BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...

48
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku- buku yang menunjang penulisan skripsi ini, A. Hasil Peneltian 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil, termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua. 1 Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik 0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut.Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan 1 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 18:45

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...

Page 1: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh

disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil

penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah

dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku

jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis

berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah

setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-

buku yang menunjang penulisan skripsi ini,

A. Hasil Peneltian

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu

Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil,

termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan

kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor

adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik

0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di

atas permukaan laut.Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada

di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 18:45

Page 2: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai

salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan

dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau

Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya

sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri

pariwisata.

Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans

Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di

wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara

rata‐rata 86,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kabupaten

Biak Numfor termasuk kategori panas

2. Asal Usul Masyarakat Biak

Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal

tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor

adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama

berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17.

Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk

penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem “w” pada

kata wiak sebenarnya berasal dari fonem “v” yang kemudian berubah menjadi

“b” sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama

Page 3: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor,

dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung

antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah

dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk

Cenderawasih itu.2

Asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama

ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata “v” iak itu yang pada mulanya

merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang

bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut

mengandung “pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan”, “orang-

orang yang tidak pandai kelautan”, seperti misalnya tidak cakap menangkap

ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas

dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu

yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan.

Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina

golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai

sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.3

2 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 20: 45

3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 21:05

Page 4: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite,

yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang

meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen

Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat

meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di

suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari

pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka

menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas

permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau

`v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh

mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang

nama itulah yang tetap dipakai.4

Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah

dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak

pada tahun 1947.5 Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga

adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi

mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau

kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada

pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah.

4 Kamma 1978:29-33

5 De Bruijn 1965:87

Page 5: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli

Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan

pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan

daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor

pada tahun 1959.6

Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah

administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa

dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah

Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-

daerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.

3. Bentuk Pemerintahan

6 http://seputarbyak.blogspot.com/2013/06/sejarah-pulau-biak-kabupaten-biak-numfor.html

Page 6: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Bentuk Pemerintahan Biak sebelum dan setelah bersama Indonesia antara lain

sebagai berikut7 :

Sejarah Periode Tahun 1526 – 1616

Pada tahun 1526 Gubernur Portugis untuk Ternate Jorge de

Menezes berangkat dari Malaka menuju Ternate. Disebabkan badai,

kapalnya terdampar di Warsa Biak Utara. Selama 6 bulan ia tinggal di

Warsa (Desember 1526 - Mei 1527) menunggu cuaca yang baik dan di

bulan Mei 1527 ia berangkat meninggalkan Biak serta tiba di Ternate 31

Mei 1527.

a. Periode Tahun 1616 – 1919

Pada tahun 1616 Jacob Le Maire dan Willem Cornelizs Schoten yang

berlayar melewati Kepualauan Biak Numfor sehingga untuk pertama kali

disebut Schouten Eilanden.Pada periode ini juga tepatnya tanggal 26 April

1908 Pendeta F.J.F Fan Hasselt membuka Pos Zending pertama di Maudori

dengan menempatkan Guru Petrus Kafiar putra asli Maudori (Biak) yang

menjadi Guru Injil pertama di Irian Jaya, kemudian tempat ini diusahakan

pedagang Belanda (VOC) kerja sama dengan pedagang Cina sebagai tempat

pelabuhan Kapal Dagang VOC.

7 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/91/name/papua/detail/9106/biak-numfor

download Jumat , 23 Mei 2014, Jam 18:45

Page 7: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

b. Periode Tahun 1919 – 1945

Periode ini kedudukan Anggraidi (Paray) sebagai pusat perdagangan

dan pemerintahan dipindahkan ke Bosnik sebagai pusat perdagangan dan

pemerintahan yang baru. Selanjutnya Bosnik merupakan ibukota pertama

daerah Biak Numfor hingga tahun 1945. Pada Bulan April 1942 pecah

Perang Dunia II.

Sebagai puncaknya tanggal 22 April 1944 tentara Sekutu merebut

kembali Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc

Arthur dan mendarat di Biak pada tanggal 27 Mei 1944.

c. Periode 1945 – 1962

Dengan kemenangan Sekutu (1944 - 1945) kekuatan pada waktu

itu berada di tangan NICA (Netherlandsch Indies Civil Administration).

Setelah kekuasaan Sekutu berakhir daerah ini diserahkan kembali pada

Pemerintahan Hindia Belanda.

Mengingat letak Ibukota Pemerintahan di Bosnik kurang strategis

baik dari segi pengembangan maupun perluasan kota itu sendiri, di

samping fasilitas yang tersedia pada waktu itu tidak memadai bila

dibandingkan dengan fasilitas yang ditinggalkan oleh tentara Sekutu di

Page 8: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Nicakamp (Yendidori)8, maka pada tahun 1946 ibukota dipindahkan ke

Nicakamp. Tahun 1953 ibukota dipindahkan ke Biak sebagai ibukota

Order Afdeling Schouten Eilanden.

d. Periode 1963 – Sekarang

Berdasarkan resolusi yang diterima oleh PBB pihak Belanda

menyerahkan Irian Barat (Nederland New Guinea) pada UNTEA

(United Nation Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober

1962. Selanjutnya UNTEA menyerahkannya kepada Indonesia. Pada

tanggal 1 Mei 1963 jam 12.30 WIT, diadakan upacara penyerahan Irian

Barat dari UNTEA epada Pemerintah RI di depan Kantor Order

Afdeling Schouten Eilanden yang ditandai dengan penurunan bendara

UNTEA digantikan dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat

yang sama penggantian peredaran uang Golden dengan Rupiah Irian

Barat (IBRP) dengan dibukanya peti uang IBRP oleh Lukas Rumkorem.

Tonggak sejarah lain dalam peristiwa penyerahan kedaulatan ini adalah

penanaman Pohon Beringin di depan Kantor Order Afdeling Schouten

Eilanden tepatnya di Lapangan Mandala Biak oleh HPB (Hoofd

Plaatselijk Bestuur) atau Kepala Pemerintahan Setempat Arnold

Mampioperr. Arnold Mampioperr putera Indonesia kelahiran Biak

8 Nama “Nicakamp” diperkirakan berasal dari penyebutan local atas “NICA Camp” yang adalah kamp pasukan

sekutu pada Perang Dunia II.

Page 9: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

adalah HPB pertama di saat kedaulatan UNTEA ke Republik Indonesia

yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Daerah Biak.

Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan UU No.12 Tahun 1969

maka sampai dengan tahun 1984 kabupaten Biak Numfor sekarang

bernama Kabupaten Teluk Cenderawasih sebagai salah satu kabupaten

yang masih itu masih membawahi daerah Yapen waropen dan sebagaian

daeran Paniai.

Nama Kabupaten Teluk Cenderawasih pada tahun 184 diubah

dengan sebutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Bupati Biak

Numfor Nomor 61 SK/VII/1984 tanggal 26 Juli1984.

4. Kedudukan Hukum Adat

Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada

kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen

konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang

Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan :

Negara mengakui hukum adat dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas maka penulis ingin

melakukan penulisan skripsi ini dengan memberikan judul, ”Eksistensi Hukum

Adat melalui Peran Peradilan Adat di Kabupaten Biak Numfor”, dengan

maksud untuk mengemukan beberapa hal yang sangat penting untuk

mempertahankan dan memelihara keberadaan hukum adat Indonesia dengan

Page 10: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

mengadakan penelitian-penelitian untuk mengukap beberapa hal yang

dipandang penting untuk menjadikannya sebagai hukum tertulis.

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka antara lain :

a. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak

tradisionalnya ;

b. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;

c. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

d. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e. Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konsistusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan

penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:

a. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai

perkembangan masyarakat

b. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya

mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI

tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang

Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan

Page 11: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

(indigeneous people).

Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan

dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh

hukum, masyarakat dan pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat

dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6

ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan

dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan

dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam

masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan

perundang-undangan.

Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka

penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat

yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat,

tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas

Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam

ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian

harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan

ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata

dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

Page 12: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan pasal

7 UU No. 12 Tahun 2011, maka tata urutan peraturan perundang-undangan

sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan

3. Undang-undang/ Perpu

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Propinsi

7. Peraturan Daerah Kota/ Kabupaten

Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai

sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai

hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan,

putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.

5. Pengaruh Otonomi Khusus di Papua Terhadap Pengakuan Hukum Adat

Otonomi daerah dalam rangka percepatan pelayanan pemerintah guna

pencapaian kesejahteraan masyarakat belum bisa berjalan dengan baik karena

tidak dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan

pembenahan sistem birokrasi yang efisien. Pemerintah didesak untuk

mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi mekanisme inplementasi UU No

21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.

Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkepanjangan

menumbuhkan sikap apatis dan disintegratif sebagian masyarakat Papua. Bila kita

melihat sejarah, konflik yang terjadi di Papua awalnya berupa konflik komunal

yang terjadi secara tradisi, yang timbul dari persaingan antarsuku dalam

Page 13: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih

kompleks sejalan dengan proses depolitisasi elite masyarakat Papua dalam

memperebutkan posisi sosial politik. Keterbelakangan pendidikan, kemiskinan,

dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik

baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh

berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam.

Kompleksitas penanganan konflik yang lamban dan tidak mengena pada

akar masalah didalam penyelesaian sengketa didalah hukum adat menurut

masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor sendiri adalah undang-undang Tuhan,

yang menurut mereka diwariskan Tuhan kepada mereka dan dipercayai turun-

temurun hingga saat ini adalah salah satu kepercayaan masyarakat adat asli

Kabupaten Biak Numfor. Ketika kita berbicara tentang adat maka kita berbicara

tentang Undang-Undang Tuhan, tampaknya hal ini turut dipengaruhi oleh

percampuran antara adat dengan kepercayaan agama Kristen yang masuk di Biak

sejak tahun 1908.9

Menurut narasumber, dalam kitab umat kristiani (Perjanjian Lama) semua

tertulis bahwa apa yang ditulis menjadi bagian yang sakral dimana perjanjian

lama memuat tentang aturan-aturan adat yang harus dan patut ditaati karena itu

adalah Undang-Undang Tuhan contoh dari Kitab Kejadian-Wahyu banyak sekali

yang menulis tentang adat itu sendiri, narasumber juga mengungkapkan bahwa

kalau yang menjadi bagian dari aturan sanksi hukum adat disampaikan dari awal

mulanya manusia orang Papua atau orang Biak itu berada, maka itu di pakai

9 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

Page 14: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

sebagai aturan hukum, bagi siapa pelanggar hukum maka akan di berikan sanksi

adat.10

(dalam hal ini dikatakan bahwa Hukum Tuhan didalam perjanjian lama

dan perjanjian baru adalah bagian yang memuat segala aturan yang menjadi

kontrol agar manusia tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan orang

lain, dan ini menjadi bagian aturan-aturan adat yang apabila ada masyarakat adat

dalam hal ini masyarakat Kabupaten Biak yang melangggar maka dia akan

dikenakan sanksi adat.

Selama ini sanksi adat di Kabupaten Biak Numfor sudah berjalan hal ini

terlihat dengan sanksi adat yang diberikan dalam beberapa kasus yang

menyangkut pembunuhan, perzinahan dan pelanggaran norma-norma adat. Itu

semua merujuk pada sanksi hukum adat. Hasil wawancara dengan narasumber

juga terungkap bahwa masyarakat memilih menyelesaikan masalah dengan

hukum adat dikarenakan ada beberapa alasan yakni faktor keterbukaan dalam

penyelesaian sengketa, faktor kendala bahasa, faktor waktu dan tempat, faktor

kepastian dalam ganti rugi, dan faktor sosial budaya.11

a. Dasar-dasar terbentuknya Dewan Adat atau Peradilan Adat

Hukum adat telah lama berlaku sebagai satu-satunya sumber hukum

bagi masyarakat adat di Biak. Pada saat itu belum ada lembaga pemerintah

10

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak

11 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak

Page 15: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

yang mewadahi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan adat serta

tugas dan wewenang hakim adat yang telah dilantik sejak tahun 1950.

Kemudian pada tahun 2000 Dewan Adat Papua di Jayapura

membentuk dewan adat Biak Numfor dengan tujuan untuk mewadahi dan

mengakomodir permasalahan-permasalahan adat.

UU No. 21 Tahun 2001 BAB 14 pasal 50 ayat 1 dan 2 telah mengatur

dan mengakomodir fungsi tugas peradilan adat yang dipakai sebagai acuan

dasar untuk bekerja sesuai dengan peraturan, kewenangan sepenuhnya

kepada peradilan adat untuk mengadili seseorang baik itu dari suku-suku

asli maupun suku lain atau suku pendatang di Kabupaten Biak Numfor, jadi

apabila ada masalah adat yang terjadi pada suku asli di Biak dan datang

kepada dewan adat maka dewan adat akan menyelesaikan masalah

berdasarkan aturan adat yang berlaku.

Sejak tahun 1950 telah disahkan peraturan adat KKB (Kankain

Karkara Byak). Penelitian dokumentasi oleh Rapat Kerja Dewan Adat Biak

pada tahun 12-14 November 2002 menemukan adanya pengangkatan

hakim-hakim adat dan para kepala kampung pada tahun 1950 di wilayah

Biak untuk wilayah Biak Selatan. Dokumen-dokumen putusan pengadilan

adat juga telah tercatat sejak tahun 1953. Dalam dokumen KKB juga sudah

tertera secara eksplisit hakim-hakim/anggota-anggota Kankain Kakara

District pada tahun 1950. Adapun nama hakim-hakim tersebut sebagai

berikut:

1. Kornelia Kawer (Wanita Bosnik)

Page 16: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

2. Willem Masosendifu (Kepala Seksi Yadibur)

3. Utrek Wompere (Kepala Sekolah Opyaref)

4. Paulus Morin (Kepala Kampung Mamoribo)

5. Yakob Ap (Kepala Kampung Swaipak)

6. Alexander Mansoben (Kepala Kampung Mansoben di Asbik)

7. Charles Morin (Kepala Kampung Wundi)

8. Yakob Mandibondibo (Kepala Kampung Sorido IV)

9. Hendrik Yarangga (Kepada Kampung Samber)

10. Hendrik Rumaropen (Kepala Kampung Ambroben)

11. Yakob Kafiar (Kepala Seksi Mokmer)

12. Hendrik Siambiak (Kepala Kampung Mokmer).12

b. Sanksi Hukum Adat

Sebagai ketentuan hukum dalam memvonis segala pelanggaran

hukum yang ada, dewan adat juga merujuk pada keputusan KKB ada

orang-orang tua dulu pada tahun 1950an sudah membuat keputusan KKB

tersebut.

Menurut narasumber, “Dalam KKB telah dijabarkan secara rinci

sanksi hukum adat bagi pelanggar-pelanggar hukum adat di Kabupaten

12

Lihat Dokumen KKB Tahun 1950.

Page 17: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Biak Numfor yang dapat dipegang sebagai dasar untuk mengambil

keputusan dalam menyelesaikan sengketa adat seperti pembunuhan,

perzinahan, sengketa tanah, pelanggaran norma adat, lakalantas, dll”13

Daftar sanksi tersebut dari Kankain Karkara Byak sebagai berikut:

Pasal 1

Bilamana ada seorang menjuruh seorang lain untuk memanjat

kelapa dan lain-lain akhirya jatuh dan itu mati, maka menurut hukum adat

orang biak maka yang menyuruh orang itu naik kelapa hingga jatuh mati,

wajib membayar denda babiak 200 barang.

Pasal 2

Bila mana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulang kakinya

patah pendek kata salah sebuah anggota tubuhnya luka parah dan akhirnya

sembuh, akan tetapi ia sendiri tak mampu mencari penghidupannya untuk

rumah tangganya, maka ia dikenakan babiak setinggi-tingginya 100 barang

campur (papus barbaren).

Pasal 3

Bilamana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulangnya patah,

akan tetapi kemudian sembuh dan ia dapat melakukan pekerjaannya lagi

maka ia harus membayar dan setinggi-tingginya 50 barang campur ( papus

barbaren).

Pasal 6 Bagian:

1. “Sasmerbin atau Samarmerbin”. Bila mana seorang perempuan

kawin dengan keridla hatinya dilarikan oleh aki-laki lain maka

segala mas kawinnya dikembalikan. (Bim befarbuk kwar boi

snon bese duni ma byuki: Irya ararem ro snon byuk beponya,

kyabri kayem)

2. Bila mana perempuan tersebut karena perbuatan lakinya tidak

baik, dilarikan laki-laki lain maka maskawinnya tidak

dikembalikan. (Bim befarbuk kwar ine, bur ra fyarbuk

13

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

Page 18: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

bese/byuk snon babo, snar snon byuk beponya kenenm byedi

bye Irya araren snon byuk beponya kyaber ba)

3. Bila mana anak perempuan bujang dilarikan oleh seorang laki-

laki maka dendanya dijatuhkan kepada laki-laki setinggi-

tingginya 50(lima puluh) robena atau papus. (Imboi inai ingbor

ro snon I duni, Irya babyak parkara ya dado fa snon beyuni ya

isoine babyak babaya 50 robena ma papus)

4. Bila mana anak seorang anak perempuan balu dilarikan oleh

seorang laki-laki, maka dendanja dijatuhkan kepada laki-laki

tersebut per setinggi 30 robena atau papus. (Bim kabong snon ya

duni’fa byuki;Irya babyak ya baba byedya bye 30 robena ma

papus)

Pasal 7 Bagian:

1. Bilamana seorang perempuan kawin, lari dari lakinya maka segala

maskawin dikembalikan. (Bin befarbuk ibur swari:Irya ararem

snoni byuk darmu. Bin ine kyab’ri kayem be snon iburya)

2. Bila mana seorang perempuan tersebut lari dari lakinya karena

perbuatan lakinya tidak baik, maka maskawin tidak dikembalikan.

(Bin ibur snon byuk ya snar kenem snon byuk ya. Ibyeba:Irya

ararem snoni byuk darmi ya kyaberba)

3. Bila mana seorang perempuan bujang atau perempuan balu lari

dari kaum keluarganya akan membuktikan keridlaan hatinya maka

dalam hal ini “Babiak Mamia” tidak berlaku. (Inai igbor syae ma

ibur simam byesya fa dun snon kabor imarisem ya ma subuk su :

Irya babyak mamiyai oba)

Selain sanksi adat yang diatur dalam KKB, ada juga beberapa keputusan-

keputusan yang dibuat oleh masing-masing wilayah, yang kemudian keputusan-

keputusan tersebut menjadi sari hukum adat, sari hukum adat tersebut ditetapkan

sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah, tetapi acuannya tetap sama hanya

saja bentuk sanksinya dibedakan besar kecilnya sanksi hukum dipertimbangkan

oleh wilayah masing-masing, hal ini juga di sebut dengan fenomena nilai atau

Page 19: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

variasi nilai sangsi adat berdasarkan masing-masing wilayah adat. Lembaga ini

tetap hidup bahkan sampai saat ini. 14

c. Penyelesaian Sengketa Adat

Sengketa adat dibedakan menjadi dua yakni antar lain :

Sengketa adat pidana : pembunuhan, pencurian,

Sengketa adat perdata : pelanggran hak-hak dasar, norma adat, dan

lain-lain.

Proses penyelesain sengketa juga perlu melihat KKB yang mengatur

penyelesain sengketa dimana nantinya ada pelaku dan korban atau orang –

orang yang bersengketa didalam persidangan yang akan dipimpin oleh hakim

yakni kepala suku untuk menyelesaikan perkara dan hakim akan mengambil

keputusan dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.15

d. Hakim Adat

Sanksi hukum adat yang dimaksud di atas keputusannya ditetapkan

oleh hakim adat. Hakim adat adalah seseorang yang dipercaya dan ditunjuk

langsung oleh masyarakat wilayah hukum adat tetentu menjadi mananwir atau

kepala suku. Hakim dalam peradilan adat sebagai pengambil keputusan tidak

14

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

15 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

Page 20: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

dibedakan atau tidak ada perbedaan antara hakim untuk keputusan sengketa

pidana maupun sengketa perdata.16

Dalam proses peyelesaian sengketa adat hakim dituntut bijaksana

untuk menyelesaikan sengketa adat yang sedang diproses, ada 2 bagian

penting yang menjadi inti bagi seorang hakim adat yaitu :

(1) harus menegakkan hukum siapa pun pelanggar hukum maka wajib

dihukum.

(2) mengangkat harkat dan martabat serta hak asasi seseorang.

Hakim dalam membuat keputusan harus melihat status ekonomi

apakah orang yang dihukum statusnya mampu atau tidak, kalau tidak

mampu maka masih bisa diberikan kelonggaran mengingat hakim harus

menghargai hak asasi seseorang.17

Aturan-aturan yang mempertegas kedudukan peradilan adat selain

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001

kemudian bisa dilihat pada Perdasus No.20 Tahun 2008 baik asas, tujuan,

kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang dari peradilan adat di Papua pada

khsususnya di Kabupaten Biak Numfor yakni :

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Peradilan adat di Papua berasaskan :

a. kekeluargaan;

16

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

17 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

Page 21: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

b. musyawarah dan mufakat; dan

c. peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 3

Peradilan adat di Papua bertujuan :

a. sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan,

perlindungan,penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat

adat Papua dan bukan Papua

b. memperkokoh kedudukan peradilan adat;

c. menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan;

d. menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan

e. membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

Kedudukan Peradilan Adat

Pasal 4

Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan

masyarakat adat Papua.

Tempat Kedudukan Pengadilan Adat

Pasal 5

(1) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat adat di Papua.

(2) Lingkungan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu

masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem

kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem

kepemimpinan campuran.

Tugas

Pasal 6

Pengadilan adat bertugas menerima dan mengurus perkara perdata adat dan

perkara pidana adat.

Fungsi

Pasal 7

Pengadilan adat berfungsi untuk :

a. penyelesaian perkara perdata adat dan perkara pidana adat; dan

b. melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua.

Kewenangan

Pasal 8

(1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan

perkara

pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua.

(2) Pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima dan

mengurus

Page 22: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan asli Papua jika ada

kesepakatan

di antara para pihak.

(3) Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan sebagaimana

dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan

negara.

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan

atas

putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang

berkeberatan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.

(5) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan

hukum

pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari

Ketua

Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan

Negeri

yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana.

(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi keputusan

pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan

dapat

melakukan penyidikan dan penuntutan, dalam hal ini keputusan pengadilan adat

yang

bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara

yang

diajukan.

B. Analisis

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan narasumber, penulis akan

menganalisis eksistensi peradilan adat Papua khususnya di Kabupaten Biak. Analisis ini

didasarkan pada rumusan masalah yaitu Bagaimana eksistensi peradilan adat di

Kabupaten Biak Numfor dalam sistem hukum di Indonesia yakni :

1. Analisis Alat-Alat Perlengkapan Adat, Tugas Dalam Persekutuan Hukum

Adat dan Delik Adat

Page 23: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Ungkapan yang sangat terkenal dalam kajian hukum yang diperkenalkan

oleh Tullius Cicero (106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat

disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga

kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan

adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan. Teori ini juga berlaku di

Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan “dimana ada masyarakat adat disitu

ada peradilan adat “, di Kabupaten Biak Numfor dilingkungan masyarakat

adat ada peradilan adat yang berfungsi untuk menyelesaikan segala bentuk

perkara adat baik itu bentuk pidana adat atau perdata adat.

Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan yang mengandung unsur

regionalitas menurut Van Vollenhoven berdasarkan konsep atau teori ini juga

penulis mengasumsikan bahwa hukum adat di Kabupaten Biak Numfor yang

dipakai untuk mengatur masyarakat adat dan merupakan sumber hukum yang

kemudian tertulis didalam Kankain Karkara Byak adalah undang-undang

Tuhan karna bersumber dari kitab umat kristiani yang berkaitan dengan

aturan-aturan adat di Kabupaten Biak Numfor.

a. Alat Perlengkapannya dan Tugasnya Dalam Persekutuan Hukum

Adat

Penulis mencoba menganalisis berdasarkan teori yang dikemukakan

oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende recht atau the living law, ada 4

sifat alat perlengkapan persekutuan hukum di Indonesia :

Page 24: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Pemerintah adat dalam lingkungan masyarakat adat dalam hal ini

di Kabupaten Biak Numfor, dipimpin oleh Dewan adat atau

pemangku adat dalam hal ini ada yang lebih tinggi untuk

memimpin masyarakat setempat yakni oleh Kepala suku atau

ondoafi.

Putusan adat berkaitan dengan pembicaraan masalah perkawinan,

dan dalam rapat atau negosiasi tersebut biasanya pemangku adat

atau dewan adat mengatasnamakan keluarga.

Putusan Peradilan adat Kabupaten Biak Numfor bersifat mengikat

masyarakat lingkungan adat baik untuk masyarakat asli Biak

maupun pendatang. Putusan ini berkaitan dengan perkara pidana

adat dan perkara perdata adat dilingkungan masyarakat adat di

Kabupaten Biak Numfor.

Pengangkatan Kepala adat di Kabupaten Biak Numfor didasarkan

pada syarat-syarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan

prioritas menjadi kepala adat.

b. Delik Adat

Menurut pemahaman masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor delik

adat adalah setiap pelanggaran adat yang dilakukan oleh satu pihak baik itu

berkaitan dengan materi maupun non materi dengan pihak yang lain. Apabila

pelanggaran itu terjadi akan menimbulkan reaksi adat yaitu pembicaraan dalam

menyelesaikan perkara atau pelanggaran tersebut dengan cara penembusan adat

Page 25: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

baik berupa barang atau uang untuk memperbaiki pelanggaran tersebut sehingga

ada keseimbangan.

Setiap orang yang berada dilingkungan masyarakat adat ada aturan-aturan

ada yang mengatur kehidupan kalau di Kabupaten Biak Numfor masyarakat adat

sangat mengetahui aturan-aturan adat yang ada pada Kankain Karkara Byak.

Peradilan adat menjadi lembaga yang sangat penting dilingkungan adat dalam

menyelesaikan segala perkara adat atau pelanggaran adat dilingkungan

masyarakat adat.

2. Analisis Berdasarkan Tata Aturan Perundang-Undangan

Dalam rangka mengatasi keingainan masyarakat Papua yang ingin

memisahkan diri dari NKRI, maka Pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi

Papua yang dimakasudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi

hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi,

peningkatan kesejahtraan, dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan

dan keseimbangan dengan kemajuan Propinsi lain.

Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian

kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur

dan mengurus sendiri didalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti

juga memiliki tanggungjawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk

menyelenggarakan Pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di

Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai

bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-udangnan.

Page 26: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial dan

budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang

memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakiladat, agama, dan kaum

perempuan. Peran yang diberikan adalah ikut serta dalam merumuskan kebijakan

daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai keetaraan dan

keragaman kehidupan masyarakat Papua dan pegakuan terhadap eksistensi hak

ulayat, masyakarakat adat, dan hukum adat.

Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat

dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001.

3. Perbandingan Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 dengan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2001

No Aspek UU Darurat No 1 Tahun 1951 UU No 21 Tahun 2001

1 Keberadaan

Peradilan Adat

Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang

Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan

bahwa, pada saat yang berangsur-

angsur akan ditentukan oleh Menteri

Kehakiman, dihapuskan :

a.

b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse

Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd

Kekuasaan Peradilan Adat

berdasarkan Pasal 50 ayat (2)

yakni :

(1) Kekuasaan kehakiman di

Provinsi Papua

dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan

peraturan perundang-

undangan.

(2) Di samping kekuasaan

kehakiman sebagaimana

dimaksud pada ayat (1),

diakui adanya peradilan

Page 27: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Gebied) kecuali peradilan Agama, jika

peradilan itu menurut hukum yang

hidup merupakan suatu bagian

tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi

menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat

ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap

diperthankan. Peradilan yang

dilakukan oleh Hakim Swapraja dan

Hakim Adat yang telah dihapuskan itu

diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

adat di dalam masyarakat

hukum adat tertentu.

.

2 Eksistensi

Peradilan Adat

Berdasarkan undang-undang

ini, peradilan adat (inheemsche

rechtspraak) dihapuskan secara

berangsur-angsur oleh pemerintah,

namun tetap mengakui eksistensi

peradilan desa (dorpjustitie).

Eksestensi Peradilan Adat

diakui dalam pasal 50 Undang-

Undang Otonomi Khusus hasil

rekomendasi Majelis

Permusyawaratan Perwakilan

dalam TAP MPR Nomor

IV/MPR/1999 yang mendorong

segera dibentuk Undang-Undang

Otonomi khusus bagi Papua yang

didalamnya mengatur wewenang

peradilan adat

Page 28: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

3 Fungsi Peradilan adat dalam Undang-Undang

Darurat No 1 Tahun 1951 dihapus

tetap diakui fungsi dan wewenangnya

didalam kehidupan masyarakat adat.

Peradilan adat adalah peradilan

perdamaian di lingkungan

masyarakat hukum adat, yang

mempunyai kewenangan

memeriksa dan mengadili

sengketa perdata adat dan

perkara pidana di antara para

warga masyarakat hukum adat

yang bersangkutan.

Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan

adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan; .memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara

pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”.

Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem

peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil

(hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan

hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.18

18

R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita, 1972),

hlm. 50-51.

Page 29: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam

makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche

rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus

bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi

perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu,

peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah

dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah

“peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan

istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1

Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat

dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat

mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam

masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain Undang-Undang No 21 Tahun

2001 memberikan makna baru terhadap lembaga peradilan di Papua saat ini.

Konsep ini sesuai pula dengan definisi peradilan adat yang dikembangkan

oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem

peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas

masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana

peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”19

.

Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem

peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat

19 Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1.

Page 30: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat

(2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan

tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat

setempat20

.

Peradilan adat merupakan pranata atau perangkat hukum adat yang

keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum

adat setempat21

, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan

penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut

dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang

hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili

perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat

hukum adat yang bersangkutan.

Perkara-perkara adat yang diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa

maupun pelanggaran hukum adat. Struktur, mekanisme, dan hukum yang

digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara

adalah berdasarkan pada hukum adat setempat, sehingga mustahil dirumuskan

secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup

20

Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong

Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: „Pemberdayaan Awig-awig Desa

Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6.

21 Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Page 31: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di

seluruh wilayah Indonesia.

Penting ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah

bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru

dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal

pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-

undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta

pluralisme hukum22

, ini merupakan kondisi dimana sebelum lahirnya Undang-

Undang No 21 Tahun 2001 namun dengan demikian dapat dilihat bahwa

meskipun bukan bagian dari sistem peradilan negara tetapi hidup dan diakui oleh

masyarakat ini disebabkan dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga

berlaku sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk.

Untuk selanjutnya peradilan adat yang jika menurut Undang-Undang No 1

Tahun 1951 bukan bagian dari peradilan negara atau memperoleh pengakuan dari

negara dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 dan peradilan ini berarti

Undang-Undang No 21 dan Perdasus telah mengakui fakta pluralisme hukum

tersebut dan diterima sebagai bagian dari sistem peradilan negara. Dengan

demikian dapat digambarkan dalam bentuk hirarki peraturan perundang-undangan

22

Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku

di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal

Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal

Pluralismm,1986), hlm. 1.

Page 32: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

berkaitan dengan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia

yakni :

a. Gambar Piramida : kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di

Indonesia berdasar hirarki peraturan perundang-undangan

4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum

Indonesia

Kedudukan Peradilan Adat di Papua khususnya dalam hal ini di

Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturan-

aturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian

UUD

1945

Pasal

18B

Ayat

(2)

TAP MPR

Romawi III

Pasal 1

Ketetapan MPR

Nomor

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang No 21 Tahun

2001

PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008

Page 33: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif

yang sifatnya nasional dalam sistem hukum Indonesia.

Sebelum menganalisis kedudukan peradilan adat sebaiknya mengetahui

dan memahami terlebih dahulu bahwa kedudukan peradilan adat di Papua

khsususnya di Kabupaten Biak yang bersumber dari aturan-aturan adat tersebut,

dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan

sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat,

akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara

dalam 23

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah

memajukan kebudayaan Nasional”, maksud dari memajukan kebudayaan nasional

adalah bahwa simbol-simbol atau jaringan makna yang dipintalnya sendiri

(termasuk didalamnya hukum adat) diakui eksistensinya sebagai budaya bangsa

yang prospeknya menjamin dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Indonesia

umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak,

masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap

dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat

di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu

komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta

menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa

hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat

23

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32

Page 34: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat,

baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat.

Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini

menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan

diluar hukum yang berlaku secara nasional. Kedudukan Peradilan Adat

khsususnya di Kabupaten Biak mendapat pengakuan secara hukum dalam Pasal

24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kesempatan kepada

lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar

lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan

mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50

dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua

dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan

mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau

Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa adat atau perkara-perkara pindana

adat atau perdara adat.

Kedudukan Peradilan Adat berdasarkan Pasal 5 Perdasus No. 20 Tahun

2008 adalah di lingkungan masyarakat adat Papua berdasarkan sistem

kepemimpinan ondoafi, system kepemimpinan raja atau sistem kepemimpinan

pria berwibawa dan kepemimpinan campuran. Dalam hal ini peradilan adat

Kabupaten Biak berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Kabupaten Biak.

Berdasarkan Perdasus tersebut memeberi kekhususan bagi lembaga peradilan adat

untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan kehakiman hanya dilingkungan

Page 35: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

masyarakat adat papua atau masyarakat kabupaten biak tidak untuk daerah lain di

Indonesia.

Peradilan Adat Kabupaten Biak berdasarkan hasil wawancara Bapak

Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak24

mengatakan bahwa “peradilan adat di Kabupaten Biak memiliki wewenang dalam

penyelesaian sengketa pidana adat dan perdata adat” berdasarkan Pasal 8

Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara

penulis menganalisis yang mana berkaitan wewenang kekuasaan kehakiman,

peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara

ditingkat pertama yakni peradilan umum dalam menyelesaikan perkara pidana

dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki

wewenang dan kedudukan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata

diluar peradilan negara sebelum peradilan umum ditingkat pertama yakni

peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan

masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di

peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau

masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan

adat dapat diselesaikan peradilan negara atau peradilan umum.

Dengan demikian melihat hasil penelitian terkait peradilan adat di

Kabupaten Biak dapat analsis dimulai berlakunya Undang-undang Kekuasaan

Kehakiman Tahun 2004, prinsip peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga

24

Wawancara : Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak

Page 36: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui

Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah

peradilan negara dan ditetapkan denagn undang-undang”.

Peluang bagi diakuinya peradilan adat kembali tertutup setelah Undang-

undang Nomor 42 Tahun 2009 diberlakukan. Walaupun undang-undang baru ini

secara khusus mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam

satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif

penyelesaian sengketa dan arbitrase. Istilah yang digunakan adalah “sengketa”

bukan lagi “perkara” sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang

Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, sehingga tidak sesuai dengan konsep

peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik

yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini,

tidak ada pengakuan terhadap peradilan adat.

Pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat datang dari Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,

suatu undang-undang yang hanya berlaku lokal di wilayah Papua. Undang-undang

itu sendiri merupakan turunan dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur

pemerintahan daerah, dan Romawi III pasal 1 Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/2000 berkaitan dengan rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat

ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti

agar secepatnya merampungkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi

Page 37: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli

Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan

Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001

dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Pengakuan terhadap peradilan adat ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal

50 undang-undang tersebut, yang menyatakan:

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tiga hal. Pertama, bahwa dalam

undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yang kini berlaku eksistensi

peradilan adat tidak diakui; Kedua, saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan

perundang-undangan RI pada level undang-undang terkait dengan pengakuan

terhadap peradilan adat. Di satu sisi, peradilan adat diakui dalam undang-undang

yang berlaku lokal, sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang

berlaku secara nasional, peradilan adat tidak mendapatkan pengakuan. Yang

ketiga, dengan begitu, arahan politik hukum pengakuan peradilan adat yang

diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) belum dijabarkan secara konsisten

dalam realita peraturan perundang-undangan Republik Indonesia pada level

undang-undang.

Page 38: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di

Indonesia

No Keterangan Peradilan Adat Peradilan Umum

1

Peraturan Perudang-

Undangan

Pasal 18B Ayat (2) UUD1945,

Pasal 50 dan 51 Undang- Undang

No 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi, Peraturan Khusus

Propinsi Papua Nomor 20 Tahun

2008

Undang-Undang No. 48 Tahun

2009

2 Pemangku Jabatan

Hakim adalah Manawir atau

Kepala Suku di Kabupaten Biak

Hakim

3 Proses Penyelesaian

Proses penyelesaian sengketa adat

berdasarkan nilai-nilai adat atau

kekelurgaan yang berlaku untuk

menyelesaikan perkara pidana

atau perdata didalam proses

siding yang di pimpin oleh hakim

adat yakni kepala suku.

Proses Penyelesaian pada ada

pada proses persidangan dan

berdasarkan putusan dengan

melihat tata aturan yang

berlaku di tingkat I dan

ditingkat banding di

Pengadilan Tinggi dan

Peninjaun Kembali di

Mahkamah Agung

4 Sanksi

Sanksi Pidana atau Perdata yang

bersifat ganti rugi

Pidana : Kurungan atau penjara

dan hukuman mati; Perdata

berupa ganti rugi.

Page 39: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

5. Faktor- faktor yang membuat masyarkat memilih penyelesaian masalah

dengan hukum adat

Berdasarkan hasil penelitian dengan pemangku adat di Kabupaten Biak

Numfor berkaitan dengan kencendrungan masyakrat adat di Biak lebih cendrung

memilih atau menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan berbagai macam

kasus pidana dan perdata, ini dikarekan antara lain :

a. Faktor Keterbukaan dalam proses penyelesaian

Berdasarkan hasil penelitian dikatehui bahwa, masyarakat

memandang dalam proses penyelesai dengan menggunakan peradilan adat,

sanksi dan denda adat tidak hanya dijatuhkan seenaknya saja tetapi

berdasarkan fakta. Penerapan hukum adat dalam peradilan dat juga

disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum

itu diterapkan untuk menciptakan ketertiban, keadilan serta adanya

suasana damai dalam masyarakat.

Masyarakat juga memilih hukum adat atau peradilan adat selain

lebih melihat proses penyelesaian diperadilan umum atau proses

penyelesaian sampai ke Peradilan umum memakan cukup waktu lama

dengan prosedural yang cukup berbelit. Atau menjadi alasan juga banyak

pengaduan ditingkat kepolisian tetapi sedikit yang diselesaikan. Walaupun

kemudian pihak-pihak yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil

keputusan peradilan adat dapat mengajukannya keperadilan umum

berdasarkan amanah undang-undang otonomi khusus dan perdasus.

Page 40: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

b. Faktor kendala bahasa

Masyakarat lebih memahami bahasa hukum adat dibanding dengan

bahsa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah

untuk dimengerti serta sesuai dengan budaya masyarakat di kabupaten

Biak Numfor

c. Faktor waktu dan tempat

Masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan menggunakan

peradilan adat, karena dianggap lebih cepat, dan tidak memakan waktu

yang lama, dan untuk Peradilan Adat tempatnya mudah dijangkau oleh

mereka yang bersengketa sehingga mereka lebih memilih peradilan adat

untuk menyelesaikan sengketa.

d. Faktor kepastian dalam ganti rugi

Adanya kepastian dalam ganti rugi ini yang membuat masyarakat

adat di kabupaten biak lebih memilih menyelesaikan masalah dengan

menggunakan peradilan adat. Ini berkaitan dengan sanksi adat berupa

denda atau ganti rugi. Sanksi berupa denda adat atau ganti rugi itu wajib

dipenuhi oleh pelaku kepada pihak korban.

e. Faktor Sosial Budaya

Page 41: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Masyarakat Adat di Kabupaten Biak lebih memilih penyelesaian

sengkata dengan menggunakan peradilan adat dikarenakan di peradilan

adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada hidup didalam masyarakat,

dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat kabupaten biak ini

dikarenakan adanya budaya hukum yang akan menentukan seseorang itu

patuh atau tidak patuh terhadap peraturan adat yang ada.

6. Problematika Peradilan Adat

Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah

alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam

sistem peradilan nasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk

menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan

atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat

yang bisa memaksakan penegakannya.

Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih

disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya.

Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan

masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat

dalam hal-hal tertentu Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan

penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan

tercapainya kesejahteraan.

Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang dapat menjamin secara

setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian

Page 42: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Tidak perlu

diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali

lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan formal.

Sudah menjadi pemahaman masyarakat peradilan adat bahwa beracara di

peradilan adat lebih mudah diakses oleh masyarakat, cepat dan biayanya murah,

sedangkan peradilan formal yang harus mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan

hukum yang lebih panjang, hal ini membuat peradilan adat cenderung dapat lebih

cepat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditanganinya.

Hal yang lain adalah peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga

professional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim.

Melainkan dijalankan oleh pimpinan-pimpinan atau orang-orang tertentu yang

dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki profesi atau

pekerjaannya sendiri-sendiri. Jadi hakim atau pelaksana peradilan adat bukan

orang yang menggantungkan hidupnya pada bekerjanya peradilan adat, melainkan

karena tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Hal ini dapat menghindari

terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus di peradilan adat.

Kelebihan lain dari peradilan adat adalah tujuannya untuk

menyeimbangkan situasi sosial yang terganggu karena adanya suatu tindakan

yang melanggar hukum adat. Oleh karena itu, pada umumnya sanksi adat

bukanlah sebagai bentuk pembalasan, tetapi sebagai upaya untuk menormalkan

keadaan sosial menjadi harmoni sepertisebelumnya. Tidak salah kemudian sanksi

dalam persidangan adat berupaya menjadi alat untuk mendamaikan para pihak

yang berperkara.

Page 43: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Namun bukan berarti peradilan adat tidak punya masalah atau tantangan

dalam pelaksanaannya. Tantangan pertama, masalah utama adalah persoalan

pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting

supaya tidak ada orang diadili secara sewenang-wenang atau karena

ketidaksukaan yang tidak beralasan darisuatu kelompok dominan terhadap

kelompok minoritas di dalam masyarakat. Memang salah satu basis utama

peradilan adat adalah tanggungjawab dari pimpinan dan pemangku adat. Namun

tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku adat selalu benar. Kalau mau jujur,

di beberapa tempat terdapat pimpinan adat yang memanfaatkan otoritasnya untuk

memperkaya diri sendiri dan terkadang dapat menghilangkan tanggungjawabnya

sebagai Kepala Adat memilih untuk kepentingan diri sendiri.

Tantangan kedua dalam menjalankan peradilan adat adalah persoalan

yurisdiksi peradilan adat. Yurisdiksi atau lingkup kewenangan hukum dari

peradilan adat mencakup pertanyaan (1) perkara apa saja yang dapat diadili di

peradilan adat dan (2) peradilan adat dapat diterapkan terhadap orang dari luar

masyarakat adat itu sendiri atau tidak. Secara sekilas tentu dua pertanyaan itu

mudah dijawab.

Namun bila ditelisik lebih jauh dan dalam, maka ada pertanyaan turunan,

misalkan apakah peradilan adat juga akan menangani kasus pembunuhan, korupsi

atau tindakan-tindakan yang baru dikenal sebagai kejahatan oleh masyarakat.

Tentang pertanyaan kedua misalkan apakah peradilan adat juga punya

kewenangan untuk mengadili perusahaan atau pemerintah yang melakukan

Page 44: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

pelanggaran di wilayah mereka. Dan, seberapa efektifkah peradilan adat

diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat.

Tantangan ketiga adalah mengatasi masalah ketidakadilan dari struktur adat

yang telah melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias

laki-laki dan membungkam suara perempuan dalam pengambilan keputusan.

Dominasi elit dalam kelembagaan adat juga mempengaruhi bagaimana peradilan

adat dapat bekerja untuk mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam

komunitas.

Tantangan keempat adalah birokratisasi peradilan adat. Penerimaan

pemerintah terhadap keberadaan peradilan adat sebagai salah satu mekanisme

penyelesaian perkara yang dihadapi oleh masyarakat biasanya diikuti dengan

mengadopsi nilai dan standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat

yang menyelenggarakan peradilan adat. Ketergantungan para pemangku peradilan

adat terhadap pemerintah mengurangi kemandirian dari institusi peradilan adat

dalam menyelesaikan perkara yang mempertemukan masyarakat adat dengan

pemerintah. Oleh karena itu, perlu meletakan kedudukan peradilan adat bukan

sebagai kepanjangantangan dari pemerintah, melainkan sebagai kenyataan yang

menunjukan bahwa terdapat hukum yang hidup di dalam masyarakat

Cara institusional dilakukan dengan fomalisasi atau legalisasi keberadaan

peradilan adatdalam kebijakan maupun peraturan negara. Cara ini merupakan

bagian untuk pengakuan terhadap hukum adat. Upaya ini berbarengan dengan

pengakuan terhadap peranan lembaga adat dan bahkan tentang pemerintahan

Page 45: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

berbasis adat. Dengan cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan

tangan negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang

dihadapi oleh masyarakat. Karena itu, biasanya ia membutuhkan legalisasi apakah

itu melalui peraturan daerah, keputusan ketua pengadilan atau dengan

kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum.

Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata

cara dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai

dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat

mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal, misalkan

berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence ) maupun

persamaan dihadapanhukum (equality before the law ) yang umum dikenal dalam

praktik peradilan.

Upaya untuk melegalisasi lembaga peradilan adat terbuka pada

inisiatif perundang-undangan yang sedang berlangsung, misalkan dengan bentuk

pengakuan secara legal didalam Undang-Undang Kehakiman dimana Peradilan

Adat menjadi bagian dari lingkungan peradilan yang diakui didalam sistem

hukum di Indonesia, serta dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak

Masyarakat Adat yang sekarang sedang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR, atau

dalam RUU Desa yang sedang dibahas pada Komisi II DPR. Selain pada level

nasional, pada level daerah dapat didorong peraturan daerah, keputusan kepala

daerah maupun kesekapatan-kesepakatan antara berbagai pihak, terutama antara

lembaga adat dengan aparat penegak hukum untuk menggunakan peradilan adat

sebagai bagian penting dalam upaya memudahkan akses masyarakat terhadap

Page 46: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

keadilan. Cara formalisasi lain yang dapat dilakukan bukan dengan melegalisasi

struktur kelembagaan peradilan adat, tetapi melegalisasi putusan-putusan yang

dikeluarkanoleh peradilan adat.

Dengan pendekatan ini maka negara tidak perlu ambil pusing dengan

struktur peradilan adat, termasuk tidak perlu pusing dengan berapa jumlah orang

yang terlibat dalam peradilan, apakah pimpinan acara sidang dipimpin oleh orang

yang disebut hakim atau dengan nama lokal. Inti dari pendekatan formal yang

kedua ini lebih berorientasi pada hasil yang dibuat dari peradilan adat. Putusan

peradilan adat tersebut kemudian dicatatatkan oleh hakim yakni kepala adat atau

orang-orang yang berada di struktur pimpinana adat. Cara ini juga memiliki

kontribusi agar ikut „mendidik‟ hakim muda ikut terlibat dengan hukum yang

berlaku di dalam masyarakat.

Pengadilan negeri yang mengadili perkara yang telah ditangani oleh

peradilan adat dapat mengundang hakim-hakim peradilan adat untuk menjadi ahli

di persidangan. Putusan-putusan peradilan adat dikumpulkan dalamsebuah

dokumen yang menjadi bahan kajian kalangan akademisi. Dengan

menjadikanbahan kajian oleh akademisi, maka diharapkan hukum adat akan lebih

jauh berkembangkarena menjadi persoalan yang diteliti dan didiskusikan.

Cara lain untuk memperkuat peradilan adat adalah cara non-institusional.

Dengan kata lain, cara ini tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan

dari negara terhadap keberadaan peradilan adat. Pendekatan kedua ini lebih

mengutamakan adanya kesadaran masyarakat untuk memilih datang ke peradilan

adat dari pada datang ke pengadilan negara. Untuk menciptakan keberlangsungan

Page 47: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

peradilan adat akan sangat ditentukan dari putusan-putusan yang dihasilkannya.

Semakin adil, dapat diterima dan semakin mudah, maka peradilan adat akan

semakin kuat. Tantangan dalam melakukan pendekatan ini adalah konsistensi

masyarakat adat dan keberlanjutan lembaga peradilan adat. Penguatan kapasitas

dan keberlanjutan peradilan adat pada generasi berikutnya merupakan faktor

kunci untuk cara ini.

Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia yang memberi harapan bahwa di masa depan

eksistensi peradilan adat akan diakui secara nasional. Bandul politik hukum

nasional tampaknya mengarah kepada pengakuan eksplisit terhadap peradilan adat

yang ada dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan

tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Namun demikian, penting diingatkan bahwa peradilan adat adalah suatu

sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang juga melaksanakan fungsi

kekuasaan kehakiman. Dari perspektif ini, idealnya di masa depan masalah

peradilan adat semestinya juga diatur dalam undang-undang tentang kekuasaan

kehakiman sehingga terjadi konsistensi antara undang-undang yang mengatur

tentang peradilan dengan undang-undang lainnya yang juga mengatur peradilan

adat. Agar politik hukum kekuasaan kehakiman dapat mengakomodasi pengakuan

terhadap peradilan adat, maka revisi terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman relevan dilakukan.

Page 48: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8319/3/T1_312008033_BAB III... · adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1