BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARAPIDANA, … 2.pdf · tidak ada masyarakat yang sepi dari...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARAPIDANA, … 2.pdf · tidak ada masyarakat yang sepi dari...
44
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NARAPIDANA, PEMIDANAAN DAN KEWENANGAN
PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT
2.1 Pengertian Narapidana
a. Dasar hukum dari pada Narapidana
Lembaga Pemasyarakaratan (“LAPAS”) dan Rumah Tahanan Negara (“RUTAN”).
Pengertian RUTAN dapat kita temui di dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disebutkan bahwa:
“Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau
terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
Pengadilan”.
Sementara, mengenai pengertian LAPAS diatur pada Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yang berbunyi:
“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”.
RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu
sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara, LAPAS
merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, seorang narapidana harus ditempatkan di dalam LAPAS
untuk mendapatkan pembinaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan kapasitas RUTAN
di Indonesia membuat fungsi LAPAS berubah menjadi RUTAN. Beberapa LAPAS yang
seharusnya menjadi tempat membina narapidana tersebut digunakan untuk menahan tersangka
atau terdakwa. Perubahan fungsi ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
45
M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai
Rumah Tahanan Negara. Pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut terdapat
daftar LAPAS yang juga dapat menjadi RUTAN.
Berkaitan dengan pertanyaan “seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS
boleh ditempatkan di rumah tahanan”, pada Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia No.: M.01-PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan
Tahanan disebutkan: Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dapat dilakukan:
a. Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, atau
b. antar wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.
Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut di atas, maka seorang Narapidana yang sudah
berada di LAPAS tidak dapat dipindahkan ke RUTAN, karena sesuai dengan fungsinya LAPAS
yaitu tempat untuk melakukan pembinaan narapidana. Kalaupun narapidana harus dipindahkan,
maka narapidana tersebut hanya dapat dipindahkan ke LAPAS wilayah lain dan bukan ke
RUTAN, sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01-
PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan. Fungsi
RUTAN bukanlah untuk membina narapidana, tetapi untuk menahan sementara seorang
tersangka atau terdakwa.
Demikian penjelasan dari kami semoga menjawab pertanyaan Anda.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
46
3. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan
Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara
Narapidana menurut pasal 1 nomor 7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merupakan
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan).
Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak yang sama
meskipun sebagian hak-haknya untuk sementara dirampas oleh negara. Adapun hak-hak
narapidana yang dirampas oleh negara untuk sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB 1948,
yaitu:
1. hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara. (pasal
13 ayat (1));
2. hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (pasal 13 ayat (2));
3. hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi informasi (pasal 19);
4. kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20);
5. hak memilih dan dipilih (pasal 21);
6. jaminan sosial (pasal 22);
7. hak memilih pekerjaan (pasal 23);
8. hak menerima upah yang layak dan liburan (pasal 24);
9. hak hidup yang layak (pasal 25);
10. hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (pasal 26);
11. kebebasan dalam kebudayaan (pasal 27).
Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam pasal 35 KUHP dapat dirinci sebagai berikut:
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2. hak memasuki angkatan bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturan-aturan umum;
4. hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan ank-anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;
6. hak menjalankan pencaharian.
Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang sifatnya
fakultatif. Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat serta-merta, tergantung dari
47
pertimbangan hakim. Dan, tidak pidana pokok senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana
tambahan tersebut.
Pada umumnya, Hak-hak narapidana yang tidak dapat diingkari, dicabut oleh negara
sekalipun dan dalam kondisi apapun, adalah seperti yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB
1948, yaitu: hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang
penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan
atau pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas
persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7). Hak
atas pemulihan (pasal 8). Larangan terhadap penangkapan, penahanan atau pengasingan yang
sewenang-wenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga tak bersalah dan
larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak memiliki kewarganegaraan (pasal 16).
Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama
(pasal 18).
Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah dirumuskan
secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Hak-hak Asasi manusia yang telah tersebut di atas, kemudian dijabarkan lagi dalam pasal
14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:
1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;
2. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
3. mendapatkan pendidikan dan pengajaan;
4. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
5. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak larangan;
48
6. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
7. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya;
8. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
9. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
10. mendapatkan pembebasan bersyarat;
11. mendapatkan cuti menjelang bebas;
12. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang berlaku.
Manual lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak narapidana yang
diberikan apabila narapidan tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Hak – hak tersebut
adalah:
1. Mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar;
Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Selama
menjalani masa hukumannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan
dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain dengan cara: surat
menyurat dan kunungan keluarga.
2. Memperoleh remisi;
Setiap 17 Agustus 1945, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1987, setiap narapidana yang
berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakuakn perbuatan yang bermanfaat bagi
negara atau kemanusiaan, dan narapidana yang membantu kegiatan dinas LAPAS, akan
memperoleh remisi.
3. Memperoleh asimilasi;
Selama kehilangan kemerdekaannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur
diperkenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Asimilasi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: asimilasi ke dalam (yaitu, hadirnya masyarakat ke dalam LP),
dan asimilasi ke luar (yaitu, hadirnya narapidana di tengah-tengah masyarakat).
2. Memperoleh cuti;
49
3. Memperoleh pembebasan bersyarat.
Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana untuk sepenuhnya
berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat narapidana tersebut telah menjalani 2/3 dari
masa hukumannya. Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap diawasi oleh
BAPAS dan Jaksa negeri setempat.
b. Pengaturan Pemidanaan dan Pidana
Proses pengambilan keputusan diawali dengan pernyataan hakim bahwa pemeriksaan
sidang pengadilan dinyatakan sudah cukup aau selesai. Untuk itu penuntut umum dipersilahkan
mengajukan tuntutan pidana. Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan
pembelaan yang dapat dijawab oleh penuntut umum dan begitu seterusnya .
Dalam putusan pemidanaan oleh hakim merupakan salah satu bentuk putusan Pengadilan
negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas ( pasal 191 ayat 91) KUHP dan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum ( pasal 191 ayat (2). Putusan pemidanan terjadi, jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan
menyakinkan . terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakni
terdakwa bersalah melakukan.
Sebagai garis besar dalam pengambilan keputusan sesuai dengan pasal 182 KUHP
sebagai berikut ; apabila hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka penuntut
50
umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana, setelah itu terdakwa dan atau penasehat
hukum mengajukan pembelaannya yangd dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan
bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir, tuntutan, pembelaan,
dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan
kepada hakim ketua pengadilan sidang karena jabatannya dan apabila acara tersebut selesai
maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup
Adapun dasar pemidanaan dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pidana
hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahatan terdakwa, yang dibuktikan di sidang pengadilan.
Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana termaktub dalam dakwaan penuntut umum,
pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengdilan perndapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus
didukung oleh alat bukti minimum yang sah.
Faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana sesuai dengan pasal 58 ayat
(52), bahwa penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan yaitu :
1. Kesalahan pembuat tindak pidana
2. motif dan tujuan melakukan tindak pidana
3. cara melakukan tindak pidana
4. sikap batin pembuat tindak pidana
5. pengaruh batin terhdap masa depan pembuat tindak pidana
6. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana, dll
Dalam meniadakan kejahatan itu sama sekali adalah merupakan sesuatu yang tidak
mungkin selama adanya masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan menurut W.A.
51
Bonger adalah “Perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari
negara berupa penderitaan (hukum atau tindakan)
Di samping pendapat tersebut di atas DR. Saparinah Sadli yang dikutip dari bukunya
Djoko Prakoso menyebutkan bahwa ; kejahatan atau tindak pidana kriminal merupakan satu
bentuk dari “prilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat,
tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan, prilaku menyimpang itu merupakan suatu
ancaman yang nyata atau ancaman norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau
keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun potensial bagi
kelangsungan ketertiban sosial.
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dapat merugikan baik pada diri sendiri
meupun orang lain, lebih-lebih perbuatan pidana yang menyebabkan matinya orang, akibat yang
timbul terjadinya keresahan dalam masyarakat, terganggunya ketenangan dalam masyarakat.
Dalam unsur-unsur tindak pidana tersebut menurut K.Wanjik Saleh menyebutkan tentag
pertanggung jawaban terhadap tindakan pidana yaitu dalam hubungan dengan suatu tindak
pidana, perlulah disebut tentang hubungan antara perbuatan dengan orang yang melakukan
perbuatan itu. Karena adanya tindak pidana, diebabkan oleh adanya orang yang membuat. Tidak
mungkin suatu tindak pidana tanpa perbuatannya. Maka hubungan antara keduanya itu sangat
erat sekali. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang itu, maka
haruslah dipenuhi beberapa syarat-syarat : (a) Tentang melakukan perbuatan pidana, perbuatan
yang bersifat melawan hukum, (b) Mampu bertanggung jawab, (c) Melakukan perbuatan dengan
sengaja atau karena kealpaannya, dan (d) Tidak adanya alasan pemaaf
52
Seperti yang tertuang dalam 338 KUHP menyebutkan bahwa ; barang siapa dengan
sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun
Apabila pembunuhan yang dilakukan akibat dari diluar kesadaran adalah merupakan
unsur kelalaian atau culpa yang menurut ilmu hukum pidana terdiri dari :
- culpa dengan kesadaran
- culpa tanpa kesadaran
Kedua bentuk culpa tersebut dan perbedaannya dengan dolus eventualis yaitu unsur-
unsur yang dapat dihukum (delik), antara lain sebagai berikut “…. Beberapa pekerja yang
sedang bekerja di atas sebuah rumah melemparkan sebuah balok ke bawah, yang menimpa
orang. Kalau rumah itu dikelilingi oleh kebun partikuler dimana biasanya tak pernah ada orang
maka kejadian itu adalah kejadian yang tiba-tiba dan tidak disengaja ( dolus eventualis).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
seorang pelaku tindak pidana atau kejahatan tidak dapat dijatuhi pidana jika ternyata hukum
perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Namun sepanjang bersangkutan
mampu bertanggung jawab secara hukum, maka pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut
harus dijatuhi pidana.
