BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum...

88
16 BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL Pada bab ini, penulis akan menghantarkan pembaca kepada konsekuensi yuridis kemampuan negara untuk menguasai dan memiliki suatu wilayah laut dan dan bagaimana perkembangan zona-zona maritim seperti laut teritorial dan zona lanjutan, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif, dan laut lepas dan kawasan di mana beberapa konsep baru seperti zona ekonomi eksklusif dan kawasan merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam sejarah perkembangan hukum laut internasional sebelumnya seperti Konvensi Den Haag tahun 1930 dan Konvensi Hukum Laut tahun 1958. Penulis juga akan menerangkan kepada pembaca secara konseptual yang juga menggunakan pendekatan yurisprudensi di mana penulis akan menggunakan beberapa putusan internasional yang terkait dengan perkembangan zona-zona maritim ini. A. Sumber Hukum Laut Internasional Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum yang tidak tertulis dan secara perlahan menjadi tertulis. Kodifikasi hukum laut internasional modern berkembang secara gradual dan terjadi secara bertahap dalam sejarah. Meski tidak berkembang secara spesifik oleh negara-negara arkais, Roma dan Yunani kuno mengadopsi Rhodian Sea Law yang pertama kali digunakan oleh bangsa Rhodia di Laut Aegea untuk mengatur hubungan dagang bangsa Rhodia dengan bangsa lain. Meskipun telah terdapat kodifikasi-kodifikasi yang mengatur hubungan keperdataan bagi setiap orang yang memanfaatkan laut, seperti pelayaran dan penangkapan ikan, hal tersebut hanya

Transcript of BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum...

Page 1: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

16

BAB II

ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Pada bab ini, penulis akan menghantarkan pembaca kepada konsekuensi

yuridis kemampuan negara untuk menguasai dan memiliki suatu wilayah laut dan

dan bagaimana perkembangan zona-zona maritim seperti laut teritorial dan zona

lanjutan, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif, dan laut lepas dan kawasan di

mana beberapa konsep baru seperti zona ekonomi eksklusif dan kawasan

merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam sejarah perkembangan hukum

laut internasional sebelumnya seperti Konvensi Den Haag tahun 1930 dan

Konvensi Hukum Laut tahun 1958. Penulis juga akan menerangkan kepada

pembaca secara konseptual yang juga menggunakan pendekatan yurisprudensi di

mana penulis akan menggunakan beberapa putusan internasional yang terkait

dengan perkembangan zona-zona maritim ini.

A. Sumber Hukum Laut Internasional

Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia

bertransformasi dari hukum yang tidak tertulis dan secara perlahan menjadi tertulis.

Kodifikasi hukum laut internasional modern berkembang secara gradual dan terjadi

secara bertahap dalam sejarah. Meski tidak berkembang secara spesifik oleh

negara-negara arkais, Roma dan Yunani kuno mengadopsi Rhodian Sea Law yang

pertama kali digunakan oleh bangsa Rhodia di Laut Aegea untuk mengatur

hubungan dagang bangsa Rhodia dengan bangsa lain. Meskipun telah terdapat

kodifikasi-kodifikasi yang mengatur hubungan keperdataan bagi setiap orang yang

memanfaatkan laut, seperti pelayaran dan penangkapan ikan, hal tersebut hanya

Page 2: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

17

terjadi dalam aspek keperdataan dan tidak menjangkau esensi hak negara untuk

meletakkan hak wilayah teritorialnya di atas laut. Contoh kodifikasi hukum laut

yang dimaksud penulis tersebut adalah1:

1. The Basilika: kitab hukum maritim yang digunakan oleh Kekaisaran

Romawi Timur (baca: Byzantine) pada abad ketujuh.

2. The Assize of Jerusalem: Kitab hukum maritim yang diciptakan oleh

tentara salib yang menguasai Yerusalem. Tentara salib menciptakan kitab

ini karena membludaknya para pedagang dan pelaut yang datang

mengunjungi Yerusalem. Selain menyusun kitab tersebut, otorita tentara

salib juga mendirikan mahkamah kelautan untuk menangani sengketa

yang terjadi untuk urusan kemaritiman.

3. The Rolls of Oleron: Meski dirundungi ketidakjelasan mengenai asal

muasal kitab ini, para ahli memperkirakan bahwa kitab ini diciptakan pada

era Ratu Eleanor dari Aquitane pada tahun 1160. Kitab ini diciptakan

ketika perdagangan di bagian barat Perancis, tepatnya di pulau Oleron

yang berkembang menjadi pusat perdagangan pada abad ke-12. Selain

kitab tersebut, di sana juga diciptakan pengadilan untuk menyelesaikan

sengketa kemaritiman.

4. The Laws of Wisby: Kitab ini diciptakan oleh pada pedagang Saxon yang

terinspirasi dari The Rolls of Oleron pada abad ke-15.

5. The Hanseatic Code: Kitab ini disusun pada abad ke-17 oleh Liga

Hanseatic setelah pengaruhnya sudah berkurang karena kecemburuan

yang terjadi pada para anggotanya.

1 Colombos, op.cit, h. 31-36

Page 3: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

18

6. The Black Book of the Admiralty: Kitab ini disusun di Inggris ketika Raja

Edward III dan secara berturut-turut dikerjakan pada era pemerintahan

Raja Richard II dan Henry IV. Kitab ini sendiri berisikan norma yang

mengatur hukum maritim yang berlaku di Inggris dan merupakan sumber

hukum acara bagi Mahkamah Kelautan Inggris pada saat itu.

7. Consolato del Mare: pada abad keempat belas, dunia mediterania memiliki

hukum maritimnya sendiri yang disusun pada abad keempat belas. Setelah

Kekaisaran Roma runtuh, industri dan perdagangan tumbuh dengan subur

di kota-kota seperti Marseilles, barcelona dan Valencia yang tumbuh

menjadi pusat perdagangan di dunia mediterania.

8. Guidon de la Mer: meski Consolato del Mare telah bertransformasi

menjadi hukum kebiasaan yang berlaku di dunia mediterania pada kurun

waktu abad keempatbelas sampai keenambelas, kodifikasi hukum lain

yang terinsiprasi dari Consolato del Mare ditulis di sebuah kota Perancis

yang dipisahkan oleh Sungai Seine di Normandy, Kitab ini disusun pada

era pemerintahan Raja Louis XIV pada tahun 1681.

Periode ini disebut oleh Colombos sebagai “The Period which marked the

development of maritime law by the adoption of private customary codes …”2 Pada

akhir abad ketujuhbelas, perang tigapuluh tahun berkecamuk di Eropa dan

meluluhlantakkan pengaruh religiusitas di dalam negara. Hal ini disimbolisasikan

dengan lahirnya Perjanjian Westphalia yang memposisikan negara sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi. Akibat hukum dari hal tersebut, dalam analisa

Colombos, mengakhiri tradisi hukum kebiasaan yang berlangsung di eropa selama

2 Ibid. h. 31

Page 4: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

19

berabad-abad dan menyebut bahwa “the age of national legislation had begun,

resulting in an everincreasing amount of statutory law in all the principal maritime

nations.”3

Perkembangan hukum laut pada abad ke-16 sampai abad ke-19 ditunjukkan

oleh perseturuan oleh negara-negara eropa ketika isu laut teritorial dan kewenangan

negara di laut bebas (supra bab 2) ditanggapi secara individualistis dan usaha untuk

mencari sumber hukum tersebut terhalang oleh kesulitan-kesulitan baik dari dalam

maupun luar. Mochtar Kusumaatmadja mencatat periode ini dengan menyebut

bahwa “… dorongan yang menyebabkan negara-negara mengendaki kekuasaan

atas laut yang berbatasan dengan pantainya bersumber pada keinginan untuk

mengamankan kepentingan negara dan rakyatnya masing-masing.” 4

Ketiadaan norma hukum internasional ditambah dengan diskresi yang dilakukan

oleh negara-negara maritim untuk menyusun undang-undang kelautan sesuai

dengan kepentingannya sendiri menjadi alasan mengapa hukum laut tidak

berkembang dalam diskursus yang universal namun terjadi dalam hubungan

diplomatik dan hukum kebiasaan yang berlaku di antara negara-negara maritim.

Namun kesulitan-kesulitan untuk menyusun suatu norma hukum internasional

terjadi secara masif pada tahun 1930 ketika Liga Bangsa-bangsa mengadakan

Konferensi Hukum Internasional pada di Den Haag pada bulan maret tahun 1930

untuk membahasan isu-isu hukum internasional. Ada tiga isu utama yang dibawa

oleh konferensi ini, yaitu:

1) Kewarganegaraan (nationality)

3 Ibid. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, 1986, Cetakan ketiga, Binacipta, Bandung,

h. 29

Page 5: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

20

2) Perairan teritorial (territorial waters)

3) Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditumbulkan dalam

wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing (responsibility of

the states)5

Dalam konferensi ini, perdebatan yang terjadi seputar berapa lebar laut

teritorial yang daat dimiliki oleh negara mendapatkan porse yang sangat besar.

Beberapa perwakilan negara maritim mengajukan proposal supaya negara hanya

memiliki lebar laut teritorial selebar 3 mil laut atau 1 marine league dan tidak dapat

mengenakan zona tambahan atau contiguous zone yang bersebelahan dari zona laut

teritorial tersebut, yaitu Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Canada, Cina,

India, Inggris, Jepang, dan Belanda. Beberapa perwakilan negara lain menyetujui

lebar laut teritorial sebanyak 3 mil laut namun menghendaki agar adanya zona

tambahan agar negara pantai dapat memiliki kewenangan untuk menjaga wilayah

perairan teritorialnya seperti Belgia, Chile, Islandia, Irlandia, Perancis, Polandia,

dan Yunani. Selain proposal 3 mil laut sebagai lebar laut teritorial, perwakilan

negara lain mengajukan proposal agar negara pantai mendapatkan 4 mil laut seperti

Finlandia. Swedia dan Norwegia mengajukan lebar laut teritorial sebesar 4 mil laut

dengan zona tambahan. Brazil, Kolombia, Italia, Romania, Uruguay, dan

Yugoslavia menghendaki lebar laut teritorial sebesar 6 mil laut. Sebaliknya Kuba

Latvia, Portugal, Spanyol, dan Turki menginginkan lebar laut teritorial sebesar 6

mil laut dengan zona tambahan Pada akhirnya, konferensi tersebut tidak

mendapatkan hasil yang memuaskan karena ketidaksepahaman para pihak terhadap

lebar wilayah laut teritorial yang dapat dimiliki oleh negara pantai.6

5 Ibid, h. 54 6 Ibid, h. 56 & 58

Page 6: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

21

Setelah kegagalan konferensi Den Haag pada tahun 1930, PBB menginisiasi

konferensi serupa pada tahun 1958 untuk menyusun kodifikasi hukum laut

internasional yang disebut sebagai Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958

(untuk selanjutnya akan disebut sebagai KHL 1958). Konferensi ini memiliki tujuan

yang sama seperti konferensi Den Haag 1930, yaitu untuk menyelesaikan isu-isu

laut teritorial, konsep zona tambahan, dan zona landas kontinen negara pantai.

Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 diadakan berdasarkan resolusi Majelis

Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957. Konferensi ini tidak hanya

ditugaskan untuk menyusun kodifikasi hukum laut dalam aspek hukumnya saja

melainkan juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan politik dari

pemanfaatan wilayah laut. Konferensi ini juga memiliki tugas untuk menyelesaikan

isu-isu hukum yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang masif di mana

teknologi kelautan dalam bidang penangkapan ikan dan pengeboran minyak sudah

mencapai tahap di mana negara pantai dapat mengeksploitasi sumber daya laut

hayati dan non-hayati dengan ambisius dan ditakutkan efek yang ditimbulkan dari

eksploitasi sumber daya laut hayati dan non-hayati secara tidak bijaksana akan

mengakibatkan efek jangka panjang bagi negara lain yang baik secara langsung

maupun tidak secara langsung terlibat dalam ekploitasi laut. 7 Mochtar

Kusumaatmadja menjelaskan bahwa pada hakikatnya isu ini merupakan isu

ekonomi seperti ia menyatakan

“Masalah yang timbul karena tarikan (tension) antara

bertambahnya kebutuhan umat manusia akan hasil laut dan

kemungkinan memenuhi kebutuhan tadi berkat kemajuan teknik

pada satu pihak dan terbatasnya laut sebagai sumber kekayaan

untuk memunuhi kebutuhan yang bertambah itu pada hakikatnya

merupakan masalah ekonomi.”8

7 Ibid, h. 110-111 8 Ibid, h. 113

Page 7: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

22

KHL 1958 menghasilkan empat konvensi yang saling berhubungan satu sama

lain, yaitu:

a) the territorial sea and the contiguous zone;

b) the high seas;

c) fisheries and the preservation of the biological resources of the high seas;

d) the continental shelf.9

Selain empat konvensi ini, KHL 1958 juga mengadopsi sembilan resolusi tentang

‘nuclear experiment on the high seas’; ‘the polution of waters by radioactive

matters’; ‘the preservation of fisheries and the regime of “historical” waters.

Protokol mengenai obligatory settlement disputes juga telah disepakati dalam KHL

1958 dengan memberikan jurisdiksi kepada ICJ (International Court of Justice)

untuk menyelesaikan sengketa mengenai interpretasi dan penerapan Konvensi

Hukum Laut.10

Meskipun banyak sarjana yang menganggap bahwa KHL 1958 adalah sebuah

kegagalan, Harrison memiliki perspektif yang berbeda dengan menyatakan bahwa

“KHL 1958 had taken a significant step forward.”11 Harrison menyatakan bahwa

ketidaksepakatannya untuk memandang KHL 1958 secara skeptis dilatarbelakangi

oleh adanya suatu keadaan politik internasional pada kurun waktu 1960-an bahwa

dunia sedang mengalami proses dekolonisasi.12 Colombos menjelaskan bahwa ada

dua faktor penting yang menjadi alasan mengapa Konferensi ini tidak dapat

menemukan kesepakatan antar negara, yaitu lebar laut teritorial dan batasan

9 Parthiana, op.cit, h. 17 10 Colombos, op.cit, h. 23 11 James Harrison, Evolution of the Law of the Sea: Development in the Law-Making in the Wake of

the 1982 Law of the Sea Convention, Disertasi, University of Edinburgh, 2007, h. 24-25 12 Ibid, h. 26

Page 8: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

23

penangkapan ikan.13 Odell melihat adanya suatu fenomena politik internasional

yang saling bertolak belakang mengenai alasan mengapa lebar wilayah laut yang

diklaim oleh negara pantai memiliki perbedaan yang diakibatkan oleh adanya faktor

hegemoni di atas laut.14 Kecenderungan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan

negara-negara Amerika Latin seperti Chile dan Argentina yang mengklaim laut

teritorial selebar 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal mereka. Sementara

itu, negara dengan kekuatan maritim besar seperti Amerika dan Inggris menanggapi

lebar wilayah laut teritorial yang dapat dikuasai oleh negara pantai sebesar 3 mil

laut15. Hal ini terjadi karena adanya dua pola pikir yang berbeda yang melandasi

mengapa ada dua kutub yang sangat bertentangan ketika lebar wilayah laut teritorial

menjadi dibawa di panggung politik internasional. Inggris dan Amerika berbagi

tradisi hukum yang sama di mana Amerika membawa tradisi common law Inggris

sebagai sistem hukum Amerika. Colombos juga mengungkapkan hal tersebut

dengan menyebut bahwa Amerika memutuskan untuk mengadopsi kebiasaan yang

sama seperti Inggris telah lakukan pada abad ke-19 untuk menetapkan lebar wilayah

laut teritorial sebesar 3 mil laut. Pertanyaan yang menarik dari rasionalisasi seperti

apa yang membuat Inggris memilih 3 mil laut sebagai jarak lebar wilayah laut

teritorial? Justru adalah hal yang tidak rasional apabila negara tidak menetapkan

lebar wilayah laut teritorialnya selebar mungkin seperti yang dapat kita perhatikan

pada klaim yang dilaksanakan oleh Chile pada dekade 50’an. Seperti yang telah

13 Colombos, op.cit, h. 23 14 Rachel Esplin Odell, Maritime Hegemony and the Fiction of the Free Seas: Explaining State’

Claims to Maritime Jurisdiction¸ MIT Political Science Department Research Paper No. 2016-21,

h. 42-43 15 David C. Gompert, U.S and Chinese Interest and Sea Power in the Western Pacific, Rand

Corporation, 2013, h. 69 menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa: “Obviously, sea power

figures importantly in U.S. strategic thinking, globally and in the Pacifc, as it has for a century.”

Page 9: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

24

penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, doktrin 3 mil laut sebagai lebar

wilayah laut teritorial berkembang pada awal abad ke-19 untuk menanggulangi

klaim-klaim tidak logis yang dapat dilakukan oleh negara lain. Secara filosofis,

penetapan 3 mil laut sebagai lebar wilayah laut teritorial diambil dari principle of

protection di mana pengambilan jarak 3 mil tersebut adalah pengaplikasian jarak

tembar meriam yang kurang lebih berjarak 3 mil laut. Hal ini sangat jauh berbeda

ketika battle of books menjadi pusat perhatian dari diskursus hukum laut yang

notabene mengambil premsi secara metafisik—pendekatan yang digunakan oleh

Grotius dan Welwood—dan idealisme historis—seperti yang digunakan oleh

Selden dalam mare clausum. Dalam kurun waktu dua abad, pranata hukum laut

internasional mengalami perkembangan doktrinal dan praktikal yang sangat

eksplisit di mana pendekatan positivistisme mengambil alih filsafat keilmuan dan

juga turut mempengaruhi dasar filsafat hukum secara keseluruhan. Hal tersebut,

menurut penulis, turut mempengaruhi bagaimana pada abad ke-19 hingga awal

abad ke-20 usaha juris untuk merasionalkan karakter dan dasar hukum bagi klaim

negara untuk meletakkan wilayah teritorial di atas laut disusun.

Untuk mengatasi kegagalan KHL 1958 yang disebabkan oleh kepentingan

negara-negara yang saling bertabrakan satu sama lain, Majelis Umum PBB dengan

resolusi nomor 1307/XIII tangal 10 Desember 1958 meminta kepada Sekretaris

Jenderal PBB supaya memprakarsai penyelenggaraan konferensi hukum laut di

Jenewa yang kedua. 16 Untuk itu diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut

Jenewa kedua (untuk berikutnya akan disebut sebagai KHL 1982) pada tanggal 16

Maret – 26 April 1960 yang secara khusus membahas tentang lebar laut teritorial.

16 Parthiana, op.cit, h. 18

Page 10: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

25

Akan tetapi konferensi ini pun tetap mengalami kegagalan sehingga status quo

masih tetap berlangsung.17

Kegagalan demi kegagalan yang melatarbelakangi usaha Komisi Hukum

Internasional PBB untuk mempositifkan hukum laut internasional yang selama ini

berjalan sebagai hukum yang tidak tertulis. Konferensi Hukum Laut III diadakan

berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2750-C (XXV) tertanggal 17

Desember tahun 1970. 18 Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah

diberikan kepada UN Seabed Committee yang dibentuk pada tahun 1967 atas

proposal yang diajukan oleh Malta. UN Seabed Committee ditetapkan menjadi

panitia persiapan bagi suatu Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun

1973. Namun, UN Seabed Committee yang diberikan mandat untuk

menyelenggarakan Konvensi Hukum Laut Ketiga pada dasarnya hanya memiliki

agenda berupa penyelesaian isu sumber daya alam bawah laut di kawasan yang

mana berada di luar jurisdiksi negara pantai.19 Menyadari bahwa adanya desakan

dari banyak negara untuk membahas agenda-agenda, resolusi tersebut menyebutkan

bahwa ada perubahan agenda yang sangat substansial:

“[A] broad range of related issues including those concerning the

regimes of the high seas, the continental shelf, the territorial sea

(including the question of its breadth and the question of

international straits) and contiguous zone, fishing and

conservation of the living resources of the high seas (including

the question of the preferential rights of coastal states), the

preservation of the marine environment (including, inter alia, the

prevention of pollution) and scientific research.”

17 Ibid. 18 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, 2014,

(cetakan kedua), Refika Aditama, Bandung, h. 11 19 H. Gary Knight, Issues before the Third United Nations Conference on the Law of the Sea, 34 La.

L. Rev., 1974, h. 163

Page 11: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

26

Oleh karenanya, konferensi ini memiliki tujuh (7) persoalan yang akan dibahas,

yaitu:

1. Pengaturan hukum yang mengatur: “the are and the resources of the seabed

and ocean floor and the subsoil beyond the limits of national jurisdiction.”;

2. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas) ;

3. Landas Kontinen (Continental Shelf);

4. Laut Teritorial, termasuk masalah ebar laut teritorial dan masalah selat

internasional;

5. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;

6. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk pencegahan

pencemaran); dan

7. Penelitian ilmiah kelautan.

Pada sesi pertama konferensi hukum laut ketiga di Caracas, Venezuela,

perbedaan pendapat menciptakan polarisasi kekuatan ekonomi antara negara maju

dengan negara berkembang. Perbedaan tersebut diciptakan oleh karena tingkat

perkembangan teknologi yang dimiliki oleh negara maju memungkinkan mereka

untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang efektif dan efesien di dasar laut.

