BAB III KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON ......kerajaan Islam dari Jawa di Perairan Ambon...

33
34 BAB III KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON 3.1 Suatu Catatan Historis: Dinamika perjumpaan Islam dan Kristen di Maluku dalam perebutan kekuasaan: Bagian ini akan difokuskan pada kajian sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam dan Kristen di Maluku yang telah berlangsung sejak abad 15 sampai sekarang. Dengan rentang waktu yang cukup panjang itu, kedua agama telah memeberikan warna dalam kedua aspek kehidupan masyarakat Di Maluku. Dampak perkembangan kedua agama tersebut di Maluku merupakan fenomena sosial-kultural. Persoalan sekitar kapan, dari mana oleh siapa, dan bagaimana Islam dan Kristen disebarkan di Maluku, tampaknya akan tetap merupakan hal yang tak pernah habis untuk dipermasalhkan. Kekurangan dan akurasi sumber, obyektifitas peneliti, serta perbedaan pendapat tentang arti masuknya Islam dan Kristen, dan belum adanya rumusan historis yang bisa dijadikan pegangan bersama, selalau malahirkan kontroversi sekitar masuknya Islam dan Kristen di Maluku. Sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan berupa sumber tertulis (dokumen). Lewat sumber tertulis ini, yang diharapkan adalah, hendak dipahami paling tidak melihat hubungan Islam dan Kristen dalam realitas sosial, dua kelompok agama yang berperan positif sebagai kekuatan perubahan di Maluku. a. Masuknya Islam di Maluku Suatu unsur penting dalam sejarah daerah Maluku adalah masuknya agama islam. Mungkin sekali agama ini sudah dikenal sebelum abad ke-15. Tetapi yang jelas adalah, bahwa dalam abad ke-15 berbagai pulau di Maluku telah mengenal agama ini sejak abad ke-9 pedagang-pedagang muslim telah datang ke Indonesia. 1 Penyebaran agama Islam di 1 Posponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia I ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm 2

Transcript of BAB III KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON ......kerajaan Islam dari Jawa di Perairan Ambon...

  • 34

    BAB III

    KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON

    3.1 Suatu Catatan Historis: Dinamika perjumpaan Islam dan Kristen di Maluku dalam

    perebutan kekuasaan:

    Bagian ini akan difokuskan pada kajian sejarah masuk dan berkembangnya agama

    Islam dan Kristen di Maluku yang telah berlangsung sejak abad 15 sampai sekarang. Dengan

    rentang waktu yang cukup panjang itu, kedua agama telah memeberikan warna dalam kedua

    aspek kehidupan masyarakat Di Maluku. Dampak perkembangan kedua agama tersebut di

    Maluku merupakan fenomena sosial-kultural.

    Persoalan sekitar kapan, dari mana oleh siapa, dan bagaimana Islam dan Kristen

    disebarkan di Maluku, tampaknya akan tetap merupakan hal yang tak pernah habis untuk

    dipermasalhkan. Kekurangan dan akurasi sumber, obyektifitas peneliti, serta perbedaan

    pendapat tentang arti masuknya Islam dan Kristen, dan belum adanya rumusan historis yang

    bisa dijadikan pegangan bersama, selalau malahirkan kontroversi sekitar masuknya Islam dan

    Kristen di Maluku. Sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan berupa sumber tertulis

    (dokumen). Lewat sumber tertulis ini, yang diharapkan adalah, hendak dipahami paling tidak

    melihat hubungan Islam dan Kristen dalam realitas sosial, dua kelompok agama yang

    berperan positif sebagai kekuatan perubahan di Maluku.

    a. Masuknya Islam di Maluku

    Suatu unsur penting dalam sejarah daerah Maluku adalah masuknya agama islam.

    Mungkin sekali agama ini sudah dikenal sebelum abad ke-15. Tetapi yang jelas adalah,

    bahwa dalam abad ke-15 berbagai pulau di Maluku telah mengenal agama ini sejak abad ke-9

    pedagang-pedagang muslim telah datang ke Indonesia.1 Penyebaran agama Islam di

    1 Posponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia I ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm 2

  • 35

    kepulauan Indonesia dirintis oleh para pedagang Arab.2 Dominasi pedagang-pedagang

    muslim semakin tersa di bidang perdagangan dan politik. Sejalan dengan penanaman

    kekuasaan, para pedagang muslim secara aktif pula menanamkan agama islam di daerah-

    daerah yang dikuasai, terutama di kota-kota pelabuhan.

    Sejak abad ke-14, agama islam telah dibawa ke Maluku Utara (Kerajaan Ternate,

    Tidore, Jailolo, oleh pedagang Cina.3 Mala perkembangan kerajaan di Maluku utara ada

    kaitannya dengan perluasan agama ini. Perluasan kekuasaan Ternate ke Ambon Lease

    (Maluku Tengah), khususnya Hitu dengan sendirinya disertai oleh ekspansi agama islam

    pula. Tetapi penyebaran agama Islam dari pulau jawa juga sangat kuat. Di Hitu dijumpai

    banyak pedagang Jawa yang kemudian menetap dan bermukim di sana.4

    Dalam abad ke-16 Huamoal di Seram Barat telah mengenal agama Islam dengan

    kedatangan orang-orang dari Utara lebih bertambah banyak. Bukti kedatangan orang-orang

    dari utara masih bisa diidentifikasikan sekarang, misalnya di Huamoal masih terdapat bekas

    pemukiman orang Tarnate yang bernama Gamsunge Ternate: kampung baru). Beberapa nama

    yang terdapat di Maluku Tengah, seperti Sangaji, Tomagola, Tuanani berasal dari Maluku

    Utara. Di Huamoal yang merupakan wilayah Ternate, pernah terdapat pejabat yang mewakili

    sultan Ternate yaitu Kimelaha dan Salahakan di Lesiela (Luhu Sekarang),5 demikian halnya

    dengan pulau-pulau Manipa, Kelang, dan Boanoau. Selain itu Hitu di Pulau Ambon juga

    mengenal agama Islam. Malah menurut suatu legenda, salah satu orang dari penguasa Hitu

    pernah bertemu dengan sultan Tarnate di Gersik. Di sana mereka membuat suatu perjanjian

    persaudaraan, sehingga Hitu juga dianggap bagian dari pengaruh Ternate. Kondisi ini yang

    2 Rumphius, G.E, 1973. Ambonsche Historie, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, PDIN-LIPI, Jakarta 3 Th. M. Jacobs, A Treatise on the Moluccas (c. 1544 – Probably the preliminary version of Antonio

    Kartodirdjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm 75 4 Sejarah Daerah Maluku (Jakaarta: Departemen P dan ; Proyek Penelitian Buku Bacaan Indonesia dan Daerah,

    1978), hlm 57 5 M.G Ohorella, Hukum Adat mengenai Tanah dan Air di Puu Ambon, (Disertasi Doktor, Universitas

    Hudassanudin Ujung Pandang, 1994), hlm 35

  • 36

    kemudian berdampak pada pulau Haruku dan Saparua yang merupakan bagian dari Maluku

    Tengah juga telah mengenal agama Islam.

    Pengislaman pulau Ambon dan sekitarnya secara sadar dan teratur, umumnya

    dilaksanakan di bawah pengaruh dan perintah kesultanan Ternate dan Tidore yang

    merupakan pusat kekuasaan politik dan perdagangan di masa itu mempunyai pengaruh atas

    hampir seluruh gugusan pulau di Maluku Utara dan Maluku Tengah.6 Pusat islam pada waktu

    itu adalah Hitu yang letaknya di Jasirah Leihtu bagian utara pulau Ambon yang menjadi basis

    penyebaran agama Islam.7 Di Jazirah Leihitu terdapat suatu bentuk pemerintahan yang

    dikepalai oleh Raja Hitu dan dilaksanakan oleh Empat Perdana Hitu.8

    Ekspansi Islam dan proses islamisasi memperlihatkan, bahwa Islam baik sebagai

    fenomena agama maupun politik. Sejak awal (akhir abad ke-13) telah memainkan peranan

    dan merupakan bagian vital dalam formasi negara baru.9 Bila diperhatikan ekspansi dan

    perluasan Islam di Indonesia dapat disimpulkan, bahwa basis yang paling awal adalah selat

    Malaka. Dari sana muslim mengembangkan jaringan ke seluruh daerah Maluku. Menurut

    Ann Kumar, pada abad ke-16 jaringan inipun masuk Maluku.10 Perluasan agama Islam ke

    daerah Maluku itu sangat banyak berhubungan dengan perdagangan cengkeh yang dapat

    dikategorikan sebagai kekayaan hasil alam Maluku pada masa itu.

    Dalam tahun 1511 orang Portugis berhasil merebut pusat perdagangan Asia Tenggara

    dan Malaka, namun pada akhir tahun yang sama, dari Malaka bangsa Portugis melakukann

    pelayaran ke timur untuk mengunjungi kepulauan rempah-rempah yang termasyur di Maluku.

    Di bawah pimpinan Antonio de’ Abreu kapal-kapal itu berlayar lewat Gersik di pantai utara

    Jawa ke Banda. Pada saat perjalanan pulang bangsa Portugis ini mendarat di pantai Hitu dan

    6 A.N Radjawane, op. Cit, hlm 71-72 7 Mengenal Maluku, (Departemen Penerangan RI:Penerbitan Khusus No. 107). Hlm 11 8 Empat Perdana: Yaitu Totohatu, Hatumesen, Nustapai dan Pati Tuhar, Lihat Sejarah Daerah Maluku. Op.cit,

    hlm 39-44; band Sumarsono, et.al, op cit,hlm 59 9 Harry Aveling (ed), The Development of Indonesia Society. From the coming of Islam to the present Day

    (Queensland : University of Queensland Prsess, 1979, hlm 2 10 Ann Kumar : dalam Harry Aveling (ed), ibid hlm 3

  • 37

    mengadakan kontak dengan penduduk pulau Ambon.11 Orang hitu yang telah menganut

    agama Islam menerima orang-orang Portugis dengan baik di negeri-negeri Hitu lama dan

    diberi tempat tinggal di Pikapoli, di muara sungai Ela, letaknya lebih jauh ke Utara. Orang-

    orang Hitu yang mengantar orang Portugis memerintahkan penduduk negeri-negeri Hatiwi

    dan Tawiri yang saat itu masih menganut agama suku untuk menerima orang-orang asing itu.

