BAB II2
-
Upload
agus-mauludin -
Category
Documents
-
view
217 -
download
3
Transcript of BAB II2
![Page 1: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/1.jpg)
TINJAUAN PUSTAKA
1. Lembaga Keungan Mikro
Menurut Krishnamurti (2005), walaupun banyak terdapat definisi
keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari
berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan
keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman tradisional masyarakat
indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya
menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,
pinjaman, pembayaran, deposito, maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat
miskin. Keuangan mikro pada awalnya hidup dan berkembang untuk
melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada
sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan
prosedur dan mekanisme konstektual dan fleksibel. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan
mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu
kontekstual dan fleksibel.
Menurut Wiyono (2005; Direktorat Pembiayaan 2004), lembaga
keuangan mikro dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Lembaga formal seperti bank
desa atau koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya organisasi non
pemerintah dan (3) sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang.
Sementara Usman et al. (2004) membagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
menjadi 4 golongan besar yaitu, (1) lembaga keuangan formal baik bank
maupun non bank; (2) Lembaga keuangan non formal baik berbadan hukum
maupun tidak; (3) lembaga keuangan mikro yang dibentuk oleh pemerintah;
![Page 2: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/2.jpg)
dan (4) lembaga keuangan mikro informal seperti arisan atau rentenir.
Adapun Bank Indonesia hanya membagi LKM menjadi dua kategori saja yaitu
LKM berbentuk bank dan non bank. LKM berwujud bank adalah BRI Unit
Desa, Danamon Simpan Pinjam (DSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan
Badan Kredit Desa (BKD). Sedangkan yang berbentuk non bank adalah
koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga swadaya
masyarakat (LSM), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), Baitul mal wat
Tamwil (BMT), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA,
kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit
Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, Namun akibat persyaratan mitra
pembiayaan menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro
kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.
2. BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Mikro
BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang
bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP).
Adapun bank umum merupakan lembaga keuangan makro sedangkan bank
perkreditan rakyat merupakan lembaga keuangan menengah. Dari sekian
banyak lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD dan lainnya, BMT
merupakan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syariah. Selain itu,
BMT juga dapat dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bergerak dibidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak
hanya bergerak dalam pengelolaan modal saja, tetapi juga dalam hal
pengumpulan zakat, infak, shodaqoh (ZIS). Ini merupakan sebuah
konsekuensi dari namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwil yang
merupakan gabungan dari kata baitul maal dan bait at-tamwil. Secara
8
![Page 3: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/3.jpg)
singkat, bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang
disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga
pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan
komersial dengan beberapa pendekatan akad, antara lain kerjasama bagi
hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (ba’i al murabahah, assalam
dan al-ishtisna’), sewa (ijarah dan ijarah mumtahiyya bittamlik) dan jasa
lainnya (rahn, hawalah, wakalah dsb). Dalam perkembangan kegiatan pada
kebanyakan BMT, lembaga tamwil menjadi kegiatan utama, sementara
lembaga maal menjadi kegiatan sampingan.
Perbedaaan BMT dengan bank umum syariah (BUS) atau juga bank
perkreditan rakyat syariah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan
dukungan. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan
peraturan pemerintah di bawah Departemen Keuangan atau juga peraturan
Bank Indonesia (BI), sedangkan BMT dengan badan hukum koperasi, secara
otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari
departemen ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang koperasi dengan
segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (Sumiyanto, 2008).
Bagi hasil adalah jumlah pendapatan yang diperoleh anggota
pembiayaan sehubungan dengan penggunaan modal (pembiayaan) untuk
kegiatan usaha yang dari jumlah pendapatan tersebut dibagi antara
pembiayaan dan pemodal. Bagi hasil di tentukan pada akhir periode
9
![Page 4: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/4.jpg)
pembiayaan. Inilah perbedaan prinsip dengan lembaga/bank keuangan
konvensional, dimana keuntungan berupa bunga sudah ditentukan pada awal
periode mitra pembiayaan (Aziz, 1995).
BMT mempunyai misi membangun dan mengembangkan tatanan
perekonomian dan struktur masyarakat yang madani dan adil, maka dapat
dipahami bahwa tujuan BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan
pemupukan modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi
pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip
ekonomi Islam. Oleh karena itu, hal-hal yang harus dikedepankan oleh BMT
adalah :
1. Orientasi bisnis, mencari laba bersama, pemanfaatan ekonomi paling
banyak untuk anggota dan amsyarakat.
2. Walaupun bukan lembaga sosial, tapi bermanfaat untuk mengefektifkan
pengumpulan dana zakat, infak dan shadaqoh bagi kesejahteraan orang
banyak.
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitarnya.
4. Menjadi milik masyarakat bawah bersama dengan orang kaya di sekitar
BMT, bukan milik perseorangan atau orang dari luar masyarakatnya.
