BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas,...

40
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM PIDANA ADAT DAN SANKSI ADAT 2.1. Tinjauan Umum Tentang Pencuri Pengertian pencuri secara singkat adalah seseorang yang melakukan tindakan dalam pencurian. Pengertian pencuri dalam kamus hukum memang tidak tertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. 1 Menurut pendapat penulis pencurian adalah pengambilan barang atau properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemiliknya yang dilakukan oleh seorang pencuri. Secara garis besar, pencuri adalah orang yang melakukan perbuatan pencurian. Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, penulis tetap menggunakan kata pencuri sebagai istilah yang tepat dalam menunjuk kepada pelaku kejahatan dan juga menggambarkan kepada suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan terhadap pelaku pencuri pratima tersebut. Sanksi pidana bagi pelaku pencurian diatur secara jelas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kejahatan terdapat pada BAB XXII tentang pencurian yang selanjutnya penulis kutip dan di paparkan dalam penulisan tesis ini, sebagai berikut : 1 M. Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition), Cetakan ke-I, Reality Publisher, Surabaya, h. 499. 38

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas,...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM PIDANA

ADAT DAN SANKSI ADAT

2.1. Tinjauan Umum Tentang Pencuri

Pengertian pencuri secara singkat adalah seseorang yang melakukan

tindakan dalam pencurian. Pengertian pencuri dalam kamus hukum memang tidak

tertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti

dari kata pencurian yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau

dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan

hukum.1 Menurut pendapat penulis pencurian adalah pengambilan barang atau

properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemiliknya yang dilakukan

oleh seorang pencuri. Secara garis besar, pencuri adalah orang yang melakukan

perbuatan pencurian. Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, penulis tetap

menggunakan kata pencuri sebagai istilah yang tepat dalam menunjuk kepada

pelaku kejahatan dan juga menggambarkan kepada suatu perbuatan atau tindakan

yang dilakukan terhadap pelaku pencuri pratima tersebut.

Sanksi pidana bagi pelaku pencurian diatur secara jelas di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana tentang kejahatan terdapat pada BAB XXII

tentang pencurian yang selanjutnya penulis kutip dan di paparkan dalam penulisan

tesis ini, sebagai berikut :

1 M. Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition),

Cetakan ke-I, Reality Publisher, Surabaya, h. 499.

38

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

39

Pasal 362 KUHP :

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan

hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama

lima tahun, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 363 KUHP :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

1. pencurian ternak;

2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi,

atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,

kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan

tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di

situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

5. pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau

untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,

memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu

hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan tahun.

Pasal 364 KUHP :

Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4,

begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila tidak

dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika

harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah, diancam

karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

Pasal 365 KUHP :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian

yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau

mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk

tetap menguasai barang yang dicuri.

2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun;

1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam

kereta api atau trem yang sedang berjalan;

2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

40

3. jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau

pakaian jabatan palsu;

4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama dua tahun, jika perbuatan

mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang

atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang

diterangkan dalam No. 1 dan 3.

Pasal 366 KUHP :

Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu perbuatan yang dirumuskan

dalam Pasal 362, 363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal

35 No. 1-4.

Pasal 367 KUHP :

1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah

suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan

ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau

pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.

2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah

harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda baik

dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap

orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang

terkena kejahatan.

3) Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang

lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku

juga bagi orang itu.2

Apabila dirinci rumusan pengertian pencurian yang tercantum pada Pasal

362 KUHP diatas maka terdiri atas unsur-unsur yaitu :

a. Unsur Obyektif:

1. Perbuatan mengambil;

2. Barang;

3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

b. Unsur Subyektif:

1. Adanya maksud;

2. Untuk memiliki;

3. Dengan melawan hukum.3

2 R. Soenarto Soerodibroto, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 223-229.

3 S.R. Sianturi, op.cit, h. 590.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

41

Unsur kesalahan yang berbentuk sengaja tersirat pada kata-kata

“mengambil” yang dipertegas lagi oleh kata-kata “dengan maksud untuk

memiliki”, kata dengan maksud berfungsi ganda, yaitu di satu pihak menguatkan

unsur sengaja pada delik ini dan di lain pihak berperan untuk menonjolkan peran

sebagai tujuan dari pelaku. Seseorang yang bermaksud untuk melakukan sesuatu,

tidak ayal lagi bahwa sesungguhnya dalam dirinya pun mempunyai kehendak

untuk melakukan sesuatu itu. Mempunyai kehendak berarti ada kesengajaan.

Adapun yang dimaksud dengan barang pada delik ini pada dasarnya adalah setiap

benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai

ekonominya sangat sulit dapat diterima akal sehat bahwa seseorang akan

membentuk kehendak mengambil barang sesuatu itu sedangkan diketahuinya

bahwa barang yang akan diambil itu tiada nilai ekonominya. Untuk itu dapat

diketahui pula bahwa tindakan itu adalah bersifat melawan hukum.

Barang yang menjadi obyek dari delik pencurian adalah seluruh atau

sebagian kepunyaan orang lain, ini berarti bahwa sebagian adalah kepunyaan si

pelaku itu sendiri, jika si pemilik mengambil kepunyaan sendiri tentunya tidak ada

persoalan pencurian, yang menjadi masalah disini adalah bagian lain yang

merupakan kepunyaan orang lain itu. Jadi betapa besar peranan tindakan

mengambil itu, yang tanpa itu tidak mungkin terjadi pencurian. Oleh karena itu

suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila

terdapat semua unsur-unsur tersebut diatas.4

4 Ibid, h. 593.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

42

2.2. Tinjauan Umum Tentang Pratima

Pengertian pratima sendiri jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari

bahasa sansekerta yang artinya gambar atau rupa, bentuk, manifestasi dari

perwujudan dewa, atau disebut juga dengan Murti dan Vigraha. Melalui pratima

yang menggambarkan dewa dari berbagai bentuk, gambar, mapun rupa dengan

beberapa kepala, lengan, mata atau dengan fitur hewan tidak dimaksudkan untuk

menjadi perwakilan dari bentuk duniawi, melainkan dimaksudkan untuk

menunjuk kepada kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi

Wasa. Pada umumnya pratima berfungsi sebagai wahana Tuhan yang tidak

terbatas dan mengambil bentuk terbatas serta memanifestasikan wujud dewa

ketika dijalankan serta diyakini untuk hadir pada wujud, rupa, ataupun bentuk

pada pratima.5

Pratima merupakan simbol dewa/bhatara yang dipergunakan sebagai alat

untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penggunaan pratima di Bali adalah

sebagai sarana untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang

Hyang Widhi Wasa. Pratima merupakan benda pusaka yang dikeramatkan atau

disakralkan oleh umat Hindu di Bali khususnya. Penggunaan pratima

diperkirakan sudah berkembang sejak abad ke IX dan berakhir sampai abad ke

XIII.6

5 I Ketut Sandika, op.cit, h. 67.

6 Paduarsana, Budaya “Mekemit”, Balipost, 13 Desember 2012, h. 3

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

43

2.3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana Adat dan Sifat Hukum

Pidana Adat

2.3.1. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana Adat

Hukum pidana adat bersumber dari sumber hukum tertulis dan sumber

hukum tidak tertulis. Zevenbergen menyebutkan sumber hukum merupakan

sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber

hukum materiil dan sumber hukum formil.7 Utrecht menyebutkan sumber hukum

materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum

(public opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hukum,

menentukan isi hukum, sedangkan sumber hukum formil yaitu menjadi

determinan formil membentuk hukum dan menentukan berlakunya hukum yang

terdiri dari undang-undang, kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam

keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan

pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Polarisasi pemikiran doktrina di

atas, hampir identik dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) Ketetapan

MPR-RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan yang menentukan sumber hukum adalah sumber

yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dimana

disebutkan sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak

tertulis.

7 Lilik Mulyadi, 2010, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspekstif Teoretis dan Praktik

Peradilan, Bahan Literatur Penelitian Kedudukan Dan relevansi Jurisprudensi Untuk Mengurangi

Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, h. 7.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

44

Sumber hukum pidana Indonesia apabila dijabarkan lebih intens maka

sumber hukum pidana Indonesia dapat terdiri atas hukum pidana tertulis dan

hukum pidana tidak tertulis. Apabila dijabarkan, sumber hukum pidana tertulis

sumber utamanya bertitik tolak kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie

(WvSNI) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Akan tetapi, sebelum

tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda berlaku 2 (dua) WvS yaitu WvS yang

berlaku untuk golongan Eropa (K.B 1866 Nomor 55) dan WvS untuk orang

Bumiputera atau yang dipersamakan berdasarkan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872.

Konsekuensi logis dimensi konteks di atas, dapat dijabarkan bahwa pada kurun

waktu itu secara formal hukum pidana adat tidak diperlukan oleh pemerintah

Hindia Belanda, akan tetapi secara materiil tetap diterapkan dan berlaku dalam

praktek peradilan.

Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau

hukum adat pidana merupakan cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat.

Hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis.

Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul,

diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat

bersangkutan. Hilman Hadikusuma menuliskan bahwa jika membicarakan tentang

hukum pidana adat, berarti berusaha mencari pengertian tentang hukum adat yang

mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran hukum adat yang menyebabkan

terganggunya keseimbangan masyarakat dan seterusnya mencari pengertian

tentang cara bagaimana masalah yang mengganggu keseimbangan masyarakat itu

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

45

diselesaikan.8 Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law),

diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang

dapat menimbulkan keguncangan dalam masyarakat karena dianggap

mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu bagi si pelanggar

diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui

pengurus adatnya.

I Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana

adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti:

1. Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti

(Compendium Hukum Hindu),

2. Kitab Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa

Agama, Kitab Kutara Agama,

3. Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturan atau keinginan-

keinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan

melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas lontar atau kertas. Di

dalam awig-awig dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh

dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-

kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila

dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui

pimpinan adatnya.9

Hukum pidana adat telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi

Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodifikasi hukum pidana adat

setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b

Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara

8 Hilman Hadikusuma, 1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, h. 98.

9 I Made Widnyana, op.cit, h. 4.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

46

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-

Pengadilan Sipil. 10

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan

bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan

pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak)

kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup

merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat

(Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama

jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri

dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut

berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan

badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan

pengadilan desa.

Ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951

disebutkan, bahwa: “Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum

materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja

dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku

untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang

10 Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka eksistensi hukum pidana adat juga diatur

dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, Yurisprudensi

Mahkamah Agung. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di

Aceh Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi maupun

Kabupaten seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten

Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian

di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) seperti

Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa Adat Mengwi, Kabupaten

Badung dan lain sebagainya.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

47

menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada

bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan

hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus

rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan

tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap

sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman

adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan

hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan

terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara dengan

pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi

dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan

yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada

bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap

diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip

kepada perbuatan pidana tersebut”.

Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-

Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951; Pertama, bahwa tindak pidana adat yang

tiada bandingan atau padanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan

ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan

dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan),

minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1

(satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

48

ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat

ancaman pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman

adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada

bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana

yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Krama di Bali

atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana

zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana

ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh

hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum

yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya

dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus

dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat

yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi

pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang

bersifat parsial ternyata eksistensi hukum pidana adat tersebut dapat dikatakan

antara “ada” dan “tiada”.11

Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut

sebagai asas legalitas) dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas

lazim disebut dengan terminology “Principle of legality”, legaliteitbeginsel”,

11 M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher,

Springfield, Illionis, USA, h.78. dikutip dari: Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif

Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, h. 3 menyebutkan tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap

formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judicial) dan tahap eksekusi (proses

administrasi).

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

49

“non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas

legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain

dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya”. (Geen feit

is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi

sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan

pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.12

Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi “Tiada suatu perbuatan

(feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-

undangan pidana yang mendahuluinya”.13

Moeljatno menyebutkan pula bahwa

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.14

Dikaji dari

substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin sebagai nullum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana

tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak

ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang). J.E. Sahetapy

menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata

karena bahasa latin merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu

itu.15

Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas

12 P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung, h. 1.

13

Andi Hamzah, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, h. 41.

14

Moeljatno, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta, h. 3.

15

J.E. Sahetapy, 2003, Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang, Edisi Mei, KHN Newsletter,

h. 21.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

50

tidak dikenal dalam hukum romawi kuno.16

Pada saat itu dikenal kejahatan yang

disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak

disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang

terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat).

Asas legalitas lahir, tumbuh dan berkembang dalam alam liberalisme, akan

tetapi pada dimensi kekinian ternyata alam liberalisme tersebut relatif kurang

cocok diterapkan dalam kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis

sehingga konsekuensi logisnya perlu dicari suatu formula berupa adanya

keinginan untuk menerapkan keseimbangan monodualistik antara asas legalitas

formal dan asas legalitas materiil. Eksistensi asas legalitas materiil sebagaimana

dikaji dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3),

(4) RUU KUHP Tahun 2008 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali

perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu

dilakukan,

2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi,

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa

seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan,

16 Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 23.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

51

4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Penjelasan ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP menentukan bahwa

suatu kenyataan dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat

ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku

sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam

lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat.

Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum

pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan

pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa

keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu, sehingga dalam penerapan asas

legalitas materiil tersebut hakikatnya mengandung pedoman atau kriteria atau

rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup

dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas

materiil). Pedoman pada ayat ini juga berorientasi pada nilai nasional dan

internasional.

Asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan

perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas

dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada

sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiil

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

52

menentukan bahwa dasar patut di pidana suatu perbuatan adalah hukum yang

hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Barda

Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal

di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam

masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang

positif. Dengan kata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana

tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat sering “ditidurkan atau

dimatikan”.

Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu

masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda

pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu juga diteruskan

sesuai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/tertulis

hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh

kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian

akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang

dengan baik “tradisi yurisprudensi” maupun “tradisi akademik/keilmuan”

mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Apabila ada, hanya dalam ruang yang

sangat terbatas dan tidak utuh atau tidak lengkap.17

Sejak UU 14 Tahun 1970 (berikut UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU

Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang tidak mengakui

eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif melalui

yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya.

17 Barda Nawawi Arief, 1994, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidato

(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pengukuhan Guru Besar, Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 25.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

53

Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi

putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian

Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang

bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa

dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan

yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut

ketentuan KUHP (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga

dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di

Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard).

Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan

bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap

menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi

adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak

dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut

dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor

1 Tahun 1951 jo pasal-pasal KUHP). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat

dikatakan bahwa bila kepala adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap

pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan Negara berwenang penuh

mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 tahun

1951 jo pasal-pasal KUHP. Dari titik tolak tersebut maka dapat disebutkan bahwa

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

54

eksistensi hukum pidana adat bersifat multi dimensional baik dari kebijakan

formulatif maupun kebijakan aplikatifnya.

Konklusi dasar dari yang telah diuraikan disebutkan bahwa hukum pidana

adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang

hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman

dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan

ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk

wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud

sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu

pelanggaran adat.

Mengenai masalah penegakan hukum dalam masyarakat hukum adat

dalam perspektif socio legal menurut David Berker dan Collin Padfield dalam

Sidik Sunaryo adalah “as a rule of human conduct imposed upon and enforced

among the members of a give state”, artinya bahwa hukum merupakan kumpulan

aturan baik tertulis (Undang-Undang) maupun kebiasaan (Custom), hukum

sebagai pedoman tingkah laku, hukum ditentukan secara paksa oleh badan yang

diberi otoritas (law is emposed), dan hukum memiliki daya eksekusi

(enforcement).18

Namun, Eitzen berpendapat hukum sama dengan norma, ia

mengatakan “norms are rules specipying appropriate and inappropriate

behaviors. The important norms are called mores and the less important one are

called folkways”, bahwa norma adalah aturan atau pedoman hidup tingkah laku

manusia. Sehingga barangsiapa melanggar dianggap sebagai manusia yang tidak

18 Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama, UMM

Press, Malang, h. 3.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

55

bermoral (amoral), sebab yang ditekankan di sini adalah aspek moral dan etika

dari manusia. Selanjutnya agar norma atau hukum dipatuhi tanpa adanya paksaan

oleh warga masyarakat maka perlu diadakan sosialisasi (pemasyarakatan).19

2.3.2. Sifat Hukum Pidana Adat

Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa “Masyarakat bangsa Indonesia

yang bertempat di desa-desa yang jauh dari kota-kota sangat dipengaruhi alam

sekitarnya yang magis religious. Alam pikiran masyarakat itu mempertautkan

antara yang nyata dan yang tidak nyata, antara alam fana dan alam baka, antara

kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib, antara hukum manusia dan hukum

Tuhan.20

Oleh karena itu, maka pada umumnya masyarakat adat tidak banyak

yang dapat berpikir rasionalistis atau liberalistis sebagaimana cara berpikirnya

orang barat atau orang Indonesia yang cara berpikirnya sudah terlalu maju atau

kebarat-baratan dengan menyampingkan kepribadian Indonesia. Oleh karenanya

hukum adat bukan hasil ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal,

tetapi hasil ciptaan pikiran komunal magis religious, atau komunal kosmis.21

Dikaji dari dimensi bahwa berdasarkan alam pikiran tradisional seperti itu,

maka alam pikiran bersifat kosmis menempatkan kehidupan manusia sebagai

bagian dari alam, kehidupan manusia berkorelasi dengan alam, kegoncangan

hidup manusia merupakan ketidakseimbangan dengan kehidupan alam,

kegoncangan alam adalah akibat ketidakseimbangan kehidupan manusia. I Made

Widnyana menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat ;

19 Ibid.

20

Hilman Hadikusuma, op.cit, h. 23.

21

Ibid, h. 21.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

56

1. Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling

berhubungan sehingga hukum adat pidana tidak membedakan pelanggaran

yang bersifat pidana dan perdata.

2. Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal

apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya

selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.

3. Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa

pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya

tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh

karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari

penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.

4. Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat

sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya

tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak

adil.

5. Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku

tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan

mungkin juga dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk

mengembalikan keseimbangan yang terganggu.22

Menurut Hilman Hadikusuma, alam pikiran tradisional yang tercermin

dalam sifat-sifat hukum pidana adat sebagai berikut :

1. Menyeluruh dan menyatukan; ketentuan-ketentuan dalam hukum

pidana adat bersifat menyeluruh dan menyatukan, oleh karena latar

belakang yang menjiwai bersifat kosmis, dimana yang satu dianggap

bertautan dengan yang lain, maka yang satu tidak dapat dipisah-

pisahkan dengan yang lain. Hukum pidana adat tidak membedakan

antara pelanggaran yang bersifat pidana, dengan pelanggaran bersifat

perdata. Semuanya akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai

satu kesatuan perkara yang pertimbangannya bersifat menyeluruh

berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya.

2. Ketentuan yang terbuka; oleh karena manusia tidak akan mampu

meramalkan masa yang akan datang, maka ketentuan hukum pidana

adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu terbuka untuk semua

peristiwa yang mungkin terjadi, yang dijadikan ukuran adalah rasa

keadilan masyarakat. Dalam penyelesaian peristiwa akan selalu

terbuka dan selalu dapat menerima segala sesuatu yang baru,

karenanya akan selalu tumbuh ketentuan-ketentuan yang baru.

3. Membeda-bedakan permasalahan; apabila terjadi peristiwa

pelanggaran adat, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan

akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang dan siapa

pelakunya. Dengan alam pemikiran demikian, maka dalam cara

22 I Made Widnyana, op.cit, h. 3-4.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

57

mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukum terhadap suatu

peristiwa menjadi berbeda-beda.

4. Peradilan dengan permintaan; untuk memeriksa dan menyelesaikan

perkara pelanggaran, sebagian besar didasarkan pada adanya

permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak

yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil, kecuali dalam hal yang

langsung merugikan dan mengganggu keseimbangan masyarakat yang

tidak dapat diselesaikan dalam batas wewenang kekerabatan.

5. Tindakan reaksi atau koreksi; dalam hal melakukan tindakan reaksi

atau koreksi dalam menyelesaikan peristiwa yang mengganggu

keseimbangan masyarakat, petugas hukum tidak saja dapat bertindak

terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap keluarga, atau kerabat pelaku

itu, atau mungkin diperlukan membebankan kewajiban kepada

masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk mengembalikan

keseimbangan.

6. Tidak Prae-Existente; hukum adat pidana tidak menganut sistem pra-

existente regel yang berarti tidak menganut asas legalitas dalam arti

perbuatan pidana dalam hukum adat pidana tidak ditentukan terlebih

dahulu sebagai suatu tindak pidana dalam suatu perundang-undangan

tertulis, tetapi ditentukan begitu ada perbuatan yang mengganggu

keseimbangan dalam masyarakat.23

2.4. Tinjauan Umum tentang Sanksi Adat dan Delik Adat

2.4.1. Pengertian dan Jenis-Jenis Sanksi Adat Bali

Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial (sanksi Adat) yang

berupa penghukuman atau sanksi itu sangat diperlukan, sebab mempunyai maksud

untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan Adat menjadi tidak

goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.24

Reaksi adat ini

merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman

magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang

ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.25

23 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV Mandar Maju,

Bandung, h. 232.

24

Emile Durkheim, dalam I Made Widnyana, op.cit, h. 8.

25

Ibid.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

58

Masyarakat adat Bali terikat oleh suatu aturan adat yang tumbuh dan

berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat atau yang lebih dikenal

dengan awig-awig. Dalam awig-awig terdapat aturan yang bersifat mengatur dan

memaksa yang tujuannya untuk menciptakan keserasian dan keselarasan dalam

kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig diatur mengenai perbuatan mana

yang disebut dengan pelanggaran adat. Terhadap warga asli desa pakraman yang

melanggar ketentuan awig-awig dapat diberikan tindakan berupa reaksi adat atau

sanksi adat oleh pengurus adat (prajuru).

Sanksi adat dalam hukum adat Bali dikenal dengan sebutan sanksi adat,

koreksi adat dan reaksi adat (danda atau pamidanda). Tujuannya untuk

mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat.

Sanksi ini dikenakan oleh lembaga adat atau lembaga desa kepada seseorang atau

kelompok atau keluarganya atau bahkan seluruh masyarakat, karena dianggap

telah melanggar norma adat (norma agama Hindu), dimana untuk dikembalikan

keseimbangan sekala niskala (alam nyata & alam gaib). Ada 3 golongan sanksi

adat yang disebut tri danda, yaitu:

1. Artha danda, sanksi adat berupa penjatuhan denda (uang atau barang), contoh:

a. Dedosan Saha Panikel-nikelnya miwah panikel urunan (Denda berupa

uang atau barang beserta kelipatannya atau kelipatan tunggakan iuran);

b. Kataban (Penahanan ternak yang keberadaannya melanggar hukum);

c. Kadaut Karang ayahan desanya (Pengambilalihan tempat kediamannya

yang berupa tanah milik desa);

d. Kerampag (Pengambilalihan secara paksa atau perampasan harta untuk

melunasi utang pelanggar hukum);

e. Ngingu Banjar/Desa (Menjamu seluruh anggota banjar/desa); dan lain-

lain.26

26 I Wayan Suardana, 2010, Delik dan Sanksi Adat dalam Perspektif Hukum Nasional, dalam

Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Dkk Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman

dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, h. 77-78.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

59

2. Jiwa danda, sanksi adat berupa penjatuhan derita jasmani dan rohani. Contoh:

a. Kapademang (dibunuh);

b. Katugel limane (dipotong tangannya);

c. Mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf);

d. Matirta Gemana atau Matirta Yatra (melakukan perjalanan suci golongan

Brahmana/Pendeta);

e. Kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya keluar Bali);

f. Mapulang kepasih (ditenggelamkan ke laut);

g. Kablagblag (dipasung);

h. Katundung, kairid (diusir);

i. Kasepekang/kanorayang (dikucilkan atau tidak diajak berbicara);

j. Ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan);

k. Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga banjar atau

desa);

l. Tan polih suaran kulkul (tidak mendapat informasi);

m. Kalatengan (disiksa menggunakan daun lateng);

n. Kaople (diarak keliling desa);

o. Kapelungguh, kapesaje, karepotang (diperingatkan lisan, dilaporkan);

p. Keantenang (mengawini gadis);

q. Kaginggsiran (ditempatkan sementara di dekat kuburan atau diluar tegak

desa).27

3. Sangaskara danda, sanksi adat berupa mengembalikan keseimbangan magis

(hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). Contoh: kewajiban

melaksanakan upacara pecaruan, pemarisudan, prayascita (bentuk-bentuk

upacara yang bertujuan membersihkan benda-benda, tempat-tempat suci agar

kembali kesuciannya seperti dahulu kala).28

Menurut Loeby Loeqman, Hukum yang hidup dalam masyarakat ada dua,

yaitu hukum yang bersifat adil dan ada pula yang bersifat kurang atau tidak adil.29

Seiring perkembangan jaman, sebagian sanksi-sanksi adat yang dikenal dalam

27 Ibid, h. 78.

28

Dharmayuda Suastawa, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi

Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 145

29

Loeby Loeqman, 1994, Pengaruh Hukum (pidana) Adat di dalam Perkembangan Hukum

Pidana Nasional, (Makalah) Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan

Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional. h. 8.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

60

masyarakat Bali sudah ditinggal karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan

masyarakat, bertentangan dengan aturan hukum nasional serta melanggar nilai-

nilai hak asasi manusia. Sanksi adat yang bertentangan dengan keadilan

masyarakat inilah yang oleh Loeby Loeqman dikatakan sebagai hukum adat yang

bersifat kurang atau tidak adil. Oleh I Made Widnyana, jenis-jenis sanksi adat

tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Sanksi adat yang sama sekali ditinggal oleh masyarakat:

Sanksi adat yang sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, olehnya

dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan

perundang-undangan. Contoh: Kapademang (dibunuh), Katugel limane

(dipotong tangannya), dan lain-lain.

2. Sanksi adat yang masih berlaku sepenuhnya:

Sanksi yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat adat Bali walaupun

terhadap pelaku suatu delik adat telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan

berdasarkan peraturan yang berlaku, namun sanksi adat harus tetap dikenakan

guna mengembalikan keseimbangan kosmis suatu daerah masyarakat adat.30

Sanksi-sanksi adat yang masih berlaku dalam masyarakat adat bali terdapat

dalam awig-awig suatu desa, yaitu:

1. Danda (denda);

2. Maprayacitta (membuat upacara pembersihan menurut agama Hindu);

3. Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga Banjar atau

Desa);

30 I Made Widnyana, op.cit, h. 21.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

61

4. Karampag (dirampas harta kekayaannya);

5. Ngingu Banjar/Desa atau nyanguin Banjar/Desa (menjamu Banjar);

6. Keantenang (mengawini gadis).31

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ada beberapa sanksi adat Bali

yang telah tidak diberlakukan lagi karena dianggap tidak adil (tidak sesuai dengan

perasaan keadilan masyarakat), bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa hukum adat bersifat fleksibelitas. Sebagaimana dikatakan

oleh Soepomo bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena

penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya

sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti

hidup itu sendiri.32

Apabila ada hukum adat yang sudah tidak sesuai dengan

perkembangan jaman, maka hukum adat tersebut dengan sendirinya akan

ditinggalkan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum

adat Bali masih kuat memegang tradisinya, dan hukum adat Bali juga berubah dan

menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman sesuai dengan konsep Desa,

Kala, Patra.33

31 Ibid.

32

Ibid. h. 7.

33

Desa, Kala, Patra adalah konsep yang dipegag teguh oleh masyarakat Bali di dalam

penerapan nilai-nilai hukum Adat. Dimana terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam hukum

Adat Bali senantiasa disesuaikan menurut desa (tempat), dimana nilai-nilai tersebut diterapkan,

kala (waktu) pada nilai itu dilaksanakan, serta dalam keadaan (patra) apa nilai-nilai hukum Adat

ini hendak diterapkan.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

62

2.4.2. Jenis-Jenis Delik Adat Bali

Di Bali terdapat beberapa jenis tindak pidana adat (delik adat Bali).

Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana sejak 1945-

1973,34

di Bali dikenal 4 jenis tindak pidana adat (pelanggaran adat) yang masih

hidup hingga sekarang yaitu:

1) Delik Adat Kesusilaan:

Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran

manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk

menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara makro

kosmos (Bhuana Agung) dengan mikro kosmos (Bhuana Alit).35

Adapun

contoh Delik Adat Kesusilaan:

a. Lokika Sanggraha; Delik Lokika Sanggraha diatur dalam Pasal 359

Kitab Adigama. Secara etimologi Lokika Sanggraha berasal dari

bahasa Sansekerta, terdiri atas dua kata yaitu Lokika dan Sanggraha.

Kata Lokika berasal dari kata Laukika yang berarti umum, orang

banyak, sedangkan kata Sanggraha berarti pegang (dalam arti luas),

sentuh, hubungan. Jadi, Lokika Sanggraha diartikan

dipegang/sentuh/jamah orang banyak (usud ajak anak liu).36

Secara

etimologi belum dapat ditemukan secara jelas pengertian yang

34 Nyoman Serikat Putra Jaya, 1988, “Relavansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali)”, (tesis) dalam memperoleh gelar

Magister Hukum Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta, h. 109.

35

I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law

Centre (IBLC), Jakarta, h. 2.

36

Institut Hindu Dharma, 1985, Pandangan Agama Hindu Terhadap Delik Adat Lokika

Sanggraha, Makalah, h. 2

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

63

mencerminkan adanya hubungan seksual yang terlarang. Secara

yuridis yaitu berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama Lokika Sanggraha

diartikan sebagai:

“Malih Lokika Sanggraha, loewir ipoen djanma mededemenan, sane

moewani tan neherang demen ipoen, dening djirih pantjang

kasisipang, awanan ipoen ngerereh daje, saobajan iloeh

kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoen tungkas paksane, sane

loeh ngakoe kesenggama, sane moewani ngelisang mepaksang patoet

tetes terangan pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen

kesisipang dande oetama sehasa 24.000, poenika mewasta Lokika

Sanggraha, oetjapang sastra”. (Lagi Lokika Sanggraha, misalnya

orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan mencintainya, karena

takut akan dipersalahkan maka mencari daya upaya, syarat-syarat si

wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa

disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si

wanita, kalau demikian halnya sepatutnya diusut kejelasannya, dan

kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar

24.000 uang kepeng).

Pengertian Lokika Sanggraha menurut para ahli hukum, yaitu

sebagai berikut:

Menurut Made Widnyana, Lokika Sanggraha ialah hubungan

cinta antara pria dan wanita yang sama-sama belum menikah,

dilanjutkan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena

adanya janji setia dari si pria untuk mengawininya, namun

setelah si wanita hamil si pria memungkiri janjinya,

memutuskan hubungan tanpa alasan.37

Gede Panetje mengartikan Lokika Sanggraha sebagai

pelanggaran berupa seorang perempuan Triwangsa yang bunting

(dalam arti mengandung atau hamil), karena pergendekan

37 I Made Widnyana, op.cit, h. 14-15.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

64

(hubungan seksual) yang sementara tidak diketahui atau tidak

mau disebut siapa lelaki yang membuat kebuntingan itu.38

I Wayan Windia, Lokika Sanggraha adalah delik adat berupa

seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan diluar

perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak

dikawini.39

Delik Lokika Sanggraha ialah suatu delik adat yang merupakan

suatu perbuatan terlarang yaitu seorang laki-laki yang menghendaki

pelayanan nafsu birahi terhadap seorang wanita bebas (status belum

menikah atau janda) atas dasar suka sama suka dengan janji akan

mengawini si perempuan, akibat dari perbuatan tersebut berakibat si

wanita hamil, kemudian si pria mengingkari janjinya untuk

mengawini si perempuan tanpa alasan. Adapun unsur-unsur daripada

delik Lokika Sanggraha adalah:

Adanya hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang

wanita;

Antara pria dan wanita yang sedang bercinta itu terjadi

hubungan seksual atas dasar suka sama suka;

Pria berjanji akan mengawini si wanita;

Hubungan seksual yang telah terjadi menyebabkan si wanita

menjadi hamil; dan

Pria memungkiri janji untuk mengawini wanita itu tanpa alasan.

38 Gede Panetje, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar, h. 39.

39

I Wayan Windia, 2004, Memitra Ngalang, Catatan Populer Hukum Adat Bali, (Upada

Sastra, Denpasar, h. 47.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

65

Dalam adat istiadat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama

Hindu, suatu perbuatan seksual hanya diperbolehkan dalam suatu

hubungan perkawinan (pawiwahan). Suatu hubungan seksual yang

dilakukan tanpa suatu upacara pakalan-kalaan dianggap tidak baik,

karena disebut Kapirangan. Karena hal itu dipercaya dari hubungan

tersebut apabila terjadi pembuahan dan melahirkan anak, maka anak

tersebut dipercaya akan menjadi anak yang tidak akan mendengarkan

nasehat orangtua atau ajaran-ajaran agama (raredyadyu). Oleh karena

melanggar perasaan hukum dan kepercayaan masyarakat adat Bali

maka hubungan seksual diluar pernikahan seperti Lokika Sanggraha

dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma adat dan

moral agama.

b. Amandel Sanggama; Suatu delik adat yang berupa seorang istri yang

meninggalkan suaminya tanpa alasan yang jelas, sedangkan statusnya

masih dalam suatu ikatan perkawinan.

c. Drati Krama; Hubungan seksual antara wanita dan pria yang sedang

masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (sama dengan

perzinahan KUHP).40

d. Gamia Gemana; Hubungan seksual antara pria dan wanita yang masih

memiliki hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun

40 Merupakan aspek pertimbangan atas Putusan Pengadilan Negeri Denpasar

No.22/PID/S/1988/PT.DPS) dalam perkara Lokika Sanggraha dengan terdakwa I Nyoman AS,

yang melanggar ketentuan Pasal 359 KItab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

66

garis ke samping.41

I Made Widnyana mengartikan gamia gemana,

sebagai perkawinan antara saudara kandung, antara ibu dengan anak,

dan lain-lain.42

Sedangkan Jelantik Sushila menjelaskan gamia gemana

sebagai perkawinan laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai

ikatan keluarga yang agak dekat, yang dapat dikelompokkan menjadi 2

(dua) bagian, yaitu (1) gamia atau perkawinan sumbang, dan (2) gamia

gemana.43

Dari penjelasan di atas tedapat tiga definisi mengenai gamia

gemana, I Wayan Windia memasukkan unsur hubungan seksual antara

orang-orang yang masih ada hubungan kekeluargaan, sedangkan I

Made Widnyana dan Jelantik Sushila menyatakan bahwa gamia

gemana adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih

mempunyai ikatan keluarga yang dekat. Disini ada dua istilah yang

berbeda Wayan Windia dengan hubungan seksual, sedangkan I Made

Widnyana dan Jelantik Sushila mempergunakan istilah perkawinan.

Walaupun antara hubungan seksual dan perkawinan memiliki

perbedaan yang tipis, namun tetap saja berbeda pengertiannya.

Menurut Jiwa Atmaja, umumnya orang menganggap gamia gemana

sebagai perkawinan yang terlarang, bukan sebagai hubungan seksual.44

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan

dilarang antara dua orang yang:

41 I Wayan Windia, loc.cit, h. 87.

42

I Made Widnyana, dalam Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada

Masyarakat Bali, Udayana University, Denpasar, h. 83-84.

43

Ibid, h. 84.

44

Ibid.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

67

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

seorang dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak istri, menantu dan

Ibu/Bapak Tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari

seorang.;

6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau aturan lain

yang berlaku dilarang kawin.

e. Mamitra Ngalang, Laki-laki sudah beristri mempunyai hubungan

dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir batin seperti layaknya

suami istri, tapi belum kawin secara sah.45

Hubungannya bersifat terus

menerus. Mamitra Ngalang agak mirip dengan Drati Krama, namun

yang membedakan ialah status pelaku. Jika dalam Drati Krama salah

satu atau kedua pelaku masih terikat perkawinan yang sah (sama

dengan delik Pasal 284 KUHP, Perzinahan), sedangkan dalam mamitra

ngalang, pelaku pria berstatus suami.

45 Ibid, h. 188.

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

68

f. Salah Krama, Melakukan hubungan seksual dengan makhluk hidup

tidak sejenis. Contoh; manusia dengan hewan. Misalnya; seorang

wanita melakukan hubungan badan guna menyalurkan nafsu birahinya

dengan memanfaatkan seekor anjing jantan. Bahkan kisah nyata

adanya hubungan kelamin seorang manusia dan seekor binatang

dilukiskan dalam Babad Prati Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan

(1999). Dalam babad ini diungkapkan permusuhan antara Pangeran

Kapal dan Pangeran Beringkit, berasal dari kematian seorang putri

Pangeran Beringkit yang dipinang oleh Pangeran Kapal. Putri

Pangeran Beringkit dipaksakan kawin dengan seekor kuda kesayangan

pangeran kapal menuai ajalnya dikandang kuda. Hal ini dilakukan

karena sumpah (kaul) yang pernah diucapkan pangeran beringkit

ketika kuda kesayangannya itu sakit dalam kaulnya diucapkan jika

kudanya sembuh akan dikawinkan dengan seorang putri. Akibat dari

peristiwa ini terjadi Peperangan Beringkit dan Kapal.

g. Kumpul Kebo, Seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup

bersama, dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti

layaknya suami istri, tetapi mereka belum terikat oleh ikatan

perkawinan.

2) Delik Adat menyangkut harta benda;

Delik adat Bali yang berkaitan dengan harta benda pada umumnya

sama dan ada persamaannya atau padanannya dalam KUHP. Namun

perbedaannya bahwa dalam delik adat Bali lebih pada obyek yang

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

69

dijadikan tujuan kejahatan atau yang dicuri. Contoh delik adat dalam

bidang harta benda adalah pencurian pratima. Pencurian terhadap pratima

merupakan suatu perbuatan yang mengganggu keseimbangan magis dari

pada daerah setempat. Pratima merupakan benda/barang berbentuk patung

yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang

disimbolkan dan digunakan sebagai stana (Pralingga) Sang Hyang Widhi

Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.46

Benda-benda suci menurut besar kecil nilai kesuciannya dibagi menjadi 3

(tiga) tingkatan:

a. Pralingga-Pralingga; merupakan benda suci yang dibuat khusus

untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya

seperti pewayangan sesuai dengan manisfestasinya, misalnya:

patung Dewi Saraswati sebagai simbol ilmu pengetahuan;

b. Tapakan-Tapakan; benda suci yang dibuat dengan tujuan supaya

dijiwai oleh Istadewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya

jangan mengganggu di alam semesta, misalnya: barong, rangda,

celuluk; dan

c. Alat-alat upacara yaitu semua alat yang khusus dipakai dalam

upacara keagamaan, misalnya: umbul-umbul, wastra, bokor.

3) Delik adat menyangkut kepentingan pribadi, seperti memisuh, mapisuna,

memauk, dan sebagainya.

4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban

terhadap lembaga tradisional, tidak datang ketika ada pertemuan desa

(paruman), tidak membayar iuran (papeson) dan sebagainya.

46 Sarka dalam I Made Widnyana, op.cit. h. 17.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

70

Oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, delik-delik adat Bali diatas menjadi 2

(dua) kelompok berdasarkan tempat kejadiannya;

1. Jenis-jenis tindak pidana adat Bali yang dilakukan ditempat suci

(pura), yaitu:

Pencurian benda suci (Pratima);

Pengerusakan benda suci/tempat suci (Pura);

Pembunuhan dan Penganiayaan dalam tempat suci;

Pelanggar Kesusilaan.

2. Jenis-jenis tindak pidana adat Bali yang dilakukan di luar tempat suci

(Pura), yaitu:

Lokika Sanggraha;

Amandel Sanggama;

Gamia Gamana;

Salah Krama;

Drati Krama;

Wakparusia;

Melarikan istri orang lain;

Pembongkaran Kuburan.47

47 Nyoman Serikat Putra Jaya, loc.cit.

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

71

Delik Adat dalam masyarakat hukum adat Bali memiliki beberapa

bandingnya dalam KUHP Nasional. Adapun bandingnya akan ditampilkan dalam

tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2 Jenis-Jenis Delik Adat Bali bandingnya dalam KUHP

No Jenis Tindak Pidana Adat Bali Bandingnya dalam KUHP/Di Luar KUHP

1 Lokika Sanggraha Tidak Ada Banding

2 Drati Krama Pasal 284 KUHP

3 Gamia Gamana Tidak Ada Banding

4 Mamitra Ngalang Tidak Ada Banding

5 Salah Krama Tidak Ada Banding

6 Kumpul Kebo Tidak Ada Banding

7 Pencurian Benda Suci (Pratima) Pasal 362 KUHP

8 Pengerusakan Benda

Suci/tempat Suci (Pura)

Pasal 156 KUHP

9 Pembunuhan/Penganiayaan Pasal 338 KUHP/Pasal 351 KUHP

10 Pembongkaran Kuburan Pasal 179 KUHP

11 Wakperusia Pasal 315 KUHP

12 Melarikan istri orang Pasal 332 KUHP

13

Memisuh (Mengucapkan kata

kotor)

Pasal 310 KUHP

14 Mapisunah (memfitnah) Pasal 310 KUHP

15 Memauk (Menipu) Pasal 378 KUHP

Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Istilah

tindak pidana merupakan terjemahan dari delict atau strafbaar feit, setelah di

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

72

Indonesia istilah tersebut kemudian diterjemahkan dengan arti peristiwa pidana,

perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat di hukum dan

perbuatan yang boleh di hukum, yang dari semua istilah ini mengandung suatu

makna yang sama. M. Sudrajat Bassir berpendapat bahwa menurut wujud dan

sifatnya perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan melawan hukum.

Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau

menghambat terlaksananya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap

baik dan adil. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila

perbuatan tersebut:

a. Melawan hukum;

b. Merugikan masyarakat;

c. Dilarang oleh aturan pidana;

d. Pelakunya diancam dengan pidana.48

Kemudian di dalam tindak pidana adat terdapat juga berbagai jenis delik-

delik tertentu seperti :

a) Pengkhianatan;

b) Pembakaran kampong;

c) Delik terhadap diri pribadi kepala adat;

d) Sihir, tenung;

e) Pengganggu kekuatan batin masyarakat;

f) Incest (sumbang);

g) Hamil tanpa nikah;

48 M. Sudrajat Bassir, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, Remadja Karya,

Bandung, h. 2.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

73

h) Melarikan gadis;

i) Zina;

j) Pembunuhan;

k) Perbuatan;

l) Pencurian; Terkait dengan tindak pidana adat pencurian yaitu delik-

delik yang mengenai pencurian harta benda, misalnya pencurian tidak

langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat seluruhnya,

melainkan hanya kepentingan orang seorang atau golongan yang

mempunyai barang yang bersangkutan. Berat ringannya pencurian

bergantung kepada sifat barang yang dicuri (barang pusaka atau barang

duniawi biasa, dan dalam hal terakhir ini, apakah ternak ataukah buah

kelapa).

Menurut Hukum Adat tradisional, pada umumnya pencuri dihukum

membayar kembali barang yang dicuri serta membayar denda kepada

orang yang kecurian. Seorang perampok yang telah berkali-kali

melakukan kejahatan dapat diasingkan dari masyarakat hukum, bahkan

dapat dibunuh.49

Terhadap suatu perkara adat (delik adat) tertentu terutama delik terhadap

pencurian pratima yang hukumannya dianggap tidak cukup oleh masyarakat adat

(desa), karena dianggap masih belum memenuhi rasa keadilan rakyat umum dapat

dituntut hukuman tambahan oleh pengadilan desa untuk melakukan upaya-upaya

adat guna memulihkan keseimbangan dalam masyarakat dan membersihkan hal-

49 Iman Sudiyat, op.cit, h. 188-195.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

74

hal yang kotor akibat perbuatan tersebut. Maka disini pelaku memperoleh dua

hukuman selain hukuman pidana yang diperoleh di pengadilan dan hukuman

pemenuhan kewajiban adat oleh hakim desa yang berwenang.50

Hal ini

sebenarnya bertentangan dengan asas ne bis in idem. Dimana seseorang tidak

dapat dihukum atas perbuatan yang sama sebelumnya. Bahkan terhadap perkara

adat telah terdapat yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644

K/Pid/1988 Tanggal 15 Mei 1991 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa

yang telah dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh kepala adat, ia tidak dapat

diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan Negara (pengadilan

negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhi penjara

menurut ketentuan hukum pidana.51

Yurisprudensi ini menyamakan antara

putusan hakim dalam pengadilan dengan putusan oleh pengadilan adat. Namun

timbul persoalan sebab UU Darurat 1/1951 telah menghapus kedudukan

pengadilan adat. Namun menurut penulis putusan pengadilan negeri dan

pembebanan kewajiban adat bukanlah bentuk putusan yang sama, sehingga

tidaklah tepat jika mengaitkan antara asas ne bis in idem terhadap kasus

pelanggaran adat yang dihukum pidana oleh pengadilan negeri dan pembebanan

kewajiban adat oleh masyarakat adat, karena dalam KUHP pembebanan

kewajiban adat bukan termasuk jenis sanksi pidana berdasarkan KUHP.

50 Bushar Muhammad, op.cit, h. 73.

51

Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaah

Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Alumni, Bandung,

h. 157.

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

75

2.4.3. Tujuan Penjatuhan Sanksi Adat

Tujuan penjatuhan sanksi adat dalam hukum pidana adat, hakikatnya

adalah untuk pemulihan keseimbangan alam magis (sekala dan niskala), guna

mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis

kembali. Penjatuhan sanksi pidana adat diperlukan eksistensinya, dan di satu sisi

penjatuhan sanksi pidana adat ini bersifat preventif dan represif dan di sisi lainnya

pemulihan keseimbangan magis yang terganggu sehingga diharapkan masyarakat

hukum adat tersebut seperti sedia kala.

Eksistensi sanksi pidana dan tujuan pemidanaan pada hukum pidana adat

mempunyai korelasi yang erat dan penting. Pada asasnya, konsep RUU KUHP

Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini merupakan

sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana Indonesia.

Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan

bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”.

Dimensi ini harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga

secara menyeluruh putusan hakim mempunyai dimensi legal justice, moral

justice, dan social justice.

Tegasnya, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktek

penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan

sebagaimana ketentutan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa “pemenuhan kewajiban

adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Pada dasarnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

76

dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku

telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai

tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan

bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau

dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat

dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau

pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan

tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk

menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif.

Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan

hakim untuk menjatuhkan sanksi adat ditegaskan oleh ketentuan Pasal 100 ayat

(1) RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4)

hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku

merupakan tindak pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka

penjatuhan pidana oleh hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan

atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan.

Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding

dengan pidana denda kategori I dengan besaran sejumlah RP. 1.500.000,00 (satu

juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM ... 2.pdftertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang

77

setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak

dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana

denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief

menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat

setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di

dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap

korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk

pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban disini

adalah masyarakat adat.52

Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi

hukum yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab

dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan

menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-

benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat

Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya

yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto

menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat

menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya

tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus

bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun

materiil.53

52 Barda Nawawi Arief, op.cit, h. 59.

53

Soedarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 81.