    Hubungan persahabatan antara orang Hitu yang beragama Islam dengan orang

    Portugis itu berakhir tahun 1523.12 Perkembangan kekuasaan Portugis di wilayah ini dimulai

    sejak awal abad ke-16 pula. Tetapi di Maluku Utara mereka berhasil dihalau oleh Sultan

    Babula pada tahun 1575. Sejak itu pusa kekuasaan mereka di Ternate yang dibangun sejak

    awal abad ke-16 dipindahkan ke Maluku Tengah. Karena berhadapan dengan Hitu yang

    Islam dan memihak pada Ternate itu, mereka akhirnya berpindah ke Leitimur di pulau

    Ambon juga. Di sinilah mereka mendirikan benteng sebagai pusat kekuasaan. Benteng ini

    kemudian direbut oleh VOC dan diberi nama Victoria.

    Orang-orang Portugis di Pikapoli harus meninggalkan tempat yang mereka diami di

    pantai itu. Selanjutnya pemuka kampung Hukunalo yang tunduk kepada Hatiwe, mengantar

    orang Portugis lewat daerah pegunungan ke bagian teluk dalam, dan tinggal di Poka tetapai

    lebih dekat ke Hukunalo. Dengan Kondisi di atas, mengakibatkan kampung-kampung yang

    masyarakatnya masih menganut agama suku, seperti Hatiwi, Tawiri dan Hukunalo selalu

    berada dalam keadaan perang dengan orang Hitu yang beragama Islam, karena mereka

    dianggap memihak Portugis. Keadaan Agama di Maluku dalam tahun-tahun pertama adanya

    orang-orang Portugis di sana dapatlah dulukiskan sebagai berikut:

    Pada saat Portugis melakukan kontak dengan penduduk Ambon, Tidore, Ternate

    kepulauan-kepualan Hitu di Ambon dan beberapa tempat lain sudah beragama Islam.

    11 Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1 Awall abad ke 14-abad 18 (Penerbit bagian dokumentasi penerangan

    kantor wali gereja Indonesia, Percetakan Arnoldus ende Flores, 1974), hlm 57 12 Ibid,hlm 81

  • 38

    Sementara penduduk di jazirah Leitimor di Ambon, Kepulauan Ulias, Buru, Seram dan

    beberapa pulau lainya masih hidup dalam agama-agama suku.13

    Kondisi ini memperlihatkan, bahwa tidak dapat dihindari perlawanan dan perang

    penduduk pribumi (Hitu) dengan Portugis. Menurut Polman, perlwanan dan pertentangan

    penduduk muslim mendapat dukungan dari jawa dan Tarnate,14 serta Portugis beraliansi

    dengan penduduk Ambon (beragama Kristen). Dalam tahun 1538 ketika terjadi peperangan,

    orang Islam dari Jawa dan Hitu mengalami kekalahan dibawah kekuatan Portugis. Dengan

    kekalahan orang Islam dari Jawa dan Hitu, memperkokoh kepercayaan penduduk negeri-

    negeri yang beragama suku di Hitu Timur dan Leitimur akan kekuasaan dan keunggulan

    Portugis. Penduduk tiga negeri utama di teluk itu yaitu: Hatiwi, Amantelo dan Nusaniwe

    malah meminta dengan mendesak supaya dipermandikan atau dibabtiskan. Permintaan

    mereka dikabulkan, dan mereka dipermandikan oleh pastor Amanda.15

    Kondisi-kondisi di atas memperlihatkan keterpisahan di antara masyarakat beragama,

    misalnya di pulau Ambon pemeluk agama Islam terdapat di jazirah Leihitu sedangkan

    pemeluk agama Kristen di jazirah Leitimor. Kondisi inipun berdampak pada kepulauan

    Haruku. Di Haruku penduduk yang memeluk agama Islam terutama terdapat di utara di

    sekitar Uli Hatuhaha, sedangkan di bagian Selatan terdapat penduduk yang memeluk agama

    Kristen. Di pulau saparua juga demikian, di Utara sebagian besar memeluk agama Islam dan

    di bagian Selatan agama Kristen. Pada masa itu terdapat perbedaan yang tajam antara kedua

    agama ini. Dengan demkian peperangan yang tadinya terjadi antara penduduk Maluku yang

    beragama Islam melawan Portugis, sekarang berdampak menjadi perang antara penduduk

    Maluku sendiri yang telah menganut agama Islam dan Kristen.

    13 Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1. Awal abad ke 14-abad 18, Ibid, hlm 59 14 Dukungan yang diberikan dari Jawa dan Tarnate kepada penduduk muslim Hitu memperlihatkan sebuah

    fenomena bahwa Islam ternyata bukan hanya berbasis lokal tetapi juga melewati batas-batas wilayah Maluku 15 Sejarah Gereja Katolik Indonesia I Ibid hlm. 82

  • 39

    a. Masuknya Kristen di Maluku

    Masuknya agama Kristen atau Kekristenan di kepulauan Maluku bersamaan dengan

    masuknya bangsa-bangsa eropa ke daerah ini. proses penyebaran agama Kristen di Maluku

    dapat dibagi kedalam dua tahapan yaitu oleh orang Portugis dan orang Belanda. Kehadiran

    bangsa-bangsa Eropa di Maluku merupakan pertemuan yang membawa konsukuensi baru

    pula, setelah beberapa saat sebelumnya masyarakat Maluku berkenalan dengan agama Islam

    yang telah banyak mempengaruhi kehidupan orang-orang di Maluku terutama di jazirah

    Leihitu pulau Ambon.

    Kekristenan dimulai sejak kedatangan orang-orang Portugis (seperti yang telah

    dijelaskan sebelumnya penginjilan yang pertama kali dilakukan oleh pendiri-pendiri Portugis

    adalah pada tahun 1523. Pada waktu itu Antoni de Brino, kepala orang Portugis di Tarnate,

    yang membawa Francican ke Tarnate. Kehadiran orang-orang Eropa di Maluku tetap dan

    bersamaan dengan adanya ketegangan politik dan usaha perebutan hegemoni dan supermasi

    kekuasaan di daerah ini antara masyarakat Islam yang telah lebih dulu menguasai beberapa

    daerah. Ditengah ketegangan politik itu, Portugis turut melibatkan diri. Hal ini

    mengakibatkan pula pemberitaan injil dan pembentukan Gereja terlibat pula dalam

    ketegangan-ketegangan itu. Ditahun 1534, Portugis berhasil menjadikan seorang Raja

    Mindanao menjadi Kristen. Hal ini sangat penting karena sampai saat itu belum ada seorang

    rajapun yang dapat dikristenkan di Maluku Utara.16

    Kehadiran orang-orang Portugis itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan

    perkembangan situasi yang terjadi di Eropa, terutama dibidang politik, ekonomi dan agama.

    Penyebaran Kekristenan di Maluku dimulai sejak Armada Portugis yang dikirim oleh

    Antonio Galvao, panglima Portugis di Tarnate, yang berhasil menghancurkan armada

    kerajaan Islam dari Jawa di Perairan Ambon pada tahun 1538.

    16 R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga sejarah Fakultas Sastra UI,

    1975), hlm 7-8

  • 40

    Sesudah peristiwa itu, para penganut agama suku di pulau Ambon mengadakan

    pendekatan terhadap orang-orang Portugis untuk meminta bantuan dalam rangka

    menghadapai orang-orang Islam dari kerajaan Hitu.17 Dalam kenyataannya, penganut agama

    suku tidak hanya meminta bantuan saja, tetapi juga bersedia menerima agama bangsa

    Portugis yang ditawarkan oleh para missonaris kepada mereka.

    Sejalan dengan hal itu maka diadakan baptisan pertama yang diadakan pada tahun

    1538 terhadap raja keluarga Hatiwe dari situlah proses pembabtisan ini berkembang.

    Selanjutnya sejak itu berdiri tiga negeri Kristen di pulau Ambon, masing-masing Hatiwe,

    Amantelu dan Nusaniwe (semuanya dari kelompok Ulisiwa).18 Selanjutnya orang-orang baru

    ini bagi penganut Islam sering diidentikan dengan orang-orang Portugis (orang asing). Pada

    tahun-tahun awal sesudah pembabtisan sesudah pertama, pekembangan kekristenan pertama

    cukup pesat. Negeri-negeri Kristen yang tadinya hanya tiga, kali ini telah menjadi tujuh.

    Dengan demikian empat negeri Kristen yang baru adalah Amahusu, Eri, Silale dan Namalatu.

    Perkembangan kekristenan terasa lebih menonjol lagi sejak Faransiskus Xaverius tiba di

    Ambon. Kalau pada saat Xaverius tiba di Ambon terdapat hanya tujuh negeri Kristen, seperti

    yang telah dijelaskan di atas, maka pada tahun 1560-an, jumlah ini telah meningkat menjadi

    puluhan yang tersebar di Ambon, Lease, Seram dan Buru.19

    Perkembanagan Kekristenan di atas memperlihatkan, bahwa Ambon dijadikan pusat

    kegiatan penyebaran agama Kristen di samping pusat kegiatan penyebaran agama Kristen dan

    juga kegiatan politik dan perdagangan ekonomi. Dalam tahun 1599 kontak pertama Ambon

    dengan Belanda dibawah pimpinan Warwijk dan Van Hermaskerk, yang mendarat dengan

    kapal di Hitu dan diterima oleh Raja di Hitu. Raja Hitu melihat kedatangan Belanda ini

    17 Sebelum kehadiran orang-orang Portugis, hubungan di antara penganut agama suku dan penganut agama

    Isalam senantiasa diwarnai oleh pertikaian. Lihat J. Keuning, op cit, hlm 17 18 C. Wessel, S.J, De Geschiedenis der R.K Missie Franciscus Xaverius toot haar Vernietinging dcor de O.L

    Compagnie 1546-1605 (Niijmegen-utrecht, N.V. Dekker and Van de Vegt en J.W. Van Lecuwen, 1926) hlm

    6 19 Muller Kurger, Berichit van Ambon , (Oegstgeest 1944), hlm 26

  • 41

    sebagai kesempataan untuk membantu masyarakat Hitu menentang Portugis.20 Sebaliknya

    bagi belanda diterimanya Belanda oleh Raja Hitu, merupakan kesmpatan untuk melakukan

    eksplorasi atau pengambilan rempah-rempah (cengkeh) di Maluku. Kondisi ini

    memperlihatkan telah terjadinya kerjasama dalam perang melawan portugis. Tahun 1600

    berakhirnya kekuasan atau hegemoni Portugis dan diganti dengan Belanda.21

    Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1602 pedagang-pedagang Belanda

    mendirikan kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagme (VOC) di

    Batavia lalu kemudian masuk ke Maluku. Tujuan Kongsi dagang ini adalah melakukan

    monpoli perdagangan pada daerah Maluku. Sebagai perkumpulan perdagangan yang

    didirikan pada tahun 1602, memang tidak memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha untuk

    mencapai keuntungaan. Usaha monopoli ini dijalankan tidak saja dengan perundingan-

    perundingan dagang, tetapi juga dengan perang. Mereka harus melawan orang-orang Portugis

    yang telah lama ada di Maluku.