Antara LKM syariah dengan LKM konvensional terdapat perbedaan
karakteristik nyata, yaitu :
a. LKM syariah tidak melaksanakan transaksi pinjam-meminjam uang
berdasarkan bunga dalam segala bentuknya, melainkan dengan
sistem bagi hasil dengan nasabahnya.
b. Hubungan antara LKM syariah dengan nasabahnya tidak berupa
hubungan debitur-kreditur, tetapi lebih merupakan hubungan
10
![Page 5: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/5.jpg)
partisipasi dalam menanggung resiko dan menerima hasil dari suatu
perjanjian bisnis.
c. LKM Syariah memisahkan kedua jenis pendanaan supaya dapat
dibedakan antara hasil yang diperoleh sendiri dengan hasil yang
diperoleh dari dana simpanan yang diterimanya atas dasar prinsip bagi
hasil.
d. LKM syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai,
namun bekerja atas dasar kemitraan seperti mudharabah,
musyarakah, atas dasar jual beli (murabahah) atau atas dasar sewa
(ijarah).
e. LKM syariah merupakan bank multiguna karena berperan sebagai
bank komersil, bank investasi dan bank pembangunan.
f. LKM syariah bekerja di bawah pengawasan syariah.
a. Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah dan Kelemahan Sistem
Bunga
1). Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah
Keunggulan yang dimiliki bank syariah menurut Arifin (1999) adalah :
i. Secara teoritis, keunggulan bank/lembaga keuangan syariah terletak
pada sistem yang berdasarkan atas prinsip bagi hasil (profit and lost
sharing) dan berbagi resiko (risk sharing). Sistem ini diyakini para
ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan
pembayaran bunga (riba). Bank syariah pada hakikatnya adalah
lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para pedagang
dan investor. Tabungan hanya akan berguna, apabila diinvestasikan
dan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup
11
![Page 6: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/6.jpg)
melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak
diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi
masyarakat Islam. Islam tidak menolak usaha yang menghasilkan
laba. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi bank untuk tidak masuk
dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana,
dengan tanpa memungut bunga, maka bank berbagi resiko dengan
para pengusaha. Hal ini jelas sah dalam Islam, karena bank dapat
merugi dan bank tidak memperoleh hasil yang tetap dan pasti. Di lain
pihak, pengusaha juga memperoleh manfaat, karena merasa yakin
tidak dipaksa untuk membayar jumlah yang pasti yang tidak mungkin
dimiliki manakala perusahaan tidak berhasil sebagaimana mestinya.
Deposito dari bank juga berbagi resiko dan juga akan memperoleh
bagi hasil. Jadi dapat dikatakan tidak melanggar hukum Islam, karena
menerima bunga. Jadi, semua pihak mendapat manfaat dan ini
memenuhi kriteria keadilan yang diinginkan oleh Islam.
ii. Aktivitas lembaga keuangan syariah didukung dengan skema pinjaman
tanpa imbalan yang disebut dana sosial (qardhul hasan). Pinjaman ini
diberikan kepada orang yang posisinya secara ekonomis sangat
lemah, namun memiliki potensi keterampilan berusaha. Lembaga
sama sekali tidak mengambil manfaat dari pengelolaan dana tersebut.
Mitra pembiayaan hanya berkewajiban untuk membayar kembali
sebesar pokok pinjamannya.
iii. Lembaga keuangan syariah tidak membatasi dirinya untuk hanya
bersedia meminjamkan dananya kepada sektor usaha yang sudah
mapan saja, atau kepada orang yang dapat menyediakan jaminan
12
![Page 7: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/7.jpg)
untuk memastikan pembayaran kembali utang pokok dan bunganya
saja, seperti yang selama ini berlaku pada sistem konvensional.
Pengusaha kecil terdorong untuk tidak ragu-ragu melakukan inovasi
guna meningkatkan efektivitas dan efisensi usahanya, karena adanya
dukungan lembaga keuangan yang bersedia memberikan dukungan
secara pasti terhadap usaha itu.
iv. Bank/lembaga keuangan syariah bekerja berdasarkan prinsip
kemitraan dengan para pengusaha. Pembiayaan yang diberikan oleh
bank disertai dengan pemberian konsultasi, pembinaan dan
pengawasan, bahkan bila perlu menempatkan orang untuk membantu
secara efektif dalam proses manejemen usaha.
b. Kelemahan Sistem Bunga
Jika dibandingkan dengan sistem syariah, sistem LKM konvensional
yang berbasis bunga memiliki berbagai kelemahan sebagai berikut :
i. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan/kewajaran bisnis.
Dalam bisnis, hasil dari setiap usaha selalu tidak pasti. Mitra
pembiayaan sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang
disetujui, walaupun mengalami kerugian, atau bila perusahaan untung
kecil, tetapi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya.
ii. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan
kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif
masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan menganggurnya
sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang membuat kesulitan
yang menghimpit usaha pemulihan ekonomi, serta membawa
penderitaan lebih lanjut bagi seluruh masyarakat.
13
![Page 8: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/8.jpg)
iii. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut
bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan
bunganya. Oleh karena itu, untuk keamanannya bank hanya mau
meminjamkan dana kepada bisnis yang benar-benar mapan atau
kepada orang yang sanggup memberikan jaminan bagi keamanan
pinjamannya. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan
dan kesejahteraan.
iv. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi inovasi oleh UKM.
Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba teknik dan
produk baru, karena memiliki cadangan dana sebagai sandaran bila
ternyata ide barunya tidak berhasil, UKM sulit untuk mencoba ide baru.
Bila meminjam dana berbunga dari bank dan ternyata ide barunya
tersebut tidak berhasil, maka konsekuensinya harus membayar
pinjaman beserta bunganya dan hal ini menyebabkan kebangkrutan.
v. Dengan sistem bunga, bank tidak tertarik dalam kemitraan bisnis,
kecuali bila ada jaminan pengembalian modal dan bunga. Setiap
rencana bisnis yang diajukan selalu diukur dengan kriteria. Jadi, bank
yang bekerja dengan sistem bunga tidak mempunyai insentif untuk
membantu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja.
Sistem ini akan menyebabkan mis-alokasi sumber daya.
14
![Page 9: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/9.jpg)
Berikut disajikan Tabel 2 yang menjelaskan perbedaan antara bunga
dengan bagi hasil
Bunga Bagi Hasil
a. Penentuan bunga dibuat pada
waktu akad dengan asumsi
harus selalu untung
a. Penentuan besarnya
rasio/nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan
untung-rugi
b. Biasanya persentase
berdasarkan pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan
b. Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti
yang dijanjikan tanpa
pertimbangan apakah proyek
yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi
c. Bagi hasil tergantung pada
keuntungan proyek yang
dijalankan. Bila usaha merugi,
kerugian ditanggung bersama
oleh kedua belah pihak
d. Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah
keuntungan bank berlipat atau
keadaan sedang “booming”
d. Jumlah pembagian laba
meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan
usaha
e. Eksistensi bunga diragukan
(kalau tidak dikecam) oleh
semua agama termasuk Islam
e. Tidak ada yang meragukan
keabsahan bagi hasil
b. Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan BMT
Secara global, produk-produk simpanan BMT dikembangkan atas
dasar prinsip syariah yaitu bagi hasil (profit sharing) dan marjin. Prinsip bagi
hasil dalam konsep syariah dapat dilakukan dengan empat akad, yaitu
musyarakah, mudharabah, muzaraah dan musaqah. Namun dalam
praktiknya, BMT membatasi diri dengan penerapan beberapa produk saja
15
![Page 10: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/10.jpg)
yang dianggap “aman dan profitable”. Konsep yang paling banyak dipakai
oleh lembaga syariah adalah akad musyarakah dan mudharabah.
Prinsip marjin dilakukan dalam bentuk-bentuk akad jual beli dan yang
banyak dikembangkan dalam lembaga keuangan syariah sebagai acuan
dalam pembiayaan modal kerja dan investasi adalah murabahah, salam dan
istishna.
1). Konsep Bagi Hasil (profit sharing)
i. Musyarakah (Partnership, Projectship Financing Participation)
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Antonio, 1999).
Terdapat manfaat yang dapat diambil dari pembiayaan secara
musyarokah, yaitu :
i) Lembaga akan menikmati penigkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha meningkat.
ii) Lembaga tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada
nasabah penyimpan dana secara tetap, namun disesuaikan dengan
pendapatan atau hasil usaha lembaga, sehingga lembaga tidak
mengalami negatif spread.
iii) Pengembalian pokok pembiayaan yang dilakukan debitur disesuaikan
dengan cash flow nasabah dan hal ini tidak memberatkan nasabah.
iv) Lembaga akan lebih selektif dan berhati-hati dalam pembiayaan usaha
yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.
16
![Page 11: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/11.jpg)
Keuntungan
Nasabah Parsial : Asset Value
Proyek Usaha
Bank Syariah Parsial : Pembiayaan
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)
v) Prinsip bagi hasil dalam akad musyarakah ini berbeda prinsip dengan
prinsip bunga tetap dalam perbankan konvensional, dimana bank akan
menagih pembayaran dari nasabah dalam jumlah yang tetap berapapun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun nasabah
mengalami kerugian.
Selain manfaat yang sudah diuraikan di atas, terdapat resiko yang relatif
tinggi pada penerapan pembiayaan musyarakah, yaitu :
i) Side streaming : nasabah menggunakan dana pembiayaan tersebut
bukan seperti yang disebutkan dalam akad atau kontrak.
ii) Lalai dan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh nasabah.
iii) Jika nasabah tidak jujur, maka informasi mengenai keuntungan tidak
disampaikan secara transparan oleh nasabah kepada bank.
