai keadaan masyarakat

yang ada di Desa Sidoharjo tersebut.

...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka

merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang.

Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada

sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan

desa sidoharjo, sesuatu sing ini nanti harus mendapat perhatian,

akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”

(MAD, 2015)

Artinya:

...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka

merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang.

Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada

sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan

desa sidoharjo, sesuatu yang ini nanti harus mendapat perhatian,

akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”

(MAD, 2015)

Menurut informan MAD tersebut dapat dilihat bahwa penyebutan

“Kampung Idiot” itu sendiri adalah permainan media massa untuk mendapat

simpati publik atas situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ada di

Desa Sidoharjo tersebut. Walaupun tidak semua masyarakatnya yang mengalami

keterbelakangan mental ditambah lagi bukan hanya keterbelakangan mental saja

namun juga ada yang menderita cacat fisik. Namun, stigma publik akan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

beranggapan bahwa “Kampung Idiot” adalah suatu kampung yang masyarakatnya

„idiot‟ semua. Itulah stigma yang masih melekat hingga sekarang ini.

III.3.3. Didukung oleh Pemerintah Desa Sidoharjo

Studi ini menemukan bahwa, stigma negatif “Kampng Idiot” tidak hanya

didukung oleh jumlah penderita cacat mental dan cacat fisik yang ada di Desa

Sidoharjo dan masyarakat luar seperti media massa, namun juga didukung oleh

pemerintah Desa Sidoharjo itu sendiri. Pemerintah Desa Sidoharjo tidak

mengganggap kondisi yang dialami masyarakatnya bukan sebagai aib yang harus

mereka tutup-tutupi, namun sebaliknya kondisi ini harus disebar-luaskan ke

masyarakat luar maupun ke pemerintah daerah. Seperti apa yang dipaparkan oleh

salah satu informan INU, bahwa sebutan “Kampung Idiot” tersebut adalah

permintaan dari pemerintah desa itu sendiri.

“Yo pada dasarnya wong sak kecamatan ki ngerti mbak, kampong

idiot kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne

kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab

iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru

ditutup-tutupi...”

(INU, 2015)

Artinya:

“Ya pada dasarnya orang sekecamatan ini mengetahuinya mbak.

Kampung Idiot kan ya namanya desa itu ya mempunyai keinginan,

memang yang memberikan sebutan Kampung Idiot desa ini sendiri

pemerintah desa sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas,

disebar luaskan malahan, tidak malah justru ditutup-tutupi...”

(INU, 2015)

Melihat argumen dari informan INU tersebut bahwa bukan hanya media

saja yang memberikan sebutan “Kampung Idiot” namun juga pemerintah desa

sendiri yang ingin kondisi masyarakatnya diketahui oleh masyarakat luas terutama

pemerintah pusat dan daerah. Kondisi masyarakatnya tersebut harus diketahui

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

publik dikarenakan menurut informan INU bahwa agar persoalan tersebut dapat

segera diatasi dan mendapat kepedulian dari pemerintah.

“Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-wong sing

peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek kepedulian.

Nek malah tak tutuptutupi yo malah…diarani kampong idiot yo

selama onok deso iki, mau-maune nggeh mboten...”

(INU, 2015)

Artinya:

“Kalau sudah disebar luaskan ya akhirnya ada orang-orang yang

peduli, terutama pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian. Kalau

malah saya tutup-tutupi yo malah...dikatakan Kampung Idiot ya

selama ada desa ini, awalnya ya tidak...”

(INU, 2015)

Stigma “Kampung Idiot” identik dengan stigma kurang menyenangkan

dan membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, hal tersebut akan berbeda dari

pandangan dari salah satu informan INU tersebut, bawasannya tidak semua stigma

dianggap buruk dan membawa dampak buruk bagi semua orang yang ada di Desa

Sidoharjo tersebut. Berdasarkan argumen INU sebagai salah satu tokoh

masyarakat di desa tersebut, dengan stigma “Kampung Idiot” membawa dampak

positif bagi desanya. Hal tersebut terbukti bahwa Desa Sidoharjo semakin banyak

mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM

dan para donatur-donatur lainnya. Sehingga hal tersebut membawa keuntungan

tersendiri bagi Desa Sidoharjo tersebut.

III.4. Respon Masyarakat Lokal Atas Stigma “Kampung Idiot”

Masyarakat Desa Sidoharjo banyak yang memberikan stigma negatif

sebagai bentuk penolakan terhadapmereka-mereka yang mengalami

keterbelakangan atau retardasi mental karena mereka dianggap mempunyai ciri

atau kriteria khusus yang nampak secara jelas, yang dianggap tidak sesuai dengan

yang diharapkan oleh masyarakat.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Terdapat bentuk-bentuk stigma yang disematkan kepada mereka-mereka

yang tergolong berkebutuhan khusus atau mereka yang keterbelakangan mental.

Bentuk-bentuk stigma tersebut ada yang berupa verbal dan non-verbal. Bentuk

penolakan verbal tersebut berupa kata-kata misalnya dengan mengatakan bahwa

orang tersebut idiot, goblok (bodoh), peko‟ (bodoh), mendho (bodoh),

Robet(Orang Krebet), bisu sampai dengan memberikan panggilan yang bukan

nama aslinya misalnya panggilan „Bagong‟. Sedangkan bentuk penolakan non-

verbal yang tercermin dari bentuk gestur tubuh seperti pandangan yang kurang

menyenangkan dari orang lain sampai bentuk perlakuan yang kurang

menyenangkan misalnya penolakan terhadap penyandang dari kelompok

masyarakat tertentu sampai pada pengusiran secara langsung dari suatu kelompok

tertentu.

Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang

mengalami keterbelakangan mental menerima stimulus negatif dari masyarakat

lain maupun dari orang terdekatnya sendiri, baik berupa stigma verbal maupun

non-verbal. Studi ini menemukan bahwa reaksi yang ditunjukkan oleh informan

sangat beragam. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Tabel 3.2

Respon yang Ditunjukkan Masyarakat Terhadap Stigma dan Perilaku

Diskriminatif Masyarakat “Kampung Idiot”

NO. INFORMAN RESPON YANG DITUNJUKKAN

1. MAD

- Percaya diri dibilang dari “Kampung Idiot

- Langsung diajak bicara jika ada orang yang

memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan

kepada salah seorang penyandang

2. INU

- Tidak masalah Desa Sidoharjo disebut “Kampung

Idiot”, karena jika tidak disebut “Kampung Idiot”

malah tidak akan menyelesaikan masalah.

- Dianggap biasa aja jika orang banyak menyebut

penyandang orang pingiran atau “ndeso”

3. DEV

- Menjelaskan keadaan Desa Sidoharjo bawasannya

yang mengalami keterbelakangan mental tersebut

tidak semua masyarakatnya.

- Berbicara secara langsung kepada orang yang

mengatakan atau memanggil dengan panggilan yang

kasar kepada salah seorang penyandang

4. ARI - Menunjukkan respon yang kurang senang

5.

TIN

- Biasa saja disaat anggota keluarganya dijuluki

dengan panggilan-panggilan yang bukan namanya

6. IIM

- Malu jika tempat tinggalnya dijuluki “Kampung

Idiot”

- Langsung menangepi bahwa itu sudah menjadi

takdir dari yang Maha Kuasa

7. WAR - Biasa saja jika Desa Sidoharjo di sebut sebagai

“Kampung Idiot”, tidak ada rasa malu

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa respon yang ditunjukkan

masyarakatterhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung

Idiot” sangat bervariatif. Respon tersebut ditunjukkan oleh keluarga yang

memiliki anggota yang keterbelakangan mental, lingkungan sekitar dan respon

perangkat desa atas stigma “Kampung Idiot” tersebut.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.4.1. Respon Keluarga yang Memiliki Anggota yang Keterbelakangan

Mental

TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga

yang keterbelakangan mental yang masih dalam kategori ringan, disaat

keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut mendapat perkataan-perkataan

yang kurang baik dari tetangganya mulai dari mendapatkan julukan

peko‟(Bodoh),goblok(bodoh). Anggota keluarganya yang keterbelakangan

tersebut jika mendengarnya akan sedikit marah dan bergumam dengan bahasanya

sendiri.

…“kadang nek tiyangge mireng ngoten kadang nggeh nesu, ngamuk

biasane, nguuumengg mawon, ngremeng ngoten”.

(TIN, 2015)

Artinya:

...”kadang kalau orangnya dengar gitu kadang ya marah, marah

(tersinggung) biasanya, berbicara sendiri (namun tidak jelas

bahasanya), menunjukkan ketidaksenangan seperti itu”.

(TIN, 2015)

Berdasarkan pernyataan TIN tersebut dapat dilihat bahwa, keluarganya

yang keterbelakangan mental tersebut jika mendengar ada tetangga yang

menjulukinya peko‟, goblok atau perkataan yang kurang menyenangkan dari

tetangganya dia „ngrumeng‟ (berbicara yang kurang jelas) atau „gremeng‟, yang

dalam arti bahasa indonesianya adalah bergumam sebagai bentuk

ketidaknyamanan. „Ngumeng‟ atau „ngremeng‟ tersebut sebagai bentuk respon

ketidaksenangan atau ketidaknyamanan penyandang tersebut atas perkataan yang

tidak menyenangkan yang diberikan kepada dirinya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Sedangkan TIN sendiri jika keluarganya mendapatkan julukan peko‟,

goblok dari tetangganya menanggapinya seperti kebanyakan informan lainnya,

TIN meresponnya dengan biasa saja, TIN tidak pernah memberikan respon atau

reaksi apapun kepada orang atau tetangganya tersebut, mengingat memang

keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas yaitu sebagai

penyandang keterbelakangan mental yang berbeda dengan masyarakat normal

lainnya.