    Dalam dinamika pergerakan VOC, Belanda menekan dengan kekerasan terhadap

    kehidupan ekonomi dan politik masyarakat Ambon. 22 Penekanan terhadap kebebasan

    penduduk merupakan suatu tindakan radikal, dan menunjukkan sebuah kekuatan atau

    hegemoni Belanda dalam masyarakat Ambon baik Islam maupun Kristen. Ekspedisi Hongi-

    Tochten,23 merupakan sebuah kenyataan sejarah yang pahit dialami oleh kedua kelompok

    agama masyarakat Maluku. Menurut laporan Valentjin biasanya dalam suatu perjalanan

    Hongi, Islam dan Kristen dibuat secara terpisah. Artinya, susunan armada kora-kora diatur

    sedemikian rupa sehingga yang beragama Islam selalu diapit oleh kora-kora Kristen. Sikap

    20 Katrien Polman, op cit, hlm 12 21 Untuk mengetahui tentaang dinamika dari aliansi yang dilakukan antara Hitu dan Belanda, serta muncul

    friksi diantara mereka: lihat Richard Chauvel, Nasionalists, Solidiers and Separatists ; The Ambonese

    Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950 (KITLV Press Leiden, 1990) dan Dieter Bartels; A Struggle

    for Ethnic. Hlm 38 22 Untuk menegetahui lebih jauh tentang pergerakan dan perkembangan kegiatan yang dilakukan oleh Belanda

    di Maluku Tengah, lihat sejarah daerah Maluku, Op cit, hlm 72-80 23 Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu Hongi artinya Armada dan tochten artinya pelayaran, dengan demikian

    hongi tochten beerarti pelayaran dengan armada. Lihat Sumarsono et al, op cit, hlm 30

  • 42

    Belanda seperti inilah yang membuat jarak dan memunculkan sikap permusuhan di antara

    kedua kelompok agama ini.

    Dari perjalanan Hongi itu dapat dikemukakan beberapa tindakan yang merupakan

    kebijakan pihak Belanda untuk mengatur dan menguasai politik perdagangan, yaitu: (a)

    penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkeh, serta masyarakat biasa setempat

    dikerahkan juga untuk berperang. (b) pemaksaan pihak Belanda bagi rakyat untuk

    menyerahkan tenaga-tenaga wajib dan sejumlah kora-kora bagi setiap negeri. Selain

    kebijakan dalam bidang politik perdagangan di atas, juga adanya tindakan Belanda dalam

    proses pelumpuhan sistem dan struktur kehidupan masyrakat Ambon, yaitu: (a) sistem

    pemerintahan dihapuskan, bahkan jabatan Kapitan Hitu dan para perdananya dihapuskan: (b)

    dihapuskannya kesatuan-kesatuan adat Aman yang kemudian dikenal dengan Negeri.24 (c)

    dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan

    penduduk dari pegunungan (pemukiman negeri lama) ke pesisir pantai,sehingga komunitas-

    komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti dengan nama Negeri, yang

    diciptakan oleh pemerintah kolonial.25 Perpindahan ini dengan sendirinya mengakibatkan

    sistem Uli mengalami perubahan sosio-historis negeri-negeri ini mengelompok dalam

    komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok yang berbasis agama.

    Kebijakan-kebijakan Belanda ini terkait dengan pelayaran “Hongi” yang dilakukan.

    Artinya pengawasan dapat dilakuakan oleh Belanda secara langsung dan mudah terkontrol.

    Hal ini menunjukan bahwa ada proses pengambilalihan kekuasaan dari pemimpin-pemeimpin

    kesatuan adat kepada Belanda. Kondisi ini membawa dampak bagi sikap dan mentalitas

    24 Negeri merupakan suatu inovasi yang dihasilkan oleh VOC dalam abad ke-17, negeri-negeri itu tercipta

    ketika terjadi peperangan untuk menguasai perdagangan cengkeh antara VOC dan Tarnate di Maluku

    Tengah. Lihat R. Z Leirissa, Maluku Tengah abad ke sembilanbelas (Prisma No 8, Agustus 1980 thn IX).

    Hlm 69 25 R.Z Leirissa, J. Pattikaihatu, M Soenjata Kartadarmadja, (ed). Sejaraah Sosial di Daerah Maluku

    (Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat, Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional proyek

    inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta 1983/1984), hlm 11; band Cooley, op cit., hlm

    244; Badan Susunan Sejarah Ulath : dari Gunung Turun ke Pantai, sampai terjadinya Negeri Ulath

    (Culemburg: cerita Rakyat , 1990), 54-57: Sophia Mailoa, Kejahatan kekerasan Kultural, Prisma I,

    September-Oktober 1998), hlm 50

  • 43

    bahkan ikatan-ikatan genologis dari masyarakat Ambon yang semuanya mengarah pada

    permusuhan.

    Sebagai akibat dari keterlibatan orang-orang Eropa, maka timbullah pertentangan-

    pertentangan dan ketegangan yang terus berlangsung antar-masyarakat di Maluku. Dinamika

    pertentangan terus digerakkan dan dimainkan oleh Belanda dalam proses menimbulkan

    kebencian yang tajam antara Islam dan Kristen yang akan berdampak pada hubungan

    keagamaan di Maluku.

    3.2 Pengistimewaan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Penduduk Kristen di masa

    lalu:

    Meskipun dimensi agama sangat menonjol, konflik Maluku merupakan konflik yang

    sangat kompleks, di mana berbagai faktor saling berinteraksi dan punya porsi masing-masing

    dalam mengobarkan konflik. Periode ini merupakan awal dari peresmian benih-benih

    permusuhan dan kekerasan antara penganut islam dan Kristen di Maluku. Jika kekuatan

    Portugis akhirnya kalah dan terusir melalui perjuangan gigih Sultan Babulla pada tahun 1570

    tidak demikian dengan Belanda yang datang ke Maluku pada akhir abad XVI. Setelah

    berhasil menundukan perlawanan rakyat Maluku melalui perang yang cukup panjang, pada

    pertengahan abad XVII, VOC secara efektif berhasil memonopoli perdagangan rempah-

    rempah sekaligus menacapkan kekuasaannya di Maluku. Selain melakukan kontrol politik

    dan ekonomi, Belanda juga menggiatkan penyebaran agama Kristen di wilayah selatan.

    Wilayah utara sendiri karena pengaruh kerajaan Tarnate, pemeluk islam masih dominan.

    Sementara itu, di Ambon terdapat pola perimbangan Islam dan Kristen yang lebih jelas lagi.

    Bagian utara disebut Jasirah Leihitu yang dihuni mayoritas warga Muslim, sedangkan bagian

    selatan dinamai Jazirah Leitimur yang di huni mayoritas Kristen Protestan.26

    26 Tamrin Amal Tomagola sebagaimana dikutip M.Atho Mudzhar, ”Pluralisme, Pandangan Ideologi dan

    Konflik Sosial Bernuansa Agama” dalam Moh.Soleh Isre (ed.), Konflik Etno‐Religius, hlm 5

  • 44

    Meskipun cukup berhasil meredam setiap konflik yang melibatkan sentimen agama,

    pemerintah belanda dalam hal manajemen antar dua pemeluk agama utama sesungguhnya

    menyimpan benih-benih konflik. Pada masa kolonial, secara politis, karena afliasi agama,

    warga Kristen Ambon relatif diuntungkan, sementara warga muslim dirugikan, sementara

    warga muslim terpinggirkan, penduduk kristen lebih banyak mengenyam pendidikan yang

    diselenggrakan pemerintah kolonial. Banyak warga Kristen Ambon yang direkrut dalam

    jabatan-jabatan administratif dalam struktur pemerintahan kolonial kala itu, yaitu

    dilingkungan ambtenar dan militer. Bagi penduduk Ambon Kristen, menjadi ambtenar

    merupakan suatu kebanggaan. Adapun yang kurang memiliki kualifikasi sebagai pegawai

    administratif, masuk ke dinas tentara Belanda (KNIL) merupakan alternatif selanjutnya.

    Rakyat Kristen Ambon yang relatif terdidik dan memiliki kedekatan dengan pemerintah

    kolonial Belanda, seolah-olah menciptakan kelas baru di antara penduduk pribumi

    (inlanders) dan orang-orang Belanda. Hal ini menyebabkan hingga sekarang rakyat Kristen di

    Maluku menilai tinggi pekerjaan sebagai birokrat di pemerintahan. Sementara itu penduduk

    Islam yang tidak suka bekerjasama dengan Belanda karena dianggap Kafir lebih memilih

    bekerja dibidang pertanian dan perdagangan.27

    Pemerintah kolonial juga menciptakan struktur sosial yang menciptakan pola

    segregasi wilayah, yakni interaksi dan struktur masyarakat berdasarkan agama. Pemukiman-

    pemukiman dibangun secara eksklusif berdasar agama masing-masing. Terdapan pemukiman

    Kristen yang hanya dihuni oleh penduduk Kristen, sebaliknya juga terdapat pemukiman

    Muslim yang khusus untuk penduduk yang beragama Islam akibatnya ada pemisahan dan

    pengelompokan (grouping) yang nyata antara penduduk Islam dan Kristen. Warisan ini masih

    tetap bertahan hingga setelah indonesia merdeka dan Maluku menjadi bagian dari Indonesia.

