BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian...

13
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum yang berlaku bagi segala macam persetujuan (perjanjian) dari Bab I Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V Bab XVIII.Jika para pihak dalam suatu perjanjian telah menentukan suatu perjanjian khusus yang mana mengatur tentang peraturan khusus yang mengikat diantara mereka maka peraturan khusus itu dianggap berlaku meskipun dalam peraturan umum telah diatur mengenai hal tersebut.Sehingga berlakunya prinsip peraturan khusus menyampingkan peraturan yang umum (selanjutnya disebut Lex Specialis Derogat Legi Generali). Ketentuan umum hukum perikatan terdapat dalam KUHPerdata yang merupakan dasar atau asas umum yang secara nyata harus ada dalam membuat semua perjanjian apapun. Menurut ketentuan yang diatur Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan bahwa: “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini (bab kedua) dan bab yang lalu (bab ke satu).” Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan, namun dalam hal inimenurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

2.1 Pengertian Perjanjian

Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu

peraturan-peraturan umum yang berlaku bagi segala macam persetujuan (perjanjian) dari Bab I –

Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V – Bab XVIII.Jika para pihak dalam

suatu perjanjian telah menentukan suatu perjanjian khusus yang mana mengatur tentang

peraturan khusus yang mengikat diantara mereka maka peraturan khusus itu dianggap berlaku

meskipun dalam peraturan umum telah diatur mengenai hal tersebut.Sehingga berlakunya prinsip

peraturan khusus menyampingkan peraturan yang umum (selanjutnya disebut Lex Specialis

Derogat Legi Generali).

Ketentuan umum hukum perikatan terdapat dalam KUHPerdata yang merupakan dasar

atau asas umum yang secara nyata harus ada dalam membuat semua perjanjian apapun. Menurut

ketentuan yang diatur Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan bahwa: “semua perjanjian, baik yang

mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk

pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini (bab kedua) dan bab yang lalu

(bab ke satu).”

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara

lisan dan dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila

terjadi perselisihan, namun dalam hal inimenurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa

perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis perjanjian tidak hanya semata-mata

merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya perjanjian.1

Pendapat mengenai perjanjian diungkapkan oleh beberapa sarjana diantaranya yaitu

Wirjono Prodjodikoro, yang menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum

mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji

untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.2

Dasar hukum mengenai perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUHPerdata

tentang Perikatan. Didalam KUHPerdata sendiri menggunakan istilah overeenskomst dan

contract untuk pengertian yang sama, hal ini terlihat pada Buku III title kedua tentang perikatan-

perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata

tercantum dalam Pasal 1313 yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal

1313 KUHPerdata masih ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi”, antara lain:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya

datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah

“saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.Kata perbuatan mencakup

juga tanpa konsensus.

b. Dalam pengertian ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan

(zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad) tidak mengandung

1Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Kredit, Bandung, h. 137.

2R. Wiryono Prodjodikoro, 2004, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h. 4.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah perbuatan yang timbul dari

penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

c. Pengertian penjanjian terlalu luas. Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas,

karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan

hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur

dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata

sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian

(personal).

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-

pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.3

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan

dan andaikata dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila

terjadi perselisihan, namun dalam hal ini menurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa

perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi

perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis perjanjian tidak hanya semata-mata

merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya perjanjian.4

2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi syarat

sahnya suatu perjanjian.Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat dipastikan dengan

mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320

KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat

syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari Hukum

Perjanjian.Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan adanya

perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat

3Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 75

4Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Kredit, Bandung, h. 137.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling

mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu

dipenuhi.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai kecakapan, Subekti

menjelaskan bahwa seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan

ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan

dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang

ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan dibawah

pengawasan, dan orang sakit jiwa.

3. Suatu hal tertentu

Setap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek

adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya

dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa yang menjadi hak

dan kewajibannya masing-masing.

4. Suatu sebab yang halal.

Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian.Di dalam Pasal 1335 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau

yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai

kekuatan.”