Manifestasi kekuatan ekonomi yang begitu drastis membuat negara-negara

berkembang keberatan atas keinginan negara-negara maju untuk melakukan

pemanfaatan sumber daya alam di dasar laut yang nilai ekonomisnya sangat tinggi.

Meskipun begitu, Hashim Djalal memiliki perspektif lain yang menunjukkan

bahwa keinginan negara-negara maju untuk memanfaatkan mineral bawah laut

hanya akan meningkatkan tensi politik global yang tidak kondusif di mana bahan

tambang seperti apa yang begitu relevan dan bermanfaat bagi masyarakat dunia dan

Page 12: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

27

khususnya negara berkembang? 20 Djalal menjelaskan adanya kebutuhan akan

nodul mangan yang menurutnya lebih bermanfaat bagi militer dari pada kebutuhan

primer negara pada dasarnya. Ia menyebut, “The manganese nodules, it was pointed

out, contained properties more suitable for military purposes than for meeting the

basic needs of the developing countries, namely food, clothing, shelter, health, and

education.”21

Secara sederhana, ada beberapa poin fundamental yang membuat KHL 1982

menjadi instrumen hukum yang begitu fenomenal di dalam hukum internasional.

Poin-poin tersebut adalah:

a) Diakuinya batas laut teritorial selebar 12 mil laut22 dan zona tambahan

selebar 24 mil laut23 yang dihitung dari garis pangkal negara pantai—baik

penarikan garis pangkal yang menggunakan metode garis pangkal normal

maupun lurus;

b) Diakuinya konsep selat internasional di dalam jurisdiksi negara pantai

sebagai bagian dari hak lintas damai yang dimiliki oleh kapal yang berlayar

di atas laut;24

c) Diakuinya konsep negara kepulauan dengan memperbolehkan negara

kepulauan untuk menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan pulau-

pulaunya yang mana hal ini mengakibatkan adanya konsep baru berupa

perairan kepulauan yang diciptakan oleh garis pangkal tersebut;25

20 Hashim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, 1995, Centre for Strategic and International

Studies, Jakarta, h. 7 21 Ibid. 22 Pasal 3 KHL 1982 23 Pasal 33 ayat (2) KHL 1982 24 Pasal 38 KHL 1982 25 Pasal 46 KHL 1982

Page 13: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

28

d) Diakuinya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagai konsep baru

yang belum pernah ada dalam KHL 1958 maupun KHL 1982 di mana

dalam konsep ini negara tidak memiliki kedaulatan di atas ZEE. Namun

negara memiliki hak berdaulat yang bertujuan untuk “exploring and

exploiting, conserving, and managing, the natural resources, whether

living or non-living, or the sea-bed and subsoil and the superjacent waters,

and with respect to other activities for the economic exploitation and

exploration of the zone, such as production of energy from the water,

currents and winds.”;26

e) Melebarnya hak berdaulat negara atas Landas Kontinennya hingga 200 mil

laut dan 350 mil laut.27

B. Zona Maritim sebelum dan setelah KHL 1958 dan KHL 1982

Perkembangan hukum laut internasional tidak dapat dilepaskan dari pada

sumber hukum kebiasaan internasional yang dipraktikkan oleh subyek hukum

internasional. Konsep dan prinsip yang berkembang di dalam hukum laut

internasional menciptakan apa yang kini kita sebut sebagai zona maritim yang

menciptakan alas hak, hak dan kewajiban, dan tanggung jawab yang berbeda di

tiap-tiap zona maritim hukum laut internasional. Oleh karena itu, penulis

berpendapat bahwa memperbandingkan dua sumber hukum positif hukum laut

internasional, yakni KHL 1958 dan KHL 1982 bertujuan sebagai sarana eksplanasi

penulis atas sifat dan karakteristik tiap-tiap zona maritim yang telah diatur di dalam

dua hukum positif tersebut. Meski berdasarkan Pasal 311 ayat (1) KHL 1982 telah

diamanatkan bahwa “This convention shall prevail, …, over the Geneva Convention

26 Pasal 55 KHL 1982 27 Pasal 76 KHL 1982

Page 14: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

29

on the Law of the Sea of 29 April 1958”, KHL 1982 masih menggunakan prinsip-

prinsip yang telah diadopsi oleh KHL 1958. Beberapa hal baru diperkenalkan di

dalam KHL 1982 dan beberapa konsep aturan yang terdapat di dalam KHL 1958

telah diperbaiki dan dilengkapi oleh KHL 1982.

a. Laut teritorial dan Zona Tambahan Negara Pantai dan Negara Kepulauan

a) Konsep dan Teori Laut Teritorial dan Zona Tambahan

Analisa terhadap hubungan yang diciptakan antara wilayah laut dengan negara

menghasilkan suatu pemahaman yang kiranya mengimplikasikan suatu

ketidakterpisahan antara daratan (garis pantai) dengan wilayah laut yang

menghubungkannya. Tetapi seorang bisa menyusun suatu argumentasi dengan

menyatakan bahwa hubungan dengan wilayah laut saja tidak dapat menciptakan

hak bagi negara pantai untuk menguasai dan meletakkan klaim laut teritorial di

atasnya. 28 Seperti yang kita pahami dalam diskursus mare liberum dan mare

clausum, hubungan yang tak terpisahkan antara laut dengan manusia tidak dapat

dipisahkan dengan suatu klaim atas hak milik yang menutup pemanfaatan wilayah

tersebut bagi pihak kedua yang, dengan niat baik, memanfaatkan dan menggunakan

sebagian wilayah laut untuk kepentingannya. Klaim atas hak teritorial yang

dimaknai secara negatif29 mengimplikasikan irasionalitas yang, menurut penulis,

28 Hal ini dapat kita pahami jika kita menggunakan pendekatan Grotian yang menunjukkan suatu

bagian bumi yang tidak dapat dimiliki oleh satu pihak karena karakter kebermanfaatannya yang

dinikmati oleh umat manusia secara umum. 29 Shaw menjelaskan bahwa kedaulatan teritorial memiliki 2 (dua) aspek, yaitu aspek positif dan

aspek negatif di mana yang pertama memberikan hak eksklusif bagi negara untuk mengurus

wilayahnya sendiri dan yang kedua menekankan kewajibannya untuk melindungi kedaulatan

teritorial negara lain. Malcom N. Shaw, International Law, (edisi kelima), Cambridge University

Press, Cambridge, 2003, h. 412. Schwarzenberger sendiri memberikan tambahan penjelasan bahwa

kedaulatan dan jurisdiksi teritorial memiliki hubungan yang komplementer. Tambahnya, memahami

kedaulatan teritorial secara negatif mengindikasikan eksklusifitas yang hanya dimiliki oleh negara

tersebut. Sementara dalam aspek positifnya, Schwarzenberger mengatakan: “It serves to divide

between nations the space upon which human activites are employed, in order to assure them at all

points the mninimum of protection of which international law is the guardian.”

Page 15: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

30

mengeliminasi hak pihak kedua untuk turut serta memanfaatkan laut sebagai bagian

dari kehidupannya. Hal tersebut dapat diperhatikan dari argumen Welwood yang

mempertahankan kemampuan Kerajaan Inggris untuk menguasai dan meletakkan

klaim laut teritorial atas wilayah laut yang mengelilingi pulau-pulaunya demi

melindungi hak melaut bagi nelayan Inggris yang menggantungkan hidupnya dari

lautnya yang terikat secara historis dan batiniah.30 Namun kritik terhadap eksistensi

laut teritorial kemudian dapat diperhatikan dengan menyatakan bahwa apakah yang

kemudian membedakan antara kemampuan negara untuk mendapatkan suatu

wilayah teritorial di daratan dengan lautan? Bukankah diskursus klasik yang

menghantarkan hukum laut internasional mengindikasikan beberapa poin penting

yang, meskipun mengurangi intervensi negara terhadap pemanfaatan wilayah laut,

lebih humanis ketika norma dan doktrin hukum laut disusun? Bagaimana kemudian

hukum internasional menyintesiskan dilema laut teritorial? Untuk menjawab hal

tersebut, terlebih dahulu mari kita kaji lebih dalam mengenai doktrin dan

yurisprudensi hukum internasional terhadap eksistensi wilayah teritorial.

Periode dekolonialisasi pada awal abad ke-19 dibarengi dengan lahirnya

negara-negara baru yang memerdekakan dirinya dari pemerintah kolonial31 dan

pada saat yang bersamaan hal tersebut juga turut dibarengi dengan

berkembangannya teoritisasi dan konseptualisasi doktrin kedaulatan secara masif.

Pada analisasi hobbesian, kita memahami hubungan antar negara dijalankan secara

anarkis dan hal tersebut dibarengi dengan persaingan antar negara untuk bertahan

30 Hugo Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds

h. 152 31 Shaw, op.cit, h. 178

Page 16: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

31

hidup dari ancaman yang datang dari negara lain32. Doktrin kedaulatan negara

berkembang sebagai konsekuensi politik dan legalistik pasca perang tiga puluh

tahun yang dipositifkan melalui perjanjian Westphalia yang memposisikan negara

sebagai postulat politik tertinggi. Hal yang turut terjadi di saat yang sama adalah

pada prospek sekularisme yang juga turut melanda perancis pada abad ke-17 ketika

revolusi Perancis menghantarkan gelombang republikanisme di Eropa. Posisi

negara sebagai pemegang kedaulatan menciptakan posisi negara sebagai pemegang

kedaulatan yang dalam hal ini meniadakan sovereign lain yang memposisikan diri

di atas pemegang kedaulatan negara.

Dalam aspek hukum konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Hak dan

Kewajiban Negara memberikan 4 (empat) unsur determinan yang, menurut penulis,

menguatkan peran negara sebagai subjek hukum internasional—apabila hal

tersebut dimengerti secara ortodoks. Keempat unsur tersebut adalah:

a) A permanent Population;

b) A defined territory;

c) Government; and

d) Capacity to enter into relations with other states.33

32 Pandangan ini tercipta oleh karena perdebatan teoritis untuk memisahkan struktur teori

positivisme dan konstruktivisme dalam kajian politik internasional di mana dalam tahap ini, unsur

gemeinschaft (dalam pendekatan sejarah) dan geselschaft (dalam pendekatan fungsional) sebagai

dasar rasional hubungan antar subjek internasional menciptakan sebuah pola karakter hubungan

internasional. Karakter natural law yang mendeskripsikan nation-state pada era abad pertengahan,

diajukan kembali sebagai sebuah raison de systeme oleh Bull dengan menggunakan term

“Neomedievalism” di mana karakter negara-bangsa menciptakan sebuah bentuk hierarki identitas

yang berkorespondensi dengan situasi sosiologis masyarakat. Sebagai kajian lebih lanjut, lihat Barry

Buzan, International System to International Society: Structural Realism and Regime Theory Meet

the English School, International Organization, Vol. 47, No. 3, 1993, h. 335-336. 33 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, (edisi ketujuh),

Routledge, New York, 1997, h. 75

Page 17: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

32

Opini dari The Arbitration Commission of the European Conference on Yugoslavia

memberikan pernyataan yang turut membantu memahami definisi negara dengan

menyatakan bahwa, “the state is commonly definend as a community which consist

of a territory and a population subject to an organised political authority … such a

state is characterised by sovereignty.” 34 Vattel, di dalam magnum opus-nya,

Introduction to the Law of Nations, menyebutkan bahwa, “A nation or a state is, …,

a body politic, or a society of men united together for the purpose of promoting

their mutual safety and advantage by their combined strength.”35 Namun hal yang

menarik dari unsur-unsur yang terdapat di dalam Konvensi Montevideo adalah

tidak adanya unsur kedaulatan yang tertuang secara implisit maupun eksplisit. Kita

memahami bahwa dalam hal ini adanya penduduk yang tetap, wilayah yang

definitif, adanya pemerintah, dan kemampuannya untuk berhubungan dengan

negara lain adalah unsur fundamental berdirinya suatu negara. Lalu di mana posisi

kedaulatan sebagai unsur fundamental sebuah negara? Bukankah dengan hal ini,

kedaulatan hanyalah unsur politis yang menentukan kemampuan negara-negara

hegemon untuk mempengaruhi negara yang lebih lemah?

Adalah suatu hubungan yang tak terpisahkan antara wilayah teritori dengan

kedaulatan. Sebagaimana Shaw menjelaskan terlebih dahulu bahwa kedaulatan

utamanya berada di tangan pemerintah negara tersebut, kedaulatan pemerintah

untuk menjalankan kekuasaannya harus dilaksanakan di atas suatu wilayah

teritorial. Shaw, dengan mengutip Oppenheimer, mengatakan bahwa, “Without

territory a legal person cannot be a state.”36 Hubungan antara wilayah teritorial

34 Shaw, op.cit, h. 178 35 Emer de Vattel, The law of nations, Liberty Fund Inc., Indiana, 2008, h. 81 36 Shaw, op.cit, h. 409

Page 18: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

33

dengan kedaulatan dikonseptualisasikan oleh Glahn dengan menyatakan bahwa, “A

state has an unquestioned right to exercise sovereign authority throughtout the

extent of its territory.”37 Tidak hanya kedaulatan, yurisdiksi juga merupakan unsur

fundamental yang muncul sebagai konsekuensi negara yang memegang kedaulatan

tertinggi. Yurisdiksi yang dimiliki oleh negara merupakan aspek vital yang dimiliki

oleh negara. Shaw memberikan penjelasannya tentang yurisdiksi sebagai berikut:

“Jurisdiction concerns the power of the state under international

law to regulate or otherwise impact upon people, property and

circumstances and reflects the basic principles of state

sovereignty, equality of states and non-interference in domestic

affairs.”38

Namun terhadap usaha untuk mendefinisikan jurisdiksi, Malanczuk mengatakan

bahwa, “’Jurisdiction’ is a word which must be used with extreme caution.”39 Saat

kemudian kita menggunakan kata ‘yurisdiksi’, penggunaan kata tersebut harus

diperhadapkan secara bersama-sama dengan konsep teritori. Hal tersebut tidak

dapat dipisahkan satu sama lain namun keberadaannya sangatlah berbeda satu sama

lain.

Kini kita dapati definisi-definisi sarjana hukum internasional yang telah

meletakkan batu fondasi untuk memahami konteks teritorial. Namun definisi

tersebut tidak akan menjelaskan apa-apa tanpa kemudian kita memahami

rasionalisasi dibalik hal itu. Kita membutuhkan rasionalisasi yang tepat untuk

membangun kerangka teori dan konsep wilayah teritorial. Meski definisi-definisi

telah disajikan oleh penulis, bagaimana kita dapat memahami konteks yang

jurisdiksi, wilayah teritorial, dan kedaulatan. Penulis berargumen bahwa

37 Gerhard von Glahn, Law Among Nations: An Introduction to public International Law, (edisi

keempat), Macmillan Publishing Co., Inc., New York, h. 315 38 Shaw, op.cit, h. 572 39 Malanczuk, op.cit, h. 109

Page 19: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

34

kedaulatanlah yang menciptakan hak teritorial dan hal tersebut harus dipahami

bersama-sama dengan yurisdiksi yang dikuasai oleh negara dan bukan sebaliknya.

Kedaulatan merupakan suatu konsep yang ambigu dimana penggunaan konsep

tersebut sangat bergantung kepada ‘apa yang sedang dibicarakan’. Starke

menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa, “Kedaulatan lebih merupakan suatu

istilah sastra daripada suatu pengertian hukum yang dapat didefinisikan secara

tepat.”40 Schwarzenberger menjelaskan bahwa kedaulatan memiliki dua kutub yang

saling berseberangan satu sama lain, yaitu kedaulatan dalam aspek internal dan

kedaulatan politik. Kedaulatan dalam aspek internal berkonsentrasi pada aktor yang

memegang otoritas tertinggi di dalam negara. Namun dalam terminologi kedaulatan

politik, Schwarzenberger menelaskan bahwa kedaulatan politik adalah ‘potent

reality’ di mana ketiadaan international order yang efektif dan lemahnya

suprastruktur internasionial menciptakan suatu sistem masyarakat internasional

yang tidak terorganisir.41 Vattel sendiri memberikan pengertian yang menyetarakan

kedudukan otoritas politik tertinggi di suatu negara dengan pemegang kedaulatan

atau ia yang dimana kedaulatan tersebut diletakkan padanya.42 Unsur esensial lain

dijelaskan oleh majelis hakim palmas case yang menjelaskan esensi kemerdekaan

sebagai unsur determinan yang menciptakan karakter subjek hukum suatu negara.

Dikatakan bahwa, “Sovereignty in the relations between States signifies

independence. Independence in regard to a portion of the globe is the right to

exercise therein, to the exclusion of any other State, the functions of a State.”43

40 J.G Starke, Pengantar hukum internasional 1, terjemahan, (edisi kesepuluh), Sinar Grafika,

Jakarta, h. 132-133 41 Georg Schwarzenberger, International Law, Edisi ketiga, Stevens & Sons Limited, London, 1957

h. 114 42 Vattel, op.cit, h. 81 43 Island of Palmas case (1928), II R.I.A.A 829, p. 839.

Page 20: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

35

Oleh karenanya, menurut penulis, Majelis hakim palmas case memberikan dua

unsur penting, yaitu 1) kedaulatan adalah hak eksklusif di mana ketika negara yang

berdaulat menjalin hubungan dengan negara lain, kedaulatan tersebut menciptakan

kemerdekaan yang memisahkannya dengan negara lain; 2) kemerdekaan yang

diakibatkan karena kedaulatan memberikan konsekuensi berupa dikuasainya suatu

bagian bumi untuk dipisahkan dengan negara lain yang mana karena dipisahkannya

bagian bumi tersebut, fungsi negara dapat dijalankan. Meskipun begitu, Malanczuk

memberikan kritikan yang menarik terhadap penggunaan terma kedaulatan. Beliau

mengatakan, “It would be far better if the word ‘sovereignty’ were replaced by the

word ‘independence’.” 44 Malanczuk sendiri memberikan alasan mengapa

penggunaan terma kedaulatan sebaiknya diganti sebagai berikut:

“In so far as ‘sovereignty’ means anything in addition to

‘independence’, it is not a legal term with any fixed meaning, but

a wholly emotive term. Everyone knows that states are powerful,

but the emphasis on sovereignty exaggerates their power and

encourages them to abuse it; above all, it preserves the

superstition that there is something in international cooperation

as such which comes near to violating the intrinsic nature of a

‘sovereign’ state.45

Sebagai sebuah terma yang menjelaskan suatu otoritas politik tertingi di dalam

negara dan sebagaimana hal tersebut memberikan hak yang eksklusif terhadap

negara untuk mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari negara lain,

maka dikuasainya suatu bagian tertentu di muka bumi merupakan konsekuensi logis

terhadap terciptanya kedaulatan. Hubungan antara kedaulatan dengan suatu bagian

tertentu di muka bumi disebut sebagai “Kedaulatan Teritorial.”

Untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional,

negara harus memiliki suatu wilayah tertentu di mana ia melaksanakan

44 Malanzcuk, op.cit, h. 17 45 Ibid. h. 17-18

Page 21: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

36

jurisdiksinya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Shaw, wilayah teritori barangkali

merupakan konsep fundamental yang ada di dalam hukum internasional.46 Di dalam

wilayah teritorialnya, negara menjalankan yurisdiksinya di atas suatu wilayah

teritorial yang terbatas seperti yang telah dijelaskan oleh majelis hakim North

Atlantic Coast Fisheries (1910), “One of the essential elements of sovereignty is

that it is to be exercised within the territorial limits, and that, failing proof to the

contrarty, the territory is counterminous with the sovereignty.”47

Laut teritorial berkembang sebagai suatu doktrin hukum laut internasional

ditengah argumen mare liberum yang memposisikan ketidakmungkinan laut untuk

dimiliki dan dikuasai oleh negara. Anand menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi

karena negara harus memiliki ‘exclusive jurisdiction and control in a part of the

sea adjacent to its coastline for the protection of its security and interest’.48 Jessup,

di dalam Anand, juga menekankan hal ini dengan menekankan terciptanya suatu

prinsip yang berbeda terhadap suatu wilayah laut di garis pantai dengan

mengatakan:

“…the new principle of freedom, when it approached the shore,

met with another principle, the principle of protection, not a

residuum of the old claim, but a new independent basis and

reason for modification, near the shore, of the principle of

freedom. The sovereign of the land washed by the sea asserted a

new right to protect his subjects and citizens against attack,

against invasion, against interference and injury, to protect them

against attack threatening their peace, to protect their revenues,

to protect their health, to protect their industries. This is the basis

and the sole basis on which is established the territorial zone that

is recognized in the international law of today.”49

46 Shaw, op.cit, h. 409-410 47 North Atlantic Coast Fisheries Case (1910) XI R.I.A.A 167, p. 180 48 R.P. Anand, Origin and the Development of the Law of the Sea: History of International Law

Revisited, Martinus Nijhoff, Den Hague, 1982, h. 137 49 Ibid.

Page 22: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

37

Untuk menambah penjelasan yang dapat menerangkan kerangka teoritis laut

teritorial, John Colombos menerangkan tiga alasan negara memiliki laut teritorial:

i. The security of the state demands that it should have exclusice

possession of its shores and that it sould be able to protect its

approaches;

ii. For the purpose of furthering is commercial, fiscal and political interest,

a state must be able to supervise all ships entering, leaving or anchoring

in its territorial waters;

iii. The exclusive exploitation and enjoyment of the product of the sea

within a state’s territorial waters is necessary for the existence and

welfare of the people on its coast50.