    Pola segregasi yang terus dipelihara inilah yang menjadi interaksi antarumat bebeda agama

    27 Ibid Wasisto Raharjo: Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan, hlm 7

  • 45

    kurang dapat berlangsung efektif, bahkan menyimpan potensi untuk menjadi konflik terbuka

    yang kemudian hari ternyata terbukti.28

    Sebelum masa kolonial Masyarakt Ambon sejak dulu dikenal sebagai masyarakt yang

    heterogen yang ditandai oleh perbedaan suku dan kultur etnis yang beraneka ragam dan

    sebagian besar masyarakat Ambon Maluku sebenarnya bukan penduduk asli pulau Ambon

    Lease tetapi semuanya adalah warga pendatang dari luar khususnya pulau seram dan para

    pendatang membentuk permukiman-permukiman yang tersebar di pulau Ambon. Masyarakat

    Ambon Maluku terbentuk berdasar berbagi jenis ikatan-ikatan sosial berdasa suku,

    kewilayahan (teritori) dan kepercayaan. Pada masa kolonial persebaran agama Katolik dan

    Protestan yang dibawa pihak kolonial semakin menambah heterogenitas masyarakat

    Maluku.Tidak hanya klan, budaya, kultur adat, teritori komunal serta administratif tetapi juga

    berdasar atas agama dan kultur kepercayaan yang beragama. Sejak saat ini masyarakat

    Ambon Maluku mulai terbagi dalam pola permukiman dan teritori berdasar agama, bahkan

    dalam wilayah administratif desa dikenal ada desa atau negeri (kumpulan daerah-daerah yang

    terdiri dari berbagai klan) Salam (komunitas islam) dan desa atau negeri Sarani (komunitas

    kristen). Dan inilah warisan kolonial Belanda yang telah mewariskan struktur sosial yang

    menyimpan bom waktu.

    Akan tetapi konflik itu bukan dengan sendirinya perseteruan antara Kristen Ambon

    versus Muslim non-Ambon. Dalam masalah birokrasi dan sumber-sumber politik lain

    (jabatan-jabatan di struktur kepolisian atau kemiliteran, kampus dll) konflik sering terjadi

    justru antar etnis Ambon / Maluku, baik Kristen maupun Muslim. Sejak dulu, birokrasi

    memang menjadi lahan subur konflik bagi Kristen-Muslim Ambon/Maluku. Misalnya saja

    kompetisi antara kelompok Muslim Pelauw dari Kepulauan Lease (khususnya Saparua dan

    Haruku) dengan Kristen Ambon. Sementara dalam hal sumber-sumber ekonomi khususnya

    28 Ibid R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia hlm 14

  • 46

    market place, konflik justru banyak terjadi antarkelompok Muslim non-Ambon yang

    menjadikan ekonomi / pasar sebagai “sumber kehidupan” karena memang ruang-ruang

    politik dan birokrasi kurang memungkinkan bagi mereka. Warga Kristen Ambon (juga

    Muslim Ambon) dalam sejarah kurang begitu berminat dalam berdagang. Mereka lebih suka

    di birokrasi sebagai pegawai, guru, polisi/tentara.

    Menurut Sudirman Tebba, kecemburuan sosial termasuk kehormatan dan gengsi yang

    berlanjut menjadi kerusuhan sama sekali tidak disebabkan oleh faktor beda agama.

    Intoleransi beragama tampaknya hanya dijadikan sebagai “baju” konflik lain yang sebetulnya

    tak berkaitan dengan wilayah keimanan. Salah satu persoalan politik–yang sesungguhnya

    proses alamiah yang menjadi penyulut konflik agama adalah terjadinya mobilitas vertikal

    akibat kemajuan pendidikan.

    Sebelum Indonesia merdeka hanya kelompok Kristen yang banyak memperoleh

    kesempatan Pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda, karena seagama dengan mereka.

    Sedang kelompok Islam baru memperoleh kesempatan yang luas menikmati pendidikan

    (formal) setelah Indonesia merdeka. Akibatnya sewaktu negara kita merdeka dan

    mengembangkan lembaga pemerintah serta memerlukan tenaga‐tenaga terampil di bidang itu,

    maka yang siap mengisi lembaga‐lembaga pemerintahan adalah kelompok Kristen, sehingga

    mereka menjadi dominan dalam pemerintahan.29

    3.3 Migrasi Dan Kompetisi Ekonomi

    Arus Migrasi ke Ambon sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar sejak abad

    XVI. Peningkatan arus migrasi ke Maluku terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an.30 Para

    imigran umumnya berasal dari Sulawesi (Suku Bugis, Buton, dan Makasar), dan juga dari

    Jawa, dengan motif ekonomi. Mereka membangun pemukiman yang terpisah (Kampung

    29 SudirmanTebba, Islam Pasca‐Orde Baru (Yogyakarta:TiaraWacanaYogya), 2001, hal. 156 30 Jacques Bertand, “Legacies Of The OF Athoritarian Past: Religious Violence In Indonesia’s Mollucan

    Islands,” dalam pacific Affairs, Vol 75, No. 1, Spring 2002 hlm. 54

  • 47

    Bugis, Kampung Ambon), terutama di daerah perkotaan, daerah transit, dan pelabuhan.

    Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang dalam waktu yang singkat karena keuletannya

    merka berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Hal ini juga dikarenakan

    karena penduduk lokal Maluku sendiri sebagaian besar tidak tertarik dalam bidang

    perdagangan. Mereka lebih suka bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan pendapatan

    tetap.

    Keberhasilan dibidang ekonomi secara relatif membuat status sosial ekonomi kaum

    pendatang lebih baik. Ini kemudian diperbandingkan dengan peluang ekonomi penduduk

    lokal dan rekrutmen kepegawaian yang makin sedikit. Dominasi kaum pendatang tersebut

    dalam sektor ekonomi dalam taraf tertentu, menimbulkan benih-benih ketidaksukaan di

    kalangan lokal Ambon, khususnya yang bergama Kristen. Selain itu, kerap pula terjadi friksi

    antara kaum pendatang dan penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat

    lokal menilai para pendatang telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak, sedangkan

    para pendatang mengklaim tanah-tanah itu telah menjadi milik mereka karena telah lama

    didiami.31

    Konflik antara rakyat lokal dan para migran yang semual lebih berdimensi ekonomi,

    dalam perkembangannya dikaitkan dengan identitas agama. Secara kebetulan juga para etnik

    pendatang dari sulawesi mayoritas beragamaa islam. Kecemburuan ekonomi dikaitkan

    dengan fakta bahwa kedatangan migran tersebut secara demografis telah mengubah

    keseimbangan komposisi demografis umat Kristiani dan Islam di Maluku, khususnya di

    Ambon. Bahkan di kalangan warga Kristen, ada kekhawatiran dan kecurigaan bahwa

    meningkatnya migran dari Bugis, Buton, dan Makassar merupakan bagian dari Islamisasi

    Ambon yang tentu saja dipersiapkan sebagai ancman terhadap keberadaan dan dominasi

    31 Manusama, Z.J, dalam, Bunga Rampai Sejarah Maluku, Jakarta: PDIN-LIPI,. 1973, hlm 18

  • 48

    Kristen. Segregasi berdasar agama ternyata tidak hanya berlaku dalam hal geografis, tetapi

    juga ke masalah ekonomi dan politik.32

    Dan dikaitkan dengan perubahan komposisi demografis, yang kemudian

    menimbukan permasalahan yang rumit sekaligus sensitif. Akan terlihat bahwa persenyawaan

    antara kepentingan ekonomi dan politik yang dibungkus dengan sentimen keagamaan

    menjadi bahan bakar konflik yang begitu dasyat. Dalam konteks relasi politik Islam-Kristen,

    terdapat perubahan-perubahan yang kemudian menjadi ramuan tersendiri bagi menguatnya

    ketegangan antarkelompok. Seperti telah diuraikan diatas, sejak pemerintahan kolonial

    Belanda, rakyat Kristen secara politis memiliki kedudukan yang lebih baik dibandingkan

    rakyat Ambon Islam. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik dan sikap pemerintah

    kolonial, banyak rakyat Kristen yang menempati posisi-posisi penting di pemerintahan

    Sementara, rakyat Islam yang menolak mengikuti pendidikan Belanda posisi politiknya

    termarginalkan dan banyak menggeluti bidang pertanian dan perdagangan.

    3.4 Kepemimpinan Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku Periode (1992-1997)

    sebagai puncak resistensi dari kelompok Islam:

    Di Daerah Maluku, khususnya Ambon, kondisi politik seperti yang diuaraikan ini

    sangat tampak terutama dalam 20 tahun terakhir. Sejak Hasan Slamet menjabat Gubernur

    pada periode yang kedua, menurut sosiolog Amal Tamrin Tomagola dari Universitas

    Indonesia, dia telah memasukan orang-orang Bugis, Buton, dan Makassar ke Maluku,

    khususnya ke Kota Ambon, hal serupa dilanjutkan oleh Gubernur Akib Latuconsina. Dengan

    memasukan suku-suku itu dalam jumlah yang sangat besar, diharapkan terpenuhi kebutuhan

    sumber daya manusia pada aras (level) menengah ke bawah. Selain itu membawa dampak

    penyeimbangan komposisi penduduk berdsarkan penganut agama (khususnya Islam dan

    Kristen.

    32 Ibid Manusama, Z.J, dalam, Bunga Rampai Sejarah Maluku 1973

  • 49

    Migrasi besar-besaran juga terjadi di kalangan orang Kristen sejak tahun 1950-an,

    tatkala terbuka kemungkinan untuk banyak siswa SMA yang melanjutkan studinya ke

    Makasar dan Jawa. Hal ini sedikit banyak mengurangi jumlah orang Kristen di Maluku,

    terutama di Maluku Tengah Ambon, dan Maluku Tenggara. Indikatornya adalah jumlah

    orang Kristen di luar Maluku (termasuk di Belanda) diperkirakan 1,5 juta orang. Semantara

    itu, pada sisi lain bertambahnya jumlah penduduk beragama Islam di Maluku juga

    disebabkan oleh masuknya migran Buoton, Bugis, Makassar di Maluku secara besar-besaran.

