BAB II2

42
TINJAUAN PUSTAKA 1. Lembaga Keungan Mikro Menurut Krishnamurti (2005), walaupun banyak terdapat definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman tradisional masyarakat indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito, maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro pada awalnya hidup dan berkembang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme konstektual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.

Transcript of BAB II2

Page 1: BAB II2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lembaga Keungan Mikro

Menurut Krishnamurti (2005), walaupun banyak terdapat definisi

keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari

berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan

keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman tradisional masyarakat

indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya

menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,

pinjaman, pembayaran, deposito, maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat

miskin. Keuangan mikro pada awalnya hidup dan berkembang untuk

melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada

sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan

prosedur dan mekanisme konstektual dan fleksibel. Hal ini merupakan

konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan

mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu

kontekstual dan fleksibel.

Menurut Wiyono (2005; Direktorat Pembiayaan 2004), lembaga

keuangan mikro dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Lembaga formal seperti bank

desa atau koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya organisasi non

pemerintah dan (3) sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang.

Sementara Usman et al. (2004) membagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

menjadi 4 golongan besar yaitu, (1) lembaga keuangan formal baik bank

maupun non bank; (2) Lembaga keuangan non formal baik berbadan hukum

maupun tidak; (3) lembaga keuangan mikro yang dibentuk oleh pemerintah;

Page 2: BAB II2

dan (4) lembaga keuangan mikro informal seperti arisan atau rentenir.

Adapun Bank Indonesia hanya membagi LKM menjadi dua kategori saja yaitu

LKM berbentuk bank dan non bank. LKM berwujud bank adalah BRI Unit

Desa, Danamon Simpan Pinjam (DSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan

Badan Kredit Desa (BKD). Sedangkan yang berbentuk non bank adalah

koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga swadaya

masyarakat (LSM), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), Baitul mal wat

Tamwil (BMT), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA,

kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit

Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, Namun akibat persyaratan mitra

pembiayaan menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro

kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.

2. BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Mikro

BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang

bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP).

Adapun bank umum merupakan lembaga keuangan makro sedangkan bank

perkreditan rakyat merupakan lembaga keuangan menengah. Dari sekian

banyak lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD dan lainnya, BMT

merupakan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syariah. Selain itu,

BMT juga dapat dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat

(LSM) yang bergerak dibidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak

hanya bergerak dalam pengelolaan modal saja, tetapi juga dalam hal

pengumpulan zakat, infak, shodaqoh (ZIS). Ini merupakan sebuah

konsekuensi dari namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwil yang

merupakan gabungan dari kata baitul maal dan bait at-tamwil. Secara

8

Page 3: BAB II2

singkat, bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang

disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga

pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan

komersial dengan beberapa pendekatan akad, antara lain kerjasama bagi

hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (ba’i al murabahah, assalam

dan al-ishtisna’), sewa (ijarah dan ijarah mumtahiyya bittamlik) dan jasa

lainnya (rahn, hawalah, wakalah dsb). Dalam perkembangan kegiatan pada

kebanyakan BMT, lembaga tamwil menjadi kegiatan utama, sementara

lembaga maal menjadi kegiatan sampingan.

Perbedaaan BMT dengan bank umum syariah (BUS) atau juga bank

perkreditan rakyat syariah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan

dukungan. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan

peraturan pemerintah di bawah Departemen Keuangan atau juga peraturan

Bank Indonesia (BI), sedangkan BMT dengan badan hukum koperasi, secara

otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari

departemen ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang koperasi dengan

segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan Keputusan

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.

91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Koperasi Jasa Keuangan Syariah (Sumiyanto, 2008).

Bagi hasil adalah jumlah pendapatan yang diperoleh anggota

pembiayaan sehubungan dengan penggunaan modal (pembiayaan) untuk

kegiatan usaha yang dari jumlah pendapatan tersebut dibagi antara

pembiayaan dan pemodal. Bagi hasil di tentukan pada akhir periode

9

Page 4: BAB II2

pembiayaan. Inilah perbedaan prinsip dengan lembaga/bank keuangan

konvensional, dimana keuntungan berupa bunga sudah ditentukan pada awal

periode mitra pembiayaan (Aziz, 1995).

BMT mempunyai misi membangun dan mengembangkan tatanan

perekonomian dan struktur masyarakat yang madani dan adil, maka dapat

dipahami bahwa tujuan BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan

pemupukan modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi

pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip

ekonomi Islam. Oleh karena itu, hal-hal yang harus dikedepankan oleh BMT

adalah :

1. Orientasi bisnis, mencari laba bersama, pemanfaatan ekonomi paling

banyak untuk anggota dan amsyarakat.

2. Walaupun bukan lembaga sosial, tapi bermanfaat untuk mengefektifkan

pengumpulan dana zakat, infak dan shadaqoh bagi kesejahteraan orang

banyak.

3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitarnya.