Prinsip ini, meski tidak terdapat di dalam mare liberum, dijelaskan di dalam

karyanya yang lain yang berjudul De jure belli ac pacis di mana Grotius mengakui

bahwa kedaulatan di atas laut

‘acquired in the same way as sovereignty elsewhere, that is,

...through the instrumentality of persons and of territory. It is

gained through the instrumentality of persons if, for example, a

fleet … is stationed at some point of the sea; by means of a

territory, in so far as those who sail over the part of the sea along

the coast may be constrained from the land no less than if they

should be upon the land itself.’51

Sebagai perwujudan principle of protection dan terdapatnya kemampuan

negara untuk menguasai wilayah laut, Bynkershoek menyusun suatu tesis yang

kemudian berevolusi di dalam praktik negara-negara secara umum pada abad ke-

18 yang dituangkan di dalam De dominio maris dissertatio. 52 Bynkershoek

menyusun suatu tesis bahwa lebar laut teritorial dapat diukur dari garis yang ditarik

50 John Colombos, op.cit, h. 87 51 Anand, op.cit, h. 138 52 I Wayan Parthiana, op.cit, h. 9

Page 23: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

38

pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti atah atau lekukan pantai

tersebut. Garis inilah yang kemudian disebut sebagai garis pangkal biasa (normal

base-line). Sedangkan mengenai lebar laut teritorial tersebut, Bynkershoek

berpendapat bahwa jarak tersebut diukur dari jarak tembak sebuah meriam yang

ditembakkan dari garis pantai.53 Titik jatuhnya peluru dari meriam itulah yang

menentukan batas luar dari lebar laut teritorial negara pantai yang bersangkutan,

yaitu sepanjang 3 (tiga) mil laut atau 1 marine league. 54 Secara sederhana,

Bynkershoek merumuskan hal tersebut dengan menyatakan, “the dominion of the

lands ends where the power of the arms ends,” 55 bahwa dengan demikian

kemampuan untuk meletakkan hak laut teritorial berakhir ketika proyeksi kekuatan

yang berasal dari daratan tersebut berakhir. Fulton dalam kesempatan yang berbeda

memiliki pendapat yang sama terkait hubungan antara daratan dengan lautan bahwa

laut harus ‘menghormati’ daratan. 56 Hal ini dapat dilihat dari praktik yang

dilakukan oleh pemerintah Inggris yang menuntut setiap kapal yang melintasi

perairannya untuk menurunkan benderannya dihadapan bendera Inggris.57

Oleh karenanya, apabila laut mengenakan status sebagai bagian dari wilayah

teritorial, dan apabila statusnya tidak dibedakan dengan daratan, maka jurisdiksi

yang berada di tangan pemerintah berdaulat yang dilaksanakan di daratan juga

berlaku pada wilayah teritorial suatu negara di atas wilayah lautnya58. Kedaulatan

jurisdiksi yang dimiliki oleh negara, oleh karenanya, merupakan hak absolut yang

53 Ibid 54 Colombos, op.cit, h. 92 55 Anand, op.cit, h. 138 56 Ibid, h.109 57 Anand mencatat hal ini dengan menjelaskan bahwa kebiasaan yang dilaksanakan oleh Inggris ini

disebut sebagai prinsip “The Honour of the Flag.” Ibid, h. 108 58 Schwarzenberger sendiri berada pada posisi ini dengan menyatakan bahwa, “In principle, no

difference exist between the rights whih a State exercises over is land territory and the rights which

it possesses wihin its maritime territory. Schwarzenberger, h. 317.

Page 24: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

39

dimiliki olehnya dan tidak dapat diintervensi oleh negara lain—apabila intervensi

tersebut dimaksudkan sebagai suatu perbuatan dengan dalih niat buruk yang dapat

merugikan negara pemilik laut teritorial tersebut. Colombos mengutip satu kritik

yang menarik tentang alasan mengapa negara dapat meletakkan suatu wilayah laut

teritorial. Pradelle menyebut bahwa negara pantai bukanlah pemilik (ownership)

maupun sovereign yang berdaulat di atas laut teritorialnya. Pradelle menjelaskan

bahwa laut hanyalah “a bundle of servitudes” bagi negara tersebut.59 Sehingga

dalam hal ini kita dapat mengimplikasikan bahwa laut ‘menghamba’ pada daratan;

bahwa dalam hubungan tersebut, daratan—metafora atas negara—berada pada

posisi yang mendapatkan manfaat atau keuntungan dari pada ‘hambanya’ tersebut.

Secara prinsip, jurisdiksi yang dimiliki oleh negara hanya berlaku pada wilayah

teritori di mana ia berada, 60 meski tidak menutup kemampuan negara untuk

meletakkan jurisdiksinya di luar wilayah teritorialnya seperti kapal61 dan pesawat62

asal benderanya yang melintasi suatu wilayah teritorial negara lain maupun laut

bebas dengan niat baik, atau individu yang berada di suatu wilayah teritorial negara

lain yang dilindungi kekebalan hukum karena ia merupakan perwakilan negara di

negara sahabat maupun negara lain. Di dalam Lotus Case, Hakim Max Huber

menjelaskan bahwa hukum internasional tidak melarang negara untuk “exercising

jurisdiction in its own territory.”63 Hal ini akan menjadi isu lain apabila hukum

internasional mengatur larangan bagi negara untuk “extend the application of their

59 Colombos, op.cit, h. 89 60 Shaw, op.cit, h. 574 61 Colombos, op.cit, h. 285 62 Hal ini mengacu pada pasal 17 The Chigago Convention on International Civil Aviation yang

menyebutkan bahwa, “Aircraft have the nationality of the state in which they are registered,

although the condition for registration are a matter of domestic law.” Ibid, h. 466 63 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), p. 19

Page 25: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

40

laws and the jurisdiction of their courts to person, property and acts ‘outside their

territory, and if , as an exception to this general prohibition. 64 Namun hingga saat

ini, sepanjang pengetahuan penulis, hukum internasional tidak melarang negara

untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan

hak dan kewajibannya.

Selain menjadi dasar dari diciptakannya teori laut teritorial, principle of

protection juga menjadi dasar dari diciptakannya konsep zona tambahan atau

contiguous zone (secara berturut-turut akan disebut sebagai zona tambahan). Zona

ini lahir sebagai bagian dari penerapan principle of protection yang dimiliki oleh

negara pantai untuk melindungi wilayah teritorial dari perbuatan-perbuatan yang

dapat mengancam laut teritorialnya. Sebagai suatu konsep, Anand menjelaskan

bahwa alasan mengapa negara pantai membutuhkan adanya zona tambahan adalah

untuk memiliki “some autorithy in the area beyond a comparatively narrow

maritime belt for the special interest, and for the infringement of their customs,

fiscal, and sanitary regulations within their territorial sea.” 65 The Harvard

Research Committee menjelaskan alasan lain mengapa zona tambahan diperlukan

bagi negara pantai adalah bahwa, “that the contiguous zone, as distinct from the

marginal sea, constituted the best solution for the problem of adjacent waters and

the need to keep the territorial sea as narrow as possible.”66 Varghese menjelaskan

bahwa di zona tambahan negara tidak memiliki kedaulatan secara penuh, namun

64 Ibid. 65 Anand, op.cit, h. 141 66 Ibid. h. 143

Page 26: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

41

negara memiliki kewenangan untuk menjalankan pengawasan dan melindungi

dirinya dari perbuatan yang mengancam laut teritorialnya. 67

b) Laut teritorial dan Zona Tambahan dalam perbandingan KHL 1958 dan KHL

1982

Perbedaan mendasar yang menjadi unsur pembeda antara KHL 1958 dan KHL

1982 adalah bagaimana KHL 1982 telah mencapai kesepakatan berapa lebar laut

teritorial yang dapat dimiliki oleh negara pantai. Hal yang mana tidak dapat dicapai

ketika KHL 1958 diselenggarakan di Jenewa. Meskipun KHL 1958 tidak dapat

mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial yang dapat dimiliki oleh

negara pantai,68 beberapa pasal di dalam Konvensi Hukum Laut Teritorial dan Zona

Tambahan KHL 1958 justru tetap dilanjutkan tanpa merubah esensi konseptual dan

teoritis dari tiap konsep yang dimasukkan ke dalam KHL 1982. Hal tersebut dapat

diperhatikan di dalam tabel berikut:

KHL 1958 KHL 1982

Pasal 1 ayat (1)

“The sovereignity of a state extends,

beyond its land territory and its internal

waters, to a belt of sea adjacent to its

coast, described as territorial sea.”

Pasal 2 ayat (1)

“The sovereignty of a coastal State

extends, beyond its land territory and

internal waters and, in the case of an

archipelagic State, its archipelagic

waters, to an adjacent belt of sea,

described as the territorial sea.”

Berdasarkan pasal tersebut, negara/negara pantai memiliki kedaulatan di atas

wilayah daratan dan perairan pedalamannya. Namun kedua pasal tersebut

menjelaskan dengan eksplisit bahwa negara memiliki kedaulatan di atas laut yang

67 Rose Varghese, Territorial Sea and Contiguous Zone—Concept and Development, Cochin

University Laws Review Vol. IX, 1985, h. 456 68 Knight, op.cit, h. 158

Page 27: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

42

berseberangan wilayah pesisirnya yang ditutup oleh suatu garis imajiner.69 Suatu

zona perairan yang mana telah disebutkan oleh pasal tersebut disebut sebagai laut

teritorial. Selain itu, perubahan fundamental dalam pengaturan laut teritorial pada

KHL 1982 dan KHL 1958 adalah dimasukkannya konsep ‘archipelagic state’ dan

’archipelagic waters’ sebagai sebuah konsep yang diperjuangkan oleh negara-

negara kepulauan seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina ketika konvensi hukum

laut ketiga dijalankan di jenewa. Adapun Pasal 46 huruf (a) KHL 1982 mengatur

bahwa negara kepulauan adalah “A state constituted wholly by one or more

archipelagos and many other island.” Hal ini berimplikasi pada hak negara

kepulauan untuk turut menikmati dan memanfaatkan haknya atas laut teritoral, zona

tambahan, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif di atas wilayah

archipelagic water-nya.

Sebagai konsekuensi atas kedaulatan negara atas suatu wilayah laut yang

berseberangan dengan pesisirnya, hukum laut internasional mengatur bahwa negara

dapat meletakkan suatu garis imajiner di atas laut sebagai penanda batas kompetensi

yuridis negara pantai atas suatu wilayah laut. Terkait hal ini, KHL 1958 dan KHL

1982 mengatur bahwa:

KHL 1958 KHL 1982

Pasal 3

“Except where otherwise provided in

these articles, the normal baseline for

measuring the breadth of the

territorial sea is the low-water line

along the coast as marked on large-

scale charts officially recognized by the

coastal state.”

Pasal 5

“Except where otherwise provided in

this Convention, the normal baseline

for measuring the breadth of the

territorial sea is the low-water line

along the coast as marked on large-

scale charts officially recognized by the

coastal State.”

69 Parthiana, op.cit, h. 72

Page 28: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

43

Pasal 4 ayat (1)

“In localities where the coastline is

deeply indented and cut into, or if

there is a fringe of islands along the

coast in its immediate civiniy, the

method of straight baselines joining

appropriate points may be employed

in drawing the baseline from which the

breadth of the territorial sea is

measured.”

Pasal 7 ayat (1)

“In localities where the coastline is

deeply indented and cut into, or if

there is a fringe of islands along the

coast in its immediate vicinity, the

method of straight baselines joining

appropriate points may be employed

in drawing the baseline from which the

breadth of the territorial sea is

measured.”

KHL 1982 dan KHL 1958 sama-sama menggunakan dua metode penarikan

garis pangkal laut teritorial yang dikembangkan dalam praktik internasional negara-

negara pantai. Dua metode tersebut adalah garis pangkal normal dan garis pangkal

lurus.

Garis pangkal normal berkembang sebagai perbaikan atas kelemahan prinsip

cannon shot rule yang diusulkan oleh Bynkershoek. Prinsip cannon shot rule

memiliki beberapa unsur penting yang menjadi dasar mengapa negara memiliki hak

atas suatu zona maritim yang bersebelahan dengan pesisirnya: a) negara berhak

melindungi diri dari ancaman pihak lain atas national integrity-nya, b)

diletakkannya meriam di atas sebuah benteng yang dibangun di pesisir pantai

menunjukkan bahwa negara pantai dapat memaksakan setiap orang asing yang

berada di dalam jangkauannya untuk patuh terhadap hukum yang berlaku di negara

pantai tersebut, c) negara pantai berhak untuk menindak perbuatan kriminal

maupun keperdataan atas setiap perbuataan yang terjadi dalam jangkauan laut

teritorialnya, dan d) garis pangkal penarikan wilayah laut teritorial dihitung dari

batas air surut pesisir pantainya. Menurut penulis sendiri, keberadaan meriam

sebagai penanda kedaulatan negara pantai merupakan metafora atas kemampuan

Page 29: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

44

negara untuk melaksanakan kedaulatan dan yurisdiksinya di atas laut teritorialnya.

Karena apabila kemampuan negara untuk melaksanakan kewenangannya di atas

laut teritorial harus direpresentasikan oleh keberadaan meriam ataupun setiap

instrumen mekanis agar kewenangan tersebut terwujudkan, secara pragmatis hal

tersebut sangat tidak praktis dan tidak realistis. Hal ini diimplikasikan dari kritik

yang dihadirkan oleh sejumlah yuris bahwa keberadaan sebuah meriam maupun

instrumen membutuhkan posisi yang strategis dan apabila penempatan meriam

adalah representasi dari kedaulatan negara pantai, maka hak negara pantai atas laut

teritorial hanya dapat terjadi apabila pada suatu bagian daratan dari pesisir pantai

negara tersebut terdapat meriam. Hal lain yang menyebabkan prinsip ini menjadi

lemah adalah apabila prinsip ini dilaksakan secara literal, maka apabila meriam

yang dimilikinya dapat menembakkan proyektil lebih dari 3 mil laut, lebar wilayah

laut teritorial yang dapat diklaim oleh negara pantai adalah mengikuti seberapa jauh

meriamnya dapat menembakkan proyektilnya. 70 Oleh karenanya prinsip ini

menutup fakta bahwa perkembangan zaman dan teknologi mengakibatkan meriam

dapat menembakkan proyektil lebih jauh dari 3 mil laut. Contoh dari pada hal

tersebut adalah pada kemampuan negara-negara skandinavia yang dapat

meletakkan klaim laut teritorial selebar 4 hingga 6 mil laut yang diakibatkan dari

kemampuan meriam yang ia miliki dapat menembakkan proyektil lebih jauh dari 3

mil laut.71 Namun berjalannya waktu, prinsip cannon shot rule bertransformasi

dalam ruang dan waktu di mana ia tidak lagi diterapkan secara literal. Pada abad 18

hingga 19, Inggris mengeluarkan beberapa undang-undang yang menetapkan hal

ini secara positif hingga pada tahun 1878 Inggris mengesahkan The Territorial

70 Anand, op.cit, h. 138 71 Kusumaatmadja, op.cit, h. 31

Page 30: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

45

Water Jurisdiction Act yang menyatakan bahwa ‘territorial sea of Her Majesty’s

Dominion’ yang dimiliki oleh Kerajaan Inggris adalah sejauh 1 league atau 3 mil

laut.72 Selain dari pada kebiasaan yang dilakukan oleh Inggris, Amerika juga turut

mengadopsi prinsip tersebut dalam praktinya dengan mengadopsi prinsip 3 mil laut

sebagai batas klaim wilayah laut teritorialnya seperti yang diungkapkan oleh

Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat pada tahun 1862, Mr. Steward, sebagai

berikut: “this government dheres to, recogniss and insists upon the principle that

the maritime jurisdiction of any nation covers a full marine league from its coast.”73

Prinsip cannon shot rule juga turut mengembangkan metode penarikan garis normal

karena selain menetapkan lebar laut teritorial, prinsip ini juga menetapkan adanya

suatu garis imajiner yang diposisikan ketika air surut. Metode ini bertransformasi

sebagai suatu hukum kebiasaan yang dipatuhi secara tidak langsung oleh negara

pantai pada kurun waktu abad 19 sampai abad pertengahan abad 20.

Selain metode garis pangkal normal, KHL 1982 dan KHL 1958 juga mengenal

metode garis pangkal lurus sebagai salah satu metode penarikan garis pangkal lebar

laut teritorial. Namun berbeda dengan metode garis pangkal normal, metode garis

pangkal lurus merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Norwegia sebagai solusi

atas ketidakmungkinan menarik garis pangkalnya dari bibir pantainya. Norwegia

mengeluarkan firman raja (royal decree) tertanggal 12 Juli 1935 yang berisi

mengenai delimitasi wilayah laut teritorialnya dan suatu zona khusus perikanan

Norwegia selebar 4 mil laut dengan cara menarik garis lurus pada titik-titik terluar

dari apa yang disebut sebagai ‘skjaergaard’, yaitu suatu fitur bebatuan, pulau-pulau

72 Colombos, op.cit, h. 94 73 Ibid, h. 96

Page 31: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

46

kecil, batu karang, dan karang yang berjejer dari bibir pantainya.74 Penggunaan

metode garis pangkal lurus oleh Norwegia bisoa disebut menantang kebiasaan yang

telah lama dipraktekkan oleh negara pantai bahwa penarikan garis pangkal

seharusnya menggunakan metode normal dan hal ini mengakibatkan Inggris

melayangkan gugatan terhadap Norwegia pada tanggal 28 September 1949 di

Pengadilan Internasional. Pemerintah Inggris menghendaki mahkamah agar

“to declare the principles of international law to be applied in

defining baselines, by refenrence to which the Norwegian

Government is entitled to delimit a fisheries zone, extending to

seaward 4 sea miles from those lines and exclusively reserved for

its own nationals, and to define the said baselines in so far as it

appears necessary, in the light of the arguments of the parties, in

order to avoid further legal differences between them.”75

Dalam putusannya sendiri, mahkamah memutuskan bahwa penggunaan garis

pangkal lurus yang digunakan oleh Norwegia tidak melanggar prinsip-prinsip

umum hukum internasional mengenai bagaimana seharusnya negara menarik garis

pangkalnya. Norwegia sendiri tidak menampik bahwa terdapat aturan hukum

internasional yang mengatur delimitasi zona perikanannya 76 yang di mana

mahkamah berpendapat bahwa zona perikanan ini menciptakan zona laut

teritorial. 77 Namun, akibat kondisi geografis Norwegia yang tidak

memungkinkannya untuk menggunakan garis pangkal normal, maka metode ini

pun diterapkan dan dipositifkan oleh pemerintahan Norwegia sebagai sebuah

hukum positif. Dalam memutus sengketa ini, Mahkamah berpendapat bahwa, demi

kepentingan penarikan garis pangkalnya, batas air surut yang dijadikan sebagai

peletakan titik-titik yang menghubungkan garis pangkal adalah sebuah praktik yang

74 Kusumaatmadja, op.cit, h. 98 dan Fisheries case, judgment of December 18th, I95I:

I.C. J. Reports 1951, p. 116, h. 125 75 Ibid, h. 118 76 Ibid, h. 126 77 Ibid, h. 125

Page 32: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

47

digunakan oleh negara pantai78 dan kondisi geografis Norwegia dengan keberadaan

‘skjaergaard’ menyulitkan Norwegia untuk menerapkan metode garis pangkal

normal.79

Selain dari pada dua metode penarikan garis pangkal laut teritorial tersebut,

KHL 1982 memperkenalkan metode lain sebagai solusi atas diterimanya konsep

negara kepulauan oleh KHL 1982, yaitu konsep penarikan garis pangkal kepulauan

atau archipelagic baseline. Selain dari pada yang diatur di dalam KHL 1982, negara

kepulauan, selayaknya negara pantai, memiliki kemampuan yang sama untuk

menggunakan garis pangkal normal dan garis pangkal lurus untuk menarik garis

pangkal lebar laut teritorialnya. Khusus mengenai pengaturan tentang negara

kepulauan, Pasal 47 ayat (1), 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 121 ayat (1) dan (3),

lalu Pasal 5 dan Pasal 7 KHL 1982 mengatur bahwa negara kepulauan, pertama-

tama, dapat menggunakan metode normal baseline dan straight baseline. Pasal 47

ayat (1) KHL 1982 sendiri menyatakan bahwa:

“An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines

joining the outermost points of the outermost islands and drying

reefs of the archipelago provided that within such baselines are

included the main islands and an area in which the ratio of the

area of the water to the area of the land, including atolls, is

between 1 to 1 and 9 to 1.”

Lalu Pasal 47 ayat (2) KHL 1982 menyatakan:

“The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles,

except that up to 3 per cent of the total number of baselines

enclosing any archipelago may exceed that length, up to a

maximum length of 125 nautical miles.”

Perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat (1) bawa negara kepulauan dapat

menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari

pulau-pulau terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat

78 Ibid, h. 128 79 Ibid, h. 133

Page 33: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

48

perbandingan antara wilayah laut dan wilayah darat, atol adalah 1:1 sampai 1:9.