    Kombinasi antara sejumlah faktor tersebut di Maluku mengakibatkan jumlah orang Muslim

    makin bertambah dan orang Kristen makin berkurang. Jika pada tahun 1945 sampai pada

    tahun 1960 jumlah semua orang Kristen di seluruh Maluku diperkirakan 65 persen, maka

    pada tahun 1971, berdasakan hasil sensus, jumlah orang Kristen 51 persen dan islam

    ditambah lain-lain 49 persen.33

    Pasca kemerdekaan tumbuh kesadaran yang kuat dari kalangan Muslim untuk

    mengenyam pendidikan yang lebih baik. Secara perlahan tapi pasti putra-putri Muslim yang

    terdidik mulai menduduki posisi-posisi strategis di jabatan-jabatan publik. Kondisi ini juga

    didukung oleh posisi Islam dalam pentas politik nasional. Setelah sekian lama dipinggirkan,

    presiden Soeharto berusaha merangkul islam sebagai salah satu sandaran politiknya selain

    ABRI, Golkar, dan Birokrasi, pembentukan ICMI yang kemudian mempunyai status politik

    yang cukup besar merupakan fase puncak kemesraan Orde Baru dan Islam. Sama hanya

    dengan corak politik Orde Baru. Politik di Maluku dipenuhi dengan pola Patron Klien serta

    praktek KKN yang kemudian menjadi bahan bakar konflik yang kemudian menggunakan

    identitas agama secara berhadap-hadapan dalam konteks perebutan kekuasaan. Identitas

    keagamaan dan etnik selalu menjadi faktor yang menonjol diperhatikan dalam suatu

    penempatan posisi. Pada setiap pengangkatan suatu jabatan di suatu instansi misalnya

    33 John Pires, Tragedi Maluku: Sebuah Krisisis Peradabaan, edisi 1 Jakartan Yayasan Obor 2004. Hlm 168

  • 50

    pertanyaan yang muncul adalah dari etnik mana pejabat tersebut, apa agamanya, dan

    bagaimana komposisi etnik dan agama di institusi tersebut. Hal ini secara implisit

    menunjukan betapa kuatnya tarik-menarik kepentingan dari masing-masing agama dan

    kelompok etnik.

    John Pieris34 melihat konflik Maluku tidak jauh berbeda yaitu karena saktor sosial-

    politik. Menurut Pieris Organisasi Ikatan Cenidikiawan Islam Indonesia pada awal tahun

    1990-an sangat berpotensi menjadi “ancaman” bagi kelompok komunitas Kristen yang berda

    dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa ID Card keanggotaan

    Ikatan Cenidikiawan Muslim menjadi semacam SIM bagi rekrutmen untuk jabatan-jabatan

    penting dalam pemerintahan. Persoalan semacam ini tentu saja melanggar perjanjian tak

    tertulis yang sudah berlangsung sejak lama antara komunitas Kristen dan Islam mengenai

    “pemerataan dalam posisi-posisi jabatan-jabatan tertentu di Maluku. Misalnya apabila

    gubernurnya seorang Kristen maka sekertaris daerahnya seorang muslim. “Kesepakatan”

    semacam ini belakangan tidak dilihat lagi oleh para birokrat dari komunitas Islam. Persoalan

    tersebuat sangat membuat kecewa para birokrat dari komunitas Kristen. Sementara itu

    kelompok Islam yang mersakan dominasi kelompok Kristen begitu kuat di UNPATTI, di

    mana jabatan-jabatan struktural banyak diisi oleh kelompok Kristen. Konflik laten untuk

    memperebukatan jabatan-jabatan struktural di Unpatti telah berlangsung cukup lama.

    Menurut Sudirman Tebba sewaktu kelompok Islam memperoleh pendidikan, maka

    mereka pun kemudian siap memasuki lembaga‐lembaga pemerintahan, sehingga terjadilah

    mobilitas vertikal umat Islam di daerah itu. Kasus seperti ini terjadi di banyak daerah di

    Indonesia, bukan hanya Maluku. Masuknya orang‐orang Islam ke dalam lembaga‐lembaga

    pemerintahan, lantas Mengurangi peluang bagi orang‐orang Kristen. Bahkan sedikit demi

    sedikit menggeser posisi mereka. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, karena pada

    34 Ibid John Pires, 2004 hllm 180

  • 51

    masa itu mulai banyak orang Islam menjadi sarjana.35 Semakin banyak orang Islam yang

    menjadi sarjana makin banyak pula mereka mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan,

    sehingga makin banyak orang Kristen tergeser. Proses alamiah ini terus berlanjut sampai

    Orde Baru runtuh.

    Bangkitnya kekuatan Islam di Maluku setelah kemerdekaan ditandai dengan naiknya

    Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku,36 yang diikuti oleh penggantinya Saleh

    Latuconsina. Sementara itu posisi-posisi strategis yang semula didominasi oleh warga Kristen

    bermarga Tutupoli, Manuhutu, Wattimena, dan Talaut – lalu digantikan dengan orang-orang

    Muslim, yang bermarga Tuasikal, Latuconsina, dan Marassabesy. Seiring dengan meguatnya

    posisi Islam, rakyat yang didominasi oleh penduduk Kristen merasa dilema apakah akan

    bergabung atau terpisah dengan pemerintahan baru Indonesia yang dipimpin oleh orang-

    orang dari etnik Jawa yang mayoritas beragama islam.

    Ketidakadilan dalam ekonomi juga adalah persoalan struktural, yang sifatnya memang

    tidak terjadi langsung dalam menyebabkan konflik dan menjadi dampak yang signifikan

    dalam menjadikan konflik. Sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, komunitas Kristen di

    Ambon selalu diistiwakan dalam bidang pendidikan, ekonomi dan politik. Privilese yang

    terus terjadi sehingga waktu pemerintah orde baru sudah tidak lagi memiliki dari separuh

    perwira di tingkat pusat. Dalam mencari pengganti dukungan, Pemerintah Soeharto pada

    zaman Orde Baru mencari penggantinya dalam kelompok-kelompok Islam salah satunya di

    Maluku dalam organisasi ICMI. Hal yang sangat mempertegas hal ini dengan diangkatnya

    B.J. Habibie untuk menjadi wakil presiden sejak 1993. Pergeseran bentuk kekuasaan di

    tingkat pusat, berpengaruh juga terhadap keberadaan pimpinan di daerah-daerah khususnya

    Maluku menjadi persoalan yang sangat penting karena pemasukan hasil-hasil daerah banyak

    yang masuk juga di tingkat kabupaten kota. Proses distribusi yang terjadi di daerah juga dan

    35 Ibid Sudirman Tebba, Islam Pasca‐OrdeBaru, hlm 9 36 Gery Van Klinken, “The Maluku Wars Bringing Society Back In,” dalam Indonesia, No 71, April 2001

  • 52

    peran gubernur menjadi sangat menentukan. Dalam konteks di Maluku, pergantian para

    birokrat yang kemudian kekayaan sumber daya yang ada di daerah dipengaruhi dengan

    naiknya Aqib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku. Sosok Aqib dianggap sebagai

    representasi dari komunitas Islam dan masyarakat sipil. Dengan pengaruh Aqib yang begitu

    besar, maka tahun 1996 sebagian besar Bupati di Maluku yang berasal dari komunitas Islam,

    juga di daerah-daerah dengan penduduk mayoritasnya yang adalah notaben agama Kristen

    diganti oleh Akib. Hal ini memulai sebuah kompetisi dalam hal birokrasi dan perekrutan

    pegawai negeri sipil antara kristen dan Muslim. Posisi dinas Pendidikan di Maluku yang

    biasanya dijabat oleh kaum Kristen dirubah dan alihkan ke kaum Muslim. Pada tahun 1997,

    gubernur baru propinsi Maluku berasal dari Orang Ambon yang beragama Islam. Bukan

    hanya posisi gubernur saja, akan tetapi posisi Wakil Gubernur, dan sekretaris daerah bukan

    dijabat oleh orang Kristen (Muslim dan Katolik). Hal tersebut sangat mengecewakan para elit

    politik yang bergama Kristen.

    Selanjutnya menurut Abidin Wakanno Direktur Lembaga Antara Iman Maluku,

    tindakan Gubernur Akib Latuconsina yang mengganti sebagian besar pejabat di Maluku

    dengan pejabat baru yang beragama Islamlah yang justru menimbulkan dampak terjadinya

    hal yang menyakitkan, hal yang bisa dipakai oleh profokator sebagai alat untuk memanas-

    manasi kedua komunitas beragama di Kota Ambon.37

    Menurut Sejarawan Senior Maluku, Max Tapilatu pada waktu kepemimpinan Akib

    Latuconsina “Hubungan Patron-klien” atau nepotisme sebagai kunci untuk mendapatkan

    kontrak. Hal tersebut membuktikan bahwa perubahan besar dalam bidang politik di Ambon

    mempunyai dampak negatif bagi kaum Kristen terutama dalam bidang ekonomi. Hampir

    37 Hasil Wawancara dengan Abidin Wakanno (Direktur Antar Iman Maluku), Sabtu 04 Oktober 2014

  • 53

    dalam setiap kasus, elit politik yang beragama Kristen kehilangan posisi politik dan ekonomi

    semenjak bangkitnya kaum Muslim.38

    3.5 Kepemimpinan M.J. Papilaya sebagai Wali Kota Ambon periode 2001-2011 sebagai

    dominasi komunitas Kristen:

    Lebih fundamental lagi, konflik telah memperkuat persepsi negatif publik atas posisi

    kantor Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) yang sudah terbentuk sejak lama, yakni sebagai

    institusi yang dikuasai komunitas Kristen. Dalam situasi konflik yang sangat mendalam, fakta

    bahwa mayoritas staf Pemerintah Kota Ambon beragama Kristen sudah lebih dari cukup

    untuk menyimpulkan adanya penguasaan kalau tidak mau disebut monopoli satu kelompok

    atas kelompok lainnya. Hal ini menempatkan Pemerintah Kota Ambon secara simbolik

    sebagai salah satu sumber ketidak-adilan yang merupakan salah satu akar permasalahan

    konflik.39

    Munculnya persepsi negatif masyarakat atas ketidakadilan yang ada pada pemerintah

    kota Ambon. Bagi komunitas Muslim misalnya, pemerintah kota Ambon dinilai sebagai

    pusat dan simbol ketidakadilan terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi

    jabatan-jabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi pemerintah kota

    Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan pegawai terutama dalam jabatan-

    jabatan strategis baik birokrasi maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya

    elit birokrasi Kristen mempertahankan dominasi.40

    38 Hasil Wawancara dengan Max Tapilatu Sejarawan Senior Maluku, Minguu 22 Sptember 2014 39 Tomagola menempatkan ketidakadilan dan marginalisasi sebagai bagian dari ”bom waktu struktural” dari

    sebuah konflik, lihat, Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, (Yogyakarta, Resist Book, 2006). Gejala

    sebaliknya justru terjadi di tingkat pemerintah provinsi Maluku yang dilihat sebagai simbol dan pusat

    ketidakadilan bagi kelompok di luar Muslim. Lihat, Ibid. hlm 38 40 Ibid Tomagola hlm 13

  • 54

    a. Persoalan Mutasi Pegawai

    Aktivis Maluku Jean Latuconsina,41 menjelaskan persoalan mutasi dan penempatan

    seorang pejabat di dalam struktur Pemerintah Kota dilihat sangat tidak sesuai dari azas

    profesionalisme yang seharusnya diperhatikan, supaya tidak akan berimbas pada perasaan

    cemburu dalam birokrasi di kota Ambon. Menurut Latuconsina profesionalisme tidak lagi

    lagi ditunjukkan, akibanya saya berpendapat mutasi yang digalakan oleh Wali Kota bagi

    pejabat di Pemerintah Kota Ambon akan mendatangkan kecemburuan dari berbagai pihak

    yang sangat dalam dan kedepannya. J.L menilai, proses-proses mutasi yang menjadi

    kebijakan M.J Papilaya sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat di Kota

    Ambon pada waktu itu, karena hanya merekrut orang-orang yang mempunyai kedekatan

    agama, etnis, yang terus merupakan suatu proses mutasi yang dilakuakan dan tidak

    berdasarkan kemampuan calon birokrat yang dipilih pada jabatan-jabatan baru dalam

    birokrasi Pemkot. Saya menilai kualitas, kapabilitas tidak menjadi indikator penting di

    pemkot Ambon.

    Anggota DPRD Maluku, M.S,42 menilai kebijakan Papilaya yang menempatkan

    pegawai sangat tidak sesuai dengan bidang kerja dan keahliannya, persoalan seperti ini hanya

    akan membuat kinerja pemerintah kota tidak bisa berjalan secara maksimal, tentu saja

    persoalan seperti ini tidak akan membawa suatu perubahan yang signifikan sesuai dengan

    yang semua publik di kota ini harapkan. Kami selalu meminta supaya mutasi harus juga

    sesuai dengan bidang keilmuannya, karena kalau sesuai dengan keahlian dan bidangnya maka

    pelaksanaan pemerintahan di lingkup Kota Ambon akan berjalan dengan sangat baik,

    persoalannya ialah jika ada sebagian kepala-kepala dinas yang kita nilai tidak ditempatkan

    sesuai dengan bidang keilmuannya tentu saja akan menjadi suatu hambatan berarti dalam

    41 Hasil Wawancara dengan Jen Latuconsina Akademisi UNPATTI Jumat 19 September 2014 42 Hasil Wawancara dengan Melkianus Saridekut Anggota DPRD Maluku, Senin 23 September 2014

  • 55

    menjlankan pemerintahan, dan harapan transformasi justru akan tidak maksimal dari periode-

    periode sebelumnya.

    Untuk mengkonfirmasi persoalan-persoalan tersebut penulis berkesempatan

    mewawancarai mantan Wali Kota Ambon di kediamannya di Karang Panjang Ambon,

    menjelaskan bahwa; Perombakan birokrasi yang dilakukannya pada masa jabatannya

    bukanlah kebijakan yang mutlak dari saya, saya hanya melaksanakan semacam evaluasi

    tambahan dan itu diharuskan jika ada yang saya lihat belum begitu maksimal dan tidak sesuai

    dengan yang kita harapkan. “Perombakan ini tidaklah mutlak, waktu itu saya banyak

    melakukan semacam evaluasi pada jajaran saya setiap awal tahun kerja. Saya menolok

    pernyataan sebagian kalangan bahwa pergantian pimpinan-pimpinan SKPD pada awal

    kepemimpinannya terkesan memprioritaskan kepentingan agama dan golongan tertentu.

    Di tempat yang berbeda Mientje Tupamahu (Mantan Sekretaris Badan Kepegawaian

    Kota Ambon) era kepemimpinan M.J. Papilaya mengakatakan bahwa perlu diketahu di

    Pemkot Ambon pada waktu itu, pegawai muslim yang ada sangat minim akan Sumber Daya

    Manusia (SDM). Belum lagi dari segi kepangkatan tidak ada yang bisa dipromosikan untuk

    menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkup birokrat setempat. Hal itulah yang menjadi

    kendala bagi Wali Kota, dalam hal merekrut pejabat-pejabat yang beragama muslim untuk

    dipromosikan dalam jabatan-jabatan strategis terangnya.43

    b. Proses Penerimaan Pegawai

    Pemerintah daerah harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang sensitif dari

    segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis terhadap

    pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang dipandang penuh

    nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah kota harus melakukan serangkaian

    uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga independen dari

    43 Hasil Wawancara dengan mantan Walikota Ambon Yopi Pailaya Rabu 01 Oktober 2014

  • 56

    Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimura. Wawancara dengan para pelamar untuk

    jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif di bawah

    pantauan media.

    Kecuali harus dikonsultasikan ke publik, kebijakan rekrutmen juga harus

    mempertimbangkan komposisi perwakilan agama dan etnis untuk menghindari

    ketidakpuasan. Pada tahun 2008, misalnya, BKK meminta sebuah lembaga di Universitas

    Gadjah Mada untuk melaksanakan seleksi sistematis terhadap pelamar pegawai negeri untuk

    kota Ambon. Setelah hasilnya keluar, BKK khawatir dengan kenyataan bahwa jumlah yang

    diterima timpang ke kelompok agama tertentu. Setelah melalui debat yang panjang tentang

    bagaimana strategi terbaik untuk mengumumkan hasil tersebut ke publik, termasuk meminta

    pendapat beberapa pejabat keamanan, BKK baru berani mengumumkannya tanpa perubahan.

    Lembaga independen itu harus benar-benar bisa meyakinkan bahwa faktor penting

    yang harus dilakukan untuk menghindari ketidakpastian justru membeberkan hasilnya

    seobjektif dan seterbuka mungkin.44 Kasus ini juga merupakan ujian apakah publik di Ambon

    pada akhirnya bisa menerima kriteria profesionalisme dalam seleksi pegawai negeri di Kota

    Ambon.

    Pemerintah Kota Ambon harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang

    sensitif dari segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis

    terhadap pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang

    dipandang penuh nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah harus melakukan

    serangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga

    independen dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimur. Wawancara dengan para

    44 Ketua Badan Kepegawaian Kota Ambon mengatakan bahwa komposisi agama diantara pegawai negeri di

    Ambon masih merupakan faktor pertimbangan penting. Setelah berulangkali melakukan cek ulang

    terhadap hasil-hasil seleksi dan berkonsultasi dengan aparat keamanan, dia mengaku baru lega setelah

    pengumuman ditempel dan tidak banyak protes dari publik. Wawancara dengan Romeo Soplanit, Mantan

    Ketua Badan Kepegawaian Kota Ambon, Rabu 01 Oktober 2014.

  • 57

    pelamar untuk jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif

    di bawah pantauan media.

    Seperti yang telah diutarakan di atas, salah satu akibat langsung dari konflik komunal

    pada tataran birokrasi adalah runtuhnya asumsi-asumsi dasar model birokrasi Weberian yang

    akhirnya berakibat pada kegagalan pemerintah kota dalam menjalankan fungsi pelayanan.

    Perkembangan pada era ini mengindikasikan bahwa birokrasi telah menjadi arena perluasan

    konflik. Dalam berbagai kesempatan, Papilaya berulang kali mengungkapkan kesan awal

    ketika ia pertama kali memasuki Kantor Walikota Ambon bahwa secara kasat mata kantor

    Wali Kota Ambon menjadi bukti terjadinya apa yang disebut sebagai fenomena etnic-

    captured atas birokrasi.45 Hal ini telah menyebabkan fungsi pelayanan publik dan fungsi

    pemerintahan lainnya gagal dilaksanakan. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk

    memahami kondisi pegawai secara komprehensif. Latar belakang atau karakteristik pegawai

    adalah faktor utama dalam memengaruhi kinerja lembaga. Berikut ini akan diuraikan

    beberapa karakteristik pegawai pada Pemerintah Kota Ambon berdasarkan dimensi

    etnisitas/wilayah asal, agama yang dianut, pendidikan formal terakhir, kepangkatan/golongan,

    dan jenis kelamin, serta tingkat umur :

    Tabel 1.1: Pegawai Ambon Menurut Asal Etnis/ Wilayah

    No Asal Etnis/Wilaya Frekwensi %

    1 Ambon 445 32,22

    2 Lease 603 43,64

    3 SBB 89 06,44

    4 Buru 11 0,8

    5 Marla 38 02,75

    6 Tanimbar/MTB 80 05,79

    7 Maluku Utara 19 01,38

    8 Sulawesi 53 03,84

    9 Lain-Lain 43 03,11

    Total 1381 100,00

    45 Wawancara mendalam dengan Mantan Walikota Ambon, Kamis 02 Oktober 2014, antara lain menyebutkan

    terjadinya penggerombolan pegawai berdasarkan agama, terbentuknya pola komunikasi lintas pegawai

    yang sepenuhnya didasarkan pada kesamaan agama dan sebagainya.

  • 58

    Sumber: 29 Dinas/Kantor/Badan/Bagian Pemkot Ambon, Maret 2006.46

    Dari tabel di atas menunjukan bahwa etnis Ambon dan Lease secara kuantitas

    mendominasi jumlah etnis asal Sulawesi yang berlatar belakang agama Islam. Persentase

    jumlah pegawai yang tidak berimbang antar etnis ini juga menimbulkan kecemburuan, karena

    anak-anak asli daerah yang berasal dari Lease lebih banyak. Kebanyakan yang berlatar

    belakang etnis Lease adalah mayoritas beragama Kristen, tentu saja persentase jumlah yang

    tidak berimbang menimbulkan kecemburan dari etnis sulawesi dan Maluku utara yang

    sebagaian besar bergama Islam.

