BAB II TINJAUAN UMUM A. 1. Penegakan Hukum a. Pengertian ...repository.uir.ac.id/700/2/bab2.pdfa....

69
20 BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi 1. Penegakan Hukum a. Pengertian Penegakan Hukum Pengertian penegakan hukum dapat di rumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanannya agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya dapat ditegakan kembali. 1 Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang harus dilakukan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum adalah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang benar-benar terjadi maupun perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi. Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. 2 Penegakan hukum merupakan suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas dan hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dalam bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang 1 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006, Hlm. 115. 2 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung: 2006, Hlm. 111.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM A. 1. Penegakan Hukum a. Pengertian ...repository.uir.ac.id/700/2/bab2.pdfa....

20

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Bahan Bakar

Minyak Bersubsidi

1. Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum dapat di rumuskan sebagai usaha

melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanannya

agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran memulihkan

hukum yang dilanggar itu supaya dapat ditegakan kembali.1 Hukum

mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa

yang harus dilakukan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Bahkan

yang diperhatikan dan digarap oleh hukum adalah justru perbuatan yang

disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang benar-benar

terjadi maupun perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi. Perhatian

dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum.2

Penegakan hukum merupakan suatu proses dilakukannya upaya

untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata

sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas dan hubungan-hubungan

hukum dalam kehidupan bermasyarakat dalam bernegara. Ditinjau dari

sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang

1 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006, Hlm.

115.

2 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung: 2006, Hlm. 111.

21

luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek

hukum dalam arti yang terbatas atau sempit.3

Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua

subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum

yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu

hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk

menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan

sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila

diperlukan, aparetur penegak hukum itu diperkenenkan untuk

menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut

objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini pengertiannya juga

mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan

hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya

bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena

itu, penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam bahasa

Indonesia dalam menggunakan perkataan “penegakan hukum” dalam arti

3 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum, diakses, tanggal 11 April

2017.

22

luas dan dapat pula digunakan istilah “penegakan peraturan” dalam arti

sempit.4

Pembeda antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan

cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam

bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law”

versus “the rule of just law” atau dalam istilah “the rule of law and not of

man” versus istilah “the rule of law” yang berarti “the rule of man by

law” dalam istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh

hukum, tetapi bukan dalam arti yang formal, melainkan mencakup pula

nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Karena itu, digunakan

istilah “the rule of just law”.

Dalam istilah the rule of law and not of man” dimaksudkan untuk

menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum

modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya

adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintah oleh

orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.5

Dengan uraian di aatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud

dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan utuk

menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti

materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan

hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh

aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh

4 Ibid

5 Ibid

23

undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang

berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

b. Penegakan Hukum Objektif

Seperti disebut dimuka, secara objektif, norma hukum yang hendak

ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil.

Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan

yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula pengertian nilai-

nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan

antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan

hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enforcement” dalam arti

sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum

materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris

juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti

pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan.

Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkama Agung di Amerika

Serikat disebut dengan istilah “supreme court of justice”. Istilah-istilah itu

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu

pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai

keadilan yang terkandung di dalamnya.6 Masalah penegakan hukum, baik

6 Ibid

24

secara “in abstracto” maupun secara “in concreto” merupakan masalah

aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat.7

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Semenjak dilahirkan didunia, maka manusia telah mempunyai

hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur

tersebut dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang di dalam

pergaulan hidupnya. Namun apa yang dianggap teratur oleh seseorang

belum dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu,

maka manusia sebagai mahkluk yang senantiasa hidup bersama dengan

sesamanya, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan

kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai

keteraturan tersebut.patokan-patokan tersebut tidak lain merupakan

pedoman untuk berprilaku secara pantas yang sebenarnya merupakan

suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan.

Patokan-patokan untuk berprilaku pantas tersebut, kemudian

dikenal dengan sebutan norma ataiPatokan-patokan untuk berprilaku

pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah.

Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan

mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang lazimnya

disebut nilai. Kadang kala norma atau kaidahtersebut timbul dari pola

7 Barda Nanawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta: 2008, Hlm. 18.

25

perilaku manusia (yang ajeg), sebagai suatu abstraksi dari prilaku

berulang-ulang yang nyata.8

Norma atau kaidah tersebut untuk selanjutnya mengatur diri

pribadi manusia, khususnya menegenai bidang-bidang kepercayaan dan

kesusilaan. Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia

mempunyai kehidupan yang berima, sedangkan norma atau kaidah

kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Di

samping itu maka norma atau kaidah mengatur pula kehidupan antar

pribadi manuisa, khususnya mengenai bidang-bidang kesopanan dan

hukum. norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami

kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup bersama dengan

orang-orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai

kedamaian di dalam kehidupan bersama, di mana kedamaian berarti suatu

keserasian antara keterikanatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi

tujian hukum, sihingga tugas hukum adalah tidak lain dari pada mencapai

suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.9

Kerangka berfikir tersebut, akan dipergunakan sebagai titik tolak

untuk membicarakan masalah penegakan hukum, khususnya mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan utama yang akan di

pergunakan adalah mendekatkan sosiologi hukum yang pada hakikatnya

juga merupakan cabang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum kenyataan.