Secara umum pembiayaan musyarakah dapat dijabarkan pada gambar 1.
Gambar 1. Skema Pembiayaan Musyarakah (Antonio, 1999)
Keterangan :
17
![Page 12: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/12.jpg)
i) Nasabah mengajukan proposal proyek kepada BMT dan BMT
mempelajari proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama.
Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad musyarakah.,
ii) BMT dan nasabah menyerahkan share dana kedalam proyek,
dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan persyaratan lainnya
yang tercantum dalam akad pembiayaan.
iii) Pembagian keuntungan/kerugian:
- Apabila proyek memberikan keuntungan, maka keuntungan
dibagi sesuai kesepakatan.
- Apabila proyek rugi, maka kerugian ditanggung BMT dan
nasabah sesuai dengan porsi masing-masing.
iv) Dana musyarakah dikembalikan/diangsur oleh nasabah sesuai
dengan jangka waktu yang disepakati.
ii. Mudharabah (trust financing, trust investment)
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (Antonio, 1999).
Keuntungan yang terjadi dalam akad mudharabah dibagi antara pihak
pemilik dana dan pengelola menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam akad, sedangkan kerugian yang terjadi ditanggung oleh pemilik
dana, jika kerugian tersebut bukan disebabkan oleh pengelola. Apabila
kerugian yang terjadi diakibatkan oleh kelalaian atau kecurangan
pengelola, maka pengelola harus mempertanggungjawabkan kerugian
tersebut kepada pemilik dana.
Pembiayaan mudharabah dibedakan dalam dua jenis, yaitu :
18
![Page 13: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/13.jpg)
i. Mudharabah mutlaqah (tidak terikat atau unrestricted)
Shahibul maal (pemilik dana) memberikan keleluasaan penuh
kepada mudharib (pengelola usaha) untuk mempergunakan dana
tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Mudharib bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan usaha
sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
ii. Mudharabah Muqayyadah (terikat atau restricted)
shahibul maal menentukan syarat dan pembatasan pada mudharib
dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat,
jenis usaha dan sebagainya. Mudharib menggunakan modal
tersebut hanya untuk kegiatan usaha yang dinyatakan secara
khusus untuk menghasilkan keuntungan.
Terdapat manfaat yang dapat diambil dari pembiayaan secara
mudharabah, yaitu :
i) Lembaga akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat
keuntungan usaha maksimal.
ii.). Lembaga tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada nasabah penyimpan dana dalam jumlah tetap, namun
disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga
bank tidak mengalami negatif spread.
iii) pengembalian pokok pembiayaan yang dilakukan debitur
disesuaikan dengan cash flow nasabah dan hal ini tidak
memberatkan nasabah.
iv) Lembaga akan lebih selektif dan berhati-hati dalam pembiayaan
usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.
19
![Page 14: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/14.jpg)
Pengembalian Modal Pokok
PERJANJIAN BAGI HASIL
Nasabah (Mudharib)Keahlian/
KeterampilanModal100%
PROYEK/USAHA
Bank/BMTShahibul Maal
PEMBAGIAN KEUNTUNGAN
Modal
Nisbah X % Nisbah Y %
v) Prinsip bagi hasil dalam akad mudharabah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap dalam perbankan konvensional, dimana BMT
akan tetap menagih pembayaran dari nasabah dalam jumlah yang
tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan
sekalipun nasabah mengalami kerugian.
Selain manfaat yang sudah di uraikan di atas, terdapat resiko yang
relatif tinggi pada penerapan pembiayaan mudharabah yaitu :
i. Side streaming; nasabah menggunakan dana pembiayaan tersebut
bukan seperti yang disebutkan dalam akad atau kontrak.
ii. Lalai dan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh nasabah.
iii. Jika nasabah tidak jujur, maka informasi mengenai keuntungan tidak
disampaikan secara transparan oleh nasabah kepada bank.
Gambaran pembiayaan mudharabah seperti pada gambar. 2 berikut
ini :
Gambar. 2 Skema Pembiayaan Mudharabah (Antonio, 1999)
20
![Page 15: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/15.jpg)
Keterangan :
i) Nasabah mengajukan proposal proyek kepada BMT dan BMT
mempelajari proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama.
Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad mudharabah.
ii) BMT menyerahkan 100 % dana dan nasabah mengelola proyek atau
usaha, dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan persyaratan lainnya
yang tercantum dalam akad pembiayaan.
iii) Pembagian keuntungan/kerugian :
- Apabila proyek memberikan keuntungan, maka keuntungan dibagi
sesuai kesepakatan.
- Apabila proyek rugi, maka 100% kerugian di tanggung BMT kecuali
mudharib (pengelola dana) melakukan kesalahan atau melanggar
idak kesepakatan.
iv) Dana mudharabah dikembalikan dengan cara diangsur atau sekaligus
oleh mudharib sesuai jangka waktu secara teratur yang disepakati.
