BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM … fileArti kata implementasi berasal...

38
29 BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN 2.1 Pengertian Implementasi Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan- tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). 39 2.2 Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit. 40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak pidana. 41 Ada pun alasannya sebagai berikut: 39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.65. 40 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, h. 96. 41 Ibid.

Transcript of BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM … fileArti kata implementasi berasal...

29

BAB II

TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI

DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN

2.1 Pengertian Implementasi

Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang

berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk

melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat

terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi

sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed

at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-

tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya

tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).39

2.2 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah

strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan

resmi strafbaar feit.40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana

indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak

pidana.41 Ada pun alasannya sebagai berikut:

39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.65. 40 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,

Bandung, h. 96. 41 Ibid.

30

a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana.

b. Ditinjau dari segi bahasa indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat.

c. Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een persoon stafbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.42

Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi

strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai

strafbaar feit itu sendiri, yaitu :

1. Perbuatan pidana

Moelyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana.

Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.43 Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” lebih

menunjuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif

(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga

bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh

hukum).44 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai

42 Ibid, h. 97. 43 Moljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, PT. Rineka

Cipta, Jakarta, h. 59. 44 Ibid.

31

pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan

hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.45

2. Peristiwa pidana

Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam

perundang-undangan formal indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah

digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14

ayat (1) secara substansif,46 pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih

menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh

perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam

percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu

merupakan peristiwa alam.47

3. Delik

Delik adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materieel

diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan

perbuatan, yang melawan hukum formil materieel, dan tidak adanya dasar

yang membenarkan perbuatan itu48.

45 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua

Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, h. 13. 46 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 35. 47 Ibid. 48 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 222.

32

4. Tindak pidana

Pengertian tindak pidana, menurut simons adalah suatu tindakan atau

perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan

dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang

mampu bertanggung jawab.49

5. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No. 2

Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdelijke byzondere straf

bepalingen S. 1948 -17 dan Undang-Undang R.1. (dahulu) No. 8 tahun

1948 Pasal 3.50

6. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, tentang

penyelesaian perselisihan perburuhan, 19,21,22).51

Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana yaitu :

a. Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai

suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.52

49 Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 367. 50 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, (selanjutnya disebut Sudarto

II), h. 39. 51 Ibid. 52 Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.

182.

33

b. Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau

suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.53

c. Menurut Utrecht, strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering

juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau

doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya

(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).54

Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa pembentuk undang-

undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih

condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh

pembentuk undang-undang.55 Pendapat Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo

karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak

pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang

dipahami oleh masyarakat.56

Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan

hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini

selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang

oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum).57

53 Ibid, h. 184. 54 Ibid, h. 185. 55 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

49. 56 Ibid. 57 Ibid, h. 50.

34

Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikemukakan menurut

pendapat para ahli, yaitu:

a. Menurut simons, unsur-unsur Strafbaar Feit adalah

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak-berbuat

atau membiarkan).

2. Diancam dengan pidana.

3. Melawan hukum.

4. Dilakukan dengan kesalahan.

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.58

b. Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi:

1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana pidana oleh undang-

undang.

3. Perbuatan itu dianggap melawan hukum.

4. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan.

5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.59

c. EY. Kanter dan SR. Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah

1. Subjek.

2. Kesalahan.

3. Bersifat Melawan Hukum

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan

terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.

58 Sudarto II, Loc.Cit. 59 Loebby Loqman, 2010, Tentang Tindak Pidana dan Beberapa Hal Penting dalam Hukum

Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.

35

5. Waktu, tempat, dan keadaan.60

d. Van Hamel, unsur-unsur Starafbaar Feit adalah:

1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang.

2. Melawan hukum.

3. Dilakukan dengan kesalahan dan

4. Patut dipidana.61

Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu

tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau

diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan

hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab.

Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam perumusan

tindak pidana: pertama, tindak pidana dirumuskan baik nama maupun unsur-

unsurnya. Kedua, adalah tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, dan

ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-

unsurnya.62 Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau

tidak menyebut namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui

doktrin.63

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-

unsur tindak pidana, yaitu :

60 EY. Kanter dan R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Alumni, Bandung, h. 211 61 Sudarto II, Loc.Cit. 62 Loebby Loqman, Loc.Cit. 63 Loebby Loqman, Loc.Cit.

36

a. Unsur objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana

tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum.