8 Soerjono Soekanto, Op.cit, Hlm. 1.

9 Ibid, Hlm. 2.

26

Analisis terhadapa faktor-faktor yang mempengaruhi penegak hukum akan

dilakukan pada berbagai kasus yang terjadi di Indonesia.10

Secara konsepsional maka inti dam arti penegakan hukum terletak

pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi

yang mempunyai dasar filosofi tersebut memerlukan penjelasan lebih

lanjut sehingga akan tampak lebih kongkret.11

Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang

buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam

pasangan-pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban

dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai

kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme,

dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut

perlu diserasikan umpamannya, perlu penyerasian anatara nilai ketertiban

dengan nilai ketentraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada

keterkaitan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.

Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun

kebebasan di dalam wujud yang serasi.12

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan

penjabran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya

10 Ibid, Hlm. 3.

11

Ibid, Hlm. 5.

12

Ibid, Hlm. 6.

27

bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkret terjadi didalam bentuk-

bentuk kaidah-kaidah, dalam hal itu kaidah-kaidah hukum yang mungkin

berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang Hukum Tata

Negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang

berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu atau tidak melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah hukum

pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

tertentu, sedangkan didalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah

yang berisikan kebolehan-kebolehan.13

Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan

bagi prilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya.

Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi

dari pada penegakan hukum secara konsepsional.

Penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya

merupakan penerapan diskresi yang menyangkut memuat keputusan yang

secara ketat diatur oleh kaidah hukum keputusan yang tidak secara ketat

diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsure penilain pribadi

(Wayne La Favre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka

La Favre menyatakan, bahwa padda hakikatnya disresi berada di antara

hukum dan moral (etika dalam atri sempit).

13 Ibid

28

Atas dasar uraian tersebut dapatlah dikatan bahwa gangguan

terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidak serasian

antara :tritunggal” nilai, kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut

terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang bersimpang

siur dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian

pergaulan hidup.14

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa penegkan hukum

bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walupun

di dalam berarti pelaksanaan perundang-undangan, wilayah didalam

kenyataan di Indonesia kecendrungannya adalah demikian sehingga

pengertian lau enforcement begitu popular. Selain itu ada kecendrungan

yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan

keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat bahwa pendapat-pendapat yang

agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan apabila

pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim

tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.15

Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-

faktor tersebut mempunyai atri yang netral, sehingga dampak positif atau

negative terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor tersebut adalah:16

14 Ibid, Hlm. 7.

15

Ibid, Hlm. 7.

16

Ibid

29

1) Faktor hukumnya sendiri, yang didalamnya dabatasi undang-undang saja.

Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang berlaku secara

umum dan dapat dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa asas yang

tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang

positif, artinya agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga

efektif. Asas-asa tersebut adalah:17

a) Undang-undang tidak berlaku surut: artinya undang-undang hanya

boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-

undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang tersebut

dinyatakan berlaku;

b) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang

yang bersifat umum; atrinya terhadap peristiwa khusus wajib

diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu;

d) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-

undang yang berlaku terdahulu; artinya undang-undang lain yang lebih

dahulu berlaku yang mengatur mengenai suatu hal tertentu, tidak

berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan

yang mengatur hal yang sama pula, akan tetapi makna dan tujuan

berlainan dangan undang-undang lama tersebut;

17 Ibid, Hlm. 12.

30

e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;

f) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi

melalui pelestarian ataupun pembaharuan.

Masalah lain yang dijumpai didalam undang-undang adalah adanya

berbagai undang-undang yang belum memiliki peraturan pelaksana,

padahal didalam suatu perundang-undangan harus memiliki peraturan

pelaksana agar selalu terdapat keserasian antara ketertiban, keamanan,

ketentraman, dan kebebasan.18

Didalam undang-undang juga terdapat ketidak jelasan dalam kata-

kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu.

Kemungkinan hal itu disebebkan karena penggunaan kata-kata yang

artinya dapat ditafsirkan secra luas sekali, atau karena soal terjemahan dari

bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat. Ketidak jelasan arti dapat

dijumpai, misalnya, pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960

tentang Pokok-Pokok Kesehatan, yang berbunyi:19

“pemerintah mengusahakan pengobatan dan perawatan untuk

masyarakat di seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tiap-tiap

orang sakit dapat memperoleh pengobat dan perawatan dengan biaya yang

seringan-ringannya”.