    Tabel 1.2: Pegawai Pemkot Ambon Menurut Agama

    No Agama Jumlah %

    1. Islam 200 14,48

    2. Kristen Protestan 1161 84,07

    3. Kristen Katolik 18 1,3

    4. Lainnya 2 00,14

    Jumlah 1381 100

    Dari tabel pegawai Pemkot menurut agama komunitas Kristen Protestan lebih

    mendominasi dari segi kuantitas. Situasi seperti ini tentu saja menimbulkan persepsi negatif

    publik atas posisi kantor Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) yang sudah terbentuk sejak lama,

    yakni sebagai institusi yang dikuasai komunitas Kristen. Dalam situasi konflik yang sangat

    mendalam, fakta bahwa mayoritas staf Pemerintah Kota Ambon beragama Kristen sudah

    lebih dari cukup untuk menyimpulkan adanya penguasaan kalau tidak mau disebut monopoli

    satu kelompok atas kelompok lainnya. Hal ini menempatkan Pemerintah Kota Ambon secara

    simbolik sebagai salah satu sumber ketidak-adilan yang merupakan salah satu akar

    permasalahan konflik.

    46 Sumber: 29 Dinas Kantor Badan Bagian Pemkot Ambon, Maret 2006,

    http://www.batukarinfo.com/sites/default/files/Ambon%20SKJ%20Lengkap.pdf

  • 59

    3.6 Persoalan perimbangan antara dua komunitas di Universitas Pattimura Ambon:

    Di Universitas Pattimura (UNPATTI) misalnya, jumlah pejabat yang beragama

    Krsten jauh lebih besar. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan jumlah guru besar dan sarjana

    dalam berbagai strata yang menyebar pada berbagai fakultas dan bagian (jurusan) maupun di

    lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, serta pusat-pusat studi. Hal ini wajar karena

    umumnya orang-orang Ambon yang beragama Kristen lebih memilih berorintasi ke

    Perguruan Tinggi, karena di tempat ini mereka lebih berpeluang mengembangkan karir dan

    karyanya sebagai ilmuan dan pendidik.47

    Tidak hanya itu, di kalangan pemuda dan mahasiswa pun sejak reformasi digulirkan

    telah terjadi polarisasi kepentingan kelompok yang semakin menguat. Penentuan jabatan

    rektor dan pembantu rektor, serta jabatan dekan di fakultas-fakultas menjadi sangat politis

    dan dianggap sebagian dari proses kekuasaan. Muncul kubu-kubu yang saling berseberangan

    dan mulai mempersoalkan relasi antar subjek dengan mengambil latar pebedaan Islam dan

    Kristen. Presentase dosen pun dipersoalkan dan akhirnya mereka mulai mengambil jalan

    keluar dengan melakukan perimbangan menurut agama.48

    Melihat krisis leadership yang sedang terjadi dalam struktur fakultas ekonomi

    UNPATTI, berdampak juga pada seluruh aktivitas kuliah UNPATTI. Persoalannya adalah

    berlarut-larutnya pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi yang dianggap sangat tidak sesuai

    dengan “Perjanjian Malino” yang sudah menjadi kesepakatan bersama pada waktu proses

    penyelesaian konflik kekerasan di Ambon 11 tahun silam. Dalam point ke 11 perjanjian

    malino tersebut berbunyi (mendukung rehabilitasi UNPATTI dengan asas untuk kemajuan

    bersama di Maluku, oleh sebab itu rekrutmen yang dilaksanakan secara terbuka dengan asas

    keadilan dan harus memenuhi syarat dan kualitas yang sudah ditentukan). Namun maksud itu

    diabaikan oleh oknum calon dekan dari salah satu kelompok ini, dalam menghambat karena

    47 Ibid John Pires, Tragedi Maluku Sebuah Krisis Peradaban hlm 171 48 Hasil Wawancara dengan Akademisi Unpatti Agus Siahaya Jumat 04 Oktober 2014

  • 60

    tidak ingin memberi kesempatan untuk kelompok yang lain dalam medapatkan ruang untuk

    pencalonan sebagai dekan Fkultas Ekonomi Universitas Pattimura. Persoalan ini diperkeruh

    dengan perkataan yang terdengar sangat rasial dan hal itu dikatakan dari salah satu kandidar

    Dekan, bahwasanya oknum yang mencalonkan dirinya sangat tidak pantas memimpin

    fakultas ekonomi di UNPATTI, karena alasan perbedaan agama.49

    Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon Abdul Aziz Rumain

    mengatakan, pertikaian tidak akan berlangsung jika pihak Rektorat menampung aspirasi

    sejumlah mahasiswa yang berpedoman pada akta perjanjian malin, yang menjelaskan harus

    ada suatu pemerataan dalam penerimaan mahasiswa baru di UNPATTI. Kenyataannya,

    pemerataan antara du komunitas agama tidak terjadi pada penerimaan mahasiswa baru pada

    waktu itu. Tentu kami sangat kecewa tentunya. Pemerataan dalam proses perjanjian malino

    ini juga. Saat itu kami sangat kecewa dengan proses pemilihan pembantu Dekan di program

    studi Fakultas Ekonomi. Peru diketahui proses Perjanjian malino 1999 adalah suatu

    perjanjian dalam merajut kedamaian dalam menyudahi konflik kekerasa di Maluku.50

    Mantan Ketua GMKI E.W Cabang Maluku ketika diwwancarai51 menjelaskan

    persoalan ini akibat dari tidak berimbangnya komposisi agama dan etnis mahasiswa yang

    ditunjukan oleh pihak rektorat dan jajarannya. Menurutnya jumlah mahasiswa yang diterima

    di UNPATTI tidak berimbang. Bahkan presentasenya sangat jauh. Begitu juga dalam

    lembaga mahasiswa. Akibatnya satu kelompok sanagt menjadi mendominasi di lingkup

    kampus. Realisasi proses perjanjian malino setelah konflik kekerasan Ambon tidak

    dilaksanakan pihak kampus. Bentuk-bentuk ketidakadilan akan satu komunitas kembali terus

    dilakukan.

    49 http://iainambon.wordpress.com/2010/03/25/rusuh-di-fakultas-ekonomi-unpatti-ambon/ 50 Hasi Wawancara dengan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon Abdul Aziz Rumain,

    Selasa 05 Oktober 2014 51 Hasil Wawancara dengan Evandro Wattimury,Mantan Ketua GMKI Cabang Maluku Rabu 06 Oktober 2014

  • 61

    Selanjutnya penulis juga mencoba mewawancarai beberapa tokoh-tokoh sentral

    perdamaian di Maluku untuk mengkofirmasi persoalan yang terjadi di lembaga tersebut:

    Salah seorang deklarator dalam perjanjian Malino, Tony Pariella52 menjelaskan, point 11

    dalam proses perjanjian malino sama sekali tidak mengatakan harus adanya pemerataan

    dalam perekrutan Mahasiswa maupun pegawai-pegawai dalam birokrasi. Pariela mengatakan

    point 11 dalam perjanjian malino berbunyi mendukung proses rehabilitasi UNPATTI dengan

    prinsip dengan asas kemajuan bersama antara dua komunitas agama maupun suku, untuk itu

    perekrutan harus dilakukan secara taransparan dalam prinsip yang harus tetap

    menjunjung proses keadilan dan tetap memenuhi syarat-syarat dan kualitas yang ditetapkan.

    Saya melihat isu pemerataan sengaja dipakai sebagai alat politisasi dan persoalan ini

    jika terus terjadi akan menyebabkan krisis dalam masyarakat Maluku sebagai putera Maluku.

    Pariela juga menekankan bahwa perimbangan bukan lagi hal yang relevan sehingga kini

    saatnya anak-anak muda di Maluku beeupaya dalam upaya peningkatan kualitas supaya dapat

    berkopetisi di daerah ini untuk perkembangan dan kemajuan di daerah ini. Menurut

    akademisi UNPATTI ini dalam mengelola keragaman untuk itu diperlukan kapabilitas yang

    harus teruji dalam proses kebijakan publik dan peran aktif dari para tokoh-tokoh masyarakat.

    Pariela menjelaskan norma-norma hidup dalam komunitas masyaraka di daerah ini

    perlu diketahui tidak mengenal tirani atau mayoritas maupun minoritas dalam proses saling

    mendominasi. Untuk itu menurut Pariela, proses kebersamaan merupakan hal penting sebab

    semua manusia berkedudukan yang sama dalam proses hukum dan sesuai dengan UUD 1945,

    itu tidak ada perbedaan dan tidak akan ada proses pendekatan dalam setiap kebijakan maupun

    di mana komunitas yang di bawah diperlakukan secara tidak adil, dilupakan dan sengaja

    dihina dan diperlakukan sama dengan hak yang sama. Periela mengatakan proses-proses

    kebijakan publik dan mengutamakan keadilan, mengutamakan perbedaan, dan

    52 Hasil Wawancara dengan Akademisi Unpatti Prof Tony Pariela, Kamis 09 Oktober 2014

  • 62

    mengutamakan pemerataan, proses seperti ini paling tidak bisa mengurangi timbulnya konflik

    dalam masyarakat sosial.

    Tokoh Perdamaian Maluku Tamrin Ely,53 Menjelaskan Daerah Maluku setelah

    konflik tidak lagi mempersoalkan perimbangan untu harus ditetapkan untuk menjadi pilihat,

    tetapi harus melihat pada kualitas seseorang yang dikedepankan. Kalau masyarakat di

    Maluku terus memperhitungkan proses perimbangan, maka saya melihat kualitas dan

    kapabilitas pemimpin di Maluku cepat atau lambat akan mengalami kemunduran. Dengan

    begitu Maluku tidak akan berkembang sampai kapanpun. Saya melihat strukur birokrasi di

    Maluku masih saja melihat mempertimbangkan isu perimbangan yang diupayakan di atas

    semuanya dan menjadi ukuran. Akhirnya saya melihaat banyak banyak figur-figur yang

    berkompeten tidak perana akan bisa memperoleh jabatan penting dan dianggap strategis

    dalam proses membangun daerah Mauku. Saya melihat bahkan dengan terjadinya konflik

    kekerasan persoalan ini dilihat sebagai salah satu faktor pemicu.