Adapun jenis-jenis tindak pidana bagi orang dewasa meliputi ; pidana mati, pidana
penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, pidana kerja sosial, pidana tambahan
dan tindakan sedangkan pidana bagi anak nakal yaitu pidana pokok, pidana tambahan, tindakan,
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana bersyarat dan pidana pengawasan.
c. Jenis Pemidanaan
53
Bagian dari stelsel pidananya tercantum dalam KUHP, karena KUHP tanpa stelsel
pidana tidak akan ada srtinya. Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada
dasarnya hukum pidana memuat dua hal, yakni syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan
pidana dan pidananya itu sendiri.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 10 menyebutkan, pidana terdiri dari :
a. Pidana pokok
1. pidana mati
2. pidana penjara
3. pidana kurungan
4. pidana denda
5. pidana tutupan
b. Pidana tambahan :
1. pencabutan hak-hak tertentu
2. perampasan barang-barang tertentu
3. pengumuman putusan hakim
Ada beberapa hal yang dapat membedakan pidana pokok dari pidana tambahan yaitu :
a. Pidana tambahan dapat di tambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian
perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diseraahkan
kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana
tambahan itu ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok.
b. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak pidaana
dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana tambahan.
Jenis hukuman atau macam-macam hukuman dalam pasal 10 tersebut adalah :
a. Pidana Pokok
1) Pidana mati
Pidana mati ini adalah terberat menurrut posotif. Pada umumnya lebih banyak orang
yang kontra terhadap adanya pidana. Pidana mati ini dari pada yang pro. Diantara
54
keberatan-keberatan atas pidana mati ini adalah bahwa pidana tidak dapat ditarik
kembali, jika kemudian terjadi kekeliruan.
2) Pidana penjara
Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan
dengan menutup terpidana dalam sebuah penjara, dan mewajibkan orang tersebut
mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam penjara.
3) Pidana kurungan
Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan dari kemerdekaan
bagi di terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai
dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu
merupakan perampasan kemerdekaan seseorang.
4) Pidana denda
Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berrupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan
satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun
denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara
sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
b. Pidana Tambahan
Dalam KUHP pidana tambahan terdapat dalam pasal 10 ayat (b) yang terdiri dari
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman
keputusan hakim.
55
c. Menurut Undang-undang No. 3 tahun 1997
Adalah suatu kenyataan bahwa perkembangan kriminalitas dalam masyarakat telah
mendorong lahirnya Undang-undang tindak pidana khusus, yaitu Undang-undang Hukum
Pidana yang ada di luar KUHP.
Kemudian Undang-undang Hukum Pidana Khusus dalam sistem hukum pidana
adalah merupakan pelengkap dari hukum pidana yang dikondifikasikan di dalam KUHP
yang mengelompokkan status anak ke dalam pengertian-pengertin sebagai berikut :
(a) bagi orang yang belum dewasa atu yang belum mencapai usia 21 tahun dan
belum pernah kawin.
(b) Dengan putusan hakim terhadap mereka yang berada dalam usia dewasa yang
melakukan tindakan pidana sebagai berikut :
2. anak dikembalikan kepada orang tuanya
3. anak itu dijadikan anak negara
4. anak itu diadili sebagaimana mestinya sesuai ketentuan hukum yang
berlaku
(c) Tuntutan mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan anak tersebut pada
waktu sebelum berusia enam belas tahun.
Sehubungan dengan pembahasan tentang Undang-undang Tindak
Perbedaan antara yang terjadi dalam kondifikasi antara KUHP dengan Undang-
Undang No. 3 tahun 1997 yaitu :
1. Dalam KUHP untuk menentukan batasan umur orang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin
2. Tuntutan terhadap anak nakal pada waktu sebelum berusia enam belas tahun.
56
3. Dalam KUHP pidana terhadap anak nakal tidak diadakan pengawasan
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak perbedaannya
yaitu :
1. Batasan umur terhadap anak nakal mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
2. Terhadap perkara yang dilakukan terhadap anak nakal dikenakan ancaman pidana
khusus.
3. Terhadap anak nakal yang dipidana diberikan pengawasan agar nantinya dapat diterima
di masyarakat.
Dari perbedaan tersebut diatas penulis mengacu pada rumusan masalah yang telah
dirumuskan yaitu pidana Khusus.
Adapun isi Undang-undang No. 3 tahun 1997 menyangkut tindak pidana khusus
terhadap anak nakal yaitu :
Pasal 22 : Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau
tindakan yang ditentukan dalam undang-undang
Pasal 23 Ayat (1) : Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah
pidana pokok dan pidana tambahan.
Ayat (2) : Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
ialah :
a. pidana penjara
b. pidana kurungan
c. pidana denda, atau
d. pidana pengawasan
Ayat (3) : selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terhadap Anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Ayat (4) : Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran
ganti kerugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 24 Ayat (1) : tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah :
b. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang ttua
asuh.
c. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja
57
d. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Ayat (2) : Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan
oleh hakim
Pasal 29 ayat (1) : Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila
pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2(dua) tahun)
Ayat (2) : dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat
umum dan syarat khusus)
Ayat (3) : syarat umum ialah bahwa anak nakal tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana
bersyarat.
Ayat (4) : syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan
hal tertantu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan
tetap memperhatikan kebebasan anak.
Ayat (5) : masa pidana bersyarat bagi syarat khususlebih pendek
daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.40
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pengertian pidana beryarat
terhadap sistem pemidanaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur atau anak yang belum
berumur 18 tahun yang melakukan tindakan pidana diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun
1997. Mengenai pidana bersyarat pasal 29 seperti yang telah disebutkan terdahulu. Sedangkan
hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal tertuang dalam pasal 10 UU.No. 3 tahun 1997.
d. Pendapat atau Doktrin Pidana dan Pemidanaan
Masalah pidana sebagai salah satu masalah dalam pokok hukum pidana, dimana persoalan
yang sangat penting adalah mengenai tujuan dari pemidanaan yang ingin mencari dasar
pembenaran dari pada sebagai usaha untuk menjadikan pidana lebih fungsional. Sehubungan
dengan tujuan pemidanaan, usaha untuk mendayagunakan pidana bersyarat ini adalah sangat
penting, dan kemudian dengan adanya rencana untuk membentuk hukum pidana Indonesia yang
berperikemanusiaan yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. setiap
orang yang melakukan kejahatan belum tentu mempunyai bakat jahat. Ada kemungkinna bahwa
40
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indoneisa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986 hal.663
58
seorang itu mempunyai jiwa dan maksud yang baik, akan tetaapi oleh karena mengalami
kesulitan di dalam hidupnya atau penderitaan , kemudian melakukan kejahatan setelah pada
dirinya dihinggapi pikiran-pikiran yang melainkan jiwanya. Hal yangdemikian sangat mungkin
terjaddi, apabila terhukum itu belum pernah dihukum dan yang pada umumnya mempunyai
maksud yang baik, yang karena hidupnya yang sulit didalam masyarakat terpaksa ia melakukan
kejahatan.
Di kalangan masyarakat sering timbul anggapan bahwa penjara justru merupakan khusus
kejahatan bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat yang perbuatan-perbuatan
dilakukannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidupnya dilakukan karena ketisaksengajaan.
Untuk menghindari dari anggapan yang demikian, maka timbullah aliran-aliran baru
dalam masalah penghukuman yaitu agar bagi mereka yang tidak melakukan kejahatan yang berat
dapat dihindarkan dari rumah tahanan dan hal demikian dinamakan Pidana Bersyarat.
Pidana bersyarat merupakan suatu lembaga yang pertama kali ditetapkan di Indonesia
pada tahun 1926 tetapi baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP yang diatur
dalam pasal 14a sampai dengan 14f dengan segala peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam
Stb 1926/251.Jo.486
Mengenai istilah dari pada pidana bersyarat ini berasal dari Negeri Belanda yang disebut
dengan istilah Voorwardelijke Veroodeling. Istilah ini dibagi menurut asal katanya dapat
diartikan sebagai berikut : “Pidana (verpprdeling) menurut R. Soesilo disebutkan secara hukum
pidana yang dunamakan hukum atau pidana adala suatu tindakan tidak enak (sengsara) yang
dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepala orang yang telah melanggar hukum. 41
41
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal.111
59
Bersyarat (voorwardelijke) didalam pengertian kamus seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Subekti, SH adalah “Janggelan, digantungkan pada suatu peristiwa dikemudian hari, suatu
pada peristiwa tentang terjadi atau tidaknya.42
Bersyarat yang digantungkan pada peristiwa ini dalam keputusan hakum dicantumkan
jumlah masanya dan selama itu dikenakan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh
terpidana.
Dalam menterjemahkan istilah voorwardelijke vervoodeling ini kedalam Bahasa
Indonesia, para sarjana memakai istilah seperti : E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, SH mengatakan :
Bahwa kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah sekedar suatu istilah umum
sedangkan yang dimaksud disini bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melinkan
pelaksanaan dari pidana itulah yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu43
Disini perlu diperhatikan bahwa perintah terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, tidak
diperbolehkan mengadakan persyaratan mengenai kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik bagi terpidana. Adapun istilah lain seperti penghukuman bersyarat pada tahun 1915 di
negeri Belanda menurut pandangan seorang sarjana yaitu : DR. E. Utrecht, SH, istilah
penghukuman bersyarat ini oleh adalah unutk memperbaiki pelanggar dalam suatu masa
percobaan.44
Penggunaan istilah voordeling itu lebih tepat kalau digunakan dengan istilah pidana
bersyarat sebagai terjemahan, akan tetepi sebenarnya masalah peristilahan tersebut tidaklah
begitu penting, yang lebih penting adalah maksud dari istilah tersebut yaitu dengan memberikan
kesempatan si terpidana untuk memperbaiki kelakuannya, tetapitidak didalam penjara.
42
Ibid 43
E.Y. Kenter dan S.R.Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHNPTHN, Jakarta, hal. 62 44
E.Utrech, Rangkaian Seri Kuliah Hukum Pidana II, Universitas Bandung, 1987, hal 353
60
Dari uraian diatas maka dapat ditarik pengertian pidana bersyarat yaitu pemberian pidana
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak dilaksanakan
langsung atau dengan kata lain pidana itu ada dan pasti, tetapi ditunda pelaksanaannya sampai
syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim dilanggar oleh terpidana. Akan tetapi kalau syarat-
syarat yang dibebankan dapat ditaati maka pelaksanaan pidana itu sendiri dianggap tidak pernah
ada.
Dengan kata lain pidana tidak dilaksanakan didalam Lembaga Pemasyarakatan, tetapi
dikembalikan kepada masyarakat atau keluarga dengan diwajibkan untuk dapat memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim dalam keputusan.
Mengenai pengertian dari pidana bersyarat menurut pandangan umum bahwa pidana
bersyarat itu adalah : suatu putusan hakim terhadap orang yang terbukti bersalah berupa pidana
penjara yang selama-lamanya satu tahun atau pidana kurungan, yang bukan pidana kurungan
pengganti denda, yang oleh hakim si terpidan itu diperintah untuk tidak menjalankan pidananya
di Lembaga Pemasyarakatan, kecuali nanti dikemudian hari ada peritah lain dalam putusan
hakim, karena si terpidana tadi melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum masa
percobaannya berakhir.
Dalam si terpidana menjalankan masa percobaan dia harus selalu berhati-hati agar tidak
sampai melakukan kesalahan lagi. Apabila ternyata dalam masa percobaan si terpidana
melakukan suatu pelanggaran hukum, maka si terpidana akan dimasukkan ke dalam penjara atau
lembaga pemasyarakatan atas perintah hakim sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya pada
waktu sebelum masa percobaan berakhir.
Menurut R. Atang Ranoemihardjo, SH., bahwa pidana bersyarat atau pemidanaan dengan
perjanjian terdapat dua fase yaitu :
61
1. Fase pertama si terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan.
Pada pokoknya orang tersebut dihukum, tetapi hukuman tersebut tidak dijalankan dulu,
maksudnya dalam masa percobaannya itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak
berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar yang diadakan oleh hakim kepadanya
dengan harapan jika ia berhasil, maka pidana yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak
akan dijalankan unutk selama-lamanya.
2. Fase kedua, baru akan timbul bila fase pertama tidak berhasil, yaitu jika si terpidana
belum habis masa percobaan itu ternyata ia berbuat sesuatu peristiwa pidana atau
melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, maka pidana akan dijatuhkan
kepadanya.45
Apabila ditinjau secara yuridis formal pengertian Pidana Bersyarat terdapat dalam pasal
14 a sampai f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 14 a ayat 1 KUHP berbunyi sebagai
berikut :
Apabila dijatuhkan pidana yang selama-lamanya satu tahun dan apabila dijatuhkan pidana
kurungan yang didalamnya tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, maka hakim
boleh memerintahkan bahwa pidana itu tidak akan dijalankan kecuali jikalau kemudian hari
adaa perintah lain dalam keputusan hakim massa percobaan yang ditentukan dalam perintah
pertama itu berakhir atau dalam masa percobaan itu tidak mencukupi suatu syarat yang
khusus yang sekiranya diadakan dalam perintah itu.
Tetapi dalam hal ini masih ada pembatasan untuk tidak boleh menjatuhkan pidana
bersyarat berdasarkan Undang-undang yakni pasal 14 a ayat 2 yang mempunyai arti :
a. Bila terdakwa dijatuhi putusan pidana dengan syarat khusus nyata padaa hakim bahwa
pembayaran densa atau permasalahan yang juga diperintahkan dalam putusan
menimbulkan sangat kekerabatan bagi terdakwa.
b. Terhadap penghasilan keuangan negara danbea cukai tidak boleh dijatuhkan pidana
bersyarat dengan maksus agar pembendharaan negara jangan sampai dirugikan oleh
putusan hakim.
45
R.Atang Ranoemihardjo, Hukum Pidana, Azas-azas Pokok Pengertian dan Teori Serta Pendapat
Beberapa Sarjana, Transito Bandung, 1981, hal. 145
62
Di dalam pidana bersyarat, terpidana harus memeuhi syarat-syarat yang diwajibkan, baik
itu syarat maupun syarat yang terdapat dalam pasal 14 e ayat 1 dan 2 KUHP. Adapun syarat
umum adaalah terpidana tidak menjalani hukuman, apabila didalam jangka waktu tertentu tidak
bersalah ataupun tidak melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan syarat
khususnya yang menyangkut tentang kelakukan terrpidana artinya tidak diperkenankan
nelakukan perselingkuhan dengan wanita tuna susila, mengganggu lalu lintas dan lainlainnya.
Dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak mengenai pidana
bersyarat diatur dalam pasal 29 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pidana beryarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan
paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) ditentukan sysrat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa anak nakal tidakl akanmelakukan tindak pidana lagi selama
menjalani masa pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan tindak pidna ditetapkan dalam
putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat
bagi syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3
3(tiga) tahun
(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan, dan menepati
persyaratan yang telah ditentukan
(8) Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai Pemasyarakatan dan
berdstatus sebagai klien Pemasyarakatan.
(9) Selama anak nakal berstatus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan
sekolah
Mengingat pidana bersyarat dapat dikatakan merrupakan suatu hukuman yang paling
ringan dari semua hukuman namun masih tetap dirasakan sebagai suatu hukuman yang harus
dilaksanakan. Pidana bersyarat dapat dikenakan baik terhadap terhadap orang dewasa maupun
anak.
Dari pengertian pidana bersyarat diatas, maka pada uraian ini akan diuraikan mengenai
tujuan pidana bersyarat. Jadi kita kembali kepada maksud dan tujuan pidana bersyarat adalah
63
memberikan kesempatan kepada terpidana agar di dalam masa percobaan dapat memperbaiki
dirinya terhadap perundang-undangan yang berlaku, lebih jauh menghindarkan terpidana dari
pengaruh-pengaruh buruk terutama bagi perkembangan jiwanya agar dapat hidup normal seperti
sediakala.
Jadi pada prinsipnya tujuan pidana bersyarat sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu
sama-sama memberikan hukuman yang lebih ringan. Dan sebelum tulisan ini menginjak pada
tujuan pidana bersyarat secara mengkhusus, ada baiknya perlu juga diketahui tentang
keuntungan-keuntungan dalam penerapan pidana bersyarat :
Adapun keuntungan di dalam penerapan pidana bersyarat antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepadda terpidana untuk memperbaiki
dirinya di masyarakat, sepanjang kesejahtraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan
sebagai hal yang lebih utama dari pada resiko yang mungkin diderita oleh masyarakat
seandainya si terpidana di lepas dimasyarakat.
2. Keuntungan yang kedua adalah pidana bersyarat memungkinkan terpidana untuk
melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya seghari-hari sebagai manusia yang sesuai
dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
3. Bahwa pidana bersyarat akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana
perampasan kemerdekaan yang oleh sarjana Ricard disebut sebagau salah satu
konsekuensi di luar hukum yang harus diperhitungkan di dalam kebijaksanaan para
penegak hukum.1
64
Kalau ketiga keuntungan tersebut dibahas dari segi yang dikenai pidana bersyarat,
kemudian dari masyarakat orang yang dikenai pidana bersyarat dapat mempunyai keuntungan
sebagai berikut :
1. Ditinjau dari segi masyarakat adalah, bahwa secara finansial maka pidana bersyarat
yang merupakan pembinaan di luar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan
pembinaan di dalam lembaga.
2. Ditinjau dari segi pelaksanan Pidana bersyarat yakni para petugas pembimbing
keuntungannya adalah, bahwa dengan pidana bersyarat di luar lembaga para petugas
pelaksana pidana bersyarat dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dimasyarakat
untuk mengadakan rehabilitas terhadap terpidana bersyarat. Fasilitas ini dapat berupa
bantuan pembinaan dari masyarakat setempat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana bersyarat adalah agar terpidana
lebih banyak mendapatkan jalan untuk membebani dirinya untuk memenuhi dirinya menuju
perubahan hidup yang lebih baik, yang dalam hal ini banyak menyangkut aspek kehidupan baik
secara ekstern maupun intern. Secara intern yaitu menyangkut kehiduoan dirinya sendiri maupun
keluarganya. Seperti misalnya terpidana masih tetap sekolah atau sudah bekerja. Kalau kita lihat
dari pihak keluarganya, otomatis keluarga terpidana dapat membina dan mendidik si terpidana
untuk diarahkan ke hal yang lebih baik. Sedangkan secara eksternya antara lain dapat dilihat dari
lingkungan sekitarnya, dan apabila klien dikenai pidana bersyarat otomatis terpidana ada di
rumah seolah-olah ia tidak dikenai hukuman, karena tetangganya yang menaruh perasaan tidak
baik, tidak dapat menjatuhkan mental si terpidana itu sendiri. Artinya orang yang tidak senang
baik kepada keluarganya tidak mempunyai kesempatan untuk menjatuhkan mental si anak itu
65
sendiri. Dan dapat pula kelau dikaitkan dengan tujuan pembinaan sudah mempunyai sasaran
yang sejalur yaitu mengurangi orang-orang yang masuk menjara.
Tujuan pidana bersyarat pada pokoknya untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut :
(1) Pidana bersyarat tersebut disatu pihak dapat meningkatkan kebebasan indivisu dan dilain
pihak mempertahankan tertib-tertib hukum, serta memberikan perlindungan kepada
masyarakat secr efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut.
(2) Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah
rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan antara narapidana dengan
masyarakat secara normal.
(3) Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari
pidana pencabutan kemerdekaan yang sering kali menghambat usaha pemasyarakatan
kembali narapidana kedalam masyarakat.
(4) Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk
membiayai sistem koreksi yang berdaya guna.
(5) Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana
pencabutan kemerdekaan khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung
kepada si pelaku tindak pidana.
(6) Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif
dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umu dan khusus ), perlindungan
masyarakat memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.46
Pemidanaan bersyarat merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dilakukan anak nakal
adapun tujuan dari pidana bersyart adalah :
46
Gosita. Arif, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Press, 1989,244
66
(1) untuk mencegah dilakukannya tindakan pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat
(2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjdaikan orang
baik dan berguna
(3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan kesinambungan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
(4) membesarkan rasa bersalah pada terpidana.47
Untuk mencapai tujuannya sehingga ada beberapa azas yang dapat dipakai pedoman
dalam pelaksanaannya yaitu :
1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya Undang-undang hanya boleh diterapkan
terhadap peristiwa yang disebut di dalam Undang-undang tersebut, serta terjadi setelah
Undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat
umum, apabila pembuatnya sama. Artinya terhadap peristiwa khusus wajib di perlakukan
Undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang
juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku
terdahulu. Artinya Undang-undang lain lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai
suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-undang baru yang berlaku
belakangan yang berlaku pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya
berlainan atau berlawanan dengan Undang-undang lama tersebut.
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
47
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta,
1993, hal. 59
67
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahtraan bagi masyarakat
maupun pribadi, melalui pelestarian pembaharuan
Disamping tujuan tersebut diatas juga para penegak hukum sebagaimana halnya dengan
warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan
sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan
timbul konflik mengenai peranan penegak hukum menyangut pengambilan keputusan yang tidak
sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus
dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sarana, disamping mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka
golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam
memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan
keteladanan yang baik.
Kalau warga masyarakatnya sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka
juga akan mengetahui dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuatu dengan aturan
yang ada. Hal ini semua biasanya dinaman kompotensi hukum yang tidak mungkin ada apabila
warga masyarakat :
1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau terganggu.
2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya.
3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karea faktor keuangan, psikis,
sosial atau politik.
68
4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya.
5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan
berbagai unsur kalangan hukum formal
2.2 Maksud dan Tujuan Pembebasan Bersyarat
Adapun Pembebasan Bersyarat itu sendiri ialah upaya membina narapidana diluar
Lembaga Pemasyarakatan secara bersyarat sehingga bagian terakhir dari hukuman pidananya
tidak diialani. Bagian terakhir itu digantungkan pada suatu syarat yang harus dipenuhi dlan masa
percobaan dan untuk itu diadakan pengawasan. Terhadap istilah Pembebasan Bersyarat ini
semula belun ada kesamaan, ada yang menyatakan pelepasan dengar perjanjian, ada pula yang
mengatakan pelepasan Janggelartau pelepasan dengan bersyarat.49
Semua ini tidak mempengaruhi inti pengertian dari Pembebasan Bersyarat yaitu :
1. Adanya bagian terakhir dari pidana tidak dijalankan (Biasanya sepertiga bagian dari sisa
hukuman).
2. Adanya masa percobaan yaitu sisa hukuman ditambah satu tahun.
3. Adanya syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
4. Adanya badan yang mengawasi masa percobaan tersebut.
Tindakan ini disebut Pembebasan Bersyarat, karena melepaskan terhukum, mengangkat,
memindahkan narapidana dari keadaan yang tidak bebas yaitu keadaan-keadaan dimana
narapidana dibebani kewajiban bagian dirasakan
49
R. Soesilo,1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi
Pasal, Penerbit Politeia, Hogor, hal. 17.
69
Sebagai suatu paksaan keterbatasan ruang gerak dimana mereka hidup dalam lingkungan
masyarakat Lembaga Pemasyarakatan, menuju kemerdekaan untuk, hidup bersama dengan
anggota masyarakat lainnya sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab.
Pernbebasan Bersyarat tersebut bukanlah pelepasan ke alam merdeka sepenuhnya tetapi mereka
masih diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai imbalanan atas tidak dijalaninya sisa pidana
itu. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam masa pcrcobaan dan bila dilanggar akan
mengakibatkan pencabutan Pernbebasan Sersyarat itu dan kemudian kepadanya diwajibkan
menjalani sisa hukumannya lagi. Di dalam melaksanakan Pembebasan Bersyarat yang diberikan
kepada narapidana tersebut diperlukan adanya pengawasan, bimbingan dan pembinaan agar
narapidana itu/ tidak akan melanggar lagi suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman,
tidak akan melakukan suatu perbuatan' yang berkelakuan kurang baik. Karena itulah disebut
Pembebasan Bersyarat arti pentingnya terletak pada masa peralihan (dalam tahap integrasi) dari
kehiduan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang serba terbatas, Menuju kehidupan yang
merdeka. Masa percobaan ini adalah masa merdeka yang dibatasi dengan kewajiban memenuhi
syarat-syarat guna melangkah ke masa kehidupan yang merdeka penuh.
Adapun yang menjadi maksud daripada Pembebasan Bersyarat adalah pandangan bahwa,
selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan
tidak boleh diasingkan. Masalah ini dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap
sebagai masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mer-eka menjalani pidana
hilang kemerdekaan, yang menurut faham lama ialah identik dengan pengasingan dari
masyarakat sedangkan menurut sistem Pemasyarakatan, mereka tidak boleh diasingkan dari
rnasyarakat. yang dimaksud sebenarnya disini bukan "geographical" atau "Physical" tidak
diasingkan akan tetapi Cultural" tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat
70
dan kehidupan masyarakatnya. Bahkan merek,a k.emudian secara bertahap akan dibimbing di
luar Lembaga (ditengah-tengah masyarakat) hal ini merupakan kebutuhan 'dalam suatu proses
pemasyarakatan. Dan memang sistem Pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang
"Community-Centerebd", serta berdasarkan inter aktivitas dan inter-diciplinair approach antar
unsur-unsur pegawai, masyarakat dan narapidana. Pada tahap pembinaan pemasyarakatan yang
terkhir ini diberikan terhadap narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang
sebenarnya dan sekurang-kurangnya selama sembilan bulan, dengan disertai suatu ketentuan
bahwa menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan narapidana yang bersangkutan dalarn
pembinaannya rnengalami kemajuan serta berjalan dengan lancar dan baik. Dalam tahap
pembinaan narapiana benar-benar sudah berada di tengah-tengah bebas. Dengan lain perkataan
wadah dalam berupa masyarakat luar, dengan pengawasan dan bimbingan yang makin lama
makin berkurang akhirnya dilepas sama sekali. Dengan demikian diharapkan narapidana dapat
hidup dalam keadaan harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai nilai
yang berlaku dalam masyarakat lingkungannya.
Tujuan pembebasan bersyarat, terlebih dahulu penulis akan mengutarakan tentang tujuan
hukuman ialah sebagai yang ditimbulkan karena dendam. Disini azas pembalasan, sehingga oleh
Borvger bahwa . "hukuman ini ditimbulkan karena dendam".50
Kejahatan yang ditimbulkan
harus diimbangi dengan hukumn yang setimpal dengan pengenaan penderitaan baginya. Dalam
hukum adatpun, tujuan hukuman itu berupa pembalasan, yaitu biasanya berupa hukuman adat
yang timbul dari reaksi masyarakat terhadapnya. Mereka diasingkan atau dibuang dari
masyarakat dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat lagi. Keadaan seperti ini adalah
50
W.A.Bonger,1987, Pengantar Tentang Kriminolooi, Pustaka Sarjana, PT. Pembangunan, Jakarta, hal. 170.
71
sama dengan masuk penjara yang merupakan tempat pengasingan belaka, bagi mereka yamg
telah melakukan kejahatan.51
Kemudian timbul keberatan-keberatan terhadap tujuan yang seperti di atas, lalu timbullah
pikiranpikiran baru bahwa tujuan hukuman itu ialah bertujuan mempertahankan tata tertib dalam
masyarakat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Bila kita perhatikan tujuan hukuman
yang demikian, lalu memperbandingkannya dengan mereka yang terkena hukuman ternyata
hukuman itu berat sebelah yaitu hanya menitik beratkan pada masyarakat saja, sedangkan
terhukum tidak diperhatikan sama sekali. Tidak ada usaha memperbaiki terhukum agar menjadi
baik kembali sebagai warga masyarakat yang berbudi baik dan bertanggung jawab. Yang
ada hanyalah memulihkan antara dunia lahir dan dunia gaib. Kita maklumi bersama bahwa
terhukum adalah manusia biasa, hamba Tuhan yang mempunyai hak hidup serta tidak luput
kesalahan-kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Adapun terhadap kebiasaan itu bila belum terlanjur buruk demi Tuhan bisa kita perbaiki
bersama. Karena adalah manusia Indonesia yang memiliki satu yaitu bangsa Indonesia, tidak
boleh antara suku yang satu dengan suku yang lain, sama-sama mempunyai kedudukan sebagai
individu, harga diri juga sebagai pendukung hak dan masyarakat maka kepadanya berhak kita
berikan pendidikan, pembinaan dan membimbing mereka ke jalan yang benar dan baik agar
nantinya bisa kembali ke masyarakat sebagai tenaga yang positif dan konstruktif. Dari hal-hal di
ataslah kemudian tujuan hukuman di sarnping menimbulkan rasa derita, juga melindungi
masyarakat (sosial preventin) dan mendidik terhukum, mernbina serta membimbingnya agar
kelak menjadi manusia yang bmik, berguna dan bertanggung jawab.
51
R.A.S. Soemadipradja, Romli Atmasasmita, 1989, Sisten Pemasyarakat.an di Indonesia, Penerbit Bina
Cipta, Bandung, hal. 4.
72
Pembebasan bersyarat yang merupakan bagian dari pada hukum nasional lebih
menonjolkan pada segi pendidikannya dan pada masa percobaannya. Bagi narapidana yang
mendapatkan Pembebasan Bersyarat, masa percobannya merupakan masa peralihan dari alam
tidak bebas ke alam merdeka. Dalam masa itu narapidana dibebani tanggung jawab untuk
berikhtiar ke arah kebaikan. Dengan demikian narapidana diharapkan dapat membiasakan
berbuat baik, kebiasaan mana nanti bisa dilanjutkan setelah berada di tengah-tengah masyarakat
dalam keadaan merdeka penuh. Jelaslah bahwa Pembebasan Bersyarat bertujuan mendidik
narapidana, hal mana syarat-syarat itu disamping merupakan pelajaran baginya juga sebagai
ujian untuk nantinya bisa berhasil di alam merdeka penuh. Selanjutnya juga merupakan
pendorong bagi narapidana untuk berkelakuan baik dalam Lembaga Pemasyarakatan, walaupun
diketahui olehnya bahwa berkelakuan baik dalam Lembaga Pemasyarakatan itu saja belumlah
dapat menentukan.
Sungguhpun demikian orang berkelakuan baik itu mempunyai pengaruh dalam artian
bahwa yang tidak berkelakuan baik tidak akan mendapat Pembebasan Bersyarat. Tujuan
Pembebasan Bersyarat yang dernikiun itu adalah sesuai benar bahkan mencerminkan tujuan
hukum maka tujuan hukuman pidana yang diterapkan, dismping berfungsi pengayoman yang
berwujud membimbing manusia untuk, dengan kepribadian yang penuh menjadi warga
masyarakat yang baik dengan patuh bersama-sama dengan warga masyarakat yang lain ikut men-
,bangun negara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945.
Muladi, dalam melihat tujuan pernidanaan, cenderung untuk mengadakan kombinasi
tujuan pemidanaan yang dianggapnya cocok atas dasar alasan-alasan yang bersifat sosiologis,
ideologis dan filosofis masyarakat Indonesia. Perangkat tujuan pemindanaan yang bersifat
73
,integratif tersebut adalah sebagai berikut. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat, pencegahan (umum dan khusus) dan pengimbalan atau pengimbangan.52
Ditinjau dari sudut narapidana : Pembebasan Bersyarat akan pendidikan baginya untuk
berbuat baik serta; sangat mendororng kearah kebaikan. Cara yang demikian diharapkan
nantinya menjadi kebiasaan dalarn masyarakat.
Dipandang dari sudut masyarakat : maka masyarakat merasa dilindungi terhadap
narapidana, sebab si narapidana masih pengawasan yang berwajib, sehingga tidak usah akan
adanya gangguan dari mereka. Pembebasan Bersyarat masyarakat tidak akan ketenangannya,
karena sebelum ia dilepas sudah dimintakan persetujuan dari masyarakat menerimanya, disertai
surat pernyataan dari Desa, Kecamatan, Polisi dan lain-lain yang Untuk menerima di daerahnya
serta sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.
Dengan demikian jelas pembebasan bersyarat ini mencerminkan tujuan Hukum Nasional
kita yang kompleks itu sehingga pada tempatnya kalau hukum Pidana Nasional kita akan
mengaturnya di dalam sistem pidana yang mengandung arti pengayoman.
Peraturan-peraturan mengenai pembebasan bersyarat yaitu menjadi dasar hukum untuk
mernberikan narapidana pembebasan bersyarat, Pencabutannya, penahanannya diatur dalam
Pasal 15, 15a, 15b, dan 16 Huku Kesatu Hab II kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dasar
hukum melepas seorang narapidana dengan Pembebasan bersyarat ialah Pasal 15 dan 15a
KUHP. Pasal ini mnengatur Pembebasan Bersyarat yang mempunyai pengertian bahwa bila
salah satu dari syarat di atas tidak ada, maka tidak dapat disebut Pembebasan bersyarat sehingga
tidak sampai pada arti Dari Pembebasan Bersyarat yang merupakan masa peralihan.
52
Muladi, 1995, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni Bandung, hal. 11.
74
Begitu pula kalau masa percobaannya tidak ada, maka akan menjadi persoalan sampai
kapan syarat-syarat itu harus dipenuhi sehingga tidak ada kepastian sampai kapan narapidana
mendapat kemerdekaan terbatas dan kapan dapat diambil tindakan kalau syarat-syarat tidak
dipenuhi. Demikian pula kalau ada pengawasan maka efeknya sama dengan tidak ada syarat-
syarat, sebab tidak ada yang akan menilai buruk baiknya perbuatan mereka, sehingga mereka kan
dapat berbut sekehendak hatinya. Berikut ini penulis akan tinjau Pasal demi Pasal yang mengatur
Pembebasan Bersyarat : Pasal 15 (1) KUHP.
Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan
pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu
dianggap sebagai satu pidana.
Dalam hal ini jika narapidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana yang
dijatuhkan kepadanya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat. Jika narapidana menjalani
beberapa pidana berturut-turut maka semua pidana yang dijatuhkan kepadanya dijadikan satu
pidana. Pasal di atas akan dikupas lebih lanjut dalam masalah persyaratan yang harus dicukupi di
dalam pernberian Pembebasan Bersyarat. Pasal 15 (2) KUHP.53
Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Pasal 15 (3) KUHP. Masa
percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah
satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu termasuk masa
percobaan. Dalam pemberian Pembebasan Bersyarat ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu
lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun.
53
Moeljatono,1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Hurni Aksiara, Jakarta, hal. 12.
75
Jika narapidana ada dalam tahanan yang sah waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Jadi
kedua Pasal di atas mengatur masa percobaan yaitu bahwa lamanya masa percobaan adalah sisa
pidana yang belum dijalani ditambah satu tahun.
2.3 Kewenangan Pemberi Pembebasan Bersyarat
Menteri hukum dan HAM dalam kewenangan memberikan pembebasan bersyarat sesuai
dengan ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang pemberian Pembebasan bersyarat adalah
proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-
kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.24 Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari
fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana
Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.54
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan
pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh
sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut
dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun
1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7.55
54
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, 2008, Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co,
hal. 23. 55
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1997, Sistem Pemasyarakatan Di
Inodonesia,Bandung: Penerbit Binacipta, hal. 17.
76
Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan
pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955
yang berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645), mengalami
perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29 Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan
bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan
diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang
sekurangkurangnya harus tiga tahun.56
Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo 486, yang
merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan
bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus 9 (sembilan) bulan,
dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan
bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat57
Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat
pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan
bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang
diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan
pidana selain pembalasan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan
masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk mempersiapkan dan memberikan
56
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3,
Jakarta: Storia Grafika, hal. 473. 57
Bambang Poernomo, 1995, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,Yogyakarta:
Liberty, hal. 87.
77
narapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang
dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampuh untuk mencapai tujuan-
tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan
pemberian pembebasan bersyarat.
Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS)
Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari
Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids
Stelling.
Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
:
1. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu
lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih
lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga
dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai
Pembebasan bersyarat.
2. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga
pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1)
dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai
dwangopveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa. Pembebasan yang akan
dijelaskan lebih lanjut adalah pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan
pidana penjara sebagai mana telah diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 KUHP.58
58
P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit., hal. 247-248.
78
Dalam praktek dibidang hukum khususnya hukum pidana sering dijumpai berbagai
terjemahan yang berbeda-beda mengenai pembebasan bersyarat. Dalam bahasa Belanda
digunakan istilah voorwardelijje invrijheidstelling yang jika diterjemahkan artinya Pembebasan
Bersyarat. BPHN menggartikannya dengan istilah pelepasan bersyarattanpa menyadari bahwa
istilah tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran terutama bagi orang awam, karena istilah
pelepasan ini tidak lazim digunakan dalam hukum pidana dan BPHN sendiri sering mengalami
kesulitan dalam penggunaannya.
Istilah pembebasan bersyarat akan Nampak lebih lazim digunakan dalam hukum pidana
jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192 ayat (1), Pasal 183 ayat (2) huruf b KUHP
dan lain-lain. Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang menyebutkan pengertian pembebasan
bersyarat, KUHP hanya menyebutkan mengenai syarat-syarat bahwa seorang narapidana berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Pengertian pembebasan bersyarat ini akan nampak lebih
jelas jika kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar
bidang ilmu hukum.
Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman
Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti
Menjelang Bebas adalah :
Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar
lembaga pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14, Pasal
22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Mengenai
pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan
oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap
memonitor segala perbuatan narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila
79
nantinya dalam pelaksanaan bebas bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak
teratur, bermalas-malasan berkerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana,
menimbulkan keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan
bersyarat maka pembebasan yang di berikan dicabut kembali.
Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan bersyarat adalah tertuang dalam Pasal
15 dan Pasal 16 KUHP, disamping itu terdapat pula aturan pelaksanaan yang lain dalam berbagai
bentuk peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat
syaratsyarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Pasal 15 KUHP :
1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan
bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap
sebagai satu pidana.
2. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak
termasuk masa percobaan. Pasal 15a KUHP :
a. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
b. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana,
asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
c. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam
Pasal 14d ayat 1.
80
d. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-
mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
e. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan
syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
f. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat
yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka
orang itu diberi surat pas baru.
Pemberian pidana bersyarat sesuai dengan ketentuan pasal 15b KUHP :
1. Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang
melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat
dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat
menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
2. Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak waktu
pidananya.
3. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut
kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan
tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang
menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat
masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan
pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP tersebut diatas dapat dilihat tentang syarat
pemberian pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut terdakwa harus telah menjalani hukuman
81
sekurang-kurangnya dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang
kurangnya sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Permohonan pembebasan bersyarat bagi
narapidana yang telah memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya
Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan
diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Republik Indonesia terlebih dahulu harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Cuti
menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat, syaratnya sebagai berikut :
1. Syarat Substantif
a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi
pidana;
b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d. Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan narapidana yang bersangkutan;
e. Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak pernah mendapat hukuman
disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir;
f. Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa pidananya, setelah dikurangi
masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan.
2. Administratif
a. Salinan surat keputusan pengadilan;
82
b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma yang bersangkutan tidak
mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
c. Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari balai pemasyarakatan tentang pihak
keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak
lain yang ada hubungannya dengan narapidana;
d. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang
dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-
lain dari kepala lembaga pemasyarakatan;
f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti;
pihak keluarga, sekolah, intansi pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah
daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
g. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik
jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka
surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum;
h. Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat tambahan :
1. Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/konsulat negara orang asing
yang bersangkutan.
2. Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi setempat.
Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat
tersebut diatas, dalam Pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk
83
menetapkan pemberian pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai
berikut :
Pasal 16
a) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah
mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan
dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan
mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam Pasal 15a ayat 5,
ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa
tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering
Pusat.
b) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada,
orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna
menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa
percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya.
Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
c) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian
untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap
meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang bagaimana cara
Menteri Hukum dan HAM meminta saran dari Dewan Reklasering Pusat, tentang apa saja yang
dapat diputuskan oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat
Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744. Menurut Pasal 1 dari Ordonansi
tentang pembebasan bersyarat, usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada
Menteri Hukum dan HAM memuat :
1. Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan;
2. Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh terpidana tersebut, hari
mulai dijalankannya pidana itu dan kapan akan berakhir;
84
3. Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup terpidana tersebut yang
sekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum
dijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah sesudah
dilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada
orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya;
4. Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat itu yang antara lain
dapat mengenai tempat tinggalnya di dalam atau di luar suatu daerah;
5. Tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan bersyarat itu.
Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala Lembaga
Pemasyarakatan harus terlampir dengan :
1. Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana tersebut menjalani pidananya
disertai daftar mutasinya;
2. Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah dijatuhkan kepadanya selama tiga
tahun sebelum usul itu diajukan;
3. Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan Pasal 3 atau turunannya.
Setelah menerima usulan mengenai pembebasan bersyarat seseorang narapidana dari
Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka Menteri Hukum dan HAM akan mengusulkan usul
tersebut kepada Dewan Reklasering Pusat. Menteri Hukum dan HAM akan memberikan
putusannya mengenai pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana dengan menetapkan jangka
waktu yang ada dan menetapkan besarnya jumlah uang yang akan didapat oleh narapidana
sebagai bekal untuk memulai dengan usaha yang baru setelah dibebaskan secara bersyarat dari
Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Pasal 5 Ordonansi tentang Pembebasan Bersyarat
menyebutkan sebagai berikut :
85
1. Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat tanda izin (Pas) kepada terpidana
itu menurut model yang dilampirkan pada ordonansi ini;
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya belum selesai dicantumkan di
bagian belakang surat izin itu;
3. Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu disampaikan kepada Kantor Besar
Penjara (kini: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Pasal 15a ayat (1) dan ayat (2)
KUHP hanya menyantumkan bahwa bagi orang yang dibebaskan secara bersyarat itu dapat
ditetapkan secara syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang
narapidana selama masa percobaan, akan tetapi tidak menjelaskan secara rinci tentang
kriteria yang harus digunakan untuk menetapkan syarat-syarat tersebut, kecuali hanya
membatasi bahwa syarat khusus berkenaan dengan prilaku narapidana tidak boleh membatasi
kebebasan untuk beragama dan kebebasan berpolitik.
Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat mengatur syarat limitatife hal-hal yang tidak
boleh dilanggar seorang narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, yaitu : Terpidana
yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berprilaku bertentangandengan syarat-syarat umum
yang dimaksud dalam Pasal 15 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila :
1. ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
2. ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat
Terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa percobaan pembebasan
bersyarat kemudian melakukan pelanggaran seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 19
Ordonansi pembebasan bersyarat, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali untuk
sementara waktu atau dapat di cabut sepenuhnya. Mekanisme pencabutan pemberian
pembebasan bersyarat ini dilakukan oleh Dewan Reklasering Pusat atau usul dari Menteri
86
Hukum dan HAM Setelah Menteri Hukum dan HAM mendapat surat dari Jaksa wilayah dimana
tnarpidana tersebut tinggal yang isinya sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b juga pada
ayat (3) Ordinansi pembebasan bersyarat, yaitu :
1. Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat dicabut memuat:
a. keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, sedapat
mungkin dengan dilampirkan juga pasnya;
b. alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.
2. Pada usul ini dilampirkan berita-berita acara, catatan-catatan, dan surat surat lain yang
dipandangberguna, begitu pula berita acara pemberiksaan orang yang dilepaskan dengan
bersyarat itu, kecuali jika memang ia tidak dapat didengar.
2.4. Teori atau Konsep Dalam Narapidana
a. Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah
negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak
ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
87
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan
keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-
undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan
pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia
menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan
hidup warga negaranya.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga
prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum
(equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum
(due process of law).
Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection)
atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya
boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun
mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan
yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis,
misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam
agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian,
perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di
berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.
Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality
before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada
di atas hukum (above the law).
88
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil.
Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental
(fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum
tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan , due process of law
yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang
harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah
yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri
termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang
cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang
pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan
atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk
beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak
untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal
protection) dan hak-hak fundamental lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu
persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh
berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan
sewenang-wenang.
b. Teori Kepastian Hukm
89
Dalam rancangan KUHP yaitu Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : tiada seorang pun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai
tindak pidana. Tetapi secara tegas rancangan KUHP menyatakan : Ketentuan dalam ayat 1 tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang dapat dipidana walaupun perbuatan yang dilakukan itu tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Bila dikaji dari segi sosiologisnya ini bisa dilihat dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 yaitu yang
berbunyi sebagai berikut : Suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah di tanah air masih
terdapat ketentuan hukum di daerah tersebut : Hal yang demikian juga didapati dalam lapangan
hukum pidana yang bisa disebut dengan tindak pidana adat. Dan Diakuinya tindak pidana
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Jadi asas legalitas yang dikaji dari segi sosial ini lebih mengutamakan rasa keadilan bagi
setiap warga masyarakat tanpa terkecuali, sehinggga timbullah kehidupan masyarakat yang adil,
tentram dan sejahtera. Asas legalitas (kepastian hukum) ini yang juga memberikan rasa keadilan
bagi seluruh masyarakat. Asas legalitas ini juga tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945,
dimana dalam Pancasila terdapat dalam alinea pertama, alinea kedua dan alinea ke-4. Kemudian
juga terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu : pasal 1 ayat (3), 4 , 9 , 24 , 27 , 28.
c. Teori Keadilan
Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di
sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling
sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal
ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.
90
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh
hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-
kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 60
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan
mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara
parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan
sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu,
orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan
ini.
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya
nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics,
buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam
kaitannya dengan keadilan”.61
Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami
dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan
numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita
maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan
proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
60
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal
239.
61 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum ...., hal 24. 5 Ibid, hal 25.
91
prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi
dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap
problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya.
Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata
diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa
ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan
dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan
barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles
ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan,
maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun,
ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah
terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini
nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif
merupakan bidangnya pemerintah
92
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan
antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak
manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari
komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara
hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan
pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang
hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia
d. Teori Kewenangan
Peraturan perundang-undangan ada yang dikeluarkan di tingkat pusat pemerintahan
maupun di tingkat daerah dan dikeluarkan oleh jajaran Pemerintahan bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) berdasarkan wewenang legislatifnya, seperti yang tersebut
dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Macam-macam atau jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan
Ketetapan MPR tersebut, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Bertitik tolak dari tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas menunjukkan
bahwa produk hukum yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan
wewenang pemerintahannya yang bersifat diskresioner seperti Surat Keputusan Menteri Hukum
93
dan HAM yang materinya bersifat konkrit individual bukanlah berkedudukan sebagai produk
legislatif, karena bukan dibentuk dan dibuat oleh badan atau lembaga pembuat peraturan
perundang-undangan (kekuasaan legislatif). Isi muatan dari keputusan badan atau pejabat tata
usaha negara demikian itu merupakan pengaturan yang bersifat konkrit individual seperti halnya
peraturan perundang-undangan biasa, maka disebut sebagai perundang-undangan semu (pseudo -
wetgeving) atau peraturan kebijakan (beleidsregel).
A. Hamid S. Attamimi, dengan mengacu terutama kepada kepustakaan Eropa Kontinental
menyatakan, bahwa peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur, yakni :
a. Norma hukum (rechtsnormen);
b. Berlaku ke luar (naar buiten werken); dan
c. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin).62
Dari rumusan tersebut di atas dapat dipahami bahwa peraturan perundang-undangan pada
hakekatnya adalah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku ke luar dan bersifat umum
dalam arti yang luas. Norma hukum berarti dalam peraturan perundang-undangan memuat
ketentuan-ketentuan yang mengandung sifat berupa: perintah (gebod), larangan (verbod),
pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling). Berlaku ke luar artinya ditujukan
kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya maupun antara rakyat dengan
pemerintah.Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Indroharto mengemukakan bahwa daya kerja
ke luar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintah maupun para warga masyarakat. Bersifat
umum dalam pengertian ditujukan kepada orang atau sekelompok orang yang tidak tertentu. 63
62
A.Hamid S.Attamimi, 1990 Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Desertasi, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, hal.314
63
Indroharto, 1996,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 105
94
Dari pengertian norma hukum bersifat umum tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila
yang terkena norma hukum itu adalah orang atau orang-orang tidak tertentu disebut norma
umum, sedangkan bila yang terkena itu adalah orang atau orang-orang tertentu disebut norma
individual. Jika yang diatur itu fakta tidak tertentu disebut norma abstrak, sedangkan jika yang
diatur adalah fakta tertentu disebut norma konkrit.
Dari sifat norma yang umum atau individual dan abstrak atau konkrit tersebut, dapat
dibentuk berbagai norma dengan sifat kombinasi umum-abstrak, umum-konkrit, individual-
abstrak, dan individual-konkrit.
Penetapan norma dalam hukum tata usaha negara berbeda dengan penetapan norma
dalam hukum perdata dan hukum pidana. Penetapan norma dalam hukum perdata dan
hukum pidana yang mengatur perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada
umumnya dapat dibaca dalam rumusan formal dari undang-undang yang bersangkutan.
Sedangkan dalam bidang hukum tata usaha negara pembuat undang-undang formal tidak begitu
memegang peranan dalam menetapkan norma-norma hukum untuk perbuatan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat karena ia hanya menentukan norma-norma pokoknya saja, sedangkan
untuk pengaturan selanjutnya pembuat undang-undang lebih banyak menyerahkan kepada
pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaannya sampai kepada keputusan sesuai dengan
keadaan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Dengan demikian, pembuat undang-undang
secara sadar telah menyerahkan sebagian wewenang yang dimilikinya kepada badan atau pejabat
tata usaha negara untuk membuat berbagai peraturan pelaksanaan yang kedudukannya lebih
rendah, sehingga peraturan pelaksanaan itulah yang pada akhirnya akan menentukan.
Sikap pembuat undang-undang tersebut menurut Struycken dan van Wijk, dinamakannya
terugtred (sikap mundur dari pembuat undang-undang/ wetgever). Munculnya sikap terugtred
95
tersebut disebabkan antara lain; karena pembuat undang-undang menyadari betapa luasnya ruang
lingkup hukum administrasi tersebut, sehingga pembuat undang-undang tidak mungkin untuk
mengatur keseluruhannya dalam UU formal.64
Selain dari itu, pembuat undang-undang juga menyadari bahwa mereka (pembuat
undang-undang) tidak mungkin mampu mengikuti perubahan-perubahan dalam masyarakat yang
terjadi dengan cepat, utamanya perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan
dan perkembangan teknologi dengan mengaturnya dalam suatu undang-undang formal.
Demikian juga hal-hal yang bersifat teknis dan mendetail tidak mungkin dan tidak sewajarnya
diatur dalam undang-undang formal.
Sebagaimana diketahui, bahwa sebagian terbesar dan yang terutama dari bidang-bidang
urusan pemerintahan atau kegiatan yang bersifat eksekutif dalam negara dilaksanakan oleh
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan dan jajaran pemerintah di bawah Presiden.
Instansi-instansi yang memiliki wewenang pemerintahan demikian itu disebut badan atau pejabat
tata usaha negara. Terkait dengan kata wewenang tersebut, Indroharto mengemukakan : 65
…. kata wewenang dalam hal ini tidak sekedar berarti “boleh atau mampu” melaksanakan
urusan pemerintahan saja, melainkan hakekat dari wewenang para pelaksana urusan
pemerintahan itu adalah kewenangan mereka untuk membentuk dan mempertahankan hukum
positif. Sebab untuk dapat membentuk hukum positif memang harus ada wewenang untuk
itu. Tanpa wewenang tersebut para pelaksana urusan pemerintahan itu tidak bisa membuat
keputusan-keputusan TUN yang sah. Dalam arti yuridis pengertian wewenang adalah
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum. Biasanya pengertian wewenang diartikan dalam arti luas yang lebih bersifat
umum yaitu wewenang untuk berbuat sesuatu.
64
Struycken dan van Wijk, dalam Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 93.
65
Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik Dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian
Dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 1995, hal. 27.
96
Dari uraian tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa untuk pengaturan selanjutnya yang
lebih mendekati keadaan praktek yang nyata pembuat undang-undang menyerahkan hal itu
kepada pembuat peraturan yang lebih rendah untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang
lebih rendah tingkatannya yang akhirnya kepada para badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan lebih lanjut secara final apa yang harus berlaku pada suatu keadaan konkret tertentu.
e. Teori Pemidanaan
Masalah pemidanaan dalam hukum pidana mempunyai hubungan yang sangat erat di
dalam penulis menguraikan mengenai pelaksanaan pidana penjara terhadap pembinaan
narapidana dalam hubungannya dengan resosialisasi di lembaga pemasyarakatan. Dibentuknya
suatu lembaga adalah didahului dengan adanya pemidanaan terhadap seseorang yang telah
terbukti melakukan/melanggar hukum.
Sebelum penulis menguraikan mengenai arti pidana maka terlebih dahulu kiranya
penulis menguraikan arti dari pada hukum pidana, baik yang sudah dikodifikasi (Kitab Undang-
undang Hukum Pidana) maupun yang masih tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hukum Pidana adalah merupakan hukum sanksi dimana sifat sanksi ini
menempatkan hukum pidana sebagai sarana untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta
keadilan.
Menurut C.S.T. Cansil Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana
diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan.66
66
C.S.T. Kansil, 1984, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta hal.
257.
97
Sedangkan Moeljatno memberikan batasan pengertian hukum pidana dengan
mengemukakan tentang perbuatan apa, kapan dan bagaimana sanksi pidana dapat diterapkan
sebagai berikut :
Hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berlaku yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan hukum itu.67
Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan sanksi pidana atau pemidanaan
dijatuhkan manakala dilakukan suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang oleh
norma hukum pidana atau dengan kata lain bahwa pemidanaan dijatuhkan karena suatu
perbuatan pidana atau delik.
Mengenai pemidanaan Roesian Saleh berpendapat bahwa hukum pidana adalah sebagai
suatu sanksi suatu upaya untuk dapat mempertahankan agar kehidupan bersama akan selalu
dalam keadaan lestari.68
Segi inilah yang dapat disebut provensi yaitu suatu pencegahan kejahatan, namun hukum
pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum suatu aksi dari reaksi atas suatu perbuatan
tindak pidana, dengan adanya sanksi pidana maka norma-norma tersebut dengan sanksi-
sanksinya menjadi hukum pidana. Di dalam hukum pidana ini dikatakan sistem yang negatif,
67
Moeljatno, 1989, Asas-asas Hukum Pidana, Seksi Kepindahan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
hal. 1. 68
Roeslan Saleh, 1980, Suatu Orientasi Dalam Hukum Pidana, Jakarta, hal. 25.
98
karena sanksi dalam hukum pidana adalah sanksi yang bersifat negatif, disamping itu ada juga
yang mengatakan bahwa hukum pidana itu mempunyai sanksi yang subsidair.
Pemidanaan diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan suatu
bentuk umum untuk mengayomi masyarakat serta merupakan unsur pokok dalam
menangggulangi adanya suatu kejahatan dan pelanggaran. Dengan demikian diperuntukan bagi
mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dimana rekasi berupa
pemidanaan akan timbul apabila tata tertib dalam masyarakat dilanggar.
Berdasarkan atas uraian tersebut sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dan
alasan pembenar dari pidana penjara ataupun tindakan lain yang menghilangkan kemerdekaan
bergerak seorang narapidana pada hakekatnya untuk dididik dan dibimbing agar pulih
kesadarannya, sekaligus melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Tujuan ini hanya dapat
diwujudkan secara kongkrit bila pada masa hilangnya kemerdekaan itu diarahkan sebanyak
mungkin ketujuan pembinaan yang sehat dalam artian bagaimana usaha kita untuk
meresosialisasikan narapidana kembali kedalam hidup bermasyarakat.
Kebijakan dalam menetapkan pidana penjara, merupakan suatu hal yang wajar dan
memang diperlukan. Hal ini merupakan suatu yang melekat dengan sifat dan hakekat kejahatan
itu sendiri yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan pidana itu sendiri. Sehubungan
dengan itu S Balakhrisnan mengemukakan : ”Hukum Pidana memang berubah dan memang
seharusnya memerlukan perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan ini tidak
hanya mengenai apa yang merupakan atau dinyatakan sebagai kejahatan, tetapi juga mengenai
apa yang seharusnya dijadikan pidana untuk suatu kejahatan, karena gagasan-gagasan mengenai
99
pidana juga telah berubah sesuai perubahan itu sendiri, terutama mengenai pandangan hidup
tentang moral dan kemasyarakatan.69
Dengan demikian apabila kebijakan pemidanaan yang terutang dalam KUHP tidak
terencana dengan baik, menurut Jhon Kaplan dapat menimbulkan terjadinya disparitas pidana.
Akibat yang timbul dari adanya diparitas pidana yang mencolok ini menurut Edward M.
Kennedy adalah :
a. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap
sistem pidana yang ada.
b. Gagal dalam mencegah terjadinya kejahatan.
c. Mendorong aktifitas kejahatan.
d. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.71
Dengan kembalinya narapidana ketengah-tengah masyarakat disertai bekal pendidikan,
gemblengan, dan pembinaan yang diperoleh selama didalam Lembaga Permasyarakatan,
tentunya kita harapkan agar seorang narapidana setelah diresosialisasikan benar-benar insaf dan
sabar akan perbuatan yang dilakukan dimasa-masa yang lalu, dengan demikian agar mereka
mampu untuk melakukan pembenahan diri dan dapat diharapkan kembali diterima dan
diperlukan sebagai anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan dengan warga yang
ada. Bagaimana juga kehidupan seorang narapidana tidak bisa lepas dengan masyarakat sebab
mereka dibesarkan dilahirkan dan ditumbuhkan dimasyarakat.
Dalam hukum pidana, yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori,
yaitu sebagai berikut : 72
69
S.Balakhrisnan, Reform of Criminal Law in India, Some Aspects, Resource material Series N.6 UNAFI
Tokyo, 1973, hal 44 71
Edward M. Kennedy, Toward a New System of Criminal Sentencing : Law with order, The American
Criminal Law Review, No.4 Volume 16, 1979, hal 363, dalam BNA, Loc.Cit
100
a. Teori Absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan pidana, karena
penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan
hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Tindakan pembalasan didalam
penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu :
1. Ditujukan pada penjahatnya;
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat
(sudut subyektif dari pembalasan).
Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar
kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.
Sementara menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif, mengenai teori absolut ini, bahwa :
73
“Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana atau
kejahatan”.
Lanjut Muladi dan Barda Nawawi arif mengemukakan bahwa teori absolut ini, setiap
kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar, seseorang
mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.
b. Teori Relative atau tujuan (doel theorien).
Teori ini berpokok pangkal pada dasarnya bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat dan untuk
menegakkan tata tertib itulah maka penerapan hukum pidana sangat penting.
72 Adami Chazawi. Hukum Pidana Bagian I. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008). hal.
157.
73 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana. (Bandung : Alumni. 1984). hal. 10.
101
Untuk mencapai ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai 3 (tiga) sifat,
yaitu :
1. Bersifat menakut-nakuti (afsschrikking);
2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclas ering);
3. Bersifat membinasakan (onschadelijik maken).
Sedangkan pencegahannya dari teori ini, ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai berikut :
1. Pencegahan Umum (general preventie)
Khalayak ramai dapat menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka perlu dibuat pidana yang
ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dan dilakukan di muka umum agar setiap orang
mengetahuinya. Adanya ketentuan tentang ancaman pidana yang diketahui oleh umum itu
membuat setiap orang menjadi takut melakukan kejahatan.
2. Pencegahan Khusus (special preventie)
Menurut pandangan ini tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana
agar tidak mengulangi kejahatan, dan mencegah orang-orang yang telah berniat buruk untuk
tidak mewujudkan niatnya itu keddalam wujud yang nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan
jalan menjatuhkan pidana.
c. Teori Gabungan (vemegings theorien).
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tata tertib
masyarakat. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur prevensi
dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan.
Teori gabungan dibedakan dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu sebagai berikut :
102
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan
atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Sedangkan Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, mengemukakan teori tujuan
pemidanaan antara lain teori pembalasan (retribution), teori pencegahan (deterrence), teori
rehabilitasi, teori integratif, bahkan muncul gerakan hendak menghapus pidana (abolisionis).
Adapun uraian mengenai teori tujuan pemidanaan tersebut, sebagai berikut :74
a. Teori Retributif
Menurut teori pembalasan (retribution theory) alasan pembenar dalam penjatuhan hukuman,
hukuman semata-mata sebagai imbalan dari perbuatan jahat yang dilakukan. Hal ini
menggambarkan, bahwa penjahat itu harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Teori ini
berpandangan setiap orang itu dalam keadaan apapun juga dapat untuk berbuat sesuatu dengan
keinginannya karena ada alasan dilakukan pembalasan.
Dengan demikian, teori pembalasan ini tidak mempersoalkan penjatuhan hukuman berupa
pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan, tetapi didasarkan adanya pelanggaran hukum,
karena ini merupakan tuntunan keadilan. Oleh karena itu, menurut teori ini pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan.
b. Teori Pencegahan
74
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety. Pidana Penjara Mau Kemana. (Jakarta : CV. Indhill Co.
2007). hal. 614
103
Menurut teori ini kejahatan tidak harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapidana harus ada
manfaatnya baik untuk sipelaku tindak pidana maupun masyarakat.
Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan
ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukum berfungsi mencegah agar kejahatan
tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut melakukan
kejahatan. Bagi teori utilitarian hal yang utama adalah harus mencari suatu keseimbangan antara
perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Kalau manfaatnya lebih besar, maka perlu suatu
hukuman, bila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada.
c. Teori Rehabilitasi
Dijatuhkannya hukuman kepada pelaku kejahatan, tidak saja dilihat sebagai balasan atas
perbuatan yang merugikan atau penjeraan semata, tetapi ada kegunaan tertentu. Di dalam
penjatuhan pidana, dalam pelaksanaannya bukan pidana badan, akan tetapi pidana hilang
kemerdekaan. Dalam pelaksanaannya seseorang ditempatkan dalam suatu tempat tertentu.
Dalam hal ini berarti, seseorang yang menjalani pidana di dalam penjara atas nama perubahan
sosial dan dibiarkan di sana karena mereka diobati. Keberadaan seseorang yang direhabilitasi
disebabkan adanya kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai penyakit sosial yang
disintegrative dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca sebagai simptom disharmoni mental atau
ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, counseling, latihan-latihan
spiritual. Dipergunakannya metode seperti ini jelas menyerupai cara-cara tirani dan mengingkari
hak asasi manusia. Sekali orang narapidana dirawat oleh dokter,maka tidak dapat diperkirakan
kapan ia akan dinyatakan sembuh, dan manusia diperlakukan seperti “kelinci percobaan”.
d. Abolisionis
104
Gerakan abolisionis melihat ketidakpuasan terhadap hasil yang dicapai dari adanya sanksi
berupa pidana penjara ternyata mendorong gerakan ini membentuk masyarakat yang bebas,
dengan cara menghapuskan pidana penjara sebagai refleksi pemikiran punitif. Dalam hal ini
kelompok abolisionis ingin menghapus hukum pidana, karena tidak layak lagi dipertahankan
dalam masyarakat beradab, di samping karena dipandang kurang efektif untuk pencegahan
kejahatan dalam masyarakat.
Dari pandangan kaum abolisionis, dapat dikatakan, bahwa hukuman bukanlah cara yang paling
efektif untuk menghadapi kejahatan. Hal ini cukup beralasan di mana kejahatan telah ada
sebelum hukum pidana dibentuk. Sebagai pelaku kejahatan, dia bukanlah anggota masyarakat
yang terasing. Gerakan abolisionis juga mengingatkan, bahwa pidana yang dijatuhkan kepada
pelaku kejahatan semata-mata dikarenakan sistem peradilan pidana mengandung cacat, sehingga
sistem peradilan pidana sendiri bersifat kriminogen.
Menurut Demikian pula Wolf Widdendorf menyatakan bahwa keseluruhan efektivitas
peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan. Ketiga faktor yang
dikemukakannya ialah :
1) Adanya unang-Undang-Undang yang baik (good legislation)
2) Pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement)
3) Pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing.75
e. Integratif
Teori integratif menempatkan pidana itu bukan semata-mata sebagai sarana dalam
menanggulangi kejahatan, dalam hal ini fungsi pidana harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat antara lain pidana untuk melindungi kepentingan hukum, masyarakat dan negara.
75
Harold D. Hard, Ed., Punishment : For and Against, Hart Publishing Company, Inc, New.
105
Dalam hal ini, praktek penerapan hukum pidana tidak harus dengan pemanfaatan pidana sebagai
sarana efektif menjerakan pelaku.
Dari pendapat diatas dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup pidana dan pemidanaan
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang
dapat dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam pengertian
hukum pidana materiil. Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan bahwa hukum pidana
materiil berisikan peraturan – peraturan tentang berikut ini :
1. perbuatan yang dapat diancam dengan hukum misalnya :
- mengambil barang milik orang lain
- dengan sengaja merampas nyawa orang lain
2. siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain mengatur
pertanggungjawaban terhadap hukum pidana
3. hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang