BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. HASIL … · 2017. 7. 14. · kelengkapan DPR yang...

28
26 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. HASIL PENELITIAN A. Perbandingan DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia Dengan Lembaga Perwakilan Negara Lain 1) DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut latar belakang pemikiran pembuat UUD 1945 merupakan wadah wakil-wakil partai politik (parpol) hasil pemilu. Tetapi tidak semua orang masuk parpol sehingga DPR tidak mewakili “seluruh” rakyat. 1 Namun, sebenarnya didalam UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa keanggotaannya dipilih melalui sebuah pemilihan umum. 2 Hal inilah yang menimbulkan penafsiran sepihak oleh setiap rezim yang berkuasa di Indonesia untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat tersebut. Inilah konstruksi rancang bangun perwakilan rakyat dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945. 3 1 T.A Legowo dkk, Lembaga Perwakilan di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Op.Cit., h.17. 2 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 154. 3 Charles Simabura, Parlemen Indonesia, Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm.4.

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. HASIL … · 2017. 7. 14. · kelengkapan DPR yang...

  • 26

    BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1. HASIL PENELITIAN

    A. Perbandingan DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia

    Dengan Lembaga Perwakilan Negara Lain

    1) DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut latar belakang

    pemikiran pembuat UUD 1945 merupakan wadah wakil-wakil partai

    politik (parpol) hasil pemilu. Tetapi tidak semua orang masuk parpol

    sehingga DPR tidak mewakili “seluruh” rakyat.1

    Namun, sebenarnya didalam UUD 1945 tidak menyebutkan secara

    eksplisit bahwa keanggotaannya dipilih melalui sebuah pemilihan

    umum.2 Hal inilah yang menimbulkan penafsiran sepihak oleh setiap

    rezim yang berkuasa di Indonesia untuk mengisi lembaga perwakilan

    rakyat tersebut. Inilah konstruksi rancang bangun perwakilan rakyat

    dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945.3

    1 T.A Legowo dkk, Lembaga Perwakilan di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan

    Setelah Perubahan UUD 1945, Op.Cit., h.17.

    2Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu

    Populer, 2007), hlm. 154.

    3Charles Simabura, Parlemen Indonesia, Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta:

    Rajawali Press, 2011), hlm.4.

  • 27

    Di negara kita DPR pernah pula menikmati masa jayanya dalam

    demokrasi liberal. Akan tetapi semenjak pertengahan tahun enam

    puluhan dengan berakhirnya Orde Lama orang semakin sedikit yang

    mengenal badan politik ini. Dewasa ini kita mengenal Parlemen (DPR)

    sebagai badan politik yang sering dilecehkan publik.4

    Keinginan untuk menjadikan parlemen Indonesia menjadi dua

    kamar dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa selama ini aspirasi

    dan kepentingan politik yang tercermin di DPR lebih mengemuka

    dibandingkan dengan aspirasi dan kepentingan territorial atau

    kedaerahan. Keinginan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah pun

    makin menguat, karena diharapkan dapat menyalurkan aspirasi dengan

    basis sosial yang lebih luas.5

    Jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR,

    maka kewenangan DPD yang sangat lemah seolah-olah memang

    dikondisikan sedemikian rupa sehingga pengaturan terhadap kedua

    lembaga cenderung diskriminatif. Apalagi wacana utamanya adalah

    penguatan fungsi kelembagaan DPR.

    Pengaruh DPR yang sangat dominan menjadikan pola pemisahan

    kekuasaan lembaga pemerintahan tidak berjalan sebagaimana

    mestinya. Kondisi yang timpang tersebut menyebabkan tidak

    berjalannya prinsip checks and balances antar lembaga negara. Prinsip

    4 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Dalam Era Pemerintahan Modern-

    Industrial, Rajawali PERS, Jakarta, 1995, hlm.1.

    5Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

    Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta,2006 , hlm.138.

  • 28

    cheks and balances melingkupi ketiga pilar kekuasaan, yaitu eksekutif,

    legislatif, dan yudikatif dimana selama Orde Baru boleh dikatakan

    tidak pernah ada.6

    2) Lembaga Perwakilan di Negara Lain

    a. Lembaga Perwakilan di Amerika Serikat

    Badan legislatifnya dinamakan Congress dan terdiri dari dua kamar

    yaitu Senate dan House of Representative. Pembuat Undang-Undang

    Dasar merasa bikameralisme sebagai salah satu dari sejumlah

    mekanisme untuk menjaga terhadap bahayanya pemusatan kekuasaan.

    Untuk Senate adalah untuk mengawasi House dan untuk itu harus

    memiliki kekuasaan yang sama secara substansial.7

    Banyak ahli yang mengatakan bahwa Senate Amerika Serikat

    dalam parlemennya mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari

    House of Representative. Hal tersebut dapat dilihat karena Senate

    secara umum merupakan suatu badan legislatif, tetapi kadang-kadang

    menjadi badan eksekutif atau badan yudikatif.8

    Sementara cabang lain dari legislatif, yang biasa disebut dengan

    House of Representative, tidak mempunyai bagian dalam administrasi

    6Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi, LP3ES,

    Jakarta, 2007, h.65.

    7 Sulaiman, King Faisal, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen

    Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h.52-54.

    8 Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,

    Rajawali Press, Jakarta, 2005, h.57.

  • 29

    apapun dan hanya mempunyai kekuasaan yudikatif, seperti

    memberhentikan pejabat-pejabat publik sebelum Senate.9

    Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa badan

    legislatif di negara Amerika Serikat tidak memiliki lembaga pengawas

    yang dibentuk sendiri seperti halnya MKD yang merupakan lembaga

    pengawas yang dibentuk sendiri oleh DPR. Lembaga legislatif di

    Amerika Serikat (Senate dan House of Representative) menjalankan

    “check and balances system” dalam menjalankan fungsinya,

    walaupun dalam kenyataannya Senate lebih berperan dominan

    daripada House of Representative.

    b. Lembaga Perwakilan di Inggris

    Struktur organisasi parlemen Inggris adalah bicameral yang terdiri

    dari Majelis Rendah (House of Commons) dan Majelis Tinggi (House

    of Lords). Majelis Rendah diangkat berdasarkan keturunan dan

    Majelis Tinggi diangkat berdasarkan pemilihan yang demokratis.10

    Fungsi House of Lords selain dalam proses legislatif, adalah

    sebagai public debate atau pembahasan publik. Debate dalam lembaga

    ini tidak terikat/tergantung dengan pemerintahan yang berkuasa, yang

    biasanya anggota parlemen (House of Commons) lebih mendukung

    partai pemenang dalam kamar tersebut. Debate dalam House of Lords

    9 Sulaiman, King Faisal, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen

    Indonesia, Op.Cit., h.59.

    10 Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,

    Op.Cit., h.58.

  • 30

    berbeda dalam cara membahas dalam House of Commons sehingga

    lebih memberikan pengaruh tersendiri bagi pemerintah.11

    Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa Parlemen

    negara Inggris tidak memiliki lembaga pengawas yang dibentuk

    sendiri, seperti halnya MKD yang dibentuk sendiri oleh DPR. Dalam

    parlemen Inggris sangat terlihat perbedaan kekuasaan yang dimiliki

    antara kamar satu dengan kamar lainnya (House of Commons dan

    House of Lord). Majelis Tinggi (House of Lord) memiliki pengaruh

    yang lebih besar terhadap pemerintah dibandingkan dengan Majelis

    Rendah (House of Commons).

    c. Lembaga Perwakilan di Filipina

    Parlemen Filipina dinamakan Congress/Kongreso. Congress/

    Kongreso Filipina terbagi dalam dua kamar, yang dinamakan Senate/

    Senado (upper house) dan House of Representative/Kapulungan Ng

    Mga Kinatawan (lower house).12

    Dalam proses legislasi Senate Filipina mempunyai kedudukan

    yang sama dengan House of Representative. Ini dapat terlihat dalam

    Konstitusi Filipina, yang terdapat dalam Article VI, sec. 27 (1).

    Walaupun keduanya memiliki kedudukan yang sama , akan tetapi,

    11 Sulaiman, King Faisal, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia,

    Op.Cit., h. 60-61.

    12Ibid, h.78.

  • 31

    setiap kamar mempunyai kekuasaan yang ekslusif dari kamar

    lainnya.13

    Untuk Senate mempunyai kekuasaan yang ekslusif dalam

    meratifikasi treaty, sedangkan untuk House of Representative

    memulai dalam hal mengusulkan RUU yang berkaitan dengan

    keuangan (bills on appropriation, revenue or tariff bills, bills

    authorizing increase of public debt, bills of local application, and

    private bills).14

    Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa Parlemen Filipina tidak

    mempunyai lembaga pengawas yang dibentuk sendiri seperti halnya

    MKD yang merupakan lembaga pengawas yang dibentuk sendiri oleh

    DPR. Terlihat bahwa Parlemen Filipina juga menggunakan “check

    and balances system” yang sama dengan Parlemen Amerika Serikat.

    Perbedaannya adalah terkait peran antara kamar satu dengan kamar

    lainnya, jika Parlemen Amerika terlihat bahwa Senate lebih dominan

    daripada House, maka Parlemen Filipina tidak ada yang lebih

    dominan antara Senate dan House.

    B. Kinerja DPR Pada Saat Kehadiran BK

    Kinerja DPR RI setelah hadirnya lembaga pengawas BK tetap

    saja tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dan dapat

    dikatakan masih buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan

    13Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,

    Op.Cit., h.118. 14 Ibid, h.119.

  • 32

    gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR

    yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan.

    Terungkapnya beberapa kasus tindak pidana korupsi oleh

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota

    DPR menunjukkan bahwa kontrol internal di DPR tidak berfungsi

    efektif. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran nilai moral dan kode

    etik lain seperti perselingkuhan, pelecehan seksual, jalan-jalan ke

    luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional

    dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya, maupun dugaan

    gratifikasi.

    BK merupakan perisai untuk menghindari kekuasaan DPR dari

    berbagai bentuk penyimpangan, tapi nyatanya BK tidak mampu

    menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal DPR.

    Ketidakmampuan BK dalam menjaga citra anggota DPR dapat

    disebabkan beberapa faktor, antara lain:15 1. Lemahnya Kerangka Yuridis BK

    BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang

    mengekang. Posisi BK ditetapkan sebagai pengawas internal

    yang pasif karena tidak wewenang untuk menjalankan kerja-

    kerja inisiatif. Dalam tata tertib DPR, Badan Kehormatan

    baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu

    adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan

    pelanggaran kode etik anggota DPR, dan jika ada perintah dari

    15 Efektivitas Badan Kehormatan DPR, http://dokumen.tips/documents/efektivitas-badan-

    kehormatan-dpr.html, dikunjungi pada 13 Mei 2016 hlm. 2-4, Pukul 09.01.

    http://dokumen.tips/documents/efektivitas-badan-kehormatan-dpr.htmlhttp://dokumen.tips/documents/efektivitas-badan-kehormatan-dpr.html

  • 33

    pimpinan DPR. Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki, BK

    tidak dapat bertindak apapun meski pelanggaran kode etik itu

    dilihat atau diketahui langsung oleh BK. Hal itu membuat

    fungsi pencegahan tidak dapat dijalankan oleh BK.

    2. Posisi BK tidak Independen

    Keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR sendiri

    menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara

    mandiri tanpa intervensi. Pasal 57 tata tertib DPR mengenai

    pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi

    fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang

    ditempatkan di BK. Minimnya independensi dan kondisi yang

    rentan campur tangan fraksi membuat keputusan BK sering

    tebang pilih.

    Contohnya adalah dengan membandingkan kasus

    anggota DPR Azzidin yang dilaporkan ke BK karena kasus

    surat kop Partai Demokrat yang dikirimkan ke Konsul Haji Di

    Jeddah, berkaitan dengan percaloan pemondokan haji

    dankatering. Hanya dalam waktu 6 minggu putusan sudah

    dibuat. Padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya

    berupa kutipan di media masa.

    Sementara dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung

    Laksono terkait dengan safari Ramadhan yang dilakukannya,

    bukti yang disampaikan sudah sangat jelas namun BK justru

  • 34

    membekukan kasus tersebut. BK menyatakan tidak ada

    persoalan dalam kasus Agung karena buktinya tidak otentik,

    padahal ada bukti rekaman dari 3 daerah pada saat Agung

    bersafari.

    3. Kaburnya Pengertian Kode Etik di Lingkungan DPR

    Di DPR tidak ada definisi yang konkret dan operasional

    atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Menurut

    ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai

    pelanggaran kode etik identik dengan pengertian hukum

    mengenai pelanggaran pidana. Hal itu menyebabkan Badan

    Kehormatan terkesan harus menunggu proses hukum bagi

    anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum

    memutuskan sanksi.

    Contohnya adalah kasus dugaan suap Bank Indonesia

    yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode

    1999–2004. BK tidak dapat menjatuhkan sanksi pada anggota

    DPR yang terlibat sampai putusan pengadilan dijatuhkan pada

    mereka.

    Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang

    melibatkan partai berkuasa, BK sulit untuk bersikap adil. Tapi

    bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota

    saja, BK dapat mengambil putusan yang besar, bahkan sampai

    memecatnya dari keanggotaan DPR.

  • 35

    Ketidakaktifan BK seakan membiarkan anggota DPR

    melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode

    etik DPR. Hal ini menyebabkan kinerja BK menjadi tidak

    efektif.

    Jangankan mengawasi anggota DPR dari tindak korupsi,

    mengawasi kehadiran anggota DPR dalam sidang saja tidak

    bisa. Banyak sidang-sidang DPR yang tidak mencapai kuota 2/3

    karena anggotanya banyak yang bolos sidang, atau sekedar

    tanda tangan absen lalu entah menghilang ke mana. Ada juga

    yang datang tapi kerjanya cuma main HP, baca koran, atau

    tertidur saat sidang, sampai-sampai ditegur dan membuat marah

    Presiden SBY.16

    C. Pergeseran Kedudukan Antara BK dan MKD

    Hadirnya BK sebagai alat kelengkapan DPR merupakan amanat UU

    Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD

    dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk), yang diatur lebih spesifik

    dalam pasal 98 ayat 2 huruf (g).

    Kinerja BK sebagai alat kelengkapan DPR dapat dikatakan tidak

    berhasil memperbaiki citra DPR yang dipandang buruk oleh masyarakat

    akibat berbagai kasus yang melibatkan para anggotanya.

    Seiring telah diubahnya UU Susduk menjadi Undang-Undang

    Nomor 17 Tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

    16 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Dalam Era Pemerintahan Modern-

    Industrial, Op.Cit., h.6.

  • 36

    42 Tahun 2014 (UU MD3 Saat ini), maka terjadi pula pergantian alat

    kelengkapan DPR yang diamanatkan melalui substansi UU MD3 ini.

    Pergantian alat kelengkapan DPR ini juga dilengkapi dengan

    berbagai penambahan tugas dan wewenang yang akan diemban oleh alat

    kelengkapan DPR yang baru, yaitu MKD. Hal inilah yang memicu

    timbulnya pro dan kontra terkait dengan pergeseran kedudukan antara BK

    dan MKD.

    Selain karena kewenangannya yang dinilai terlalu berlebihan terkait

    dengan pemberian izin terkait proses pemanggilan terhadap anggota DPR,

    hal yang banyak menarik perhatian masyarakat adalah pertimbangan

    dalam pembentukan MKD. Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan

    didepan hukum (Equality Before The Law), syarat izin persetujuan dari

    Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan

    berpotensi menjadi celah untuk melarikan diri dan untuk menghilangkan

    berbagai alat bukti.17

    Keberadaan MKD juga mengalami perluasan dibandingkan BK. Jika

    BK hanya pada ranah kode etik, keberadaan MKD masuk hingga pada

    ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan

    pemeriksaan.

    Penerbitan UU MD3 juga tidak dilakukan dengan menerbitkan

    naskah akademik. Padahal, naskah tersebut wajib diterbitkan baik oleh

    17 Republika News, Ini Delapan Kejanggalan MD3,

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-

    md3, dikunjungi Pada 16 Mei 2016, Pukul 11.44.

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3

  • 37

    DPR maupun Pemerintah sebelum mereka menerbitkan satu UU baru. Hal

    ini dinyatakan oleh Kuasa hukum DPD, Alexander Lay.

    Lebih lanjut ia mengatakan dalam sidang permohonan uji materi UU

    MD3 di MK bahwa DPR tidak dapat menjawab pertanyaan ini dan tidak

    dapat menghadirkan bukti bahwa mereka memang memiliki naskah

    akademik ketika membuat UU MD3.18

    Dengan tidak adanya naskah akademik UU MD3, maka tidak ada

    penjelasan lebih mendalam terkait pergeseran kedudukan alat kelengkapan

    DPR yang sebelumnya adalah BK menjadi MKD.

    D. Kinerja DPR Setelah Kehadiran MKD

    Sejak terbentuknya MKD melalui hadirnya UU MD3, kinerja DPR

    RI sama sekali tidak menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik.

    Masih banyak saja anggota DPR yang terjerat berbagai kasus hukum yang

    dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan kasus hukum yang ada pada

    saat kehadiran BK sebagai alat kelengkapan DPR.

    Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang melibatkan anggota

    DPR sejak terbentuknya MKD, yaitu sejak tahun 2014 diantaranya:

    1. Kasus Korupsi

    a. Adriansyah , Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

    (PDIP)

    18 Rumah Pemilu, UU MD3 Tanpa Naskah Akademik dan Pelibatan DPD,

    http://www.rumahpemilu.org/in/read/7321/UU-MD3-Tanpa-Naskah-Akademik-dan-Pelibatan-

    DPD, dikunjungi pada 16 Mei 2016, Pukul 12.58.

    http://www.rumahpemilu.org/in/read/7321/UU-MD3-Tanpa-Naskah-Akademik-dan-Pelibatan-DPDhttp://www.rumahpemilu.org/in/read/7321/UU-MD3-Tanpa-Naskah-Akademik-dan-Pelibatan-DPD

  • 38

    Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bali,

    Kamis 9 April 2015 malam. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan

    (MKD) Surahman mengatakan, penangkapan kader PDIP asal

    Kalimantan Tengah ini menjadi kasus dugaan korupsi pertama yang

    menimpa anggota DPR periode 2014-2019. Surahman berharap

    tindakan tegas KPK atas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang

    dilakukan Adriansyah ini menjadi peringatan bagi seluruh anggota

    DPR.

    Menurut Surahman, hingga kini status keanggotaan dan

    seluruh hak anggota Dewan masih melekat pada Ardiansyah. Hak

    sebagai anggota dewan, lanjut Surahman, akan hilang hingga ada

    vonis tetap terhadap Adriansyah.19

    19Okezone, Adriansyah Jadi Kasus Korupsi Pertama DPR Periode 2014-2019,

    http://news.okezone.com/read/2015/04/10/337/1132239/adriansyah-jadi-kasus-pertama-dpr-

    periode-2014-2019, 10 April 2015, dikunjungi pada 18 Mei 2016, Pukul 11.44.

    http://news.okezone.com/read/2015/04/10/337/1132239/adriansyah-jadi-kasus-pertama-dpr-periode-2014-2019http://news.okezone.com/read/2015/04/10/337/1132239/adriansyah-jadi-kasus-pertama-dpr-periode-2014-2019

  • 39

    b. Patrice Rio Capella, Fraksi Partai Nasdem

    Selanjutnya, anggota Fraksi Nasdem Patrice Rio Capella yang

    ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan menerima gratifikasi pada

    proses penanganan kasus bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan

    penyertaan modal sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di

    Provinsi Sumatera Utara.

    c. Dewie Yasin Limpo, Fraksi Partai Hanura

    Tak lama kemudian, Anggota Fraksi Hanura Dewie Yasin Limpo

    ditangkap tangan karena diduga menerima suap terkait proyek

    pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai.

    d. Damayanti Wisnu Putranti, Anggota Fraksi PDI-P

  • 40

    Ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait proyek di

    Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Aliran dana yang

    diterima Damayanti untuk membangun proyek infrastruktur di Maluku itu

    diduga mengalir kepada rekan-rekannya di Komisi V DPR.

    Salah satunya adalah ke Budi yang sudah ditetapkan sebagai

    tersangka setelah sebelumnya mencoba mengembalikan uang yang diduga

    hasil dari suap yang diterimanya sebesar 305.000 dollar Singapura.

    2. Kasus Kekerasan

    Di luar masalah korupsi yang ditangani KPK, ada pula berbagai kasus

    hukum terkait dugaan kekerasan yang dilakukan anggota DPR.

    a. Mustafa Assegaf

    Anggota Komisi VII Mustafa Assegaff melakukan

    pemukulan terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi.

    Pemukulan itu terjadi di sela-sela rapat Komisi VII DPR dan

    Menteri ESDM.

    Mustafa kesal karena Mulyadi tak mengizinkannya bicara

    lama dalam rapat. Mahkamah Kehormatan Dewan sudah

    memvonis Mustafa melakukan pelanggaran kode etik berat dan

    memberikan sanksi skorsing selama tiga bulan dari DPR.

    b. Masinton Pasaribu

  • 41

    Anggota Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu juga sempat dilaporkan

    ke MKD dan kepolisan atas tuduhan penganiayaan stafnya, Dita

    Aditia. Namun, belum jelas kebenaran kasus ini, Dita sudah mencabut

    laporannya baik di MKD maupun kepolisian.

    LBH Apik yang semula menjadi kuasa hukum Dita, mengatakan,

    kliennya mendapat tekanan dari Masinton untuk mencabut laporan

    tersebut.

    c. Ivan Haz

    Selanjutnya, Anggota Fraksi PPP Ivan Haz yang dituduh

    menganiaya pembantu rumah tangganya. Kasus Ivan ini juga

    diproses baik oleh kepolisian dan mahkamah kehormatan dewan.

    Di kepolisian, putera mantan Wakil Presiden Hamzah Haz ini

    sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan.

    Adapun MKD sudah membentuk panel yang artinya jika

    terbukti bersalah, Ivan terancam sanksi berat mulai dari skorsing da

  • 42

    pemecatan. Selain masalah kekerasan, Ivan juga sempat terjaring

    operasi narkoba di Kompleks Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta.

    Namun, berdasarkan tes urin, Ivan negatif.

    3. Kasus permufakatan jahat

    Kasus lainnya, Kejaksaan Agung tengah memproses dugaan

    permufakatan jahat yang menyeret nama Ketua Fraksi Golkar Setya

    Novanto. Dalam kasus ini, Novanto bersama pengusaha minyak Riza

    Chalid diduga meminta sejumlah saham kepada Presiden Direktur PT

    Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

    Permintaan saham itu dilakukan dengan mencatut nama Presiden Joko

    Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebelum Kejagung, MKD juga

    sudah menangani kasus ini. Seluruh hakim MKD menyatakan Novanto

    melanggar kode etik dan membuatnya mundur dari posisi Ketua DPR RI.

    Selain berbagai permasalahan diatas, Setya Novanto juga masih

    banyak terlibat dalam kasus hukum lainnya. Rekam jejak Setya Novanto

    dapat kita lihat pada gambar dibawah ini:

  • 43

  • 44

    4. Kasus kesusilaan

    Pada Senin 26 Oktober 2015, Arzetti Bilbina Huzaimi Setiwan

    tertangkap sedang berada di kamar Hotel Arjuna di Lawang, Kabupaten

    Malang, Jawa Timur bersama Dandim Sidoarjo Jawa Timur Letkol Kav

    Rizeki. Keduanya lalu diamankan di Markas Denpom Divif 2 Malang.

    Arzetti Bilbina dan Dandim Sidoarjo telah membantah dirinya melakukan

    tindakan terlarang. Bahkan, Arzetti mengaku tidak pernah berduaan di dalam

    kamar, karena hanya membicarakan bantuan untuk Panti Asuhan di Sidoarjo.

    Dengan masih tingginya jumlah kasus hukum yang melibatkan banyak

    anggota DPR, maka kinerja DPR pada saat kehadiran MKD juga belum dapat

    dikatakan lebih baik. Jadi, pergantian alat kelengkapan DPR yang pada

    awalnya BK menjadi MKD tidak membawa dampak positif bagi kinerja

    maupun citra DPR dimata masyarakat.

    E. Perbandingan DPR Dengan Lembaga Profesi Lainnya

    Dalam masyarakat beredar pandangan bahwa kriteria bagi suatu profesi

    adalah apakah bidang yang ditekuninya itu sebagai pekerjaan untuk hidupnya.

    Kriteria seperti ini disebut sebagai kriteria komunitas, artinya kriteria yang

  • 45

    ditentukan oleh masyarakat umum.20 Hal ini terjadi karena biasanya sebutan

    “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh

    seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut

    sebagai profesi. Termasuk DPR yang jika kita tilik lebih mendalam bukanlah

    merupakan suatu profesi.

    Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik dibandingkan

    dengan pekerjaan. Dengan kata lain, pekerjaan memiliki konotasi yang lebih

    luas dari suatu profesi. Suatu profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua

    pekerjaan adalah profesi.21

    Profesi adalah pekerjaan yang dilandasi dengan persiapan atau

    pendidikan khusus yang formil dan landasan kerja yang ideal serta didukung

    oleh cita-cita etis masyarakat. Sehingga pemegang profesi dituntut

    mengutamakan profesinya secara bertanggung jawab.22

    Lebih lanjut profesi mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan

    yang disebut sebagai profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang,

    akan tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan

    yang dikembangan khusus untuk itu.23 Dapat dikatakan bahwa sebuah profesi

    menuntut keahlian yang dimiliki para pemangkunya.

    20Munir Fuady, Profesi Mulia : Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat,

    Notaris, Kurator dan Pengurus, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h.3.

    21Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Penerbit

    Replika Aditama, Bandung, 2006, h.110.

    22Ibid, h.23.

    23Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Penerbit Kanwa

    Publisher, Yogyakarta, 2010, h.29-30.

  • 46

    Oxford Dictionary merumuskan bahwa:

    “Profession is: type of job that needs special knowledge, as medicine or

    law.”

    Pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa profesi sebagai

    suatu pekerjaan atau keahlian yang memerlukan pendidikan dan pelatihan

    yang mahir (requiring advanced education and training), mempunyai

    pengetahuan khusus, termasuk kemampuan intelektual, misalnya dokter,

    hukum, tekhnik, dan pengajar.24

    Menurut Brandeis, untuk dapat disebutkan sebagai profesi, maka

    pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukungan berupa:

    1. Ciri-ciri pengetahuan (Intellectual Character); 2. Diabdikan untuk kepentingan orang lain; 3. Keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial; 4. Didukung oleh adanya organisasi (association) profesi dan organisasi

    profesi tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang

    merupakan kode etik serta pula bertanggung jawab dalam memajukan

    profesi yang bersangkutan; dan

    5. Ditentukan adanya standar kulifikasi profesi.

    Memperluas makna profesi, Myer dalam buku karya Kartono

    Muhammad mengatakan bahwa selain memerlukan pendidikan khusus,

    profesi juga mempunyai manfaat positif bagi masyarakat, mempunyai sikap

    yang didasari sifat “Alturistic”, yaitu mengutamakan kepentingan orang lain

    (masyarakat) diatas kepentingan pribadi. Dan yang tak kalah penting adalah

    kemandirian.25

    24Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Op.Cit., h.24.

    25 Ibid, h.25.

  • 47

    Salah satu ciri profesi yang paling menonjol adalah adanya unsur

    pendukung yang menopang keberadaannya, yaitu suatu organisasi yang

    dikelola secara profesional. Organisasi profesi merupakan self-regulatory

    body yang berkewajiban menetapkan norma-norma yang melayani

    kepentingan masyarakat pengguna jasa dari profesi tersebut.26Keberadaan

    organisasi profesi dipandang penting dalam rangka melahirkan kode etik.

    Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi

    yang disusun secara sistematis.27

    Misalnya dalam profesi Notaris, ada dua lembaga yang berwenang

    untuk melakukan pengawasan terhadap notaris, yaitu Majelis Pengawas

    Notaris yang dibentuk oleh Menteri dan Dewan Kehormatan yang

    merupakan salah satu alat kelengkapan dalam organisasi notaris, dalam hal

    ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kedua lembaga tersebut

    berwenang untuk mengawasi notaris sampai dengan menjatuhkan sanksi

    bagi notaris yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-

    ketentuan yang berlaku.28

    Organisasi profesi merupakan self-regulatory body yang

    berkewajiban menetapkan norma-norma yang melayani kepentingan

    masyarakat pengguna jasa dari profesi tersebut. Jadi, keberadaan

    organisasi profesi ini dipandang penting dalam rangka melahirkan kode

    26 Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Op.Cit.,, h.108.

    27 Ibid, h.10.

    28 Informasi Hukum dan IPTEK, “Ikatan Notaris Indonesia dalam Kaitannya dengan

    Majelis Pengawas dan Kode Etik Notaris” 19 Oktober 2009,

    http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=159609803913&id=144559728756.

    Dikunjungi pada 01 Juni 2015 Pukul 08.11.

    http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=159609803913&id=144559728756

  • 48

    etik profesi. Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada

    suatu profesi.29

    Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Profesi tidak dapat dipegang

    oleh sembarangan orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui

    pendidikan dan pelatihan yang dikembangan khusus untuk itu. Dalam hal

    ini, DPR tidak memenuhi unsur tersebut, karena keanggotaan DPR dipilih

    oleh masyarakat melalui sistem Pemilihan umum (Pemilu), bukan melalui

    suatu pendidikan dan pelatihan seperti halnya yang dilakukan oleh

    organisasi profesi lainnya seperti Notaris yang harus melalui proses

    pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.

    Berdasarkan pemaparan diatas, jika kita bandingkan antara DPR dan

    lembaga profesi lainnya, seperti halnya organisasi Notaris akan memiliki

    banyak unsur yang tidak dimiliki oleh DPR sehuingga berbeda dengan

    lembaga profesi lainnya. Selain itu, jika dilihat dari segi unsur pendukung,

    ada beberapa unsur pendukung yang tidak terpenuhi oleh DPR, sehingga

    DPR sangat berbeda dengan lembaga profesi lainnya.

    II. PEMBAHASAN

    A. Kewenangan Yang Dimiliki Oleh MKD Sangat Berlebihan

    Seperti telah dikemukakan diatas, kewenangan MKD sebagai alat

    kelengkapan DPR yang juga berfungsi sebagai lembaga pengawas memang

    29 Munir Fuady, Profesi Mulia : Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat,

    Notaris, Kurator dan Pengurus, Op.Cit., h.10.

  • 49

    sangat berlebihan jika dibandingkan dengan alat kelengkapan DPR

    sebelumnya, yaitu BK.

    Hal ini terlihat jelas dengan hadirnya Pasal 245 (3) UU MD3 yang

    menyatakan bahwa:

    “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap

    anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat

    persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”

    Ketentuan pasal diatas merupakan kewenangan yang tidak dimiliki oleh BK

    sebagai alat kelengkapan DPR sebelumnya yang memiliki fungsi yang sama

    dengan MKD. Jika ditilik secara lebih mendalam, Mahkamah Konstitusi (MK)

    me-nyatakan bahwa izin tertulis dari MKD tidak tepat, MKD sebagai salah satu

    alat kelengkapan DPR merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan

    langsung apapun pada sistem peradilan pidana dan berpotensi menimbulkan

    gangguan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dari aparat

    penegak hukum. Karena, seharusnya aparat penegak hukum dalam melaksanakan

    proses peradilan, mulai dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan tidak

    boleh mendapatkan hambatan apapun.

    Selain karena kewenangannya yang dinilai terlalu berlebihan terkait dengan

    pemberian izin terkait proses pemanggilan terhadap anggota DPR, hal yang

    banyak menarik perhatian masyarakat adalah pertimbangan dalam pembentukan

    MKD. Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan didepan hukum (Equality

    Before The Law), syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya

  • 50

    tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah untuk melarikan diri

    dan untuk menghilangkan berbagai alat bukti.30

    Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengisian anggota MKD dari dan oleh

    anggota DPR pun dinilai menimbulkan konflik kepentingan.31 Untuk dijadikan

    sebagai sebuah lembaga pengawas, sudah seharusnya susunan keanggotaan MKD

    berasal dari kalangan profesional di luar DPR. Hal ini dimaksudkan agar dalam

    menjalankan tugasnya secara independen tanpa ada intervensi dari pihak lainnya,

    termasuk dari pihak DPR itu sendiri.

    Jika susunan keanggotaan MKD diisi dari anggota DPR itu sendiri, maka

    akan timbul rasa ketidakpercayaan dari berbagai pihak terhadap eksistensi dan

    independensi MKD dalam melaksanakan tugasnya terkait salah satu fungsinya

    yaitu melakukan fungsi pengawasan terhadap anggota DPR.

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewenangan MKD terkait dengan Pasal 245

    (3) UU MD3 sangat berlebihan sebagai alat kelengkapan yang juga berfungsi

    sebagai lembaga pengawas bagi DPR. Keputusan MK untuk mencabut ketentuan

    pasal ini sangat tepat agar tidak ada praktek tebang pilih dalam penegakan hukum

    di Indonesia.

    B. DPR Bukanlah sebuah Lembaga Profesi

    Berdasarkan penjelasan mengenai unsur-unsur lembaga profesi yang

    telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa DPR bukanlah

    30 Republika News“Ini Delapan Kejanggalan MD3”,

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-

    md3, dikunjungi Pada 16 Mei 2016, Pukul 11.44.

    31 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Op.Cit., h.107.

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3

  • 51

    sebuah lembaga profesi. Hal ini terlihat jelas dengan tidak terpenuhinya semua

    unsur kumulatif yang dimiliki oleh lembaga profesi lainnya.

    Seperti telah disebutkan diatas, bahwa suatu Profesi tidak dapat dipegang

    oleh sembarangan orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui

    pendidikan dan pelatihan yang dikembangan khusus untuk itu. Dalam hal ini,

    DPR tidak memenuhi unsur tersebut, karena keanggotaan DPR dipilih oleh

    masyarakat melalui sistem Pemilihan umum (Pemilu), bukan melalui suatu

    pendidikan dan pelatihan seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi profesi

    lainnya.

    Selain unsur diatas yang tidak terpenuhi, ada unsur lainnya juga yang

    tidak dipenuhi oleh DPR untuk dapat dikatakan sebagai suatu profesi. Untuk

    mengetahui unsur yang tidak terpenuhi oleh DPR, kita dapat melihatnya dalam

    tabel dibawah ini.

    NO UNSUR

    PENDUKUNG

    DPR LEMBAGA

    PROFESI

    1 Landasan

    Intelektual

    (Intellectual

    Character)

    TIDAK YA

    2 Alturistic YA YA

    3 Berorientasi pada

    keuntungan

    finansial

    TIDAK TIDAK

    4 Organisasi Profesi TIDAK YA

    5 Standar Kualifikasi TIDAK YA

  • 52

    Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa DPR hanya memiliki 2 unsur

    yang sama dengan lembaga profesi lainnya, yaitu unsur Alturistic (diabdikan

    untuk kepentingan orang banyak) dan tidak berorientasi pada keuntungan

    finansial. Sementara 3 unsur lainnya tidak terpenuhi oleh DPR.

    Jadi, dapat disimpulkan dari tabel perbandingan DPR dengan Lembaga

    Profesi diatas bahwa DPR bukanlah merupakan suatu lembaga profesi

    dikarenakan tidak memenuhi semua unsur yang harus dimiliki oleh lembaga

    profesi pada umumnya.

    C. Kehadiran MKD Sebagai Lembaga Pengawas Tidak Diperlukan Oleh

    DPR

    Dengan mengacu pada kinerja dari DPR yang tidak menunjukkan perubahan

    kearah yang makin baik, maka kinerja badan pendukung seperti alat kelengkapan

    yang dibentuk oleh DPR pun harus disoroti secara lebih kritis dan lebih mendalam

    lagi.

    Setelah alat kelengkapan DPR yang dibentuk melalui UU Susduk yaitu BK

    tidak dapat membawa dampak positif terhadap kinerja DPR karena dinilai sangat

    pasif, sehingga tidak dapat melakukan fungsi pencegahan terhadap anggota DPR

    maka hal yang sama juga terjadi pada alat kelengkapan DPR yang baru dibentuk

    nya, yaitu MKD.

    MKD memiliki tujuan awal pembentukan untuk menjaga serta menegakkan

    keluhuran martabat anggota DPR. Namun, bahkan MKD yang juga diperlengkapi

    dengan kewenangan yang sangat berlebihan seperti dalam Pasal 245 (3) terkait

  • 53

    dengan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang

    diduga melakukan tindak pidana yang harus mendapatkan persetujuan dan izin

    tertulis dari MKD, nyatanya juga tidak dapat membuat kinerja DPR jauh lebih

    baik dari sebelumnya.

    Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kasus hukum yang

    melibatkan anggota DPR. MKD yang berfungsi selaku lembaga pengawas tidak

    dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kinerja DPR semakin

    bertambah buruk. Citra negatif anggota DPR dimata masyarakat pun semakin

    tidak dapat hilang.

    Jadi, berdasarkan alasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja DPR

    sebelum dan setelah hadirnya alat kelengkapan yang baru yaitu MKD tidak

    menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, yaitu pada saat kehadiran alat

    kelengkapan DPR yang sebelumnya, yaitu BK.