BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM … fileArti kata implementasi berasal...
Transcript of BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM … fileArti kata implementasi berasal...
29
BAB II
TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI
DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN
2.1 Pengertian Implementasi
Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang
berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi
sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed
at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).39
2.2 Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah
strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan
resmi strafbaar feit.40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana
indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak
pidana.41 Ada pun alasannya sebagai berikut:
39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.65. 40 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,
Bandung, h. 96. 41 Ibid.
30
a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana.
b. Ditinjau dari segi bahasa indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat.
c. Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een persoon stafbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.42
Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi
strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai
strafbaar feit itu sendiri, yaitu :
1. Perbuatan pidana
Moelyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana.
Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.43 Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” lebih
menunjuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif
(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga
bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh
hukum).44 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai
42 Ibid, h. 97. 43 Moljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, h. 59. 44 Ibid.
31
pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.45
2. Peristiwa pidana
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam
perundang-undangan formal indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah
digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14
ayat (1) secara substansif,46 pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih
menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh
perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam
percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu
merupakan peristiwa alam.47
3. Delik
Delik adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materieel
diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan
perbuatan, yang melawan hukum formil materieel, dan tidak adanya dasar
yang membenarkan perbuatan itu48.
45 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, h. 13. 46 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 35. 47 Ibid. 48 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 222.
32
4. Tindak pidana
Pengertian tindak pidana, menurut simons adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang
mampu bertanggung jawab.49
5. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No. 2
Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdelijke byzondere straf
bepalingen S. 1948 -17 dan Undang-Undang R.1. (dahulu) No. 8 tahun
1948 Pasal 3.50
6. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan, 19,21,22).51
Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana yaitu :
a. Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai
suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.52
49 Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 367. 50 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, (selanjutnya disebut Sudarto
II), h. 39. 51 Ibid. 52 Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
182.
33
b. Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau
suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.53
c. Menurut Utrecht, strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya
(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).54
Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa pembentuk undang-
undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih
condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh
pembentuk undang-undang.55 Pendapat Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo
karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak
pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang
dipahami oleh masyarakat.56
Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini
selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang
oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum).57
53 Ibid, h. 184. 54 Ibid, h. 185. 55 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
49. 56 Ibid. 57 Ibid, h. 50.
34
Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikemukakan menurut
pendapat para ahli, yaitu:
a. Menurut simons, unsur-unsur Strafbaar Feit adalah
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak-berbuat
atau membiarkan).
2. Diancam dengan pidana.
3. Melawan hukum.
4. Dilakukan dengan kesalahan.
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.58
b. Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi:
1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana pidana oleh undang-
undang.
3. Perbuatan itu dianggap melawan hukum.
4. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan.
5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.59
c. EY. Kanter dan SR. Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah
1. Subjek.
2. Kesalahan.
3. Bersifat Melawan Hukum
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
58 Sudarto II, Loc.Cit. 59 Loebby Loqman, 2010, Tentang Tindak Pidana dan Beberapa Hal Penting dalam Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
35
5. Waktu, tempat, dan keadaan.60
d. Van Hamel, unsur-unsur Starafbaar Feit adalah:
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang.
2. Melawan hukum.
3. Dilakukan dengan kesalahan dan
4. Patut dipidana.61
Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu
tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau
diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.
Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam perumusan
tindak pidana: pertama, tindak pidana dirumuskan baik nama maupun unsur-
unsurnya. Kedua, adalah tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, dan
ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-
unsurnya.62 Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau
tidak menyebut namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui
doktrin.63
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari
tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-
unsur tindak pidana, yaitu :
60 EY. Kanter dan R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni, Bandung, h. 211 61 Sudarto II, Loc.Cit. 62 Loebby Loqman, Loc.Cit. 63 Loebby Loqman, Loc.Cit.
36
a. Unsur objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas dari si pelaku.
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan
jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus
atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur subyektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53
ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
37
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang
menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum pidana. Salah satu
pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak
lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut
adalah:
a) Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana
(Bijkomende voor waarde straftbaarheid); contoh: Pasal 123, 164, dan
Pasal 531 KUHP.
b) Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak
pidana(Voorwaarden van vervolg baarheid); contoh: Pasal 310, 315,
dan 284 KUHP.
Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan
unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian
atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak
pidana, oleh karena itu jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut
tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan
pidana terdiri dari:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak
terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang
38
dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan
bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya
adalah seorang PNS.
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus
dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan
yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan
dilakukan di muka umum.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang
terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat
dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman
pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP
tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan
luka berat ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika
menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.
d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau
objektif yang menyertai perbuatan.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku
kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat
39
“dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan
hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi
tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat
hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian
dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak
dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang
untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut
hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.64
Sehubungan dengan pengertian pidana itu, penjatuhan sanksi berupa
tindakan diterapkan di dalam hal-hal tertentu, dengan syarat-syarat yang
ditentukan ini terutama diterapkan kepada anak-anak, dan terhadap orang-orang
yang jiwanya terbelakang atau terganggu karena penyakit.
Tindakan-tindakan ini tidak dimaksudkan untuk menerapkan penderitaan,
melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik orang-
orang tertentu guna melindungi masyarakat.65
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masalah tindakan ini penerapannya
hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak
seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya
tumbuh dengan tidak sempurna atau karena terganggu kejiwaannya (sakit jiwa).
Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan
pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan
64 Teguh Prasetyo, 2011, Op.Cit, h. 23. 65 Muladi dan Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 24.
40
kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan
penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi
tersebut.
Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber
hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan.66 Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan
secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi
dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam
konsep KUHP yang menyatakan bahwa:
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan, perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang
dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.
Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat
melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar
penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau
keadilan substantif atau keadilan materiil. Penempatan sifat melawan hukum
materiil tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan
66 Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan
Penerbit Undip, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 49.
41
masyarakat, karena menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang
mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.67
2.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana
Di bawah ini akan disebut pelbagai pembagian jenis tindak pidana :
1. Kejahatan dan Pelanggaran.
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran
dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai mengenai apa yang
disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu
pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang
sepenuhnya memuaskan.68
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik
hukum ialah perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan
dengan keadilan69, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
undang-undang atau tidak, sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam
undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.70 Jenis perbuatan pidana ini
juga disebut mala in se, artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat
karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. misalnya : pembunuhan,
67 Muladi, Op.Cit, h. 61. 68 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 58. 69 Jan Remmenlink, 2003, Hukum Pidana, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 67. 70 Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 101.
42
pencurian.71 Sedangkan wetsdelict atau pelanggaran adalah perbuatan-
perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana,
karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan
ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-
undang mengancam dengan sanksi pidana.72
Selain perbedaan kualitatif tersebut, jonkers sebagaimana dikutip zainal
abidin menyebut adanya perbedaan kuantitatif yang berdasarkan kriminologi,
yaitu pelanggaran dipandang tidak begitu berat daripada kejahatan. Pandangan
dari segi kriminologi tersebut bukanlah pandangan memori van Toelichting
yang membedakan delik hukum dan delik undang-undang73, tetapi pertama-
tama diperkuat dengan hal bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada
sanksi pembuat kejahatan. Kedua diperkuat dengan hal bahwa percobaan
untuk melakukan pelanggaran dan pembantuan dalam pelanggaran tidak
merupakan delik (Pasal 54 dan Pasal 60 KUHP).74
2. Delik Formil dan Delik Materiil
Atas dasar cara perumusannya, delik dibedakan antara delik formil dan
delik materiil. Delik formil menekankan pada dilarangnya perbuatan,
sedangkan delik materiil menekankan pada dilarangnya akibat dari
perbuatan.75 Contohnya adalah pembunuhan sebagai delik materiil, peristiwa
dianggap telah terjadi jika ada yang mati. Berbeda dengan pencurian yang
merupakan delik formil, peristiwa dianggap telah terjadi bukan pada apakah
71 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 100. 72 Mahrus Ali, Loc.Cit. 73 Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352. 74 Zainal Abidin Farid, Loc.Cit. 75 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 101.
43
suatu benda dimaksudkan untuk dipinjam atau dimiliki, proses pindahnya
suatu benda telah cukup membuat dianggap selesainya suatu tindak pidana
formil.76
3. Delik Comisi dan Delik Omisi
a. Delik comisi: terjadinya delik dengan melakukan perbuatan yang dilarang
oleh suatu peraturan hukum pidana.77
b. Delik omisi : terjadinya delik dengan tidak melakukan perbuatan, padahal
seharusnya melakukan perbuatan. Misalnya tidak menghadap sebagai
saksi di muka persidangan seperti yang tercantum dalam Pasal 522
KUHP.78
4. Delik dolus dan delik culpa
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan
itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, seperti dengan sengaja atau
diketahuinya.79 misalnya : Pasal-pasal 162,197, 310, 338 KUHP.
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.80
misalnya : Pasal-pasal 195, 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berganda.
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.
Misalnya: pencurian, penipuan dan pembunuhan.81
76 Erdianto Effendi, Loc.Cit. 77 Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 95. 78 Ibid. 79 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 60. 80 Sudarto II, Op.Cit, h. 58. 81 Mahrus Ali, Op.Cit, h. 102.
44
b. Delik berganda : delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya: Pasal 480 KUHP yang
menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan,
maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.82
6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus.
a. Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan
terlarang itu berlangsung terus, misalnya: delik merampas kemerdekaan
seseorang dalam Pasal 333 KUHP. Delik ini maksudnya selama orang
yang dirampas kemerdekaannya belum dilepas, maka selama itu pula
delik itu masih berlangsung terus menerus.83
b. Delik yang tidak berlangsung terus: delik yang memiliki ciri, bahwa
keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus-menerus seperti
pencurian dan pembunuhan.84
7. Delik aduan dan Delik Biasa.
a. Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada
pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, misal penghinaan
(Pasal 310 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan
dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP yo. ayat 2).85
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, yaitu:
82 Mahrus Ali, Loc.Cit. 83 Jan Remmelink, Op.Cit, h.80. 84 Jan Remmelink, Loc.Cit. 85 Sudarto II, Op.Cit, h. 59.
45
Delik aduan yang absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara
absolut adanya pengaduan untuk penuntutan seperti pencemaran nama
baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.86
Delik aduan relatif, disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada
hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3)
KUHP).87
b. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan
untuk penuntutannya. Misalnya: pembunuhan, pencurian, dan
penggelapan.88
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya.
a. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa
adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam Pasal 362
KUHP tentang pencurian.89
b. Delik yang dikualifikasi adalah delik dalam bentuk pokok yang
ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya
menjadi diperberat, seperti dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP yang
merupakan bentuk kualifikasi dari delik pencurian dalam Pasal 362
KUHP.90
86 Mahrus Ali, Op.Cit, h.103. 87 Teguh Prasetya, Op.Cit, h. 61 88 Mahrus Ali, Loc.Cit. 89 Zainal Abidin, Op.Cit, h. 378. 90 Jan Remmelink, Op.Cit, h. 82.
46
2.4 Pengertian Tindak Pidana Kehutanan
Pengertian tindak pidana kehutanan, tidak kita temukan dalam undang-
undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
baik dalam pasal-pasal bersangkutan maupun penjelasan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013.
Kendatipun dalam Undang-Undang Kehutanan tidak ditemukan pengertian
tindak pidana kehutanan, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tindak
pidana di muka, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak
pidana kehutanan yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Adapun jenis-jenis tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
yaitu:
1. Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan:
a. Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan.
b. Tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
c. Secara tidak sah.
2. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan
47
3. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
4. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja membawa
alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
5. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau
udara.
b. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau
udara.
6. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya:
a. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan
liar.
b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak
sah.
48
c. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
7. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen
yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan .
b. Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau
menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu .
c. Melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
8. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin
menteri.
b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan
dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin
menteri.
9. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mengangkut
dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
49
10. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang
yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
tanpa izin.
b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
11. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja :
a. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan
hutan.
b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan
dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin
menteri.
12. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya:
a. Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
b. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan
yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin.
c. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin.
50
13. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
b. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
c. Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah, secara langsung atau tidak langsung sah.
d. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu
yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual
kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sah.
14. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya:
a. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk,
ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya.
b. Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta
harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
c. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang
diketahuinya atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan
51
atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
15. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:
a. Memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau
penggunaan kawasan hutan.
b. Menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau
penggunaan kawasan hutan.
c. Memindahtangankan atau menjual izin yang di keluarkan oleh pejabat
yang berwenang kecuali dengan persetujuan menteri.
16. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya:
a. Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan.
b. Merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan
hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang
berimpit dengan batas negara, yang mengakibatkan perubahan bentuk
dan/atau luasan kawasan hutan.
17. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
18. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena
kelalaiannya menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
52
19. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak
langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
20. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja
memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi
21. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja menghalang-
halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
22. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja melakukan
intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang
melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
Selain ketentuan tersebut di atas, khusus untuk pejabat yaitu orang yang
diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan
suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa:
Setiap pejabat yang:
1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya;
53
2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah;
5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau
7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga
terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah.
8. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
54
2.5 Pengertian Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Tindak Pidana
Kehutanan.
Menurut M.W. Patti Peilohy91 istilah pembayaran uang pengganti kurang
begitu dikenal oleh masyarakat kita. Dalam penghidupan dan pergaulan
masyarakat lebih sering dikenal dengan penyebutan “uang ganti rugi” atau dengan
kata lain lebih sering dengan istilah uang ganti rugi dari pada istilah uang
pengganti. Masyarakat hukum adat masalah ganti rugi bukanlah sesuatu yang
baru, bahkan delik-delik adat masalah uang ganti rugi memegang peranan
sedemikian pentingnya sebagai salah satu usaha umtuk menyeimbangkan lagi
suatu keadaan seperti semula, jadi ganti rugi itu dihubungkan karena adanya
pelanggaran. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ganti rugi itu
menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan, yaitu ada perbuatan yang
menimbulkan kerugian dan kerugian ini perlu diseimbangkan lagi dan untuk
keseimbangan itu perlu dilakukan pergantian sebagai suatu reaksi. Jadi
ketidakseimbangan itu adalah karena adanya suatu perbuatan yang melanggar atau
suatu gangguan.
Ganti rugi itu berhubungan dengan adanya suatu gangguan dan gangguan
ini adalah karena suatu perbuatan melanggar, sehingga terjadi ketidakseimbangan
dan bentuk reaksi terhadap adanya ketidakseimbangan tersebut adalah adanya
ganti rugi. Adanya ganti rugi ini dapat mengembalikan ketidakseimbangan itu.
Dapat pula disimpulkan bahwa suatu ganti rugi itu berhubungan dengan
suatu perbuatan, baik perbuatan itu menganggu keseimbangan kebendaan maupun
91 M.W. Patti Peilohy, 1994, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai pembayaran Uang Penganti Bagian I, Dipajaya, Ujung Pandang, h. 7.
55
keadaan. Jadi dengan demikian menunjukkan bahwa suatu ganti rugi adalah reaksi
terhadap aksi dan aksi ini adalah perbuatan yang melanggar atau menganggu tadi.
Ganti rugi menunjuk pada penghukuman, yaitu karena ada yang terganggu, maka
yang menyebabakan ketidakseimbangan karena gangguan itu harus
menyeimbangkan lagi keadaan seperti semula, yaitu harus memberi ganti rugi.
Perkembangan masyarakat lebih lanjut bahkan yang eksterm ini
diwujudkan dalam nilai tukar, sehingga nampak pada hakekatnya uang selain
sebagai nilai tukar, juga berfungsi sebagai suatu “penutup” atau “perdamaian”,
yaitu dengan memberikan sejumlah uang pada yang dirugikan, yang bermakna
bahwa sesuatu yang sebelumnya adalah suatu kerugian kini telah ditutup,
didamaikan dengan memberikan jumlah uang dan uang ini berfungsi sebagai ganti
terhadap kerugian tersebut. Kalau konsep ini dikaitkan dengan pembayaran
penganti dalam perkara tindak pidana kehutanan, maka yang dirugikan adalah
negara sebagai akibat perbuatan tindak pidana kehutanan, dan harus
diseimbangkan lagi kerugian tersebut, yaitu pelakunya harus membayar sejumlah
uang sebanding dengan kerugian yang diderita negara akibat kerusakan hutan
yang ditimbulkannya.
Menurut Joko Prakoso92, tuntutan ganti kerugian ini timbul tidak dapat
dilepaskan dengan masalah lainnya, yaitu adanya perbuatan yang menyebabkan
terjadinya kerugian, yang dipihak lain menimbulkan kewajiban untuk
menggantikan kerugian tersebut. Dengan demikian kita berbicara tentang
tanggung jawab atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Salah satu hal
92 Joko Prakoso, 1998, Masalah Ganti Rugi dalam KUHP, Balai Pustaka, Jakarta, h. 10.
56
menonjol menyangkut masalah pemberian ganti kerugian ini adalah terdapat atau
tidaknya unsur kesalahan. Dengan demikian kepada pihak yang menyebabkan
kerugian itulah beban pertanggung jawaban diletakkan atau disandarkan.
Tentang masalah ganti rugi Oemar Seno Adji93 berpendapat bahwa
terdapat beberapa persoalan mengenai ganti rugi dalam perkara pidana ialah
disamping ganti rugi setelah herzeining ada ganti rugi yang bergandengan dengan
pemahaman yang bertentangan dengan hukum, serta ganti rugi yang diberikan
kepada mereka yang menjadi korban dari suatu pelanggaran hukum (victim of
crime atau beledigde party), maka kemungkinan untuk meminta ganti rugi dalam
proses pidana meliputi 3 hal, yaitu :
- Ganti rugi setelah herzeining
- Ganti rugi karena terdapat penahanan yang bertentangan dengan undang-
undang
- Ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang termasuk ataupun menjadi
korban kejahatan.
Menurut Arief Gosita ganti kerugian adalah hasil interaksi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi dalam rangka memahami
ganti rugi, maka harus dilakukan interaksi yang terlihat dalam adanya ganti
kerugian tersebut.94 Sahetapy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai
93 Oemar Seno Adji, 2001, Herzening, Ganti Rugi, Suap dan Perkembangan Delik, Erlangga,
Jakarta, h. 80. 94 Arief Gosita, 1997, Viktimologi dan KUHAP, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 23.
57
pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan, ada kaitannya dengan disiplin ilmu
viktimologi, yaitu yang membahas permasalahan korban dari segala aspeknya.95
Patti Peilohy berpendapat bila dihubungkan dengan tindak pidana
kehutanan, dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut
viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku tindak pidana
kehutanan dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah
UU Nomor 18 Tahun 2013 adalah uang pengganti.96
Menurut Barda Nawawi Ariel97) perlindungan korban dalam proses pidana
tentunya tidak lepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif
yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan
korban lebih banyak merupakan perlindunan abstrak atau perlindungan tidak
langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya
tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya
perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak.
Hukum pidana positif (materiil dan formil) memberi perhatian juga kepada
korban secara langsung. Antara lain terlihat dalam ketentuan-ketentuan berikut ini
:
1. Hakim menjatuhkan pidana bersyarat, yang menurut Pasal 14 c KUHP hakim
dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana “untuk mengganti” kerugian
(semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini
seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok.
95 JE Sahetapy, 1997, Viktomologi Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, h. 21. 96 M.W.Patty Peilohy, Op.Cit, h. 54. 97 Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.I/No.1, h.16-17.
58
2. Pasal 8 sub d. UUTPE (UU No.7 Drt. 1955) memberi kemungkinan kepada
hakim untuk menjatuhkan sanksi “tindakan tata tertib” berupa “kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak”, “meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak”, dan “melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat”, yang
semuanya atas biaya terhukum.
3. Pasal 18 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi) juga memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yang jumlahnya maksimal
sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi , Bab XIII (Pasal 98 -
101) KUHAP (UU No.8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara
gugatan kerugian dalam perkara pidana,
4. Pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan juga mengatur pengenaan uang pengganti terhadap si Pelaku
yang melanggar ketentuan Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97
huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dari UU No. 18
Tahun 2013 yang apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara
yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lama pidana sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Muladi berpendapat bahwa dewasa ini pengaturan hukum pidana terhadap
korban kejahatan belum menampakkan pola yang jelas. Dari segi hukum materiil
dapat kita lihat antara ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 c KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan
59
adanya syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan, yaitu
kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan oleh pihak pidana dalam waktu tertentu. Selanjutnya dalam UU
No.18 tahun 2013 terdapat pidana berupa pembayaran uang pengganti yang harus
dibayar kepada korban dalam hal ini bukan individu melainkan negara.98
Dihubungkan pula dengan perbuatan perusakan hutan, dimana negara
yang mengalami/dan menderita kerugian sehingga negara dari sudut viktimologi
adalah pula korban, dan yang menyebabkannya (yaitu terdakwa di depan sidang
Pengadilan) dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah
UU No. 18 tahun 2013 adalah Uang Pengganti, nampak negara adalah sebagai
korban, dan dengan UU No 18 tahun 2013 negara sebagai korban telah terlebih
dahulu diperhatikan kepentingannya dalam suatu proses pidana. Pada hakekatnya
ganti rugi bukan lagi monopoli proses perdata semata-mata, tetapi juga sudah
menjadi pengertian yang terletak dalam lapangan hukum publik yaitu dalam hal
ini dalam lapangan hukum pidana.
Berdasarkan pemikiran yang demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
“uang pengganti” menurut Pasal 108 UU No 18 tahun 2013 tentang “Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan”, sesungguhnya adalah pula suatu
pengertian ganti rugi menurut proses perdata, yang oleh UU No 18 tahun 2013
pengertian dan proses perdata ini dimasukkan ke dalam menjadi proses pidana,
sebagaimana halnya dengan penempatannya dalam Pasal 108 UU No 18 tahun
2013 sebagai suatu sanksi pidana.
98 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung
(Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief II), h. 87.
60
Ada beberapa istilah mengenai ganti rugi yaitu uang ganti rugi dan uang
pengganti, hal demikian bisa dilihat dalam beberapa ketentuan sebagai herikut:
1) Pasal 34 c UU No.3 tahun 1971 : Pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari korupsi.
2) Pasal 14 c (1) KUHP : dalam perintah yang tersebut Pasal 14 a, kecuali
dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan
perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan
yang dapat dihukum, maka Hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa
bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena
perbuatan yang dapat dihukum itu, semuanya atau sebagian saja yang
ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya dari
tempo percobaan itu
3) Pasal 108 UU No 18 Tahun 2013 : selain penjatuhan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal
97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106
dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa
dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.
4) Pasal 95 KUHAP :
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut “ganti kerugian”
karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan
61
lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindak lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai hukum
yang diterapkan sebagaimana dalam ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang pra peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan,
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian
tersebut pada ayat (1), Ketua Pengadilan sejauh mungkin menunjukkan
hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang
bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat
(4) mengikuti acara pra peradilan.
5) Pasal 98 KUHAP:
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri, menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan itu
dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana itu.
62
Demikian juga dalam Pasal-Pasal 99 s.d. 101 KUHAP tentang
penggabungan perkara gugatan ganti rugi juga ditemui istilah ganti kerugian,
antara lain sebagai berikut:
Pasal 99 :
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya
pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka
pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan tersebut,
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) atau gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang
penetapan hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang telah dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat
kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan
hukum tetap.
Pasal 100 :
(1) Apabila terjadi penggabungan perkara antara perkara perdata dan
perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya
berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
63
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan
banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenakan.
Pasal 101 : Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi
gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur
lain.
Dengan demikian kita temui istilah :
- Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan
istilah “uang pengganti”.
- Dalam KUHP, UU No 14 Tahun 1970, maupun KUHAP menggunakan istilah
mengganti kerugian ataupun ganti kerugian.
- Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
juga menggunakan istilah “uang pengganti”
Jadi undang-undang sendiri ada menyebutkan tentang uang pengganti
maupun uang ganti rugi atau ganti kerugian.
Istilah-istilah ini mana yang paling tepat, maka karena UU No 18 tahun
2013, Pasal 108 tidak menggunakan istilah uang ganti rugi atau ganti kerugian,
tetapi menggunakan istilah uang pengganti, dan inilah yang tepat bila kita
berbicara tentang UU No 18 tahun 2013 dengan demikian istilah uang pengganti
ada juga dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013 selain Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
64
Menurut patti peilohy99), ada persamaan dan perbedaan antara
pengertian uang pengganti dan uang ganti rugi. Perbedaannya bahwa :
1. Bila yang menyebabkan kerugian itu adalah seseorang dan ditujukan kepada
kerugian negara, maka disebut membayar uang pengganti dan bukan
membayar uang ganti rugi (Pasal 108 UU No 18 tahun 2013).
2. Bila yang menyebabkan kerugian adalah :
- Negara/Pejabat/Petugas karena lalai memenuhi ketentuan KUHP. maka
disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal
95 KUHAP),
- Seseorang pada orang lain, yang sebenarnya merupakan proses dan
tuntutan perdata, tetapi oleh KUHAP diperkenankan melakukan
penggabungan dengan proses dan tuntutan pidana, maka disebut
membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 95
KUHP).
3. Baik pada orang maupun pada negara, yaitu pembayaran ini dilakukan karena
syarat khusus yang diperjanjikan dalam putusan hakim, bila tidak dipenuhi
disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal
14 c angka 1 KUHP).
99 M.W. Patti Peilohy, Op.Cit, h. 21.
65
Persamaannya adalah bahwa baik uang pengganti maupun uang ganti rugi
dilihat dari tujuan dan fungsinya adalah sama, yaitu ;
- Tujuannya sebagai suatu pergantian, yaitu memberikan pergantian
terhadap suatu kerugian yang telah terjadi, untuk mencapai keseimbangan
seperti semula,
- Fungsinya :
Dari segi fungsinya adalah sama yaitu sama-sama berfungsi sebagai suatu
penghukuman yaitu uang pengganti merupakan suatu hukuman pokok
sebagaimana tersebut dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013, uang ganti
rugi sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 KUHAP adalah sebagai
hukuman terhadap pejabat/petugas negara yang dalam tugasnya lalai
memenuhi ketentuan perundangan, kekeliruan tentang orangnya maupun
tentang penerapan hukumnya.
Demikian juga uang ganti rugi dalam Pasal 98 KUHAP adalah sebagai
hukuman yang dijatuhkan Pengadilan disamping hukuman pidana,
demikian pula uang ganti rugi dalam Pasal 14 c angka 1 KUHP adalah
juga sebagai suatu hukuman karena lalai memenuhi syarat khusus dalam
suatu putusan Pengadilan.
Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dan akibat
tindak pidana kehutanan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut
diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.
66
Karena hutan merupakan aset negara yang apabila rusak juga dibutuhkan uang
dari negara untuk mengembalikan bentuk hutan seperti keadaan semula.
Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) pokok dalam
tindak pidana kehutanan. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin,
hakim diwajibkan selalu menjatuhkan pidana pokok tersebut. sehingga juga perlu
diperhatikan oleh hakim untuk memutuskan pembayaran uang pengganti tersebut
berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang timbul akibat dari kerusakan
hutan ini, walaupun kerugian keuangan negara itu secara tidak langsung. Dalam
hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan, salah satu cara yang dapat
dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan
terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kehutanan
untuk mengembaiikan kepada negara hasil kejahatan kehutanannya tersebut dalam
wujud uang pengganti.
Terdakwa perkara kejahatan kehutanan yang telah terbukti dan
meyakinkan melakukan tindak pidana kehutanan terbebas dari kewajiban untuk
membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat
dikompensasikan dengan nilai komersil dari hasil hutan yang dirusak yang
dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati
hasil komersil hasil hutan tersebut.