4. Menjadi milik masyarakat bawah bersama dengan orang kaya di sekitar

BMT, bukan milik perseorangan atau orang dari luar masyarakatnya.

Antara LKM syariah dengan LKM konvensional terdapat perbedaan

karakteristik nyata, yaitu :

a. LKM syariah tidak melaksanakan transaksi pinjam-meminjam uang

berdasarkan bunga dalam segala bentuknya, melainkan dengan

sistem bagi hasil dengan nasabahnya.

b. Hubungan antara LKM syariah dengan nasabahnya tidak berupa

hubungan debitur-kreditur, tetapi lebih merupakan hubungan

10

Page 5: BAB II2

partisipasi dalam menanggung resiko dan menerima hasil dari suatu

perjanjian bisnis.

c. LKM Syariah memisahkan kedua jenis pendanaan supaya dapat

dibedakan antara hasil yang diperoleh sendiri dengan hasil yang

diperoleh dari dana simpanan yang diterimanya atas dasar prinsip bagi

hasil.

d. LKM syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai,

namun bekerja atas dasar kemitraan seperti mudharabah,

musyarakah, atas dasar jual beli (murabahah) atau atas dasar sewa

(ijarah).

e. LKM syariah merupakan bank multiguna karena berperan sebagai

bank komersil, bank investasi dan bank pembangunan.

f. LKM syariah bekerja di bawah pengawasan syariah.

a. Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah dan Kelemahan Sistem

Bunga

1). Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah

Keunggulan yang dimiliki bank syariah menurut Arifin (1999) adalah :

i. Secara teoritis, keunggulan bank/lembaga keuangan syariah terletak

pada sistem yang berdasarkan atas prinsip bagi hasil (profit and lost

sharing) dan berbagi resiko (risk sharing). Sistem ini diyakini para

ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan

pembayaran bunga (riba). Bank syariah pada hakikatnya adalah

lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para pedagang

dan investor. Tabungan hanya akan berguna, apabila diinvestasikan

dan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup

11

Page 6: BAB II2

melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak

diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi

masyarakat Islam. Islam tidak menolak usaha yang menghasilkan

laba. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi bank untuk tidak masuk

dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana,

dengan tanpa memungut bunga, maka bank berbagi resiko dengan

para pengusaha. Hal ini jelas sah dalam Islam, karena bank dapat

merugi dan bank tidak memperoleh hasil yang tetap dan pasti. Di lain

pihak, pengusaha juga memperoleh manfaat, karena merasa yakin

tidak dipaksa untuk membayar jumlah yang pasti yang tidak mungkin

dimiliki manakala perusahaan tidak berhasil sebagaimana mestinya.

Deposito dari bank juga berbagi resiko dan juga akan memperoleh

bagi hasil. Jadi dapat dikatakan tidak melanggar hukum Islam, karena

menerima bunga. Jadi, semua pihak mendapat manfaat dan ini

memenuhi kriteria keadilan yang diinginkan oleh Islam.

ii. Aktivitas lembaga keuangan syariah didukung dengan skema pinjaman

tanpa imbalan yang disebut dana sosial (qardhul hasan). Pinjaman ini

diberikan kepada orang yang posisinya secara ekonomis sangat

lemah, namun memiliki potensi keterampilan berusaha. Lembaga

sama sekali tidak mengambil manfaat dari pengelolaan dana tersebut.

Mitra pembiayaan hanya berkewajiban untuk membayar kembali

sebesar pokok pinjamannya.

iii. Lembaga keuangan syariah tidak membatasi dirinya untuk hanya

bersedia meminjamkan dananya kepada sektor usaha yang sudah

mapan saja, atau kepada orang yang dapat menyediakan jaminan

12

Page 7: BAB II2

untuk memastikan pembayaran kembali utang pokok dan bunganya

saja, seperti yang selama ini berlaku pada sistem konvensional.

Pengusaha kecil terdorong untuk tidak ragu-ragu melakukan inovasi

guna meningkatkan efektivitas dan efisensi usahanya, karena adanya

dukungan lembaga keuangan yang bersedia memberikan dukungan

secara pasti terhadap usaha itu.

iv. Bank/lembaga keuangan syariah bekerja berdasarkan prinsip

kemitraan dengan para pengusaha. Pembiayaan yang diberikan oleh

bank disertai dengan pemberian konsultasi, pembinaan dan

pengawasan, bahkan bila perlu menempatkan orang untuk membantu

secara efektif dalam proses manejemen usaha.

b. Kelemahan Sistem Bunga

Jika dibandingkan dengan sistem syariah, sistem LKM konvensional

yang berbasis bunga memiliki berbagai kelemahan sebagai berikut :

i. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan/kewajaran bisnis.

Dalam bisnis, hasil dari setiap usaha selalu tidak pasti. Mitra

pembiayaan sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang

disetujui, walaupun mengalami kerugian, atau bila perusahaan untung

kecil, tetapi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya.

ii. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan

kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif

masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan menganggurnya

sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang membuat kesulitan

yang menghimpit usaha pemulihan ekonomi, serta membawa

penderitaan lebih lanjut bagi seluruh masyarakat.