Dilanjutkan kemudian dalam Pasal 47 ayat (2), panjang dari garis pangkal tersebut

tidak boleh melebihi 100 mil laut terkecuali 3% dari dari jumlah keseluruhan garis-

garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hinga suatu kepanjangan maksimum 125

mil laut.80 Mengenai hak negara pantai atas akses laut, Pasal 47 ayat (5) menyatakan

bahwa penggunaan metode garis pangkal kepulauan tidak boleh diterapkan apabila

hal tersebut dapat memotong hak negara pantai atas akses ke laut teritorial, zona

ekonomi eksklusif, dan laut lepasnya. Lalu dalam Pasal 47 ayat (5), negara

kepulauan tidak dapat meletakkan titik garis pangkal di atas elevasi surut apabila di

atas elevasi surut tersebut tidak terdapat mercusuar atau instalasi sejenis yang secara

permanen berada di atas permukaan laut dan seluruh atau sebagian berada di dalam

wilayah laut teritorial dari pulau terdekat.

Seperti yang telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya, konsep negara

kepulauan merupakan sebuah konsep baru yang tidak ditemukan di dalam KHL

1958. Hashim Djalal menyebutkan bahwa ada hal-hal tertentu yang menyebabkan

mengapa konsep negara kepulauan sulit untuk diterima sebagai sebuah prinsip

hukum internasional. Hal ini dipertanyakan oleh Komite Persiapan Konvensi Den

Haag tahun 1930 dalam kuesioner yang disebar dalam konvesi tersebut, yaitu “How

near must island be to one another to cause the whole grop to possess a single belt

of territorial water.” Negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Afrika Selatan

mengambil posisi yang mengafirmasi prinsip hukum saat itu dengan menyatakan

bahwa pulau memiliki zona maritim untuk dirinya sendiri. Sebuah proposal bahwa

pulau-pulau dalam negara kepulauan dapat dihubungkan dalam satu garis lurus

80 Sodik, op.cit, 44

Page 34: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

49

belum dapat diterima karena ‘irasionalitas’ dalam proposal tersebut. Hal ini

disebabkan karena jarak antara satu pulau dengan pulau lain dapat bervariasi dalam

realitanya. Dalam kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jepang

memberikan pendapatnya bahwa jarak antara satu pulau dengan pulau lainnya tidak

boleh lebih dari 3 mil laut. 81 Sementara itu Komite Persiapan memberikan

pendapatnya sebagai berikut:

“In the case of a group of island which belong to a single State

and at the circumference of the group are not separated from on

another by more than twice the breadth of the territorial waters,

the belt for the territorial waters shall be measured from the

outermost island of the group. Waters included wihtin the group

shall also be territorial waters.”82

Selain masalah mengenai kemampuan negara kepulauan untuk memiliki suatu

garis pangkal yang menghubungkan tiap-tiap pulaunya, masalah lain yang terjadi

akibat dimasukkannya konsep negara kepulauan adalah mengenai terma yang

digunakan untuk mendefinisikan negara kepulauan. Menurut notulensi dari Komite

Penyusunan, ada dua terma yang digunakan untuk mengkategorikan kepulauan,

yaitu coastal dan mid-ocean di mana Anand memberikan pengertian lain terkait

dengan dua terma tersebut dengan menyebutkan bahwa coastal archipelago adalah

“a formulation of two or more islands, (islets or rocks) which geographically may

be considered as a whole”83 dan mid-ocean archipelago sebagai “situated so close

to a mainland that they may reasonably be considered part and parcel thereof.”84

Perbedaan yang cukup mencolok dari dua definisi tersebut adalah tidak

dimasukkannya jarak sebagai sebuah unsur formil yang membentuk karakter legal

81 Djalal, op.cit, h. 294 82 Ibid. 83 Anand, op.cit, h. 168 84 Ibid.

Page 35: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

50

dari kepulauan. Tidak dibutuhkannya jarak ini sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh Filipina dalam note verbale-nya di Sekretariat Jenderal PBB bahwa,

“All waters around, between and connecting the different islands

belonging to the Philippine Archipelago irrespective of their

widths or dimensions, are necessary appurtencances of its land

territory, forming an integral part of the national or inland waters

subject to the exclusive sovereignty of the Phillipines.”85

Adalah suatu kesulitan tersendiri untuk memasukan negara kepulauan sebagai

suatu konsep yang dapat dimasukkan ke dalam hukum internasional positif dan

kritik pun menghampiri konsep ini. Dalam perkara Civil Aeronautics Board v.

Island Airlines yang dilangsungkan di Pengadilan Negeri Hawai, majelis hakim

menyebutkan bahwa, “inter-island waters beyond three mile limit are high seas.”86

Putusan ini memiliki konsekuensi bahwa laut yang menghubungkan pulau-pulau

yang tersusun dalam gugus pulau tersendiri tidak dapat ditutup dengan adanya suatu

garis imajiner yang meletakkan zona maritim kepulauan apabila jarak antara satu

pulau dengan pulau lain lebih dari 3 mil laut; apabila jarak tersebut lebih dari 3 mil

laut, maka laut yang menghubungkan pulau-pulau tersebut disebut sebagai laut

lepas dan sebagai konsekuensinya laut tersebut tidak dapat diklaim sebagai bagian

yang tak terpisahkan dari pulau. Colombos menyebutkan adanya kemungkinan

untuk menciptakan suatu zona perairan khusus yang menghubungkan pulau-pulau

tersebut dengan menyebutkan:

“If the island is more than three, but not more than six miles from

the coast, then the whole extent of waters would be territorial

since it would be inadvisable to allow any small strip of high seas

between the coast and the island. Where the island is more than

six miles form the shore, but only slightly so, then it would appear

reasonable to permit a State to claim a small extension of its

marginal belt in order to establish a uniform regime of its

territorial waters.”87

85 Ibid. 86 Colombos, op.cit, h. 122 87 Ibid, h. 119

Page 36: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

51

Dan oleh karena hal ini, dengan pertimbangan bahwa suatu gugusan pulau yang

terikat secara geografis selayaknya dihubungkan dalam suatu garis lurus yang

menghubungkan titik-titik terluarnya, metode penarikan garis pangkal lurus

berperan sangat penting dalam terciptanya konsep perairan kepulauan yang terpisah

dari konsep laut teritorial maupun laut pedalaman.

Penarikan garis pangkal lurus merupakan sebuah metode yang mengecualikan

negara pantai untuk tidak menggunakan metode garis pangkal normal apabila ada

situasi dan kondisi yang tidak memungkinkannya untuk mengikuti kontur pantai

dalam kondisi normal. Sebagai contoh sederhana, dalam suatu skenario sederhana

dimana sebuah pulau berada di hadapan pesisir pantai dalam jarak 12 mil laut,

bagaimana status perairan yang berada di antara pulau tersebut dengan pesisir

pantainya? Apabila penarikan garis pangkal normal digunakan dalam skenario ini,

maka garis pangkal yang menghubungkan tiap titik-titiknya akan berbenturan

dengan pulau apabila pulau tersebut berada dalam jarak 12 mil laut. Hal ini akan

menjadi lebih rumit apabila pulau tersebut secara legal memiliki laut teritorialnya

sendiri. Apabila garis pangkal yang menghubungkan titik-titik tersebut ditarik dari

pulau yang terpisah dari daratan tersebut, maka zona laut teritorial pulau tersebut

akan berbenturan dengan zona laut teritorial dari daratan pesisir pantai tersebut.

Secara rasional, hal tersebut tidak dimungkinkan untuk terjadi. Oleh karenanya

proposisi rasional untuk memecahkan hal ini adalah menghubungkan titik pasang

surut terluar dari pantai dan titik pasang surut terluar dari pulau dan menciptakan

sebuah zona yang berbeda bagi perairan yang berada di antara daratan pesisir pantai

dengan pulau. Terciptanya garis pangkal lurus yang menghubungkan daratan

pesisir pantai dengan pulau tersebut menciptakan suatu perairan yang, secara

Page 37: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

52

logika, ‘dijorokkan’ ke daratan oleh keberadaan garis pangkal tersebut. Makna

dijorokkan ke daratan ini adalah bahwa kondisi tersebut terjadi secara artifisial dan

tidak terjadi karena adanya faktor geografis alamiah. Berdasarkan atas penerapan

metode garis pangkal lurus tersebut, maka setiap zona perairan yang berada di balik

garis pangkal lurus akan disebut sebagai perairan pedalaman. Artinya, keberadaan

zona maritim tersebut memiliki status hukum yang sama dengan keberadaan

pelabuhan maupun roadstead yang diatur di dalam KHL 1958 dan KHL 1982.

Hashim Djalal memandang bahwa penggunaan metode garis pangkal lurus

adalah metode yang paling tepat untuk digunakan oleh negara kepulauan mengingat

bahwa penggunaan metode ini dapat mewujudkan konsep negara kepulauan sebagai

sebuah konsep yang ideal. Hashim Djalal menyatakan bahwa,

“This method is important to us, not only to protect the natural

resources of the archipelago for the benefit of our people, but also

for other non-resources purposes, such as the maintenance of

political stability, the promotion of inter-island communication

and economic relations the preseration of our domestic peace,

good order and security”88

Hashim Djalal menjelaskan bahwa kebutuhan bagi negara kepulauan untuk

menerapkan metode penarikan garis pangkal lurus adalah konsekuensi logis atas

hak negara coastal archipelago atas penerapan garis pangkal lurus.89 Wisnumurti,

di dalam Charlotte Ku, menjelaskan bahwa secara geografis, ada dua hal yang

membedakan antara negara kepulauan dengan negara ‘kontinental’ yang membuat

perlakuan terhadap negara kepulauan menjadi berbeda. Ia menyebutkan bahwa:

"The traditional method of measuring the territorial sea from

the lowwater mark was based on the assumption that the coastal

State possessed a land territory forming part of a continent. In

the case of archipelagos, such a system could not be applied

without harmful effects. An archipelago being essentially a body

of water studded with islands rather than islands with water

88 Djalal, op.cit, h. 318 89 Ibid, h. 300-301

Page 38: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

53

around them, the delimitation of its territorial sea had to be

approached from a quite different angle. In the opinion of the

Indonesian Government, an archipelago should be regarded as

a single unit, the water between and around the islands forming

an integral whole with the land territory.”90

Namun, atas penerapan garis pangkal lurus tersebut bagi negara kepulauan

adalah apa status perairan yang ditutup oleh garis pangkal lurus tersebut? Pasal 5

ayat (1) KHL Laut Teritorial 1958 menyebutkan bahwa, “Waters on the landward

side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the

water.” Hal ini memberikan konsekuensi bahwa setiap wilayah perairan yang

ditutup oleh garis pangkal—baik garis pangkal normal maupun garis pangkal

lurus—disebut sebagai perairan pedalaman. Apabila negara kepulauan

menerapakan garis pangkal lurus terhadap wilayah perairan kepulauan, maka

wilayah perairan yang menghubungkan tiap-tiap pulau tersebut akan didefinisikan

sebagai perairan pedalaman. Hal ini seturut dengan Pasal 1 ayat (1) KHL Teritorial

1958 dan Pasal 2 ayat (1) KHL 1982 yang menyebutkan bahwa negara pantai

berdaulat atas wilayah perairan yang bersebelahan dengan pesisirnya dan atas laut

pedalamannya. Colombos menjelaskan bahwa laut pedalaman terdiri atas beberapa

fitur, baik artifisial maupun alamiah, seperti teluk, dermaga, pelabuhan, roadstead,

selat, danau, dan sungai. Atas fitur-fitur tersebut, selain terdapat suatu perjanjian

maupun konvensi internasional yang mengecualikan sebaliknya, negara yang ingin

memanfaatkan laut pedalaman ‘cannot … demand any rights for their vessels or

subjects although for reasons based on the interest of international commerce and

navigation.”91 Atas hal ini juga, Anand menjelaskan bahwa perairan kepulauan

90 Lihat Wisnomoerti, Indonesia and the Law of the Sea di dalam The Law of The Sea: Problems

From The East Asian Perspective 392, C. Park & J. Park eds., 1987, h. 392 di dalam Charlotte Ku,

The Archipelagic States Concept and Regional Stability in Southeast Asia, 23 Case W. Res. J. Int'l

L. 463, 1991, h. 469 91 Colombos, op.cit, h. 87-88

Page 39: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

54

‘become internal waters subject to the absolute sovereignty of the coastal states,

there would be no right of aerial overflight, and movement of fishing vessels,

warsbips and submarines through, over and under those waters would be seriously

curtailed’. 92 Sebelum adanya KHL 1982, Indonesia memperlakukan perairan

kepulauan sebagai laut pedalaman93 sebagaimana disebutkan di dalam Mochtar

Kusumaatmadja, berdasarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang menyatakan

bahwa:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang

menghubungkan pulau-pulau atas bagian pulau-pulau yang

termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak

memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar

daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan

demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang

berada di bawah kedaulatan mutlak daripada negara Indonesia.

Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal

asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan

kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas

laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis

yang menghubungkan titik-titik ang terlaur pada pulau-pulau

negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-

undang.”94

Dalam hal ini juga, Filipina juga memberikan respon yang sama terhadap

perairan kepulauan yang menghubungkan pulau-pulaunya dengan menyusun suatu

undang-undang pada tahun 1961 yang menyatakan penggunaan ‘straight lines

connecting the outermost points on the low water mark of the outermost islands’

ditujukan untuk mendelimitasi wilayah perairannya.95 Pentingnya penerapan garis

pangkal lurus oleh negara kepulauan tidak hanya memperhatikan aspek

geografisnya saja namun juga aspek-aspek lain, yaitu ‘… historical and

ethnological background, as well as out of practical needs to preserve and promote

92 Anand, op.cit, h. 208 93 Charlotte Ku, op.cit, h. 470. 94 Kusumaatmadja, op.cit, h. 186-18 95 Charlotte Ku, op.cit, h. 470

Page 40: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

55

national unity and stability, economic development, defence and security, and the

efficient execution of administration of an archipelagic state’.96

b. Zona Ekonomi Ekslusif dan Landas Kontinen

a) Keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen sebagai Solusi atas

Konflik Sumber Daya Alam Hayati dan Non Hayati di Atas Laut

Apabila isu laut teritorial beranjak pada keinginan negara pantai untuk

melindungi dirinya sendiri dari ancaman luar, isu yang melatarbelakangi konsep

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen beranjak pada beberapa

faktor, yaitu: pertama, banyaknya jumlah negara yang menjadi merdeka sehingga

mengakibatkan perubahan peta politik; kedua, kemajuan teknologi sebagai akibat

samping atau tambahan daripada kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang terjadi

dengan pesatnya selama perang dunia kedua; dan ketiga, tambahan bergantungnya

bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam, baik kekayaan hayati

maupun kekayaan mineral termasuk minyak dan gas.97 Schrijver menjelaskan hal

ini sebagai berikut, “as a result of awareness among the allied States of their

dependence on the supply of strategic minerals from overseas, oil companies in the

industrialized States began to develop technology enabling them to exploit the

mineral resources of the sea-bed.”98

Li Xiaolu, dengan mempertimbangan aspek geologi, geografi, dan oseanografi,

menjelaskan definisi umum dari landas kontinen sebagai ‘the edge of a continent

that lies under the ocean’.99 John Trumbull, et.al., dalam laporan survey geologis

96 Djalal, op.cit, h. 300 97 Kusumaatmadja, op.cit, h. 81 98 Nicolaas Jan Schrijver, Sovereignty over Natural Resources: balancing rights and duties in an

interdependent world, S.N, University of Groningen, 1995, h. 194 99 Li Xiaolu, The Application of International Law Principle in Practice of the Delimitation of

Continental Shelf, World Maritime University Dissertation, 2013, h. 5

Page 41: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

56

yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat menjelaskan landas kontinen ‘extend

from the mean low-water line to the sharp change in inclination that marks the

beginning of the continental slope (the shelf edge)’.100 Perubahan kontur alamiah

tersebut terjadi pada kedalaman 132 meter di bawah permukaan laut dan secara

umum batas yang digunakan untuk menentukan perubahan tersebut terjadi pada

kedalaman 183 meter di bawah permukaan laut dan kemiringan rata-rata inklinasi

landas kontinen tersebut adalah satu perdelapan dari 1o. Secara geologis, kontur

alamiah landas kontinen yang berakhir pada lereng benua, atau continental slope,

‘extend from the outer margin of the continental shelves to the floors of the deep

ocean basins’. Tinggi dari lereng benua tersebut rata-rata adalah 3660 meter dengan

lebar rata-rata adalah 16-32 kilometer. Inklinasi lereng benua terjadi pada

kemiringan 4o sampai 25o.101 Stewart memberikan definisi serupa mengenai landas

kontinen sebagai ‘zones adjacent to a continent (or around an island) and extending

from the low-water line to the depth, usually about 120 m, where there is marked

or rather steep descent toward the great depths.’102 Oleh karenanya, Trumbull,

et.al., menyimpulkan bahwa “The continental shelves are a simple underwater

continuation of the adjacent land, and, as would be expected, their geology is

merely an extension of the geology of the bordering land areas.”103 Sehingga dapat

disimpulkan bahwa landas kontinen adalah bagian yang tak terpisahkan dari daratan.

Namun hal ini menjadian suatu isu lain mengenai bagaimana hukum internasional

mengatur karakter hukum dari landas kontinen.

100 James Trumbull, et.al., An Introduction to the Geology and Mineral Resources of the Continental

Shelf of the Americas, United States Government Printing Office, Washington, 1958, h. 2 101 Ibid. 102 Robert H. Stewart, Introduction to Physical Oceanography, Texas A & M University, 2005, h.

27 103 Trumbul, et.al., op.cit, h. 12

Page 42: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

57

Secara normatif, hukum laut internasional lebih dahulu mengenal konsep

landas kontinen dari pada zona ekonomi eksklusif. Mengenai landas kontinen, KHL

1958 sudah mengatur hak negara atas landas kontinennya pada Konvensi Landas

Kontinen 1958. Pasal 1 KHL Landas Kontinen 1958 menjelaskan bahwa landas

kontinen merujuk pada dua (2) fitur, yaitu: “(a) the seabed and subsoil of the subsoil

of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of territorial sea,

to a depth of 200 meters or, beyond that limit, to where the depth of the superjacent

waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to

the seabed and subsoil of similar submarine area adjacent to the coast of island.”

Pasal 2 KHL Landas Kontinen 1958 menyatakan bahwa negara pantai memiliki hak

berdaulatan (sovereignty rights) di atas landas kontinen untuk melakukan ekplorasi

dan eksploitasi sumber daya alam yang ada di landas kontinen tersebut. Selain dari

pada hak berdaulat yang diberikan konvensi tersebut kepada negara pantai, KHL

Landas Kontinen 1958 menyatakan bahwa ‘no one may undertake thes activites, or

make a claim to the continental shelf, without the express consent of the coastal

state’ dan atas landas kontinen tersebut, hak berdaulat negara pantai ‘do not depend

on ccoupation, effective or national, or on any express proclamation’. Sebagai

sebuah zona maritim yang mengandung sumber daya alam yang melimpah, KHL

Landas Kontinen 1958 menjelaskan bahwa sumber daya alam yang terdapat di

landas kontinen tersebut terbagi atas: a) mineral dan sumebr daya alam non-hayati

yang terdapat di dasar laut dan tanah; b) sumber daya alam hayati yang

dikategorikan atas spesies sedentary.

Namun mengapa landas kontinen muncul dan bagaimana ia bisa menjadi

sebuah konsep yang terpisah dengan hak negara pantai atas wilayah perairannya?

Page 43: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

58

Perhatian pertama terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya mulai timbul pada

tahun 1918, yaitu pada waktu Amerika serikat berhasil mengeksploitasi minyak

kira-kira 50 mil dari pantai Teluk Mexico. Tetapi perkembangan hukum yang

penting baru terjadi dengan ditandatanganinya perjanjian antara Inggris dan

Venezuela pada tahun 1942 untuk menentukan garis batas daerah dasar laut masing-

masing di Teluk paria guna memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya

alam minyak di teluk tersebut. 104 Perkembangan penting mengenai isu landas

kontinen pertama kali diangkat oleh President Truman untuk dalam deklarasi yang

terkenal, Proklamasi Truman. Dalam proklamasi tersebut, Presiden Truman

menyatakan sebagai berikut:

“Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United

States of America, do hereby proclaim the following policy of

United States of America with respect to the natural resources of

the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern

fot the urgency of conserving and prudently utlizing its natural

resources, the Government of the United States of America

regards the natural resources of the subsoil and seabed of the

continental shelf beneath the high seas but contiguous to the

coast of the United States are appertaining to the United States,

subject to its jurisdiction and control. In cases where the

continental shelf extends to the shores of another State, or is

shared with an adjacent State, the boundary shall be determined

by the United States and the State concerned in accordance with

equitable principle. The character as high seas of the waters

above the continental shelf and the right to their free and

unimpeded navigation are in no way thus affected.”105

Lauterpacht, dengan dikutip oleh Anand, menyatakan bahwa Proklamasi Truman

sebagai ‘as one of the decisive acts in history, ranking with the discoveries of

Colombus at a turning points of human destiny’.106 Selain itu, Proklamasi Truman

menyumbangkan prinsip-prinsip hukum baru yang menandakan perkembangan

104 Sodik, op.cit, h. 108-109 105 Kusumaatmadja, op.cit, h. 82 106 Anand, op.cit, h. 165

Page 44: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

59

yang fundamental atas konsep landas kontinen. Hal tersebut diuraikan di dalam

North Continental Shelf Case sebagai berikut: “the Truman Proclamation stated

that such boundaries ‘shall be determined by the United States and the State

concerned in accordance with equitable principles’. These two concepts, of

delimitation by mutual agreement and delimitation in accordance with equitable

principles, have underlain al1 the subsequent history of the subject,”107

Mochtar Kusumaatmadja mengungkapkan bahwa tindakan pemerintah

Amerika serikat ini didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa

bagian-bagian tertentu dari dataran kontinen di luar batas 3 mil mengandung

endapan-endapan minyak bmi yang sangat berharga. Tindakan ini memungkinkan

untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut (sub

marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang ditutup oleh air yang

dalamnya tidak lebih dari 100 fathom atau sekitar 180 meter di bawah permukaan

laut.108 Selain dari kepentingan ekonomi atas landas kontinen, Presiden Truman

memberikan justifikasi bahwa hak negara pantai atas wilayah landas kontinen

tersebut terjadi karena natural extension dari wilayah daratan Amerika Serikat.

Beranjak dari premis tersebut, Presiden Truman menyimpulkan bahwa dibawah

hukum internasional, “States have inherent sovereign rights to their land

territory”109 dan karena hak yang timbul atas dan berlanjut secara alamiah tersebut,

maka ‘the sovereignty of coastal states like U.S. extended to the underwater

107 North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, para. 47 108 Kusumaatmadja, op.cit, h. 84 109 Anna Cavnar, Accountability and the Commission on the Limits of the Continental Shelf:

Deciding who owns the Ocean Floor, IILJ Emerging Scholars Paper 15, 2009, h. 5

Page 45: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

60

prolongation of that territory and coastal countries could control to the shelf and

its resources’.110

Penulis sendiri mengamati bahwa Proklamasi Truman menyumbangkan

beberapa poin penting atas konsep landas kontinen, yaitu: a) negara memiliki

kepentingan atas sumber daya alam yang ada di dasar laut dan tanahnya; b) negara

bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tersebut dan bertanggung jawab atas

pelestarian sumber daya tersebut; c) negara memiliki hak atas landas kontinen yang

berlanjut dari daratannya dan memiliki yurisdiksi dan kontrol atas landas kontinen

tersebut; d) delimitasi landas kontinen yang bersebelahan dengan negara lain

diselesaikan melalui perjanjian yang didasari atas principle of equitable atau prinsip

kewajaran; dan e) wilayah perairan di atas landas kontinen tersebut tidak akan

menghalangi karakter laut lepas dan hak negara atas lintas damai melalui wilayah

perairan tersebut.

Selain melahirkan konsep landas kontinen, isu kekayaan sumber daya laut juga

melahirkan konsep Zona Ekonomi Eksklusif (selanjutnya akan disingkat menjadi

ZEE) sebagai suatu konsep hukum yang lebih modern dari pada konsep landas

kontinen. Dalam perkembangannya, konsep ini tidak termanifestasikan sebagai

sebuah konsep khusus dalam KHL 1958 dan KHL 1982. Namun, konsep ini dikenal

dalam kebiasaan internasional sebagai suatu zona perikanan khusus yang dimiliki

oleh negara pantai. Konferensi hukum laut internasional tahun 1958 mengatur hak

dan kewajiban negara atas suatu wilayah perikanan dalam salah satu konvensinya

yang disebut KHL 1958 tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Hayati di

Laut Lepas. Sama dengan kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya landas

110 Ibid.

Page 46: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

61

kontinen sebagai bagian dari hukum laut internasional, perkembangan teknologi

juga menjadi alasan yang sama mengapa konsep zona ekonomi eksklusif tercipta.

Secara normatif, hal ini dapat diperhatikan dari pertimbangan KHL 1958 yang

menyebutkan bahwa: “… the development of modern techniques for the

exploitation of the living resources of the sea, increasing man’s ability to meet the

need of the world’s expanding population for food, has exposed some of these

resources to the danger of being exploited.” Konflik sumber daya alam yang

tercipta karena kepentingan negara-negara pantai atas suatu wilayah perikanan di

laut lepas, berdasarkan KHL 1958, hanya diatur secara arbitratry antara para pihak

yang berkepentingan. Hal ini tentunya tidak menyelesaikan isu kepetingan ekonomi

negara namun juga umat manusia di mana perkembangan teknologi menciptakan

suatu kondisi di mana kemampuan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya

tersebut telah meningkat.

Zona ekonomi eksklusif adalah inovasi signifikan dari KHL 1982 yang

membedakannya dari KHL 1958 ketika KHL 1958 meletakkan dasar fundamental

atas laut teritorial, landas kontinen, laut lepas, dan perikanan. Beckman dan

Davenport menjelaskan signifikannya konsep ini sebagai sebuah prestasi KHL

1982 dengan menyebut

“The negotiations were characterized by the traditional

dichotomy between coastal States and the major maritime powers

that has always shaped the law of the sea. The consensus

ultimately reached reflects a carefully constructed balance which

reflects both legal doctrine and political realities.”111

Odell menjelaskan bahwa, dalam realita politik internasional, kepentingan ekonomi

yang dimiliki oleh negara berkembangan menjadikan alasan mengapa negara-

111 Robert Beckman dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflection after 30 Years, Papers from

the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and Technology

Conference, Mei 2012, h. 3

Page 47: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

62

negara berkembang justru menginginkan suatu wilayah laut yang luas di mana hal

ini berbanding terbalik dengan negara-negar maju yang menginginkan wilayah

teritorial yang lebih sempit. Odell sendiri berargumen bahwa “Developing State will

argue for wide territorial sea and/or exclusive economic zones with expansive

sovereign ownership and regulatory control.”112 Hal ini disebabkan karena negara

berkembang berada dalam kondisi yang menuntutnya untuk menjaga dirinya dari

ancaman negara-negara maju. Odell menjelaskan hal ini sebagai berikut:

“Security-craving states would ideally prefer to claim expansive

jurisdiction alone their own coasts while insisting that other

states can only claim limited jurisdiction at sea, particularly if

they perceive threats from other naval powers or if they perceive

a need to project power to other states’ coasts to protect their

security.”113

Patuzi menjelaskan bahwa zona ini sangat kaya akan kandungan sumber daya alam

hayati dan non-hayati. Beliau menjelaskan sebagai berikut:

“If all coastal states thus exercised their jurisdiction over their

own EEZ, some 38 million square nautical miles would become

their “economic patrimony”. It should be mentioned that the

ocean represents 71% of the total surface of the earth and that

32% of that falls under the jurisdiction of coastal states.

Consequently inside these economic zones would lie 90% of

global fshing, 87% of oil deposits and 10 % of polymetallic

nodules.”114

Oleh karena itu, Odell menyimpulkan bahwa negara-negara berkembang “desiring

expansive jurisdiction along their coasts or limited jurisdiction along others’ coasts

are incentivized to advocate expansive or limited jurisdiction as international

norms that apply to all states, including themselves.”115 Hal ini seturut dengan

112 Odell, op.cit, h. 8 113 Ibid, h. 18 114 Patuzi, op.cit, h. 149 115 Odell, op.cit, h. 18

Page 48: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

63

praktik negara-negara Amerika Latin yang mengajukan klaim wilayah teritorial

hingga 200 mil laut.

b) Kedaulatan dan Hak Berdaulat Negara Pantai di atas Landas Kontinen dan

Zona Ekonomi Eksklusif

Apabila laut teritorial adalah perwujudan keinginan negara atas keamanan dan

landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif sebagai keinginan negara atas

pemanfaatan nilai ekonomi dari sumber daya alam yang ada di suatu wilayah laut,

apakah negara pantai memiliki kedaulatan atas landas kontinen dan zona ekonomi

eksklusif yang sama seperti laut teritorial? Apabila tidak ada perbedaan di antara

dua hal tersebut, mengapa negara pantai memperlakukan dua konsep ini secara

berbeda? Apakah pemanfaatan nilai ekonomi dari suatu wilayah laut dapat menjadi

dasar bagi negara untuk meletakkan klaim kedaulatan teritorial di atas suatu

wilayah laut tersebut?

Secara singkat, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak. Negara pantai

tidak dapat menggunakan dasar pemanfaatan nilai ekonomi dari suatu wilayah laut

sebagai dasar baginya untuk meletakkan hak kedaulatan teritorial di atas wilayah

laut tersebut. Hal ini disebabkan karena karakter utama dari laut teritorial adalah

‘sea adjacent to its coast’ yang hanya dimaksudkan, secara literal, sebagai suatu

wilayah laut yang berbatasan dengan pesisir pantainya. Negara pantai hanya dapat

meletakkan hak kedaulatan teritorial di atas laut teritorial atas suatu wilayah laut

yang bersebarangan dengan wilayah daratannya.116 Sementara itu, landas kontinen

dan zona ekonomi eksklusif tidak menggunakan hal tersebut sebagai alas hak

negara pantai. Seperti yang telah penulis jelaskanya pada bagian sebelumnya,

116 Pasal 2 ayat (1) KHL 1982

Page 49: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

64

secara alamiah, hak negara pantai atas zona landas kontinennya timbul karena

landas kontinen tersebut adalah ‘natural prolongation of its land territory’ yang

hanya dapat dimaksudkan sebagai suatu wilayah daratan yang berlanjut dari pesisir

pantai hingga ke dalam laut.117

Lalu, apakah yang dimaksud dengan hak berdaulat (sovereign right) negara

pantai atas wilayah landas kontinennya? Brilmayer, dengan mengutip O’Connel,

menyebutkan bahwa Inggris berargumen bahwa negara pantai dapat meletakkan

kedaulatan di atas landas kontinen dengan dasar pemanfaatan sumber daya alam di

landas kontinen.118 Hal ini hanya dapat menjadi dasar hukum bagi negara pantai

untuk meletakkan kedaulatan di atas wilayah tersebut karena landas kontinen

adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan daratan negara pantai dan hal tersebut

memiliki konsekuensi hukum berupa negara pantai dapat meletakkan hak

kedaulatan teritorial dengan dasar pendudukan atas wilayah tersebut secara fisik.

Hal ini, dalam pandangan Brilmayer, diakibatkan karena diskursus hukum pada

tahun 1950-1960an turut dipengaruhi oleh keenganan negara-negara berkembangan

untuk menganut doktrin ini sebagai alokasi zona landas kontinen dalam hukum laut

internasional.119 Negara-negara maju menguasai dan mengontrol perkembangan

teknologi di mana negara-negara berkembang berada pada posisi yang sulit untuk

berkompetisi secara adil dengan negara-negara maju.

Dalam perkembangannya juga, putusan-putusan pengadilan internasional turut

mendukung perspektif ini. Dalam pertimbangan hakim pada sengketa North Sea

Continental Shelf, mahkamah mempertimbangkan bahwa delimitasi landas

117 Pasal 76 ayat (1) KHL 1982 118 Lea Brilmayer, Land and Sea: Two Sovereignty Regime in Search of a Common Denominator,

Faculty Scholarship Series, Paper 2523, 2001, h. 710 119 Ibid, h. 711

Page 50: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

65

kontinen tidak didasari atas penguasaan fisik atas wilayah tersebut, berikut

argumentasi mahkamah:

“The rights of the coastal state in respect of the area of the

continental shelf that constitutes a natural prolongation of its

land territory into and under the sea exist, ipso facto and ab

initio, by virtue of its sovereignty over the land, and as an

extension of it in an exercise of sovereign rights for the purpose

of exploring the seabed and exploiting its natural resources.”120

Putusan lain yang turut menguatkan tesis ini terdapat dalam putusan mahkaman

pengadilan intenasional di dalam sengketa antara Tunisia v. Libya yang

menyebutkan sebagai berikut:

The 'ab initio' doctrine ... was adopted at the Geneva Conference

as a means of protecting coastal States which had not made a

proclamation of their continental shelf rights and had no means

of exploring or exploiting their resources . . . . All coastal States

accepted the doctrine without hesitation mainly because of its

negative consequences, namely, that it prevented a rush and grab

for sea-bed resources being undertaken by a few States on the

basis of the Grotian dogma of 'freedom of the sea.' It is for this

reason that the 1958 Convention does not subordinate the

acquisition ab initio of sovereign rights to actual exploitation or

occupation, or even to a proclamation of these rights.121

Di dalam dua putusan ini, kita dapat memperhatikan bahwa hak negara atas landas

kontinen tidak terjadi karena ‘physical occupation’ dari negara pantai namun ia

timbul ab initio dan ipso facto ketika negara itu ada. Sehingga secara sederhana

dapat dipahami bahwa hak negara pantai atas zona tersebut tidak memerlukan

pernyataan atau suatu proklamasi, seperti yang dapat dilihat dapat Proklamasi

Truman, tetapi hak negara atas landas kontinen tersebut terjadi sebagai akibat

negara tersebut berdiri. Hal ini juga dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

sebagai berikut: “Fakta geologis berdekatannya suatu daerah di bawah permukaan

laut dengan pantai suatu negara itu saja sudah cukup untuk memberikan hak kepada

120 North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, para. 19 121 Concerning the Continental Shelf (Tunis. v. Libyan Arab Jamahiriya), 1982 I.CJ. 123 (Feb. 24)

(separate opinion of Judge Jimenez de Arechaga), para. 82

Page 51: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

66

negara pantai itu atas kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen.”122

Komentar hakim Jimenez terhadap sengketa landas kontinen antara Tunisia dan

Libya juga menekankan perilaku negara-negara maju yang menyalahgunakan

doktrin Grotian atas prinsip freedom of the seas sebagai dasar negara pantai untuk

memanfaatkan sumber daya alam di wilayah tersebut. 123 Hashim Djalal juga

menekankan perilaku negara maju atas penyalahgunaan prinsip freedom of the seas

dengan menyebutkan sebagai berikut:

“The teaching of Grotius, while useful to the Dutch and the East

India Company, resulted in the colonization of Indonesia for

more than three centuries. Indonesia was not an isolated case; in

fact the conquest of what have now become independent

developing countries was to a large extent facilitated by the

principles of the freedom of the seas as practiced at the time.”124

Gidel, di dalam Anand, juga menyebutkan bahwa prinsip freedom of the seas tidak

perlu dilaksanakan dan dipahami sebagai suatu dogma yang baku yang tidak dapat

berubah seiring berjalannya waktu. Beliau menyebut sebagai berikut: “the principle

of the freedom of the high seas need not remain absolute should the satisfaction of

legitimate interests require that freedom to be waived. If the freedom of the seas

had had to remain sacrosanct, the suppression of piracy would never have been

accepted.”125 Timpangnya kekuatan negara-negara berkembang dengan negara-

negara maju juga mengakibatkan pergeseran makna kedaulatan yang didasari atas

kepentingan ekonomi negara pantai di mana Anand memandang bahwa hal ini

adalah alasan mengapa negara-negara berkembang lebih memilih mengajukan

klaim kedaulatan teritorial yang sangat luas hingga mencapai 200 mil laut demi

122 Kusumaatmadja, op.cit, h. 87 123 Concerning the Continental Shelf (Tunis. v. Libyan Arab Jamahiriya), 1982 I.CJ. 123 (Feb. 24)

(separate opinion of Judge Jimenez de Arechaga), para. 70 124 Djalal, op.cit, h. 80 125 Anand, op.cit, h. 166

Page 52: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

67

melindungi kepentingan negaranya dari pihak asing yang dapat mengeksploitasi

sumber daya alam tersebut demi kepentingan negaranya sendiri.126

Konsep Zona Ekonomi Eksklusif, menurut Djalal, dapat diklasifikan menjadi

beberapa bagian, yaitu: 1) konsep wilayah; 2) konsep sumber daya alam; 3) konsep

lingkungan; 4) konsep penelitian saintifik; 5) konsep mendirikan instalasi, struktur,

dan pulau buatan; dan, 6) konsep tentang hak dan kewajiban negara di zona

ekonomi eksklusif.127 Secara umum, sumber daya alam yang terdapat di dalam zona

ekonomi ekslusif terdiri dari mineral, garam, bahan-bahan kimia tertentu, dan yang

paling penting dari keberadaan zona ekonomi eksklusif adalah perikanan. 128

Penulis dalam hal ini memandang bahwa dalam perkembangannya, hak negara

pantai atas sumber daya perikanan di wilayah menjadi dasar mengapa konsep ini

tercipta. Hal ini juga ditekankan oleh Knight dengan menyatakan bahwa alasan

mengapa konvensi-konvensi hukum laut yang telah dilaksanakan tidak mencapai

hasil yang mencerahkan adalah karena ‘the failure of the First and Second

Conference to produce solutions to the critical questions of the breadth of the

territorial sea and the nature of fishing rights in coastal areas, and because of the

advance of the technology in other areas of ocean space use …’129

Di dalam KHL 1958 tentang perikanan tidak dijelaskan mengenai di mana

suatu zona perikanan tersebut berada maupun berapa lebar zona perikanan yang

negara pantai kuasai. Pasal 1 ayat (1) KHL 1958 menjelaskan secara implisit bahwa

setiap negara memiliki hak atas warga negaranya yang menangkap ikan di laut lepas

dan apabila ada dua negara atau lebih yang melakukan kegiatan penangkapan ikan

126 Ibid, h. 188 127 Djalal, op.cit, h. 134-135 128 Ibid, h. 135 129 Knight, op.cit, h. 158

Page 53: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

68

di suatu wilayah laut lepas maka, berdasarkan Pasal 4 KHL 1958 tentang Perikanan,

negara-negara tersebut akan menyelesaikan masalah tersebut melalui suatu

Perjanjian yang mengatur berapa banyak tangkapan yang dapat dieksploitasi oleh

negara tersebut dan tetap mengindahkan konservasi lingkungan hidup atas

ekploitasi tersebut. Meski KHL 1958 tidak mengatur berapa lebar wilayah

perikanan tersebut, Pasal 6 ayat (1) KHL 1958 tentang Perikanan menjelaskan

bahwa negara pantai memiliki ‘special interest in the maintenance of the

productivity of the living resources in any area of the high seas adjacent to its

territorial sea’. Maka dari itu, negara pantai cenderung memandang bahwa suatu

wilayah laut yang berseberangan dengan laut teritorial sebagai suatu ‘zona khusus’

yang tunduk pada kebiasaan yang berlaku di negara tersebut. Suatu zona khusus ini,

dalam pandangan sarjana hukum internasional, disebut sebagai historic fishing

right.130

Bernard menjelaskan secara eksplisit bahwa ada perubahan yang fundamental

dalam hak negara pantai untuk mengeksploitasi sumber daya hayatinya ketika KHL

1982 mentransformasikan hukum laut internasional secara masif. Isu ini terangkat

kembali ketika konflik laut tiongkok selatan semakin memanas ketika Tiongkok

menggunakan historic fishing right sebagai dasar klaim wilayah teritorial mereka.

Namun penggunaan terma historic right tersebut perlu dibedakan dengan konsep

historic water yang memang sudah diatur di dalam KHL 1982 meski hanya terbatas

pada teluk bersejarah/historic bays. Bernard menjelaskan bahwa historic water

sebagai ‘water over which the coastal state, contrary to the generally applicable

130 Leonardo Bernard, The Effect of History Fishing Rights In Maritime Boundaries Delimitation,

Papers from the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and

Technology Conference, Mei 2012, h. 2

Page 54: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

69

rules of of international law, clearly, effectively, continuously, and over a

substantial period of time, exercise sovereign rights with the aqcuiescence of the

community of States’.131 Dalam fisheries case antara Inggris dan Norwegia, majelis

hakim menjelaskan bahwa: “By ‘historic water’ are usually meant waters which

are treated as internal waters but which would not have that character were it not

for the existence of an historic title.”132 Sementara itu, historic right adalah klaim

untuk ‘exercise certain rights, usually fishing rights, in what are usually deemed to

be international waters’.133 Mengenai historic rights ini, putusan ICJ atas sengketa

Qatar v. Bahrain mengenai delimitasi laut teritorialnya menjelaskan bahwa historic

rights yang tercipta karena pemanfaatan suatu wilayah laut secara terus menerus

tidak menciptakan kedaulatan namun menciptakan suatu karakter ‘quasi-territorial

rights’ dan mahkamah menyimpulkan bahwa pemanfaatan tersebut tidak dapat

serta merta menciptakan suatu wilayah laut yang dapat menggeser delimitasi

wilayah laut teritorial dengan dasar historic rights.134 Bernard sendiri menjelaskan

hal ini sebagai berikut:

“It would be easier for a State to provide evidence of historic

fishing activities in an area of water as opposed to trying to

establish an historic exercise of sovereignty over the area. It is

important to remember that a State’s claim to historic rights does

not mean that this right gives the claiming State sovereignty over

the relevant body of water.”135

Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi

sumber daya alam hayati dan non-hayati di suatu wilayah laut adalah berbeda

dengan kemampuan negara untuk meletakkan kedaulatannya di suatu wilayah laut

131 Bernard, op.cit, h. 3 132 North Atlantic Coast Fisheries Case (1910) XI R.I.A.A 167, p. 130 133 Bernard, op.cit, h. 4 134 Qatar v. Bahrain, op.cit, para. 236 135 Bernard, op.cit, h. 4

Page 55: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

70

yang bersebelahan dengan wilayah daratannya. Pada laut teritorial, negara pantai

melaksanakan kedaulatan dan yurisdiksinya secara penuh di mana hal ini memiliki

konsekuensi bahwa setiap perbuatan yang terjadi di atas laut teritorial, tanpa

memandang kewarganegaraan dari orang yang melakukan perbuatan tersebut,

berada di bawah yurisdiksi negara pantai. Oleh karena itu, zona ekonomi eksklusif

memiliki dasar hukum yang berbeda dari laut teritorial di mana konflik kepentingan

atas sumber daya alam yang berada di wilayah laut adalah alasan mengapa konsep

ini diciptakan.