“Pripun nggeh emang keadaane ngoten niku, terbatas yowess mbak,

biasaae”.

(TIN, 2015)

Artinya:

“Seperti apa ya memang keadaannya seperti itu, terbatas ya sudah

mbak, biasa saja”.

(TIN, 2015)

Berdasarkan informan TIN tersebut respon biasa saja yang TIN berikan

kepada seseorang atau tetanganya yang memberikan perlakuan atau perkataan

yang kurang menyenangkan anggota keluarganya yang keterbelakangan mental

menurut TIN dikarenakan keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang

terbatas, sehingga ada sikap pasrah terhadap diri TIN mengenai sikap orang lain

terhadap anggota keluarganya tersebut.

III.4.2. Respon Lingkungan Sekitar

Respon terhadap stigma “Kampung Idiot” dan perilaku diskriminatif

terhadap penyandang keterbelakangan mental juga ditunjukkan oleh beberapa

masyarakat sekitar. Salah satunya adalah yang dilakukan linforman IIM, yang

langsung memberikan tanggapan langsung disaat IIM melihat dan mengalami

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

sendiri pada waku itu, yaitu kepada salah satu warganya yang memberikan

julukan bisu kepada salah satu penyandang keterbelakangan mental tersebut.

“Hee. . . kowe opo seneng nek koyo ngono kui, ora iso omong iku yo

pawaue sing kuoso kok, kula nggeh ngoten. Kan leres ta mbak,

tiyang ngoten niku nek. . . prayo isin to mbak”.

(IIM, 2015)

Artinya:

“Hee...kamu apa senang kalau seperti itu, tidak bisa bicara itu ya

pemberian dari Yang Maha Kuasa, saya ya gitu. Kan benar kan

mbak, orang seperti itu...kan ya malu mbak”.

(IIM, 2015)

Berdasarkan pernyataan informan IIM bahwa apa yang dialami salah satu

penyandang keterbelakangan mental dengan kondisi „bisu‟ adalah sudah menjadi

pemberian dari Yang Maha Kuasa. Berdasarkan argumen tersebut IIM

mengumpamakan kepada orang yang memberikan stigma „bisu‟ kepada salah satu

penyandang tersebut agar orang tersebut bisa lebih bersimpati dengan kondisi atau

keadaan yang dialami oleh penyandang keterbelakangan tersebut. Sehingga IIM

berharap orang yang memandang rendah mereka-mereka yang penyandang

keterbelakangan mental tersebut, dapat lebih bersyukur dengan kondisinya yang

normal sekarang ini.

Respon berbeda diberikan salah satu informan ARI, menurut pernyataan

ARI, pihaknya kurang senang dengan sebutan “Kampng Idiot” yang diberikan

kepada desanya tersebut. Dengan alasan hanya sebagian kecil dari warga

masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga

menurut ARI sebutan atau julukan tersebut tidak tepat diberikan kepada Desa

Sidoharjo.

“Ya cuma yo kurang marem lah. Lha nyapo kok ndadak dikek

kampong idiot barang ki kan yo sebagian gak semuanya ngono lo

maksud e kan cuma sedikit kok dijuluki kampong idiot..”

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

(ARI, 2015)

Artinya:

“Ya Cuma ya kurang senang lah. Lha kenapa kok dikasih nama

Kampung Idiot segala kan ya sebagian gak semuanya gitu lo

maksudnya kan cuma sedikit kok dijuluki Kampung Idiot...”

(ARI, 2015)

Berdasarkan pernyataan ARI, dapat dilihat bahwa „kurang marem‟ atau

dalam bahasa Indonesinya „kurang senang‟ menunjukkan ketidak senangan

sekaligus penolakan dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut. Mengingat antara

kenyataan atau kondisi yang sebenarnya dengan apa yang dipahami masyarakat

luar sangat jauh berbeda. Antara masyarakat yang penyandang keterbelakangan

mental dengan masyarakat normal jumlahnya jauh lebih banyak masyarakat

normalnya, sehingga informan ARI menunjukkan respon ketidaksenangan dan

ketidak setujuan dengan sebutan “Kampung Idiot” yang melekat di desanya

tersebut.

III.4.3. Respon Perangkat Desa

Respon terhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung

Idiot”tidak hanya ditunjukkan oleh penyandang keterbelakangan mental, pihak

keluarga penyandang keterbelakangan mental maupun dari lingkungan

masyarakat sekitar, namun juga ditunjukkan oleh tokoh masyarakat yang ada di

Desa Sidoharjo tersebut.

Salah satun informan WAR mengganggap dengan sebutan “Kampung

Idiot” yang disemangatkan kepada desanya tersebut WAR tidak merasa malu

ataupun menunjukkan ketidaksenangan. Mengingat dengan keadaan Desa

Sidoharjo yang seperti itu keadaannya, WAR tidak akan menutupi atau

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

menyembunyikan keadaan yang sebenarnya tersebut, bahwa memang ada

sebagian dari jumlah masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental.

“Ya kalau saya sendiri yo nggak istilahnya malu atau apa enggak,

terah memang keadaannya yo seperti itu apa boleh buat gitu kan”.

(WAR, 2015)

Artinya:

“Ya kalau saya sendiri ya tidak istilahnya malu atau apa tidak,

memang keadaannya ya seperti itu apa boleh buat gitu kan”.

(WAR, 2015)

Berdasarkan pernyataan WAR tersebut bahwa respon yang ditunjukkan

WAR mengenai stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak ada rasa malu. WAR

merasa stigma tersebut telah menunjukkan keadaan dan kondisi sebenarnya yang

dialami masyarakatnya. Menurut WAR, tidak ada masalah jika orang luar

memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”.

Respon yang diberikan WAR sebagai salah satu tokoh masyarakat yang

ada di desa tersebut, berbeda dengan respon yang ditunjukkan oleh Informan

DEV. Respon yang diberikan DEV kepada orang yang memberikan sebutan Desa

Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” maupun kepada orang yang menanyakan

apakah satu kampung tersebut masyarakatnya „idiot‟ semua, respon yang

diberikan dan ditunjukkan DEV adalah DEV berusaha menjelaskan keadaan

kampungnya yang sebenarnya. Bahwa, tidak semua masyarakat yang tinggal di

Desa Sidoharjo tersebut masyarakatnya mengalami keterbelakangan mental atau

sebutan mereka „idiot‟.

…”memberikan pemahaman kepada mereka bawasannya anggapan

mereka selama ini, itu kurang benar, terus kondisi sosial yang

sering didengar itu juga kurang benar, maka dari itu warga lain

ketemu dengan orang luar mereka pasti ditanya seperti itu dan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

seharusnya mereka bisa menjawab menjelaskan sesuai dengan

kenyataan yang ada di Desa Sidoharjo.”

(DEV, 2015)

Selain itu juga DEV tidak menutup-nutupi maupun sengaja

menghilangkan keadaan atau kondisi sebagian warga masyarakatnya yang

mengalami keterbelakangan tersebut.Bahwa jumlah populasi warga masyarakat

Desa Sidoharjo tersebut sangat banyak, namun yang mengalami keterbelakangan

mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk Desa Sidoharjo

tersebut.

“Desa Sidoharjo ini jumlahnya sangat banyak dari jumlah itu ada

jumlah itu ada warga kami yang mengalami keterbelakangan

mental, namun jumlah mereka sangat kecil kecil ini yang tidak kami

tutup-tutupi, artinya tidak berusaha untuk menghilangkan warga

kami yang mengalami keterbelakangan itu”.

(DEV, 2015)

Seperti halnya DEV informan INU sebagai mantan kepada desa pertama di

Desa Sidoharjo tersebut juga menanggapi secara positif mengenai stigma atau

sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”, banyak orang luar sana yang

menjuluki desanya dengan sebutan “Kampung Idiot”, karena jika ditutup-tutupi

masalah tersebut tidak akan dapat terselesaikan.

“Yo ra masalah, nek coro kula yo ra masalah, nyapo kok ditutap-

tutupi. Justru barang-barang sing ditutupi ngono kui ora iso anu ora

iso nylesekne masalah. Nek ditutupi niku barang koyo ngono kok

ditutup, terus akhire piye nek arep nylesaikan”.

(INU, 2015)

Artinya:

“Ya tidak masalah, kalau menurut saya ya tidak masalah, kenapa

kok ditutup-tutupi. Justru sesuatu apapun yang ditutupi itu tidak

bisa apa tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau ditutupi itu

sesuatu seperti itu kokditutupi, terus akhirnya bagaimana kalau

ingin menyelesaikannya”.

(INU, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Berdasarkan argument INU tersebut dapat diketahui bahwa INU tidak

akan menutupi keadaan atau kondisi di desanya tersebut. INU akan membenarkan

bahwa memang masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental.

Sehingga dari pernyataan INU tersebut tidak ada masalah jika masyarakat luar

menyebut desanya sebagai “Kampung Idiot” karena jika kondisi masyarakatnya

ini ditutupi malah tidak akan memberikan penyelesaian terkait kondisi warga

masyarakat Desa Sidoharjo.

DEV juga memberikan pernyataan bahwa, berdasarkan pengalamannya

sendiri DEV pernah melihat dan mendengar warganya yang menerima perkataan

atau sebutan yang kurang menyenangkan, DEV langsung memberikan teguran

secara langsung kepada orang yang memberikan sebutan yang kurang baik kepada

orang tersebut.

..”ngomong baik-baik dengan remajanya itu sendiri bawasannya

perbuatan itu sendiri tidak baik, memberikan sebutan kepada orang

lain, memberikan apa panggilan kepada orang lain yang mana itu

bukan namanya sendiri kan itu sendiri tidak baik, apalagi ini

sebutan yang buruk seperti kata-kata kasar itu tadi..”.

(DEV, 2015)

Berdasarkan beberapa pengalaman DEV tersebut dapat diketahui bahwa,

DEV tidak memberikan respon yang negatif atau kurang menyenangkan terhadap

beberapa warganya maupun orang di luar desanya mengenai stigma dan informasi

yang menurut DEV tersebut kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di

desanya. Memberikan teguran langsung terhadap salah satu warganya yang

memberikan panggilan yang bukan nama aslinya dan bahkan sebutan-sebutan

kasar tersebutadalah tindakan yang dinilai DEV sebagai bentuk respon yang

benar, agar masyarakat luar mendapat pemahaman maupun informasi yang benar

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

terkait kondisi yang sebenarnya Desa Sidoharjo tersebut. Mengingat warga

masyarakat di Desa Sidoharjo mayoritas pendidikannya rendah, sehingga perlu

memberikan pemahaman kepada warga masyarakatnya dalam memberikan sikap

maupun perlakuan terhadap sebagaian warga masyarakatnya yang penyandang

keterbelakangan mental. Sehingga akan menunbuhkan sikap saling menghargai

antar sesama masyarakat lainnya.

Dari temuan data yang diperoleh, tidak semua informan menunjukkan

respon secara langsung terhadap stigmatisasi dan perilaku diskriminatif yang

dialami oleh masyarakat “kampung idiot” tersebut. Maupun memberikan respon

yang keras terhadap stigmatisasi yang diberikan kepada masyarakat Desa

Sidoharjo kepada sebagian warga masyarakat penyandang keterbelakangan mental

tersebut. Ada beberapa masyarakat yang biasa saja jika Desa Sidoharjo mendapat

sebutan “Kampung Idiot”, namun ada juga sebagian warga masyarakatnya yang

berusaha menjelaskan keadaan atau kondisi yang sebenarnya di Desa Sidoharjo

tersebut.

III.5. Keuntungan Atas Stigma “Kampung Idiot”

Konsep stigma yang identik dengan suatu atribut yang mendiskreditkan

seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa dan gestur tubuh (baik

itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari.Sehingga stigma juga

identitik dengan suatu perbuatan maupun perkataan yang buruk terhadap individu

maupun kelompok serta akan membawa pengaruh buruk pada individu atau

kelompok yang menerimanya tersebut. Namun demikian, hal tersebut akan

berbeda dengan apa yang dialami oleh masyarakat “Kampung Idiot” Desa

Sidoharjo ini. Dengan stigma sebagai “Kampung Idiot” yang telah tersematkan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

terhadap desa tersebut disisi lain ternyata membawa dampak atau pengaruh baik

bahkan membawa keuntungan terhadap masyarakat yang tinggal di Desa

Sidoharjo tersebut.

III.5.1. Keuntungan dari Pihak Keluarga

Stigma yang diterima oleh anggota keluarganya maupun pihak

penyandang keterbelakangan itu sendiri bukan selamanya berpengaruh buruk

maupun negatif kepada mereka. Namun, stigma tersebut ternyata berpengaruh

baik atau positif bagi keluarga maupun bagi penyandang keterbelakangan itu

sendiri.

Hal tersebut dibuktikan melalui salah satu pernyataan informan SOI, yang

mempunyai dua anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.SOI

menyadari dengan stigma atau sebutan Desa Sidoharjo ini sebagai “Kampung

Idiot” disatu sisi memberikan dapak positif kepada desanya, karena akhirnya

setelah terkenal sebagai desa miskin yang masyarakatnya banyak yang

berkebutuhan khusus yang akhirnya banyak bantuan yang datang ke desanya.

Misalnya saja, dengan melihat kondisi keluaraga SOI pemerintah tidak hanya

tinggal diam, SOI mengaku anaknya masih mendapat bantuan rutin dari

pemerintah sebesar Rp.300.000,00 setiap bulannya.

“Kan iki wes terkenal mbak kampong miskin mangan karat ngono,

tapi yo akhirre akeh sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan

ngoten niku, koyo niku(menunjuk anaknya yang sedang tidur) per

bulan nggeh tasek bayaran 300 rutin per bulan”.

(SOI, 2015)

Artinya:

“Kan ini sudah terkenal mbak Kampung Idiot miskin makan

singkong begitu, tapi ya akhirnya banyak sumbangan-sumbangan,

bantuan-bantuan seperti itu, seperti itu (menunjuk anaknya yang

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

sedang tidur)per bulan masih dapat bayaran 300 (tiga ratus) rutin

setiap bulan”.

(SOI, 2015)

Menurut argumen SOI tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan stigma

dan sebutan desa mereka sebagai “Kampung Idiot”, yang banyak orang diluar

sana memberikan pandangan dan penafsiran bahwa masyarakatnya semua

mengalami keterbelakangan mental. Padahal yang termasuk penyandang

keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari sekian populasi

penduduk yang ada di Desa Sidoharjo. Pada akhirnya stigma tersebut tidak hanya

memberikan dampak buruk pada keluarganya namun juga memberikan dampak

positif tersendiri, berupa bantuan tunjangan hidup untuk penyandangnya sendiri.

Selain informan SOI, salah satu tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama

yaitu informan DEV juga memberikan pernyataan bahwa, para keluarga

penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapatkan

bantuan berupa ternak kambing maupun ayam dari pemerintah daerah, sebagai

bentuk program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga penyandang

keterbelakangan mental.

...”kita berikan bantuan dari pemerintah kita salurkan yakni berupa

ternak kambing, ada yang ternak ayam, dan yang lainnya ini sudah

berjalan ada yang bagus ada yang kurang bagus ada yang sama

sekali tidak ada perubahanya, ya tadi kendalanya banyak sekali

karna harus senantiasa dipantau...”

(DEV, 2015)

Menurut argumen kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa,

keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo

tersebut mendapat bantuan tunjangan hidup berupa uang sebesar Rp.300.000,00

yang rutin diberikan setiap bulannya kepada penyandang dan selain itu juga

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

mendapatkan bantuan program pemberdayaan ekonomi berupa hewan ternak

seperti kambing dan ayam. Sehingga stigma atau label tidak hanya memberikan

dampak negatif maupun pengaruh buruk kepada individu atau kelompok yang

menerimanya, namun juga memberikan banyak pengaruh positif bahkan menjadi

suatu keuntungan tersendiri bagi penerimanya. Seperti halnya yang dialami oleh

Desa Sidoharjo yang mendapat stigma sebagai “Kampung Idiot” memberikan

pengaruh besar dan berdampak positif bagi keluarga penyandang itu sendiri.

III.5.2. Keuntungan dari Lingkungan Sekitar

Keuntungan atas stigma “Kampung Idiot” tidak hanya dirasakan oleh

pihak keluarga saja namun juga dari lingkungann sekitarnyanya, dalam kata lain

keuntungan atau dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak

keluarga penyandang kerbelakangan saja, namun juga mereka-mereka yang tidak

mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mental.

Informan ARI salah satunya yang merasakan keuntungan dari label desa

sebagai “Kampung Idiot” ini. Menurut ARI semua warga masyarakat Desa

Sidoharjo ini setiap tahun rutin samapai saat ini mendapatkan bantuan berupa

garam yodium dari pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat selain itu

juga pernah mendapatkan beberapa paket makanan seperti: Susu, roti dan biskuit

yang diberikan rutin setiap bulan kepada seluruh masyarakatnya, namun kalau

untuk bantuan ini berhenti samapai tahun lalu saja. Bantuan garam yodium

tersebut tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang mempunyai anggota

keluarga penyandang keterbelakangan mental, namun juga kepada keluarga yang

tidak mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

“Garam niku ta? Nggeh niku rutin niku satu tahun sekali niku mbak,

nek dulu itu satu bulan sekali itu kayak susu, roti, biscuit kayak gitu

lo. Tapi sekarang nggak ada”.

(ARI, 2015)

Artinya:

“Garam itu ya? Ya itu rutin itu satu tahun sekali itu mbak, kalau

dulu itu satu bulan sekali itu seperti susu, roti, biskuit seperti itu.

Tapi sekarang tidak ada”.

(ARI, 2015)

Bukan hanya dari pernyataan informan ARI, salah satu informan DEV

yang menjadi salah anggota relawan BASNAS Jawa Timur mengungkapkan

bahwa pihaknya telah banyak menyalurkan bantuan dari BASNAS Jawa timur

kepada masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Bantuan tersebut tidak

hanya dirasakan dan diberikan kepada keluarga penyandang saja, namun juga

seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo dapat merasannya. Menurut pernyataan

DEV bantuan tersebut berupa perbaikan rumah warga yang rusak, pembuatan

beberapa sumur sebagai penampuan air bersih sehingga kebutuhan air bersih

warga masyarakatnya tercukupi.

...”progam perbaikan rumah tinggal atau yang disingkat property

dari BASNAS dengan struktur dan bentuk yang sama itu bisa kita

lihat sebanyak 62 rumah, diseluruh Desa Sidoharjo ini, serta

pembuatan sumur yang mana sumur itu nanti dipergunakan untuk

mencukupi kebutuhan air dimasyarakat, artinya kebutuhan sehari-

hari untuk mandi, masak dan mencuci...”

(DEV, 2015)

Selain perbaikan rumah atau tempat tinggal dan pembuatan sumur atau

penampungan air bersih, BASNAS Jatim melalui relawannya yaitu informan DEV

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

sendiri memberikan bantuan berupa program pengembangan pendidikan, baik

pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang ada di Desa Sidoharjo

tersebut. Program pengembangan pendidikan dari BASNAS ini, DEV sendiri

yang mengatur dan mengurus segalanya keperluannya, mengingat DEV sebagai

salah satu relawannya dan yang kebetulan tinggal di Desa Sidoharjo.

“Dan yang ketiganya adalah untuk memajukan pendidikan,

pendidikan masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal,

yakni seperti pengadaan majelis taklim, taman pendidikan al-quran,

madrasah diniyah lha ini yang terbaru adalah madrasah iftidaiyah

untuk melengkapi lembaga pendidikan tingkat dasar di Desa

Sidoharjo ini”.

(DEV, 2015)

Menurut argumen DEV tersebut dapat diketahui bahwa, beberapa bantuan

yang diberikan BASNAS berupa perbaikan rumah, pembuatan sumur, dan

program pengembangan pendidikan bagi masyarakat Desa Sidoharjo tersebut

memberikan manfaat yang besar bagi warga masyarakatnya Desa

Sidoharjo.Dengan stigma bahwa Desa Sidoharjo sebagai desa yang keterbelakang,

pinggiran, desa miskin, desa yang masyarakatnya banyak yang menderita cacat

fisik maupun cacat mental hingga sampai pada munculnya label “Kampung Idiot”,

banyak pihak-pihak yang peduli tentang situasi dan keadaan desa tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma “Kampung Idiot” tidak selamanya

membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, namun justru sebaliknya malah

membawa dampak posistif atau pengaruh baik bagi warga masyarakat Desa

Sidoharjo.

III.5.3. Keuntungan dari Perangkat Desa

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Stigma “Kampung Idiot”yang melekat di Desa Sidoharjo tidak hanya

membawa keuntungan bagi pihak keluarga penyandang dan lingkungan sekitar,

namun juga membawa keuntungan tersendiri dari perangkat desa sendiri.

Menurut salah satu mantan kepala desa pertama Desa Sidoharjo yaitu

informan INU menyatakan bahwa, desa sendiri yang membuat stigma “Kampung

Idiot” itu sendiri. Menurut informan INU, tujuan pemerintah desa membuat

sebutan “Kampung Idiot” ini adalah agar kondisi yang dialami oleh Desa

Sidoharjo ini tersebar luaskan, untuk mendapatkan kepedulian dari pemerintah.

..”kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne

kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab

iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru

ditutup-tutupi. Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-

wong sing peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek

kepedulian”.

(INU, 2015)

Artinya:

..”kan ya namanya desa mempunyai keinginan, memang yang

memberikan nama Kampung Idiot desa ini sediri pemerintah desa

sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas, disebar luaskan

malahan, tidak mlah justru ditutup-tutupi. Kalau sudah tersebar

luaskan kan akhirnya ada orang-orang yang peduli, terutama

pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian”.

(INU, 2015)

Sehingga, stigma “Kampung Idiot” sengaja dimunculkan oleh desa sendiri

melalui aparatur desa sebagai pihak yang menyelenggarakan segala urusan untuk

membina seluruh anggota masyarakat. Selain itu juga pemerintah desa sebagai

lembaga yang mengurusin segala keuangan dan administrasi yang diperlukan

untuk pembangunan wilayah desa secara fisik maupun non fisik. Menurut

informan INU dengan label Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” tersebut

sangat membawa dampak atau pengaruh positif bagi pemerintah sendiri.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Keuntungannya adalah pemerintah desa sebagai lembaga yang mengurusi segala

keperluan desa menjadi semakin mudah untuk mencari bantuan dari pemerintah

daerah maupun dari dinas sosial maupun dinas kesehatan.Mengingat desa tidak

ada anggaran khusus untuk menangani penyandang yang ada di desa tersebut.

“Kene anggarane sing jelas yo ora eneng anggaran sing pasti kango

wong sing ngono kui, sebab e deso isone mong njalok. Nah iku sak

durungo njalok iki wes enek suoro-suoro sing ngono kui kan enteng

njaluk e..”

(INU, 2015)

Artinya:

“Disini angarannya yang jelas ya tidak ada anggaran yang pasti

untuk orang yang seperti itu, karena desa bisanya hanya minta. Nah

itu sebelum minta ini ada suara-suara (isu Kampung Idiot) yang

seperti itu kan ringan mintanya...”.

(INU, 2015)

Menurut argumen INU tersebut dapat diketahui bahwa, stigma

memberikan keuntungan besar bagi pemerintah desa terkait birokrasinya dengan

pemerintah daerah maupun dinas sosial semakin dipermudah. Sehingga akhirnya

menurut INU, banyak bantuan-bantuan yang datang khusus untuk menangani

penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Seperti

adanya pukesmas yang khusus menangani para penyandang keterbelakangan

mental serta bantuan-bantuan lainnya dari dinas sosialPonorogo.

...”akhir e oleh pukesmas sing khusus ngurusi wong-wong sing

stress, pomo pemerintah kene ora iso nangani yo dinas sosial njalok

rono kan yo enteng mawon ngoten lo asline ngoten niku”.

(INU,2015)

Artinya:

...”akhirnya dapat pukesmas khusus yang khusus menangani orang-

orang yang stress, semisal pemerintah sini tidak bisa menangani ya

dinas sosial minta kesana kan ya ringan saja seperti itu lo

sebenarnya seperti itu”.

(INU, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Menurut argumen informan INU tersebut, dapat disimpulkan bahwa,

keuntungan yang diperoleh pemerintah desa terkait stigma “Kampung Idiot”

tersebut adalah desa mendapatkan bantuan pukesmas yang khusus untuk

menangani penyandang keterbelakangan mental serta bantuan dari dinas sosial

Ponorogo. Sehingga keuntungan dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut

tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang keterbelakangan mental

dan masyarakat lingkungan sekitar saja, namun juga keuntungan tersebut dapat

dirasakan oleh pemerintah desa sendiri.

III.6. Kerugian Atas Stigma “Kampung Idiot”

Stigma yang dimiliki Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” pastinya

tidak hanya membawa keuntungan saja yang dirasakan, namun juga membawa

beberapa kerugian secara sosial terhadap pihak keluarga penyandang, lingkungan

sekitar namun juga perangkat desa itu sendiri. Berikut beberapa kerugian secara

sosial yang dirasakan atas stigma “Kampung Idiot” tersebut.

III.6.1.KerugianPihak Keluarga Penyandang Keterbelakangan mental

Pihak keluarga penyandangadalah salah satu orang yang paling dekat

dengan kehidupan penyandang keterbelakangan mentalitu sendiri. Pihak

keluargalah yang mengurusi, menjaga dan mengawasi kehidupan sehari-hari dari

penyandang tersebut. Sehingga kerugian dengan adanya stigma yang diberikan

kepada keluarganya yangketerbelakangan mental oleh masyarakat sekitar maupun

dari masyarakat luar mengenai stigma atau label “Kampung Idiot” tersebut

membawa dampak tersendiri bagi keluarga penyandang. Menurut salah satu

informan TIN sebagai pihak keluarga dari penyandang yang mempunyai dua

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

orang anggota penyandang keterbelakangan mental mengaku TIN merasa malu

dengan adanya sebutan atau label desanya sebagai “Kampung Idiot”.

“Pripun nggeh. Sak jane niku nggeh isin ngoten mbak,dijuluki

kampong idiot ngoten mbak”.

(TIN, 2015)

Artinya:

“Seperti apa ya. Sebenarnya itu ya malu seperti itu mbak, disebut

sebagai Kampung Idiot seperti ini mbak”.

(TIN, 2015)

Menurut argumen TIN tersebut, pihaknya merasa malu jika orang-orang

diluar sana memberikan julukan Desa Sidoharjo sebagai tempat tinggalnya sejak

ia dilahirkan ini sebagai “Kampung Idiot”. „Isin‟ dalam pemikiran TIN

menunjukkan rasa kurang nyaman terhadap julukan yang diberikan kepada

desanya, mengingat kedua anggota keluarganya adalah penyandang

keterbelakangan mental tersebut. Apalagi jika TIN pada saat tertentu harus

bertemu dan berinteraksi dengan orang diluar desa tersebut. TIN juga harus

menjelaskan pada saat itu jika menerima pertanyaan mengenai kondisi

keluarganya dan keadaan desanya tersebut.

Sedangkan informan TUN mempunyai pernyataan yang berbeda terkait

stigma “Kampung Idiot” yang melekat di Desa Sidoharjo tersebut.Stigma tersebut

menurut TUN kurang tepat mengingat warganya yang penyandang tidak sebanyak

dengan jumlah penduduk yang ada di Desa Sidoharjo ini. TUN berharap desanya

ini disebut Desa Sidoharjo, yang memang nama desanya, buka disebut sebagai

“Kampung Idiot”.

“Emmmm,, pripun nggeh mbak. Sing idiot ke sepiro lo, kan mlebu

Sidowayah kono sing paling okeh. Pengenne yo disebut Desa

Sidoharjo ngoten mawon”.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

(TUN, 2015)

Artinya:

“Emmmm,, seperti apa ya mbak. Yang „idiot‟ itu seberapa lo, kan

masuk Sidowayah sana yang paling banyak. Pengenne ya disebut

Desa Sidoharjo gitu saja”.

(TUN, 2015)

Berdasarkan pernyataan TUN tersebut „sing idiot sepiro lo‟(yang „idiot‟

berapa lo) menunjukkan ketidak setujuannya dengan sebutan desanya sebagai

“Kampung Idiot”. Karena sebenarnya masyarakat paling banyak penyandangnya

itu terpusat ada satu Dukuh yaitu Dukuh Sidowayah, walaupun di dukuh lainnya

ada, namun tidak sebanyak yang di dukuh Sidowayah tersebut.Pernyataan

„Pengenne yo disebut Desa Sidoharjo ngoten mawon‟ (pengennya ya disebut

Desa Sidoharjo gitu saja) menunjukkan ketidaknyamanan TUN dengan sebutan

“Kampung Idiot” tersebut.

III.6.2. Kerugian dari Lingkungan Sekitar

Lingkungan sekitar atau warga masyarakat yang tinggal di desa tersebut

yang pihaknya tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan

mentalpun merasakan hal yang sama seperti pihak keluaraga penyandang. Seperti

yang dirasakan salah satu informan IIM sebagai warga masyarakat Desa

Sidoharjo, IIM mengaku bahwa pihaknya merasa kurang nyaman dan merasa

malu, jika setiap kali IIM bertemu orang lain maupun kerabatnya yang ada di luar

Kecamatan Jambon, IIM mengaku sering menerima pertanyaan-pertanyaan

mengenai Dusun Sidowayah, bahwa orang mengetahuinya selain sebagai dusun

yang banyak penduduknyayang „idiot‟, juga banyak penduduknya yang tidak bisa

bicara(bisu).

...”prayo isin to mbak, nek pas ketemu wong njobo ngono, ditakok-

takokk i, tiyang Sidowayah niku kok kathah sing idiot ta bu, niku

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

nopo sakeng..,.nopo niku nek mriku niku ngaranine danyangngan.

Wong Sidowayah niku opo danyangnge okeh sing bisu? Ngoten”.

(IIM, 2015)

Artinya:

...”kan ya malu mbak, kalau pas ketemu orang luar gitu, ditanya-

tanyai, orang Sidowayah itu kok banyak yang „idiot‟ ya bu, itu apa

karena.., apa itu kalau disana itu istilahnya leluhur yang sudah

meninggal. Orang Sidowayah itu apa leluhurnya yang sudah

meninggal dulu banyak yang „bisu‟? seperti itu”.

(IIM, 2015)

Menurut pernyataan IIM “Prayo isin to mbak,..” (kan ya malu mbak)

tersebut dapat disimpulkan bahwa, IIM merasa malu dan kurang nyaman dengan

pendapat-pendapat diluar Desa Sidoharjo tersebut yang menganggap Dusun

Sidowayah Desa Sidoharjo masyarakatnya banyak yang bisu dan idiot. Padahal

kategori idiot tersebut hanya diberikan kepada penyandang keterbelakangan

dalam kategori berat.Sedangkan, Jika dibandingkan dengan warga masyarakatnya

yang normal dengan warga masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan

mental masih banyak jumlah warganya yang normal.

Pernyataan yang hampir serupa di sampaikan oleh informan DAR.

Menurut DAR banyak anak-anak muda sekarang yang tidak mengakui tempat

tinggalna di Desa Sidoharjo, mereka hanya menyebutkan alamatnya Jambon tanpa

menyebut nama desanya.Menurut DAR, mereka merasa malu jika harus mengakui

bahwa tempat tinggal mereka di Desa Sidoharjo, atau yang dikenal dengan

sebutan “Kampung Idiot”.

..”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya

agak drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa

dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara

otomatis ya nggak tataklah”.

(DAR, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Artinya:

…”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya

sedikit drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa

dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara

otomatis ya tidak percaya dirilah”.

(DAR, 2015)

Berdasarkan pernyataan dari informan DAR bahwa “mentalnya agak drop

ya malu mungkin” dapat diketahui bahwa banyak anak muda disana yang tidak

percaya diri jika menyebutkan alamat asli mereka ada di Desa Sidoharjo. Mereka

merasa malu jika orang lain mengetahui mereka berasal dari desa yang dikenal

dengan “Kampung Idiot”. Kebanyakan orang dapat membanggakan daerah asal

mereka namun tidak berlaku untuk anak muda yang berasal dari Desa Sidoharjo,

mereka tidak bisa membanggakan daerah asalnya, yang justru harus mereka

sembunyikan karena tidak merasa percaya diri dengan desa mereka yang dikenal

dengan “Kampung Idiot”.

Pernyataan yang sama disampaikan oleh informan LAN, saat LAN bekerja

di Malaysia banyak orang yang menanyakan alamat asli informan. LAN

menjawab berasal dari Desa Sidoharjo Jambon.Dari jawaban LAN tersebut orang

langsung paham bahwa desa tersebut dikenal dengan “Kampung Idiot”.Saat itu

juga LAN merasa sedikit malu.Namun LAN harus menanggapinya dengan

menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa memang ada sebagian warganya

yang mengalami keterbelakangan mental, yang memang keadaan masyarakatnya

tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja.

“Jane nggeh rodhok isin. Tapi nggeh niku tapi waktu ngoten,ajeng

diilak i nopo saged lo mbak”.

(LAN, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Artinya:

“Sebenarnya ya sedikit malu. Tapi ya itu tapi waktu seperti itu, mau

dihilangkan itu apakah bisa mbak”.

(LAN, 2015)

Berdasarkan dari argument informan LAN “Jane yo rodhok isin”

(sebenarnya ya sedikit malu) tersebut dapat diketahui bahwa informan merasa

malu karena ternyata banyak orang diluar sana yang mengenal Desa Sidoharjo atau

Desa Krebet tersebut sebagai “Kampung Idiot”. Sehingga tidak ada respon lain

selain LAN menjelaskan keadaan yang dialami masyarakat yang ada di daerahnya,

yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa memang banyak masyarakat yang ada

di desanya yang banyak penyandang keterbelakangan mental, yang menurut LAN

hal tersebut tidak dapat dihilangkan begitu saja.

III.6.3. Kerugian dari Perangkat Desa

Kerugian dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak hanya

dirasakan oleh keluarga penyandang keterbelakangan mental dan masyarakat yang

tinggal di lingkungan tersebut saja, namun juga dirasakan oleh perangkat desa

sebagai pihak yang menangani dan mengatur segala macam urusan mulai dari

administrasi, sampai pada segala proses pelaksanaan yang terkait dengan desa dan

warga desa itu sendiri serta proses pembangunan yang ada di suatu desa tersebut.

Menurut salah satu informan MAD sebagai salah satu sekretaris desa atau

carik, MAD mengaku banyak mengalami kendala saat melakukan proses

pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) pada saat menjelang Pemilu. Kendala

tersebut terkait masalah identitas para penyandang, hal tersebut dikarenakan

banyak para orang tua penyandang yang tidak segera mengurus akta kerahiran

anaknya tersebut. Sehingga banyak para anggota keluarga penyandang yang tidak

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

mempunyai akta kelahiran, sehingga menurut MAD hal tersebut akan

memberikan banyak kendala saat pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) disaat

menjelang Pemilu.

..”kadang niku yo dilematis, dilematis se ngeten, sebagian dari

mereka tidak punya identidas sing pas, mboten ndang didamelne

surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan niku kita tidak punya

data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka harus masuk

DPT, yang sudah menjadi hak mereka”.

(MAD, 2015)

Artinya:

...”kadang itu ya dilematis, dilematisnya seperti ini, sebagian dari

mereka tidak mempunyai identitas yang pas atau benar, tidak segera

dibuatkan surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan itu kita

tidak punya data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka

harus masuk DPT, yang sudah menjadi hak mereka”.

(MAD, 2015)

Berdasarkan pernyataan informan MAD tersebut bahwa ada perasaan

„delematis‟ yang dirasakan MAD. „Delematis‟ menurut pendapat informan MAD

berarti bahwa ada sedikit kerugian yang dirasakan oleh para perangkat desa. Salah

satu kerugian yang dirasakannya adalah perangkat desa kesulitan mendata

keluarga penyandang, dikarenakan banyak penyandang yang tidak mempunyai

akta kelahiran. Sehingga mengakibatkan perangkat desa sulit mendata siapa-siapa

yang masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Kesulitan lain juga dirasakan oleh informan DAR, yang tidak jauh berbeda

dengan pernyataan dari informan MAD. Informan DAR mengaku bahwa

pihaknya kesulitan dalam mendata identitas para penandang keterbelakangan,

bahkan untuk masyarakat yang bukan penyandang keterbelakangan mentalpun

tidak ada kesadaran untuk mengurus KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda

Penduduk).Walaupun menurut DAR sendiri pihaknya sudah sering melakukan

sosialisasi-sosialisasi melalaui acara mantenan maupun kegiatan yasinan di

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

lingkungannya mengenai pentingnya pembutan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan

KK (Kartu Keluarga).

“Ohh kalau itu yang jelas iya mbak,kesulitan dalam pendataan

identitas mereka. Bahkan masyarakat yang tidak mengalami

gangguan seperti itu pun banyak yang tidak mempunyai kesadaran

untuk mengurus akta, KK bahkan untuk yang sekarangpun banyak

yang tidak punya KTP.”

(DAR, 2015)

Berdasarkan pernyataan dari informan DAR tersebut, pihaknya merasa

kesulitan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Menurutnya, dari

pihak keluarganya sendiri yang bukan penyandang keterbelakanganpun tidak ada

kesadaran untuk mengurus KK maupun KTP anggota keluarganya yang

penyandang keterbelakangan mental tersebut.Sehingga DAR sebagai perangkat

desa merasa kesulitan untuk melakukan rekapitulasi identitas masyarakatnya.

Pengalaman yang hampir sama dialami oleh informan LAN sebagai ketua

RT di dukuh Klitik tersebut. LAN mengaku merasa kebingungan saat melakukan

pendataan untuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di RTnya.LAN merasa

telah memaksa warganya untuk pembuatan KTP, namun masalahnya banyak

masyarakatnya yang tidak mengingat tanggal dan bulan lahirnya.

“Yo tak pekso ngono yo ra eleng kelahiran tahun pinten, bulan,

tanggal pinten, dino mawon mboten paham. Marahi niku bingung

kolo. Ajeng kolo awur ke yo piye”.

(LAN, 2015)

Artinya:

“Ya tak paksa pun tidak ingat kelahiran tahun berapa, bulan,

tanggal berapa, hari saja tidak paham. Sebabnya itu bingung saya.

Mau saya asal gitu ya bagaimana”.

(LAN, 2015)

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

Berdasarkan pernyataan dari informan LAN “Marahi niku bingung kolo”

(sebanya itu bingung saya), berdasarkan pernyataan LAN tersebut informan LAN

merasa kebingungan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Karena

banyak dari masyarakatnya yang tidak mengingat kapan mereka lahir. Sehingga

LAN sebagai ketua RT setempat mengaku merasa kesulitan untuk membuatkan

KTP (Kartu Tanda Penduduk) maupun KK (Kartu Keluarga) dari penduduk

setempat terlebih lagi mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental,

karena pihak keluarganya juga tidak mengingat kapan keluarganya tersebut

dilahirkan, hal tersebut dipicu karena telatnya pendaftaran kelahiran yang

dilakukan pihak keluarga tersebut.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III. 7. MATRIKS INFORMAN PENELITIAN

III.7.1. Matriks Stigma Pada Masyarakat “Kampung Idiot”

MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”

STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK

KAMPUNG IDIOT

I. INDENTITAS INFORMAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”

No. Pertanyaan Jawaban

1. Nama (Inisial) ARI IIM

2. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

3. Usia 26 tahun 50 tahun

4. Agama Islam Islam

5. Pekerjaan Pedagang Ibu rumah tangga

6. Pendidikan Terakhir SD SD

II. STIGMA

7. Apa yang diketahui tentang

Keterbelakangan

mental/Retardasi Mental

Keterbelakangan mental itu adalah orang-

orang yang „idiot‟. Penyebabnya dahulu

ada yang melakukan perkawinan sedarah.

Seperti yang dialami oleh tetangganya dulu

Orang yang secara fisik mempunyai kelainan

di tangan sama kakinya. Selain itu juga

kebanyakan dari mereka „bisu‟ (tidak dapat

berbicara). Sehingga mereka sering diminta-

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

menikah dengan orang yang masih kerabat

atau saudaranya sendiri.

mintakan bantuan.

8. Tanggapan mengenai sebutan

Desa Sidoharjo sebagai

“Kampung Idiot”

Sebutan “Kampung Idiot” dinilai kurang

pas. Keinginan tetap ingin desa tempat

tinggalnya tersebut disebut Desa Sidoharjo

saja.

Tidak senang dengan julukan seperti itu. Dan

juga ada rasa malu yang ia rasakan.

9. Bentuk stigma yang pernah

diberikan kepada penyandang

keterbelakangan mental yang

ada di lingkungan sekitarnya

Pihaknya tidak pernah menjuluki

tetangganya yang penyandang dengan

sebutan yang aneh-aneh, tapi pihaknya

pernah melihat beberapa ibu-ibu di

desanya mengusir salah satu penyandang

keterbelakangan mental, pada saat mau

bergabung dengan ibu-ibu tersebut.

Pihaknya tidak pernah memberikan perlakuan

verbal maupun non-verbal. Namun, terkadang

anak-anaknya memberikan sebutan „goblok‟

kepada salah satu penyandang yang sering

kerumahnya.

10. Bentuk stigma yang pernah

diberikan kepada Desa

Sidoharjo

Sering mendengar orang luar menyebut

tempat tinggalnya tersebut sebagai

“Kampung Idiot” (tempat tinggalnya

dikenal dengan sebutan “kampung Idiot”)

Banyak dari masyarakat luar yang mengetahui

informan dari Desa Sidoharjo atau Krebet

pada waktu itu. Masyarakat banyak yang

menanyakan apakah benar bahwa di desa

tersebut masyarakatnya banyak yang idiot,

seperti itu. Selain itu juga banyak yang

menyebut masyarakatnya banyak yang „bisu‟.

III. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI

11. Diskriminasi dalam aspek

sosial

Masyarakat banyak yang tidak menerima

kehadiran penyandang keterbelakangan

mental. Sehingga dapat diartikan terjadi

penolakan sosial oleh masyarakat sekitar

kepada penyandang yang ada di desanya

Pihaknya mengaku tidak pernah mengundang

penyandang keterbelakangan dirumahnya saat

ada selamatan maupun hajatan dirumahnya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

tersebut.

12. Diskriminasi dalam aspek

ekonomi

Mengaku tidak pernah mempekerjakan

penyandang, walaupun salah satu

tetangganya ada yang bisa bekerja.

Pihaknya mengaku tidak pernah menyuruh

secara langsung kepada penyandang untuk

bekerja dirumahnya saat informan

membangun rumah. Namun, salah satu

penyandang „Bagong‟ sering datang dan ikut

membantu pekerja yang ada disitu, tanpa ia

menyuruhnya (ikut-ikutan).

13. Diskriminasi dalam aspek

politik

Walaupun masuk DPT, tapi tidak memilih

karena tidak ada pendampingan khusus

dari panitia, sehingga kesulitan untuk

menyalurkan hak pilihnya.

Sepengetahuan informan para penyandang

tersebut tidak dimasukkan dalam DPT(Daftar

Pemilih Tetap).

IV. RESPON YANG DIBERIKAN

14. Respon yang diberikan kepada

seseorang atas perilaku yang

diberikan kepada penyandang

keterbelakangan mental

Biasa saja, karena masyarakat mayoritas

memang sudah seperti itu.

Pihaknya pernah menegur salah satu orang

yang memberikan sebutan yang kurang enak

didengar dengan “Orang tersebut tidak bisa

berbicara adalah sudah menjadi kehendak

Yang Maha Kuasa, apakah kamu mau menjadi

orang seperti dia”. Seprti itu.

15. Respon yang diberikan kepada

masyarakat luar atas stigma

Desa Sidoharjo sebagai

“Kampung Idiot”

Kurang senang. Kenapa harus disebut

k”Kampung Idiot” padahal desa punya

nama sendiri yaitu Desa Sidoharjo.

Menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa

memang banyak masyarakatnya yang

mengalami keterbelakangan mental.

16. Perilaku yang diberikan

kepada penyandang

keterbelakangan mental

Diperlakukan sama seperti orang normal

lainnya. Tidak ada pembedaan yang

khusus.

Diperlakukan beda dengan orang normal

lainnya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

17. Tanggapan terhadap warga

masyarakatnya yang

mengalami keterbelakangan

mental

Mayoritas keluarga penyandang tersebut

adalah keluarga miskin, yaitu keluarga

yang kekurangan untuk hanya mencukupi

kebutuhan sehari-harinya saja.

Penyandang keterbelakangan adalah orang

yang mempunyai keterbatasan untuk

melakukan aktivitas sehari-hari berbeda

dengan orang normal lainnya.

2. INDENTITAS INFORMAN PIHAK KELUARGA PENYANDANG KETERBELAKANGAN MENTAL

No. Pertanyaan Jawaban

1. Nama TIN SOI

2. Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki

3. Usia 23 tahun 50 tahun

4. Agama Islam Islam

5. Pekerjaan Ibu rumah tangga Buruh tani

6. Pendidikan terakhir SD SD tidak tamat

7. Jumlah keluarga penyandang

keterbelakangan mental

2 orang 2 orang

II. STIGMA

8. Apa yang diketahui tentang

Keterbelakangan

mental/Retardasi Mental

Keterbelakangan mental adalah akibat

kekurangan gizi yang dialami oleh

penderitanya, seperti salah satu anggota

keluarganya tersebut.

Keadaan „idiot‟ seperti yang dialami oleh

anaknya tersebut.

9. Tanggapan mengenai sebutan

Desa Sidoharjo sebagai

“Kampung Idiot”

Kurang enak didengarkan. Kenapa harus

disebut begitu, sangat kurang nyaman

dengan sebutan “Kampung Idiot”.

Biasa saja

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

10. Bagaimana orang

lain/masyarakat memandang

keluarga informan

Orang lain memandang keluarganya

tersebut sangat kasian karena melihat

kondisinya yang seperti itu.

Biasa saja tidak ada perlakuan atau sikap yang

tidak mengenakkan dari masyarakat atau

tetangganya.

11. Bentuk stigma yang pernah

diterima anggota keluarga

yang penyandang

Pernah mendapat julukan peko‟ dan budeg,

dari tetangganya.

Tidak ada

II. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI

12. Diskriminasi dalam aspek

sosial

Tidak pernah diikutkan dalam kegiatan

pengajian dan juga pada waktu salah satu

anggota keluarga tersebut sakit tidak

pernah ada tetangga yang menawari obat

apalagi sampek dibawakan ke rumah sakit.

-

13. Diskriminasi dalam aspek

Ekonomi

Dulu sebelum ada sumur di lingkungan

tempat tinggalnya, anggota keluarganya

tersebut pernah disuruh kerja ambil air

oleh tetangganya, sekarang tidak pernah

ada yang mempekerjakannya lagi, waktu

tetangganya panen jagung juga tidak ada

yang mempekerjakannya, padahal warga

sekitar tahu bahwa anggota keluarganya

tersebut masih bisa bekerja.

-

14. Diskriminasi dalam aspek

Politik

Dulu sempat dapat undangan sebagai

pimilih, tetapi sekarang tidak pernah.

Anaknya tidak masuk DPT tapi kalau

keponakannya dulu masuk, karena pernah

menerima undangan untuk memilih.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III. RESPON YANG DIBERIKAN

15. Respon atas stigma yang

diterima

Anggota keluarganya yang penyandang

tersebut pernah marah dan

“nggumeng”(sikap tidak suka), pada saat

ada yang membicarakannya atau mendapat

panggilan-panggilan yang kurang enak

didengar.

Namun, informan sendiri tidak pernah

memberikan respon apapun, mengingat

memang kondisinya seperti itu adanya.

Sehingga sekarang sudah terbiasa.

-

16. Respon atas bentuk-bentuk

diskriminatif yang diterima

Tidak ada. Karena memang keadaanya

seperti itu.

-

17. Respon atas sebutan Desa

Sidoharjo sebagai “Kampung

Idiot

Tidak senang dan harapannya tidak

mendapat sebutan “Kampung Idiot”.

Biasa saja, karena dengan sebutan “Kampung

Idiot” anaknya sering menerima bantuan.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

3. INDENTITAS INFORMAN TOKOH MASYARAKAT

No. Pertanyaan Jawaban

1. Nama MAD WAR DEV INU

2. Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki

3. Usia 30 tahun 46 tahun 34 tahun 55 tahun

4. Agama Islam Islam Islam Islam

5. Pekerjaan Petani Pengurus Yayasan

Sekolah

Petani

6. Jabatan di desa Sekretaris Desa Modin Kaur Kesra Mantan Lurah(lurah

pertama)

7. Pendidikan terakhir S1 SD S1 SMP

1. STIGMA

8. Apa yang diketahui

tentang

Keterbelakangan

mental/Retardasi

Mental

Gangguan mental,

yaitu seseorang

yang sejak lahir

punya kelainan

kebatinan, mulai

lahir mempunyai

tanda-tanda yang

berbeda dari

kabanyakan orang

normal lainnya,

sehingga disebut

keterbelakangan

mental.

Keterbelakangan

mental sebenarnya

adalah penyakit

turun-temurun

akibat kekurangan

gizi dan zat

yodium.

Pihaknya sangat

menolak anggapan

bahwa yang terjadi

masyarakat

didesanya akibat

perkawinan

sedarah.

Suatu kondisi

dimana seseorang

mengalami

keterbatasan yang

mana itu bisa kita

lihat dengan

keadaan dia

senantiasa

membutuhkan

bantuan orang lain

dalam kehidupannya

sehari-hari.

Orang-orang yang tidak

bisa berfikir secara

normal.

9. Tanggapan mengenai

sebutan Desa

Sidoharjo sebagai

“Kampung Idiot”

Media yang

menggulirkan isu

sebutan “Kampung

Idiot” atas

kesepakatan desa

sendiri.

Tidak masalah jika

disebut “Kampung

Idiot” karena

memang keadaan

yang ada di

desanya seperti itu

adanya. Serta tidak

ada rasa malu

dengan sebutan

Kurang terlalu tepat

karena dilihat

jumlah penduduk

penyandang itu

prosentasenya kecil

dibandingkan

dengan jumlah

populasi jiwa yang

ada di Desa

Tidak masalah dengan

sebutan “Kampung Idiot”,

karena memang

kondisinya seperti itu.

Pihaknya juga mengaku

sebutan tersebut sengaja

diberikan desa, karena

dengan sebutan tersebut

akan ada kepedulian dari

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

“Kampung Idiot”

tersebut.

Sidoharjo dan real

dilapangan jumlah

penyandang itu

sendiri tidak seperti

jumlah yang

dipublikasikan di

media maka dari itu

sebutan “Kampong

Idiot” kurang tepat.

masyarakat atau

pemerintah.

10. Bagaimana orang di

luar Desa sidoharjo,

memandang Desa

Sidoharjo

Banyak yang

menafsirkan bahwa

satu kampung

warga desanya

„idiot‟ semua.

Bagi yang masih

satu lingkup

Kecamatan Jambon

tidak ada masalah,

mereka

memandangnya

biasa saja, karena

memang

mengetahui

kondisinya seperti

itu. Sedangkan

masyarakat di luar

kecamatan Jambon,

pastinya mereka

kebanyakan

menanyakan

kebenaran akan

Desa Sidoharjo

yang

masyarakatnya

banyak yang

Masyarakat luar

mengira

bawasannya jumlah

penyandang

keterbelakangan

mental yang ada di

Desa Sidoharjo ini

sangat banyak.

Sehingga anggapan-

anggapan

masyarakat luar

tentang kondisi

Desa Sidoharjo

banyak yang kurang

benar.

Banyak yang menganggap

masyarakat Desa

Sidoharjo „bodoh‟ semua

dan daerahnya pinggiran.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

„idiot‟.

11. Bentuk stigma yang

pernah diterima

anggota keluarga yang

penyandang

Pengalamannya

sendiri pernah

waktu masih

sekolah dijuluki

„mendho‟ dan

sebutan „Robet‟

(orang krebet).

Selain itu juga

pernah melihat

tetangganya yang

keterbelakangan

tersebut diusir dari

sebuah acara

hajatan perkawinan.

Pihaknya sendiri

mengaku tidak

pernah memberikan

stigma apapun,

namun masyarakat

biasa memanggil

Nardi(salah satu

nama penyandang)

dengan sebutan

„Bagong‟. Dan ada

tiga penyandang

yang diberikan

julukan yang sama

tersebut.

Pihaknya mengaku

tidak pernah

memberikan stigma

khusus kepada

penyandang, namun

pihaknya pernah

menjumpai salah

satu penyandang

mendapat panggilan

seperti sebutan

goblok, pekok,

mendho kepada

penyandang

keterbelakangan

mental tersebut.

-

2. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI

12. Diskriminasi dalam

aspek sosial

Penolakan dalam

suatu acara hajatan

tersebut. Kalau

untuk masalah

kepedulian antar

sesama

- Penyandang

tidak

diikutsertakan

dalam kegiatan

lomba-lomba

seperti

agustusan.

- Ada beberapa

penyandang

yang dibedakan

sama

lingkungan

karena

Belum ada

pendidikan inklusi

di desanya,

mengingat belum

adanya pengajar

yang khusus di

bidangnya.

Pihaknya juga

pernah mendapat

cerita dari

tetangganya, yang

pernah ditilang

polisi karena

Kalau untuk ada

pengajian atau acara

hajatan perkawinan tidak

diberikan duduk depan,

namun tetap masih

diperlakukan sama

dengan orang normal

lainnya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

perilakunya

yang kadang

membahayakan

orang lain,

karena ada

beberapa

penyandang

yang suka

„ngamuk‟ (main

kasar kepada

orang lain).

menerobos lampu

merah, setelah

tetangganya

menyebutkan

rumahnya

Sidoharjo, polisi

tidak jadi

menilangnya.

13. Diskriminasi dalam

aspek ekonomi

Pihaknya mengaku

tidak pernah

memberikan suatu

pekerjaan kepada

salah satu

penyandang,

walaupun pihaknya

sendiri mengetahui

bahwa ada tiga

penyandang yang

bisa bekerja dengan

baik.

Pihaknya tidak

pernah memberikan

pekerjaan kepada

penyandang,

walaupun masih

ada yang dapat

bekerja dengan

baik.

- -

14. Diskriminasi dalam

aspek politik

Ada beberapa

penyandang yang

dimasukkan dalam

DPT, tapi bagi yang

masuk DPT tidak

ada pendampingan

- - -

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

khusus dari panitia.

Yang penting sudah

penyandang yang

yang terdafatar

dalam DPT.

3. RESPON YANG DIBERIKAN

15. Respon ketika

warganya yang

penyandang

keterbelakangan

mental mendapatkan

stigma dari masyarakat

lain

Langsung

memberikan

teguran kepada

orang tersebut,

dengan

memahamkan

bahwa seorang

penyandang juga

manusia, yang

butuh berkumpul

dengan orang lain

juga.

-

16. Respon dengan stigma

Desa Sidoharjo

sebagai “Kampung

Idiot”

Menjelaskan

keadaan yang

sesungguhnya.

Namun juga tidak

menutupi bahwa

memang sebagian

masyarakatnya ada

yang penyandang

keterbelakangan

mental.

Biasa saja,

mengingat kondisi

di desanya memang

seperti itu. Serta

tidak ada rasa malu

dengan sebutan

“Kampung Idiot”

tersebut.

Bagi orang yang

belum tahu kondisi

yang sebenarnya,

berusaha

menjelaskan

keadaan yang

sebenarnya,

sehingga sebutan

“Kampung Idiot”

tersebut dinilai

Biasa saja, karena

memang kondisi

masyarakatnya seperti itu

adanya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

kurang tepat.

17. Perlakuan terhadap

warganya yang

penyandang

keterbelakangan

mental dengan yang

bukan penyandang

keterbelakangan

mental (normal)

Secara keseluruhan

secara sosial

diperlakukan sama,

namun dalam hal

tertentu seperti

bantuan sosial para

penyandang yang

akan lebih

diutamakan.

Ada perbedaan

perlakuan, bagi

penyandang

keterbelakangan

mental diberikan

beberapa keutamaan

seperti untk

menerima

pengobatan gratis

atau bantuan-

bantuan lainnya

lebih diutamakan

daripada masyarakat

normal lainnya.

Diperlakukan

secara berbeda,

mengingat

kebutuhan orang

normal dengan

yang mempunyai

keterbelakangan itu

berbeda. Sikap kita

kepada merekapun

pasti akan berbeda.

Diperlakukan sama

seperti masyarakat normal

lainnya.

18. Solusi mengenai

permasalahan yang

dialami oleh warganya

tersebut

Karena memang

penyebabnya itu

kekurangan gizi dan

zat yodium, maka

memberikan

bantuan garam

yodium itu perlu

serta sosialisasi

niku ibu hamil, ibu

menyusui dan balita

itu butuh asupan

gizi yang baik.

Solusi yang sudah

pemerintah berikan

adalah pemberian

bantuan garam

yodium mbak, itu

setiap tahun rutin,

dan membantu

sekali.

Selain itu juga

semakin

meningkatnya taraf

hidup

masyarakatnya dan

kesadaran akan gizi,

sedikit-demi sedikit

- Berupa

pemberian

JADUP atau jatah

hidup untuk

mereka dari

kementerian

- Focus kepada ini

bantuan aktifitas

keseharian

mereka yakni

dengan

memberikan

pendampingan

dan pelatihan itu

bagi para

Dengan memberikan

bantuan-bantuan kepada

mereka, untuk

meringankan beban hidup

mereka. Karena mayoritas

keluarga penyandang

termasuk keluarga yang

menengah kebawah.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

jumlah penderita

berkurang.

penyandang

dalam

kehidupannya

sehari-harinya.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.7.2. Matriks Informan Self Masyarakat “Kampung Idiot”

MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”

STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK

KAMPUNG IDIOT

I. IDENTITAS INFORMAN No. Pertanyaan Jawaban

1. Nama (Inisial) SOI DAR TUN LAN MAN

2. Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Laki-Laki

3. Usia 50 tahun 29 tahun 54 tahun 48 tahun 26 tahun

4. Agama Islam Islam Islam Islam Islam

5 Pekerjaan Buruh Tani Fotografer Ibu Rumah Tangga Petani/Ketua RT Sopir

6. Pendidikan Terakhir Tidak Tamat SD SMA Tidak Tamat SD SD SMA

II. “SELF”/KONSEP DIRI 7. Bagaiman memaknai

dirinya sebagai

keluarga, orang tua

dari anak

berkebutuhan khusus

dan masyarakat

Kejadian yang

menimpa anaknya

dianggap

merupakan

kesalahannya

sebagai orang tua

yang kurang cepat

mengambil

tindakan saat

anaknya

Kejadian yang

menimpa

masyarakat d

desanya sebagian

dimaknainya

sebagai bentuk

hukuman dari

Tuhan, karena

dulunya ada yang

durhaka kepada

Karena kejadian

yang menimpa

kedua keluarganya

tersebut sudah

sejak dia

dilahirkan, maka

hal ini sudah

menjadi takdir dari

Tuhan, yang harus

keluarga hadapi

Kejadian yang

menimpa

masyarakatnya

dimaknai sebagai

akibat kekurangan

gizi, karena

hampir sebagian

besar keluarga

penyandang

keterbelakangan

Mayoritas

penyandang

keterbelakangan

tersebut telah

mereka alami

sejak lahir, dengan

keadaan yang

memang seperti

itu. Hal tersebut

juga dipengaruhi

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

“Kampung Idiot” mengalami

kejang-kejang dan

demam tinggi.

Karena saat lahir

sampek usia 7

bulan anaknya

sehat dan normal

tanpa ada cacat

fisik maupun

mental.

orang tuanya.

Namun, secara

keseluruhan ini

memang akibat

masyarakatnya

yang kekurangan

gizi yang cukup.

untuk menerima ini

semua.

mental adalah

keluarga

menengah

kebawah atau

dalam kategori

dibawah garis

kemiskinan.

oleh faktor

kemiskinan dan

tempat tinggal

mereka di

pinggiran yang

jauh dari fasilitas-

fasilitas umum.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

III.7.3. Matriks Informan Identity Masyarakat di Luar “Kampung Idiot”

MATRIKS INFORMANMASYARAKAT DI LUAR “KAMPUNG IDIOT”

STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK

KAMPUNG IDIOT

I. IDENTITAS INFORMAN No. Pertanyaan Jawaban

1. Nama (Inisial) INA WAN ENA YAH

2. Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki Perempuan Perempuan

3. Usia 40 tahun 35 tahun 25 tahun 50 tahun

4. Agama Islam Islam Islam Islam

5 Pekerjaan Ibu rumah tangga Satpam Kantor

Pemkap

Pelatih Kursus

Mengemudi

Pedagang

6. Pendidikan Terakhir SMA SMA SMA SD

II. “IDENTITY” 7. Bagaimana memandang

dan memaknai Desa

Sidoharjo sebagai

“Kampung Idiot”

Kejadian yang

menimpa Desa

Sidoharjo salah satu

desa yang banyak

masyarakatnya yang

berketerbelakangan

mental disebabkan

Kejadian yang turun

temurun dari jaman

nenek moyang

mereka. Tidak percaya

dengan kabar yang

beredar karena akibat

perkawinan sedarah.

Bisa disebabkan oleh

kutukan, seperti kabar

yang beredar di

masyarakat Ponorogo.

Namun, kejadian satu

kampung menderita

keterbelakangan mental

Kejadian turun-

temurun yang telah

terjadi sejak jaman

nennek moyang

mereka. Hal tersebut

dipengaruhi salah

satunya adalah lokasi

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI STIGMA MASYARAKAT PONOROGO... RIZA DIAN A

beserta alasannya oleh faktor ekonomi

sehingga banyak

masyarakatnya yang

kekurangan gizi.

Namun, juga

disebabkan oleh incest

atau perkawinan

sedarah, karena

memang mereka

hanya berinteraksi

dengan kelompok

masyarakat mereka

saja akibat lokasi

mereka yang jauh

dengan kampung atau

desa lainnya.

Kondisi yang ada di

desa itu akibat ada

sebagian

masyarakatnya yang

telah melanggar salah

satu pantangan yang

ada di desa tersebut,

yaitu dialarang

membersihkan salah

satu makam yang ada

di desa itu, namun ada

sebagian masyarakat

yang telah

membersihkannya.

Akibatnya berdampak

seperti apa yang

dialami oleh

masyarakatnya

tersebut.

seperti yang ada di

Desa Sidoharjo

tersebut, bisa juga telah

menjadi takdir dari

Yang Maha Kuasa.

desa mereka yang ada

di pinggir hutan yang

jauh dari desa lain

maupun pusat kota.

Akibatnya banyak

masyarakatnya yang

melakukan perkawinan

sedarah atau kedekatan

darah. Sehingga

berakibat kepada

keturunan-keturunan

mereka, yang terjadi

hingga saat ini.