BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Kecamatan...
Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Kecamatan...
77
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Wedung
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Wedung Kabupaten
Demak. Mengenai gambaran umum kondisi penelitian meliputi beberapa
aspek, antara lain kondisi geografis dan letak kecamatan, kependudukan, mata
pencaharian dan pendidikan.
1. Kondisi geografis dan letak kecamatan Wedung
Kecamatan Wedung merupakan salah satu wilayah di Kabupaten
Demak yang terletak di pesisir pantai laut Jawa, dengan luas wilayah seluas
93.876 ha yang merupakan 11 persen dari seluruh wilayah di Kabupaten
Demak. Tanah di Kecamatan Wedung terdiri dari 5.457 ha tanah sawah
dan 4.419 ha tanah kering (www.wikipedia.com, 8/5/2015, 11.00).
Batas-batas wilayah Kecamatan Wedung adalah sebagai berikut:
sebelah utara yaitu desa Angin-angin Kecamatan Wedung, sebelah timur
yaitu desa Buko Kecamatan Wedung, sebelah selatan yaitu desa Bungo
Kecamatan Wedung, sebelah barat yaitu desa Jetak Kecamatan Wedung.
78
2. Kependudukan
Berdasar data dari Badan Pusat Statistik bahwa jumlah penduduk di
Kecamatan Wedung sebesar 80.827 jiwa yang terdiri dari 39.305 laki-laki
dan 41.522 perempuan (www.wikipedia.com, 8/5/2015, 11.00). Melihat
data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa populasi jumlah penduduk yang
perempuan lebih besar dibanding dengan jumlah laki-laki.
Sesuai dengan keadaan alamnya, maka sebagian besar penduduk desa
Wedung adalah sebagai petani. Kecamatan Wedung memiliki tanah yang
subur, sehingga para penduduk memanfaatkan tanah yang subur tersebut
untuk menanam padi maupun tanaman palawija lainnya.
Sebagian besar perekonomian warga Kecamatan Wedung diperoleh
dari bertani. Sedangkan perpindahan penduduk baik datang maupun pergi
relatif kecil. Setiap ada perpindahan penduduk baru di Kecamatan Wedung
disebabkan karena pekerjaan (umumnya dari kaum pedagang / pengusaha
yang mempunyai keinginan untuk berwirausaha di tempat yang baru) dan
yang lain dari para pegawai pemerintahan maupun karyawan swasta.
Termasuk juga penduduk pendatang baru, yang disebabkan karena adanya
pernikahan.
3. Mata pencaharian
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Wedung
adalah sebagai petani atau bercocok tanam terutama bertanam padi dan
tanaman palawija. Kondisi tanah yang subur, irigasi yang memadai, dan
79
iklim yang cocok, maka mayoritas penduduk desa Wedung sebagian besar
adalah sebagai petani.
Dalam kelompok kerja petani, ada yang memiliki dan mengerjakan
lahannya sendiri, dan ada pula yang mengerjakan lahan milik orang lain
atau biasa disebut buruh tani. Kelompok petani dan buruh tani bekerja
dengan sistem bagi hasil ataupun dengan sistem penyewaan tanah.
Sebagian besar masyarakat mengelola lahan milik orang lain untuk
ditanami berbagai macam jenis sayuran, padi, serta palawija. Sebagian
hasil dari pertanian dijual ke beberapa daerah sekitarnya dan pasar untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Mata pencaharian lain yang dimiliki oleh masyarakat Kecamatan
Wedung adalah nelayan, pengusaha, buruh industri, buruh bangunan,
pedagang (Nasi “Kucingan” dan buah), supir angkutan, Pegawai Negeri
(Sipil/TNI), pensiunan dan lain-lain.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dalam usaha meningkatkan
kecerdasan dan kemampuan masyarakat. Oleh karena itu, masalah
pendidikan bagi masyarakat adalah hal utama yang wajib untuk
diupayakan.
Demikian pula bagi masyarakat di Kecamatan Wedung. Sebagian
besar penduduk Kecamatan Wedung menempuh pendidikan, seperti SD/MI
sampai Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah (SMA/MA) atau
pondok pesantren hingga sampai ke jenjang Perguruan Tinggi.
80
B. Tarekat Naqsyabandiyyah Kha>lidiyyah di Kecamatan Wedung
Berdasarkan penelusuran penulis ketika melakukan penelitian atas
pendataan lapangan mengenai macam-macam tarekat beserta para mursyidnya
di Kecamatan Wedung Kota Demak, ternyata penulis menemukan beberapa
tarekat yang di bawah asuhan seorang mursyid tarekat, antara lain: tarekat
Sya>z\iliyyah, tarekat Qa >diriyyah wa an-Naqsyabandiyyah dan tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah.
Dari ketiga tarekat diatas, kemudian penulis melakukan konfirmasi
terhadap salah satu mursyid tarekat yang bernama KH. Abdul Haq mengenai
perkembangan tarekatnya dan tarekat yang lainnya. Informasi yang penulis
terima dari keterangan mursyid tersebut bahwa pertama tarekat Qa>diriyah wa
an-Naqsyabandiyyah. Dahulu ia dapat berkembang di Kecamatan Wedung
tepatnya di desa Kuanyar.
Namun seiring berjalan waktu ketika seorang mursyid dari tarekat
Qa>diriyah wa an-Naqsyabandiyyah telah meninggal dunia dan ia belum
memberi wasiat atau menunjuk sosok pengganti dari dirinya sebagai mursyid,
baik dari keturunan, saudara maupun murid-muridnya maka tarekat tersebut
menjadi vakum atau mengalami kekosongan dan tidak berkembang lagi
(wawancara, KH. Abdul Haq).
Kedua tarekat Sya >z\iliyyah, pada awalnya tarekat ini dapat berkembang
di kecamatan wedung tepatnya di desa Duren. Namun ketika sang
81
mursyid/badal nya telah meninggal dan bersamaan dengan itu bahwa sang
mursyid juga belum menunjuk penggantinya maka tarekat tersebut tidak bisa
berkembang sebagaimana mestinya.
Sehingga pada akhirnya tarekat Sya >z\iliyyah di desa Duren tidak ada
penerusnya yang melakukan pembinaan terhadap murid-murid tarekat
dikarenakan ketiadaan sosok mursyid tarekat (wawancara, A. Dalhar, 25
Januari 2015).
Selanjutnya untuk mencari informasi lebih mendalam lagi penulis
bertanya kepada salah satu tokoh agama sekaligus pengikut dan pengamal
tarekat yang bernama KH. Ali Hafidh Cholil tentang keberadaan tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di Kecamatan Wedung. Kyai Hafidh kemudian
memberi informasi dan menunjukkan ke beberapa desa yang terdapat tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah beserta para mursyid-nya (wawancara, Ali
Hafidh, 22 Januari 2015). Di antara desa yang beliau sebutkan ialah; desa
Jetak, desa Muteh dan desa Buko.
Setelah penulis mendapatkan informasi tentang keberadaan tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di 3 (tiga) desa pada kecamatan wedung,
kemudian penulis melakukan kunjungan dan menemui para mursyid tarekat
untuk melakukan wawancara penelitian. Sedangkan urain wawancara
mengenai perkembangan tarekat an-Naqsyabandiyyah al-Kha>lidiyyah di tiga
(3) desa tersebut adalah sebagai berikut:
82
1. Potret Tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Jetak dan para
mursyid-nya.
Menurut KH Abdul Haq selaku mursyid tarekat an-Naqsyabandiyyah
al-Kha>lidiyyah di desa Jetak bahwa pada mulanya tarekat ini diperkenalkan
oleh K.H. Cholil (w. 1975) (selanjutnya di sebut Cholil). Cholil sendiri
adalah seorang mursyid pertama pada tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah di desa Jetak. Ia merupakan figur seorang sesepuh yang „alim,
kharismatik dan terhormat yang tinggal di desa Jetak1.
Cholil sebelum tinggal di desa Jetak ia di minta menjadi seorang kyai
oleh warga masyarakat di desa Pongangan kecamatan Bonang. Setelah
mengabdi beberapa tahun di desa Pongangan, ia memiliki beberapa bidang
tanah yang kemudian beliau mendirikan sebuah masjid di Pongangan.
Cholil selanjutnya pindah dari desa Pongangan menuju desa Duren.
Perpindahan ia juga disertai dengan mewakafkan seluruh bidang tanah
yang telah dimilikinya di desa Pongangan.
Alasan pindahnya Cholil menuju desa Duren tidak lain adalah karena
Warga masyarakat Duren berkehendak kepada Cholil untuk menjadi
seorang kyai di sana. Pada akhirnya setelah Cholil mengabdi beberapa
tahun di desa Duren, ia juga diminta menjadi seorang kyai pula oleh warga
1 Keterangan dari informan/nara sumber (Kyai Abdul Haq) dalam menerangkan asal-muasal
Cholil tampak sedikit mengalami kebimbangan, yaitu: apakah Mbah Cholil merupakan orang asli
kelahiran dari Jetak atau orang yang pertama kali berdomisili di Jetak tanpa diketahui asal-mula
keberadaannya (wawancara Abdul Haq, 23 Januari 2015). Namun menurut Ali Munir selaku cucu dari
istri pertama Mbah Cholil menyebutkan bahwa Mbah Cholil sendiri berasal dari Pongangan
Kecamatan Bonang (wawancara Ali Munir, 24 April 2015).
83
desa Jetak dikarenakan di desa Jetak sendiri belum ada sosok seorang
kyai.2
Cholil akhir pindah dan bermukim di desa Jetak dan meninggalkan
desa Duren dikarenakan di desa tersebut sudah terdapat beberapa kyai yang
juga berkhidmah di sana. Demikianlah kisah perjalanan kehidupan dakwah
Cholil dari satu desa ke desa yang lain sebagai seorang Kyai sepuh yang
alim serta kharismatik.
Informan menyebutkan bahwa Cholil setelah di desa Jetak ia
mendedikasikan hidupnya untuk mengajar beberapa ilmu agama kepada
warga masyarakat Jetak seperti al-Quran, kitab kuning (salaf) dan tarekat,
yaitu tarekat an-Naqsyabandiyyah al-Kha >lidiyyah. Beberapa bukti
perjuangan Napak tilah dari Cholil di desa Jetak masih berdiri kokoh
hingga sampai saat ini, yaitu berupa Masjid Baitul Muttaqin, pondok
tarekat dan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Ibtidaiyyah,
Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah dan Madrasah Diniyyah yang
sekarang bernaung di bawah Yayasan al-Choliliyyah di desa Jetak.
Perjuangan Cholil tersebut telah dilanjutkan oleh z\urriyah
(keturunan)nya sehingga dapat berkembang luas sampai sekarang.
Sedangkan perkembangan tarekat an-Naqsyabandiyyah al-Kha>lidiyyah di
desa Jetak semenjak periode Cholil mengalami perkembangan, yaitu
bertambahnya para murid yang mengikuti tarekat baik yang berasal dari
2 Abdul Haq tidak menjelaskan tahunnya secara detail dikarenakan pada waktu itu usia
informan yang masih belia, maka dari itu beliau tidak mengetahui secara detail bagaimana kisah Cholil
di desa Duren. Di samping itu informan berdomisili di desa Jetak bukan di desa Duren.
84
desa Jetak sendiri maupun dari wilayah sekitarnya, antara lain Tempel,
Pasir, Angina-Angin, Menco, Bugel dan Bandengan (Jepara).
Setelah Cholil wafat, tampuk kepemimpinan mursyid tarekatnya
diberikan kepada KH. Abdul Basyir3 (selanjutnya disebut Basyir), yaitu
putra Cholil dari istri pertamanya. Basyir awal mula bai‟at tarekat kepada
Zuhri (Girikusumo), kemudian setelah menjadi mursyid ia melanjutkan
tugas sebagai mursyid tarekat seperti halnya tugas mursyid yang telah
dilakukan oleh Mbah Cholil (wawancara Ali Munir, 24 April 2015).
Basyir menjadi mursyid tarekat hanya berlangsung kurang lebih
sepuluh tahun, dan akhirnya beliau wafat. Pada saat meninggalnya Basyir,
ia belum sempat menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya
sebagai mursyid. Sehingga posisi mursyid pada saat itu mengalami
kekosongan, hanya saja kegiatan tarekat di desa Jetak pada waktu itu masih
dapat berjalan seperti sedia kala sebagaimana ketika masih terdapat
mursyid dalam tarekat tersebut. Hal itu dikarenakan ada seorang badal
mursyid dari Duren, yang bernama KH. Muhtar yang dulunya menjadi
badal dari Cholil (wawancara Abdul Haq, 23 Januari 2015).
3 Menurut Ali Munir selaku putra dari Basyir bahwa ia adalah putra keempat Cholil dari istri
pertama yang bernama Hj. Khadijah. Latar belakang pendidikan Basyir adalah seorang santri yang
pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren di Mayong kepada Kyai Abdul Khaliq. Selain itu
Mbah Basyir melanjutkan ke pondok Bareng Kudus kepada Kyai Yasin, Beliau juga pernah menjadi
santri di pondok Lasem di tempatnya Kyai Maksum Lasem. Mbah Basyir semasa hidupnya sebelum
menjadi mursyid, ia juga aktif di berbagai keorganisasian seperti kepala Sekolah dan Pengurus NU di
Kabupaten Demak. Ketika umur 50 tahun Mbah Basyir diangkat menjadi mursyid tarekat dan
meninggal dunia pada usia 63 tahun pada tahun sekitar 1984. Mbah basyir sendiri mempuyai 8 anak
keturunan, 2 anak di antaranya telah meninggal di usia belia (wawancara Ali Munir, 24 April 2015).
85
Ketika Muhtar berperan menjadi badal mursyid yang mengalami
kekosongan dalam tarekat tersebut, ia hanya menjalankan tugasnya untuk
memberi tawajjuhan saja dan tidak melakukan proses bai‟at. Sedangkan
proses pembai‟at dan kegiatan khalwat dilakukan oleh seorang mursyid
yang didatangkan dari Girikusumo, yaitu KH. Munif.
Kekosongan mursyid dalam tarekat tersebut tidak berlangsung lama
dikarenakan seorang putra dari Cholil sendiri dari istri ketiga yang bernama
KH. Abdul Haq (selanjutnya disebut Abdul Haq) dengan berselang
beberapa tahun beliau kemudian diangkat oleh Munif sebagai penerus
mursyid tarekat di desa Jetak, setelah selesai menjalani suluk tarekatnya.
Tugas awal dari Abdul Haq (sebutan untuk KH. Abdul Haq) sebelum
diangkat menjadi mursyid adalah menjadi imam rathib (imam Sholat tetap)
di masjid Jami‟ al-Muttaqin desa Jetak sebagai pengganti Basyir. Sebelum
jenazah Basyir diberangkatkan menuju masjid untuk disholatkan bahwa
ada satu pengumuman yang ditujukan kepada semua warga desa Jetak
mengenai; “siapa yang akan menjadi pengganti imam ratib di Masjid al-
Muttaqin” tersebut, sehingga pada akhirnya warga masyarakat secara
aklamasi mengangkat dan menyetujui jika Abdul Haq terpilih menjadi
imam ratib di masjid al-Muttaqin selaku pengganti dari Basyir (wawancara
Abdul Haq, 23 Januari 2015).
Berselang satu minggu dari meninggalnya Basyir, Abdul Haq diantar
oleh Ali Rodli (selanjutnya disebut Rodli) dan Kyai Mas‟udi (Muteh) ke
KH. Munif untuk melakukan bai‟at tarekat. Sebelum berbai‟at pada Munif,
86
Abdul Haq pernah diajak sowan/berkunjung ke KH. Arwani (Kudus) oleh
Rodli untuk berbai‟at kepada Arwani. Namun ketika sampai di kediaman
Arwani, ia tidak berada ditempat dikarenakan sedang bertakziyah, sehingga
niat Abdul Haq untuk berbai‟at tarekat kepada Arwani urung dilakukan
(wawancara Abdul Haq, 23 Januari 2015).
Abdul Haq pertama kali melakukan bai‟at tarekat adalah kepada
Munif (Girikusumo) sampai akhirnya ia diangkat menjadi mursyid. Abdul
Haq menempuh proses ta„allum dan ta‟di >b tarekatnya kepada Munif
(Girikusumo). Di samping itu ia juga selalu ikut kegiatan tawajjuhan yang
dilakukan oleh KH Muhtar di Pondok tarekat desa Jetak. Kegiatan
tawajjuhan itu selalu diikuti oleh Abdul Haq hingga sampai ia
diperintahkan oleh kyai Munif untuk mengikuti khalwat pada bulan-bulan
tertentu (Muh}arram, Rajab dan Ramad }a>n). Setelah Abdul Haq melakukan
beberapa khalwat, ia kemudian mendapat perintah (dawuh-jawa) dari
Munif untuk menjadi badal mursyid-nya. Selain itu, ia juga diperintahkan
membantu kepada Muhtar untuk ikut serta men-tawajjuh para murid
tarekat di pondok tarekat desa Jetak (wawancara Abdul Haq, 23 Januari
2015 ).
Kemudian berselang beberapa tahun, Abdul Haq setelah
menyelesaikan serangkaian khalwatnya yang telah diperintahkan oleh
Munif. Selanjutnya ia mendapat ijin/dawuh untuk membai‟at para murid
dan memegang sendiri pada kegiatan tawajjuhan di setiap hari selasa di
pondok tarekat desa Jetak.
87
Abdul Haq setelah mendapat ijin dan diperbolehkan untuk
membai‟at sendiri oleh Munif, ia kemudian melakukan bai‟at dan
tawajjuhan secara mandiri di pondok tarekat desa Jetak, yaitu setiap hari
selasa pagi sampai menjelang siang. Selain itu, ia juga mengadakan
kegiatan khalwat pada bulan-bulan tertentu seperti, Muharram, Rajab dan
Ramadhan (wawancara Abdul Haq, 23 Januari 2015).
Kegiatan bai‟at, tawajjuhan dan khalwat masih berlangsung hingga
sampai sekarang. Sedangkan murid tarekat yang mengikuti kegiatan
tawajjuhan kurang lebih sebanyak 200 murid tarekat. di antara para murid
tarekat ada yang rutin mengikuti kegiatan tawajjuhan namun sebagian ada
yang tidak mengikutinya.
2. Potret Tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Buko dan para
mursyid-nya.
Gambaran umum mengenai tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di
desa Buko adalah berawal dari keberadaan KH. Syahid (selanjutnya
dipanggil Syahid).4 Ia adalah salah satu seorang pejuang yang turut serta
berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang di desa Buko pada
masa itu.
Syahid datang di desa Buko untuk mensyiarkan agama Islam dan
tarekat kepada warga masyarakatnya. Ia juga pernah menimba ilmu-ilmu
4 Menurut Narasumber dari Cucunya yang bernama KH. Ahmad Dalhar (selanjutnya Mbah
Dalhar) bahwa asal-muasal keberadaan Syahid, usia dan tanggal wafatnya tidak diketahui karena
informan yang bersangkutan tidak begitu mengetahui secara jelas figur dari Syahid sendiri hanya
berdasar cerita dari sesepuh di desa Buko. Selain itu, informan ketika ditanya peneliti mengenai tahun
mengenai keberadaan Syahid maka jawaban yang disebutkan adalah pada masa Belanda (wawancara,
25 Januari 2015).
88
agama dan ilmu tarekat di kota Makkah ketika menjalankan ibadah haji.
Syahid juga sempat ber-bai‟at tarekat kepada mursyid di Kota Makkah5
(wawancara, Ahmad Dalhar, 25 Januari 2015).
Syahid selain pejuang ia juga sebagai seorang mursyid tarekat pada
periode awal yang ikut menyebar luaskan perkembangan tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Buko. Tapak tilasnya yang masih
dapat dijumpai adalah pondok tarekat yang masih berdiri kokoh beserta
kegiatan tarekatnya hingga sampai sekarang.
Setelah Syahid meninggal kegiatan tarekat kemudian dilanjutkan
oleh putranya yang bernama KH Ali Mukarrom (selanjutnya Mukarrom).6
Menurut Dalhar bahwa Mukarrom ketika proses awal memasuki dunia
tarekat, ia melakukan bai‟at kepada KH. Mansur (Popongan). Setelah
bai‟at, ia kemudian melakukan pendalaman atau ngaji (belajar) tarekat
kepada kyai Mansur (Popongan) hingga sampai wafatnya. Berhubung
Mukarrom ngaji-nya kepada Mansur (Popongan) belum khatam, sehingga
ia melanjutkkannya kepada KH. Abdullah Khafidz (Rembang untuk
menyelesaikannya (wawancara, Dalhar 25 Januari 2015).
Kyai Mukarrom setelah selesai belajar tarekatnya kepada KH.
Abdullah Khafidz (rembang), hingga ia mendapatkan ijin untuk membai‟at
5 Informan menceritakan kisah dari pernyataan Kyai Alawi (Muteh) yang diutarakan oleh
Ayahnya. Pada waktu itu KH. Ali Mukarrom (Ayah dari Mbah Dalhar ) berada dalam satu camp
(maktab/tenda) Haji bersama Kyai Alawi dari Muteh yang mengatakan bahwa Mbah Syahid telah
berbai‟at kepada seorang Mursyid di Kota Makkah. 6 Mbah Syahid memiliki dua anak, yaitu Mbah Mukarrom selaku putra pertama dan Bu Hj.
Fadhilah. Mbah Ali Mukarrom menikah kemudian memiliki dua anak, yaitu Ali Khafid (Buko) dan
Ahmad Dalhar. Dari kedua anak tersebut nantinya menjadi pengganti mursyid berikutnya setelah
meninggalnya Mbah Mukarrom (wawancara, Ali Khafid (Jetak), 22 Januari 2015).
89
secara mandiri sebagai mursyid tarekat di desa Buko. Kyai Mukarrom
ketika menjadi mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa
Buko, ia kemudian melanjutkan tarekat Ayahnya (KH Syahid) hingga
sampai akhir hayatnya, yaitu pada tahun 2006 M dengan usia 86 Tahun.
Sebelum meninggal, Mukarrom memanggil kedua anaknya
“berwasiat” membai‟at dan memberi ijin untuk menjadi penerus tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Buko.7 Pada waktu itu, Pengganti
mursyid selanjutnya akan dilimpahkan pada anak pertama dari Mukarrom,
yaitu KH. Ali Khafid (Buko). Pilihan tersebut Dikarenakan faktor usia
lebih tua juga kapasitas keilmuan lebih dahulu mumpuni. Selain itu, Mbah
Khafid juga seorang al-Hafidz/ h}amilul Qur‟a >n (orang yang sudah hafal al-
Qur‟an sebanyak 30 Juz) (wawancara, A. Dalhar, 25 Januari 2015).
Sedangkan Khafid (Buko) jauh-jauh hari sebelum menjadi mursyid,
beliau telah diperintah oleh orang tuanya untuk melakukan bai‟at tarekat
kepada KH. Abdullah Salam (pati) (terkenal dengan Mbah Dullah Salam).
Namun, ketika Khafid (Buko) sowan kepada Dullah Salam dan meminta
ijin untuk berkenan membai‟at tarekat kepadanya, Beliau tidak berkenan
membai‟atnya melainkan menyuruhnya untuk berbai‟at tarekat kepada
7 Keterangan adanya wasiat dibai‟at dan mendapat ijin sebagai pengganti mursyid dari Mbah
Ali Mukarrom dibenarkan oleh kedua putra dari Mbah Mukarrom, yaitu Mbah Khafidz (Buko)
(wawancara, 15/5/2015) dan Mbah Dalhar (wawancara, 25/1/2015). Meskipun keduanya mendapat
wasiat dan ijin, tetapi Mbah Dalhar mempersilahkan kepada kakaknya terlebih dahulu untuk
melakukan bai‟at tarekat di Desa Buko. Sedangkan Mbah Dalhar membantu dalam mengisi pengajian
dan memberi tawajjuhan.
90
KH. Habib Luthfi (Pekalongan) (selanjutnya Habib Luthfi) (wawancara,
Ali Khafidz (Buko), 15 Mei 2015).
Mbah Khafidz ketika sowan kepada Habib Luthfi untuk berbai‟at
tarekat, ia mendapat beberapa pertanyaan seputar tentang dirinya. Pada
akhirnya, ia menceritakan kronologi asal-muasal dari keinginan baiat
tarekat. Setelah ia Khafidz berbai‟at tarekat kepada Habib Luthfi,
kemudian Habib Luthfi memberi dawuh (perintah) kepada Khafidz untuk
melakukan tawajjuhan dan ngaji tarekat ditempat terdekat dari tempat
domisilinya.
Khafidz melakukan tawajjuhan tarekat di desa Buko sendiri, yaitu
kepada mursyid Mbah Ali Mukarrom yang tidak lain merupakan orang
tuanya sendiri. Kegiatan tawajjuhan beserta khalwat rutin pada bulan-bulan
tertentu yang dilaksanakan di pondok tarekat desa Buko, selalu diikuti oleh
Khafid. Sehingga menjelang wafat Mukarrom, ia mendapat wasiat dan ijin
untuk menjadi pengganti penerus mursyid berikutnya.
Pada waktu itu, pada tahun 2006 M hingga sampai sekarang (2015
M), Mbah Khafid menjadi penerus mursyid tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah di desa Buko. Perkembangan tarekat di desa Buko semakin
menyebar luas di wilayah sekitar desa Buko. Sedangkan jumlah para murid
tarekat yang mengikuti kegiatan tawajjuhan sampai saat ini berkisar 500
orang (wawancara, Ali Khafidz, 15 Mei 2015).
91
3. Potret Tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Muteh dan para
mursyid-nya.
Peneliti melakukan wawancara kepada mursyid Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah di desa Muteh yang bernama KH. Mansur (selanjutnya
Mansur) pada tanggal 24 Januari 2015.8 Ia menjelaskan bahwa
perkembangan tarekat di desa Muteh berawal semenjak pada Masa KH
Sanusi (selanjutnya Sanusi). Sedangkan Sanusi sendiri merupakan orang
tua dari Mansur yang sekarang menjadi penerus mursyid tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Muteh.
Konon, Sanusi ketika menyebarkan tarekatnya berasal dari KH.
Mansur popongan. Setelah menjadi khalifah9 atau diangkat menjadi
mursyid, ia kemudian menyebar luaskan tarekat di desa Muteh
(wawancara, Mansur, 24 Januari 2015). Setelah Sanusi meninggal, mursyid
tarekat kemudian diturunkan oleh putranya, yaitu Mansur Sanusi.
Namun penuturan dari Mansur sendiri bahwa ia tidak langsung
menerima ijin ke-mursyid-an dari sang Ayah, melainkan dari KH. Arwani
Kudus (wawancara, Mansur, 24 Januari 2015). Setelah Mansur mendapat
ijin sebagai khalifah atau mursyid tarekat, beliau meneruskan tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Muteh hingga sampai sekarang.
8 Ia adalah seorang sosok Kyai sepuh dan sekaligus sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah di desa Muteh. Ia juga menjadi pengasuh pondok pesantren Darut Tauhid Muteh kulon.
Dikarenakan faktor usia, ketika proses wawancara berjalan informan dalam memberikan informasi dan
data mengenai perkembangan tarekat Naqsyabandiyyah Kha>lidiyyah di desa Mutih sedikit mengalami kesulitan serta hanya memberi jawaban secara singkat-singkat saja sehingga hal ini menyebutkan
minimnya data yang didapatkan. 9 Yaitu seseorang yang sudah melakukan rangkaian ta‟di>b tarekat dan telah menyelesaikan
jenjang khalwat tarekatnya serta mendapat ijin khusus dari seorang guru mursyid.
92
Sedangkan pengikut tarekat di desa Muteh yang sampai sekarang masih
aktif mengikuti kegiatan tarekat (tawajjuhan dan khalwat) sekitar 200
orang.
C. Sanad Mursyid Tarekat
Keberadaan silsilah sanad dalam tarekat sangat penting sekali, karena
dapat menentukan mu„tabarah atau tidaknya suatu tarekat. Begitu juga sama
pentingnya atas keberadaan silsilah sanad dalam mursyid tarekat, karena
selain sebagai keabsahan mata rantai sosok figur seorang mursyid juga akan
memberi dampak pada segala aktifitas kegiatan tarekatnya10
.
Keberlangsungan silsilah sanad mursyid dalam tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di Kecamatan Wedung dapat diketahui dari
hasil wawancara terhadap para mursyid tarekat di desa Jetak, desa Buko dan
desa Muteh, yaitu:
Pertama, KH. Kholil merupakan periode awal dari mursyid tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah yang berada di desa Jetak. Dia adalah orang
yang mengenalkan tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Jetak.
Silsilah ke-mursyid-an KH. Kholil berasal dari KH. Zahid (w. 1966)
10 Menurut an-Na>zili> (tt: 188-189) bahwa seorang mursyid yang tidak memiliki silsilah
sampai pada Nabi Muhammad Saw, maka keberkahannya akan terputus, tidak diperkenankan untuk
membai‟at dan memberi ijazah.
93
Girikusumo. Sedangkan Zahid sendiri silsilah sanadnya dari ayahnya yang
bernama KH. Muhammad Hadi dari Girikusumo11
.
Setelah meninggalnya Kholil, status mursyid tarekat kemudian
dilanjutkan oleh Basyir (w. 2000), selaku putra dari istri pertama Kholil.
Basyir sendiri sebelum meninggalnya Kholil, ia telah aktif dalam dunia
tarekat dan cukup lama melakukan bai‟at tarekat. Sehingga jeda pergantian
mursyid dari Kholil kepada Basyir relatif singkat. Hanya berselang waktu
setengah tahun saja, para masya >yikh tarekat antara lain KH. Arwani (Kudus),
KH. Abdullah Hafidh (Rembang) dan KH. Zuhri (Girikusumo) telah
melakukan pengangkatan dan peresmian kepada Basyir untuk menjadi
mursyid tarekat berikutnya12
.
Setelah beberapa tahun kemudian Basyir meninggal dunia. Pada saat itu
beliau tidak berwasiat atau mengangkat mursyid sebagai penggantinya, baik
dari pihak keluarga maupun murid-muridnya. Yang terjadi adalah posisi
mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Jetak
mengalami kekosongan (belum ada pengganti). Sehingga kegiatan tarekat
yang berupa tawajjuhan dan khalwat diisi oleh beberapa badal mursyid dan
mendatangkan mursyid dari Girikusumo, Munif.
11 Mengenai silsilah sanad dari KH. Muhammad Hadi Girikusumo adalah berasal dari
Sulaiman Zuhdi dari Makkah. Lihat lebih lanjut Bruinessen (1996: 162). 12 Berdasarkan pada keterangan informan (Ali Munir) bahwa Mbah Basyir telah melakukan
bai‟at tarekat kepada KH. Zuhri yaitu putra dari KH Abdullah Hadi (Girikusumo). Namun status
mursyid dari Mbah basyir belum ada informan yang menjelaskan secara rinci, apakah pengangkatan
tersebut dilakukan oleh Mbah Kholil sendiri atau dari 3 para masyakyih di atas. Meskipun demikian,
Ali Munir menyebutkan bahwa peresmian dalam pengangkatan Mbah Basyir sebagai mursyid telah di
lakukan oleh ketiga masyayikh, yaitu Mbah Arwani, Mbah Hafidl dan Mbah Zuhri (wawancara Ali
Munir, 24/4/2015).
94
Abdul Haq (mursyid sekarang) pada masa itu masih tergolong baru
dalam memasuki dunia tarekat. Seiring berjalannya pendidikan tarekat yang
ditempuh oleh Abdul Haq di bawah bimbingan Munif berlangsung selama
beberapa tahun, maka Mbah Abdul Haq mendapat perintah (dawuh-jawa) dari
Mbah Munif untuk menjadi badal dan ikut membantu memberi tawajjuhan di
desa Jetak.
Dan selanjutnya Munif memerintahkan (men-dawuh-i) kepada Abdul
Haq untuk mengikuti khalwat hingga selesai (khatam), seraya ia (Abdul Haq)
memberi ilustrasi “ibarat mahasiswa sudah diwisuda”. Kemudian Munif
memberikan ijin13
kepada Abdul Haq untuk membaiat para murid dan
memegang kegiatan selasa-nan (tawajjuhan) secara mandiri di desa Jetak.
Pada saat Abdul Haq menerima dawuh untuk membai‟at dan menjalankan
kegiatan tarekat secara mandiri, ia merupakan awal dari statusnya menjadi
seorang mursyid.
Kedua, silsilah sanad mursyid tarekat di desa Buko berawal dari KH.
Syahid yang berbai‟at tarekat dengan mursyid yang berada di Kota Makkah.
Dari informasi yang didapat penulis bahwa sumber pertama dari KH. Ahmad
Dalhar mengatakan silsilah ke-mursyid-an KH. Syahid berasal dari seorang
mursyid Makkah (wawancara, A. Dalhar, 25 Januari 2015).14
13 Adapun redaksi yang di utarakan informan pada saat itu adalah; “Saya (Abdul Haq) setelah
beberapa tahun kedawuhan untuk khalwat, saya kemudian di dawuhi untuk membaiat. Ya tidak matur
hanya didawuhi sendiri, begitu juga ketika saya menjadi badal.“Pun Mas mengenai selasanan
njenengan yang memegang sendiri” ujar Mbah Munif (wawancara, Mbah Abdul Haq 23 Januari
2015). 14 Kyai Dalhar selaku informan tidak mengetahui secara pasti mengenai nama atau sosok
mursyid yang berasal dari kota Makkah.
95
Penjelasan informan tersebut memberi dua pemahaman, yaitu pertama
yang dimaksudkan dapat berupa silsilah sanad tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyahnya atau kedua silsilah mendapat ijin sebagai mursyid tarekat.
Dari dua pemahaman tersebut ada kemungkinan benarnya atau bahkan hanya
salah satunya saja.
Jika mengacu pada silsilah sanad tarekatnya yang diikuti oleh Syahid,
maka hal itu dapat diterima dan dibenarkan. Dikarenakan pada waktu itu
adalah musim haji sedangkan Syahid sendiri melakukan haji dan berbai‟at
tarekat dengan mursyid Makkah. Hal ini berdasarkan keterangan Kyai Alawi
(Muteh) yang sempat beribadah haji bersama Mbah Syahid serta tinggal
dalam satu camp / maktab.
Sedangkan jika mengacu pada opsi kedua mengenai keberadaan silsilah
Syahid dalam mendapatkan ijin sebagai mursyid. Menurut penulis bahwa hal
itu dapat saja terjadi karena ibadah haji pada waktu dulu memakan waktu
yang cukup lama sehingga dapat dimungkinkan masa tenggangnya digunakan
untuk mengaji ilmu tarekat dan mendalaminya. Meskipun demikian, penulis
belum mendapatkan data yang lengkap mengenai pemahaman opsi yang
kedua ini.
Mengenai sumber kedua dari penuturan KH. Ali Khafid (Buko), yang
sekarang menjadi penerus mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di
desa Buko mengatakan bahwa silsilah sanad mursyid tarekatnya berasal KH
Muhammad Hadi Girikusumo (wawancara Ali Khafidh, 15 Mei 2015).
96
Keterangan ini berdasarkan pada keterkaitan pertemanan antara Kyai
Kholil (Jetak) dengan KH. Syahid (Buko) yang pada waktu dulu sama-sama
mengaji dan mendalami tarekat di Mbah Hadi Girikusumo. Sehingga bisa jadi
keduanya setelah menyelesaikan proses tarbiah (ngaji tarekat dan khalwat) di
Girikusumo, mereka berdua mendapat ijin menjadi dari Hadi untuk menjadi
mursyid.
Jika berangkat dari keterangan seperti itu, maka keterangan versi
sumber kedua menunjukkan bahwa Syahid mendapat silsilah sanad tarekat
dan ijin menjadi mursyidnya berasal dari KH. Hadi (Girikusumo).
Bisa jadi, sumber dua versi di atas, baik versi Dalhar maupun Ali
Khafidz dapat digabungkan. Yaitu bahwa KH. Syahid melakukan bai‟at
tarekatnya kepada seorang mursyid tarekat yang berada di Kota Makkah.
Selanjutnya Mbah Syahid mengaji dan mendalami tarekatnya kepada KH.
Hadi Girikusumo hingga selesai dan mendapat ijin untuk menjadi mursyid.
Atau bisa juga Syahid melakukan dua kali baiat tarekat dengan mursyid yang
berbeda.
Ketika KH. Syahid meninggal, penerus mursyid tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Buko adalah KH. Ali Mukarrom
selaku putra dari Syahid sendiri. Sedangkan Mukarrom awal bai‟at tarekatnya
kepada KH. Mansur Popongan, namun pemberian ijin kepada Mukarrom
untuk menjadi mursyid diberikan oleh KH. Abdullah Khafidz dari rembang.
Yang mana pemberian ijin tersebut dilakukan setelah Mukarrom
menyelesaikan segala rangkaian khalwat dan tarbiyah tarekatnya.
97
Jika diamati bahwa silsilah sanad dari proses diangkatnya Mukarrom
menjadi mursyid ternyata tidak langsung menerima ijin dari jalur Syahid
sendiri melainkan melalui mursyid lain atau KH. Abdullah Khafid (rembang).
Meskipun demikian, hal itu tidak menghalangi keberlangsungan dari
kontinueitas silsilah sanad tarekatnya serta berjalannya kegiatan tarekat di
desa Buko.
Pada tahun 2006, Mukarrom meninggal dunia dengan usia 86 tahun.
Sebelum wafat, ia sempat memanggil kedua anaknya dan memberi wasiat
serta ijin supaya kelak ada yang menjadi pengganti mursyid tarekat di desa
Buko. Hingga pada akhirnya sang kakaklah (Khafid) yang diperkenankan
menjadi mursyid terlebih dahulu. Dan adiknya (Dalhar) sebagai wakil dari
Khafidz ketika sedang berhalangan.
Mengenai Khafidh sendiri pertama kali bai‟at tarekatnya kepada
Maulana Habib Luthfi, sedangkan tarbaiah tarekat, tawajjuhan dan
khalwatnya kepada ayahnya sendiri yaitu Ali Mukarrom. Ketika menjelang
meninggalnya Mbah Mukarrom, Khafidz mendapat ijin sebagai penerus
menjadi mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyahnya di desa Buko
hingga sampai sekarang.
Ketiga, sanad silsilah mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di
desa Muteh adalah pertama Mbah Sanusi. Mbah Sanusi silsilah sanadnya
berasal dari guru mursyidnya, yaitu KH. Mansur Popongan (wawancara,
Mansur Sanusi, 24 Januari 2015).
98
Setelah Sanusi meninggal, mursyid tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah dilanjukkan oleh putranya yang bernama Mansur Sanusi
(Muteh). Sedangkan Mansur berbaiat tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah
kepada KH. Arwani Kudus, hingga akhirnya beliau mendapat ijin menjadi
mursyid tarekat di desa Muteh.
KH. Mansur sebetulnya berbai‟at tarekat kepada beberapa masyayikh
tarekat, antara lain tarekat syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi, dan
tarekat Qadiriyyah dari KH. Muhammadun Pondoan (Pati). Namun dari baiat
beberapa tarekat tersebut Mansur hanya memiliki ijin menjadi
khalifah/mursyid pada tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah yang sebagai
penerus dari pada ayahnya.
Silsilah sanad mursyid pada tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di
desa Muteh tersebut dalam praktek pergantian mursyid pertamanya (KH.
Sanusi) tidak secara langsung memberikan ijin kepada putra/penerus mursyid
berikutnya. Melainkan penerus mursyid tarekat tersebut telah mendapatkan
ijin kemursyidannya dari guru mursyid lainnya15
. Sehingga penerus mursyid
tersebut setelah melakukan rangkaian ta‟di >b dan khalwat serta mendapatkan
ijin dari guru mursyidnya. Baru kemudia ketika ia (penerus) telah secara resmi
mendapat ijin (diangkat menjadi mursyid) maka kemudian ia baru melakukan
fungsi kemursyid-annya untuk melanjutkan tarekat yang telah ditinggal wafat
oleh sang mursyid pertama.
15 Yaitu melakukan tabarrukan ngaji tarekat kepada mursyid yang lebih senior yang masih
dalam satu tarekat dengan kata lain nyepuhke ilmu ketarekatan.
99
D. Kualifikasi Mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Kha>lidiyyah di
Kecamatan Wedung
Mengenai gambaran tentang kualifikasi mursyid dalam tarekat, Penulis
telah melakukan wawancara kepada para mursyid tarekat Naqsyabandiyyah
Kha>lidiyyah yang berada di kecamatan Wedung. Tepatnya wawancara
tersebut ditujukan kepada para mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah
yang berada di tiga (3) desa, yaitu desa Jetak, desa Buko dan desa Muteh.
Sedangkan uraian kualifikasi mursyid dalam tarekat, terlebih pada tarekat
Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di Kecamatan Wedung adalah sebagai berikut;
1. Di Desa Jetak Bersama K.H. Abdul Haq
Menurut pemaparan K.H. Abdul Haq ketika diwawancarai sebagai
Mursyid tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Jetak adalah;
pertama, bahwa yang dimaksud sebagai mursyid secara umum merupakan
seseorang yang menunjukkan pada kebaikan. Sedangkan pengertian
mursyid dalam tarekat ialah orang yang menunjukkan jalan menuju Allah
SWT, dan juga dapat menuntun seorang (murid)16
pada jalan yang baik
(wawancara, Abdul Haq; 23 Januari 2015).
Keterangan Abdul Haq di atas menunjukkan bahwa mengenai
pengertian mursyid secara umum dapat merujuk pada setiap orang tanpa
harus terikat dengan kualifikasi tertentu, sehingga akan menjadi terbuka
16 Istilah murid dalam tarekat ialah seseorang yang sudah melakukan bai‟at tarekat kepada
seorang guru mursyid, sehingga sang murid dapat melakukan amalan dzikir tertentu dalam tarekat
yang sesuai petunjuk mursyidnya. Amalan dzikir tersebut, tidak diperkenankan untuk diamalkan bagi
setiap orang kecuali bagi mereka yang sudah melakukan bai‟at tarekat.
100
dan sah-sah saja ketika sebutan mursyid disandarkan bagi siapa saja yang
telah menunjukkan pada kebaikan.
Namun pengertian mursyid secara umum di atas akan menjadi
berbeda ketika pengertian mursyid dinisbatkan pada tarekat, karena seorang
mursyid tarekat harus memiliki kualifikasi tertentu yang harus ditempuh
dan dipenuhi oleh seseorang sebelum status mursyid melekat dalam
dirinya.
Sedangkan kualifikasi mursyid dalam tarekat tersebut menurut Abdul
Haq adalah:
Pertama, seorang mursyid harus terdiri dari seorang Muslim. Kedua,
seseorang yang „alim, sifat „alim disini tidak difahami sebatas pada
seseorang yang pandai dalam membaca kitab, melainkan juga harus orang
yang arif. Orang arif menurut penuturan Abdul Haq adalah seseorang yang
mengetahui kondisi lingkungan sosialnya, dapat saling menghormati dan
menjaga hak-kewajiban kepada sesama mahluk Allah SWT (wawancara,
Abdul Haq, 23 Januari 2015). Sehingga uraian orang alim yang arif dari
penjelasan Abdul Haq dapat dideskripsikan sebagai seseorang yang
memiliki kedalaman keilmuan juga mengetahui dan peduli terhadap
kondisi sosial-masyarakatnya, terlebih-lebih pada murid tarekatnya.
Ketiga, orang yang hatinya bersih, yaitu seseorang yang benar-benar
hatinya bersih tidak hanya sebatas pengakuan saja melainkan dibuktikan
dengan adanya konsistensi antara hati, ucapan dan perbuatan. Bersihnya
hati seseorang tersebut tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT, sehingga
101
untuk mengetahui manifestasi dari hati yang bersih diperlukan kondisi lahir
yang berupa akhlak17
yang terpuji.
Bentuk dari akhlak terpuji adalah terhindarnya seseorang dari sifat-
sifat tercela yang diibaratkan sebagai kotoran atau penyakit hati, yaitu
berupa sifat sombong, riya >‟, sum„ah dan „ujub. Menurut Abdul Haq bahwa
keberadaan sifat-sifat tercela itu dapat mengakibatkan kotornya hati
seseorang. Ibarat sawah yang sedang ditanami biji gabah kemudian muncul
berbagai macam rumput yang diumpamakan sebagai sifat tercela, niscaya
gabah tersebut tidak bisa berkembang secara baik dikarenakan terganggu
dengan macam-macam rumput tersebut. Selain itu, ism z\a >t tidak akan
menempel pada hati yang kotor, maka dari itu, seorang mursyid dituntut
memiliki hati yang bersih dan terhindar dari sifat-sifat tercela yang menjadi
penyakit hati (wawancara, Abdul Haq, 23 Januari 2015).
Keempat, sudah mendalami dan menyelesaikan dzikir tarekat mulai
tingkat pertama hingga akhir. Dalam tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah
terdapat dzikir wirid yang berjenjang mulai tahap awal sampai tahap akhir.
Kenaikan dzikir seorang murid dari satu tahap ke tahap yang lain
berdasarkan dawuh perintah seorang mursyid. Sehingga ketika seorang
murid dapat menyelesaikan dzikir hingga pada tahap akhir serta dipandang
mampu oleh seorang mursyid, dan ditunjang oleh bersihnya hati sang
17 Menurut al-Gaza>li > dalam kitab Ih}ya>‟ „Ulu >m ad-Di>n bahwa akhlak merupakan sifat yang
tertanam dalam jiwa, yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa
pertimbangan dan pemikiran yang mendalam (al-Gaza>li>, 1992: 177).
102
murid maka sang mursyid akan mengangkat sang murid untuk menjadi
mursyid.
Dalam penjelasan Abdul Haq bahwa tahapan proses dzikir tarekat
yang dilakukan oleh murid tarekat tersebut diumpamakan seorang
mahasiswa yang telah menyelesaikan proses studinya (kuliah, praktek dan
karya ilmiah) selanjutnya diwisuda.
Kelima, mendapat ijin dari seorang guru mursyid-nya. Berdasarkan
keterangan dari Abdul Haq bahwa ijin tersebut memang datangnya tidak
terduga, bukan atas permintaan sang murid melainkan atas penunjukkan
sang mursyid sendiri. Seumpama ada seorang murid yang memohon
kepada sang mursyid, tetapi seorang mursyid sendiri tidak berkenan untuk
memberi restu atau ijin. Maka jangan berharap dapat menjadi mursyid
karena proses menjadi mursyid yang mendapat ijin (dawuh) dari seorang
mursyid tidak lepas dari hasil penelitian (progress report) suluk tarekatnya
dan hasil petunjuk dari Allah SWT.
Selanjutnya, penjelasan dari informan (Abdul Haq) dalam
wawancaranya telah menyatakan bahwa syarat atau kualifikasi mursyid
bukan sebuah keharusan terdiri dari seseorang yang berasal dari z\urriyyah
(keturunan) seorang mursyidnya. Melainkan terbuka bagi siapapun yang
telah memenuhi kreteria dan mendapat ijin atau dawuh langsung dari
seorang mursyid atas pengangkatan dirinya sebagai mursyid.
Selain itu, bahwa proses terpilih menjadi mursyid tidak lepas dari
minh}ah ila >hiyyah (pemberian anugerah dari Allah SWT), bukan berdasar
103
iktisa>bi > (usaha sang murid). yaitu melalui ru‟yah s}a>lih}ah (mimpi yang
benar) atau ilham dari seorang mursyid. Sehingga seseorang tidak akan
mendapat mandat sebagai mursyid selama ia tidak mendapat instruksi dari
guru mursyidnya.
2. Di desa Buko bersama KH. Ali Khafidz dan KH. Ahmad Dalhar
Setelah penulis mewawancarai kepada dua narasumber yaitu, KH.
Ali Khafidz dan KH. Ahmad Dalhar, mengenai kualifikasi mursyid tarekat.
Yang mana kedua narasumber tersebut merupakan para mursyid tarekat
yang menjadi penerus mursyid sebelumnya, yaitu Ayahnya. Maka hasilnya
adalah sebagai berikut;
Informan pertama yaitu Dalhar, beliau menyatakan dalam
wawancaranya (25 Januari 2015) bahwa kriteria atau kualifikasi untuk
menjadi mursyid adalah:
Pertama, orang yang sudah bait dan mengaji tarekat. Point pertama
ini berlaku bagi siapapun yang telah mengamalkan tarekat, baik seorang
murid maupun keturunan dari mursyid-nya.
Alasan informan pada saat itu mengatakan bahwa; “menjadi mursyid
itu juga termasuk hidayah, disamping sudah mengaji t }ari>qah, sudah baiat
dan sudah pantas kalau dia menjadi mursyid”.
Berdasarkan statement tersebut dapat menunjukkan bahwa seorang
mursyid harus sudah menyelami amaliyah tarekat dahulu, di samping juga
dipandang cukup oleh guru mursyidnya untuk mengemban amanat sebagai
mursyid. Sehingga pada akhirnya seorang guru mursyid akan betul-betul
104
yakin bahwa seseorang yang akan diberi ijin sebagai mursyid merupakan
orang yang tepat dan memiliki kemampuan.
Kedua, KH. Dalhar mengatakan pendapat dari Syaikh „Abd al-Qa>dir
al-Jaila>ni> yang berupa memiliki ilmunya para ulama yaitu ilmu-ilmu
syari‟at dan ilmu tarekat, cakap dalam siasat para raja (strategi politik) dan
mengetahui hikmah-hikmahnya para ahli hikmah. Kriteria ini masih
bersifat fleksibel karena melihat kondisi dan situasi yang ada. Selain itu
syarat yang uraikan Syaikh „Abd al-Qa>dir al-Jaila >ni> sulit dijangkau oleh
orang awam, bahkan bisa jadi tidak bisa.
Ketiga, mendapat ijin dari seorang guru mursyid tarekatnya. Ada
tidak adanya ijin dari guru mursyid akan bergantung pada penilaian
subjektifitas guru mursyid sendiri terhadap murid tarekatnya. Sehingga
syarat atau kualifikasi yang berupa ijin ini didasarkan pada pertimbangan
seorang mursyid setelah melihat aspek kemampuan seorang murid yang
sudah dianggap mumpuni dengan segala kapasitasnya.
Dari kualifikasi tersebut tidak serta merta dapat menjadikan diri
seseorang berhak untuk menjadi mursyid. Dikarenakan menjadi mursyid
merupakan fad }l (anugerah) Allah SWT yang telah diberikan pada
hambanya, sebagai minh }ah ila >hiyyah yang harus didahului dengan proses
riya>d}ah18
yang berjenjang (wawancara, Dalhar, 25 Januari 2015). Sehingga
18 Riyadhah yang dimaksud disini sebagaimana yang difahami oleh Dalhar adalah
“menjalankan puasa dan khalwat 10 hari sampai 40 hari. Sedangkan riya >d}ah dalam t}ari>qah
Kha>lidiyyah, khalwat yang dijalankan ada yang 10 hari, 20 hari sampai 40 hari. Biasanya calon
seorang mursyid seperti itu, disamping sudah riya >d}ah, beliau juga harus mempunyai ilmu dan sudah
105
proses menjadi mursyid menurut Dalhar selain ada aspek ilahiyyah juga
harus dijalani (iktisa>bi >) seperti ngaji tarekat, khalwat dan riya>d }ah.
Sedangkan informan kedua berasal dari Khafidz, selaku mursyid
tarekat Naqsyabandiyyah Kha >lidiyyah di desa Buko pada saat sekarang.
Dari hasil wawancara pada tanggal 15 Mei 2015 bahwa Hafidh (Buko)
mengutarakan di antara syarat atau kualifikasi mursyid ialah;
Pertama, memiliki sifat alim, yaitu mengetahui ilmu-ilmu agama, al-
Qur‟an (h}a >fiz} al-Qur‟a >n) dan mengetahui ilmu dalam tarekat. Beliau juga
menekankan pentingnya mengetahui kandungan al-Quran sebagai syarat
dari seorang mursyid, yang kemudian direpresentasikan dari seseorang
yang telah memiliki hafalan al-Qur‟an (h}a>fiz} al-Qur‟a >n).
Kedua, memiliki hati yang bersih. Seperti zuhud, yaitu seorang
mursyid yang hatinya tidak selalu bergantung (kumantil- jawa) pada hal-hal
yang bersifat keduniaan, contohnya harta benda, jabatan dan sebagainya.
Ketiga, sanad mursyid tarekat. Seorang mursyid harus memiliki
silsilah sanad mursyid tarekat yang bersambung sampai kepada Rasulullah
saw.
Keempat, memiliki akhlak terpuji. Seorang mursyid mengedepankan
mu„a >syarah bi al-ma„ru >f (pergaulan yang baik) dengan baik terhadap
semua murid tarekat.
diizini oleh guru. Jadi ada tahapan-tahapan yang harus dilalui” (wawancara, Dalhar 25 Januari
2015).
106
Kelima, mendapat ijin dari guru mursyid. Ijin tersebut merupakan
bentuk dari legalisasi untuk melakukan bai‟at tarekat dan men-ta‟di >b para
murid tarekat secara mandiri. Khafidh menjelaskan bahwa seumpama ada
seorang murid tarekat yang telah memenuhi syarat-syarat menjadi mursyid
di atas, namun ia belum mendapat ijin dari guru mursyidnya maka ia tidak
boleh mendeklarasikan sebagai mursyid tarekat. Sehingga keberadaan ijin
ini diibaratkan sebagai license yang akan diberikan oleh mursyid tarekat
sebagai kewenangan terhadap seseorang yang telah memiliki kualifiksi dan
kompetisi sebagai mursyid.
3. Di desa Muteh bersama KH. Mansur Sanusi
Hasil dari wawancara pada tanggal 24 Januari 2015 bersama KH.
Mansur Sanusi menyebutkan bahwa kualifikasi mursyid tarekat antara lain;
Pertama, sudah bai‟at tarekat dan sudah menyelesaikan ta‟di >b
tarekat dan khalwat-nya.
Kedua, memiliki ilmu ulama, atau tabah}h}ur fi „ilm al-Isla>m (menurut
imam Ma >lik). Yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan, serta mumpuni dalam syari‟atnya serta mengetahui ilmu fikih
dalam ibadah keseharian, seperti wudhu, sholat, puasa, zakat dan ilmu
mu‟amalah, mu„a >syarah dengan sosial- masyarakat.
Ketiga, ilmu strategi atau politik.
107
Keempat, mengetahui hikmah-hikmah ibadah. Di antaranya berupa
keutamaan-keutamaan dalam menjalankan amal ibadah tersebut atau
berupa hikmah dibalik mengamalkan amalan tersebut.
Kelima, memiliki hati yang bersih19
.
Keenam, memiliki sanad.
Ketujuh, telah mendapat ijin dari guru mursyidnya. Sehingga jika ada
orang yang alim dan memiliki kualifikasi yang lainnya tetapi belum
mendapat ijin ke-mursyid-an dari guru mursyidnya maka Ia tidak akan
dapat menjadi mursyid tarekat.
KH. Mansur juga mengatakan bahwa faktor keturunan (z\urriyyah)
bukan termasuk sebagai kategori kualifikasi mursyid tarekat. Namun,
realitas sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa seorang mursyid ketika
meninggal tampuk penerus posisi mursyid beralih pada keturunan mursyid
tersebut.
Fenomena tersebut di jawab oleh Mansur seolah berdalih dan
mengklaim bahwa hal itu berdasarkan atas kesejarahan baiat tarekat yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad saw kepada lingkaran keluarga, kerabat
dan sahabatnya.
Sembari berkata; “pertama yang di baiat Abu > Bakar mertua beliau,
terus „Umar kemudian Us\ma>n kemudian „Ali > bin Abi> T{a>lib selaku mantu
19 Informan memberi contoh nyata mengenai kisah dari Kyai Salman (Solo). “Kyai Salman
dijadikan mursyid oleh Mbah Mansyur (Popongan), beliau pada saat itu masih kecil, masih bermain.
Bapaknya Mbah Salman merupakan seorang kyai sebagai mantunya Mbah Mansyur, dan sudah
mengajar kitab dimana-dimana tetapi beliau tidak dijadikan mursyid. Setelah Mbah Mansyur wafat,
Mbah Salman masih kecil belum dewasa, tetapi sudah diberi silsilah sanad”. Menurut penuturan dari
informan bahwa pemilihan Kyai Salman di antaranya atas pertimbangan kebersihan hati dari Mbah
Salman.
108
beliau, kemudian semua sahabat dan z \urriyyah Rasul Saw” (wawancara,
Mansur Sanuri, 24 Januari 2015).
E. Fungsi Mursyid pada Tarekat Naqsabandiyyah Kha>lidiyyah di
Kecamatan Wedung
Fungsi mursyid yang telah diuraikan oleh para mursyid tarekat
Naqsabandiyyah Kha >lidiyyah di Kecamatan Wedung pada saat wawancara
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar terdapat kesamaan dengan
teori yang ada. Dikarenakan subtansinya memiliki kesamaan maksud dan
tujuan dari apa yang penulis telah utarakan sebelumnya mengenai fungsi
mursyid.
Secara teori sebagaimana dalam bab dua bahwa di antara fungsi
mursyid tarekat ialah hifdz sanad, talqi >n, tawassul, ra >bit }ah, tawajjuh dan
irsya >d. Begitu pula dalam faktanya menunjukkan hal yang demikian. Pertama,
seperti penuturan dari KH. Mansur Sanusi selaku mursyid di desa Muteh
menjelaskan hifdz sanad dengan redaksi silsilah sanad20
.
Kedua, talqi>n dari beberapa uraian para mursyid21
menunjukkan bahwa
mereka juga menjalankan talqi >n kepada para murid tarekat. Kata talqi>n dalam
penjelasannya lebih sering menggunakan istilah bai‟at karena secara tidak
langsung dalam bai‟at tarekat di dalamnya terdapat ritual talqi >n dzikir.