Ketidakmampuan negara pantai untuk meletakkan kedaulatan teritorial di

landas kontinen juga berlaku pada wilayah maritim negara pantai di zona ekonomi

eksklusif. Hal ini dapat disederhanakan dengan menyebut bahwa ketidakmampuan

faktor kepentingan ekonomi sebagai alasan bagi negara untuk meletakkan

kedaulatan teritorial di zona ekonomi eksklusif. Hoyle menjelaskan hal ini dengan

mengatakan bahwa, “Thereon, national interest are the main reason of the state

benefit of its citizen.” 136 Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, isu

penangkapan ikan adalah embrio dari konsep zona ekonomi eksklusif. Schrijver

mengatakan bahwa, “Apart from economic reasons, the establishment of fishery

zones became imperative as awareness increased of the growing depletion of

fishery resources through overfishing and the need to take conservation

measures.”137

136 Oscar Garrido-Lecca Hoyle, How exclusive is the Exclusive Economic Zone : contemporary

analysis of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, World Maritime University

Dissertations, 2013, h. 32 137 Nicolaas Jan Schrijver, op.cit, h. 198

Page 56: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

71

Pada praktiknya negara-negara pantai di amerika latin dan afrika sebelum

KHL 1982 berlangsung menggunakan istilah ‘patrimonial sea’138 untuk menyebut

sebuah wilayah perairan yang bersebelahan dengan laut teritorialnya di mana pada

laut patrimonial ini, negara pantai memiliki yurisdiksi atas wilayah laut tersebut dan

hal ini menjadikan alasan bagi negara-negara pantai untuk meletakkan klaim

kedaulatan wilayah laut teritorial hingga 200 mil laut. Argumentasi Brilmayer

dalam hal ini melihat bahwa karakter kesejarahan tidak dapat menciptakan

hubungan antara daratan dengan lautan—metafora hubungan negara dengan

wilayah laut teritorialnya. Ia menjelaskan bahwa, “The primary determinant is not

a history of use or occupation but legal rules and ‘equity’.”139 Apabila memang

demikian, lalu mengapa negara pantai tidak memiliki alas hak untuk meletakkan

kedaulatan teritorial di zona ekonomi eksklusif? Beckman dan Davenport

menjelaskan bahwa pada konverensi hukum laut ketiga, meski pada awalnya

negara-negara dengan kekuatan maritim yang kuat menginginkan agar hasil dari

konvensi hukum laut ini dapat melindungi kepentingan ekonomi dan politik

mereka, pada akhirnya negara-negara dengan kekuatan maritim seperti Amerika

dan Uni Soviet mengakui klaim negara pantai atas diperluasnya hak dan yurisdiksi

yang dimiliki oleh negara pantai atas wilayah perairan lepas dari pesisir pantainya

dengan catatan bahwa akses dan kebebasan bernavigasi di wilayah laut teritorial

harus dijaga ‘to the greatest extent as possible’.140 Atas hubungan yang diciptakan

antara karakter hukum dan kepentingan ekonomi dari zona ekonomi eksklusif

tersebut, Njenga menyebutkan sebagai berikut:

138 Anand, op.cit, h. 199 139 Brilmayer, op.cit, h. 726 140 Beckman, et.al., op.cit, h. 5.

Page 57: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

72

“The exclusive economic zone concept is an attempt at creating a

framework to resolve the conflict of interests between the

developed and developing countries in the utilization of the sea.

It is an attempt to formulate a new jurisdictional basis which will

ensure a fair balance between the coastal states and other users

of the neighbouring waters.”141

Lalu ia juga melanjutkan bahwa, “A system which permitted such inequality was

clearly imbalanced and should be change.” 142 Sehingga dalam hal ini penulis

berpendapat bahwa ketidakmampuan negara pantai untuk meletakkan kedaulatan

teritorial di atas zona ekonomi eksklusif tersebut lebih karena disebabkan konflik

kepentingan ekonomi antara negara maju yang menguasai teknologi dan sumber

daya manusia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi tersebut dengan negara

berkembangan yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Namun perlu kiranya

kita memperhatikan penjelasan perwakilan Malta di Majelis Umum PBB yang

menyatakan bahwa keberadaan hak berdaulat yang tidak diatur secara limitatif dan

geografis dapat mengakibatkan kerugian yang amat besar. Ia menjelaskan bahwa

hal tersebut dapat mengakibatkan:

“a dramatic escalation of the arms race and sharply increasing

world tensions, caused also by the intolerable justice that would

reserve the plurality of the world's resources for the exclusive

benefit of less than a handful of nations. The strong would get

stronger, the rich richer, and among the rich themselves there

would arise an increasing and insuperable differentiation

between two or three and the remainder. Between the very few

dominant Powers, suspicions and tensions would reach

unprecedented levels.”143

Hal yang serupa juga didapati dari bagaimana perseturuan negara-negara maju

terhadap pemanfaatan nilai ekonomi yang terdapat di landas kontinen di mana

teknologi pengeboran minyak yang dikuasai oleh negara-negara maju

141 Anand, op.cit, h. 199 142 Ibid. 143 Ibid, h. 239

Page 58: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

73

mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan namun juga terhadap ketimpangan

ekonomi yang antara negara maju dengan negara berkembang.

Hak negara pantai atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif bukanlah

sebuah perdebatan mengenai kedaulatan negara pantai atas dua wilayah tersebut.

Melainkan hak negara pantai atas sumber daya alam yang ada di dua wilayah

tersebut. Dalam analisa Mochtar Kusumaatmadja terhadap Proklamasi Truman,

proklamasi tersebut memisahkan hak penguasaan sumber-sumber kekayaan dalam

dasar laut dan tanah bawahnya dalam daerah bawah laut yang berbasan dengan

pantai dari keharusan adanya ‘effective occupation’. Dilepaskannya yurisdiksi

negara pantai atas daerah bawah permukaan air yang berbatasan dengan pantainya

ini dan keharusnya adanya ‘effective occupation’ dan dikaitkannya hak penguasaan

ini pada konsep landas kontinen sebagai lanjutan alamiah (natural prolongation)

dari daratan merupakan suatu perkembangan doktrin landas kontinen yang cukup

radikal. Konsep landas kontinen ini pada hakikatnya merupakan suatu

penggerogogtan terhadap kebebasan laut lepas yang menyatakan bahwa di luar

batas laut teritorial tidak ada pihak yang memiliki atau menguasai laut.

Ditetapkannya penguasaan negara atas sea-bed dan sub-soil daerah yang berbatasan

dengan pntainya tanpa ada keharusnya ‘effective occupation’ merupakan

penyangkalan dari doktrin kebebasan laut lepas sepanjang mengenai sea-bed dan

sub-soil dari laut lepas ini. 144 Oleh karena itu, hak negara pantai atas landas

kontinennya adalah hak atas sumber daya alamnya dan hak secara eksklusif hanya

dapat dimiliki oleh negara pantai karena karakter landas kontinen sebagai ‘natural

144 Kusumaatmadja, op.cit, h. 86

Page 59: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

74

prolongation of its land territory’. Brilmayer menekankan hal ini dengan

menjelaskan sebagai berikut:

“States, it is said, have "sovereign rights," not "sovereignty," over

the continental shelf. The former term was adopted in order to

denote a status of rights less than full sovereignty and to reinforce

the principle that rights to explore and exploit the resources of

the seabed did not entail rights over the waters above the seabed

or to the airspace.”145

c) Hak dan Kewajiban Negara Pantai atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi

Eksklusif

KHL 1982 mengatur hak dan kewajiban negara pantai di landas kontinen dan

zona ekonomi eksklusif. Mengenai landas kontinen, KHL 1982 mengatur hak dan

kewajiban negara pantai dalam Pasal 77-85. Pasal 77 menyebutkan bahwa negara

pantai memiliki hak berdaulatan untuk melakukan tujuan mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya alam di landas kontinen. Mengenai sumber daya

alam, Pasal 77 KHL 1982 menjelaskan bahwa sumber daya alam terdiri dari “…

mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with

living organism belonging to sedentary species, that is to say, organism which, at

the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to

move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil.” Lalu

dijelaskan dalam Pasal 77 ayat (2) dan (3) bahwa hak berdaulat negara pantai untuk

mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut tidak

tercipta karena okupasi, secara penuh maupun sebagian, atau berdasarkan

proklamasi dari negara pantai dan oleh karena itu, apabila negara pantai tidak

mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut maka tidak ada negara pantai

145 Brilmayer, op.cit, h. 720

Page 60: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

75

lain yang dapat melakukan aktivitas tersebut tanpa kesepakatan dari negara pantai

tersebut.

Meski negara pantai memiliki hak berdaulat atas wilayah tersebut, Pasal 78

ayat (1) menjelaskan bahwa hak berdaulat tersebut tidaklah mempengaruhi status

hukum wilayah perairan yang bersebelahan dengannya dan wilayah udara yang ada

di atasnya. Ayat (2) menekankan prinsip ini bahwa setiap kegiatan yang dilakukan

oleh negara pantai di wilayah tersebut tidak akan mempengaruhi hak negara pantai

atas kebebasan berlayar di wilayah tersebut dan negara pantai tidak boleh

menghalangi maupun menginterfensi pelayaran tersebut.

Pasal 79 ayat (1) memberikan hak kepada semua negara untuk memasang

kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen. Sesuai dengan

itu, ayat 2 menetapkan bahwa dalam melaksanakan hak-haknya untuk melakukan

eksplorasi landas kontinen dan eksploitas dari pada sumber daya alam di landas

kontinen dan mengatur pencegahan, pengurangan dan pengawasan pencemaran

yang berasal dari pipa-pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi-halangi

pemasangan kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen.

Namun demiian, ayat 3 mengharuskan persetujuan dari negara pantai untuk

pemasangan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen tersebut. atas dasar

itu, ayat 4 memberikan hak kepada negara pantai untuk menetapkan persyaratan-

persyaratan mengenai pemasangan kabel dan saluran-saluran pipa yang melintasi

wilayah darat atau wilayah laut teritorialnya.

Kemudian berdasarkan Pasal 80 bahwa ketentuan Pasal 60 berlaku mutatis

mutandis terhadap pembuatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan di landas

kontinen. Selain itu, menurut Pasal 81 bahwa negara pantai mempunyai hak

Page 61: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

76

eksklusif untuk mengizinkn dan mengatur pemboran di atas dasar landas kontinen

untuk semau keperluan. Pasal 85 menjamin hak negara pantai untuk melakukan

eksploitasi tanah di bawah dasar lautan yang berdekatan dengan pantainya dnegan

jalan pembuatan terowongan (tunneling) dari darat.

Pasal 82 ayat (1) mengatur kewajiban negara pantai untuk menymbangkan

sebagian dari hasil sumber daya alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas

200 mil laut kepada Badan Otorita Internasional. Besarnya subangan itu menurut

ayat (2) adalah 1% dari produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap

tahun naik dengan 1% , sehingga konirbusi tersebut maksimum menjadi 7% mulai

tahun produksi ke-12. Akan tetpai menurut ketentuan ayat (3) kewajiban untuk

menyumbangkan tersebut tidak berlaku bagi suatu negara berkembangan

pengimpor jenis barang tambang mineral yang dihasilkan dari landas kontinen.

Mengenai hak dan kewajiban negara pantai di zona ekonomi eksklusif, Pasal

56 ayat (1) huruf (a) KHL 1982 mengatur bahwa negara pantai mempunyai hak-

hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

sumber daa alam, baik hayati maupun non-hayati dari perairan di atas dasar laut dan

dari dasar laut serta tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk

keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi tersebut. Pasal 56 ayat (1) huruf

(b) memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk memiliki yurisdiksi atas

pembangunan pulau buatan, instalasi, dan struktur, penelitian ilmiah di laut, dan

perlindungan dan perawatan ekosistem laut.

Mengenai hubungan antara masing-masing negara pantai terhadap hak dan

kewajibannya di zona ekonomi eksklusif dapat diperhatikan dalam Pasal 58 di mana

pada ayat (1) mengatur bahwa di dalam zona ekonomi eksklusif, setiap negara,

Page 62: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

77

tanpa memandang apakah ia merupakan land-locked states maupun negara dengan

kondisi geografi yang tidak menguntungkan, memiliki hak yang sama atas

kebebasan bernavigasi dan terbang di zona ekonomi eksklusif, memasang kabel dan

pipa bawah laut, dan tindakan-tindakan yang wajar atas pemanfaatan kebebasan

tersebut.

Kewenangan lainnya dari negara pantai terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) yang

memberikan hak eksklusif kepada negara pantai untuk mengatur pembuatan,

perizinan, pengoperasian dan penggunaan: a) pulau-pulau buatan; b) instalasi dan

bangunan untu kekgiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam Pasal 56; c) instalasi dan

bangunan yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap pelaksanaan hak-hak

berdaulat negara pantai dalam zona ekonomi eksklusifnya. Lalu Pasal 60 ayat (2)

mengatur bahwa atas tiga fitur yang dapat dibangun oleh negara pantai, negara

pantai memiliki yurisdiksi atas bea cukai, fiskal, imigrasi, saniter, keamanaan dan

pengaturan-pengaturan yang terkait dengan keimigrasian. Atas pembangunan tiga

fitur tersebut, negara pantai memilii kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 60

ayat (3), untuk memberitahukan kepada negara-negara lain mengenai keberadaan

pulau-pulau buatan, instalasi, dan bangunan tersebut. sehubungan dengan itu, maka

setiap instalasi dan bangunan yang tidak digunakan harus dicabut guna menjamin

keselamatan pelayaran dengan memperhatikan standar-standar internasional yang

diterima secara umum. Pencabutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan

kegiatan penangkapan ikan, dan perlindungan lingkungan laut.

Di zona ekonomi eksklusif tersebut, negara pantai mempunyai hak-hak

berdaulat dan yurisdiksi khusus yang terkait dengan pemanaat smbe daya alam ikan

yang berada pada jalur tersebut. Ketentuan yang mengatur hal tersebut diatur di

Page 63: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

78

dalam Pasal 61 KHL 1982 yang mengatur bahwa negara pantai diwajibkan untuk

mengambil langkah-langkah konservasi dengan menetapkan jumlah tangkapan

ikan yang diperbolehkan dari sumber daya ikan yang terdapat di dalam zona

ekonomi eksklusifnya. Untuk itu, negara pantai memiliki kewajiban untuk

memperhatikan dampak yang diakibatkan dari penangkapan ikan apabila

penangkapan ikan tersebut tidak memperhatikan dampaknya kepada lingkungan

.146

Untuk mencapai pemanfaatan yang maksimal dari sumber daya ikan tersebut,

Pasal 62 ayat (2) KHL 1982 mengatur bahwa negara pantai harus menetapkan

kemampuannya untuk menangkap dan memberikan kesempatan kepada negara-

negar alain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai dan negara-

negara yang secara geografis kurang beruntung untuk memanfaatkan surplus dari

jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan yang tidak dimanfaatkan oleh negara

pantai.

Ketentuan penting yang berkaitan dengan pengaturan mengenai pengelolaan

sumber daya ikan di zona ekonomi eksklufis ditemukan dalam Pasal 62 ayat (4)

huruf (2) yang menetapkan hak negara pantai dalam pengaturan surat izin

penangkapan ikan kepada kapal-kapal perikanan asing dan jenis alat penangkapan

ikan yang boleh digunakan. Dalam pengertian ini, kegiatan penangkapan ian di

zona ekonomi eksklusif hanya dapat dilakukan bila telah memperolah surat izin

penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan persyaratan-

persyaratan yang berlaku. Pasal 62 huruf (b) mengatur bahwa negara pantai

146 Yoshinobu Takei, Filling Regulatory Gaps In High Seas Fisheries: Discrete High Seas Fish

Stocks, Deep-Sea Fisheries and Vulnerable Marine Ecosystems, (Disertasi), Universitas Utrecth,

2008, h. 91

Page 64: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

79

memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis ikan dan jumlah ikan yang akan

ditangkap. Dari penjabaran ini dapat disimpuan bahwa kewenangan negara pantai

untuk membuat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya

ikan di zona ekonomi eksklusif adalah untuk menjamn pemanfaatannya yang

berkelanjutan. Setiap pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam

yang terdapat di dalam zona ekonomi eksklusif harus menaati peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan yang

ditetapkan oleh negara pantai.

c. Laut Lepas dan Kawasan Dasar Laut

a) Evolusi Konsep Laut Lepas dan Hak dan Kewajiban Negara Pantai di Laut

Lepas

Konsep laut lepas telah mengalami perkembangan yang sangat masif

mengingat bahwa sekitar lima abad, negara-negara yang menguasai hegemoni laut

berargumen bahwa ia dapat meletakkan hak kedaulatan teritorial di laut lepas. Pada

bab 2 penulis sudah menyinggung perdebatan ini, namun perdebatan tersebut perlu

dipahami dalam konteks kesejarahannya dan konteks mengapa perdebatan tersebut

terjadi. Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana laut lepas berevolusi

dan bagaimana KHL 1982 menerapkan prinsip kebebasan di laut lepas (The

principle of the high seas). Hakim Story menjelaskan karakter hukum dari laut lepas

sebagai berikut: “Upon the ocean, in time of peace, all possess an entire equality.

It is a common highway of all, appropriated to use of all, and no one can vindicate

to himself a superior or exclusive prerogative there.” 147 Dalam perkara lain seperti

kasus United States v. Louisiana et al., menjelaskan karakter hukum dari laut lepas

147 Anand, op.cit, h. 151

Page 65: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

80

sebagai berikut: “the high seas, as distinguished from inland waters, are generally

conceded by modern nations to be subject to the exclusive sovereignty of no single

nation.”148

Laut lepas memiliki prinsip res communis di mana ketidakmampuannya untuk

dikuasai dikarenakan kepentingan umat manusia atas laut lepas tidak

memungkinkannya untuk dikuasai, baik sebagian atau seluruhnya, mengingat

penguasaan dan pemilikan laut tersebut dapat menghalang-halangi kepentingan

pihak yang memanfaatkan laut tersebut. Vercruyssen menjelaskan bahwa faktor

politik yang terjadi pada abad kesembilan belas turut mempengaruhi hal ini di mana

ia mengatakan bahwa peran Inggris, sebagai negara adidaya pada waktu itu, begitu

kuat hingga turut mempengaruhi praktik negara maritim terhadap konsep laut lepas.

Kebijakan politik dan ekonomi Inggris dipengaruhi oleh semangat revolusi industri

dan supremasi Inggris di atas laut.149 Colombos juga memiliki pendapat yang sama

mengenai bagaimana Inggris memberikan pengaruh yang kuat terhadap prinsip

kebebasan di atas laut lepas di mana sebagai negara dengan supremasi di atas laut,

ia berhasil menekan perompakan yang marak terjadi di laut mediterania yang jamak

dilakukan oleh para perompak berber di pesisirnya.150 Meski dalam sejarahnya kita

dapat melihat bahwa Inggris memiliki kepentingan yang kuat untuk meletakkan

kedaulatannya di atas laut, perkembangan politik pada abad kesembilan belas

merubah hal tersebut di mana ia adalah proponen prinsip kebebasan di laut lepas.

Colombos menjelaskan sebagai berikut:

“… from the time when England silently dropped her claim to

jurisdiction over the high seas surrounding her coast and strove

148 Colombos, op.cit, h. 64 149 Nikki Vercruyssen, Freedom of the High Seas: Limitation, Problems and Evolution, (Tesis),

Universiteit Gent, 2012, h. 12. 150 Colombos, op.cit, h. 57

Page 66: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

81

for the right of her ships to sail freely over the Seven Seas, she

has persistently contended for the emancipation of all the oceans

from the claim of any State to domination, and has taken the

leading part in making the freedom of the seas in time of peace

no mere slogan, but a very real fact.”151

Faktor politik yang melatarbelakangi konsep laut lepas dijelaskan oleh Brilmayer

sebagai kepentingan negara-negara maritim yang memiliki supremasi di laut,

khususnya negara-negara barat. Ia menjelaskan bahwa, “… the western states had

significant economic and military interests in maintaining the freedom of the high

seas, interests that were not shared by the weaker and poorer states.”152

Doktrin mare liberum yang lahir sebagai sintesis juris internasional terhadap

aplikasi hukum internasional di atas laut pada abad keenam belas hingga abad

ketujuhbelas diterima sebagai prinsip hukum internasional ketika KHL 1958

dilangsungkan di Jenewa. Vercruyssen menjelaskan bahwa dalam tahap ini konsep

mare liberum telah menghasilkan dua makna baru, yaitu “… the high seas are

common to all States; no one state could claim national sovereignty.”153 Penjelasan

yang lebih spesifik dapat diperhatikan dari penjabaran Khoei dan Abdollahi yang

menyebutkan bahwa “High seas mentions to all marine areas and world oceans

which are out of internal waters range and territorial seas of coastal states and are

open to all governments and no government could legally apply rule and

qualification.”154 Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa

laut lepas harus dipisahkan dari laut pedalaman dan laut teritorial negara pantai.

151 Ibid, h. 60 152 Brilmayer, op.cit, h. 713 153 Vercruyssen, op.cit, h. 13 154 Peyman Hakimzade Khoei & Mohsen Abdollahi, Limitations of Freedom of Navigation on the

High Seas, Specialty Journal of Politics and Law, Vol, 1 (1): 60-66, 2016, h. 60

Page 67: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

82

Khoei dan Abdollahi kemudian menguatkan karakter laut lepas dengan

menyebutkan bahwa laut lepas ‘belongs to humanity’.155

Namun, atas prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, apakah negara-negara

pantai benar-benar ‘bebas’ untuk berbuatan di wilayah tersebut? Apakah ada

pembatasan atas setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi di laut lepas?

Perbuatan-perbuatan seperti apa yang dapat diangap secara wajar legal dihadapan

hukum internasional? Secara umum, bahkan sebelum usaha untuk

mengkodifikasikan hukum laut internasional dimulai, doktrin kebebasan di laut

lepas tidak benar-benar menjamin bahwa negara pantai ‘bebas’ untuk melakukan

perbuatan berdasarkan diskresinya di laut lepas. Theodora mengungkapkan

karakter laut lepas sebagai berikut:

“Freedom in the high seas creates an open access regime

allowing for its laissez-faire use. The few restrictions that exist

serve only to protect the interests of other states and their exercise

of free use. In that sense, this principle is identified in the law of

the sea as res communis, which allows for the general

exploitation of resources that are available in such abundance or

are so remote that no significant conflicts among current or future

exploiters are expected.” 156

Sehingga pembatasan-pembatasan yang ada di dalam hukum laut internasional

hanya dilakukan secara spesifik dan hal tersebut pun hanya terbatas pada kebiasaan-

kebiasaan yang telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional, yaitu

kebebasan bernavigasi, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut, dan

kebebasan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di laut lepas.

Pada kurun waktu tahun 1927, The Institute of International Law membuat sebuah

155 Ibid, h. 61 156 Varela P. Theodora, Polar Regions, High Seas And The Deep Sea Bed (Global Commons):

International Regulations And Policies For Their Management And Protection Under The Concept

Of The Common Heritage Of Mankind, (Disertasi), University of Piraeus, 2017, h. 31

Page 68: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

83

deklarasi yang merumuskan konsekuensi apa saja yang dihasilkan dari prinsip ini,

antara lain sebagai berikut: i) kebebasan bernavigasi di laut lepas bagi kapal yang

tunduk, secara eksklusif, pada hukum yang berlaku sesuai dengan bendera kapal

tersebut; ii) kebebasan untuk menangkap ikan di laut lepas; iii) kebebasan untuk

memasang kabel bawah laut di laut lepas; iv) kebebasan untuk terbang di laut

lepas.157 Anand menekankan bahwa tujuan dari prinsip ini adalah untuk ‘maintain

the minimum public order in the high seas’.158 Pada konferensi Wina tahun 1926,

The International Law Association juga mengungkapkan hal yang sama pada Pasal

1 rancangan ‘Laws of Maritime Jurisdiction in time of peace’ bahwa, “for the

purpose of securing the fullest user of the seas, all States an their subject shall enjoy

absolute liberty and equality of navigation, transport, communications, industry

and science in and on the seas.”159 Dan Pasal 13 mengatur bahwa ‘no State or group

of States may claim any right of sovereignty, privilege or prerogative over any

portion of the high seas or place any obstacle to the free and full use of the seas.”160

Secara normatif, Pasal 1 KHL 1958 mengatur bahwa laut lepas adalah bagian

laut yang tidak termasuk laut teritorial dan laut pedalaman dari suatu negara. Pasal

2 KHL 1958 mengatur bahwa laut lepas adalah terbuka bagi setiap negara dan tidak

ada negara yang dapat meletakkan kedaulatannya di laut lepas namun negara, baik

negara pantai maupun negara non-pantai, memiliki kebebasan untuk melakukan

bentuk-bentuk perbuatan yang terdapat di dalam KHL 1958 sebagai berikut:

o Kebebasan bernavigasi

o Kebebasan menangkap ikan

157 Colombos, op.cit, h. 64-65 158 Anand, op.cit, h. 162 159 Colombos, op.cit, h. 65 160 Ibid

Page 69: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

84

o Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut

o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas

Namun di dalam Pasal 2 KHL 1958 juga menjelaskan bahwa dalam pelaksanakan

hak-hak yang suda diakui oleh prinsip-prinsip umum hukum internasional, negara

memiliki kewajiban untuk melaksanakan hal tersebut secara rasional dan

memperhatikan kepentingan negara lain.

KHL 1982 tidak memiliki perbedaan yang fundamental terkait dengan aturan

normatif laut lepas di dalam KHL 1958. Pasal 87 KHL 1982 menegaskan bahwa

laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai maupun land-locked

state. Di atas laut lepas tersebut, negara pantai memiliki hak-hak sebagai berikut:

o Kebebasan bernavigasi

o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas

o Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut

o Kebebasan untuk mendirikan pulau buatan dan instalasi yang diizinkan

oleh hukum internasional

o Kebebasan untuk menangkap ikan

o Kebebasan untuk mengadakan penelitian ilmiah

Pasal 88 KHL 1982 menekankan bahwa laut lepas harus dimanfaatkan secara damai

oleh negara-negara. Pasal 89 KHL 1982 menegaskan prinsip res communis laut

lepas dengan mengatur bahwa tiada satu negarapun yang dapat meletakkan

kedaulatan di atas laut lepas.

Kebebasan bernavigasi (Freedom of navigation) bagi negara pantai maupun

land-locked state merupakan isu fundamental, yang dalam sejarah perkembangan

konsep laut lepas merupakan inti dari perdebatan klasik diskursus hukum laut

Page 70: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

85

internasional. Vercruyssen menjelaskan bahwa kebebasan bernavigasi ‘existed in

customary international law long before the LOSC (Law of the Sea Convention)

was created’.161

Lalu apakah negara memiliki yurisdiksi atas kapal yang berlayar di laut lepas?

Mengenai definisi kapal sendiri, Komisi Hukum Internasional, pada tahun 1955,

secara bulat menghapuskan definisi mereka terhadap kapal yang berbunyi: “A ship

is a device capable of traversing the sea, but not the air space, with the equipment

and crew appropriate for the purpose for which it is used.”162 Galea melanjutkan

usaha untuk mendefinisikan kapal dengan menjelaskan bahwa kapal memiliki dua

elemen penting: a) dalam bentuk fisiknya, ia adalah suatu ‘kendaraan’; b) dalam

fungsinya, ia harus bisa ‘berlayar di atas laut.163 Galea mengungkapkan bahwa dua

elemen tersebut sangat penting untuk menentukan apakah suatu obyek yang berada

di laut lepas memang merupakan sebuah kapal atau bukan. Ia menjelaskan sebagai

berikut: “Navigation is of principle importance of a ship. It is the primary funcion

of the object but it is not the primary function of an installation or artificial

platform.”164 Sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional di mana

kapal adalah bagian yang tak terpisahkan dari negara apabila ia menerbangkan

bendera asal negara tempat ia berada. Mengapa keberadaan bendera sangat penting

bagi kapal dan utamanya, mengapa ia menjadi bagian penting dari kemampuan

negara untuk meletakkan jurisdiksinya di atas kapal yang mengibarkan bendera

negaranya? Mansell menjelaskan bahwa pada dasarnya bendera merupakan

161 Vercruyssen, op.cit, h. 15 162 Galea, op.cit, h. 46 163 Ibid, h. 46 164 Ibid.

Page 71: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

86

‘symbol of nationality’ dan ‘symbol of pride in nationhood’.165 Dalam sejarahnya,

penggunaan bendera sebagai identitas atas kapal pertama kali dipraktikkan oleh

bangsa Viking. Namun pemanfaatan bendera sebagai identitas kapal baru

berkembang sebagai sebuah kebiasaan pada abad pertengahan untuk menunjukkan

dari mana kapal tersebut melepas sauh, dari negara mana ia berasal, hingga

kebangsaannya. 166 Campbell, dengan dikutip oleh Mansell, menjelaskan fungsi

utama dari pengibaran bendera oleh kapal sebagai berikut: “The flag, together with

the marking of the port of registry, are the most obvious manifestation of a ship’s

nationality, and strict requirements and procedures govern the use of national

colours.”167 Oleh karena itu, fungsi bendera sebagai simbol yurisdiksi negara di atas

kapal dapat disebut sebagai usaha untuk memfiksikan yurisdiksi negara di atas

kapal. Galea, dengan mengutip Lord Finlay, menjelaskan bahwa, kapal ‘is not a

person, nor a territory’. 168 Adapun argumen untuk menjelaskan kemampuan

negara untuk meletakkan yurisdiksinya di atas kapal adalah bahwa kapal adalah

‘continuation or prolongation of its territory’.169 Sebagai konsekuensi dari prinsip

kebebasan bernavigasi di laut lepas, Dahl menjelaskan bahwa ada dua argumen

yang berbeda terkait dengan yurisdiksi negara atas kapal di laut lepas. Argumen

pertama menyatakan bahwa ‘flag state jurisdiction is based on the principle of

nationality, i.e. that the vessel has the nationality of the flag state’ dan argumen

kedua menyatakan bahwa ‘vessel is a “floating island” of the state and that it

165 J.N.K Mansell, Flag State Responsibility: Flag State Responsibility: Historical Development and

Contemporary Issues, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, 2009, h. 13 166 Ibid, h. 18 167 Ibid, h. 14 168 Galea, op.cit¸ h. 45 169 Colombos, op.cit, h. 285

Page 72: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

87

should be regarded as the territory of the flag state’.170 Namun argumentasi kedua

mendapatkan kritikan keras dari sistem hukum Inggris di mana gagasan untuk

menganggap bahwa kapal adalah ‘floating island’ hanyalah metafora yang

memiliki makna bahwa ‘the flag state has jurisdiction over the vessel in the same

way as it has over its territory’.171 Sumbangan argumentasi fundamental yang

menegaskan bagaimana hukum internasional memandang yurisdiksi negara atas

kapal yang mengibarkan benderanya dapat dilihat dari perkara lotus case sebagai

berikut: “A corollary of the principle of the freedom of the seas is that a ship on the

high seas is assimilated to the territory of the State which it flies, for, just as in its

own territory, that State exercises its authority upon it, and no other States may do

so,”172 dan kemudian selanjutnya menegaskan bahwa, “… by the virtue of the

principle of the freedom of the seas, a ship is placed in the same position as national

territory …”173 Pasal 90 KHL 1982 mengatur hal ini dengan menyebutkan bahwa

setiap negara, baik negara pantai maupun land-locked state, memiliki hak untuk

melayarkan kapal yang berlayar dengan bendera negaranya di laut lepas. Lalu Pasal

91 ayat (1) mengatur bahwa setiap negara mengatur setiap syarat yang diperlukan

bagi kapal untuk memperoleh kewarganegaraan atas kapal, untuk pendaftaran kapal

di wilayah teritorinya, dan untuk mengibarkan benderanya. Dan oleh karena itu

setiap kapal memperoleh kebangsaannya atas bendera negara yang dikibarkannya.

Oleh karena itu harus ada ‘genuine link’ antara negara dan kapal. Pasal 92 KHL

170 Lihat Molenaar, E.J., Coastal State Jurisdiction over Vessel-Source Pollution. Kluwer Law

International, 1998, h. 83 di dalam Charlotte Dahl, Coastal State Jurisdiction Over Foreign Flagged

Vessels Suspected of Piracy, Human Trafficking and Oil Pollution Offences, and the

Interrelationship with Flag State Jurisdiction: a Comparative Analysis, (Tesis), Lund University,

2013, h. 13 171 Ibid, h. 13 172 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), h. 25 173 Ibid.

Page 73: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

88

1982 mengatur mengenai status kapal di laut lepas di mana ayat (1) menjelaskan

bahwa kapal yang sedang berlayar di laut lepas tunduk pada yurisdiksi eksklusif

dari negara kebangsaan kapal tersebut kecuali dalam hal-hal tertentu yag diatur

dengan jelas di dalam perjanjian-perjanjian internasional ataupun di dalam KHL

1982. Dan ayat (2) menjelaskan bahwa sebuah kapal yang berlayar di laut lepas di

bawah bendera dari dua atau lebih negara, dan menggunakannya hanyalah demi

kemudahan saja baginya tidak diperbolehkan menuntut kebangsaan dari salah satu

negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal itu. Pasal 93 ayat (1), yang mengatur

mengenai kapal-kapal yang mengibarkan bendera organisasi internasional seperti

PBB, badan-badan khususnya, dan Badan Tenaga Atom International menyatakan

bahwa pasal-pasal terdahulu tidak berlaku terhadap kapal-kapal yang dgunakan

dalam dinas resmi dari Perserikatan Bangsa-bangsa, badan-badan khususnya, dan

Badan Tenaga Atom Internasional. Selanjutnya, Pasal 94 ayat (1) hingga (7)

membebani cukup banyak kewajiban kepada negara bendera. Dengan tunduknya

kapal yang berlayar di laut lepas pada yurisdiksi eksklusif dari negara bendera,

maka negara bendera haruslah mampu menerapkan yurisdiksi eksklusifnya secara

efektif terhadap kapal yang berkebangsaan negara tersebut. sebagai wujud nyata

dari pelaksanaan yurisdiksi ekklusifnya, antara lain dengan melakukan pengawasan

dalam bidang adminisratif, teknis, dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan

benderanya.

Dalam praktiknya, hubungan antara kapal dengan negara bendera

menimbulkan pemahaman yang berbeda terkait dengan diperlukanya hubungan

yang murni antara kapal dengan kebangsaannya. Prinsip genuine link sendiri telah

diaplikasikan ke dalam beberapa perkara di dalam ITLOS (International Tribunal

Page 74: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

89

of the Law of the Sea) seperti yang dapat diperhatikan dalam putusan M/V Saiga

(No. 2) Case di mahkamah menginterpretasikan prinsip genuine link sebagai

berikut:

“… the purpose of the provisions of the convention on the need

for a genuine link between a ship and its flag State is to secure

more effective implementation of the duties of the flag State,

and not to establish criteria by reference to which the validity of

the registration of ships in a flag State may be challenged by

other States.”174

Mahkamah kemudian menjelaskan bahwa meskipun pada Pasal 94 ayat (2) sampai

(5) menjelaskan secara eksplisit bahwa “… a flag state is required to take exclusive

jurisdiction as envisaged in paragraphs 1”175 dan Pasal 6 yang mengatur bahwa “A

State which has clear grounds to believe that proper jurisdiction and control with

respect to a ship have not been exercised may report the facts to the flag State”176

di mana pasal tersebut membebankan kewajiban kepada negara bendera untuk

‘investigate the matter and, if appropriate, take any action necessary to remedy the

situation’, mahkamah berargumen bahwa, “There is nothing in article 94 to permit

a State which discovers evidence indicating the absence of proper jurisdiction and

control by a flag state over a ship to refuse to recognize the right of the ship to fly

the flag of the flag State.”177 Mahkamah juga menekankan penerapan prinsip ini

yang disesuikan dengan hukum nasional tempat kapal tersebut memperoleh

kebangsaannya dengan menjelaskan sebagai berikut:

“Article 91 leaves to each State exclusive jurisdiction over the

granting of its nationality to ships. In this respect, article 91

codifies a well-established rule of general international law.

Under this article, it is for Saint Vincent and the Grenadines to

174 MIV "SAIGA" (No. 2) (Saint Vincent and the Grenadines v. Guinea), Judgment, ITLOS Reports

1999, p. 10, para. 83 175 Ibid, para. 82 176 Ibid. 177 Ibid.

Page 75: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

90

fix the conditions for the grant of its nationality to ships, for the

registration of ships in its territory and for the right to fly its

flag.”178

Kemudian mahkamah melanjutkan sebagai berikut:

“International law recognizes several modalities for the grant of

nationality to different types of ships. In the case of merchant

ships, the normal procedure used by States to grant nationality

is registration in accordance with domestic legislation adopted

for that purpose. This procedure is adopted by Saint Vincent and

the Grenadines in the Merchant Shipping Act.”179

Dalam perkara M/V Virginia G (No. 19) Case, mahkamah menginterpretasikan

pasal 91 ayat (1) sebagai berikut: “… article 91, paragraph 1, third sentence, of the

Convention requiring a genuine link between the flag state and the ship should no

be read as establishing prerequisites or condition to be satisfied for the exercise of

the right of the flag State to grant its nationality to ships.” Mahkamah kemudian

menarik benang merah antara kapal dan kebangsaannya dengan registrasi yang

diwajibkan oleh hukum internasional sebagai berikut:

“In the view of the Tribunal, once a ship is registered, the flag

State is required, under article 94 of the Convention, to exercise

effective jurisdiction and control over that ship in order to

ensure that it operates in accordance with generally accepted

international regulations, procedures and practices. This is the

meaning of ‘genuine link’.”180

Dalam kasus lain seperti The Case of the S.S.”Lotus”, mahkamah menjelaskan

bahwa “… a State is not entitled … to extend the criminal jurisdiction of its courts to

include a crime or offence committed by a foreigner abroad solely in consequence oI the

fact that one of its nationals has been a victim of the crime or offence.”181 Dan mahkamah

menyimpulkan bahwa “… acts performed on the high seas on board a merchant

178 Ibid, para. 63 179 Ibid, para. 64 180 M/V “Virginia G” (Panama/Guinea-Bissau), Judgment, ITLOS Reports 2014, p. 4, para. 113 181 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), h. 7

Page 76: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

91

ship are, in principle and from the point of view of criminal proceedings, amenable

only to the jurisdiction of the courts of the State whose flag the vessel flies.”182

Mahkamah menjelaskan bahwa isu yurisdiksi teritorial atas kapal negara bendera

hanya tercipta antara negara yang memiliki hubungan dengan kapal tersebut—

dalam kasus ini, adalah Perancis dan Turki sebagai negara bendera. Mahkamah

sendiri mempertahankan praktik dan kebiasaan hukum internasional mengenai

yurisdiksi negara bendera di atas kapal sebagai berikut:

"It is certainly true that-apart from certain special cases which

are defined by international law-vessels on the high seas are

subject to no authority except that of the State whose flag they fly.

In virtue of the principle of the freedom of the seas, that is to Say,

the absence of any territorial sovereignty upon the high seas, no

State may exercise any kind of jurisdiction over foreign vessels

upon them.183

Mahkamah melanjutkan bahwa kapal diperlakukan sama seperti wilayah teritorial

negara bendera184 dan setiap perbuatan yang terjadi di kapal tersebut ‘must be

regarded as if it occurred on the territory of the State whose flag the ship flies’185.

Mahkamah kemudian menyimpukan, secara negatif, bahwa “there is no rule of

international law prohibiting the State to which the ship on which the effects of

the'offence have taken place belongs, from regarding the offence as having been

committed in its territory and prosecuting, accordingly, the delinquent.”186

Oleh karena itu, kita dapat menyusun argumen-argumen tersebut ke dalam

runtutan yang lebih sistematis sebagai berikut: Yurisdiksi negara bendera di atas

kapal tercipta ketika kapal tersebut didaftarkan di negara bendera yang

bersangkutan. Oleh karena itu negara memiliki yurisdiksi di atas kapal yang

182 Ibid, h. 7 183 Ibid, h. 25 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid.

Page 77: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

92

mengibarkan benderanya dan setiap perbuatan yang terjadi di atas kapal berada di

bawah yuridiksi negara bendera tempat kapal tersebut didaftarkan. ‘Genuine link’

yang diatur di dalam KHL 1982 tercipta di saat pendaftaran tersebut dilakukan oleh

kapal. Suatu negara tidak dapat menggunakan dasar bahwa apabila negara bendera

tidak melaksanakan yurisdiksinya di atas kapal tersebut maka yurisdiksi negara

akan hilang sebagai alasan untuk menghapuskan yurisdiksi negara atas kapal.

Yurisdiksi negara di atas kapal tetap ada bahkan ketika negara bendera lalai

melaksanakan kewajiban tersebut.

b) Pemanfaatan Sumber Daya Ekonomi di Dasar Laut Berdasarkan Prinsip

Common Heritage of Mankind

Negara pantai memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya hayati

dan non hayati di landas kontinennya dengan dasar hak berdaulat yang diberikan

oleh KHL 1982. Namun bagaimana status dasar laut yang berada di luar batas

terluar dari landas kontinennya? Apakah negara pantai tidak boleh meletakkan hak

berdaulat di luar wilayah landas kontinennya?

Sama seperti bagaimana konsep Zona Ekonomi Eksklusif lahir sebagai konsep

yang revolusioner dan solutif terhadap isu kepentingan negara pantai atas wilayah

laut yang berbatasan dengan laut teritorialnya, prinsip common heritage of mankind

lahir sebagai jawaban revolusioner terhadap dasar laut di luar wilayah yurisdiksi

hak berdaulat negara pantai. 187 Sama seperti diskursus yang melatarbelakangi

mengapa negara pantai tidak dapat meletakkan hak berdaulatnya di landas kontinen

dan mengapa negara pantai tidak dapat meletakkan kedaulatan sejauh 200 mil laut

karena kepentingan ekonomi yang amat vital terhadap kepentingan negara,

187 Rudiger Wolfrum, The Principle of Common Heritage of Mankind, ZaoRV 44, 1983, h. 317

Page 78: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

93

irasionalitas hak negara untuk meletakkan kedaulatan di dasar laut di luar zona

landas kontinennya dijelaskan oleh Scovassi sebagai berikut:

“The application of the scheme of sovereignty was likely to lead

to a series of competitive extensions of the limits of national

jurisdiction on the sea bed. The application of the scheme of

freedom was likely to lead to a rush towards the exploitation of

economically and strategically valuable minerals falling under a

«frst-come-frst-served» approach.”188

Ketimpangan ekonomi yang dihasilkan dari perebutan wilayah dasar laut oleh

negara maju dan berkembang juga disebutkan oleh Brilmayer dengan menjelaskan

bahwa “Rejection of the ‘first come, first served’ doctrine was based on widespread

unwillingness to accept its distributional consequences. The developing states were

well aware that they would be last to arrive and would probably not be served at

all.” 189 Profesor McDougal dan Burke, dengan dikutip Becker, menjelaskan

bagaimana seharusnya negara memperlakukan dan memanfaatkan sumber daya

alam hayati dan non-hayati yang melimpah sebagai berikut: “… the great bulk of

the oceans of the world should be maintained as a common resource, freely open

to all peoples upon a basis of complete equality in cooperative pursuit of the

greatest possible production and sharing values.”190

Prinsip common heritage of mankind, menurut Noyes, mengambil pemikiran

pasifistis dari konsep hukum romawi kuno mengenai pemanfaatan sumber daya

alam secara kolektif dan pengaruh agama samawi dan buddhisme mengenai

resolusi konflik secara damai, 191 sementara itu Buttigieg menganggap bahwa

188 Tullio Scovassi, The Concept of Common Heritage of Mankind and the Genetic Resources of the

Seabed Beyond the Limits of Nationsl Jurisdiction, Agenda Internacional, Año XIV, N° 25, pp. 11-

24, 2007, h. 12. 189 Brilmayer, op.cit, h. 711 190 Michael A. Becker, The Shifting Public Order of the Oceans: Freedom of the Navigation and the

Interdiction of Ships at Sea, Harvard International Law Journal, Vol. 46, 2005, h. 169 191 John E. Noyes, The Common Heritage of Mankind: Past, Present, and Future, 40 DENV. J.

INT’L L. & POL’Y 447, 2012, h. 457

Page 79: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

94

prinsip common heritage of mankind adalah penafsiran alternatif atas hukum

perdata romawi kuno192 maupun prinsip yang melatarbelakangi perang buku antara

prinsip mare liberum dan mare clausum. Noyes menjelaskan bahwa prinsip

common heritage of mankind perlu dipahami berdasarkan situasi politik dan

ekonomi pada periode 1960-1970an sebagaimana ia menjelaskan bahwa “Debates

over the CH (common heritage) principle reflected deep-seated political tensions

between Western developed states and the Third World.” 193 Situasi tersebut

diperkuat dengan tensi politik perebutan manfaat ekonomi di wilayah dasar laut

antara negara maju dan negara berkembang.

Prinsip ini pertama kali dibawah oleh duta besar Malta untuk PBB, Mr. Arvid

Pardo, pada Majelis Umum PBB pada tanggal 1 November 1967,194 meskipun

Wolfrum meragukan apakah benar Arvid Pardo yang mengusulkan prinsip ini

kepada Majelis Umum PBB ataukah Mr. Cocca yang mengajukan prinsip ini ketika

konvensi tentang luar angkasa dilangsungkan pada beberapa bulan sebelum ia

membacakan pidatonya di sidang majelis umum PBB tahun 1967 dilangsungkan.195

Pardo mencoba menarik sebuah kenyataan praktik negara-negara maju bahwa

perkembangan teknologi memungkinkan negara-negara maju mengeksploitasi

sumber daya alam di dasar laut yang lebih melimpah dari pada sumber daya alam

yang ada di daratan. 196 Beberapa negara, menurut Pardo, dapat menggunakan

keunggulan teknologi yang mereka miliki untuk ‘achieve near-unbreakable world

dominance through predominant control over the seabed and the ocean floor’dan

192 Buttigieg, op.cit, h. 81 193 Noyes, op.cit, h. 459 194 Wolfrum, op.cit, h. 312-313 195 Scovassi, op.cit, h. 11 196 Anand, op.cit, h. 195

Page 80: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

95

ia kemudian menyimpulkan bahwa usaha negara-negara tersebut dapat

mengakibatkan ‘a competitive scramble for sovereign rights over the land under

the seas and oceans, surpassing in magnitude and in its implication last century's

scramble for territory in Asia and Africa’. Pardo kemudian memberikan saran

bahwa sebelum negara-negara menyelesaikan status hukum negara pantai atas zona

landas kontinennya, wilayah di luar zona tersebut harus disebut sebagai ‘common

heritage of mankind’ untuk dimanfaatkan dengan tujuan yang damai dan

dimanfaatkan sepenuhnya demi kepentingan umat manusia dengan memperhatikan

kondisi negara-negara miskin.197 Colombos menjelaskan ketidakmampuan negara

pantai untuk meletakkan kedaulatan di dasar laut dengan menyebutkan bahwa “It

is incapable of occupation by any State and that its legal status is the same as that

of the waters of the open sea above it.”198 Namun perlu dicatat bahwa eksplanasi

Colombos bersifat permisif di mana ia masih memungkinkan dasar laut untuk

dikuasai oleh negara dengan dasar perjanjian internasional yang bersifat regional

maupun multilateral.199

Scovassi menjelaskan elemen fundamental dari prinsip common heritage of

mankind adalah

“… the prohibition of national appropriation, the destination of

the seabed for peaceful purposes, the use of the seabed and its

resources for the beneft of mankind as a whole with particular

consideration for the interests and needs of developing countries,

the establishment of an international organization entitled to act

on behalf of mankind in the exercise of rights over the

resources.”200

197 Ibid. 198 Colombos, op.cit, h. 67 199 Ibid, h. 67-68 200 Scovassi, op.cit, h. 12

Page 81: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

96

Franckx, dengan mengutip Wolfrum, menjelaskan bahwa prinsip common heritage

of mankind dapat dipahami sebagai “… internationalization of common space

outside the national jurisdiction”201 di mana Wolfrum menjelaskan bahwa prinsip

common heritage of mankind harus dipahami dalam konteks kepentingan ekonomi

negara atas sumber daya alam di dasar laut dan usaha untuk mempromosikan

transfer teknologi sebagaimana ia menjelaskan tujuan tersebut ‘existed to make use

of the common heritage principle with respect to the transfer of technology and to

govern the trade of commodities’.202 Noyes mengklasifikasikan unsur-unsur prinsip

common heritage of mankind sebagai berikut:

o Ketidakmampuan negara untuk menguasai, atau melaksanakan kedaulatan,

di atas wilayah tersebut;

o Memberikan hak atas sumber daya alam tersebut demi kepentingan umat

manusia;

o Pemanfaatan wilayah tersebut atas tujuan-tujuan yang damai;

o Perlindungan terhadap lingkungan kawasan tersebut;

o Pemerataan atas keuntungan yang didapat dari eksploitasi sumber daya alam

tersebut dan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara

berkembang; dan

o Pengurusan kawasan melalui kepengurusan bersama.203

Hal menarik dari prinsip common heritage of mankind selain ketidakmampuan

negara untuk meletakkan kedaulatannya di atas laut adalah bagaimana prinsip ini

201 Erik Francxk, The International Seabed Authority and the Common Heritage of Mankind: The

Need for States to Establish the Outer Limits of their Continental Shelf, The International Journal of

Marine and Coastal Law 25, p. 543–567, (Selanjutnya disingkat menjadi Franckx II), 2010, h. 544 202 Wolfrum, op.cit, h. 313 203 Noyes, op.cit, h. 450-451

Page 82: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

97

mewajibkan negara untuk mendistribusikan manfaat yang didapatnya dari

eksploitasi sumber daya alam di bawah laut. Hal ini diungkapkan oleh delegasi

Afrika Selatan di mana mereka memberikan penekanan pada aspek solidaritas umat

manusia dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut di mana

mereka menyebutkan sebagai berikut:

“The common heritage of mankind principle is not solely about

benefit sharing. It is just as much about conservation and

preservation. The principle is about solidarity; solidarity in the

preservation and conservation of a good we all share and

therefore should protect. But also solidarity in ensuring that this

good, which we all share, is for all our benefit.”204

Jaeckel, et.al., mengartikan hal ini dengan menyebutkan bahwa prinsip ini adalah

prinsip yang ‘menantang’ mengingat manfaat ekonomi yang dihasilkan dari

ekploitasi kawasan sangatlah melimpah dan bagaimana eksploitasi kawasan ini

dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan oleh para

ilmuwan.205 Distribusi keuntungan tersebut juga ditekankan kembali oleh Jaeckel,

et.al., bahwa tujuan dari pada hal ini adalah untuk menjamin pemanfaatan sumber

daya alam di dasar laut tersebut ‘would not be solely reaped by the handful of

industrialised States that possessed the capacity to make substantial investments to

develop seabed mining technology’206 Kekhawatiran negara-negara berkembang

terhadap ekploitasi berlebihan yang dapat terjadi apabila dasar laut dapat dikuasai

dan dieksploitasi secara ekslusif oleh negara maju diartikulasikan oleh

Schackelford dengan mengutip ungkapan yang digunakan oleh William Forster

Lloyd sebagai ‘Tragedy of the commons’ di mana ungkapan ini memiliki makna

204 Aline Jaeckel, et.al., Conserving the Common Heritage of Mankind – Option for the Deep Seabed

Mining Regime, Marine Policy 78, p. 150–157, 2017, h. 150 205 Ibid. 206 Aline Jaeckel, et.al., Sharing Benefits of the Common Heritage of Mankind – is the Deep Seabed

Mining Regime Ready?, Marine Policy, 2016, h. 2

Page 83: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

98

bahwa “unrestricted access to a resource ultimately dooms the resource to over-

exploitation.”207 Hardin, di dalam Schackelford, menjelaskan bahwa kebutuhan

untuk membatasi makna kebebasan adalah isu yang penting sebagaimana ia

menjelaskan sebagai berikut:

“By recognizing resources as commons, and by agreeing that they

require management, Hardin believes that we can preserve and

nurture other more precious freedoms. Thus finding a solution to

resource competition requires recognizing the necessity of

preservation and responsible management through international

cooperation to avoid both over- and under-exploitation.”208

Pada tahap berikutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana prinsip common

heritage of mankind diadopsi ke dalam KHL 1982. Karena berbagai pertimbangan

atas isu pengeksploitasian sumber daya alam di kawasan dasar laut, Majelis Umum

PBB pun kemudian mengambil tindakan untuk mengakomodir isu tersebut ke

dalam Resolusi 2467A yang mana resolusi ini menjadi dasar pembentukan Komite

Dasar laut (Seabed Committee). 209 Dalam Konferensi Hukum Laut PBB yang

berlangsung dari tahun 1973 sampai 1982, berbagai pranata hukum laut maupun

aspek hukum laut lainnya dibahas secara intensif. Pada tahap-tahap awal konferensi

tersebut, ia menghasilkan rancangan naskah yang diberi nama Informal Single

Negotiating Texts (ISNT) yang selanjutnya dibahas secara lebih intensif sehingga

menghasilkan naskah dengan nama nama Informal Composite Negotiating Text

(INCT). Pada akhirnya, Konferensi menyepakati naskah finalnya dan memasukkan

207 Scott J. Shackelford, The Tragedy of the Common Heritage of Mankind, Shackelford, Scott J.,

The Tragedy of the Common Heritage of Mankind, stanford environmental law journal, vol. 27,

2008, h. 4 208 Ibid. 209 Edward Guntrip, The Common Heritage of Mankind: An Adequate Regime for Managing the

Deep Seabed, Melbourne Journal of International Law, Vol. 4, 2003, h. 380

Page 84: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

99

pranata hukum laut mengenai kawasan dasar laut sebagai bagian dari konvensi yang

tercantum dalam Bab XI Pasal 133-191)210

KHL 1982 menggunakan terma Kawasan untuk mendefinisikan wilayah dasar

laut dan dasar samudera dalam di mana hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KHL

1982 yang menyebutkan sebagai berikut: “ Area means the seabed and ocean floor

and subsoil thereof, beyond the limits of national jurisdiction.” Terhadap pasal ini,

Parthiana menjelaskan bahwa terdapat suatu kesulitan untuk memahami makna dari

definisi KHL 1982 terhadap definisi Kawasan. Ia menjelaskan bahwa “… jika area

itu hanya terdiri atas dasar laut serta tanah di bawahnya saja, tanpa disertai adanya

dasar samudera-dalam serta tanah di bawahnya maka tidak bisa disebut Kawasan

walaupun terletak di luar yurisdiksi nasional.” 211 Oleh karena itu, Parthiana

memberikan interpretasinya terhadap definisi kawasan sebagai berikut:

o Dasar laut dan dasar samudera-dalam serta tanah di bawahnya; dan

o Dasar laut serta tanah di bawahnya (tanpa ada dasar samudera dalam).212

Kemudian Parthiana menjelaskan bahwa penafsirannya ini dapat menjawab dilema

yang dihadapi dari Pasal 1 tersebut. Artinya, definisi tersebut harus dipisahkan dan

diklasifikasikan meliputi dua macam dasar laut serta tanah di bawahnya.213

KHL 1982 juga telah mengadopsi prinsip common heritage of mankind ke

dalam pasal 136 di mana KHL 1982 menyebutkan bahwa “The Area and its

resources are the common heritage of mankind.” Sebagai konsekuensi dari pasal

tersebut, Pasal 137 ayat (1) menegaskan bahwa tiada satu negara pun yang dapat

meletakkan atau melaksanakan kedaulatan maupun hak berdaulatnya di atas

210 Parthiana, op.cit. h. 218 211 Ibid, h. 219 212 Ibid. 213 Ibid.

Page 85: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

100

Kawasan di bagian manapun. Ayat ini juga menegaskan bahwa setiap klaim

kedaulatan dan hak berdaulat atas Kawasan tidak akan diakui. Ayat (2) kemudian

menjelaskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam di Kawasan harus digunakan

demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan, di mana pihak yang

melaksanakan hal ini adalah Otorita yang diatur di dalam KHL 1982. Ayat (3)

melarang setiap pihak untuk meletakkan klaim, mendapatkan, atau melaksanakan

haknya atas mineral yang dieksploitasi dari Kawasan kecuali hal tersebut sudah

sesuai dengan apa yang diatur di dalam KHL 1982. Apabila bertentangan dengan

ketentuan KHL 1982, maka hak tersebut tidak akan diakui.

Dalam melakukan segala kegiatan di Kawasan, setiap negara harus berperilaku

berdasarkan ketentan bab ini, asas-asas yang tercantum di dalam Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan ketentuan hukum internasional lainnya demi

terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta memajukan kerja sama dan saling

pengertian internasional sebagaimana hal ini diatur dalam pasal 138 KHL 1982

yang mengatur kesesuaian tindakan negara dalam hubungannya dengan kawasan.

Ketentuan ini bersifat deklaratif dan normatif belaka, sebab tanpa penegasan

semacam ini pun setiap negara harus berperilaku seperti ini, di mana pun dan kapan

pun. Sebenarnya ketentan ini tidak saja berlaku bagi setiap negara, tetapi juga bagi

badan-badan hukum ataupun perorangan yang melakukan kegiatan di Kawasan

berdasarkan Bab XII KHL 1982 yang mengatur tentang kawasan.214

Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) mengatur tentang tanggung jawab negara untuk

menjamin enaatan dan kewajiban untuk membayar ganti rugi,. Ayat (1)

membenbani pertanggunjawaban kepada negara-negara peserta konferensi untuk

214 Ibid, h. 222

Page 86: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

101

menjamin bahwa semua kegiatan yang dilkakukan di kKawasan, baik yang

dilakukan oleh negara-negara peserta itu sendiri, perusahaan-perusahaan dari

negara itu masing-masing, badan-badan hukum yang lain, ataupun orang-

perorangan yang berkewarganegaraan dari negara itu masing-masing harus sesuai

dengan ketentuan Bab X ini. Bahkan ayat ini memperluasanya pada tanggung jawab

yagn sama dari organisasi internasional terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh organisasi internasinal yang bersangkutan di Kawasan. Ayat (2) dari Pasal 139

mengatur tentang kewjaban memberikanganti rugi sebagai akibat dari kelaluaian

negara peserta atau organisasi internasional yang bersangkutan dalam

melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam Bab XI ini. jika kerugian itu

disebabkan oleh tindakan bersamadari negara dan organisasi internasional tersebut,

maka tanggung jawab dalam pemberian ganti rugi kepada pihak yang menderita

kerugian sebagai akibat kelalaian kedua pihak harus dipikul secara bersama-sama

ataupun secara tanggung-renteng dalam pemberian ganti rugi. Suatu negara peserta

tersebut akan dibebaskan dari kewajiban memikul tanggun jawab memberikan ganti

rugi atas perbuatan seseorang yang disponsorinya dalam melakukan kegiatan di

Kawasan apabila negara itu telah menempuh semua langah yang perlu dan tepat

untuk menjamin penaatan yang efektif. Sedangkan ayat (3) mengatur tentang

kewajiban negara-negara peserta yang menjadi anggota dari suatu organisasi

internasional untuk menempuh langkah-langkah yang tepat demi menjamin

pelaksanaan pasal ini yang berkenaan dengan organisasi internasional yang

bersangkutan.

Pasal 140 ayat (1) menyatakan bahwa semua kegiatan di Kawasan harus

dilaksanakan dmei kemanfaatan bagi umat manusia sebagai suatu keseluruhan,

Page 87: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

102

tanpa memandang letak geografis dari negara-negara, negara berpantai atau tidak

berpantai, dengan memperhatikan secara khusus kepentingan dan kebutuhan

negara-negara berkembang dan bangsa-bangsa yang belum memperoleh

kemerdekaan secara penuh atau belum berpemerintahan sendiri yang diakui oleh

PBB. Ayat (2) mengamanatkan kepada Otorita, agar mengadakan pembagian secara

adil atas segala finansial dan keuntungan ekoomi lainnya yang dihasilkan dari

kegiatan-kegiatan di Kawasan melalui mekanisme yang sesuai berdasarkan prinsip

non-diskriminasi selanjutnya dalam Pasal 141 ditegaskan tentang penggunaan

Kawasan, bahwa Kawasan harus digunakan oleh semua negara semata-mata untuk

maksud damai, baik negara itu negara berpantai ataupun tidak berpantai tanpa

diskriminasi atas dasar apapun.

Pasal 142 secara khusus menjamin hak dan kepentingan yang sah dari negar-

negara pantai di Kawasan. Kepentingan tersebut antara lain, berkenaan dengan

endapan-endapan sumber daya atau kekayaan di Kawasan yang letaknya melintasi

garis batas yurisdiksi nasional. Dalam kenyataan, boleh jadi terdapat sumber daya

atau kekayaan atau mineral-mineral yang terkandung di dalam Kawasan berada di

bawah garis batas antara landas kontinen sebagai batas luar yurisdiksi nasional dan

Kawasan. Ini yang lazim disebut dengan sumber daya atau kekayaan atau mineral-

mineral yang lintas-batas (transboundary resources). Menurut Pasal 142 ayat (1)

kepentingan-kepentingan yang sah dari negara pantai dalam hal ini harus

diperhatikan. Apa saja kepentingan yang sah dan bagaimana memperhatikannya,

itu sepenuhnya tergantung pada Otorita dan negara atau negara-negara pantai yang

bersangkutan. Akan tetapi ayat (2) sudah memberikan petunjuk tentang cara-cara

tersebut, seperti konsultasi-konsultasi dalam rangka mencegah pelanggaran atas

Page 88: BAB II ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL · A. Sumber Hukum Laut Internasional . Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia bertransformasi dari hukum

103

hak-hak dan kepentingan negara pantai. Apabila sampai tereksploitasinya sumber

daya yang berada di dalam yurisdiksi nasional negara pantai oleh kegiatan-kegiatan

di Kawasan, maka haruslah mendapat persetujuan lebih dahulu dari negara pantai

yang bersangkutan. Hak negara pantai untuk mengambil tindakan yang dipandanga

perlu dan yang konsisten berdasarkan ketentuan Konvensi pada umumnya,

ketentuan dari Bab XI ini pada khususnya harus tetap dihormati. Tindakan negara

pantai tersebut dilakukan, misalnya dalam mencegah, mengurangi, atau

menghilangkan ancaman ataupun hal-hal membahayakan garis pantainya ataupun

kepentingan-kepentingannya yang lain yang berkenaan dengan pencemaran

ataupun ancaman pencemaran, atau peristiwa-peristiwa lain yang membahayakan

yang berasal dari ataupun yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan.