BAB III AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL … · bagian dari tata cara pelaksanaan pemilu...
Transcript of BAB III AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL … · bagian dari tata cara pelaksanaan pemilu...
54
BAB III
AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN
DAN WAKIL PRESIDEN
Dalam bab ini, Penulis hendak mendiskusikan perihal ketentuan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) sebagai
syarat pengusungan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang telah ditentukan dalam undang-undang sebagai salah satu bentuk
kebijakan legislatif terbuka (open legal policy). Hal ini dikatakan oleh MKRI
dalam beberapa putusannya terkait dengan ambang batas pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden sebagai syarat untuk dapat berkompetisi dalam pemilihan umum.
Oleh karena itu, yang menjadi pembahasan utama dalam bab ini adalah
menguraikan apa yang dimaksud dengan ambang batas pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden dan juga meneliti bahwa ketentuan ambang batas tersebut
merupakan produk dari kebijakan legislatif terbuka yang didelegasikan langsung
oleh UUD NRI 1945 sebagai pengaturan lanjutan tentang syarat pengusungan
calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Oleh karena itu, selanjutnya susunan atau sistematika pembahasan bab ini
dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, menjelaskan bahwa Ambang Batas
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagai Syarat Pengusungan Calon
Presiden dan Wakil Presiden (infra Sub-judul A). Kedua, menjelaskan sumber
hukum ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia (infra Sub-judul B). Ketiga, bahwa Ketentuan Ambang Batas
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan Kebijakan Legislatif
Terbuka (infra Sub-judul C).
55
A. Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
sebagai Syarat Pengusungan Calon Presiden dan Wakil
Presiden
Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu unsur
terpenting dalam penyelenggaraan Negara. Dalam konstitusi telah mengatur
bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dengan
dibantu oleh seorang Wakil Presiden, dan mekanisme pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden telah diatur pula dalam konstitusi maupun diatur secara lanjutan di
dalam suatu produk undang-undang. Pengaturan pemilu dalam konstitusi Negara
Indonesia terdapat dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 dan secara khusus
mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam Pasal
6A UUD NRI 1945 dengan salah satu syaratnya adalah mengharuskan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Pengaturan lebih lanjut mengenai Pasal 6A UUD NRI 1945 tersebut
salah satunya terwujud dengan lahirnya ketentuan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang
pemilu yang selalu bergerak dinamis. Sehingga wewenang akan pengaturan
tersebut tentu dimiliki oleh legislator sebagai pembentuk produk undang-undang.
Bukan hal yang mudah untuk dapat menciptakan suatu norma di dalam undang-
undang, karena dalam pembentukannya haruslah tetap menjadikan konstitusi
sebagai dasar terciptanya norma baru sebagai turunan dari norma yang ada dalam
konstitusi. Untuk menerangkan lebih lanjut tentang konsep dan fungsi dari
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, maka Penulis akan
menjabarkan dalam sistematika berikut. Pertama, mengenai Pengertian Ambang
Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (infra Sub-judul 1), kedua,
56
mengenai Fungsi Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (infra
Sub-judul 2).
1. Pengertian Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen ketiga pada
konstitusi Indonesia telah mengamanatkan bahwa Negara Indonesia menganut
prinsip demokrasi yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat. Dengan
prinsip tersebut salah satu konsekuensinya adalah bahwa setiap warga Negara
memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam membangun
masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Sehingga hak dan
kesempatan itu pula dituangkan dalam perubahan kedua UUD NRI 1945 dan
menjadi hak konstitusional warga Negara, tepatnya terdapat dalam Pasal 28D ayat
(3) UUD NRI 1945 yang mengatakan bahwa:
“Setiap warga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.”69
69Ikut serta dalam pemerintahan itu pula dapat diklasifikasikan menjadi berbagai
macam kamar, yaitu kamar eksekutif dan legislatif. Untuk ikut serta maupun
pengisian jabatan dalam dua kekuasaan tersebut, telah diatur secara prinsip di
dalam konstitusi. Pengaturan secara prinsip berarti konstitusi telah memberikan
benang merah akan pengaturan hal tersebut, dan tentu konstitusi juga
mendelegasikan beberapa pengaturan lanjutan dalam bentuk produk undang-
undang.
69
Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945.
54
Dalam penelitian ini terkhusus Penulis akan membahas mengenai salah satu
syarat pengisian jabatan tertinggi dalam kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan
Wakil Presiden. Secara eksplisit konstitusi telah mengatur secara prinsip tentang
syarat dan mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya
yaitu dalam Pasal 6A UUD NRI 1945. Sebelum amandemen, pengisian jabatan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan sistem perwakilan (representative
democracy) yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sedangkan demokrasi langsung (direct democracy) dalam sistem pengisian
jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dimulai setelah adanya
amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang sekarang berdasarkan ketentuan Pasal
6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu.
Salah satu syarat pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang mensyaratkan
pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusung melalui partai politik
atau gabungan partai politik, dimana pasal tersebut berbunyi:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” 70
Syarat pengusungan oleh partai politik dan gabungan partai politik tersebut
merupakan syarat yang menjadi wajib karena telah diatur dalam konstitusi secara
eksplisit dan tegas, sehingga menutup kemungkinan untuk dapat mengusung calon
Presiden dan Wakil Presiden secara independen. Penelitian ini akan membahas
tentang pendelegasian konstitusi untuk mengatur lebih lanjut mekanisme
pengusungan calon Presiden dan calon Wakil Presiden oleh partai politik atau
70 Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.
55
gabungan partai politik yang menjadi bagian dari tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, karena nyatanya syarat pengusungan tersebut tidak
berhenti pada titik itu saja. Hal ini terbukti dengan adanya delegasi dari konstitusi
untuk legislator dapat mengatur lebih konkrit dan teknis tentang ketentuan
tersebut yang terwujud dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945.
Berdasarkan delegasi tersebut, kemudian legislator membuat syarat
pengusungan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang lebih teknis di dalam
sebuah produk undang-undang, yang kemudian syarat tersebut dikembangkan
menjadi sebuah ambang batas pencalonan Presiden dan Waki Presiden yang juga
disebut dengan Presidential Threshold. Sehingga dalam bab ini, terkhusus Penulis
akan membahas perihal ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
tersebut sebagai salah satu tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Sehingga untuk tujuan tersebut, dirasa perlu untuk kita mengetahui apa
yang dimaksud dengan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
(Presidential Threshold) ini.
Secara spesifik, dalam kamus bahasa hukum tidak dijelaskan terminologi
dari istilah Presidential Threshold dan tidak terdapat banyak referensi yang
membahas secara lugas tentang apa yang dimaksud dengan Presidential
Threshold. Sehingga dalam menganalisis pengertiannya, Penulis menggunakan
kamus Bahasa Inggris dan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk membantu
menerjemahkan istilah Presidential Threshold. Istilah “presidential” berasal dari
kata “president”, yang kamus Black Law memberikan definisi president yaitu
sebagai kepala eksekutif dari suatu Negara, khususnya dalam pemerintahan yang
56
kedaulatannya ada di tangan rakyat yang kita sebut dengan sistem Negara
demokrasi. Selanjutnya yaitu istilah “threshold” yang berasal dari Bahasa Inggris
yang berarti “ambang pintu” atau “ambang batas”. Dari istilah “ambang batas”
tersebut, kamus Besar Bahasa Indonesia juga mendefinisikannya sebagai
tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.71
Secara teoritis, mulanya threshold merupakan tingkat minimal dukungan
yang harus diperoleh agar dapat menempatkan perwakilan dan pada umumnya
dikembangkan pada negara-negara yang menggunakan sistem pemilu
proporsional. Threshold mulanya dipergunakan dalam hal melihat tingkat
kompetisi partai untuk menduduki kursi di daerah pemilihan dalam sistem pemilu
proporsional. Konsep ini mengaitkan besaran daerah pemilihan (direct magnitude)
dan formula perolehan kursi partai dengan metode kuota. Sehingga peran
matematika berlaku dalam konsep ini, karena semakin besar besaran daerah
pemilihan maka semakin kecil persentase perolehan suara untuk mendapatkan
kursi. Sebaliknya, jika semakin kecil besaran daerah pemilihan, maka semakin
besar persentase perolehan suara untuk mendapatkan kursi.