13

Page 8: BAB II2

iii. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut

bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan

bunganya. Oleh karena itu, untuk keamanannya bank hanya mau

meminjamkan dana kepada bisnis yang benar-benar mapan atau

kepada orang yang sanggup memberikan jaminan bagi keamanan

pinjamannya. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan

dan kesejahteraan.

iv. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi inovasi oleh UKM.

Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba teknik dan

produk baru, karena memiliki cadangan dana sebagai sandaran bila

ternyata ide barunya tidak berhasil, UKM sulit untuk mencoba ide baru.

Bila meminjam dana berbunga dari bank dan ternyata ide barunya

tersebut tidak berhasil, maka konsekuensinya harus membayar

pinjaman beserta bunganya dan hal ini menyebabkan kebangkrutan.

v. Dengan sistem bunga, bank tidak tertarik dalam kemitraan bisnis,

kecuali bila ada jaminan pengembalian modal dan bunga. Setiap

rencana bisnis yang diajukan selalu diukur dengan kriteria. Jadi, bank

yang bekerja dengan sistem bunga tidak mempunyai insentif untuk

membantu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja.

Sistem ini akan menyebabkan mis-alokasi sumber daya.

14

Page 9: BAB II2

Berikut disajikan Tabel 2 yang menjelaskan perbedaan antara bunga

dengan bagi hasil

Bunga Bagi Hasil

a. Penentuan bunga dibuat pada

waktu akad dengan asumsi

harus selalu untung

a. Penentuan besarnya

rasio/nisbah bagi hasil dibuat

pada waktu akad dengan

berpedoman pada kemungkinan

untung-rugi

b. Biasanya persentase

berdasarkan pada jumlah uang

(modal) yang dipinjamkan

b. Besarnya rasio bagi hasil

berdasarkan pada jumlah

keuntungan yang diperoleh

c. Pembayaran bunga tetap seperti

yang dijanjikan tanpa

pertimbangan apakah proyek

yang dijalankan oleh pihak

nasabah untung atau rugi

c. Bagi hasil tergantung pada

keuntungan proyek yang

dijalankan. Bila usaha merugi,

kerugian ditanggung bersama

oleh kedua belah pihak

d. Jumlah pembayaran bunga tidak

meningkat sekalipun jumlah

keuntungan bank berlipat atau

keadaan sedang “booming”

d. Jumlah pembagian laba

meningkat sesuai dengan

peningkatan jumlah pendapatan

usaha

e. Eksistensi bunga diragukan

(kalau tidak dikecam) oleh

semua agama termasuk Islam

e. Tidak ada yang meragukan

keabsahan bagi hasil

b. Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan BMT

Secara global, produk-produk simpanan BMT dikembangkan atas

dasar prinsip syariah yaitu bagi hasil (profit sharing) dan marjin. Prinsip bagi

hasil dalam konsep syariah dapat dilakukan dengan empat akad, yaitu

musyarakah, mudharabah, muzaraah dan musaqah. Namun dalam

praktiknya, BMT membatasi diri dengan penerapan beberapa produk saja

15

Page 10: BAB II2

yang dianggap “aman dan profitable”. Konsep yang paling banyak dipakai

oleh lembaga syariah adalah akad musyarakah dan mudharabah.

Prinsip marjin dilakukan dalam bentuk-bentuk akad jual beli dan yang

banyak dikembangkan dalam lembaga keuangan syariah sebagai acuan

dalam pembiayaan modal kerja dan investasi adalah murabahah, salam dan

istishna.

1). Konsep Bagi Hasil (profit sharing)

i. Musyarakah (Partnership, Projectship Financing Participation)

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk

suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi

dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko

akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Antonio, 1999).

Terdapat manfaat yang dapat diambil dari pembiayaan secara

musyarokah, yaitu :

i) Lembaga akan menikmati penigkatan bagi hasil pada saat keuntungan

usaha meningkat.

ii) Lembaga tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada

nasabah penyimpan dana secara tetap, namun disesuaikan dengan

pendapatan atau hasil usaha lembaga, sehingga lembaga tidak

mengalami negatif spread.

iii) Pengembalian pokok pembiayaan yang dilakukan debitur disesuaikan

dengan cash flow nasabah dan hal ini tidak memberatkan nasabah.

iv) Lembaga akan lebih selektif dan berhati-hati dalam pembiayaan usaha

yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.

16

Page 11: BAB II2

Keuntungan

Nasabah Parsial : Asset Value

Proyek Usaha

Bank Syariah Parsial : Pembiayaan

Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)

v) Prinsip bagi hasil dalam akad musyarakah ini berbeda prinsip dengan

prinsip bunga tetap dalam perbankan konvensional, dimana bank akan

menagih pembayaran dari nasabah dalam jumlah yang tetap berapapun

keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun nasabah

mengalami kerugian.

Selain manfaat yang sudah diuraikan di atas, terdapat resiko yang relatif

tinggi pada penerapan pembiayaan musyarakah, yaitu :

i) Side streaming : nasabah menggunakan dana pembiayaan tersebut

bukan seperti yang disebutkan dalam akad atau kontrak.

ii) Lalai dan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh nasabah.

iii) Jika nasabah tidak jujur, maka informasi mengenai keuntungan tidak

disampaikan secara transparan oleh nasabah kepada bank.

Secara umum pembiayaan musyarakah dapat dijabarkan pada gambar 1.

Gambar 1. Skema Pembiayaan Musyarakah (Antonio, 1999)

Keterangan :

17

Page 12: BAB II2

i) Nasabah mengajukan proposal proyek kepada BMT dan BMT

mempelajari proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama.

Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad musyarakah.,

ii) BMT dan nasabah menyerahkan share dana kedalam proyek,

dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan persyaratan lainnya

yang tercantum dalam akad pembiayaan.

iii) Pembagian keuntungan/kerugian:

- Apabila proyek memberikan keuntungan, maka keuntungan

dibagi sesuai kesepakatan.

- Apabila proyek rugi, maka kerugian ditanggung BMT dan

nasabah sesuai dengan porsi masing-masing.

iv) Dana musyarakah dikembalikan/diangsur oleh nasabah sesuai

dengan jangka waktu yang disepakati.

ii. Mudharabah (trust financing, trust investment)

Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak

dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)

modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (Antonio, 1999).

Keuntungan yang terjadi dalam akad mudharabah dibagi antara pihak

pemilik dana dan pengelola menurut kesepakatan yang dituangkan

dalam akad, sedangkan kerugian yang terjadi ditanggung oleh pemilik

dana, jika kerugian tersebut bukan disebabkan oleh pengelola. Apabila

kerugian yang terjadi diakibatkan oleh kelalaian atau kecurangan

pengelola, maka pengelola harus mempertanggungjawabkan kerugian

tersebut kepada pemilik dana.

Pembiayaan mudharabah dibedakan dalam dua jenis, yaitu :

18

Page 13: BAB II2

i. Mudharabah mutlaqah (tidak terikat atau unrestricted)

Shahibul maal (pemilik dana) memberikan keleluasaan penuh

kepada mudharib (pengelola usaha) untuk mempergunakan dana

tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.

Mudharib bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan usaha

sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).

ii. Mudharabah Muqayyadah (terikat atau restricted)

shahibul maal menentukan syarat dan pembatasan pada mudharib

dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat,

jenis usaha dan sebagainya. Mudharib menggunakan modal

tersebut hanya untuk kegiatan usaha yang dinyatakan secara

khusus untuk menghasilkan keuntungan.

Terdapat manfaat yang dapat diambil dari pembiayaan secara

mudharabah, yaitu :

i) Lembaga akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat

keuntungan usaha maksimal.

ii.). Lembaga tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu

kepada nasabah penyimpan dana dalam jumlah tetap, namun

disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga

bank tidak mengalami negatif spread.

iii) pengembalian pokok pembiayaan yang dilakukan debitur

disesuaikan dengan cash flow nasabah dan hal ini tidak

memberatkan nasabah.

iv) Lembaga akan lebih selektif dan berhati-hati dalam pembiayaan

usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.

19

Page 14: BAB II2

Pengembalian Modal Pokok

PERJANJIAN BAGI HASIL

Nasabah (Mudharib)Keahlian/

KeterampilanModal100%

PROYEK/USAHA

Bank/BMTShahibul Maal

PEMBAGIAN KEUNTUNGAN

Modal

Nisbah X % Nisbah Y %

v) Prinsip bagi hasil dalam akad mudharabah ini berbeda dengan

prinsip bunga tetap dalam perbankan konvensional, dimana BMT

akan tetap menagih pembayaran dari nasabah dalam jumlah yang

tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan

sekalipun nasabah mengalami kerugian.

Selain manfaat yang sudah di uraikan di atas, terdapat resiko yang

relatif tinggi pada penerapan pembiayaan mudharabah yaitu :

i. Side streaming; nasabah menggunakan dana pembiayaan tersebut

bukan seperti yang disebutkan dalam akad atau kontrak.

ii. Lalai dan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh nasabah.

iii. Jika nasabah tidak jujur, maka informasi mengenai keuntungan tidak

disampaikan secara transparan oleh nasabah kepada bank.

Gambaran pembiayaan mudharabah seperti pada gambar. 2 berikut

ini :

Gambar. 2 Skema Pembiayaan Mudharabah (Antonio, 1999)

20

Page 15: BAB II2

Keterangan :

i) Nasabah mengajukan proposal proyek kepada BMT dan BMT

mempelajari proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama.

Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad mudharabah.

ii) BMT menyerahkan 100 % dana dan nasabah mengelola proyek atau

usaha, dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan persyaratan lainnya

yang tercantum dalam akad pembiayaan.

iii) Pembagian keuntungan/kerugian :

- Apabila proyek memberikan keuntungan, maka keuntungan dibagi

sesuai kesepakatan.

- Apabila proyek rugi, maka 100% kerugian di tanggung BMT kecuali

mudharib (pengelola dana) melakukan kesalahan atau melanggar

idak kesepakatan.

iv) Dana mudharabah dikembalikan dengan cara diangsur atau sekaligus

oleh mudharib sesuai jangka waktu secara teratur yang disepakati.

2) Konsep Marjin (Jual Beli)

i. Murabahah (Deffered Payment Sale)

Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan

tambahan keuntungan yang disepakati (Antonio, 1999). Dalam akad

murabahah penjual harus memberitahukan harga pokok produk-produk yang

dibeli ditambah dengan tingkat keuntungan yang ditentukan. Manfaat

murabahah yang dapat diambil :

i). Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual

dengan harga jual kepada nasabah

21

Page 16: BAB II2

ii). Nasabah melakukan angsuran secara tetap dan tidak terpengaruh oleh

kondisi ekonomi secara umum dan fluktuasi tingkat bunga.

Adapun resiko dari akad murabahah adalah :

i). Default atau kelalaian, yaitu nasabah sengaja tidak membayar

angsuran.

ii). Fluktuasi harga komparatif, terjadi bila harga suatu barang di pasar naik

setelah BMT membelikannya untuk nasabah. BMT tidak dapat

mengubah harga jual beli tersebut.

iii). Penolakan nasabah, barang yang dikirim ditolak oleh nasabah karena

berbagai sebab. Jika hal ini terjadi dan BMT sudah terlanjur melakukan

kontrak dengan penjual, maka barang tersebut menjadi milik BMT dan

BMT mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.

iv). Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang maka ketika

kontrak ditandatangai, barang tersebut menjadi milik nasabah.

Gambar 3 menjabarkan pola pembiayaan murabahah :

Gambar 3. Skema Pembayaran Murabahah (Antonio, 1999)

Keterangan :

22

1. Negosiasi danPersyaratan

Bank/BMT2. Akad Jual Beli

Nasabah

6. Bayar

PEMASOKPENJUAL

3. Beli Barang 4. Kirim

5. Terima Barang Dan

Dokumen

Page 17: BAB II2

1. BMT dan nasabah melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi

pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli, meliputi jenis barang yang akan

diperjualbelikan, harganya (termasuk jumlah keuntungan yang diminta

bank) dan jangka waktu pembayaran dan hal-hal lain yang diperlukan.

2. BMT dan nasabah melakukan akad pembiayaan murabahah sebesar

nominal harga jual untuk dilunasi dalam jangka waktu yang telah

disepakati bersama.

3. Apabila akad pembiayaan sudah ditandatangani oleh BMT dan nasabah,

maka BMT melakukan pesanan barang kepada pemasok sesuai dengan

spesifikasi barang yang dikehendaki oleh nasabah. Nasabah tidak

diperkenankan membeli barang secara langsung tanpa seizin BMT.

4. Barang yang dibeli oleh BMT selanjutnya dikirim oleh pemasok kepada

nasabah.

5. Nasabah menerima barang yang dipesan dilengkapi dengan dokumen-

dokumen pengiriman.

6. Nasabah melakukan pembayaran kepada BMT atas barang tersebut

secara angsuran/sekaligus.

c. Manfaat BMT bagi Nasabah

Menurut Sumiyanto (2008) manfaat BMT untuk nasabah antara lain :

1. Mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian anggota secara

khusus dan masyarakat secara umum.

2. Membantu baitul al-maal dalam menyediakan kas untuk alokasi

pembiayaan non komersial atau biasa disebut qardh al-hasan.

3. Menyediakan cadangan pembiayaan macet akibat terjadinya

kebangkrutan usaha nasabah bait at-tamwil yang berstatus al-gharim.

23

Page 18: BAB II2

4. Menjadi lembaga sosial keagamaan dengan pemberian beasiswa,

santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum,

peribadatan dan lain-lain. Di sisi lain juga dapat membantu bait at-tamwil

dalam kegiatan promosi produk-produk penghimpunan dana dan

penyalurannya kepada masyarakat.

5. Mengumpulkan dana dan menyalurkannya pada anggota maupun

masyarakat luas.

3. Kinerja Kesehatan BMT

Kinerja merupakan bentuk hasil dari apa yang telah dicapai suatu

organisasi didalam melaksanakan kegiatannya. Analisis terhadap suatu

kinerja organisasi (lembaga) memiliki tujuan untuk dapat mengkaji

sejauhmana keberhasilan lembaga tersebut didalam upaya mencapai

tujuannya.

Tingkat kesehatan BMT adalah ukuran kinerja dan mutu BMT yang

mempengaruhi kelancaran, keberhasilan dan keberlangsungan usaha

BMT, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Untuk menganalisis kinerja kesehatan BMT ada tiga aspek yang

dinilai yaitu aspek kinerja keuangan, manajemen dan penerapan prinsip

syariah). Aspek keuangan dan manajemen dinilai secara kuantitatif dan

diberi skor tertentu, yang menggambarkan derajat pencapaian kinerjanya,

sedangkan aspek penerapan syariah digabungkan dengan beberapa

aspek non parametrik lain yang dijadikan sebagai faktor koreksi terhadap

status kesehatan BMT. Aspek keuangan dan manajemen terdiri dari sub

aspek : (1) Permodalan, (2) Aktiva Produktif, (3) Manajemen, (4)

24

Page 19: BAB II2

Rentabilitas dan (5) Likuiditas. Kecuali aspek manajemen, keempatnya

adalah aspek keuangan.

a. Rasio Modal

Rasio ini sering disebut juga sebagai “Analisis Solvabilitas” atau ada

juga yang menyebutnya “Capital Adequacy Analysis”, kegunaan dari

analisis ini adalah :

a). Untuk melihat apakah modal BMT yang ada telah mencukupi untuk

mendukung kegiatan BMT tersebut yang dilakukan secara efisien.

b). Untuk melihat kemampuan modal sebagai sumber dana yang

diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas-batas

tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari

simpanan nasabah, pembiayaan pada bank lain dan dari penjualan

harta tetap yang tidak terpakai.

c). Untuk melihat apakah modal BMT tersebut akan mampu untuk

menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat dihindarkan.

d). Untuk melihat apakah total modal yang terdiri dari (simpanan pokok,

simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan-cadangan dan saldo

laba) BMT semakin besar atau semakin mengecil.

e). Untuk mengetahui apakah dengan modal yang mencukupi

memungkinkan bagi manajemen BMT yang bersangkutan untuk

bekerja dengan efisiensi yang tinggi; seperti yang dikehendaki para

pemilik modal pada BMT tersebut.

Makin besar jumlah modal BMT dibandingkan dengan dana anggota

yang berhasil dihimpun maka tingkat keamanan dana anggota semakin

terjamin. Selain itu, modal BMT yang lebih besar akan lebih

25

Page 20: BAB II2

memungkinkan memperbesar usaha (melakukan ekspansi usaha).

Situasi ini dinilai dengan kondisi lebih sehat.

Yang dimaksud dengan modal BMT adalah :

a. Simpanan Pokok khusus

b. Simpanan pokok

c. Simpanan Wajib

d. “Simpanan Penyertaan”

e. Hibah

f. Cadangan-cadangan

g. Saldo Laba Rugi

Yang dimaksud dengan hutang adalah semua kewajiban baik

kepada anggota maupun kepada pihak ketiga yang tidak termasuk modal.

Hutang dapat terdiri dari :

a. Simpanan Sukarela

b. Simpanan Mudharabah biasa

c. Simpanan Mudharabah berjangka

d. Kewajiban jangka panjang (hutang kepada pihak ketiga)

e. dan Hutang lain-lain

b. Aktiva Produktif

Penilaian aktiva produktif menggunakan dua indikator, yakni (1) Rasio

Pembiayaan Bermasalah (RPB) dan (2) Rasio Pencadangan Penghapusan

Resiko.

26

Rasio Modal : Total ModalTotal Hutang

x100 %

Page 21: BAB II2

1) Rasio Pembiayaan Bermasalah

Rasio pembiayaan bermasalah digunakan untuk mengukur tingkat

resiko pembiayaan bermasalah di BMT untuk kategori kemacetan di

atas tiga bulan dibandingkan dengan keseluruhan pembiayaan yang

diberikan pada periode yang sama. Nilai ideal pembiayaan

bermasalah bila rasionya kurang dari 5%.

2) Rasio Pencadangan Penghapusan Resiko

Rasio pencadangan penghapusan resiko digunakan untuk mengukur

kemampuan BMT dalam menyediakan cadangan penghapusan

pembiayaan bermasalah, nilai yang ideal untuk LKM/BMT bila

menyisihkan cadangan penghapusan samapi dengan 75%.\

c. Likuiditas

Likuiditas merupakan masalah yang rumit bagi manejemen sebuah

BMT. Likuiditas didefinisikan sebagai suatu kemampuan lembaga

keuangan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban

yang sudah jatuh tempo. BMT dianggap likuid apabila mempunyai

kesanggupan untuk membayar penarikan tabungan dan pemenuhan

permintaan pembiayaan tanpa adanya penundaan.

Tingkat likuiditas BMT yang rendah akan membuat ketidakmampuan

dalam melunasi kewajiban lancar sehingga mengancam kredibilitas dari

27

RPB : Pembiayaan BermasalahTotal Pembiayaan

x 100 %

RPPR : Cadangan PEnghapusanPembiayaan Bermasalah

x 100 %

Page 22: BAB II2

BMT, sebaliknya likuiditas yang tinggi akan banyak kelebihan kas dan

akan menciptakan laba yang rendah karena tidak terputarkan dalam

pembiayaan-pembiayaan usaha-usaha pengusaha mikro. Adapun

minimum yang harus dipertahankan untuk memenuhi kewajiban sehari-

hari adalah sebagai berikut :

a) Adanya kas yang dipertahankan untuk kewajiban-kewajiban yang

telah akan jatuh tempo dalam waktu dekat.

b) Adanya kas yang harus dipertahankan untuk menghadapi perubahan

kegiatan perekonomian untuk waktu-waktu yang akan datang.