    Hal yang sama juga dikatakan M.T,54 yang juga seorang budayawan di Maluku

    menagatakan semua komunitas masyarakat di Maluku harus mempunyai sikap berjiwa besar

    supaya dapat meninggalkan sikap yang selalu cemburu karena terus berada dalam diri

    komunitas masyarakat di Maluku. Sikap tersebut merupakan sikap kurang baik dan selalu

    menjadi suatu alasan untuk memicu terjadinya konflik kekerasan yang ditenggarai untuk

    tujuan-tujuan ekonomi, politik, dan berbagai kepentingan

    Prof M.J Pattinama,55 yang juga merupakan Akademisi Unpatti mengatakan,

    memakai persoalan perimbangan sebagai suatu alasan yang mendasar. Saya selalu

    mengatakan isu perimbanagan sudah tidak lagi cocok dengan konteks persaingan secara sehat

    di Maluku. Pattinama mengatakan masih terlihat berbagai sikap diskriminasi dalam struktur-

    struktur yang berada dalam lingkup pemerintah maupun perguruan tinggi, namun persoalan

    53 Hasil Wawancara dengan Tokoh Perdamain Maluuku Tamrin Ely, Sabtu 11 Oktober 2014 54 Hasil Wawancara dengan Budayawan Maluku Nour Tawainella, Senin 13 Oktober 2014 55 Hasil Wawancara dengan Akedemisi Unpatti Prof M.J Pattinama (Akademisi Unpatti) Rabu 14 Oktober 2014

  • 63

    ini sudah harus diangkat dan dimediasi supaya tidak terjadi ketidakadilan yang terus terjadi di

    Maluku. Saya mau mengajak semua anak muda di Maluku supaya tidak terjebak dengan

    berbagai persoalan perimbangan yang dilakukan oleh beberapa oknum-oknum tertentu, tetapi

    yang harus kita lakukan adalah bagaimana memajukan kapabilitas dan kualitas kita supaya

    dapat bersaing secara sehat.

    Saya melihat persoalan perimbangan merupakan bagian dari modus-modus politik

    transaksional yang tidak berperan bagi peningkatan eksistensi dan kualitas anak negeri di

    daerah ini dalam mewujudkan perdamaian di bumi Maluku. Saya melihat realitas yang terjadi

    sangat memprihatikan malah justru mengakibatkan daerah Maluku tertinggal dalam karena

    berbagai kepentingan agama dan etnis dengan memakai isu perimbangan sebagai alat

    politisasi. Saya harus mengatakan kita harus berkata jujur ketika optimisme anak Maluku

    dalam membangun kehidupan lebih harmonis, toleransi dan damai yang masih tersimpan

    yang terkonstruksi karena benih-beni kecemburuan dan kebencian dan hilangnya

    kepercayaan sesama anak Maluku. Saya melihat salah satu fakta di negeri ini adalah

    penekanan pada dogmatisasi perimbangan yang bertolak dari perjanjian malino yang selalu

    menjadi bom waktu yang akan terjadi kapan saja jika ada orang-orang yang tidak

    bertanggungjawab menggunakan isu ini atas nama kelompok tertentu.

    3.7 Apakah Perebutan Kekuasaan di Sektor-Sektor Publik Menyebabkan Konflik?

    Abidin Wakano,56 direktur Antar Iman Maluku mengatakan bahwa konfik sosial di

    Maluku merupakan akibat dari permainan antara elit penguasa di dari pusat maupun di

    daerah. Terkait dari bebrbagai penyebab timbulnya tragedi di Maluku tadi, konflik sosial

    tersebut bermula dari ketidakadilan yang diberlakuakan oleh pemerintah Suharto pada masa

    Orde Baru dengan kelompok Kristen di Maluku. Tentu saja kelompok Kristen menganggap

    pemerintahan Orde Baru tidak menyalurkan kekuasaan dalam pemerintahan di Maluku

    56 Wawancara dengan Abidin Wakano (Direktur Antar Iman Maluku), Sabtu 04 Oktober 2014

  • 64

    khususnya Ambon kepeda kelompok Kristen secara tidak adil, akibatnya keterwakilan

    komunitas Kristen tidak sepadan dengan jumlah mereka yang relatif berimbang dengan

    populasi Muslim di wilayah Ambon. Waktu zaman Orde Baru keanggotaan dalam organisasi

    Islam tertentu memberikan jaminan kepada para anggotanya di Ambon untuk bisa

    memenangkan berbagai kompetisi dalam koteks perebutan jabatan administratif maupun

    politik dalam pemerintahan. Tentu yang didasarkan pada kepentingan agama ini akan

    membuat kelompok Kristen di Ambon terpinggirkan dalam pemerintahan.

    Selanjutnya Uskup Diosis Amboina, mengatakan 57 permainan politik agama dalam

    kepentingan ekonomi dan politik mengakibatkan masyarakat menjadi sangat tersegregasi dan

    dan terpolarisasi menjadi komunitas agama dan sukunya. Pada waktu muncul Isu

    Pengkristenan dan Pengislaman sebagai “musuh masing-masing agama” akibatnya hidup

    orang basudara di Maluku lebih dilihat sebagai persaudaraan dalam hubungan dengan

    kepentingan politik-ekonomi, bukan hubungan persaudaraan dilihat sebagai masyarakat

    Maluku.

    H.S,58 Konflik Ambon dimulai dengan pertentangan antar kedua komunitas pada

    waktu keadaan ekonomi-politik pemerintah yang tidak bagus dalam birokrasi pemerinth,

    pertentangan ini kemudian dilihat sebagai sebuah perseteruan antar penmeluk agama Islam-

    Kristen. Persoalan seperti ini memang sangat sulit dihindari, mengingat mereka yang ikut

    terlibat dalam pertikaian telah memanipulasi simbol-simbol agama untuk dijadikan identitas

    kelompok masing-masing agama. Yang lebih bahayanya lagi, para elit-elit ini kemudian ikut

    memanfaatkan simbol tersebut untuk memicu sentimen dari setiap kelompok agama masing-

    masing.

    57 Hasil Wawancara dengan Uskup Diosis Amboina (Rohaniwan Katolik), Sabtu 04 Oktober 2014 58 Hasil Wawancara dengan Hasbollah Toisuta Dosen STAIN Ambon Senin 06 Oktober 2014

  • 65

    Studi dari Dr. G. Van Klinken,59 dengan memakai analisis sosiologis dan bertolak

    dari masyarakat dia menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Ambon tidak bertolak dari

    primordial kha Durkheim akan tetapi konflik sangat bertendensus instrumentalis. Kata kunci

    yang dipakai oleh Klinken adalah patron-klien bahwa elit-elit lokal di Ambon sangat korup

    dan saling berkompetisi untuk memperoleh jabatan dalam pemerintahan dan jata-jata

    pembangunan, yang menarik orang-orang tertentu dalam suatu komunitas masyarakat dengan

    cara membagi-bagi rejeki sehingga pola patron client menjadi penyambung antara negara dan

    komunitas masyarakat di Maluku. Dengan pola patron-client itu juga elit Kristen dan Islam

    di kepulauan maluku dapat memobilisir berbagai lapisan masyarakat untuk saling

    menghancurkan demi kepentingan dan kekuasaan bagi elit-elit tersebut.

    Konflik Sosial di Maluku menurut Gerry Van Klinken karena persaingan politik-

    ekonomi yang ada kaitannya dengan clientalism. Seperti terjadi dalam pemilu 1997 di

    Kepulauan Maluku. Penghitungan suara memperlihatkan bahwa PDIP cabang Ambon

    menang mutlak dan menggusur partai-partai berlatar belakang Islam. Pada waktu itu PDIP

    Ambon sesungguhnya merupakan unsur Parkindo dalam PNI dan kemenangan itu dilihat

    sebagai kemenangan politikus Kristen. Perwakilan-perwakilan dari MPR dan DPR yang di

    angkat juga dari orang-orang dari komunitas Kristen. Kemenangan PDIP Ambon tersebut

    dianggap elit Muslim sebagai ancaman bagi mereka dalam birokrasi di Maluku.

    Kasus-kasus yang memakai isu SARA, di antaranya adalah Kasus kerusuhan di

    Maluku terkhususnya di beberapa wilaha di Ambon, yang sesungguhnya bukanlah kekerasan

    atas nama agama murni, namun dimulai dengan persaingan politik-ekonomi antar-suku dalam

    birokrasi yang kemudian dimaknai sebagai pertentangan antara kedua komunitas penganut

    59 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil , Jakarta: Yayasan Obor, 2007.

  • 66

    agama. Konflik semakin mengeskalsi ketika didukung dengan kerja crusade, akibatnya tensi

    konflik dan kekerasan semakin memanas.

    Tamrin Amal Tomagola,60 menjelaskan bahwa sesugguhnya konflik yang terjadi di

    Maluku dipicu oleh ketidakadilan politik dan ekonomi kemudian masuk ke rana agama, yaitu

    kelompok Kristen (lokal Ambon) dan kelompok Islam (pendatan Bugis, Buton, Makasar).

    Kelompok yang dibilang sangat menguasai jaringan perdagangan dan di pasar-pasar dan juga

    jabatan strategis dalam pemerintah di Maluku. Hal tersebut mengakibatkan kelompok Kristen

    lokal Ambon menyimpan rasa tidak suka dan bahkan memiliki persepsi bahwa sudah terjadi

    penghijauan “baca: islamisasi” di tingkat pemerintah Orede Baru, yang hal ini dianggap

    membuat kesenjangan di maluku antar dua komunitas agama.

    Dalam menjelaskan penyebab begitu mudahnya kekerasan menyebar kita perlu

    melihat sejarah kemasyarakatan di Pulau Ambon. Awal tahun 1980, dengan kebijakan

    Migrasi Akib sebagai Gubernu Maluku memasukan banyak sekali migran di wilayah

    kepulauan Maluku untuk memenuhi produksi bidang pertanian. Banyak migran yang

    didukung oleh Akib di daerah ini dalam waktu sekejab menguasai bidang pertanian dan

    perekomomian, mereka adalah masyarakat Buton, Bugis, Makasar kemudian menjadi

    komunitas sosial baru yang dalam waktu cepat bisa meningkatkan akslerasi ekonomi di

    komunitas mereka. Dalam waktu singkat mereka mengisi kios-kios di pasar-pasar wilayah

    sektoril di pasar Mardika. Persoalan ini menjadikan kelompok ekonomi baru di wilayah

    Ambon.61

    60 Thamrin A. Tomagola, Ambon Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, Prolog

    Buku Suara dari Ambon, YAPPIKA, Jakarta, 2003. Hlm 23 61 Ibid Pattikaihatu, J. et. al, 200, hlm 37