2) Kualitas dari si pelaku.

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan

jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus

atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan

menurut Pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan

suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur subyektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang

dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53

ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

37

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340

KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang

menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum pidana. Salah satu

pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak

lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut

adalah:

a) Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana

(Bijkomende voor waarde straftbaarheid); contoh: Pasal 123, 164, dan

Pasal 531 KUHP.

b) Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak

pidana(Voorwaarden van vervolg baarheid); contoh: Pasal 310, 315,

dan 284 KUHP.

Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan

unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian

atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak

pidana, oleh karena itu jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut

tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan

pidana terdiri dari:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak

terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang

38

dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan

bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya

adalah seorang PNS.

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus

dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan

yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan

dilakukan di muka umum.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang

terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat

dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman

pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP

tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan

luka berat ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika

menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.

d. Unsur melawan hukum yang obyektif.

Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau

objektif yang menyertai perbuatan.

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku

kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat

39

“dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan

hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi

tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat

hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian

dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak

dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang

untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut

hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.64

Sehubungan dengan pengertian pidana itu, penjatuhan sanksi berupa

tindakan diterapkan di dalam hal-hal tertentu, dengan syarat-syarat yang

ditentukan ini terutama diterapkan kepada anak-anak, dan terhadap orang-orang

yang jiwanya terbelakang atau terganggu karena penyakit.

Tindakan-tindakan ini tidak dimaksudkan untuk menerapkan penderitaan,

melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik orang-

orang tertentu guna melindungi masyarakat.65

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masalah tindakan ini penerapannya

hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak

seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya

tumbuh dengan tidak sempurna atau karena terganggu kejiwaannya (sakit jiwa).

Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan

pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan

64 Teguh Prasetyo, 2011, Op.Cit, h. 23. 65 Muladi dan Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 24.

40

kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan

penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi

tersebut.

Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber

hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana atau bukan.66 Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan

secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi

dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam

konsep KUHP yang menyatakan bahwa:

(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan, perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana.

(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang

dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat

melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada

alasan pembenar.

Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat

melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar

penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau

keadilan substantif atau keadilan materiil. Penempatan sifat melawan hukum

materiil tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan

66 Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan

Penerbit Undip, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 49.

41

masyarakat, karena menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap

keseimbangan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang

mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.67

2.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana

Di bawah ini akan disebut pelbagai pembagian jenis tindak pidana :

1. Kejahatan dan Pelanggaran.

KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran

dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai mengenai apa yang

disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu

pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang

sepenuhnya memuaskan.68

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik

hukum ialah perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan

dengan keadilan69, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu

undang-undang atau tidak, sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam

undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.70 Jenis perbuatan pidana ini

juga disebut mala in se, artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat

karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. misalnya : pembunuhan,

67 Muladi, Op.Cit, h. 61. 68 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 58. 69 Jan Remmenlink, 2003, Hukum Pidana, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 67. 70 Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 101.

42

pencurian.71 Sedangkan wetsdelict atau pelanggaran adalah perbuatan-

perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana,

karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan

ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-

undang mengancam dengan sanksi pidana.72

Selain perbedaan kualitatif tersebut, jonkers sebagaimana dikutip zainal

abidin menyebut adanya perbedaan kuantitatif yang berdasarkan kriminologi,

yaitu pelanggaran dipandang tidak begitu berat daripada kejahatan. Pandangan

dari segi kriminologi tersebut bukanlah pandangan memori van Toelichting

yang membedakan delik hukum dan delik undang-undang73, tetapi pertama-

tama diperkuat dengan hal bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada

sanksi pembuat kejahatan. Kedua diperkuat dengan hal bahwa percobaan

untuk melakukan pelanggaran dan pembantuan dalam pelanggaran tidak

merupakan delik (Pasal 54 dan Pasal 60 KUHP).74

2. Delik Formil dan Delik Materiil

Atas dasar cara perumusannya, delik dibedakan antara delik formil dan

delik materiil. Delik formil menekankan pada dilarangnya perbuatan,

sedangkan delik materiil menekankan pada dilarangnya akibat dari

perbuatan.75 Contohnya adalah pembunuhan sebagai delik materiil, peristiwa

dianggap telah terjadi jika ada yang mati. Berbeda dengan pencurian yang

merupakan delik formil, peristiwa dianggap telah terjadi bukan pada apakah

71 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 100. 72 Mahrus Ali, Loc.Cit. 73 Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352. 74 Zainal Abidin Farid, Loc.Cit. 75 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 101.