Menurut Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “Jika tidak

dinyatakan semua sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada

sebab lain yang tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah

sah”. Penjanjian itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undang-

undang, baik mengenali hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang

perjanjian itu sendiri.5

Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata

tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa

syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat

suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang

mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab

yang halal,dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Apabila syarat

subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut

pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya

5C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h. 194.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

perjanjian itu dibatalkan.Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak vang

dirugikan atau pihak yang tidak cakap.Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak

terpenuhi, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

Selain mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320

KUHPerdata tersebut suatu perjanjian juga harus dilaksanakan dengan beberapa ketentuan

diantaranya yaitu :

- Harus dilakukan dengan itikad baik

- Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan

- Harus berdasarkan atas asas kepatuhan atau kepantasan

- Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Berdasarkan uraian bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan

dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal 1320

KUHPerdata tersebut.

2.3 Asas-asas Dalam Perjanjian

Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka artinya segala pengaturan dalam Hukum

Perjanjian diberikan sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian asalkan

tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.Pasal-pasal mengenai hukum perjanjian yang

diatur dalam KUHPerdata dianggap sebagai hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan

apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian.Apabila mereka tidak mengatur

sendiri suatu hal maka mengenai suatu hal tersebut adalah tunduk terhadap pasal-pasal di

KUHPerdata.Asas-asas hukum merupakan dasar yang karena sifatnya yang fundamental dan

yang dikenal didalam hukum kontrak yang klasik adalah asas konsensualisme, asas kekuatan

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

mengikat, asas kebebasan berkontrak dan asaskeseimbangan. Dapat dijelaskan pengertian dari

masing-masing asas tersebut diatas adalah sebagai berikut6:

1. Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme merujuk pada adanya kesepakatan para pihak mengenai hal-hal pokok

sehingga pada detik itulah perjanjian itu lahir.Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.Istilah secara sah bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah

adalah mengikat, karena didalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling

mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan

perjanjian.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,

yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”.Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang

menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi

aturan namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para

pihak.Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan

setiap orang bebas mengikatkan dirinya dengan siapa pun yang ia kehendaki. Pihak-pihak

juga bebas menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa

perjanjian tersebut tidak bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang

bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesesuaian.

3. Asas Keseimbangan atau proposionalitas

6 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandnag Hukum Bisnis (Buku Kedua), Citra Aditya

Bakti, Bandung, h. 50

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-

pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal didalam Undang-

undang Hukum Perdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme

pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia dan pihak lain. Asas keseimbangan perlu

ditambahkan sebagai asas dalam hukum perjanjian Indonesia mengingat kenyataan bahwa

Kitab Undang-undang Hukum Perdata disusun dengan mendasarkan pada tata nilai dan

filsafat hukum barat.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati didalam perjanjian yang telah

mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan

mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk

melaksanakan kesepakatan kontrkatual. Janji dari kata-kata sifatnya mengikat. Perjanjian

dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara

pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat

hukum dan berlaku bagi pihak seolah-olah undang-undang.Ketertarikan suatu perjanjian

terkandung didalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.

5. Asas Itikad Baik

Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Pemahaman substansi itikad

baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad

baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai

dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para

pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis

melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.7

6. Asas Pacta Sun Servanda (asas kepastian hukum)

Asas pacta sun servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.Asas ini

berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda merupakan asas bahwa

hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para

pihak, dan asas pacta sun servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang”.8

Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan

berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asas-asas perjanjian

berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam suatu proses jual beli terjadi

kesepakatan perjanjian.

Fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin menjadi dan mewujudnyatakan

standarnilai atau tolak ukur yang tersembunyi didalam atau melandasai norma-norma, baik yang

tercakup didalam hukum positif maupun praktik hukum. Asas hukum bisa saja menjadi dasar

dari beberapa ketentuan hukum, sekumpulan peraturan bahkan melandasai stelsel atau sistem

hukum.Dengan hukum positif, asas-asas hukum hukum memiliki perkaitan dalam artianbahwa

aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar berlakang asas-asas hukum yang

selaras dengan atau terkait pada hukum positif9.

7 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana,

Jakarta, h. 139 8 Salim H.S., 2000, Hukum Kontrak (teknik & teori penyusunan kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya

disebut Salim I) h. 10 9 Herlien Boediono, Op cit, hal. 28

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

2.4 Pengertian Pengembang Perumahan

Pengembang Perumahan adalah perusahaan pembangunan perumahan yang didefinisikan

sebagai perusahaan perumahan yang menjalankan usaha dalam bidang pembangunan perumahan

dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar diatas suatu areal tanah yang merupakan suatu

pemukiman dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dalam fasilitas sosial lainnya

yang diperlukan oleh masyarakat yang menghuninya.10

Pengembang perumahan merupakan pelaku usaha yang bergerak dibidang pelaksanaan

perumahan dan kawasan permukiman. Pengembang perumahan yang dimaksud dalam UU No. 1

Tahun 2011 adalah “pelaku usaha berbadan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia

yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman”

sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 1 Tahun 2011. Pengembang

perumahan yang dimaksud haruslah badan hukum yang didirikan oleh Warga Negara Indonesia

yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan Perumahan dan Kawasan

Permukiman.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak

menggunakan istilah pengembang perumahan ataupun developer sebagai produsen namun

menggunakan istilah yang lebih luas yaitu pelaku usaha.Menurut ketentuan yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

10

Hamzah, Suandra I Wayan & B.A. Manalu, 1990, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta,

Jakarta, h. 19

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

Dalam penjelasan pasal menyebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha dalam pengertian ini

adalah perusahaan, koperasi, badan usaha milik negara, importir, pedagang, distributor dan

lainnya.11

Berdasarkan pengertian pelaku usaha sebagaimana dikemukakan di dalam UU

Perlindungan Konsumen dapat diketahui untuk memenuhi kriteria dari pelaku usaha yaitu:

adanya subyek, bentuk badan hukum, tempat kedudukan badan hukum, bentuk kerjasama dan

kegiatan yang dilakukan.

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, menyatakan

pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian

developer, yaitu :

Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam

bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas

suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang

dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang

diperlukan oleh masyarakat penghuninya.

Pelaku usaha yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini yaitu berbentuk badan hukum

perseroan terbatas dibidang pemukiman dan perumahan yang biasa dikenal dengan pengembang

perumahan atau Developer.Dengan menggunakan kalimat “kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi” dapat dimaknai bahwa kegiatan itu tidak terbatas pada pihak-pihak yang

memproduksi sesuatu produk saja melainkan juga termasuk semua pihak yang memasarkan

produk itu sampai kepada konsumen.

2.5 Hak dan Kewajiban Pengembang Perumahan

Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan

yang seimbang antara pelaku usaha (Developer) dan konsumen maka perlu adanya hak dan

11

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, h. 8

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

kewajiban masing-masing pihak. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menentukan hak pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan

nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak

beritikad baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya pelaku usaha dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen diwajibkan :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskrimatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau jasa diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta menjamin dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau

jasa yang diperdagangkan.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

f. Memberi kompensasi, ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang diterima atau

dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.6 Tanggungjawab Pengembang Perumahan

Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah

tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dapat dibedakan, yaitu :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan,yaitu prinsip yang menyatakan bahwa

seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahanan yang dilakukannya;

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, yaitu prinsip yang menyatakan tergugat

selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak

bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.

2. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, yaitu prinsip ini merupakan

kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana tergugat selalu

dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak, dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai

faktor yang menentukan, namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur yang biasanya merujuk

pada tindakan alam.

4. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya

prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V ... mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.

Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.12

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19

sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Perlindungan Konsumen,

dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,

b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.13

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha yang berarti, bahwa

tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.14

12

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indnesia, Gramedia, Jakarta, h. 58 13

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.

125 14

ibid