20 Mengutip perkataan Mansur bahwa ketika peneliti menanyakan kepadanya: Ijin niku
termasuk ijazah nopo termasuk baiat atau apa pak kiai? Jawabannya: “Termasuk dalam silsilah, jika
tidak ada ijin maka tidak mempunyai silsilah (wawancara, Mansur 24 Januari 2015). 21 Di antaranya adalah KH. Abdul Haq (Jetak), KH. Ahmad Dalhar (Buko) dan KH. Mansur
Sanusi (Muteh)
109
Ketiga, ra>bit }ah. Pada poin ini juga menunjukkan bahwa seorang
mursyid juga berfungsi untuk ra>bit }ah bagi para murid tarekat dalam
permulaan dzikirnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh KH. Abdul Haq
selaku mursyid di desa Jetak bahwa:
“orang yang ikut tarekat harus mempunyai guru mursyid, sedangkan
orang yang sudah dibaiat harus melakukan rabithah, artinya rabt }
yaitu menyambung angan-angan, perasaan murid seolah-olah
dihadapi oleh gurunya.sehingga ia membayangkan kalau gurunya
yang membaiat didepannya artinya mengingat, membayangkan kalau
gurunya didepannya bisa lihat wajahnya motifnya, bentuknya, seperti
didepan mata atau menyambung perasaan, keterangannya seperti itu
menyambung hatinya dengan gurunya…” (Wawancara, Abdul Haq 23
Januari 2015).
Begitu juga menurut KH. Mansur Sanusi yang mengatakan tentang
keberadaan ra >bit }ah dalam tarekat; “Ra>bit }ah itu ingat, ra >bit}ah itu jalan syariat
untuk mendapat hidayah dari Allah SWT. Kalau sudah membicarakan soal
thariqah, ingat kepada guru itu selamanya (wawancara, Mansur Sanusi 24
Januari 2015).
Selain itu, menurut KH. Dalhar juga menjelaskan bahwa ra>bit }ah
merupakan ikatan rohani atau batin antara murid dengan gurunya, yaitu orang
ketika melakukan dzikir hal pertama yang diingat adalah mengingat gurunya
sebagai ikatan di antara keduanya untuk mengingat Allah Swt (Wawancara,
Dalhar 25 Januari 2015).
Uraian dari ketiga para mursyid menunjukkan bahwa seorang mursyid
tarekat berfungsi sebagai ra>bit }ah dzikirnya dari para murid tarekat. Kendati
110
uraian di atas menggunakan redaksi yang berbeda namun memiliki makna
subtansi yang sama.
Keempat, tawajjuh. Semua para mursyid mengakui atas fungsinya
untuk memberi tawajjuh kepada para murid tarekat. Tawajjuh ini merupakan
bimbingan atau pendidikan secara regular yang dilakukan seorang mursyid
kepada murid tarekatnya dalam waktu-waktu tertentu. Sebagian besar
tawajjuh dilakukan setiap sepekan sekali, yaitu hari Selasa atau bulan-bulan
tertentu seperti Muharram, Rajab dan Ramadhan.
Sebagaimana penuturan dari para mursyid tarekat, antara lain: KH.
Abdul Haq yang mengatakan:
“Berhadapan antara murid dengan guru, maka seorang murid itu di
tawajjuhi, dihadapi gurunya, dengan berhadap-hadapan kepalanya
(bathu‟e bertemu bathu‟-Jawa)…dengan tujuan bahwa orang dzikir itu
mencari nur Ilahi, yaitu nur yang terang. Saya contohkan matahari,
matahari kan cahayanya membuat terang alam. Cahaya matahari
memberi terangnya alam jadi namanya seorang mursyid itu ibarat
kaca pengilon jika dihadapkan pada cahaya matahari di siang hari
yang panas, atau ketika dihadapkan cahaya sinar matahari maka kaca
akan terdapat pantulan, semisal batrei terdapat bayangan terang yang
keluar dari kaca pengilon (cermin). Kaca yang terkena sinar matahari
saya nisbatkan Allah kemudian ditangkap oleh guru mursyid, guru
mursyid yang bercahaya dari kaca tersebut kemudian ditangkap oleh
muridnya. Makanya ditawajjuhi itu biar supaya nur ilahi yang
diterima guru kemudian disampaikan kepada muridnya. Karena
seorang murid belum kuat karena belum terang hatinya mungkin gelap
sehingga belum kuat menerima secara langsung. Saya contokan tadi
nur matahari ditangkap dengan kaca pengilon, sorotan kaca pengilu
diterima oleh muridnya, itulah tujuannya tawajjuhan. Atau saya
contohkan lagi, air hujan, air hujan saya ibaratkan sebagai nur dari
Allah Swt, air hujan tersebut jatuh pada genting selanjutnya ditangkap
talang (aliran air). Talang itu ibarat gurunya, ibarat jadi jalannya
Nur Allah, ibarat jadi jalurnya air, talang itu (gembrojok) mengalir
deras kebawah, yang di bawah grojokan talang itu ibarat muridnya.
Murid itu jika mau menadah maka insyaallah ia akan mendapatkan
air. Jadi membuat bercahaya hatinya murid itulah tujuan dari
111
tawajjuhan. Faham itu ya, Jadi guru nerima Nur ilahi, Nur Allah terus
disampaikan kepada muridnya. Sama dengan air hujan lewat talang
kemudian talang jatuh kebawah dan ditaruh ember atau yang lain,
untuk ember (wadah) ibarat muridnya. Itu tujuan tawajjuhan,
sehingga ketika ditawajjuhi satu persatu maka ada bacaan untuk
menerima Nur Allah yang lewat Guru. Sehingga bagi orang yang
belum masuk tarekat, ya tidak boleh mengetahui (Wawancara, Abdul
Haq 25 Januari 2015).
Begitulah di antara penjelasan mengenai praktek tawajjuh yang
dilakukan oleh seorang mursyid kepada murid-muridnya ketika melakukan
bimbingan atau tarbiah dalam sebuah tarekat. Praktek tawajjuh seperti itu
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi dan peran seorang
mursyid yang harus dijalankan sesuai kemampuan dan kapasitasnya selaku
menjadi seorang mursyid dalam sebuah tarekat.
Kelima, memberi irsya >d. Tugas yang harus dilakukan seorang mursyid
di antaranya adalah memberi bimbingan dan penunjuk jalan bagi para murid
tarekat dalam pendakian spiritualnya. Untuk itu memberi irsyad (bimbingan)
selain menjadi fungsi dari seorang mursyid mursyid juga sebagai bagian dari
tugas dan kewajiban yang harus ia lakukan. Sesuai keterangan dari KH. Abdul
Haq yang mengatakan bahwa;
“Mursyid itu seseorang yang menunjukkan kebaikan, memberi jalan
kepada murid tentang kebaikan ini secara umum, dalam tarekat ialah
menunjukkan jalan menuju Allah, menuntun orang pada jalan yang
baik” (wawancara, Abdul Haq 25 Januari 20015).
Dari pernyataan tersebut, dapat difahami bahwa seorang mursyid
tarekat berfungsi memberi irsyad (petunjuk) kepada murid tarekat demi
menghantar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
112
Dari beberapa fungsi mursyid di atas mencerminkan bahwa kerangka
teori yang terdapat dalam bab dua mempunyai kesamaan dan kesesuaian
dengan data lapangan mengenai fungsi mursyid tarekat dalam realitas
masyarakat. Sehingga penekanan akan pentingnya optimalisasi fungsi mursyid
dalam tarekat benar-benar dapat terealisasikan secara baik dan benar.
Sedangkan peran mursyid dalam sosial masyarakat di Kecamatan
Wedung adalah dari hasil pengamatan dan interview menunjukkan bahwa
sosok seorang mursyid tarekat mempunyai peran penting dalam sosial-
masyarakat, baik secara individu maupun sebagai pemimpin sebuah tarekat.
yaitu; di antaranya menjadi seorang da‟i keagamaan yang menyerukan
kepada warga masyarakat mengenai amr ma„ru >f dan nahy munkar.
Seorang mursyid tarekat di kecamatan Wedung hampir melakukan
perannya sebagai da‟i keagamaan pada masing-masih wilayahnya. Ada yang
keliling di berbagai wilayah atau hanya melakukan pengajian kitab-kitab salaf
di pondok pesantrennya dikarenakan sebagiannya ada yang menjadi pengasuh
pondok pesantren.
Selain itu, ada sebagian mursyid tarekat yang aktif dalam berbagai
ormas dan pengabdian sosial-masyarakat dengan mengisi pengajian-pengajian
diberbagai masjid daerah setempat.
Sedangkan peran mursyid tarekat di kecamatan Wedung dalam dunia
politik praktis cenderung tidak aktif, menutup diri dan hanya sekedar
berpartisipasi dalam memeriahkan proses demokratisasi perpolitikan di
Indonesia.