Untuk mengukur rasio likuiditas digunakan 2 rumus :

Pertama :

(1) Rasio kas yaitu rumus untuk mengetahui kemampuan BMT untuk

membayar kembali kewajiban-kewajibannya yang telah jatuh tempo

dengan cara mengukur seberapa banyak uang kas yang tersedia untuk

membayar hutang lancar.

(2) Rasio Pembiayaan : Rasio untuk mengetahui kemampuan BMT dalam

membayar kembali kewajiban-kewajibannya.

Rumus Kedua :

(3) Reserve Requirement (RR) yakni alat untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan BMT memenuhi kewajiban yang segera bayar, semakin

tinggi RR akan semakin likuid.

28

Rasio Cepat : Kas + BankHutang Lancar

x 100 %

Rasio Pembiayaan : Total Pembiayaan Dana yang diterima

x100 %

RR = Kas + BankDana Pihak Ketiga

x100 %

Page 23: BAB II2

(4) LDR (Loan to Deposit Ratio) atau untuk syariah tepatnya FDR (Financing

to Deposit Ratio), yaitu alat untuk mengkur seberapa jauh kemampuan

BMT dalam memutar atau memberikan pembiayaan kepada

anggota/masyarakat yang bersumber dari dana tabungan

anggota/masyarakat. Semakin tinggi FDR semakin tinggi pula tingkat

kemampuan BMT dalam melempar pembiayaan. LDR yang ideal dalah

85-100%.

29

FDR = PembiayaanSimpanan + hutang

x100 %

Page 24: BAB II2

(5) Legal Limit Lending (L3) istilah lainnya adalah BMPK (Batas Maksimal

Pemberian Kredit) atau untuk syariah tepatnya BMPP (Batas Maksimal

Pemberian Pembiayaan) ialah alat untuk mengukur kemampuan BMT

dalam memenuhi permintaan pembiayaan dengan menggunakan asset

yang dimiliki. Maksimum pemberian kredit adalah 2,5% untuk satu orang

anggota pembiayaan.

d. Efisiensi Usaha

Rasio ini untuk mengukur sejauh mana tingkat-tingkat efisiensi

usaha yang telah dicapai oleh manajemen BMT. Untuk mengukur tingkat

efisiensi dapat dilakukan dengan menggunakan dua rumus yaitu :

(1) Rumus kesatu :

Rumus kedua :

Dua alat ukur lain untuk mengetahui efisiensi BMT adalah Rasio

Efisiensi Staf (RES) dan Rasio Efisiensi Staf Account Officer (RESAO).

(2) Rasio Efisiensi Staf (RES)

Rasio Efisiensi Staf digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi

atau optimalisasi keseluruhan staf BMT dalam memberikan pelayanan

30

L 3 = PembiayaanTotal Asset

x100 %

Rasio Efisiensi Usaha 1 = Biaya OperasionalPendapatan Operasional

x100 %

Rasio Efisiensi Usaha2 = Inventaris + BddTotal Modal

x 100 %

RES = Mitra PembiayaanTotal Jumlah Staf

x 100 %

Page 25: BAB II2

terhadap mitra pelayanan. Nilai ideal bila seorang staf melayani lebih

dari 100 orang mitra pembiayaan.

(3) Rasio Efisensi Staf Account Officer (RESAO)

Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha atau

optimalisai staf BMT bagian AO dalam memberikan pelayanan terhadap

mitra pembiayaan. Nilai ideal rasio ini bila seorang staf melayani lebih

dari 150 orang mitra pembiayaan.

e. Rentabilitas

Rentabilitas yaitu kemampuan BMT dalam menghasilkan laba

selama periode tertentu dengan membandingkan antara laba dengan

harta dan modal yang telah menghasilkan laba tersebut. Selain

menghitung pada nilai uang sebagai lembaga keuangan mikro,

rentabilitas yang diukur adalah kemandirian operasional dan pembiayaan

serta penghimpunan dana masyarakat sekitar BMT. Kemampuan

tersebut dilihat dari :

1) Makin besar perbandingan laba bersih terhadap semua

asset/kekayaan BMT berarti prestasi BMT semakin baik.

Rasio Rentabilitas Asset : Rasio untuk mengukur kemampuan

manajemen BMT dalam mengelola harta yang dikuasainya untuk

menghasilkan laba.

31

RESAO = Mitra Pembiayaan Jumlah Staf AO

x 100 %

Rasio Rentabilitas Asset = Laba BersihTotal Asset

x 100 %

Page 26: BAB II2

2) Makin besar perbandingan laba bersih terhadap semua modal BMT

juga menunjukkan keberhasilan BMT dalam memperoleh pendapatan.

Rasio rentabilitas modal yaitu rasio untuk mengukur kemampuan

manajemen BMT dalam menghasilkan lababersih ditinjau dari sudut

kekuatan modal BMT itu sendiri.

3) Makin besar penghimpunan dana masyarakat berarti BMT semakin

punya peran sebagai lembaga keuangan mikro. Nilai ini kebalikan dari

LDR yang berfungsi mengukur likuiditas, tetapi rasio ini mengukur

kemandirian lembaga yaitu kemampuan lembaga mengaktifkan

masyarakat untuk menyimpan dana dan kemampuan

memproduktifkan dana amanah.

4) Kemandirian Operasional : untuk mengukur tingkat keberlanjutan

operasional, semakin tinggi tingkat keberlanjutan maka semakin baik.

5) Kemampuan seorang AO atau staf pembiayaan berasarkan pada

standar kemampuan menggulirkan dana.

32

Rasio Rentabilitas Modal = Laba BersihTotal Modal

x 100 %

Rasio Rentabilitas Simpanan terhadap Pembiayaan

¿ Jumlah SimpananJumlah PEmbiayaan

x 100 %

Kemandirian Operasional = Pendapatan Biaya Operasional

x 100 %

Kemandirian Pembiayaan = OutstandingJumlah AO

x100 %

Page 27: BAB II2

f. Solvabilitas

Solvabilitas adalah suatu alat untuk mengukur kemampuan BMT dalam

memenuhi kewajiban jangka panjangnya.

(1) Debt to Equity Ratio (DER), kemampuan BMT dalam menutup

sebagian atau seluruh hutang jangka pendek maupun jangka

panjang, dengan menggunakan modal BMT sendiri. Semakin tinggi

DER semakin baik tingkat solvabilitasnya.

(2) Long Term Debt to Assets Ratio (LTDAR), yaitu untuk mengukur

kemampuan aktiva BMT dalam memenuhi kewajiban jangka

penjangnya. Semakin tinggi LTDAR berarti semakin bagus tingkat

solvabilitasnya.

g. Rasio Lainnya

Rasio besarnya simpanan dibanding modal, jumlahnya sebaiknya

90%, sebaliknya besar modal dibandingkan dengan dana pihak ketiga

sebesar 10%.

4. Teori Pendapatan

Menurut Wardiasmo (1995) pendapatan adalah peningkatan jumlah

aktiva atau penurunan jumlah kewajiban perusahaan yang timbul dari

penyerahan barang/jasa atau kegiatan usaha lainnya. Pendapatan juga

33

DER = Jumlah HutangJumlah Modal Sendiri

x100 %

LTDAR = Hutang Jangka PanjangTotal Aktiva

x100%

SimpananModal

x 100 %

Page 28: BAB II2

didefiniskan sebagai selisih antara penerimaan terhadap total biaya yang

dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah kenaikan kotor

dalam aset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan dari keduanya

selama periode yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan,

memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan meraih keuntungan

(Antonio, 2001).

Pendapatan atau income dari seseorang adalah hasil penjualan dari

faktor-faktor produksi yang dimiliki kepada sektor produksi. Sektor

produksi membeli faktor-faktor produksi tersebut untuk digunakan sebagai

input produksi dengan harga yang berlaku di faktor produksi. Dengan

demikian, pendapatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor produksi

yang dimiliki dan harga perunit dari masing-masing faktor produksi

tersebut (Boediono, 1982).

Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa pendapatan usaha

merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan

dalam usahatani. Dalam hal ini, pendapatan dibedakan atas pendapatan

kotor dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor (Gross Income)

didefinisikan sebagai nilai produk total suatu usaha dalam jangka waktu

tertentu. Pendapatan kotor disebut juga sebagai penerimaan yang

berasal dari hasil penjualan output, yakni perkalian antara hasil produksi

(output) dengan harga jual per satuan unit, dengan rumus:

TR=Q. P

………………………………………………………….. (1)

Dengan : TR = penerimaan total (total revenue)

Q = hasil produksi/output(quantity)

34

Page 29: BAB II2

P = harga jual per satuan unit produksi (price)

Adapun pendapatan bersih (net income) didefinisikan sebagai

selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran total sebagai nilai

semua masukan yang habis terpakai atau dikelaurkan di dalam

produksi, tidak termasuk tenaga kerja keluarga.

Dengan kata lain, pendapatan adalah keuntungan dari hasil

penjualan output setelah dikurangi dengan biaya produksi yang

dikeluarkan dengan rumus :

I=TR−∑ r . x i………………………………………………….

(2)

Dengan : I = pendapatan (income)

TR = penerimaan total (total revenue)

r.xi = biaya produksi

Menurut Soekartawi (1995), yang dimaksud dengan biaya

produksi adalah nilai yang dikeluarkan dalam produksi. Biaya produksi

terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost).

35