BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN … II.pdf · Bab IV dan tentang berbagai perjanjian...
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN
2.1 Pengertian Perjanjian
Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu
peraturan-peraturan umum yang berlaku bagi segala macam persetujuan (perjanjian) dari Bab I –
Bab IV dan tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V – Bab XVIII.Jika para pihak dalam
suatu perjanjian telah menentukan suatu perjanjian khusus yang mana mengatur tentang
peraturan khusus yang mengikat diantara mereka maka peraturan khusus itu dianggap berlaku
meskipun dalam peraturan umum telah diatur mengenai hal tersebut.Sehingga berlakunya prinsip
peraturan khusus menyampingkan peraturan yang umum (selanjutnya disebut Lex Specialis
Derogat Legi Generali).
Ketentuan umum hukum perikatan terdapat dalam KUHPerdata yang merupakan dasar
atau asas umum yang secara nyata harus ada dalam membuat semua perjanjian apapun. Menurut
ketentuan yang diatur Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan bahwa: “semua perjanjian, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini (bab kedua) dan bab yang lalu
(bab ke satu).”
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara
lisan dan dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila
terjadi perselisihan, namun dalam hal inimenurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa
perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis perjanjian tidak hanya semata-mata
merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya perjanjian.1
Pendapat mengenai perjanjian diungkapkan oleh beberapa sarjana diantaranya yaitu
Wirjono Prodjodikoro, yang menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.2
Dasar hukum mengenai perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUHPerdata
tentang Perikatan. Didalam KUHPerdata sendiri menggunakan istilah overeenskomst dan
contract untuk pengertian yang sama, hal ini terlihat pada Buku III title kedua tentang perikatan-
perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata
tercantum dalam Pasal 1313 yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal
1313 KUHPerdata masih ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi”, antara lain:
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah
“saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.Kata perbuatan mencakup
juga tanpa konsensus.
b. Dalam pengertian ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan
(zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad) tidak mengandung
1Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Kredit, Bandung, h. 137.
2R. Wiryono Prodjodikoro, 2004, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h. 4.
suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah perbuatan yang timbul dari
penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.
c. Pengertian penjanjian terlalu luas. Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas,
karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata
sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian
(personal).
d. Tanpa menyebut tujuan
Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-
pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.3
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan
dan andaikata dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila
terjadi perselisihan, namun dalam hal ini menurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa
perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis perjanjian tidak hanya semata-mata
merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya perjanjian.4
2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian.Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat dipastikan dengan
mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat
syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari Hukum
Perjanjian.Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan adanya
perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat
3Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 75
4Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Kredit, Bandung, h. 137.
dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling
mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu
dipenuhi.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai kecakapan, Subekti
menjelaskan bahwa seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan
ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan
dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang
ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan dibawah
pengawasan, dan orang sakit jiwa.
3. Suatu hal tertentu
Setap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek
adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya
dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya masing-masing.
4. Suatu sebab yang halal.
Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian.Di dalam Pasal 1335 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau
yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.”
Menurut Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “Jika tidak
dinyatakan semua sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada
sebab lain yang tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah
sah”. Penjanjian itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undang-
undang, baik mengenali hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang
perjanjian itu sendiri.5
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa
syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.
Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat
suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang
mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab
yang halal,dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Apabila syarat
subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut
pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
5C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h. 194.
perjanjian itu dibatalkan.Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak vang
dirugikan atau pihak yang tidak cakap.Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Selain mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata tersebut suatu perjanjian juga harus dilaksanakan dengan beberapa ketentuan
diantaranya yaitu :
- Harus dilakukan dengan itikad baik
- Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan
- Harus berdasarkan atas asas kepatuhan atau kepantasan
- Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Berdasarkan uraian bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan
dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal 1320
KUHPerdata tersebut.
2.3 Asas-asas Dalam Perjanjian
Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka artinya segala pengaturan dalam Hukum
Perjanjian diberikan sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian asalkan
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.Pasal-pasal mengenai hukum perjanjian yang
diatur dalam KUHPerdata dianggap sebagai hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan
apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian.Apabila mereka tidak mengatur
sendiri suatu hal maka mengenai suatu hal tersebut adalah tunduk terhadap pasal-pasal di
KUHPerdata.Asas-asas hukum merupakan dasar yang karena sifatnya yang fundamental dan
yang dikenal didalam hukum kontrak yang klasik adalah asas konsensualisme, asas kekuatan
mengikat, asas kebebasan berkontrak dan asaskeseimbangan. Dapat dijelaskan pengertian dari
masing-masing asas tersebut diatas adalah sebagai berikut6:
1. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme merujuk pada adanya kesepakatan para pihak mengenai hal-hal pokok
sehingga pada detik itulah perjanjian itu lahir.Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.Istilah secara sah bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah
adalah mengikat, karena didalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan
perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,
yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang
menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi
aturan namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak.Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan
setiap orang bebas mengikatkan dirinya dengan siapa pun yang ia kehendaki. Pihak-pihak
juga bebas menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa
perjanjian tersebut tidak bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang
bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesesuaian.
3. Asas Keseimbangan atau proposionalitas
6 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandnag Hukum Bisnis (Buku Kedua), Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 50
Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-
pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal didalam Undang-
undang Hukum Perdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme
pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia dan pihak lain. Asas keseimbangan perlu
ditambahkan sebagai asas dalam hukum perjanjian Indonesia mengingat kenyataan bahwa
Kitab Undang-undang Hukum Perdata disusun dengan mendasarkan pada tata nilai dan
filsafat hukum barat.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati didalam perjanjian yang telah
mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan
mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk
melaksanakan kesepakatan kontrkatual. Janji dari kata-kata sifatnya mengikat. Perjanjian
dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara
pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat
hukum dan berlaku bagi pihak seolah-olah undang-undang.Ketertarikan suatu perjanjian
terkandung didalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.
5. Asas Itikad Baik
Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Pemahaman substansi itikad
baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad
baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai
dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para
pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan
demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis
melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.7
6. Asas Pacta Sun Servanda (asas kepastian hukum)
Asas pacta sun servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda merupakan asas bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak, dan asas pacta sun servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang”.8
Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan
berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asas-asas perjanjian
berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam suatu proses jual beli terjadi
kesepakatan perjanjian.
Fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin menjadi dan mewujudnyatakan
standarnilai atau tolak ukur yang tersembunyi didalam atau melandasai norma-norma, baik yang
tercakup didalam hukum positif maupun praktik hukum. Asas hukum bisa saja menjadi dasar
dari beberapa ketentuan hukum, sekumpulan peraturan bahkan melandasai stelsel atau sistem
hukum.Dengan hukum positif, asas-asas hukum hukum memiliki perkaitan dalam artianbahwa
aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar berlakang asas-asas hukum yang
selaras dengan atau terkait pada hukum positif9.
7 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana,
Jakarta, h. 139 8 Salim H.S., 2000, Hukum Kontrak (teknik & teori penyusunan kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disebut Salim I) h. 10 9 Herlien Boediono, Op cit, hal. 28
2.4 Pengertian Pengembang Perumahan
Pengembang Perumahan adalah perusahaan pembangunan perumahan yang didefinisikan
sebagai perusahaan perumahan yang menjalankan usaha dalam bidang pembangunan perumahan
dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar diatas suatu areal tanah yang merupakan suatu
pemukiman dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dalam fasilitas sosial lainnya
yang diperlukan oleh masyarakat yang menghuninya.10
Pengembang perumahan merupakan pelaku usaha yang bergerak dibidang pelaksanaan
perumahan dan kawasan permukiman. Pengembang perumahan yang dimaksud dalam UU No. 1
Tahun 2011 adalah “pelaku usaha berbadan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia
yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman”
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 1 Tahun 2011. Pengembang
perumahan yang dimaksud haruslah badan hukum yang didirikan oleh Warga Negara Indonesia
yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
menggunakan istilah pengembang perumahan ataupun developer sebagai produsen namun
menggunakan istilah yang lebih luas yaitu pelaku usaha.Menurut ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 1 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
10
Hamzah, Suandra I Wayan & B.A. Manalu, 1990, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 19
Dalam penjelasan pasal menyebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha dalam pengertian ini
adalah perusahaan, koperasi, badan usaha milik negara, importir, pedagang, distributor dan
lainnya.11
Berdasarkan pengertian pelaku usaha sebagaimana dikemukakan di dalam UU
Perlindungan Konsumen dapat diketahui untuk memenuhi kriteria dari pelaku usaha yaitu:
adanya subyek, bentuk badan hukum, tempat kedudukan badan hukum, bentuk kerjasama dan
kegiatan yang dilakukan.
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, menyatakan
pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian
developer, yaitu :
Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam
bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas
suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang
dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang
diperlukan oleh masyarakat penghuninya.
Pelaku usaha yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini yaitu berbentuk badan hukum
perseroan terbatas dibidang pemukiman dan perumahan yang biasa dikenal dengan pengembang
perumahan atau Developer.Dengan menggunakan kalimat “kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi” dapat dimaknai bahwa kegiatan itu tidak terbatas pada pihak-pihak yang
memproduksi sesuatu produk saja melainkan juga termasuk semua pihak yang memasarkan
produk itu sampai kepada konsumen.
2.5 Hak dan Kewajiban Pengembang Perumahan
Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan
yang seimbang antara pelaku usaha (Developer) dan konsumen maka perlu adanya hak dan
11
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, h. 8
kewajiban masing-masing pihak. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menentukan hak pelaku usaha adalah :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak
beritikad baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya pelaku usaha dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diwajibkan :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskrimatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau jasa diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta menjamin dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.6 Tanggungjawab Pengembang Perumahan
Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah
tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan, yaitu :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan,yaitu prinsip yang menyatakan bahwa
seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahanan yang dilakukannya;
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, yaitu prinsip yang menyatakan tergugat
selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak
bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
2. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, yaitu prinsip ini merupakan
kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana tergugat selalu
dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.
3. Prinsip tanggung jawab mutlak, dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang menentukan, namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur yang biasanya merujuk
pada tindakan alam.
4. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya
prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.
Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.12
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19
sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Perlindungan Konsumen,
dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.13
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat
bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha yang berarti, bahwa
tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.14
12
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indnesia, Gramedia, Jakarta, h. 58 13
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
125 14
ibid