43

suatu benda dimaksudkan untuk dipinjam atau dimiliki, proses pindahnya

suatu benda telah cukup membuat dianggap selesainya suatu tindak pidana

formil.76

3. Delik Comisi dan Delik Omisi

a. Delik comisi: terjadinya delik dengan melakukan perbuatan yang dilarang

oleh suatu peraturan hukum pidana.77

b. Delik omisi : terjadinya delik dengan tidak melakukan perbuatan, padahal

seharusnya melakukan perbuatan. Misalnya tidak menghadap sebagai

saksi di muka persidangan seperti yang tercantum dalam Pasal 522

KUHP.78

4. Delik dolus dan delik culpa

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan

itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, seperti dengan sengaja atau

diketahuinya.79 misalnya : Pasal-pasal 162,197, 310, 338 KUHP.

b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.80

misalnya : Pasal-pasal 195, 359, 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berganda.

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.

Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.

Misalnya: pencurian, penipuan dan pembunuhan.81

76 Erdianto Effendi, Loc.Cit. 77 Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 95. 78 Ibid. 79 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 60. 80 Sudarto II, Op.Cit, h. 58. 81 Mahrus Ali, Op.Cit, h. 102.

44

b. Delik berganda : delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila

dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya: Pasal 480 KUHP yang

menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan,

maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.82

6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus.

a. Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan

terlarang itu berlangsung terus, misalnya: delik merampas kemerdekaan

seseorang dalam Pasal 333 KUHP. Delik ini maksudnya selama orang

yang dirampas kemerdekaannya belum dilepas, maka selama itu pula

delik itu masih berlangsung terus menerus.83

b. Delik yang tidak berlangsung terus: delik yang memiliki ciri, bahwa

keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus-menerus seperti

pencurian dan pembunuhan.84

7. Delik aduan dan Delik Biasa.

a. Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada

pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, misal penghinaan

(Pasal 310 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan

dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP yo. ayat 2).85

Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, yaitu:

82 Mahrus Ali, Loc.Cit. 83 Jan Remmelink, Op.Cit, h.80. 84 Jan Remmelink, Loc.Cit. 85 Sudarto II, Op.Cit, h. 59.

45

Delik aduan yang absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara

absolut adanya pengaduan untuk penuntutan seperti pencemaran nama

baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.86

Delik aduan relatif, disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada

hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

Misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3)

KUHP).87

b. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan

untuk penuntutannya. Misalnya: pembunuhan, pencurian, dan

penggelapan.88

8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya.

a. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa

adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam Pasal 362

KUHP tentang pencurian.89

b. Delik yang dikualifikasi adalah delik dalam bentuk pokok yang

ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya

menjadi diperberat, seperti dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP yang

merupakan bentuk kualifikasi dari delik pencurian dalam Pasal 362

KUHP.90

86 Mahrus Ali, Op.Cit, h.103. 87 Teguh Prasetya, Op.Cit, h. 61 88 Mahrus Ali, Loc.Cit. 89 Zainal Abidin, Op.Cit, h. 378. 90 Jan Remmelink, Op.Cit, h. 82.

46

2.4 Pengertian Tindak Pidana Kehutanan

Pengertian tindak pidana kehutanan, tidak kita temukan dalam undang-

undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

baik dalam pasal-pasal bersangkutan maupun penjelasan Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2013.

Kendatipun dalam Undang-Undang Kehutanan tidak ditemukan pengertian

tindak pidana kehutanan, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tindak

pidana di muka, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak

pidana kehutanan yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Adapun jenis-jenis tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

yaitu:

1. Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon

dalam kawasan hutan:

a. Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan.

b. Tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

c. Secara tidak sah.

2. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,

menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan

47

3. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang.

4. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja membawa

alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan

digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa

izin pejabat yang berwenang.

5. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau

udara.

b. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau

udara.

6. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya:

a. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan,

dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan

liar.

b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang

berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak

sah.

48

c. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan

yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

7. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen

yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan .

b. Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau

menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu .

c. Melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang

diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

8. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin

menteri.

b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan

dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin

menteri.

9. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mengangkut

dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan

penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

49

10. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang

yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan

tanpa izin.

b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan

penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

11. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja :

a. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan

hutan.

b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan

dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin

menteri.

12. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya:

a. Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal

dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

b. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan

yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa

izin.

c. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari

perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan

hutan tanpa izin.

50

13. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar

dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

b. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar

dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

c. Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara

tidak sah, secara langsung atau tidak langsung sah.

d. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu

yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual

kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sah.

14. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya:

a. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk,

ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya.

b. Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar

negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta

harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan

hutan secara tidak sah.

c. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang

diketahuinya atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan

51

atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga

seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

15. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja:

a. Memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau

penggunaan kawasan hutan.

b. Menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau

penggunaan kawasan hutan.

c. Memindahtangankan atau menjual izin yang di keluarkan oleh pejabat

yang berwenang kecuali dengan persetujuan menteri.

16. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya:

a. Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan.

b. Merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan

hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang

berimpit dengan batas negara, yang mengakibatkan perubahan bentuk

dan/atau luasan kawasan hutan.

17. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan

liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

18. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena

kelalaiannya menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil

pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

52

19. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mencegah,

merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak

langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan

hutan secara tidak sah.

20. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja

memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan

hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi

21. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja menghalang-

halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

22. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja melakukan

intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang

melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Selain ketentuan tersebut di atas, khusus untuk pejabat yaitu orang yang

diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan

suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa:

Setiap pejabat yang:

1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan

kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan

kewenangannya;

53

2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan

kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan

secara tidak sah;

4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan

kawasan hutan secara tidak sah;

5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau

7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga

terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan

secara tidak sah.

8. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

54

2.5 Pengertian Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Tindak Pidana

Kehutanan.

Menurut M.W. Patti Peilohy91 istilah pembayaran uang pengganti kurang

begitu dikenal oleh masyarakat kita. Dalam penghidupan dan pergaulan

masyarakat lebih sering dikenal dengan penyebutan “uang ganti rugi” atau dengan

kata lain lebih sering dengan istilah uang ganti rugi dari pada istilah uang

pengganti. Masyarakat hukum adat masalah ganti rugi bukanlah sesuatu yang

baru, bahkan delik-delik adat masalah uang ganti rugi memegang peranan

sedemikian pentingnya sebagai salah satu usaha umtuk menyeimbangkan lagi

suatu keadaan seperti semula, jadi ganti rugi itu dihubungkan karena adanya

pelanggaran. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ganti rugi itu

menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan, yaitu ada perbuatan yang

menimbulkan kerugian dan kerugian ini perlu diseimbangkan lagi dan untuk

keseimbangan itu perlu dilakukan pergantian sebagai suatu reaksi. Jadi

ketidakseimbangan itu adalah karena adanya suatu perbuatan yang melanggar atau

suatu gangguan.

Ganti rugi itu berhubungan dengan adanya suatu gangguan dan gangguan

ini adalah karena suatu perbuatan melanggar, sehingga terjadi ketidakseimbangan

dan bentuk reaksi terhadap adanya ketidakseimbangan tersebut adalah adanya

ganti rugi. Adanya ganti rugi ini dapat mengembalikan ketidakseimbangan itu.

Dapat pula disimpulkan bahwa suatu ganti rugi itu berhubungan dengan

suatu perbuatan, baik perbuatan itu menganggu keseimbangan kebendaan maupun

91 M.W. Patti Peilohy, 1994, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai pembayaran Uang Penganti Bagian I, Dipajaya, Ujung Pandang, h. 7.

55

keadaan. Jadi dengan demikian menunjukkan bahwa suatu ganti rugi adalah reaksi

terhadap aksi dan aksi ini adalah perbuatan yang melanggar atau menganggu tadi.

Ganti rugi menunjuk pada penghukuman, yaitu karena ada yang terganggu, maka

yang menyebabakan ketidakseimbangan karena gangguan itu harus

menyeimbangkan lagi keadaan seperti semula, yaitu harus memberi ganti rugi.

Perkembangan masyarakat lebih lanjut bahkan yang eksterm ini

diwujudkan dalam nilai tukar, sehingga nampak pada hakekatnya uang selain

sebagai nilai tukar, juga berfungsi sebagai suatu “penutup” atau “perdamaian”,

yaitu dengan memberikan sejumlah uang pada yang dirugikan, yang bermakna

bahwa sesuatu yang sebelumnya adalah suatu kerugian kini telah ditutup,

didamaikan dengan memberikan jumlah uang dan uang ini berfungsi sebagai ganti

terhadap kerugian tersebut. Kalau konsep ini dikaitkan dengan pembayaran

penganti dalam perkara tindak pidana kehutanan, maka yang dirugikan adalah

negara sebagai akibat perbuatan tindak pidana kehutanan, dan harus

diseimbangkan lagi kerugian tersebut, yaitu pelakunya harus membayar sejumlah

uang sebanding dengan kerugian yang diderita negara akibat kerusakan hutan

yang ditimbulkannya.

Menurut Joko Prakoso92, tuntutan ganti kerugian ini timbul tidak dapat

dilepaskan dengan masalah lainnya, yaitu adanya perbuatan yang menyebabkan

terjadinya kerugian, yang dipihak lain menimbulkan kewajiban untuk

menggantikan kerugian tersebut. Dengan demikian kita berbicara tentang

tanggung jawab atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Salah satu hal

92 Joko Prakoso, 1998, Masalah Ganti Rugi dalam KUHP, Balai Pustaka, Jakarta, h. 10.

56

menonjol menyangkut masalah pemberian ganti kerugian ini adalah terdapat atau

tidaknya unsur kesalahan. Dengan demikian kepada pihak yang menyebabkan

kerugian itulah beban pertanggung jawaban diletakkan atau disandarkan.

Tentang masalah ganti rugi Oemar Seno Adji93 berpendapat bahwa

terdapat beberapa persoalan mengenai ganti rugi dalam perkara pidana ialah

disamping ganti rugi setelah herzeining ada ganti rugi yang bergandengan dengan

pemahaman yang bertentangan dengan hukum, serta ganti rugi yang diberikan

kepada mereka yang menjadi korban dari suatu pelanggaran hukum (victim of

crime atau beledigde party), maka kemungkinan untuk meminta ganti rugi dalam

proses pidana meliputi 3 hal, yaitu :

- Ganti rugi setelah herzeining

- Ganti rugi karena terdapat penahanan yang bertentangan dengan undang-

undang

- Ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang termasuk ataupun menjadi

korban kejahatan.

Menurut Arief Gosita ganti kerugian adalah hasil interaksi antara

fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi dalam rangka memahami

ganti rugi, maka harus dilakukan interaksi yang terlihat dalam adanya ganti

kerugian tersebut.94 Sahetapy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai

93 Oemar Seno Adji, 2001, Herzening, Ganti Rugi, Suap dan Perkembangan Delik, Erlangga,

Jakarta, h. 80. 94 Arief Gosita, 1997, Viktimologi dan KUHAP, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 23.

57

pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan, ada kaitannya dengan disiplin ilmu

viktimologi, yaitu yang membahas permasalahan korban dari segala aspeknya.95

Patti Peilohy berpendapat bila dihubungkan dengan tindak pidana

kehutanan, dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut

viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku tindak pidana

kehutanan dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah

UU Nomor 18 Tahun 2013 adalah uang pengganti.96

Menurut Barda Nawawi Ariel97) perlindungan korban dalam proses pidana

tentunya tidak lepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif

yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan

korban lebih banyak merupakan perlindunan abstrak atau perlindungan tidak

langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya

tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya

perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak.

Hukum pidana positif (materiil dan formil) memberi perhatian juga kepada

korban secara langsung. Antara lain terlihat dalam ketentuan-ketentuan berikut ini

:

1. Hakim menjatuhkan pidana bersyarat, yang menurut Pasal 14 c KUHP hakim

dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana “untuk mengganti” kerugian

(semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini

seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok.

95 JE Sahetapy, 1997, Viktomologi Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, h. 21. 96 M.W.Patty Peilohy, Op.Cit, h. 54. 97 Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan

Pidana Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.I/No.1, h.16-17.

58

2. Pasal 8 sub d. UUTPE (UU No.7 Drt. 1955) memberi kemungkinan kepada

hakim untuk menjatuhkan sanksi “tindakan tata tertib” berupa “kewajiban

mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak”, “meniadakan apa yang dilakukan

tanpa hak”, dan “melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat”, yang

semuanya atas biaya terhukum.

3. Pasal 18 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi) juga memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana

tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yang jumlahnya maksimal

sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi , Bab XIII (Pasal 98 -

101) KUHAP (UU No.8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara

gugatan kerugian dalam perkara pidana,

4. Pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan juga mengatur pengenaan uang pengganti terhadap si Pelaku

yang melanggar ketentuan Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97

huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dari UU No. 18

Tahun 2013 yang apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara

yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lama pidana sudah

ditentukan dalam putusan pengadilan.

Muladi berpendapat bahwa dewasa ini pengaturan hukum pidana terhadap

korban kejahatan belum menampakkan pola yang jelas. Dari segi hukum materiil

dapat kita lihat antara ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 14 c KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan

59

adanya syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan, yaitu

kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang

ditimbulkan oleh pihak pidana dalam waktu tertentu. Selanjutnya dalam UU

No.18 tahun 2013 terdapat pidana berupa pembayaran uang pengganti yang harus

dibayar kepada korban dalam hal ini bukan individu melainkan negara.98

Dihubungkan pula dengan perbuatan perusakan hutan, dimana negara

yang mengalami/dan menderita kerugian sehingga negara dari sudut viktimologi

adalah pula korban, dan yang menyebabkannya (yaitu terdakwa di depan sidang

Pengadilan) dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah

UU No. 18 tahun 2013 adalah Uang Pengganti, nampak negara adalah sebagai

korban, dan dengan UU No 18 tahun 2013 negara sebagai korban telah terlebih

dahulu diperhatikan kepentingannya dalam suatu proses pidana. Pada hakekatnya

ganti rugi bukan lagi monopoli proses perdata semata-mata, tetapi juga sudah

menjadi pengertian yang terletak dalam lapangan hukum publik yaitu dalam hal

ini dalam lapangan hukum pidana.

Berdasarkan pemikiran yang demikian dapat disimpulkan bahwa istilah

“uang pengganti” menurut Pasal 108 UU No 18 tahun 2013 tentang “Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan”, sesungguhnya adalah pula suatu

pengertian ganti rugi menurut proses perdata, yang oleh UU No 18 tahun 2013

pengertian dan proses perdata ini dimasukkan ke dalam menjadi proses pidana,

sebagaimana halnya dengan penempatannya dalam Pasal 108 UU No 18 tahun

2013 sebagai suatu sanksi pidana.

98 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung

(Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief II), h. 87.

60

Ada beberapa istilah mengenai ganti rugi yaitu uang ganti rugi dan uang

pengganti, hal demikian bisa dilihat dalam beberapa ketentuan sebagai herikut:

1) Pasal 34 c UU No.3 tahun 1971 : Pembayaran uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh

dari korupsi.

2) Pasal 14 c (1) KUHP : dalam perintah yang tersebut Pasal 14 a, kecuali

dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan

perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan

yang dapat dihukum, maka Hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa

bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena

perbuatan yang dapat dihukum itu, semuanya atau sebagian saja yang

ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya dari

tempo percobaan itu

3) Pasal 108 UU No 18 Tahun 2013 : selain penjatuhan sanksi pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal

97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106

dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa

dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman

maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

4) Pasal 95 KUHAP :

(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut “ganti kerugian”

karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan

61

lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

penangkapan atau penahanan serta tindak lain tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai hukum

yang diterapkan sebagaimana dalam ayat (1) yang perkaranya tidak

diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang pra peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada

Pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan,

(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian

tersebut pada ayat (1), Ketua Pengadilan sejauh mungkin menunjukkan

hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang

bersangkutan.

(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat

(4) mengikuti acara pra peradilan.

5) Pasal 98 KUHAP:

(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri, menimbulkan

kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan itu

dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti

kerugian kepada perkara pidana itu.

62

Demikian juga dalam Pasal-Pasal 99 s.d. 101 KUHAP tentang

penggabungan perkara gugatan ganti rugi juga ditemui istilah ganti kerugian,

antara lain sebagai berikut:

Pasal 99 :

(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya

pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka

pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk

mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan

tentang hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak

yang dirugikan tersebut,

(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang

mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) atau gugatan

dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang

penetapan hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak

yang telah dirugikan.

(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat

kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan

hukum tetap.

Pasal 100 :

(1) Apabila terjadi penggabungan perkara antara perkara perdata dan

perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya

berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

63

(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan

banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak

diperkenakan.

Pasal 101 : Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi

gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur

lain.

Dengan demikian kita temui istilah :

- Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan

istilah “uang pengganti”.

- Dalam KUHP, UU No 14 Tahun 1970, maupun KUHAP menggunakan istilah

mengganti kerugian ataupun ganti kerugian.

- Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

juga menggunakan istilah “uang pengganti”

Jadi undang-undang sendiri ada menyebutkan tentang uang pengganti

maupun uang ganti rugi atau ganti kerugian.

Istilah-istilah ini mana yang paling tepat, maka karena UU No 18 tahun

2013, Pasal 108 tidak menggunakan istilah uang ganti rugi atau ganti kerugian,

tetapi menggunakan istilah uang pengganti, dan inilah yang tepat bila kita

berbicara tentang UU No 18 tahun 2013 dengan demikian istilah uang pengganti

ada juga dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013 selain Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

64

Menurut patti peilohy99), ada persamaan dan perbedaan antara

pengertian uang pengganti dan uang ganti rugi. Perbedaannya bahwa :

1. Bila yang menyebabkan kerugian itu adalah seseorang dan ditujukan kepada

kerugian negara, maka disebut membayar uang pengganti dan bukan

membayar uang ganti rugi (Pasal 108 UU No 18 tahun 2013).

2. Bila yang menyebabkan kerugian adalah :

- Negara/Pejabat/Petugas karena lalai memenuhi ketentuan KUHP. maka

disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal

95 KUHAP),

- Seseorang pada orang lain, yang sebenarnya merupakan proses dan

tuntutan perdata, tetapi oleh KUHAP diperkenankan melakukan

penggabungan dengan proses dan tuntutan pidana, maka disebut

membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 95

KUHP).

3. Baik pada orang maupun pada negara, yaitu pembayaran ini dilakukan karena

syarat khusus yang diperjanjikan dalam putusan hakim, bila tidak dipenuhi

disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal

14 c angka 1 KUHP).

99 M.W. Patti Peilohy, Op.Cit, h. 21.

65

Persamaannya adalah bahwa baik uang pengganti maupun uang ganti rugi

dilihat dari tujuan dan fungsinya adalah sama, yaitu ;

- Tujuannya sebagai suatu pergantian, yaitu memberikan pergantian

terhadap suatu kerugian yang telah terjadi, untuk mencapai keseimbangan

seperti semula,

- Fungsinya :

Dari segi fungsinya adalah sama yaitu sama-sama berfungsi sebagai suatu

penghukuman yaitu uang pengganti merupakan suatu hukuman pokok

sebagaimana tersebut dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013, uang ganti

rugi sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 KUHAP adalah sebagai

hukuman terhadap pejabat/petugas negara yang dalam tugasnya lalai

memenuhi ketentuan perundangan, kekeliruan tentang orangnya maupun

tentang penerapan hukumnya.

Demikian juga uang ganti rugi dalam Pasal 98 KUHAP adalah sebagai

hukuman yang dijatuhkan Pengadilan disamping hukuman pidana,

demikian pula uang ganti rugi dalam Pasal 14 c angka 1 KUHP adalah

juga sebagai suatu hukuman karena lalai memenuhi syarat khusus dalam

suatu putusan Pengadilan.

Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dan akibat

tindak pidana kehutanan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut

diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.

66

Karena hutan merupakan aset negara yang apabila rusak juga dibutuhkan uang

dari negara untuk mengembalikan bentuk hutan seperti keadaan semula.

Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) pokok dalam

tindak pidana kehutanan. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin,

hakim diwajibkan selalu menjatuhkan pidana pokok tersebut. sehingga juga perlu

diperhatikan oleh hakim untuk memutuskan pembayaran uang pengganti tersebut

berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang timbul akibat dari kerusakan

hutan ini, walaupun kerugian keuangan negara itu secara tidak langsung. Dalam

hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan, salah satu cara yang dapat

dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan

terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kehutanan

untuk mengembaiikan kepada negara hasil kejahatan kehutanannya tersebut dalam

wujud uang pengganti.

Terdakwa perkara kejahatan kehutanan yang telah terbukti dan

meyakinkan melakukan tindak pidana kehutanan terbebas dari kewajiban untuk

membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat

dikompensasikan dengan nilai komersil dari hasil hutan yang dirusak yang

dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati

hasil komersil hasil hutan tersebut.