Perkembangan sistem pemilihan umum yang semakin dinamis merupakan
konsekuensi dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Perkembangan dinamis
tersebut pula yang selalu membawa threshold dalam setiap perjalanan pemilihan
umum. Sehingga dari penjelasan di atas maka Penulis dapat menarik pengertian,
bahwa ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau Presidential
Threshold adalah ambang batas jumlah minimum suara partai politik atau
71 I Gusti Ngurah Raditya, Rethinking Ketentuan Persentase sebagai syarat pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Universitas Udayana, Denpasar, 2013, hlm. 3.
57
gabungan partai politik yang telah diperoleh dalam pemilu legislatif untuk dapat
mengusung pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun ketentuan mengenai ambang batas
tersebut tidak diatur secara eksplisit di dalam UUD NRI 1945, namun ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ini merupakan lanjutan pengaturan
berupa ketentuan teknis dari Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang didelegasikan
kepada legislator untuk mengatur ketentuan syarat pengusungan yang menjadi
bagian dari tata cara pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk
diatur secara lebih teknis dalam suatu produk undang-undang.
Keberadaan dan eksistensi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden juga diamini oleh MKRI sebagai salah satu bagian tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, yang dinyatakan pada beberapa putusan pengujian
konstitusionalitas setiap undang-undang pemilu.72
Sehingga dari putusan-putusan
tersebut membuktikan bahwa ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden tetap menjadi konsep syarat pengusungan pasangan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden yang masih berlaku dalam pemilu Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia.
2. Fungsi Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden
Dalam menciptakan atau menjalankan suatu ketentuan, tentu terdapat fungsi
dan tujuan yang menjadi alasan terciptanya ketentuan tersebut yang akan
72
Putusan MKRI yang menguji ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden dalam undang-undang pemilu diantaranya adalah Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008, yang kemudian diperkuat dalam Putusan MKRI Nomor 53-59-70-71-72/PUU-XV/2017.
58
senantiasa mengiringi perjalanan ketentuan tersebut sebagai bagian dari
instrument Negara. Seperti halnya dengan hukum tata Negara dan isi konstitusi
yang berlaku di suatu Negara adalah apa yang ditulis dan latar belakang pemikiran
apa yang melahirkan isi norma dalam konstitusi tersebut. Fungsi dan tujuan
tersebut tentu dimiliki pula oleh ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden yang akan menjadi pokok pembahasan ini.
Di Indonesia, ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
pertama kali muncul dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, untuk kemudian
digunakan sebagai instrument pemilu Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2004,
yang pengaturannya sebagai berikut:
“Pasal 5 Ayat (4): Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima
belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh
persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu
anggota DPR.”73
Selanjutnya, ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ini
digunakan kembali sebagai syarat pengusungan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden untuk pemilu 2009 yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, yang pengaturannya sebagai berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu
73
Pasal 5 ayat (4) UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
59
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”74
Selain dua ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden dalam dua undang-undang yang berbeda, tentu bukan berarti
pengaturan akan ambang batas tersebut berhenti disitu saja. Itu artinya dalam
undang-undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden setelahnya juga mengatur
mengenai ambang batas pencalonan ini pula. Untuk itu, dengan konsisten
diaturnya ambang batas pada setiap periode pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
maka tentu terdapat serat tujuan yang tak pernah lepas dari esensi pemilu
Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri dan fungsi yang berkorelasi penting bagi
jalannya sistem pemerintahan Indonesia.
Ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan wujud
dari implementasi pendapatan suara partai politik dalam pemilihan legislatif
sebelumnya, yang kemudian dianggap sebagai representasi dukungan rakyat
melalui perolehan suara partai politik tersebut. Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia, Tjahjo Kumolo mengungkapkan bahwa:
“Proses pemilihan calon presiden dan wakil presiden
memerlukan dukungan riil sebagaimana pemilihan calon
anggota legislatif. Dukungan riil tersebut terlihat dari jumlah
suara yang diperoleh partai politik pada pemilu legislatif.”75
Dari pernyataan tersebut berarti bahwa dengan adanya ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden diharapkan untuk dapat menunjukkan
dukungan nyata dari legislatif yang berimplementasi pada dukungan terhadap
74
Pasal 9 UU RI Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. 75
Pernyataan Tjahjo Kumolo, Alasan Pemerintah Dorong "Presidential Threshold" 20-
25 Persen”, oleh Fabian Januarius Kuwado, Kompas.com, diakses Pada tanggal 15 Desember
2018, Pukul 13.08 WIB.
60
pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden kelak. Hal tersebut merupakan
semangat pemerintah dalam perwujudan sistem pemerintahan presidensial sebagai
sistem pemerintahan Indonesia yang di amanatkan oleh konstitusi.
Pernyataan tersebut didukung dengan pertimbangan hakim dalam Putusan
MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017 tentang pengujian Pasal 222 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU
Pemilu), yang pasal tersebut berisi tentang ketentuan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pertimbangan tersebut hakim menjelaskan
tentang fungsi dari ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden,76
yang
dibawah ini Penulis ringkas dan narasikan kembali, fungsi tersebut diantaranya:
1. Bahwa, salah satu substansi penting perubahan UUD 1945
adalah penguatan sisten Presidensial. Ciri-ciri sistem
Presidensial itu ditegaskan dan, sebaliknya, ciri-ciri
Parlementer dihilangkan.
2. Bahwa, dalam konteks sosio-politik dengan
mempertimbangkan kebhinekaan atau kemajemukan
masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek, jabatan Presiden
dan Wakil Presiden atau lembaga kepresidenan adalah simbol
pemersatu bangsa.
3. Bahwa, sistem pemerintahan Presidensial oleh suatu Negara
idealnya disertai penyederhanaan dalam sistem kepartaiannya.
Pengertian ideal disini adalah mengacu pada evektivitas
jalannya pemerintahan.
Dari tiga fungsi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
yang terambil dari pertimbangan hakim di atas, dapat ditarik kerimpulan bahwa
fungsi terpenting dari dilaksanakannya ambang batas ini adalah fungsi penguatan
sistem pemerintahan presidensial, walau di sisi lain terdapat juga fungsi sosio-
politik yang menggambarkan jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol
pemersatu bangsa. Sehingga dengan demikan fungsi utama ketentuan ambang
76
Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 71-73.
61
batas ini adalah untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana
menjadi spirit amandemen ketiga UUD NRI 1945. Menimbang juga bahwa
seberapa besar dukungan atau legitimasi yang diperoleh seorang Presiden dan
Wakil Presiden terpilih melalui suara rakyat yang diberikan secara langsung
dalam pemilu, hal itu tidak akan menghilangkan situasi dilematis sebagaimana
digambarkan di atas yang pada akhirnya secara rasional-realistis “memaksa”
seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk untuk melakukan kompromi
politik yang kemudian melahirkan corak pemerintahan presidensial rasa
parlementer. Keadaan demikian hanya dapat dicegah apabila dibangun suatu
mekanisme yang memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih memiliki
cukup dukungan suara partai-partai politik yang menduduki kursi di DPR. MKRI
juga menimbang, bahwa:
“Dengan sejak awal diberlakukan persyaratan jumlah minimum
perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden, berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya
penguatan sistem presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu,
pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai
politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon
Presiden dan calon Wakil Presiden di DPR, dan, kedua,
penyederhanaan partai politik.”77
Dari pertimbangan MKRI diatas, Penulis menjustifikasi bahwa fungsi
penguatan sistem presidensial adalah fungsi atau tujuan utama lahirnya ketentuan
syarat ambang batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, hal tersebut
terbukti dengan menjadikan pertimbangan yang sama pada putusan-putusan yang
terkait dengan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
sebelumnya, seperti Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013.
77
Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 76.
62
Berdasarkan uraian di atas, diketahui terdapat dua kondisi dari hadirnya
penguatan sistem presidensial yang akan Penulis uraikan dengan didukung
dengan pertimbangan hakim dalam putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017.
Pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau
gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
di DPR. Dalam konteks tersebut dengan pemberlakuan syarat jumlah minimum
perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan
telah memiliki cukup gambaran yang bukan saja perihal suara yang akan
mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan
mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak
sebelum pelaksanaan pemilu melalui kompromi-kompromi politik antar partai
pengusung. Namun dengan cara demikian setidaknya kompromi-kompromi
politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam
program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan
yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya.
Kedua, penyederhanaan jumlah partai politik. Dengan diberlakukan
persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai
politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik. Pada titik itu
sesungguhnya partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu
partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan
jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas
tertentu sebagai pembeda, namun hal itu tidak lagi secara mendasar
63
mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang
tercermin dalam program-program dan kinerja pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang mereka usung bersama.
Sehingga dari dua kondisi hadirnya penguatan sistem presidensial tersebut
Penulis simpulkan bahwa semangat atau fungsi utama dari legitimasi ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah mendorong tercapainya
keterpusatan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
tersebut di DPR sehingga diharapkan memudahkan pemerintah dalam
menjalankan birokrasinya, serta mendorong terwujudnya penyederhanaan partai
yang kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem presidensial
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Negara.
B. Sumber Hukum Ketentuan Ambang Batas Pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden
Pasca amandemen ketiga UUD NRI 1945, mekanisme pengisian jabatan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan mekanisme pemilu, kemudian
mekanisme pemilu tersebut diatur di dalam Pasal 22E UUD NRI 1945. Secara
khusus juga pengaturan tentang tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil
Presiden terdapat dalam Pasal 6A UUD NRI 1945, dengan salah satu tata cara
tersebut mengharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai
politik atau gabungan parta politik sebagaimana terdapat dalam Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945. Selain tata cara pemilu dan pengisian jabatan Presiden dan Wakil
Presiden yang sudah ditentukan dasar dalam konstitusi, kemudian lahirlah
pengaturan lanjutan yaitu melalui UU Pemilu. Dalam Pasal 222 UU Pemilu
terdapat pengaturan teknis dari cara pengusungan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mengharuskan ketentuan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
64
berasal dari partai politik atau gabungan partai politik yang wajib memenuhi
syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Syarat ambang
batas tersebut tidaklah muncul pertama kali, namun pengaturannya selalu ada
dalam setiap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya. Dengan
diaturnya syarat ambang batas tersebut, kemudian berakibat pada munculnya
permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang pemilu yang mengatur
syarat tersebut kepada MKRI, dan berakhir pada lahirnya beberapa putusan.
Untuk itu dalam bab ini Penulis akan mengelaborasi lebih lanjut tentang sumber
hukum ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang
terdapat dalam konstitusi khususnya Pasal 6A UUD NRI 1945 yang kemudian
diatur lebih teknis dalam Pasal 222 UU Pemilu dan sumber hukum lain berupa
putusan-putusan MKRI.
Untuk menerangkan lebih lanjut tentang ketiga sumber hukum ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut, maka Penulis akan
menjabarkannya dalam sistematika berikut. Pertama, mengenai Ambang Batas
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Konstitusi dan Pasal 222 UU RI
Nomor 7 Tahun 2017 (infra Sub-judul 1), kedua, Putusan MKRI terkait dengan
Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (infra Sub-judul 2).
1. Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
dalam Konstitusi Pasal 222 UU RI Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum
Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden berkaitan dengan bentuk
pemerintahan, bentuk Negara, sistem pemerintahan dan sistem politik suatu
Negara. Jabatan Presiden adalah jabatan dalam Negara yang berbentuk republik.
Secara filosofis, Negara republik adalah Negara yang dibentuk oleh dan untuk
65
kepentingan umum. Berdasarkan pemahaman ini sekaligus tercermin, semua
jabatan dalam Negara republik adalah jabatan yang berfungsi mewujudkan
kepentingan umum, tidak terkecuali jabatan Presiden. Sehingga semua jabatan,
pengisian jabatan, dan pemangku jabatan dalam republik pada dasarnya
memerlukan keikutsertaan publik, termasuk pertanggungjawaban, pengawasan,
dan pengendalian.78
Perbedaan kedudukan suatu Negara ini menimbulkan
perbedaan persepsi dan cara pengisian jabatan Presiden, yang dalam sistem
pemerintahan presidensial seperti di Indonesia dilakukan dengan cara pemilihan
langsung oleh rakyat, karena dalam paham kedaulatan rakyat atau demokrasi,
rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam suatu Negara.79
Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah dengan
diselenggarakannya pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan
untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan secara
demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Untuk itu tentang pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden seharusnya
diatur di dalam konstitusi Negara, sehingga dalam konstitusi Indonesia diatur
pada Pasal 6A UUD NRI 1945. Dalam Pasal 6A ayat (1) mengatakan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat melaui mekanisme pemilu, sehingga prinsip dari pemilu itu sendiri diatur
di dalam Pasal 22E UUD NRI 1945. Salah satu ketentuan dari konstitusi yang
berkaitan dengan tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden terdapat
78
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Penerbit FH UII Press, Jakarta, 2003, hlm.
68-69. 79
Kusnardi & Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, FSHTN-FHUI,
Jakarta, 1983, hlm. 328.
66
dalam Pasal Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang di dalamnya mengatur,
bahwa:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”80
Dari norma tersebut kemudian ditarik makna bahwa calon Presiden dan
Wakil Presiden wajib diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik
sebelum pemilu dilaksanakan, sehingga menutup kemungkinan untuk dapat
mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden independen. Dalam
rumpun Pasal 6A UUD NRI 1945 terdapat pula delegasi langsung dari konstitusi
kepada legislator untuk mengelaborasikan tata cara pengisian jabatan Presiden
dan Wakil Presiden secara lebih lanjut dalam suatu bentuk produk undang-
undang. Pendelegasian tersebut terwujud dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI
1945, yang mengatakan bahwa:
“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur dalam undang-undang.”81
Sehingga legislator mengamini amanat dari konstitusi di atas untuk
mengatur mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui
pelaksanaan pemilu yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat,
partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan dibentuknya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 (selanjutnya disebut sebagai UU Pemilu). Pemilu
akan diadakan pada tanggal 17 April tahun 2019, dan yang menjadikan pemilu
kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya adalah dengan dilaksanakannya secara
serentak. Itu artinya akan diadakan pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD)
sekaligus pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu waktu yang sama.
80
Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. 81
Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945.
67
Perubahan sistem pemilu ini bermula dari keluarnya Putusan MKRI Nomor
14/PUU-XI/2013, atas pengujian Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum dengan Effendi Gazali sebagai Pemohon.
Disini Penulis akan membahas lebih jauh tentang salah satu ketentuan yang
ada dalam UU Pemilu yang menjadi bahan utama penelitian ini, yaitu Pasal 222
UU Pemilu. Pasal tersebut memuat ketentuan syarat pengusungan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang terwujud dengan syarat ambang batas atau
Presidential Threshold. Pasal tersebut mengatur, bahwa:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari
suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”82
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tersebut untuk merepresentasikan adanya
dukungan awal yang kuat dari DPR, yang mana DPR merupakan simbol
keterwakilan rakyat terhadap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.83
Sehingga ketentuan
tersebut dapat dimaksudkan sebagai persyaratan atau seleksi awal untuk
menunjukkan akseptabilitas atau kepercayaan terhadap calon Presiden dan Wakil
Presiden yang tercermin dari dukungan rakyat dengan DPR yang menjadi
simbolnya.
Sehingga dari uraian tentang dua dasar hukum ketentuan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden diatas, Penulis menarik makna bahwa
syarat pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
82
Pasal 222 UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 83
Keterangan Pemerintah dalam Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 31.
68
NRI 1945 merupakan bagian dari tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, yang oleh Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 mendelegasikannya
kepada legislator untuk mengatur lebih jauh ketentuan tersebut ke dalam satu
bentuk undang-undang. Selain Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945, juga terdapat
Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945 yang mengatakan, bahwa ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.84
Oleh sebab itu
lahirlah UU Pemilu sekaligus sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilu serentak
2019, dan Pasal 222 yang menjadi bagian di dalamnya.
Sehingga Penulis simpulkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur
tentang syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan
perwujudan pengaturan lanjutan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang
mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Dasar pembentukan Pasal 222 UU Pemilu
tersebut berasal dari delegasi Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI
1945.
Hal tersebut didukung dengan Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013
pada angka 3 (tiga) Pertimbangan Hukum paragraf [3.18] yang menyatakan:
“Adapun mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 4/2008,
Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan
Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan
umum secara serentak maka ketentuan pasal persyaratan perolehan
suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk
Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD
1945.”
Dari situ Penulis simpulkan bahwa dengan adanya Pasal 222 UU Pemilu
yang mengatur tentang ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden,
84
Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945.
69
legislator telah mengamini dan menjalankan amanat konstitusi yang terdapat
Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) untuk mengatur lebih lanjut tentang tata
cara pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pemilu dilaksanakan, ke dalam
bentuk produk undang-undang dan juga mengamini amanat Putusan MKRI
Nomor 14/PUU-XI/2013.
2. Putusan MKRI Terkait dengan Ambang Batas Pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden
Setiap lima tahun sekali Indonesia menyelenggarakan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden. Bila sebelumnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sejak tahun 2004
Indonesia memiliki sistem pemilu yang baru, yaitu Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga rakyat bebas menentukan calon
pemimpinnya secara langsung melalui mekanisme pemilu.
Sejak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung,
persoalan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden selalu
mengemuka tiap kali pemilu dilaksanakan, karena seperti yang telah dibahas
sebelumnya bahwa pengaturan syarat ambang batas ini telah ada disetiap undang-
undang pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari masa ke masa dengan teknis dan
persentase yang berbeda-beda. Pada pemilu 2004, ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden sebesar 10 persen. Angka ini kemudian bertambah
hingga 20 persen pada pemilu 2009, dan terus berlanjut hingga saat ini.
Dari lahirnya ketentuan ambang batas tersebut, maka sering kali
memunculkan permohonan pengujian konstitusionalitas atasnya kepada MKRI
yang kemudian melahirkan putusan-putusan tentang pengujian konstitusionalitas
70
ketentuan ambang batas tersebut. MKRI telah menguji konstitusionalitas
ketentuan ambang batas tersebut dalam dua masa, yang terbagi menjadi Putusan
MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan kemudian diperkuat dalam putusan
termutakhir tentang ketentian serupa dalam UU Pemilu, yaitu Putusan MKRI
Nomor 53-59-70-71-72/PUU-XV/2017.
Permohonan-permohonan tersebut lahir dari pandangan kontra dari
diberlakukannya ketentuan ambang batas ini. Sebagian besar Pemohon
beranggapan bahwa syarat ambang batas dianggap mengurangi hak rakyat untuk
mendapatkan pemimpin yang diinginkan. Sebab dengan ketentuan ambang batas,
partai-partai politik harus berkoalisi untuk dapat memenuhi syarat besaran
persentase yang ada agar dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu yang
mengharuskan partai politik atau gabugan partai politik mendapatkan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu
anggota DPR sebelumnya.
Berikut Penulis uraikan 6 alasan utama yang diajukan Pemohon dalam
permohonan pengujian konstitusionalitas ketentuan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu,
diantaranya:
1. Pasal 222 UU Pemilu tidak didukung secara bulat karena Partai
Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai
Amanat Nasional menyatakan menolak walk out. Menurut Pemohon,
Pasal 222 UU Pemilu adalah manipulasi dan tarik-menarik
kepentingan politik partai-partai pendukung pemerintah, partai-partai
oposisi, dan pemerintah.85
85
Lutfil Ansori, “Telaah terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak
2019”, Jurnal Yuridis, Volume 4, Nomor 1, Juni 2017, hlm. 15.
71
2. Pasal 222 UU Pemilu telah digunakan dalam Pemilu 2014 sehingga
tidak relevan dan kedaluwarsa ketika ditetapkan dalam pemilu
serentak 2019.86
3. Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan logika keserentakan
pemilu 2019, sistem pemilu baru pasca dikeluarkannya Putusan
MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013.87
4. Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan
Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945.88
5. Pasal 222 UU Pemilu merusak sistem presidensial dan mengeliminasi
fungsi evaluasi penyelenggaraan pemilu.89
6. Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip One Person, One
Vote, One Value (OPOVOV) dari pemilu 2014 karena konvensi suara
pemilih menjadi kursi dalam pemilu 2014 telah digunakan untuk
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014.90
Sehingga dari perbedaan pendapat tersebut, Penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan persoalan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dengan terlebih dahulu mengkaji
pendapat hakim dari putusan-putusan terkait dengan pengujian ketentuan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan yang pertama, yaitu Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008.91
Dalam putusan ini pada pokoknya MKRI berpendapat bahwa
persoalan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai
berikut: Pertama, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa aturan
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sangat diskriminatif
menghilangkan kesempatan untuk diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik dan penerapannya menimbulkan ketidakadilan, sehingga
bertentangan dengan konstitusi, menurut MKRI adalah tidak benar. Sebab MKRI
86
Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 6 87
Abdul Ghoffar, Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi
dan Pengalaman di Negara Lain, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018, hlm.
480. 88
Ibid, hlm. 483. 89
Ibid, hlm. 484. 90
Ibid. 91
Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
72
berpendapat bahwa untuk dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan lebih dahulu ditentukan
oleh rakyat dalam pemilu legislatif akan datang, ketentuan ini berlaku secara
sama bagi semua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak ada
unsur diskriminatif dalam ketentuan ini;
Kedua, bahwa pengaturan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
merupakan satu norma konkret penjabaran dari Pasal 6A ayat (2) UUD NRI
1945. Kebijakan syarat perolehan suara sah nasional dalam pemilu DPR,
sebagaimana telah menjadi pendapat MKRI dalam putusan-putusan terdahulu,
merupakan kebijakan hukum terbuka/kebijakan legislatif terbuka (open legal
policy) yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang
menentukan tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur
lebih lanjut dalam undang-undang, dan juga Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945
menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-
undang.
Ketiga, MKRI melihat bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
pengaturan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berpotensi
menyebabkan tidak terselenggaranya pemilu yang demokratis, dan tidak
menganut asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, tidak ada korelasi yang logis
antara syarat dukungan 20% (dua puluh persen) kursi DPR atau 25% (dua puluh
lima persen) suara sah nasional yang harus diperoleh partai untuk mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Justru dengan perolehan partai atas
syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakuat
73
pemilih yang berdaulat. Ketentuan ini juga untuk membuktikan apakah partai
yang mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat
dukungan yang luas dari rakyat.
Sehingga MKRI berpendapat bahwa syarat dukungan 20% (dua puluh
persen) kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional yang
harus diperoleh partai politik sebelum pemilu Presiden merupakan dukungan
awal dengan dukungan selanjutnya yang akan ditentukan oleh hasil pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan menjadi kepala pemerintahan yang
sejak awal pencalonannya telah mendapatkan dukungan rakyat yang telah
memperoleh dukungan tertentu selama pemilu. Dukungan tersebut dimaksudkan
sebagai pendukung utama dalam jalannya masa pemerintahan Presiden dan Wakil
Presiden terpilih.
Putusan yang kedua, yaitu Putusan MKRI Nomor 53-59-70-71-72/PUU-
XV/2017.92
Dalam putusan ini pada pokoknya MKRI berpendapat bahwa
persoalan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai
berikut. Pertama, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang terwujud dalam
Pasal 222 UU Pemilu adalah manipulasi dan tarik-menarik partai pendukung
pemerintah dan partai-partai oposisi dengan merujuk adanya sejumlah fraksi di
DPR yang walk out pada saat disahkannya pengambilan putusan terkait UU
Pemilu. Dari dalil tersebut, MKRI berpendapat bahwa pembentukan suatu
undang-undang adalah keputusan politik oleh suatu proses politik lembaga
92
Putusan MKRI Nomor 53-59-70-71-72/PUU-XV/2017.
74
Negara yang oleh konstitusi diberikan wewenang untuk membentuk undang-
undang, yang dalam hal ini adalah legislator.93
Oleh karena itu, MKRI tidak berwenang menilai produk undang-undang
agar dikatakan konstitusionalitas atau tidak selama tata cara pembentukannya
tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam konstitusi. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) UUD NRI 1945.
Sehingga dengan adanya sejumlah fraksi yang walk out saat pengesahan undang-
undang dimaksud tidak menyebabkan substansi atau materi muatan suatu undang-
undang menjadi inkonstitusional melainkan hanya menunjukkan tingkat
penerimaan atau persetujuan materi muatan undang-undang yang bersangkutan
tidak diperoleh secara aklamasi.94
Kedua, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
ambang batas pencalona Presiden dan Wakil Presiden yang terwujud dalam Pasal
222 UU Pemilu telah digunakan pada pemilu 2014 sehingga dirasa tidak relevan
atau kedaluarsa jika diterapkan pada pemilu serentak 2019. Terhadap dalil
tersebut MKRI berpendapat bahwa undang-undang yang mengatur tentang
pemilu 2014 bukanlah UU Pemilu (UU RI Nomor 7 Tahun 2017), melainkan UU
RI Nomor 8 Tahun 2012 yang tidak ataupun belum memberlakukan ketentuan
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam proses
pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga tidak
mungkin suatu undang-undang dikatakan kedaluarsa terhadap suatu keadaan atau
93
Abdul Ghoffar, Op.Cit., hlm. 486. 94
Putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm. 130.
75
peristiwa yang terjadi sebelumnya yang tunduk pada undang-undang yang
berbeda.95
Ketiga, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 UU
Pemilu bertentangan dengan logika keserentakan pemilu 2019, sebagaimana
pemilu serentak dinyatakan dalam Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013. Dari
dalil tersebut, MKRI berpendapat dalam Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008 dalam pengujian UU RI Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum, telah menegaskan bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan
suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum terbuka
pembentuk undang-undang (legislator).
Keempat, MKRI kembali mempertegas dengan putusan sebelumnya yaitu
Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, dengan penjelasan sebagai berikut:96
1. Pertimbangan hukum mengenai ambang batas minimum
perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik
untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diatur dalam Pasal 9 UU RI Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum merupakan kebijakan hukum
pembentuk undang-undang.
2. Argumen teoritik dari diberlakukannnya syarat ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah untuk
memperkuat sistem presidensial dalam pengertian
mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang semakin
mendekati ciri dan syarat ideal sistem pemerintahan
presidensial.
3. Argumentasi sosio-politik konstitusionalitas persyaratan
ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau
gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden adalah memperkuat
lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang
95
Ibid, hlm. 131. 96
Ibid, hlm. 132.
76
mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi dari
kesatuan masyarakat Indonesia.
4. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa syarat
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang
terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru merusak sistem
presidensial dan mengeliminasi fungsi evaluasi
penyelenggaraan pemilu. Terhadap hal tersebut MKRI
menimbang bahwa ketentuan ambang batas yang termuat
dalam Pasal 222 UU Pemilu justru berkesesuaian dengan
gagasan penguatan sistem pemerintahan presidensial yang
menjadi desain dari konstitusi UUD NRI 1945. Sementara yang
dimaksud dengan “mengeliminasi evaluasi penyelenggaraan
pemilu” adalah anggapan Pemohon tentang adanya
ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dan Presiden-Wakil
Presiden yang terpilih dalam pemilu 2014 dengan asumsi
bahwa rakyat akan dihadapkan pada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden yang sama yang akan berkompetisi dalam
Pemilu 2019 sebagaimana ditegaskan Pemohon dalam
permohonannya.97
Terkait hal tersebut MKRI berpendapat
bahwa anggapan demikian terlalu prematur sebab belum tentu
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
berkompertisi dalam Pemilu 2019 adalah pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang berkompetisi dalam Pemilu
2014 lalu. Namun jikalau anggapan ini benar, hal itu tidak serta-
merta menjadikan norma yang terkandung di dalam Pasal 222
UU Pemilu menjadi inkonstitusional.98
5. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang
terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif
karena memangkas hak Pemohon sebagai partai politik untuk
mengusulkan ketuanya sebagai calon Presiden (in casu Partai
Idaman), MKRI berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak
tepat digunakan untuk menyatakan ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu adalah inkonstitusional karena tidak setiap perbedaan
perlakuan serta-merta berarti diskriminasi. Syarat ambang batas
yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu diberlakukan untuk
semua partai politik peserta pemilu, dan yang terpenting adalah
ketentuan tersebut bisa dikatakan diskriminasi manakala
terhadap hal yang sama diperlakukan secara berbeda dan
perbedaan itu semata-mata didasari oleh pembedaan manusia
atas dasar suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang
berakibat mengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dalam kehidupan, baik individual maupun
97
Abdul Ghoffar, Op.Cit., hlm. 489. 98
Putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm. 133.
77
kolektif, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,
dan aspek kehidupan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 angka 3 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Bahkan, andaikata terhadap partai-partai politik
peserta pemilu tersebut diberlakukan ketentuan yang berbeda,
hal itu juga tidak sertamerta dapat dikatakan sebagai
diskriminasi sepanjang perbedaan itu tidak didasari oleh alasan-
alasan sebagaimana termasud dalam pengertian diskriminasi di
atas.99
Dari uraian pertimbangan MKRI diatas, Penulis menarik kesimpulan bahwa
syarat ambang batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidaklah
merupakan ketentuan inkonstitusional. Dengan hal tersebut Penulis menyatakan
pendiriannya berkenaan dengan syarat ambang batas perolehan suara minimal
partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden, dengan argumen sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan mengenai ambang batas minimum perolehan suara
partai politik atau gabungan partai politik untuk daoat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden (yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu)
sebagai kebijakan pembentuk undang-undang (legislor) yang disebut sebagai
kebijakan legislatif terbuka (open legal policy). Kedua, argumentasi teoritik
konstitusionalitas persyaratan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden (yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu) merupakan argumentasi
teoritik untuk memperkuat sistem presidensial dalam pengertian mewujudkan
sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri/syarat ideal menuju
sistem pemerintahan presidensial sebagaimana menjadi desain konstitusi
Republik Indonesia, sehingga mengkikis praktik yang menuju pada ciri-ciri
sistem parlementer. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden justru melemahkan sistem
99
Ibid., hlm. 135.
78
presidensial, Penulis beranggapan bahwa ketentuan tersebut justru menguatkan
sistem presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD NRI 1945. Ketiga,
argumentasi sosio-politik konstitusionalitas ambang batas pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden (yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu) adalah
memperkuat lembaga Kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan
legitimasi sosio-politik representasi masyarakat Indonesia yang berbhineka.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 UU
Pemilu bersifat diskriminatif karena menghilangkan hak Pemohon sebagai partai
politik peserta pemilu untuk mengusulkan ketuanya seperti contoh dalam Putusan
MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017 sebagai calon Presiden, Penulis beranggapan
bahwa dalil diskriminasi tidak dapat dibenarkan karena tidak setiap perbedaan
perlakuan serta-merta berarti diskriminasi.
Dari ketiga argument Penulis tersebut, Penulis akan memfokuskan pada
satu argument yang akan menjadi analisis lebih lanjut, yaitu bahwa syarat
ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan perwujudan
dari pada kebijakan legislatif terbuka (open legal policy) yang secara eksplisit
telah diamanatkan dalam konstitusi hingga Putusan MKRI. Untuk itu dengan
ambang batas tersebut menjadi bagian dari perwujudan kebijakan legislatif
terbuka, itu artinya ambang batas tersebut bukanlah merupakan permasalahan
HAM seperti yang menjadi dalil Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal
222 UU Pemilu tersebut.
C. Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden merupakan Kebijakan Legislatif Terbuka
79
Norma-norma UU Pemilu dimohonkan untuk diuji kepada UUD NRI 1945,
tetapi secara khsusus Penulis memusatkan perhatian pada Pasal 222 tentang
persyaratan ambang batas perolehan suara partai politik atau gabungan partai
politik untuk dapat mengajukan pasangan calon Preisden dan Wakil Presiden
dalam pemilu, yang diajukan oleh Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XV/2017.
Dalam perjalanan MKRI memutus perkara pengujian konstitusionalitas
ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dapat ditarik
makna dari pertimbangan hakim yang sering muncul hingga menjadi
pertimbangan utama, bahwa ambang batas tersebut merupakan ketentuan yang
lahir dari kebebasan kebijakan legislatif terbuka. Untuk itu dalam tulisan ini,
posisi Penulis adalah mendukung Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017 yang
menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden merupakan perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka, dengan
menjabarkan karakterikstik kebijakan legislatif terbuka yang ada di dalam
ketentuan ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu yang menjadi bahan utama
penelitian ini. Juga Penulis akan membuktikan dalil Pemohon dalam Putusan
MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa ketentuan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 UU
Pemilu tersebut melanggar HAM tidaklah terbukti berdasarkan konsep HAM dari
sumber-sumber hukum yang ada. Sehingga untuk tujuan itu, maka Penulis akan
menjabarkan dalam sistematika berikut. Pertama, mengenai Karakteristik
Kebijakan Legislatif Terbuka dalam Ketentuan Ambang Pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden (infra Sub-judul 1), kedua, mengenai Ketentuan Ambang
80
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden bukan merupakan Isu Pelanggaran HAM
(infra Sub-judul 2).
1. Karakteristik Kebijakan Legislatif Terbuka dalam
Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden
Pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan upaya dan seluruh komponen bangsa
untuk menjaga kualitas pemilu. Pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu
diharapkan dapat terlaksana dengan efektif dan efisien. Pembahasan utama kali ini
yaitu Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) dari dari suara
sah nasional dalam pemilu anggota DPR pada pemilu selanjutnya. Ketentuan ini
Penulis justifikasi sebagai perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka, sebab
terdapat amanat dari konstitusi sebagai pemilik hierarki yang lebih tinggi untuk
mengatur tata cara pelaksanaan pemilu di dalam sebuah produk undang-undang.
Selain itu terdapat putusan MKRI yang mendukung adanya argument tersebut,
namun dalam hal ini MKRI tidak mengelaborasi lebih jauh tentang karakteristik
kebijakan legislatif terbuka yang terpenuhi dalam ketentuan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu. Untuk itu,
posisi pro Penulis atas diberlakukannya ketentuan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden sebagai perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka
81
dengan mengelaborasikannya lebih lanjut akan karakteristik yang terpenuhi
berdasarkan analisis sebagai berikut:
Pertama, bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” dengan salah satu wujud kedaulatan rakyat adalah dengan
diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan
DPRD dan dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat
seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kedua, bahwa pemilu serentak antara pemilhan Presiden dan Wakil
Presiden, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dimaknai dari Pasal 6A dan Pasal
22E UUD NRI 1945, menjadi argument yang diajukan untuk menyatakan Pasal
222 UU Pemilu tersebut inkonstitusional, berdasarkan anggapan hasil pemilu
sebelumnya yaitu Pemilu 2014 yang dijadikan dasar telah lalu atau selesai
sehingga tidak relevan lagi digunakan untuk pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden di tahun 2019, dan sekaligus mendiskriminasi partai pendatang baru. Hal
demikian Penulis katakan tidak benar, karena hasil tersebut tetap penting sebagai
peta politik dan pengalaman yang menunjukkan data dan fakta dalam menyusun
kebijakan pemerintahan dan Negara.
Ketiga, bahwa dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 dengan tegas menyatakan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat, dengan syarat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang disahkan
sebelum pelaksanaan pemilu. Kemudian konstitusi menyatakan bahwa tata cara
pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu anggota DPR,
82
DPD, dan DPRD lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan
amanat Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga dari amanat tersebut,
kemudian legislator menciptakan instrument sebagai dasar hukum pelaksanaan
pemilu yang berisi tentang ketentuan norma teknis dari pelaksanaan pemilu
sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat. Instrument tersebut lahir dalam
bentuk UU Pemilu dengan salah satu pasal yang termuat di dalamnya adalah Pasal
222 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, yang salah satunya Putusan
MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017. Penulis menilai bahwa Pasal 222 tersebut
adalah merupakan turunan dari bunyi Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945. Hal
tersebut memenuhi unsur sebagai perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka,
karena dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 secara tegas konstitusi
mengamanatkan kepada pembuat undang-undang/legislator untuk mengatur lebih
jauh tata pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke dalam satu
bentuk produk undang-undang. Dengan sebelumnya Penulis menjastifikasi
justifikasi bahwa syarat pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden merupakan bagian dari tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, yang kemudian dalam Pasal 222 UU Pemilu diatur menjadi
bentuk syarat ambang batas. Dengan demikian, pengaturan kebijakan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan dengan
konstitusi karena pengaturan akan ketentuan tersebut merupakan delegasi
langsung dari konstitusi kepada legislator. Delegasi serupa juga tercantum dalam
BAB VIIB UUD NRI 1945 yang mengatur prinsip pelaksanaan pemilu, yaitu
dalam Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dalam undang-undang.” Sehingga norma yang
83
terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu tidaklah bertentangan dengan norma-norma
yang terdapat dalam konstitusi, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, juga
tidak bertentangan dengan Pasal 6A, Pasal 22E UUD NRI 1945, karena norma
yang dimaksud masih dalam constitutional boundary pembuat undang-undang
yang luas untuk diisi dengan memperhatikan sistem pemerintahan presidensial
yang berkombinasi dengan sistem multipartai, pengalaman kehidupan tata Negara
Indonesia yang terkait dengan pemerintahan yang stabil, serta tujuan untuk
membangun hubungan eksekutif-legislatif yang efektif. Dari dua ketentuan
delegasi yang tercantum dalam konstitusi tersebut, kemudian Penulis simpulkan
bahwa ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang
terwaujud dalam Pasal 222 UU Pemilu merupakan perwujudan dari kebijakan
legislatif terbuka (open legal policy), karena dengan secara langsung konstitusi
telah mengaturnya secara eksplisit dalam batang tubuhnya.
Argumen Penulis tersebut diperkuat dengan Pertimbangan Hakim dalam
Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013 paragraf [3.18] dalam Pengujian Pasal 9
UU RI Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan:
“Adapun mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42
Tahun 2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan
penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka
ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai
syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil
presiden merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang
dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945.”
Patut untuk diketahui sebelumnya, bahwa Pasal 9 UU RI Nomor 42 Tahun
2008 tersebut juga mengatur tentang persyaratan perolehan kursi dalam
mengajukan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden yang di dalamnya berbunyi:
84
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.”
Maka dengan itu legislator berpendirian bahwa pengaturan dalam Pasal 222
UU Pemilu juga mengatur mengenai persyaratan perolehan kursi dalam rangka
pengajuan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional. Jika
kembali kita mengulas Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal
18 Februari 2009 dalam pengujian UU RI Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Pemilihan Umum tersebut menegaskan bahwa ketentuan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan pembentuk undang-
undang. Disana diketahui bahwa dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum sebelumnya telah menerapkan kebijakan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat partai politik atau
gabungan partai politik memenuhi persyaratan paling sedikit 15% (lima belas
persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari
suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Kebijakan threshold semacam itu juga telah
diterapkan sebagai kebijakan hukum (legal policy) dalam electoral threshold (ET)
untuk mencapai sistem multipartai yang sederhana, hal tersebut terdapat dalam
Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, dan dalam putusan tersebut MKRI
menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden yang terdapat dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tidak bertentangan
dengan UUD NRI 1945, karena merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh
UUD NRI 1945 yang sifatnya terbuka. Ketentuan dan putusan tersebut lahir
85
ketika pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dipisahkan
pelaksanaannya dengan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, melalui Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013,
mahkamah telah menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,
DPRD bebarengan menjadi satu waktu atau dilaksanakan serentak dengan pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga timbul pertanyaan, apakah dengan
demikian Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 masih relevan dijadikan
sebagai acuan pertimbangan permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang
pelaksanaannya dilakukan secara serentak?
Terhadap petanyaan tersebut, Penulis berpendirian bahwa walau pemilu
diselenggarakan secara serentak, namun Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008 tetaplah relevan. Pendirian tersebut mengamini pertimbangan hakim
dalam Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, berdasarkan rangkaian
argumentasi sebagai berikut:
Pertama, argumentasi teoritik konstittusionalitas persyaratan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden bukanlah diturunkan dari logika
disatukan atau dipisahkaannya pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dengan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD
melainkan dari argumentasi teoritik untuk memperkuat sistem presidensial dengan
pengertian untuk mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin
mendekati ciri dan syarat ideal sistem pemerintahan presidensial, desain dari pada
konstitusi. Kedua, argumentasi sosio-politik konstitusionalitas syarat ambang
batas pencaloan Presiden dan Wakil Presiden adalah memperkuat lembaga
kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan legitimasi sosio-politik
86
representasi bangsa Indonesia yang berbhineka. Ketiga, argumentasi yang paling
penting dari pada argumentasi pertama dan kedua, yaitu bahwa syarat ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan bentuk dari kebijakan
pembentuk undang-undang/legislator yang disebut dengan kebijakan legislatif
terbuka (open legal policy). Dengan begitu konstitusional tidaknya ketetapan
syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sama sekali tidak
dapat dikaitkan dengan keberadaan pemilu yang dilaksanakan serentak ataupun
tidak.
Sebagai tambahan atas pembelaan pada ketentuan Pasal 222 UU Pemilu
tentang syarat ambang batas, Penulis berkeyakinan bahwa MKRI memahami
posisinya secara tepat dalam menjalankan pengujian konstitusionalitas undang-
undang meskipun konstitusi tidak memberikan pembatasan secara spesifik atas
hal itu. Dalam hal ini MKRI ada dalam posisi departmentalism yang berarti
bahwa perlunya badan-badan pemerintahan lain untuk melakukan interpretasi
konstitusi, ternasuk pembentuk undang-undang dihormati pandangan atau
pendapatnya dalam interpretasi konstitusi oleh MKRI.100
Hal tersebut tidak
berarti mereduksi kewenangan hakim MKRI, namun secara persuasif,
mengarahkan hakim MKRI untuk menggunakan kewenangannya dalam
melakukan interpretasi konstitusi memperhatikan ranah kewenangan badan-
badan pemerintahan lain yang posisinya secara konstitusional bersifat co-
equal. Penghormatan terhadap kewenangan badanbadan pemerintahan lain
tersebut dalam praktik pengujian undang-undang oleh MKRI sejatinya telah
dilakukan, antara lain dalam bentuk pengakuan MKRI atas adanya kekuasaan
100
Konsep ini lahir dari gagasan Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat. yang
dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga
HAM (The Guardian of Human Rights), PT. Alumni, Bandung, 2013, hlm.150.
87
pembentuk undang-undang yang disebut dengan kebijakan legislatif terbuka.101
Akan tetapi kondisi ini tidak menutup mata atas fenomena sebaliknya. Jika
situasi produk interpretasi konstitusi secara yudisial secara masuk akal
mengandung kesalahan substansial maka seyogianya departementalism dapat
menjadi solusi dengan melakukan koreksi atas kesalahan interpretasi yudisial
yang ada. Di luar itu, idealnya, MK seyogianya mampu memproduksi
interpretasi konstitusi yang benar sehingga kebenaran produk interpretasi
tersebut dapat menjadi pedoman bagi badan-badan pemerintahan lain
koordinat.102
Dari uraian analisis dan argumentasi Penulis di atas dapat Penulis
simpulkan, bahwa syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
yang terwujud di dalam Pasal 222 UU Pemilu merupakan satu bentuk dari
kebijakan legislatif terbuka, yang merupakan delegasi langsung oleh konstitusi
yang terwujud dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 tentang pendelegasian
untuk mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam suatu
bentuk produk undang-undang dan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945 tentang
pendelegasian untuk mengatur secara umum teknis pemilihan umum ke dalam
suatu bentuk produk undang-undang. Di sisi lain juga diperkuat dengan adanya
Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MKRI Nomor 14/PUU-
XI/2013 dan tentunya Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017 yang menyatakan
bahwa syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan
bentuk dari kebijakan legislatif terbuka (open legal policy) yang memberikan
kebebasan pada pembentuk undang-undang/legislator untuk mengatur lebih lanjut
101
Ninon Melatyugra, Loc. Cit., hlm. 3. 102
Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi sebagai Human Rights Court, Jurnal
Konstitusi, Nomor 11, Volume 1, Maret 2014, hlm. 149, 162-163.
88
ketentuan yang telah didelegasikan oleh konstitusi kedalam suatu bentuk
peraturan perundang-undangan.
Sehingga dari kesimpulan di atas, menurut baik Penulis sehubungan dengan
syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam
Pasal 222 UU Pemilu merupakan kebijakan legislatif terbuka, maka disini MKRI
membatasi wewenangnya atau menerapkan prinsip self judicial restraint untuk
tidak mengintervensi atau masuk ke dalam ranah wewenang lembaga Negara lain,
yang disini adalah legislator sebagai pencipta norma. Untuk itu disimpulkan,
walaupun suatu norma dinilai buruk kalau itu sesuai dengan kewenangan yang
sudah diamanatkan konstitusi untuk menjalankannya, maka MKRI tidak berhak
untuk menyatakan inkonstitusional dan membatalkan norma tersebut.
2. Ketentuan Ambang Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden bukan merupakan Isu Pelanggaran HAM
Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan Negara hukum. Satu
hal yang menjadi ciri utama dari pada Negara hukum adalah adanya penjaminan
terhadap HAM warga Negaranya, walaupun di satu sisi Negara juga memiliki
kewajiban selaku government as an obligation holder sebagaimana tertuang
dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945.
Ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi
isu kontroversial yang dalam permohonan pengujiannya selalu dikaitkan dengan
jaminan terhadap HAM. Pertentangan ketentuan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yang muncul melalui judicial review terhadap Pasal
222 UU Pemilu yang akhirnya melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
59/PUU-XV/2017.
89
Salah satu jenis HAM yang menjadi pertentangan dengan ketentuan
Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Putusan MKRI
adalah Hak Politik. Hak Politik yang utama adalah hak untuk memberi suara,
yakni hak untuk turut serta dalam pemilihan anggota badan legislatif dan pejabat-
pejabat Negara lain, seperti kepala Negara dan para hakim.103
Kembali mengulas
dalil Pemohon dalam permohonannya pada Perkara Nomor 59/PUU-XV/2017,
Pemohon menyatakan bahwa ia mengalami kerugian dalam hak-hak
konstitusionalnya yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal
22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD NRI 1945.
Dalam dalilnya, Pemohon menyatakan bahwa dengan diberlakukannya syarat
ambang batas membuat dirinya kehilangan atas jaminan HAM. Sehingga yang
dipertentangkan oleh Pemohon dalam Putusan MKRI tersebut dilandaskan pada
isue HAM yang telah diringkas dalam beberapa poin di bawah ini:104
1. Pemohon akan kehilangan banyak Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan putra-putri terbaik Indonesia yang
layak diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik, karena sistem Presidential Threshold secara umum
membatasi jumlah pilihan yang tersedia bagi Pemohon;
2. Pemohon cenderung disodorkan pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden yang terpaksa harus melakukan beberapa
negoisasi dan tawar menawar (bargaining) politik terlebih
dahulu dengan partai-partai politik yang berakibat sangat
mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dikemudian hari;
3. Pemohon merasa dirugikan kaitannya dengan hak memilih
Pemohon dalam pelaksanaan Pemilu DPR pada tahun 2014
lalu karena merasa hasil atau pelaksanaan dari hak memilih
Pemohon tersebut kemudian tidak mendapatkan jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena akan
digunakan secara cenderung manipulatif, tanpa seizin
Pemohon, dan tanpa memberikan informasi apapun kepada
103
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media,
Bandung, 2014, hlm. 334. 104
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 6.
90
Pemohon sebelum Pemohon melaksanakan hak memilihnya
pada Pemilu DPR 2014 tersebut.
Dari beberapa pengajuan pengujian konstituionslitas Pasal 222 UU Pemilu,
perkara Nomor 59/PUU-XV/2017 ini menjadi salah satu pengajuan permohonan
dengan posisi sebagai pemilih, sehingga HAM yang didalilkan adalah HAM
pemilih yang telah dilanggar dengan keberlakukan pasal tersebut. Dalam
permohonannya, Pemohon mengakui bahwa terdapat banyak pihak yang
menyatakan bahwa syarat ambang batas ini merupakan bagian dari kebijakan
legislatif terbuka. Namun dalam dalilnya, Pemohon tetap dalam pendiriannya
bahwa keberlakuan syarat ambang batas merupakan bagian dari pelanggaran
HAM, yang Pemohon katakan sebagai berikut:
“Sekalipun ada Pihak-Pihak yang tetap menyatakan bahwa yang
terpenting adalah “Open Legal Policy” yang jauh lebih penting
dari teks konstitusi baik secara tegas (expresis verbis) maupun
yang secara implisit jelas, yaitu Pasal 6A ayat (2), namun hal ini
tidak dapat digunakan untuk mungkir dari fakta bahwa Pemohon
serta begitu banyak warga Negara yang telah mengalami kerugian
konstitusional, yaitu Hasil atau pelaksanaan dari Hak untuk
Memilih Pemohon (pada Pemilu DPR 2014) itu kemudian tidak
mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil, karena akan digunakan secara cenderung manipulative, tanpa
seizing Pemohon, dan tanpa memberikan informasi apapun kepada
Pemohon sebelum Pemohon melaksanakan hak memilihnya pada
Pemilu DPR 2014.”105
Terhadap pernyataan tersebut, Penulis menyatakan bahwa dalil Pemohon
tidak beralasan menurut hukum. Pasalnya, terkait dengan dalil Pemohon yang
menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal tersebut hak konstitusionalnya yang
disebutkan sebagai bagian dari HAM tersebut merasa dirugikan, Penulis katakan
bahwa Pemohon telah lalai dalam mencermati hakikat dari pada HAM itu sendiri.
Berangkat dari dalil Pemohon yang menyatakan kerugian hak konstitusional
105
Putusan MKRI Nomor 59/PUU-XV/2017, hlm. 15.
91
sebagai pemilih, sehingga HAM yang dimaksud oleh Pemohon adalah bagian dari
hak politik.
Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat pengklasifikasian bentuk
pengakuan HAM di Indonesia sebelum menanggapi dalil Pemohon di atas. Secara
mendasar, Indonesia sendiri mengakui adanya HAM dengan mencanangkannya
dalam UUD NRI 1945, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: 106
a. Personal Right (Pasal 28 dan Pasal 29)
b. Property Right (Pasal 33)
c. Right of Legal Equality (Pasal 27 ayat (1))
d. Political Right (Pasal 27 dan Pasal 28)
e. Social and Culture Right (Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34)
f. Procedural Right (Pasal 27 ayat (1).
Dilihat dari sifatnya, hak politik merupakan derogable rights dimana tidak
bersifat absolut, yang boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan
tertentu.107
Hak tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Dapat
dijelaskan secara singkat bahwa Hak Politik (political rights) itu sendiri adalah
seperangkat hak yang menurut sifatnya berkaitan dengan aktivitas dan partisipasi
dalam proses berNegara atau penyelenggaraan pemerintah.108
Melanjutkan ulasan
dalil Pemohon dalam Putusan MKRI di atas yang mendasarkan pada alasan HAM,
Pemohon merasa sistem ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu pada Pemilu Serentak 2019 tersebut
benar melanggar keseluruhan hak memilih warga Negara.
Jika mengikuti dan berangkat dari dalil Pemohon yang merasa hak
konstitusionalnya (hak politik) dirugikan, konstitusi sendiri telah membatasi
penyelenggaraan HAM tersebut dengan menuangkannya dalam Pasal 28J UUD
NRI 1945, yang tertulis bahwa:
106 http://kliksma.com/2016/09/klasifikasi-hak-asasi-manusia.html, diakses pada hari
Senin, 13 Februari 2018, pukul 11.30 WIB. 107
Suparman Marzuki, Jurnal “Perspektif Mahkamah Konstitusi Tentang Hak Asasi
Manusia”, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2013, hlm. 197. 108
Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, Tahun 2015, hlm. 254.
92
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undnag-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
Sebagai perbandingan, Penulis akan mengkaitkan dalil Pemohon dengan
pengujian pasal yang sama, yang terwujud dalam permohonan Perkara Nomor
53/PUU-XV/2017 dengan Pemohon Rhoma Irama selaku Ketua Umum Partai
Idaman yang mana putusannya bersifat mutatis mutandis dengan Putusan MKRI
Nomor 59/PUU-XV/2017. Dalam permohonan tersebut, Pemohon mendalilkan
bahwa dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu menyebabkan diskriminasi
terhadap partai-partai pemilu baru yang ingin mencalonakan ketua umumnya
untuk menjadi calon Presiden. Menurut baik Pemohon, hal ini lebih tidak
beralasan menurut hukum, dengan argumen bahwa dalil diskriminatif tidak dapat
digunakan dalam hubungan ini karena tidak serta perbedaan perlakuan serta-
merta dinyatakan sebagai diskriminasi. Diskriminasi baru dapat dikatakan
manakala terhadap hal yang sama diperlakukan secara berbeda dan pembeban itu
semata-mata didasari oleh pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif, dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Dalam perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, berbedaan perlakuan
93
yang dialami oleh Pemohon bukanlah didasarkan pada alasan-alasan yang
terkandung di dalam pengertian diskriminasi sebagaimana diuraikan di atas,
melainkan Pemohon adalah partai politik baru yang akan ikut berkompetisi dalam
Pemilu serentak 2019, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU
Pemilu adalah diberlakukan untuk partai-partai politik lama yang sudah pernah
mengikuti pemilu DPR 2014 dan memperoleh dukungan suara tertentu. Bahkan,
jikalau terdapat partai-partai politik yang telah pernah mengikuti pemilu DPR
2014 diberlakukan ketentuan yang berbeda, hal tersebut juga tidak serta-merta
dapat dikatakan sebagai diskriminasi jikalau perbedaan itu tidak didasari semata-
mata oleh alasan-alasan sebagaimana ada dalam pengertian diskriminasi Pasal 1
angka 3 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di atas. Selain
itu juga, norma yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu juga berlakukan untuk
seluruh partai pemilu yang sudah pernah mengikuti pemilu DPR 2014 dan berarti
tidak hanya untuk partai-partai pemilu tertentu saja.
Sehingga dengan ini menarik bagi Penulis, alasan HAM yang menjadi dalil
para Pemohon adalah premature dan tidak beralasan menurut hukum. Untuk itu
Penulis meyakini bahwa pelaksanaan syarat ambang batas pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 sebenarnya tidak terkait
dengan pelanggaran HAM dan bukan merupakan isue HAM sebagaimana
dimaksud oleh para Pemohon. Seperti yang sudah ada dalam analisis sub bab
sebelumnya, Penulis berpendirian bahwa syarat ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat dalam Pasal 222 adalah perwujudan
dari kebijakan legislatif terbuka yang telah didelegasikan oleh konstitusi secara
tegas dan eksplisit di dalam Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI
94
1945. Kebijakan legislatif terbuka merupakan konsep yang lahir dari putusan
MKRI untuk menciptakan batasan diri terkait dengan kekuasaan legislator untuk
membentuk undang-undang yang merupakan dasar legitimasi demokrasi. Untuk
itu artinya, norma dalam Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang syarat
ambang batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa mendapatkan
intervensi dari pihak manapun, termasuk juga MKRI sebagai lembaga peradilan
yang memiliki fungsi lain dan juga memiliki batasan sendiri dalam melaksanakan
fungsinya, yang mana batasan tersebut adalah prinsip self judicial restraint.
Sehingga untuk itu disimpulkan bahwa syarat ambang batas pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden merupakan ketentuan yang konstitusional.