BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa...

43
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 70 BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG-PIUTANG Pembahasan dua fatwa terkait bunga dalam hutang piutang ini kendati memiliki tema kajian yang sama, namun secara materi isi dan argumentasi yang dibangun berbeda. Kedua fatwa memaparkan berbagai pertimbangan terlebih dahulu, termasuk tentang dalil yang melandasinya, kemudian tersimpulkan dalam ringkasan jawaban. Untuk itu, menelisik mengenai kedua fatwa tersebut paling tidak akan terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, Fata MUI tentang Bunga Bank, dan kedua, Fatwa NU tentang hutang piutang di Koperasi. Kedua fatwa beserta argumentasi yang sudah terdokumentasikan dalam serangkaian keputusan fatwa akan dipaparkan setelah memberikan selayang pandang (overview) mengenai masing-masing lembaga dan metode memutuskan fatwa. A. Fatwa MUI Terkait Bungan dalam Hutang Piutang 1. Sekilas Rekam Biografi MUI 1 MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. Gedung MUI Jl. Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat Telp. 062-21-31902666 Fax. 062-21-31905266. 1 Penjelasan mengenai sekilas rekam biografis MUI ini disaripatikan dari laman resmi MUI dalam www.mui.or.id (15 Januari 2015)

Transcript of BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa...

Page 1: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

70

BAB III

FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM

HUTANG-PIUTANG

Pembahasan dua fatwa terkait bunga dalam hutang piutang ini kendati

memiliki tema kajian yang sama, namun secara materi isi dan argumentasi yang

dibangun berbeda. Kedua fatwa memaparkan berbagai pertimbangan terlebih

dahulu, termasuk tentang dalil yang melandasinya, kemudian tersimpulkan dalam

ringkasan jawaban. Untuk itu, menelisik mengenai kedua fatwa tersebut paling

tidak akan terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, Fata MUI tentang Bunga Bank, dan

kedua, Fatwa NU tentang hutang piutang di Koperasi. Kedua fatwa beserta

argumentasi yang sudah terdokumentasikan dalam serangkaian keputusan fatwa

akan dipaparkan setelah memberikan selayang pandang (overview) mengenai

masing-masing lembaga dan metode memutuskan fatwa.

A. Fatwa MUI Terkait Bungan dalam Hutang Piutang

1. Sekilas Rekam Biografi MUI1

MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat

yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk

membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan

dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. Gedung MUI Jl. Proklamasi

No. 51 Menteng Jakarta Pusat Telp. 062-21-31902666 Fax. 062-21-31905266.

1 Penjelasan mengenai sekilas rekam biografis MUI ini disaripatikan dari laman resmi MUI dalam

www.mui.or.id (15 Januari 2015)

Page 2: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

71

MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,

cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain

meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia

pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam

tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,

Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari

Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan

POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk

membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan

cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,”

yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut

Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah

berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi

bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang

peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama

dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para

ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:

1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam

mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah

Subhanahu wa Ta’ala;

Page 3: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

72

2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan

kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat

beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan

penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan

pembangunan nasional;

4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam

dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan

kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi

dan informasi secara timbal balik.

Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima

fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar

Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali musyawarah nasional, dan

mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:

1. Prof. Dr. Hamka (1977-1981)

2. KH. Syukri Ghozali (1981-1983)

Page 4: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

73

3. KH. Hasan Basri (1983-1990)

4. Prof. KH. Ali Yafie (1990-2000)

5. KH. M. Sahal Mahfudz (2000-2014)

6. Prof. Din Syamsuddin (2014- sekarang)

Di antara beberapa produk MUI adalah Sertifikasi Halal, Hasil Kajian,

Rekomendasi, Buku Terbitan MUI dan Majalah. Selain itu, MUI memiliki

beberapa lembaga di antaranya adalah: Komisi-Komisi Fatwa MUI, LPPOM

(Lembaga Pengkajian Pangan, obat-obatan, dan Kosmetika ) MUI, Basyarnas

(Badan Arbitrase Syariah Nasional), LPLH SDA MUI (Lembaga Pemuliaan

Lingkungan Hidup Dan Sumber Daya Alam), DSN (Dewan Syariah Nasional).

Sebagai lembaga yang membidangi banyak hal terkait dengan kegiatan

keagamaan, MUI memliki komisi-komisi yang membantu mewujudkan MUI

menjadi lembaga komprehensif. Komisi-komisi MUI di antaranya adalah Komisi

Fatwa, Komisi Ukhuwah Islamiyah, Komisi Dakwah dan Pengembangan

Masyarakat, Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat, Komisi Informasi dan

Komunikasi, Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Komisi Hukum dan

Perundang-undangan, Komisi Pengkajian dan Penelitian, Komisi Kerukunan

Antar Umat Beragama, Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam, Komisi Hubungan

Luar Negeri Dan Kerjasama Internasional.

2. Metode penetapan Fatwa MUI

Dalam hal pedoman penetapan fatwa MUI, ada beberapa hal yang perlu

digarisbawahi. Di antaranya adalah dasar, prosedur penetapan fatwa, mekanisme,

format fatwa, serta kewenangan dan wilayah fatwa, yang kesemuanya termaktub

Page 5: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

74

dalam (1) Keputusan MUI no. U -596/ MUI/ X/ 1997tentang pedoman penetapan

fatwa, (2) Keputusan MAJELIS ULAMA INDONESIA no. U - 634/ MUI/ X/

1997 tentang mekanisme kerja komisi fatwa, dan (3) Keputusan MUI tanggal 12

April 2000 tentang pedoman dan prosedur penetapan fatwa MUI.2

a. Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa

MUI memiliki dasar-dasar umum dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam

bab 2 pasal 2, terdiri atas tiga ayat, sebagi berikut:3

1. Setiap fatwa harus mempunyai dasar dari Al-Qur’an dan sunnah yang

mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.

Ketentuan ayat ini merupakan kesepakatan dan keyakinan umat Islam bahwa

setiap fatwa harus berdasarkan pada kedua sumber hukum yang telah disepakati

tersebut. Fatwa yang bertentangan atau tidak berdasarkan pada keduanya

dipandang tidak sah, bahkan dipandang sebagai tah }akkum dan perbuatan dusta

atas nama Allah yang dilarang agama. Allah dalam firman-Nya secara tegas,

melarang tah{akkum.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh

lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan

2 Muhyidin, Dzari’ah sebagai metode penetapan hukum (antara yang sadd dan fath }), Jurnal al –

Ahkam Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Vol XV, 2004. 3 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, 945-947.

Page 6: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

75

kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan

kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (QS. Al nah }l [16]: 116).4

Dalam penetapan fatwa yang dilakukan MUI hanyalah menggunakan sunnah

mu’tabarah, yaitu sunnah yang dapat dijadikan hujjah. Sedangkan kemaslahatan

yang dimaksud di atas adalah yang sejalan dengan pensyari’atan hukum Islam.

2. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadith, sebagaimana

ditentukan dalam pasal 2 ayat 1, fatwa hendaklah tidak bertentangan

dengan ijma >’, qiya>s yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain,

seperti istih }sa>n, mas}a>lih} al-mursalah, dan saddu al dhari >’ah.

Setiap permasalahan yang akan difatwakan hukumnya terlebih dahulu harus

merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah. Selanjutnya, jika permasalahan yang akan

difatwakan hukumnya tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum itu, maka

harus diteliti apakah masalah tersebut sudah pernah ada pada ijma >’ dari ulama

terdahulu atau belum, jika sudah ada, maka fatwa harus sejalan dan tidak boleh

bertentangan dengan ijma >’. Kemudian jika tidak terdapat pada ijma >’, fatwa

dikeluarkan setelah melalui proses ijtihad menggunakan perangkat-perangkat

ijtihad yang memadai serta berpegang pada dalil-dalil hukum lain, seperti qiya >s,

dan sebagainya.

3. Sebelum pengambilan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para

imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum

maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang

berbeda pendapat, serta pandangan penasehat ahli yang dihadirkan.

4 Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 280

Page 7: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

76

Sebelum pengambilan fatwa hendaklah didengar terlebih dahulu keterangan

para ahli mengenai bidang yang akan difatwakan hukumnya. Jika masalah yang

dihadapi MUI merupakan masalah-masalah kontemporer, misalnya masalah

kedokteran, masalah perekonomian dan sebagainya, MUI harus mendengarkan

penjelasan terlebih dahulu dari para ahlinya, sehingga jelas permasalahannya.

Setelah itu dilakukan ijtihad untuk menentukan hukumnya. Dengan demikian,

diharapkan fatwa yang dikeluarkan mempunyai dasar dan landasan yang benar

secara ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.

b. Metode Penetapan Fatwa5

Sebelum menetapkan sebuah fatwa tertentu, MUI akan melakukan beberapa

langkah sebagai berikut:

1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau terlebih dahulu pendapat

para imam madzab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara

seksama berikut dalil-dalilnya.

2. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ah}ka>m al-qat }’iyya>t) hendaklah

disampaikan sebagaimana adanya.

3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzab, maka:

a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara

pendapat-pendapat madzab melalui metode al-jam’u wa al-taufi >q.

b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa

didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqa>ranat al-madha>hib

dengan menggunakan kaidah-kaidah us }u>l fiqh muqa >ran.

5 Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Surabaya: Erlangga,

2011), 5

Page 8: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

77

4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya dikalangan

madzab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif)

melalui metode bayani, ta’lili (qiya>si, istih }sa>ni, ilh}a>qi), istis}la >hi dan sadd

al-dhari >’ah.

5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum

(mas}a>lih} ‘ammah) dan maqa >s }id shari >’ah6.

Dalam masalah terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang

difatwakan adalah hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan

menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran yang berhubungan dengan

pentarjihan.

Dari uraian di atas kiranya dapat diketahui bagaimana proses dan mekanisme

penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI. Jika dirincikan proses dan mekanisme

tersebut adalah sebagai berikut7:

1. Pengkajian masalah. Dalam hal ini anggota komisi harus terlebih dahulu

mengetahui dengan jelas hakikat dan masalahnya. Jika masalahnya merupakan

masalah baru dan memerlukan penjelasan dari ahlinya, maka ahli yang

bersangkutan didengarkan penjelasannya.

2. Selanjutnya, setelah jelas permasalahannya, ditentukan apakah ia termasuk

ke dalam kategori hukum qat’iyat atau bukan. Jika termasuk kategori qat’iyat,

demikian juga jika telah ada ijma’ mu’tabar, MUI menetapkan fatwa sebagaimana

adanya. Jika tidak termasuk dalam kategori qat’iyat, MUI selanjutnya melakukan

ijtihat.

6 Ibid, MUI, 937-938.

7 Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Surabaya: Erlangga,

2011), 17-18

Page 9: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

3. Dalam melakukan ijtihad, MUI dapat menempuh ijtihad insya’i dan dapat

pula melakukan ijtihad intiqa’i, dalam hal ijtihad terakhir ini, MUI menggunakan

pendekatan muqaranah al-mazahib. Baik ijtihad insya’i maupun ijtihad intiqa’i

MUI melakukannya secara jama’i (ijtihad jama’i).

Demikian uraian singkat tentang mekanisme dan prosedur penetapan fatwa

secara umum yang dilakukan oleh MUI.

c. Prosedur Penetapan Fatwa Halal

MUI juga memiliki prosedur atau cara untuk mengambil sebuah penetapan

terhadap masalah tertentu. Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan

langkah-langkah berikut:8

Pertama, setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat

komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya;

Kedua, dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah

yang akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya dan untuk

dipertimbangkan.

Ketiga, setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama

melakukan kanjian terhadap pendapat para imam madzhab dan fuqaha >’ dengan

memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara Istiqla >l-nya dan

kemaslahatannya bagi umat. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau ada

satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut

sebagai fatwa.

8 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002, 170-171.

Page 10: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

79

Keempat, jika fuqaha >’ memiliki ragam pendapat, komisi melakukan

pemilihan pendapat melalui tarji >h} (ijtiha >d yang dilakukan seseorang atau

sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai

masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab fiqih yang

kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan

kondisi sekarang ini)9 dan memilih salat satu pendapat untuk difatwakan.

Kelima, jika tarji >h} tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat

melakukan ilh}a>q al masa >il bi naz}a>iriah > (menyamakan hukum suatu masalah yang

belum dijawab oleh kitab dengan masalah yang serupa yang telah dijawab oleh

kitab)10

dengan memperhatikan mulh}aq bih (al-as }l dalam konteks qiya >s), mulh }aq

ilayh (al-far’u dalam konteks qiya>s), dan wajh al ilha >q (persamaan antara

keduanya).

Keenam, apabila cara ilh }aq tidak menghasilkan produk yang memuaskan,

komisi dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al qawa >’id} al

us }uliyya >t dan al qawa >’id} al fiqhiyya >t.

2. Fatwa MUI Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang

Bunga (fa>idah atau interest) bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1

Tahun 2004 tentang bunga, setelah menimbang:

1. Bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga

(interest/fa >idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qard }) atau

9 Yu>suf Qard }awi >, al-Ijtiha>d fi> al-Shari >’ah al-Isla>niyah, Kuwait: Da >r al-Qalam, 1985, 115.

10 PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar,

Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010), LTN PBNU (ed.) Surabaya: Khalista, 2011,

470.

Page 11: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

80

utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,

individu atau lainnya.

2. Bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada Tanggal 22 Syawal

1424 H/16 Desember 2003 telah memfatwakan tentang status hukum

bunga

3. Bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu

menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk dijadikan pedoman.

Mengingat:

1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275-280

Page 12: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

81

(275) orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran

(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah

disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama

dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu

terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah

diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)

kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah

penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (276) Allah

memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai

Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,

mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi

Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka

bersedih hati. (278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah

dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang

beriman. (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),

Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika

kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu

tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (280) dan jika (orang yang

berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia

berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih

baik bagimu, jika kamu mengetahui”.11

Serta firman Allah dalam Surat Ali Imra >n ayat 130:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan

berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

keberuntungan”12

2. Hadis-hadis Nabi di antaranya:

a. Hadis Riwayat Abdullah

11

Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47 12

Ibid., 66

Page 13: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

82

قال إسحاق -واللفظ لعثمان -شيبة وإسحاق بن إبراهيم حدثنا عثمان بن أبى

أخبرنا وقال عثمان حدثنا جرير عن مغيرة قال سأل شباك إبراهيم فحدثنا عن

قال لعن رسول الل با ومؤكله -ملسو هيلع هللا ىلص- علقمة عن عبد الل قال قلت . آكل الر

ث بما سمعنا وكاتبه وشاهديه قال إنما نحد 13

“dari Abdullah ia berkata : Rasulullah melaknat orang yang memakan riba

dan memberikan riba. Rawi berkata: saya bertanya (apakah Allah dan

Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskannya dan dua orang yang

menjadi saksinya? Ia (Abdullah menjawab, “Kami hanya menceritakan apa

yang kami dengar” (HR. Muslim).

b. Hadis riwayat Jabir

باح وزهير بن حرب وعثمان د بن الص بن أبى شيبة قالوا حدثنا حدثنا محم

بير عن جابر قال لعن رسول الل با وموكله -ملسو هيلع هللا ىلص-هشيم أخبرنا أبو الز آكل الر

.وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء 14

“Dari Jabir berkata, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil)

riba, memberikan, menuliskan, dan 2 orang yang menyaksikannya”. Ia

berkata: “mereka berstatus huku sama” (HR Muslim).

c. Hadis Riwayat Abi Hurayrah

هند عن سعيد بن أبي أخبرنا قتيبة قال حدثنا بن أبي عدي عن داود بن أبي

خيرة عن الحسن عن أبي هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال

15يأتي على الناس زمان يأكلون الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره:

“Dari Abi Hurayrah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “akan datang

kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba,

Barang siapa tidak memakan (mengambilnya) ia akan terkena debunya (HR.

Al-Nasa>i).

13

Abu> al-H }usayn Muslim bin al-H }ajja >j bin Muslim al-Qushayry al-Naysa >bu>ry, Al-Ja >mi’ al-S }ah}i>h} al-Musamma > bi S}ah }i>h } Muslim Juz 5, (Beirut: Da >r al-Ji>l Beirut, t.th), 50. Hadis Nomor 2994 14

Ibid. Hadis Nomor 2995 15

Ah}mad bin Shu’aib Abu > Abdirrah }ma >n al-Nasa >i, Al-Mujtaba> min al-Sunan, cet. (t.t: Maktab al-

mat }bu>’a >t al-Isla >miyyah, 6891), 641

Page 14: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

83

d. Hadis Riwayat Abu > Hurayrah

حدثنا عبد هللا بن سعيد ، حدثنا عبد هللا بن إدريس ، عن أبي معشر ، عن

، عن أبي هريرة ، قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم : سعيد المقبري

با ه الر جل أم سبعون حوبا ، أيسرها أن ينكح الر16

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “ Riba adalah tujuh

puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang

yang berzina dengan ibunya”. (HR. Ibnu Majah).

e. Hadis Riwayat Abdullah

الص ، عن شعبة حدثنا عمرو بن علي يرفي أبو حفص ، حدثنا ابن أبي عدي

صلى هللا ، عن زبيد ، عن إبراهيم ، عن مسروق ، عن عبد هللا ، عن النبي

با ثالثة وسبعون بابا: عليه وسلم قال الر 17

“Dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ Riba mempunyai tujuh

puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibnu Majah).

f. Hadis Riwayat Abdullah bin Mas’ud

د بن جعفر ، حدثنا شعبة ، حدثنا سماك د بن بشار ، حدثنا محم حدثنا محم

ث عن عبد هللا بن : بن حرب ، قال حمن بن عبد هللا يحد سمعت عبد الر

با ، وموكله ، مسع ود ، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لعن آكل الر

18وشاهديه ، وكاتبه

“Dari Abdullah bin mas’ud: “ Rasulullah saw melaknat orang yang memakan

(mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang

yang menuliskannya.” (HR. Ibnu Majah)”.

16

Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:

Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 377. Hadis Nomor 2265. 17

Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:

Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 378. 18

Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:

Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 381

Page 15: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

84

g. Hadis Riwayat Abu > Hurayrah

نا إسماعيل ابن علية ، حدثنا داود بن أبي هند ، حدثنا عبد هللا بن سعيد ، حدث

قال رسول هللا : عن سعيد بن أبي خيرة ، عن الحسن ، عن أبي هريرة ، قال

ى منهم أحد ، إال أكل ليأتين على الناس زمان ال يبق : صلى هللا عليه وسلم

با ، فمن لم يأكل ، أصابه من غباره الر 19

“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan

dating pada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorangpun di antara

mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan

(mengambilnya), ia akan terkena debunya.” (HR. Ibnu Majah)”.

3. Ijma’ tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar

(kaba>’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.:

Dar al-Fikr, t.th], juz 9, h. 391).

Memperhatikan:

1. Pendapat para ulama ahli fikih bahwa bunga yang dikenakan dalam

transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qard }, al-qard } wa al-iqtira>d}) telah

memenuhi kriteria riba yang telah diharamkan oleh Allah seperti dikemukakan

oleh

a. Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu >’

قال الماوردى اختلف أصحابنا فيما جاء به القرآن من تحريم الربا على وجهين

أنه مجمل فسرته السنة وكل ما جاءت به السنة من أحكام الربا فهو بيان ( أحدهما)

أن التحريم الذي في القرآن انما تناول ما كان ( والثاني)لمجمل القرآن نقدا كان أو نسيئة

نساء وطلب الزيادة في المال بزيادة االجل وكان أحدهم إذا معهودا للجاهلية من ربا ال

حل أجل دينه ولم يوفه الغريم أضعف له المال وأضعف االجل ثم يفعل كذلك عند االجل

قال ثم وردت السنة ( ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة)اآلخر وهو معنى قوله تعالى

بزيادة الربا في النقد مضافا إلى ما جاء به القرآن

19

Ibnu Ma >jah Abu Abdillah Muhammad bin Yazi >d al-Qazwi >ny, Sunan Abnu Ma >jah, Juz III (t.t:

Maktabah Abi > al-Ma’a >t}y, t.th), 381

Page 16: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

85

“Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata, Sahabat-sahabat kami (Ulama

mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan

oleh Al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat

mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunah. Setiap hukum tentang riba yang

dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap ke-

mujmal-an Al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa

pengharaman riba dalam Al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba

nasa’ yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas

harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di

antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak

berutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan

menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada

saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah: “... janganlah kamu

memakan riba dengan berlipat ganda…”. Kemudian sunah menambahkan

riba dalam pertukaran mata uang (naqd) terhadap bentuk riba yang terdapat

dalam Al-Qur’an.

b. Ibn ‘Araby dalam Ahkam Al-Qur’an:

(أحكام القرأن)و المراد به في القرأن كل زيادة لم يقابلها عوض , و الربا في اللغة هو الزيادة

“Riba dalam arti bahasa adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan yang

dimaksud dengan riba dalam Al-Qur’an adalah setiap kelebihan (tambahan) yang

tidak ada imbalannya”

b. Al-‘Aini dalam ‘Umdah Al-Qari’:

أصل مال من غير عقد تباي و هو في الشرع الزيادة على, الزيادة( الربا)األصل فيه

(عمدة القارئ على شرح البخاري)

Arti dasar riba adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan arti riba dalam

hukum islam (syara’) adalah setiap kelebihan (tambahan) pada harga pokok tanpa

melalui akad jual beli.

c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth:

(608ص 61المبسوط ج ) الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البي

Riba adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan dalam jual

beli.

Page 17: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

86

d. Ar-Raghib al-Isfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an:

(المفردات في عريب القرأن) س المال هو الربا الزيادة على رأ

“Riba adalah kelebihan (tambahan) pada harta pokok”

e. Muhammad ali al-Shabuni dalam Rawa’i bayan:

روائ البيان في تفسير ) الربا هو زيادة ياخذه المقرض من المستقرض مقابل األجل

(أيات القرأن

“Riba adalah kelebihan (atas pokok utang) yang diambil oleh kreditur (orang

yang memberikan utang) dari debitur ( orang yang berutang) sebagai imbalan atas

masa pembayaran utang”.

f. Muhammad Abu Zahrah dalam buhuts fi al-Riba:

. فهو حرام بال شك, به الناسو يتعامل , و ربا القرأن هو الربا الذي تسير عليه المصارف

(13: بحوث في الربا)

“Riba ( yang dimaksud dalam) Al-Qur’an adalah riba (tambahan, bunga)

yang dipraktikkan oleh bank dan masyarakat; dan itu hukumnya haram, tanpa

keraguan.

g. Yusuf Al-Qardhawy dalam Fawaid al-Bunuk:

(فوائد البنوك)بنوك هي الربا الحرام فوائد ال

“Bunga bank adalah riba yang diharamkan”

h. Wahbah al-Zuh}ayly dalam al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuhu

من ربا النسيئة، سواء أكانت الفائدة بسيطة أم مركبة، : وربا المصارف أو فوائد البنوك

وإن مضار الربا في فوائد البنوك ......اضألن عمل البنوك األصلي اإلقراض واالقتر

وإن تبتم فلكم }: متحققة تماما، وهي حرام حرام حرام كالربا وإثمها كإثمه، لقوله تعالى

{رؤوس أموالكم

Page 18: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

87

“Bunga bank adalah haram, haram, haram. Riba atau bunga bank adalah riba

nasi’ah, baik bunga tersebut rendah maupun berganda. ( Hal itu) karena

kegiatan utama bank adalah memberi utang (pinjaman) dan menerima utang

(pinjaman)... Bahaya (madharat) riba terwujud sempurna (terdapat secara

penuh) dalam bunga bank. Bunga bank hukumnya haram, haram, haram,

sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi) bunga sama dengan dosa riba;

alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah swt... Dan

jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu...(

QS. Al-Baqarah [2] : 279)”20

2. Bunga uang atas pinjaman (al-qard }) yang berlaku di atas lebih buruk dari

riba yang diharamkan Allah SAW dalam al-Quran, karena dalam riba tambahan

hanya dikenakan pada saat si peminjam (berutang) tidak mampu mengembalikan

pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah

langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.

3. Ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai Forum Ulama

Internasional, antara lain:

a. Majma’ al-Buh}u>th al-Isla >miyah di Al-Azhar Mesir Tahun 1965

b. Majma’ al-Fiqh al-Isla>my Negara-Negara OKI yang diselenggarakan di

Jeddah Tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985

c. Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Isla>my, keputusan 6 Sidang IX yang

diselenggarakan di Mekkah Tanggal 12-19 Rajab 1406

d. Keputusan Da>r al-Irta>’, Kerajaan Saudi Arabia, 1979

e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999

4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syariat.

5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo

yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan

20

Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47

Page 19: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

88

terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga

Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.

6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar

Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem

tanpa bunga.

7. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga

(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.

8. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03

Januari 2004; 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004; dan 05 Dzulhijjah

1424/24 Januari 2004.

Berdasarkan landasan itu, MUI menetapkan Fatwa Tentang Bunga

(Interest/Fa’idah) sebagai berikut: 21

Pertama : Pengertian bunga (interest) dan Riba

1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi

pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,

diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan ( بال عوض) yang terjadi

karena penangguhan dalam pembayaran ( زيادة األجل ) yang diperjanjikan

sebelumnya ( رط مقدمااشت ) , dan inilah yang disebut riba nasi’ah.

Kedua : Hukum Bunga (Interest)

21

Keputusan Fatwa MUI ini ditetapkan di dalam rapat Komisi Fatwa MUI yang diselenggarakan

di Jakarta 24 Januari 2004 M/ 05 Dzulhijjah 1424 H, dengan ditandatangani oleh Ketua Umum

MUI Ma’ruf Amin dan Sekretaris Umum Drs. H Hasanuddin, M.Ag.

Page 20: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

89

1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang

terjadi pada zaman Rasulullah SAW yakni Riba nasi’ah. Dengan demikian,

praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram

hukumnya.

2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan

oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan lembaga keuangan

lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Ketiga, Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional

1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan

Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang

didasarkan kepada perhitungan bunga.

2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan

Syari’ah diperbolehkan melakukan transaksi di lembaga keuangan konvensional

berdasarkan prinsip darurat/hajat.

B. Fatwa NU Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang

1. Selayang Pandang Organisasi Keagamaan NU

Pembentukan Komite Hijaz yang telah diberangkatkan ke Saudi Arabia

sebagai wujud protes atas beberapa kebijakan Pemerintah Saudi Arabia menjadi

embrio atas kebutuhan organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,

bukan aksidental dan ad hoc, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka

setelah berkordinasi dengan berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk

membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)

Page 21: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

90

pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH.

Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.22

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, yang dijalani, maka

AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga terus

berkembang setiap lima tahun sekali. Dalam keputusan Muktamar di Makassar

tahun 2010 disebutkan dalam pasal 8, yang berbunyi23

:

1. Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/jam’iyyah diniyyah islamiyyah

ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan

kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan

martabat manusia.

2. Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut

faham Ahlusunnah wal Jama'ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat

yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi

terciptanya rahmat bagi semesta.

Pada pasal 9 tertera bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas,

NU melaksaksanakan usaha-usaha sebagai berikut24

:

1. Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang

menganut paham Ahl-sunnah wa al-jama>’ah dan menurut salah satu

madhhab empat dalam masayarakat dengan melaksanakan dakwah

Islamiyah dan amar ma’ruf nahy munkar.

22

Ibid.

23 Lihat AD/ART tahun 2010 di makasar, Bab IV Tentang Tujuan dan Usaha pasal 8.

24 Lihat AD/ART tahun 2010 di makasar, Bab IV Tentang Tujuan dan Usaha pasal 9.

Page 22: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

91

2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan

terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta

pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk

membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbuddi luruh,

perpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan

negara.

3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin

bagi rakyat Indonesia.

4. Di bidang ekonomi mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi

untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil

pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembanganya

ekonomi kerakyatan.

5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat

banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.

Dalam struktur organisasinya, NU memiliki lembaga Bah}th al-Masa >il. Sesuai

dengan namanya, maka lembaga ini berkecimpung dalam membahas/mengkaji

permasalahan-permasalahan seputar keagamaan.

Tradisi Bah}th al-Masa >il pada dasarnya telah berkembang di tengah kultur

masyarakat tradisional pesantren, jauh hari sebelum lahirnya NU. Pada mulanya

secara individual, fatwa diberikan kepada masyarakat khususnya untuk

Page 23: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

92

menghadapi persoalan yang muncul dan berkembang. Dalam hal itu Kyai

bertindak secara individual sebagai penafsir hukum.25

Selain itu, menurut Abdul Mughits yang menyatakan bahwa dahulu pernah

ada forum diskusi antar pesantren yang melibatkan para kyai dan santri yang

kemudian hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijma’ Nahdlatul

Oelama). Maka kemudian tradisi semacam itu diadopsi untuk dijadikan sebagai

salah satu agenda kegiatan NU. Meskipun demikian, istilah Bah}th al-Masa >il itu

baru muncul setelah banyak tuntutan formalisasi forum musyawarah antarkyai

tersebut. Maka istilah itu dimunculkan dalam Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta

tahun 1989.26

Lajnah Bah}th al-Masa >il merupakan forum resmi yang memiliki kewenangan

menjawab masalah keagamaan terutama berkaitan dengan masalah-masalah fiqh.

Berkenaan dengan masalah terakhir, itu dianggap sebagai masalah apabila hal

tersebut merupakan benda atau perbuatan manusia yang status hukumnya masih

dipertanyakan karena tak ada rujukan yang pasti. Termasuk pula masalah-

masalaha khilafiyah karena jawabannya bisa beragam pendapat, bahkan ada pula

pendapat yang bertentangan satu sama lain. Maka dalam konteks ini, Syuriah

mengambil pendapat yang dianggap paling tepat sebagai jawabannya.27

Mengutip pendapat A. Malik Masdani dalam kajian saudara Luthfi Hadi

Aminuddin mengatakan bahwa Lajnah Bah }th al-Masa >il sebagai wadah

25

Hiroko Harikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 140-141.

26 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008), 189-190.

27 Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi : Wacana Keagamaan di Kalangan

Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010),

156.

Page 24: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

93

pembahasan masalah keagamaan di lingkungan NU berpegang pada dua prinsip.

Pertama, prinsip graduasi pengambilan hukum dan prinsip berorientasi kepada

madhhab.28

Mengutip pendapat Zamakhsyari Dhofier, bahwa dalam memahami Islam,

NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan

yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nas al-Qur’an maupun sunnah.

Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata-rantai perpindahan ilmu agama

Islam tidak boleh terputus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Namun

yang dapat dilakukan adalah menelusuri yang baik dan sah pada setiap generasi.29

Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa NU dalam memecahkan

persoalan keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-

kitab yang mu’tabarah yang ditulis ulama empat madhhab. Tradisi bermadhhab

ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada di bawah

naungan NU.

Hal ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang

diharapkan adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi

persyaratan sebagai mujtahid. Lebih spesifik lagi KH. Said Agil Husein al-

Munawwar menyimpulkan bahwa pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam

kerangka pemikiran madhhab.30

Jadi dalam menyelesaikan masalah, LBM

28 Luthfi Hadi Aminuddin, “Metode Istinba >t} Nahdlatul Ulama: Kajian Tentang Bah }th al-Masa >il”,

Justitia Islamica, Vol. 2, No. 1 (Jan-Juni 2005), 5.

29 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LkiS,

2004), 115.

30 KH. Said Agil Husein al-Munawwar, “Pintu Ijtihad Terbuka dalam Kerangka Pemikiran

Madhhab”, Warta NU. No. 37, Th. VII (Maret, 1991), 6.

Page 25: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

94

menggali dan menetapkan suatu hukum dengan menggunakan pendekatan

madhhabi.

Metode penetapan hukum atau istinba>t } dalam wacana hukum Islam

merupakan unsur penting dalam menghasilkan produk hukum. Di lingkungan

Nahdlatul Ulama (NU) istilah istinba>t } berarti mengeluarkan hukum secara

langsung dari nas }-nas } primer yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Istinba >t } dengan

pengertian yang demikian sangat sulit untuk dilakukan, karena adanya kesadaran

akan keterbatasan, terutama dalam memenuhi ilmu-ilmu alat ijtihad yang harus

dikuasai seorang mujtahid.31

Oleh karena itu forum yang membidangi fatwa hukum di lingkungan NU

tidaklah menggunakan terminologi ijtihad atau istinba >t }, namun lebih dikenal

dengan istilah Lajnah Bah }th al-Masa >il (LBM). Lembaga ini adalah forum diskusi

oleh para kyai, santri dan atau para pihak yang ahli dalam bidang-bidang tertentu

untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan.

Berikut ini adalah empat imam madhhab dan metode istinbat hukum yang

dilakukan oleh mereka dalam memecahkan suatu masalah:32

1. Madhhab Hanafi (al-Nu’ma>n bin Thabit bin Zuht). Secara hierarki, metode

menetapkan hukumnya yaitu: al-Qur’an, al-Hadith, aqwal sahabat, qiyas, istihsan,

ijma’ dan urf.

2. Madhhab Maliki (Ma >lik bin Anas bin Amir al-Asbahi). Metode yang

digunakan adalah al-Qur’an, al-Hadith, ijma’ sahabat, ‘amal ahl Madinah, fatwa

sahabat, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan al-zara’i.

31

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 27.

32 Muhammad Muntahibun Nafis, “Refleksi Atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl: Telaah Kritis

Terhadap Metode Ijtihad Lajnah Bahtsul Masail NU”, Epistemé, Vol. 2, No. 1 (Juni 2007), 34.

Page 26: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

95

3. Madhhab Shafi’i (Abu > 'Abdulla>h bin Idri >s bin al-'Abba>s bin 'Uthma >n bin

Sha>fi' ibnu al-Sa>ib bin 'Ubayd bin 'Abd Yazid bin Ha >shim bin al-Mut{allib bin

'Abd Manaf). Metode yang digunakan yaitu al-Qur’an, al-Hadith, ijma’, aqwal

sahabat, dan qiyas.

4. Madhhab Hanbali (Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn

Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyan ibn Anas ibn Auf ibn Qasit ibn

Shaiban). Metode adalah Nas (al-Qur’an, al-Hadith), ijma’, qiyas, maslahah

mursalah, istihsan, al-zara’i, fatwa sahabat, dan istishab.

2. Metode Penetapan Fatwa NU

Secara garis besar, metode istinba >t} dalam Bah}th al-Masa >il itu ada empat

macam, yaitu metode qawli, taqrir jama’i, ilhaqi, dan manhaji.33

Namun

berdasarkan telaah dokumenter oleh Ahmad Zahro yang dilakukan terhadap

seluruh keputusan yang menyangkut hukum fiqh selama kurun waktu 1926

sampai 1999, dapat disimpulkan bahwa untuk mengaplikasikan pendekatan

madhhabi, Lajnah Bah}th al-Masa >il mempergunakan tiga macam metode istinba>t}

hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu:34

1. Metode Qawli

Metode Qawli adalah suatu metode istinba >t } dengan cara langsung merujuk

kepada redaksi ‘ibarah (ta’bir) kitab fiqh atau dengan kata lain mengikuti

pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup madhhab tertentu. Meskipun

33

Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, 192.

34 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 118.

Page 27: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

96

penerapan metode ini berlangsung cukup lama, yakni sejak pertama kali Bah}th al-

Masa >il dilaksanakan (1926), namun secara tegas baru dirumuskan dalam Munas

Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992).

Adapun prosedur pelaksanaan metode qawli adalah sebagaimana dijelaskan

dalam keputusan Munas Bandar Lampung, bahwa pemilihan qaul/wajh35

ketika

dalam suatu masalah dijumpai beberapa qaul/wajh, maka dilakukan dengan

memilih salah satu pendapat dengan ketentuan:36

a) Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.

b) Sedapat mungkin melaksanakan ketentuan Muktamar I, yaitu dengan

memilih pendapat sesuai urutan-urutan:

1) Pendapat yang disepakati al-shaykha>yn (Imam Nawawi dan Rafi’i);

2) Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;

3) Pendapat yang dipegang Imam Rafi’i saja;

4) Pendapat yang didukung mayoritas ulama;

5) Pendapat ulama yang terpandai;

6) Pendapat ulama’ yang paling wara’.

Sepintas dari hierarki dalam pemilihan pendapat diatas terlihat bahwa ulama

satu lebih diunggulkan daripada ulama yang lain. Sedangkan dalam sistem

pengambilan keputusan hukum dalam bah}th al-masa>il hal tersebut tidak

dijelaskan. Namun secara terpisah sebagaimana Ahmad Zahro dalam

wawancaranya dengan KH A. Aziz Masyhuri menyatakan bahwa, alasannya

35

Qaul adalah pendapat imam madhhab, Wajh adalah pendapat ulama madhhab. Baca Keputusan

Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung 1992, pada Nomor 394.

36 A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama

kesatu sd. Ketigapuluh Vol. 1 (Jakarta: Qultum Media, 2004), 3.

Page 28: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

97

adalah berdasar pertimbangan penampilan karya ilmiahnya yang lebih berbobot

dan kealimannya.37

Berikut ini contoh penerapan metode qawli terhadap kasus pendayagunaan

hasil zakat. Pada keputusan Muktamar I menggunakan hasil dari zakat untuk

pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena hal tersebut termasuk

“sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal. Dalam hal ini Muktamar

memutuskan tidak boleh, karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka

yang berperang di jalan Allah. Sedangkan kutipan Imam Qaffal itu adalah d}a’i >f

(lemah). Referensi yang dipakai ialah dari kitab Rah}mah al-Ummah dan Tafsi >r al-

Muni >r.

2. Metode Ilha >q

Apabila dalam metode qawli tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan

jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan dengan ilha >q al-

masa>i binaz }a>iriha > yaitu menyamakan hukum suatu kasus / masalah yang belum

dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah

serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau bisa

dikatakan dengan menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi.38

Metode Ilha >q inipun memiliki unsur-unsur persyaratan yang harus dipenuhi,

sebagai berikut:

a) Mulhaq bih yakni sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya

b) Mulhaq ‘alayhi yakni sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya

37

Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 171.

38 Ibid., 121.

Page 29: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

98

c) Wajh al-Ilha >q yakni faktor keserupaan antara Mulhaq bih dengan Mulhaq

‘alayhi

d) Mulhiq yakni pelaku ilha >q yang ahli

Dalam prakteknya metode ilha >q menggunakan prosedur dan persyaratan

mirip qiya>s. Akan tetapi ada perbedaan antara keduanya yakni, apabila qiya >s

adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu

yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan al-qur’an dan sunnah.

Sedangkan ilha >q berdasarkan atas teks suatu kitab yang mu’tabar.

Contoh dari metode ilha >q terdapat pada Muktamar II mengenai hukum jual

beli petasan. Dalam keputusan ini hukum jual beli petasan untuk merayakan hari

raya atau pengantin dan lain sebagainya adalah sah. Mereka berlandaskan karena

ada maksud baik, yaitu: adanya perasaan menggembirakan hati dengan suara

petasan tersebut.

Hal ini berdasarkan keterangan-keterangan dalam kitab I’anah al-T}a>libi >n juz

III, al-Bajuriy bab perdagangan, al-Jama>l ‘ala > Fath } al-Wahha>b juz III. Dalam

rujukan kitab-kitab diatas, tidak ada keterangan secara tegas yang menjelaskan

hukum jual beli petasan. Namun yang ada adalah kebolehan menyalurkan

hartanya untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya jual beli yang suci dan

bermanfaat. Jadi keputusan ini berdasarkan qiya>s dengan illat suci dan

bermanfaat, maka boleh hukumnya jual beli petasan.

3. Metode Manhaji

Metode Manhaji (metodologis) adalah suatu cara menyelesaikan masalah

keagamaan yang ditempuh Lajnah bah}th al-masa>il dengan mengikuti jalan pikiran

Page 30: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

99

dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madhhab.39

Namun lebih

lanjut Jaih Mubarok menjelaskan bahwa perlunya membedakan pendapat antara

imam pendiri maddhab dengan ulama yang mengikuti madhhab tertentu.40

Hal ini

dikarenakan terkadang ada pendapat para pendiri madhhab dengan pengikutnya

berbeda satu sama lain, namun mereka tetap bersandar pada imam madhhab

tersebut.

Oleh karena itulah operasional dalam metode manhaji ini menelusuri dan

mengikuti metode istinba >t } hukum yang ditempuh oleh madhhab empat, yakni

Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini cukup ideal, namun belum terlaksana

dengan baik dikarenakan masing-masing memiliki metode istinba >t } yang banyak

dan hierarki yang berbeda pula. Terbukti dalam temuan penelitian Ahmad Zahro

yang menyimpulkan bahwa intensitas penggunaan penerapan hukum dengan

metode ini hanya dua kali, sejak metode ini disepakati (21-25 Juni 1992).41

Contoh penerapan metode manhaji adalah keputusan Muktamar I, yaitu

tentang mendapatkan pahala orang yang bersadaqah kepada mayat. Keterangan ini

dapat ditemukan dalam kitab al-Bukhari bab janazah dan kitab al-Muhadhdhab

bab wasiat. Keputusan ini di kategorikan sebagai keputusan yang berdasarkan

pada metode manhaji, karena langsung merujuk pada hadis yang merupakan dalil

yang dipergunakan oleh keempat imam madhhab setelah al-Qur’an.

Secara garis besar, hierarki dari hasil penerapan metode penggalian dan

penetapan hukum dalam forum Lajnah Bah}th al-Masa >il adalah sebagai berikut:42

39

Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 124.

40 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), 179.

41 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 169.

42 Tim Lajnah Ta’li >f wa al-Nashr (LTN) PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’: Solusi Problematika Aktual

Hukum Islam (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2004), xxxi.

Page 31: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

100

Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa ulama NU dalam memutus suatu

kasus yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-qur’an, hadis, qiyas, ijmak, dan

lain-lain, maka mereka tidak lantas melakukan proses ijtihad dengan sumber-

sumber hukum diatas. Namun pertama kali yang dilakukan adalah mencari

jawabannya dalam kitab-kitab klasik ataupun modern yang diambil semangat dan

ruhnya, kemudian dikategorisasikan dengan dengan menempatkan stratifikasi

ulama madhhab al-Shafi’i > sebagai pilihan fatwa yang utama kemudian merujuk

pada ulama madhhab empat yang lain, bila ini sudah dilakukan dan menemukan

jalan buntu, hirarki pemikiran istinbat}iyah-nya kepada kitab-kitab umum dan

referensi keagamaan yang netral madhhab baru kemudian mengambil dari hukum-

hukum yang dicetuskan fuqaha’ (ahli fiqh)

Jika dilihat dari susunan penetapan hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bah }th

al-Masa >il maka dapat diketahui bahwa susunan tersebut menggunakan metode

induktif (t }ari >qah al-istiqra >iyah). Metode induktif ini adalah cara penetapan

... واإلمجاع القياس حلديثالقرأن وا

الكتب القدمية املختارة الكتب املعاصرة املختارة

اإلجراءات اإلنتقائية الطبيعية

الكتب الشافعية واملذاهب األربعة

الكتب العامة واملراجع الىت ال متيل إىل مذهب معني

أحكـــام الفقهـــاء

Page 32: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

101

hukum dengan menganalisis suatu perbuatan (peristiwa) agar dapat diketahui

spesifikasinya.

Berdasarkan uraian panjang diatas, sebagai akibatnya muncul stigma yang

diberikan kepada NU, bahwa organisasi ini memiliki watak sosial yang statis,

karena kurang adanya ruang untuk berijtihad lebih luas. Sebuah formulasi hukum

yang terikat pada qaul/pendapat dari buku-buku yang sudah dirintis ratusan tahun

yang lalu. Sehingga jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan-persoalan

baru. Menurut Sahal Mahfudz, situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah

berbeda, sedangkan hukum itu harus berubah seiring dengan berubahnya ruang

dan waktu.43

Menurut Sam’ani, banyak kritik dan wacana baru yang berkembang

dikalangan NU. Tokoh-tokohnya seperti Sahal Mahfudh, Masdar F. Mas’udi,

Husein Muhammad. Bahkan ada yang bersifat kelembagaan seperti yang

dilakukan oleh Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, yang

terakhir ini kritik dan wacana yang digulirkan terkesan sangat liberal.44

Dalam Muktamar NU XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo, Jawa

Tengah Tanggal 29 November-1 Desember 2004 M/ 16-18 Syawal 1425 H

Tentang Masa>il Diniyyah al-Maud}u>’iyyah, salah satu putusan mengenai Sistem

Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masa >il di Lingkungan NU:

Keputusan Bahtsul Masail di Lingkungan NU dibuat dalam kerangka

bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan

43

Sahal Mahfudz, Bahtsul Masa’il dan Istinbath Hukum NU dalam Imdadun Rahmat, Kritik Nalar

Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il (Jakarta: Lakpesdam, 2002), 59.

44 Sam’ani, “Formulasi Hukum Nahdlatul Ulama’ : Studi terhadap Kritik dan Wacana Baru dalam

Penetapan Hukum”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 5, No. 2 (Oktober 2007), 264.

Page 33: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

102

bermazhab secara qauly45

. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun

dalam urutan sebagai berikut:

1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab46

(teks fikih

“jadi” yang sudah tertuang dalam kitab fikih) dan di sana terdapat hanya

satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan

dalam ibarat tersebut.

2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana

terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqri >r jama >i47 untuk

memilih satu qaul/wajah.

3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan

penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilh}a>q al-masa>il bi naz}a>iriha>48

secara jama>’i (kolektif) oleh para ahlinya.

45

Bermazhab secara qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lungkup

mazhab tertentu. Sementara bermazhab secara manhaji diartikan sebagai cara bermazhab yang

dilakukan dengan mengikuti jalan pikiran atau kaidah penetapan hukum yang telah ditulis oleh

Imam Mazhab. Lihat Ah }ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), 846 46

Dalam tradisi keilmuan di lingkungan NU, kriteria kitab yang dipergunakan sebagai rujukan

dalam fatwa/ pengambilan keputusan masalah keagamaan adalah kitab-kitab yang beraliran 4

mazhab (Shafi’i, Hanafi, Ma >liki dan H }ambali) sebagaimana yang telah diputuskan dalam Munas

Alim Ulama di Sukorejo Situbondo, 21 Desember 1983. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,

Ah }ka>m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas,

Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya: Khalista, 2011), 386. Lihat juga,

Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 108; Al-

Bakri Muh }ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid I, (Beirut: Da >r al-Fikr, 1418H/1997M),

17; “Alawy al-Saqqa >f, al-Fawa >id al-Makkiyyah dalam Majmu >’ah Sab’at al-Kutub al-Mufi>dah

(Mesir: Mus }t}afa > al-H }alaby, t.th), 50 47

Taqri >r Jama>i merupakan salah satu istilah dalam bBahtsul Masa >il NU yang diartikan sebagai

upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.

Ah }ka>m al-Fuqaha>’,470. 48

Ilh }a >q al-masa>il bi naz }a >iriha >, adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum

dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan

dengan pendapat yang sudah “jadi”). Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’, 470.

Page 34: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

103

4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin

dilakukan ilh}a>q, maka bisa dilakukan istinba >t } jama>’i49 dengan prosedur

bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.

Analisis Hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar

belakang dan dampaknya di segala bidang). Di samping putusan fikih/ yuridis

formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif.

Sehingga, dalam menganalisa hukum, di samping penegasan mengenai status

hukum suatu kasus ditinjau dari sisi hukum taklif (al-ah}ka>m al-khamsah / sah-

batal), juga menggunakan dasar dari ajaran Ahlussunnah wa al-jama>’ah serta

hukum positif50

.

Bentuk pelaksanaan dari prosedur penjawaban masalah adalah51

:

1. Prosedur pemilihan Qaul dan Wajah

a. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama,

maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.

b. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:

1. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/ yang lebih kuat.

2. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-I,

bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:

a. Pendapat yang disepakati oleh al-Shaykha >n (Imam al-Nawa>wy dan al-

Ra>fi’iy.

b. Pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Nawa>wy saja.

49

Istinba>t jama’i adalah usaha kolektif untuk mengeluarkan hukum shara’ dari dalilnya dengan

menggunakan qawa >id us}u >liyyah dan qawa>id fiqhiyyah. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,

Ah }ka>m al-Fuqaha>’ 470. 50

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, 472 51

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, 472-473

Page 35: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

104

c. Pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Ra>fi’iy saja.

d. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.

e. Pendapat ulama yang terpandai.

f. Pendapat ulama yang paling wara’.

2. Prosedur Ilh }a>q

Dalam hal ketika suatu masalah/ kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka

masalah/ kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilh}a>q al-masa>il bi naz }a>iriha >

secara jama>’iy. Ilh }a>q dilakukan dengan memperhatikan mulh}aq bih, mulh}aq ilayh,

dan wajh al-ilh}a>q oleh para mulh}iq yang ahli.

3. Prosedur Istinba >t }

Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilh}a>q karena tidak adanya mulh}aq

bih dan wajh al-ilh}a>q sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinba >t } secara

jama>’iy, yaitu dengan mempraktekkan qawa >id us }u>liyyah dan qawa >id fiqhiyyah

oleh para ahlinya.

Dalam Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makasar 22-29 Maret

2010, ada sebuah perkembangan revisi yang menarik mengenai format penetapan

dalam Bahthul Masa >il al-Diniyyah al-Maud }u>iyyah. Format penetapan tersebut

secara rinci tertuang dalam pokok pikiran sebagai berikut52

:

a. Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-dalil syara’ lainnya

diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti

berdasarkan al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya dengan ketentuan

bahwa ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnyatersebut merupakan

52

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:

Khalista, 2011), 878-879

Page 36: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

105

bagian dari pendapat ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamad. Hal ini

karena ulama NU menyadari bahwa yang mampu melakukan ijtihad langsung

dari al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid,

sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, di antaranya Tarshi >h} al-

Mustafidi>n.

b. Aqwa >l ulama >’ didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan ayat al-Quran

beserta tafsirnya, al-Hadis beserta syarah }, dan dalil-dalil syara’ lainnya.

Karena al-Quran, al-Hadis, dan dalil syara’ lainnya dalam pandangan ulama

NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari

ijtihad ulama.

c. Muqa>ranat al-Madha>hib dalam madhhab empat diperlukan untuk

memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap berpegang

teguh pada prinsip ‘adam tatabbu’ al-rukhas } (tidak ada maksud mencari

kemudahan) sejalan dengan ADNU tentang prinsip bermadhhab.

3. Fatwa NU Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang

Penetapan fatwa mengenai bunga hutang piutang berawal dari sebuah

pertanyaan warga NU dari Purwokerti mengenai prilaku meminjam uang dari

koperasi53

Bahwa pinjam dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi bunga

(rente) dan janjinya itu di dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada

ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para

ulama. Karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau

53

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:

Khalista, 2011), 242-244

Page 37: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

106

tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak

ada perselisihan di antara para ulama. Kalau dengan perjanjian dengan tulisan

zonder dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun tidak

dijanjikan, mka hukumnya ada 2 pendapat yaitu haram, dan yang kedua boleh54

.

Dasar argumentasi yang dibangun menggunakan:

1. Kitab I’a>nat al-T }a>libi >n

ومن ربا الفضل ربا القرض وهو كل قرض جر نفعا للمقرض غير نحو رهن

55لكن ال يحرم عندنا إال إذا اشترط في عقده

“Dan diantara riba al-fad }l adalah riba al-qard }, takni semua pinjaman yang

memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita,

yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad hutang-piutang

tadi.

2. Tuh }fat al-Muh}ta>j

والحاصل أن كل شرط مناف لمقتضى العقد إنما يبطل إن وق في صلب العقد أو

56بعده وقبل لزومه ال إن تقدم عليه ولو في مجلسه

“ Kesimpulannya adalah semua syarat yang menafikan konsekuensi akad

akan membatalkannya jika terjadi dalam akad atau sesudahnya dan sebelum luzu >m

(ketetapannya). Bukan bila mendahului akad, bahkan di majelis yang sama.

3. I’a>nat al-T }a>libi >n

“Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan

debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang

54

Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,

1418H/1997M), 64-66 55

Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,

1418H/1997M), 26 56

Ibn al-H }ajar al-Haytamy, Tuh}fat al-Muh }ta >j bi Sharh } Minha>j al-T}a >libi >n, Jilid IV (Mesir: al-

Tija>tiyah al-Kubra, t.th), 296

Page 38: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

107

lebih bagus dari barang yang dipinjamkan, yang tidak disyaratkan dalam akad,

bahkan yang demikian itu disunnahkan bagi debitur karena sabda Nabi:

57إن خياركم أحسنكم قضاء

“sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”.

Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan, bagi pihak yang

meminjami maka merupakan akad fa>sid (rusak) karena hadis:

اب ر و ه ف ة ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك 58

“setiap utang yang menarik keuntungan adalah riba”

Termasuk katagori ini adalah semisal menghutangi orang yang menyewa

hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi

syarat menhutangi, maka dalam posisi tersebut, penghutangan itu haram secara

ijma>’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh, dan

kebanyakan ulama mengharamkannya.

Ungkapan Shaikh Zaynuddin al-Mali >bari “maka (hal tersebut) merupakan

akad fasid”. Aly Shibra >mallisy berkata “dan telah maklum, kerusakan (fa>sid)

tersebut jika penyaratan mneyewa dengan harga lebih dari itu terjadi dalam

pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga

lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad hutang-piutang, maka hutang tidak

rusak.

57

al-Bukha >ry, S }ah }i>h } al-Bukha>ry, Juz III, 130 58

Al-Baihaqy, al-Sunan al-Baihaqy, Juz 5, 349

Page 39: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

108

4. Bughyat al-Mustarshidi >n59

مذهب الشافعي أن مجرد الكتابة في سائر العقود واإلخبارات واإلنشاءات ليس

بحجة شرعية

“Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi,

beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah shar’i (dalil syara’)

5. Al-Ashba>h wa al-Naz }a>hir

ومنها لو ......رالعادة المطردة في ناحية هل تنزل عادتهم منزلة الشرط فيه صو

جارت عادة المقترض برد أزيد مما اقترض هل ينزل منزلة الشرط فيحرم

60الإقاضه وجهان اصحهما

“Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan

sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus....di antaranya,

seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang

yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan

sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini

ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat”.

Sementara fatwa NU yang memiliki karakter persoalan yang sama diajukan

dengan menggunakan istilah yang lazim dipakai sebagai “uang administrasi”

dalam istilah bunga yang muncul akibat transaksi hutang piutang di Koperasi

simpan pinjam61

Secara sederhana, koperasi simpan pinjam memiliki modal usaha yang

dikumpulkan dari anggota dari uang “simpanan pokok” dan “simpanan wajib”

para anggota koperasi. Gabungan modal tersebut, sebagian dipinjamkan kepada

orang yang memerlukan pinjaman. Modal yang dikumpulkan secara bersama-

59

Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 186 60

Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i, Al-Ashba >h wa al-Naz }a >hir, (Beirut: Da >r al-Fikr, t.th), 67 61

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:

Khalista, 2011), 422-423

Page 40: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

109

sama tersebut tidak dapat memenuhi kriteria “syirkah”, sebagaimana yang

disebutkan dalam literatur fikih karena:

a. Dalam syirkah, pengumpulan modal itu disyaratkan harus ada lafal yang

dapat dirasakan sebagai pemberian izin dalam perdagangan. Sedangkan

dalam Kosipa, pengumpulan modal tersebut dimaksudkan untuk

dipinjamkan.

b. Dalam syirkah, modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan syirkah.

Sedangkan dalam Kosipa biasanya modal baru dikumpulkan sesudah

disetujui oleh rapat anggota.

Oleh karena itu, akad pengumpulan modal dalam Koperasi Simpan Pinjam

tersebut tidak sah menurut ketentuan syara’.

Sementara uang administrasi yang dipungut oleh koperasi dari setiap anggota

yang meminjam uang hanyalah istilah lain dari bunga, karena:

a. Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh

setiap orang yang meminjam uang. Sehingga pada hakikatnya tidak

berbeda dengan manfaat yang ditarik oleh orang yang meminjamkan uang,

dalam hal ini Kosipa dari para peminjam uang.

b. Besarnya uang adminitrasi yang dipungut oleh Kosipa dari para peminjam

uang telah ditentukan sesuai dengan besarnya uang yang dipinjam, yakni

sekian persen dari jumlah pinjaman sesuai dengan keputusan rapat anggota

Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi sudah

berlangsung, sebelum atau sesduah akad, atau apakah syarat tersebut berbentuk

ucapan atau tulisan, yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersendiri,

Page 41: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

110

maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimaksudkan adalam makna

hadis Nabi:

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Semua peminjaman yang dapat menyebabkan adanya suatu manfaat, maka

hukumnya riba”

Oleh karena akad pengumpulan modal dalam Kosipa (Koperasi Simpan

Pinjam) tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah, maka masalah zakatnya

dikembalikan kepada masing-masing anggota Kosipa tersebut. Oleh karena

Kosipa ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air di Indonesia, maka seluruh

musyawirin telah bersepakat untuk memberikan jalan keluar yang dapat

dibenarkan oleh syara’ sebagai berikut:

a. Kosipa harus diganti bentuknya dengan bentuk “koperasi biasa” yang

dibenarkan oleh syara’

b. Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat dipinjamkan kepada para

anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari prosentase jumlah uang

yang dipinjam.

Para peserta Bah}th al-Masa >il merumuskan beberapa argumentasi yang

tersebar dalam literatur fikih klasik sebagai berikut:

1. Manhaj al-T}ulla>b

كتاب الشركة إلي أن قال وشرط فيها لفظ يشعر بإذن في تجارة إلي أن قال وفي

62معقود عليه كونه مثليا خلط قبل عقد بحيث ال يتميز

62

Zakariyya > al-Ans}a >ry, Manha >j al-T}ulla >b,Juz I (Bandung: Syirkah Ma’arif, t.th), 217

Page 42: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

111

“Kitab tentang Syirkah.........dan dalam syirkah disyaratkan lafal yang

menunjukkan izin berdagang........dan dalam barang yang di-syirkah-kan

disyaratkan berupa barang mitsl (barang yang diukur takaran atau timbangan dan

diakadi salam. Yang sudah dicampur (dengan barang dari pihak lain) sebelum

dilakukan akadsehingga tidak bisa dibedakan lagi”.

“Bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank, kemudian pemerintah

menetapkan pajak, karena mendapat bunga. Halalkah bunga itu? Bagaimana

hukum menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanannya saja, tidak

ingin bunganya, bolehkan atau tidak?63

Ternyata, dalam merumuskan jawaban tersebut, menyamakan hukum

menyimpan uang di bank dan adanya bunga dengan status hukum gadai yang

telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar kedua nomor 28.

“Andaikan telah menjadi kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai

bagi pemberi pinjaman/penerima Gadai. Apakah kebiasaan ini dianggap sebagai

syarat sehingga akad gadainya rusak. Mayoritas ulama berpendapat tidak

diposisiskan sebagai syarat, sementara al-Qaffa>l berpendapat “ya (diposisikan

sebagai syarat).64

Sekedar diketahui bahwa Muktamar kedua yang dilaksanakan di Surabaya 9

Oktober 1927 tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan barang yang dijadikan

sebagai barang gadai –setidaknya- masih menimbulkan perbedaan pendapat.

Pertama, dihukumi haram, karena termasuk hutang yang dipungut

manfaatnya (rente).

63

Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:

Khalista, 2011), 200 64

Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i, Al-Ashba>h wa al-Naz}a >hir (Beirut: Da >r al-Fikr, t.th), 199-200

Page 43: BAB III FATWA MUI-NU TERKAIT BUNGA DALAM HUTANG …digilib.uinsby.ac.id/4232/7/Bab 3.pdf · bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

112

Kedua, Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, bahwa adat yang

berlaku tidak termasuk syarat.

Ketiga, Syubhat (tidak tentu jelas halal-haramnya) sebab para ahli hukum

berselisih pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dalam tradisi NU, terlebih yang

berkaitan dengan diskursus fikih, merupakan hal lumrah atau biasa saja.