2) Konsep Marjin (Jual Beli)
i. Murabahah (Deffered Payment Sale)
Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati (Antonio, 1999). Dalam akad
murabahah penjual harus memberitahukan harga pokok produk-produk yang
dibeli ditambah dengan tingkat keuntungan yang ditentukan. Manfaat
murabahah yang dapat diambil :
i). Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual
dengan harga jual kepada nasabah
21
![Page 16: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/16.jpg)
ii). Nasabah melakukan angsuran secara tetap dan tidak terpengaruh oleh
kondisi ekonomi secara umum dan fluktuasi tingkat bunga.
Adapun resiko dari akad murabahah adalah :
i). Default atau kelalaian, yaitu nasabah sengaja tidak membayar
angsuran.
ii). Fluktuasi harga komparatif, terjadi bila harga suatu barang di pasar naik
setelah BMT membelikannya untuk nasabah. BMT tidak dapat
mengubah harga jual beli tersebut.
iii). Penolakan nasabah, barang yang dikirim ditolak oleh nasabah karena
berbagai sebab. Jika hal ini terjadi dan BMT sudah terlanjur melakukan
kontrak dengan penjual, maka barang tersebut menjadi milik BMT dan
BMT mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
iv). Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang maka ketika
kontrak ditandatangai, barang tersebut menjadi milik nasabah.
Gambar 3 menjabarkan pola pembiayaan murabahah :
Gambar 3. Skema Pembayaran Murabahah (Antonio, 1999)
Keterangan :
22
1. Negosiasi danPersyaratan
Bank/BMT2. Akad Jual Beli
Nasabah
6. Bayar
PEMASOKPENJUAL
3. Beli Barang 4. Kirim
5. Terima Barang Dan
Dokumen
![Page 17: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/17.jpg)
1. BMT dan nasabah melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi
pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli, meliputi jenis barang yang akan
diperjualbelikan, harganya (termasuk jumlah keuntungan yang diminta
bank) dan jangka waktu pembayaran dan hal-hal lain yang diperlukan.
2. BMT dan nasabah melakukan akad pembiayaan murabahah sebesar
nominal harga jual untuk dilunasi dalam jangka waktu yang telah
disepakati bersama.
3. Apabila akad pembiayaan sudah ditandatangani oleh BMT dan nasabah,
maka BMT melakukan pesanan barang kepada pemasok sesuai dengan
spesifikasi barang yang dikehendaki oleh nasabah. Nasabah tidak
diperkenankan membeli barang secara langsung tanpa seizin BMT.
4. Barang yang dibeli oleh BMT selanjutnya dikirim oleh pemasok kepada
nasabah.
5. Nasabah menerima barang yang dipesan dilengkapi dengan dokumen-
dokumen pengiriman.
6. Nasabah melakukan pembayaran kepada BMT atas barang tersebut
secara angsuran/sekaligus.
c. Manfaat BMT bagi Nasabah
Menurut Sumiyanto (2008) manfaat BMT untuk nasabah antara lain :
1. Mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian anggota secara
khusus dan masyarakat secara umum.
2. Membantu baitul al-maal dalam menyediakan kas untuk alokasi
pembiayaan non komersial atau biasa disebut qardh al-hasan.
3. Menyediakan cadangan pembiayaan macet akibat terjadinya
kebangkrutan usaha nasabah bait at-tamwil yang berstatus al-gharim.
23
![Page 18: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/18.jpg)
4. Menjadi lembaga sosial keagamaan dengan pemberian beasiswa,
santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum,
peribadatan dan lain-lain. Di sisi lain juga dapat membantu bait at-tamwil
dalam kegiatan promosi produk-produk penghimpunan dana dan
penyalurannya kepada masyarakat.
5. Mengumpulkan dana dan menyalurkannya pada anggota maupun
masyarakat luas.
3. Kinerja Kesehatan BMT
Kinerja merupakan bentuk hasil dari apa yang telah dicapai suatu
organisasi didalam melaksanakan kegiatannya. Analisis terhadap suatu
kinerja organisasi (lembaga) memiliki tujuan untuk dapat mengkaji
sejauhmana keberhasilan lembaga tersebut didalam upaya mencapai
tujuannya.
Tingkat kesehatan BMT adalah ukuran kinerja dan mutu BMT yang
mempengaruhi kelancaran, keberhasilan dan keberlangsungan usaha
BMT, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Untuk menganalisis kinerja kesehatan BMT ada tiga aspek yang
dinilai yaitu aspek kinerja keuangan, manajemen dan penerapan prinsip
syariah). Aspek keuangan dan manajemen dinilai secara kuantitatif dan
diberi skor tertentu, yang menggambarkan derajat pencapaian kinerjanya,
sedangkan aspek penerapan syariah digabungkan dengan beberapa
aspek non parametrik lain yang dijadikan sebagai faktor koreksi terhadap
status kesehatan BMT. Aspek keuangan dan manajemen terdiri dari sub
aspek : (1) Permodalan, (2) Aktiva Produktif, (3) Manajemen, (4)
24
![Page 19: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/19.jpg)
Rentabilitas dan (5) Likuiditas. Kecuali aspek manajemen, keempatnya
adalah aspek keuangan.
a. Rasio Modal
Rasio ini sering disebut juga sebagai “Analisis Solvabilitas” atau ada
juga yang menyebutnya “Capital Adequacy Analysis”, kegunaan dari
analisis ini adalah :
a). Untuk melihat apakah modal BMT yang ada telah mencukupi untuk
mendukung kegiatan BMT tersebut yang dilakukan secara efisien.
b). Untuk melihat kemampuan modal sebagai sumber dana yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas-batas
tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari
simpanan nasabah, pembiayaan pada bank lain dan dari penjualan
harta tetap yang tidak terpakai.
c). Untuk melihat apakah modal BMT tersebut akan mampu untuk
menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat dihindarkan.
d). Untuk melihat apakah total modal yang terdiri dari (simpanan pokok,
simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan-cadangan dan saldo
laba) BMT semakin besar atau semakin mengecil.
e). Untuk mengetahui apakah dengan modal yang mencukupi
memungkinkan bagi manajemen BMT yang bersangkutan untuk
bekerja dengan efisiensi yang tinggi; seperti yang dikehendaki para
pemilik modal pada BMT tersebut.
Makin besar jumlah modal BMT dibandingkan dengan dana anggota
yang berhasil dihimpun maka tingkat keamanan dana anggota semakin
terjamin. Selain itu, modal BMT yang lebih besar akan lebih
25
![Page 20: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/20.jpg)
memungkinkan memperbesar usaha (melakukan ekspansi usaha).
Situasi ini dinilai dengan kondisi lebih sehat.
Yang dimaksud dengan modal BMT adalah :
a. Simpanan Pokok khusus
b. Simpanan pokok
c. Simpanan Wajib
d. “Simpanan Penyertaan”
e. Hibah
f. Cadangan-cadangan
g. Saldo Laba Rugi
Yang dimaksud dengan hutang adalah semua kewajiban baik
kepada anggota maupun kepada pihak ketiga yang tidak termasuk modal.
Hutang dapat terdiri dari :
a. Simpanan Sukarela
b. Simpanan Mudharabah biasa
c. Simpanan Mudharabah berjangka
d. Kewajiban jangka panjang (hutang kepada pihak ketiga)
e. dan Hutang lain-lain
b. Aktiva Produktif
Penilaian aktiva produktif menggunakan dua indikator, yakni (1) Rasio
Pembiayaan Bermasalah (RPB) dan (2) Rasio Pencadangan Penghapusan
Resiko.
26
Rasio Modal : Total ModalTotal Hutang
x100 %
![Page 21: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/21.jpg)
1) Rasio Pembiayaan Bermasalah
Rasio pembiayaan bermasalah digunakan untuk mengukur tingkat
resiko pembiayaan bermasalah di BMT untuk kategori kemacetan di
atas tiga bulan dibandingkan dengan keseluruhan pembiayaan yang
diberikan pada periode yang sama. Nilai ideal pembiayaan
bermasalah bila rasionya kurang dari 5%.
2) Rasio Pencadangan Penghapusan Resiko
Rasio pencadangan penghapusan resiko digunakan untuk mengukur
kemampuan BMT dalam menyediakan cadangan penghapusan
pembiayaan bermasalah, nilai yang ideal untuk LKM/BMT bila
menyisihkan cadangan penghapusan samapi dengan 75%.\
c. Likuiditas
Likuiditas merupakan masalah yang rumit bagi manejemen sebuah
BMT. Likuiditas didefinisikan sebagai suatu kemampuan lembaga
keuangan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban
yang sudah jatuh tempo. BMT dianggap likuid apabila mempunyai
kesanggupan untuk membayar penarikan tabungan dan pemenuhan
permintaan pembiayaan tanpa adanya penundaan.
Tingkat likuiditas BMT yang rendah akan membuat ketidakmampuan
dalam melunasi kewajiban lancar sehingga mengancam kredibilitas dari
27
RPB : Pembiayaan BermasalahTotal Pembiayaan
x 100 %
RPPR : Cadangan PEnghapusanPembiayaan Bermasalah
x 100 %
![Page 22: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/22.jpg)
BMT, sebaliknya likuiditas yang tinggi akan banyak kelebihan kas dan
akan menciptakan laba yang rendah karena tidak terputarkan dalam
pembiayaan-pembiayaan usaha-usaha pengusaha mikro. Adapun
minimum yang harus dipertahankan untuk memenuhi kewajiban sehari-
hari adalah sebagai berikut :
a) Adanya kas yang dipertahankan untuk kewajiban-kewajiban yang
telah akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
b) Adanya kas yang harus dipertahankan untuk menghadapi perubahan
kegiatan perekonomian untuk waktu-waktu yang akan datang.
Untuk mengukur rasio likuiditas digunakan 2 rumus :
Pertama :
(1) Rasio kas yaitu rumus untuk mengetahui kemampuan BMT untuk
membayar kembali kewajiban-kewajibannya yang telah jatuh tempo
dengan cara mengukur seberapa banyak uang kas yang tersedia untuk
membayar hutang lancar.
(2) Rasio Pembiayaan : Rasio untuk mengetahui kemampuan BMT dalam
membayar kembali kewajiban-kewajibannya.
Rumus Kedua :
(3) Reserve Requirement (RR) yakni alat untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan BMT memenuhi kewajiban yang segera bayar, semakin
tinggi RR akan semakin likuid.
28
Rasio Cepat : Kas + BankHutang Lancar
x 100 %
Rasio Pembiayaan : Total Pembiayaan Dana yang diterima
x100 %
RR = Kas + BankDana Pihak Ketiga
x100 %
![Page 23: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/23.jpg)
(4) LDR (Loan to Deposit Ratio) atau untuk syariah tepatnya FDR (Financing
to Deposit Ratio), yaitu alat untuk mengkur seberapa jauh kemampuan
BMT dalam memutar atau memberikan pembiayaan kepada
anggota/masyarakat yang bersumber dari dana tabungan
anggota/masyarakat. Semakin tinggi FDR semakin tinggi pula tingkat
kemampuan BMT dalam melempar pembiayaan. LDR yang ideal dalah
85-100%.
29
FDR = PembiayaanSimpanan + hutang
x100 %
![Page 24: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/24.jpg)
(5) Legal Limit Lending (L3) istilah lainnya adalah BMPK (Batas Maksimal
Pemberian Kredit) atau untuk syariah tepatnya BMPP (Batas Maksimal
Pemberian Pembiayaan) ialah alat untuk mengukur kemampuan BMT
dalam memenuhi permintaan pembiayaan dengan menggunakan asset
yang dimiliki. Maksimum pemberian kredit adalah 2,5% untuk satu orang
anggota pembiayaan.
d. Efisiensi Usaha
Rasio ini untuk mengukur sejauh mana tingkat-tingkat efisiensi
usaha yang telah dicapai oleh manajemen BMT. Untuk mengukur tingkat
efisiensi dapat dilakukan dengan menggunakan dua rumus yaitu :
(1) Rumus kesatu :
Rumus kedua :
Dua alat ukur lain untuk mengetahui efisiensi BMT adalah Rasio
Efisiensi Staf (RES) dan Rasio Efisiensi Staf Account Officer (RESAO).
(2) Rasio Efisiensi Staf (RES)
Rasio Efisiensi Staf digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi
atau optimalisasi keseluruhan staf BMT dalam memberikan pelayanan
30
L 3 = PembiayaanTotal Asset
x100 %
Rasio Efisiensi Usaha 1 = Biaya OperasionalPendapatan Operasional
x100 %
Rasio Efisiensi Usaha2 = Inventaris + BddTotal Modal
x 100 %
RES = Mitra PembiayaanTotal Jumlah Staf
x 100 %
![Page 25: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/25.jpg)
terhadap mitra pelayanan. Nilai ideal bila seorang staf melayani lebih
dari 100 orang mitra pembiayaan.
(3) Rasio Efisensi Staf Account Officer (RESAO)
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha atau
optimalisai staf BMT bagian AO dalam memberikan pelayanan terhadap
mitra pembiayaan. Nilai ideal rasio ini bila seorang staf melayani lebih
dari 150 orang mitra pembiayaan.
e. Rentabilitas
Rentabilitas yaitu kemampuan BMT dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu dengan membandingkan antara laba dengan
harta dan modal yang telah menghasilkan laba tersebut. Selain
menghitung pada nilai uang sebagai lembaga keuangan mikro,
rentabilitas yang diukur adalah kemandirian operasional dan pembiayaan
serta penghimpunan dana masyarakat sekitar BMT. Kemampuan
tersebut dilihat dari :
1) Makin besar perbandingan laba bersih terhadap semua
asset/kekayaan BMT berarti prestasi BMT semakin baik.
Rasio Rentabilitas Asset : Rasio untuk mengukur kemampuan
manajemen BMT dalam mengelola harta yang dikuasainya untuk
menghasilkan laba.
31
RESAO = Mitra Pembiayaan Jumlah Staf AO
x 100 %
Rasio Rentabilitas Asset = Laba BersihTotal Asset
x 100 %
![Page 26: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/26.jpg)
2) Makin besar perbandingan laba bersih terhadap semua modal BMT
juga menunjukkan keberhasilan BMT dalam memperoleh pendapatan.
Rasio rentabilitas modal yaitu rasio untuk mengukur kemampuan
manajemen BMT dalam menghasilkan lababersih ditinjau dari sudut
kekuatan modal BMT itu sendiri.
3) Makin besar penghimpunan dana masyarakat berarti BMT semakin
punya peran sebagai lembaga keuangan mikro. Nilai ini kebalikan dari
LDR yang berfungsi mengukur likuiditas, tetapi rasio ini mengukur
kemandirian lembaga yaitu kemampuan lembaga mengaktifkan
masyarakat untuk menyimpan dana dan kemampuan
memproduktifkan dana amanah.
4) Kemandirian Operasional : untuk mengukur tingkat keberlanjutan
operasional, semakin tinggi tingkat keberlanjutan maka semakin baik.
5) Kemampuan seorang AO atau staf pembiayaan berasarkan pada
standar kemampuan menggulirkan dana.
32
Rasio Rentabilitas Modal = Laba BersihTotal Modal
x 100 %
Rasio Rentabilitas Simpanan terhadap Pembiayaan
¿ Jumlah SimpananJumlah PEmbiayaan
x 100 %
Kemandirian Operasional = Pendapatan Biaya Operasional
x 100 %
Kemandirian Pembiayaan = OutstandingJumlah AO
x100 %
![Page 27: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/27.jpg)
f. Solvabilitas
Solvabilitas adalah suatu alat untuk mengukur kemampuan BMT dalam
memenuhi kewajiban jangka panjangnya.
(1) Debt to Equity Ratio (DER), kemampuan BMT dalam menutup
sebagian atau seluruh hutang jangka pendek maupun jangka
panjang, dengan menggunakan modal BMT sendiri. Semakin tinggi
DER semakin baik tingkat solvabilitasnya.
(2) Long Term Debt to Assets Ratio (LTDAR), yaitu untuk mengukur
kemampuan aktiva BMT dalam memenuhi kewajiban jangka
penjangnya. Semakin tinggi LTDAR berarti semakin bagus tingkat
solvabilitasnya.
g. Rasio Lainnya
Rasio besarnya simpanan dibanding modal, jumlahnya sebaiknya
90%, sebaliknya besar modal dibandingkan dengan dana pihak ketiga
sebesar 10%.
4. Teori Pendapatan
Menurut Wardiasmo (1995) pendapatan adalah peningkatan jumlah
aktiva atau penurunan jumlah kewajiban perusahaan yang timbul dari
penyerahan barang/jasa atau kegiatan usaha lainnya. Pendapatan juga
33
DER = Jumlah HutangJumlah Modal Sendiri
x100 %
LTDAR = Hutang Jangka PanjangTotal Aktiva
x100%
SimpananModal
x 100 %
![Page 28: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/28.jpg)
didefiniskan sebagai selisih antara penerimaan terhadap total biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah kenaikan kotor
dalam aset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan dari keduanya
selama periode yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan,
memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan meraih keuntungan
(Antonio, 2001).
Pendapatan atau income dari seseorang adalah hasil penjualan dari
faktor-faktor produksi yang dimiliki kepada sektor produksi. Sektor
produksi membeli faktor-faktor produksi tersebut untuk digunakan sebagai
input produksi dengan harga yang berlaku di faktor produksi. Dengan
demikian, pendapatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor produksi
yang dimiliki dan harga perunit dari masing-masing faktor produksi
tersebut (Boediono, 1982).
Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa pendapatan usaha
merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan
dalam usahatani. Dalam hal ini, pendapatan dibedakan atas pendapatan
kotor dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor (Gross Income)
didefinisikan sebagai nilai produk total suatu usaha dalam jangka waktu
tertentu. Pendapatan kotor disebut juga sebagai penerimaan yang
berasal dari hasil penjualan output, yakni perkalian antara hasil produksi
(output) dengan harga jual per satuan unit, dengan rumus:
TR=Q. P
………………………………………………………….. (1)
Dengan : TR = penerimaan total (total revenue)
Q = hasil produksi/output(quantity)
34
![Page 29: BAB II2](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022060113/5571f8fb49795991698e8816/html5/thumbnails/29.jpg)
P = harga jual per satuan unit produksi (price)
Adapun pendapatan bersih (net income) didefinisikan sebagai
selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran total sebagai nilai
semua masukan yang habis terpakai atau dikelaurkan di dalam
produksi, tidak termasuk tenaga kerja keluarga.
Dengan kata lain, pendapatan adalah keuntungan dari hasil
penjualan output setelah dikurangi dengan biaya produksi yang
dikeluarkan dengan rumus :
I=TR−∑ r . x i………………………………………………….
(2)
Dengan : I = pendapatan (income)
TR = penerimaan total (total revenue)
r.xi = biaya produksi
Menurut Soekartawi (1995), yang dimaksud dengan biaya
produksi adalah nilai yang dikeluarkan dalam produksi. Biaya produksi
terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost).
35