Apakah yang sebenarnya diartikan dengan “biaya yang seringan-

ringannya”? Kata Goed (bahasa Belanda) yang banyak dijumpai Wetboek

18 Ibid, Hlm. 14.

19

Ibid, Hlm. 15

31

van Strafrecht yang kemudian diterjemahkan secara tidak resmi kedalam

bahasa Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum PIdana), sering kali

diterjemahkan dengan kata “barang”.20

Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara

bahwa gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-

Undang mungkn disebabkan, karena:

1. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-Undang

2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan Undang-Undang

3. Ketidakjelasaan arti kata-kata di dalam Undang-Undang yang

mengakibatkan kesimpang siuran di dalam penafsiran serta

penerapannya.21

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum

Ruang lingkup dari istilah “penegakan hukum” adalah luas sekali,

oleh karena mencangkup mereka yang secara langsung dan secara tidak

langsung dan secara tidak langsung kecimpung di bidang penegak hukum.

Yang di maksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang

secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak

hanya mencangkup lau enforcement, akan tetapi peace maintenance.

Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencangkup mereka

20 Ibid, Hlm. 17

21

Ibid, Hlm. 18

32

yang bertugas di bidang keahlian, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan,

dan pemasyarakatan.22

Secara sosiologis, maka setiap aparat penegak hukum mempunyai

kedudukan (status) dan peran (role). Kedudukan (status) merupakan posisi

tertentu didalam struktur masyarakat, yang mungkin tinggi, sedang-sedang

saja, ataupun rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah

yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban

tersebut merupakan peranan atau role.23

Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,

lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan

wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah

beban dan tugas.

Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai

berikut :24

1) Peranan yang ideal (ideal role);

2) Peranan yang seharusnya (expected role);

3) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role);

4) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role);

Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan

role performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan

yang ideal dan yang seharusnya dating dari pihak (atau pihak-pihak) lain,

sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang

22 Ibid, Hlm. 19

23

Ibid

24

Ibid, Hlm. 20.

33

sebenarnya dilakukan berasal dari diri sendiri. Sudah tentu bahwa dalam

kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila orang berhubungan

dengan pihak lain (disebut role sector) atau dengan beberapa pihak (role

set).25

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-

warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai bebrapa kedudukan dan

peran sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara

berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict of roles).

Kalau di dalam kenyataan terjadi suatu kesengajaan antara peranan yang

seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan

actual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role distance).26

Kerangka sosiologi tersebut, akan diterapkan dalam analisis

terhadap penegakan hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada

peranannya, namun demikian, di dalam hal ini ruang lingkup hanya

dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan aktual.27

Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan

mengenai penegakan hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada

diskresi. Sebagaimana dikatakan dimuka, maka diskresi menyangkut

pengambilan keputusan yang tidak sangat terkait oleh hukum, di mana

penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum

diskresi sangat penting, oleh karena:28

25 Ibid, Hlm. 21

26

Ibid, Hlm. 21

27

Ibid

28

Ibid, Hlm. 22

34

1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga

dapat mengatur semua perilaku manusia

2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-

undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat,

sehingg menimbulkan ketidak pastian

3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana

dikehendaki oleh pembentuk undang-undang

4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara

khusus.

Diskresi diperlukan sebagai “pelengkap dari pada Asas Legalitas,

yaitu Asas hukum yang menyatakan, bahwa setiap tindak pidana atau

perbuatan Administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-

undang. Pada “diskresi bebas” undang-undang hanya menetapkan batas-

batas, dan Administrasi Negara Bebas mengambil keputusan apa saja

asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut. Pada “diskresi

terkait” undang-undang menerapkan bebrapa alternative, dan Administrasi

Negara Bebas memilih salah satu alternatif.29

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,

yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai

dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan

mendapat pengerian dari golongan sasaran, disamping mampu

membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

29 Ibid

35

Kecuali dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan

unsure-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairakan partisipasi

dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus

dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam

memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta

memberikan keteladanan yang baik.

Halangan-ngkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya

dari golongan panutan atau penegak hukum mungkin berasal dari dirinya

sendiri atu dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan

penanggulangan tersebut, adalah:30

1. Keterbatasan kemampuan untuk menenpatkan diri dalam peranan pihak

lain dengan siapa dia berinteraksi

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,

sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan

tertentu, terutama kebutuhan materiel

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konsevatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik,

melatih, memebiasakan diri untuk mempunyai sikap, sebagai berikut:31

30 Ibid, Hlm. 36

31

Ibid

36

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman maupun

penemuan-penemuan baru. Atrinya, sebanyak mungkin

menghilangkan prasangka terhadap hal-hal yang baru atau berasal dari

luar, sebelum dicoba manfaatnya

2. Senantiasa untuk menerima perubahan-perubahan setelah menilai

kekurangan-kekurangan yang ada pada saat itu

3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sektar dengn dilandasi

suatu kesadara, bahwa persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan

dirinya

4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai

pendiriannya

5. Orientasi ke masa kini dan amsa depan yang sebenarnya merupakan

suatu urutan

6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya dan percaya

bahwa potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan

7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang

buruk)

8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam

meningkatkan kesejahteraan umuat manusia

9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri

sendiri maupun pihak-pihak lain

10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar

penalaran dan penghitungan yang mantap.

37

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Sarana atau fasiltas antara lain mencangkup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik peralatan yangmemadai,

keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi,

maka mustahil penegakan hukum akan tercapai tujuannya.32

Posner berpendapat, bahwa (Posner, 1977)33

“the suggestions ignore the role ot princing both in the creation of

court delay and in the formation of effective methods of relieving it”.

Ada bainknya untuk mengetengahkan penjelasan Posner mengenai

pendapatnya tersebut, di dalam rangka pembicaraan mengenai sarana atau

fasilitas pendukung penegakan hukum (khususnya penyelesaian perkara di

Pengadilan).34

Adanya hambatan penyelesaian perkara bukanlah semata-mata

disebabkan karena banyaknya perkara yang harus diselesaikan, sedangkan

waktu untuk mengadilinya atau menyelesaikannya. Suatu cara sistimatik

yang dikenakan pada pencari keadilan untuk mealukan pembayaran sesuai

dengan keinginannya agar perkara di slesaikan dengan cepat, akan

mempunyai efek yang sama. Selanjutnya Posner (1997) menyatakan,

bahwa:35

“if the prices necessary to clear the market (eliminate the queue)

were very high it. Would be a signal that an investment of resources in

32 Ibid, Hlm. 37

33

Ibid, Hlm. 39

34

Ibid

35

Ibid, Hlm. 40

38

hiring more judges would probably be cost hustified. The prices might not

be high. Perhaps only a small fraction of litigants have sufficient interest

in an early trial to pay a surcharge. That would be a signal not to add

juges”.

Posner mengibaratkannya dengan pembangunan jalan bebas

hambatan, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Kalau jalan bebas

hambatan tersebut sudah selesai dibangun dan pemakai jalan mulai

menikmatinya, maka akan timbul keinginan yang kuat untuk selalu

mempergunakan jalan bebas hambatan tersebut, sehingga nantinya

kemacetan lagi. Oleh karena itu, yang perlu diperhitungkan tidaklah hanya

biaya yang harus dikeluarkan apabila terjadi hambatan di dalam

penyelesaian perkara itu tidak terjadi lagi, akan tetapi juga perlu

perhitungan. Namun, analisis semacam itu juga diperlukan supaya sarana

atau fasilitas yang ada dan akan diadakan dapat menghasilkan suatu efek

yang positif, sehingga efisien dan efektif, terutama bagi penegakan hukum

secara menyeluruh yang begitu luas ruang lingkupnya. Posner (1997)

berpendapat bahwa pendekatannya mempunyai keuntungan, oleh karena:

“…it would obviate the for attempting to meaure directly the cocts

and benefits of various amounts of court delay”.

Suatu masalah lain yang erat hubungannya dengan penyelesaian

perkara dan sarana atau fasilitasnya, adalah soal efektivitas dari sanksi

negative yang diancam terhadap peristiwa-peristiwa pidana tertentu.

Tujuan sanksi-sanksi tersebut dapatmempunyai efek yang menakutkan

39

terhadap pelanggar-pelanggar potensial, maupun yang pernah dijatuhi

hukuman karena pernahmelanggar (agar tidak mengulanginya lagi).

Dengan demikian diharapkan, bahwa kejahatan akan berkurang secara

semaksimal mungkin.36

Sanksi negatif yang relatif berat atau diperberat saja, bukan

merupakan sarana yang efektif untuk dapat mengendalikan kejahatan

maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya. Atas dasar penelitian-

penelitian empiris yang pernah dilakukan di beberapa Negara di Amerika

Serikat, Tittle (1969) berkesimpulan, bahwa:

“Severity of punishment may serve other functions, of course, and

high degrees of seveity might be explained as reative response by

legislatures and judical personnel to high offense rotes, particularly where

the certainty of punishment is likey to be low”.

Setelah mengadakan berbagai penelitian kepustakaan maupun

lapangan, Antunes dan A Lee Hunt, (1973) berkesimpulan bahwa.37

“Severity only has a deterrent impact when the certainty level is

high ebough to mae severty salient. Any derrent impact from severty

depends on the level of certainty”.

Dari suatu eksperimen yang diselenggarakan oleh California Yout

Authority yang dilaporkan dalam tahun 1967, disimpulan bahwa:38

“More sever treatment caouses higher, rather than lower, rates of

post-prison crime … Incarceration produces much higner rates of

36 Ibid, Hlm. 42

37

Ibid

38

Ibid, Hlm. 43

40

recidivism than does supervised parole in the offender’s home community,

cost figures from the experiment indicate that the cost of well supervised

probation was less than half the cost of incarceration, indicating that

incarceration is both an expensive and ineffective response to crime”.

Dari penjelasin di atas nyata pula, bahwa sarana ekonomis ataupun

biaya dari pada pelaksanaan sanksi-sanksi negatif diperhitungkan, dengan

berpegang pada cara yang lebih efektif dan efisien, sehingga biaya dapat

ditekan di dalam program-program pemberantasan kejahatanjangka

panjang. Kepastian (certainty) di dalam penanganan perkara maupun

kecepatan, mempunyai dampak yang lebih nyata, apabila dibandingkan

dengan peningkatan sanksi negative berkala. Kalau tingkat kepastian dan

kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-sanki negatif

akan mempunyai efek menakuti yang lebih tinggi pula, sehingga akan

dapat mencegah peningkatan kejahatan maupun resivisme.39

Kepastian dan kecepatan penanganan perkara senantiasa

tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam program-

program pencegahan dan pemberantasaan kejahatan. Peningkatan

teknologi deteksi kriminalitas, umpamannya, mempunyai peranan yang

sangat penting bagi kepastian dan kecepatan penanganan perkara-perkara

pidana. Cara demikian dianggap lebih tepat, oleh karena:40

“The punishment rate depands untially on the detection rate: and

for these criminals who operate on the cost benefit medel (and hance are

39 Ibid

40

Ibid, Hlm. 44

41

deterrable), a rising detetion rate should mea higher “cost” to them,

hence a lower propensity to violate. (Where the oost-benefit model is

inappropriate, this reasoning would not hold)”.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau

fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan

hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin

penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan

yang aktual.41

4) Faktor masyarakat yang mencakup kesadaran hukum dan kepatuhan

hukum

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari

sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukm

tersebut. Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat-

pendapat tertentu mengenai hukum. Ada berbagai pengertian atau arti

yang diberikan pada hukum, yang variasinya adalah:42

a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;

b) Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang

kenyataan;

c) Hukum diartikan sebagai norna atau kaidah, yakni patokan prilaku

yang pantas;

d) Hukum diartikan sebagai tata hukum;

41 Ibid, Hlm. 45

42

Ibid

42

e) Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;

f) Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;

g) Hukum diartikan sebagai proses pemerintah;

h) Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;

i) Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;

j) Hukum diartikan sebagai seni.

Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan kepada hukum

terdapat kecenderungan besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum

dan bahkan mengidentifikasinya dangan petugas (dalam hal ini penegak

hukum sebagi pribadi) salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya

hukum senantiasa dengan pola prilaku penegak hukum tersebut, yang

menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai suatu

proses.43

Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar polisi

dengan serta merta dapat menanggulangimasalah yang dihadapi tanpa

memperhitungkan apakah polisi tersebut baru saja menamatkan

pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi yang sudah pengalaman.

Pengharapan tersebut tertuju kepada polisi yang mempunyai pangkat

terendah sampai dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang

berhadapan dengan polisi, tidak “sempat” memikirkan taraf pendidikan

yang pernah dialami oleh polisi dengan pangkat terendah misalnya.44

43 Ibid, Hlm. 46.

44

Ibid, Hlm. 47

43

Kalau seorang anggota Angkatan Perang harus senantiasa siap

tempur dan memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya,

maka anggota polisi harus selalu siap menghadapi masalah-masalah

kemasyarakatan yang merupakan gangguan terhadap kedamain. Masalah-

maslah tersebut tidak hanya terbatas pada kejahatan dan pelanggaran

berkala, mungkin dia harus menolong orang yang sudah tua untuk

menyebrang jalan raya yang padat dengan kendaraan bermotor, atau dia

harus menolong orang yang terluka di dalam kasus tabrak lari, dan lain

sebagainya. Alangkah banyaknya tugas polisi akan tetapi warga

masyarakat mamang mempunyai harapan demikian. Warga masyarakat

menghendaki polisi-polisi yang senantiasa “siap pakai” untuk melindungi

warga masyarakat terhadap aneka macam gangguan.45

Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti menhadapi bermacam-

macam manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-

masing dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di

antara mereka itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang

pura-pura menaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan

ada pula yang dengan terang-terangan melawannya. Yang dengan

sendirinya taat, harus diberi perangsang agar tetap taat, sehingga dapat

dijadikan keteladanan. Akan tetapi timbul masalah dengan mereka yang

pura-pura menaati hukum, oleh karena mencari peluang di mna penegak

hukum berada dalam keadaan kurang siaga. Masalah lainnya adalah,

45 Ibid, Hlm. 48

44

bagaimana menangani mereka yang tidak mengacuh gukum, ataupun yang

secara terang-terangan melanggarnya.46

Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu

masyarakat majemuk, terdapat banyak golongan etnik dengan

kebudayaan-kebudayaan khusus. Dismping itu, maka bagian terbesar

penduduk Indonesia tinggal diwilayah pedesaan yang berbeda cirri-cirinya

dengan wilayah perkotaan. Masalah-masalah yang timbul di wilayah

pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara

tradisional di wilayah perkotaan juga tidak semua masalah dapat

diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara yang tradisional. Kalau

demikian haknya, bagaimanakah cara untuk mengenal lingkungan (sosial)

dengan sebaik-baiknya.

Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal

lembaga-lembaga social yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh

bagian terbesar warga-warga masyarakat setempat. Lembaga-lembaga

social tersebut adalah, missal lembaga pemerintah, lembaga pendidikan,

lembaga penegakan hukum, dan seterusnya. Secara teoritis lembaga-

lembaga social tersebut mempunyai hubungan fungsional, sehingga

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas maupun

perubahan-perubahan social budaya yang akan atau sedang terjadi.47

Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di ats maka

terbukalah jalan untuk dapat mengidentifikasi nilai-nilai dan norma-norma

46 Ibid, Hlm. 50

47

Ibid, Hlm. 51

45

atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut. Pengetahuan

serta pemahaman tethadap nilai-nilai serta norma-norma atau kaidah-

kaidah sangat penting di dalam pekerjaan menyelesaikan perselisihan-

perselisihan yang terjadi (ataupun yang bersifat potensial). Di samping itu

dapat diketahui (serta mungkin selanjutnya disadari), bahwa hukum

tertulis mempunyai berbagai kelemahan yang cepat dan tepat (diskresi).

Di dalam situasi-situasi tertentu, polisi mau tidak mau harus

melaksanakan peranan aktual yang tidak dikehendaki oleh masyarakat,

misalnya penerapan kekrasan. Akan tetapi di dalam keadaan demikian

perlu diteliti apakah kekerasan tersebut memeang berasal dari polisi

tersebut, atau merupakan suatu akibat dari lingkungan (ataupun faktor-

faktor lainnya). Mengenai hal ini, Satjipto Rahardjo pernah

mengetengahkan hasil penelitian Sugiarso yang berusaha mengingatkan

kondisi penggunaan kekerasan dengan tipe masyarakat madya dan modern

Rahardjo, 1982).48

“Penggunaan kekerasan oleh polisi bukan merupakan suatu

tindakan yang murni digerakkan oleh keinginannya untuk melakukan hal

itu. Tampaknya cukup banyak faktor yang turut menyebabkannya, bahkan

bisa dikatakan juga : yang memancingnya untuk berbuat demikian.

Dengan demikian perbuatan petugas polisi itu kiranya dapat digolongkan

ke dalam tindakan yang benar-benar bersifat relasional. Apa yang

48 Ibid, Hlm. 52

46

dilakukan oleh seseorang juga merupakan reaksi terhadap perbuatan

yang dilakukan oleh orang lain”.

Selanjutnya Satjipto Rahardjo (1982) juga menyatakan, bahwa:49

“Seorang polisi akan mengalami, bahwa penggunaan kekerasan

itu merupakan suatu sarana untuk melakukan persuasi. Dari pengalaman

ini, yaitu yang menggunakan kekerasan untuk menjalankan tugas-tugas

sebagaimana dikehendaki oleh hukum, polisi mengembangkan suatu

pertanggungjawaban … terhadap penggunaan kekerasan itu. Dari

perkembangan yang demikian itu tanpaknya dengan tidak begitu sulit

keadaan mengelincir ke arah penggunaan kekrasan secara di luar hukum.

Juga penggunaan kekerasan yang demikian ini ditafsirkan sebagai sarana

yang bersifat fungsional bagi tugas-tugas kepolisian”.

Kiranya hal terakhir tersebut yang harus dapat dicegah karena

dapat memberikann gambaran yang keliru mengenai yang di identikkan

dengan petugas hukum atau penegak hukum. Memang, di sinilah letak

masalahnya yang menyangkut faktor masyarakat di dalam kaitannya

dengan penegakan hukum. Anggapan dari masyarakat bahwa hukum

adalah identik dengan penegak hukum (atau sebaliknya) mengakibatkan

harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum menjadi

terlampau banyak, sehingga mungkin mengakibatkan terjadinya berbagai

49Ibid, Hlm. 53

47

konflik dalam dirinya. Di lain pihak, keadaan ini juga dapat memberikan

perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari warga masyarakat.50

Masalah lain adalah mengenai segi penerapan perundang-

undangan. Kalau penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap

hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan

ditafsir terlalu luas dan terlalu sempit, selain itu timbul kebiasaan untuk

kurang menelaah perundang-undangan yang kadang kala tertinggal dengan

perkembangan didalam masyarakat.51

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa anggapan-anggapan dari

masyarakat tersebut harus mengalami perunahan-perubahan didalam kadar

tertentu, perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan melalui

penerangan dan penyuluhan hukum yang seimbang dan senantiasa

dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian dikembangkan lagi. Kegiatan-

kegiatan tersebut nantinya akan dapat menempatkan hukum pada

kedudukan dan peranan yang semestinya.52

Di samping adanya kecendrungan yang kuat dari masyarakat dalam

mengartikan hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka

ada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat yang mengartikan

hukum sebagai tat hukum atau hukum positif tertulis. Di dalam suatu

penelitian yang diadakan terhadap sejumlah mahasiswa di 27 kota

Indonesia pada tahun 1977-1978 di peroleh hasil bahwa 61,07% dari

seluruh responden yang berjumlah 183 mahasiswa mengartikan hukum

50Ibid, Hlm. 54

51

Ibid, Hlm. 55

52

Ibid

48

sebagai tata hukum (Penelitian terhadap cirri-ciri kepribadian mahasiswa

Indonesia pada perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta se Indonesia

oleh Direktorat kemahasiswaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Anggaran-anggaran semacam itu sebenarnya juga ada pada kalangan

hukum umumnya, yaitu terutama yang menduduki posisi-posisi forma

tertentu. Hal itu tampak dari program-program resmi yang diterapkan,

misalnya, program penyuluhan hukum (tertulis). Salah satu akibatnya yang

positif adalah kemungkinan bahwa warga masyarakat mempunyai

pengetahuan yang pasti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban

mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas

penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi dan mengembangkan

kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal itu semua

biasanya dinamakan kompetensi hukum yang tidak mungkin ada, apabila

warga masyarakat:53

1) Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka

dilanggar atau terganggu

2) Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi

kepentingan-kepentingannya

3) Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena

faktor-faktor keuangan, psikis, social dan politik

4) Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang

memperjuangkan kepentingan-kepentingan

53 Ibid, Hlm. 56

49

5) Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses

interaksi dengan berbagai unsure kalangan hukum formal.

Sebagai salah satu akibat negatif dari pendangan atau anggapan

bahwa hukum adalah hukum positif tertulis adalah adanya kecendrungan

yang kuat sekali bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian

hukum. dengan adanya kecendrungan untuk lebih menekankan pada

kepastian hukum belaka, maka muncul anggapan yang kuat sekali bahwa

satu-satunya tujuan lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga

timul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan

dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecendrungan-kecendrungan yang

legistik tersebut pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya

perundang-undangan yang belu tentu berlaku secara sosiologis. Di lain

pihak kecendrungan-kecendrungan tersebut kadang-kadang menganggap

bahwa terjemahan-terjemahan tidak resmi dari perundang-undangan

zaman Hindia-Belanda, secara yuridis telah berlaku.54

Adanya keinginan-keinginan yang sangat kuat untuk menyusun

kodifikasi atau pembukaan norma-norma hukum bidang-bidang tertentu,

merupakan suatu akibat yang lebih lanjut yang mempunyai segi positif dan

negatifnya. Selama usaha mengadakan kodifikasi tersebut

memperhitungkan bidang-bidang kehidupan netral dan spiritual, serta

tujuan kodifikasi adalah kepastian hukum, keseragaman hukum dan

keserhanaan hukum, maka usaha mengadakan kodifikasi adalah positif.

54 Ibid

50

Akan tetapi kalau usaha tersebut hanya bertujuan untuk mencapai

kepastian hukum dan mencoba membukukan norma-norma hukum yang

mengatur bidang kehidupan spiritual (atau non-netral), maka sifatnya

adalah negatif.55

5) Faktor kebudayaan hukum

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai

yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang

dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-

nilai yang mencerminkan dua keadaan eksrim yang diserasikan. Hal itulah

yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor-

faktor kebudayaan ini.56

Pasangan-pasangan nilai yang berperan dalam hukum adalah:57

a) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman;

b) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan;

c) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin,

sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan. Ciri-ciri dari

keadaan tertib adalah sebagai berikut: dapat diperkirakan, kerjasama,

pengendalian kekerasan, kesusilaan, langgeng, mantap, berjenjang,

ketaatan, tanpa perselisihan, keseragaman, kebersamaan, keberurutan,

corak lahiriah, tersusun. Keadaan tidak tenteram atau tidak bebas akan

55 Ibid, Hlm. 58

56

Ibid, Hlm. 60

57

Ibid, Hlm. 61.

51

terjadi apabila: ada hambatan dari pihak lain (dipaksa), tidak ada pilihan

lain (terpaksa) dan karena keadaan diri sendiri (rasa takut, merasa tidak

pada tempatnya).58

Secara spikologis keadaan tenteram ada bila seseorang tidak

merasa khawatir, tidak merasa diancam dari luar, dan tidak terjadi konflik

batiniah. Pasangan nilai tersebut yaitu ketertiban dan ketentraman,

sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan

pribadi. Di dalam bidang tata hukum, maka bidang public (seperti

misalnya hukum tata Negara, hukum administrasi Negara dan hukum

pidana) harus mengutamakan nilai ketertiban dan dengan sendirinya nilai

kepentingan umum. Akan tetapi didalam bidang hukum perdata (misalnya

hukum pribadi, hukum tata kekayaan, hukum keluarga dan hhukum waris),

maka nilai ketentraman lebih diutamakan. Hal ini bukanlah berarti bahwa

di dalam hukum publik nilai ketentraman boleh diabaikan, sedangkan di

dalam hukum perdata nilai ketertiban yang sama sekali tidak diperhatikan

pasangan nilai yang bersifat universal mungkin keserasiannya berbeda

menurut keadaan massing-masing kebudayaan, di mana pasangan nilai

tadi diterapkan. Keadaan di Korea Selatan misalnya, sebagai berikut:59

“The ultimate ideal has been a complete absence of dispute and

conflict. But if discord could not be avoided, society demanded the

quickest restoration of broken concord. For this purpose mediation has

been preferred, because it does not require the fixing of blame. Paties

58 Ibid

59

Ibid, Hlm. 62.

52

themselves formulate the solution by mutual agreement, thus obviating the

need for an external sanction. Since mediaton is possible only when sides

are willing to compromise, each side has to give a little and to be satisfied

with less than complete victory”.

Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat, sebagai

berikut:60

1) Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi

masing-masing demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari

pada masyarakat (sebagai lingkungan kesatuan)

2) Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan itu, bergerak berusaha

sebagai pengabdian kepada seluruh kesatuan

3) Dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentingan-

kepentingan individu itu, maka sukarlah untuk dapat dikemukakan

adanya suatu keperluan yang mendesak untuk menertibkan segala

kepentingan-kepentingan para individu-individu itu. Bagi adat

ketertiban itu telah ada di dalam semesta, di dalam kosmos. Ketertiban

itu adalah berupa dalam hubungan yang harmonis antara segalanya ini.

Gerak dan usaha yang ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmos

itu di jalani dengan serta merta. Bilamana tidak dijalankan garis itu,

garis yang di jelmakan di dalam adat maka baik jalannya masyarakat

maupun jalan kehidupan pribadi orang yang bersangkutan akan

menderita karena berada di luar garis tertib kosmos tersebut yaitu adat

60 Ibid, Hlm. 63

53

4) Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat

harus disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan

mempergunakan paksaan. Apa yang disebut sebagai salah kaprah,

yaitu dengan sebutan hukum adat, tidaklah merupakan hukuman.

Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat untuk mengembalikan

langkah yang berbeda di luar garis tertib kosmos itu, demi untuk tidak

terganggu tertiban kosmis. Upaya adat dari lahirnya adalah terlihat sebagai

adanya penggunaan kekuasaaan melaksanakan ketentuan yang tercantum

di dalam pedoman hidup yang disebut adat. Tetapi dalam intinya itu bukan

pe,maksaan dengan mempergunakan alat paksa. Itu bukan bekerjanya

suatu sanctie. Itu adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan yang

terganggu, dan bukan suatu “hukuman”, bukan suatu leed yang

diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan.

Hal-hal yang telah di jelaskan oleh Moh. Koesnoe secara panjang

lebar di atas, merupakan kebudayaan Indonesia yang mendasari hkum adat

yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan hukum kebiasaan yang

berlaku di kalangan rakyat terbanyak. Di samping itu berlaku pula hukum

tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu didalam

masyarakat yang mempunyai kekeuasaan dan wewenang yang resmi.

Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-

nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-

undangan terseut dapat berlaku secara aefektif.61

61Ibid, Hlm. 64

54

Pasangan nilai kebendaan dan keakhlakan, juga merupakan

pasangan nilai yang bersifat universal. Akan tetapi dalam kenyataannya

pada masing-masing masyarakat timbul perbedaan-perbedaan karena

berbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan modernisasi dibidang

materil misalnya, tidak mustahil akan menempatkan nilai kebendaan pada

posisi yang lebih tinggi dari pada nilai keakhlakan, sehinggaakan timbul

suatu keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan pada posisi

yang lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa sebagai

aspek proses hukum akan mendapat penilaian dari segi kebendaan belaka.

Salah satu akibat dari penempatan nilai kebendaan pada posisi yang lebih

tinggi dari pada nilai keahklakan adalah bahwa dalam proses negatif lebih

dipentingkan dari pada ancaman untuk mematuhi hukum. artinya, berat-

ringannya ancaman hukuman terhadap pelanggaran menjadi tolak ukur

kewajiban hukum kepatuhan hukum kemudian juga disandarkan pada cost

and benefit.62

Mengenai hal tersebut memeang belum pernah diadakan penelitian

di Indonesia yang secara langsung memeriksa efek dari pada penempatan

nilai kebendaan pada posisi yang lebih penting dari pada nilai

keahklakkan. Akan tetapi secara tiding langsung pernah dipersoalkan

mengenai hubungan antara pasal 283 dan 534 KUHP yang berpokok

pangkal pada nilai keahklakan, dengan pelaksanaan program keluarga

berencana. Akan tetapi di negar lain misalnya si Amerika Serikat pernah

62 Ibid, Hlm. 65.

55

diadakan berbagai penelitian untuk mengukur mana yang lebih efektif,

yakni penanaman kesadaran ataukah ancaman hukuman yang tinggi.

Contoh dari penelitian tersebut pernah dilakukan oleh Schwarz dan Sonya

Orleans (1967) terhadap efektivitas sanksi-sanksilebih efektif bagi mereka

yang bersalah dari kelas social yang relative tinggi yang menduduki kelas

sosial yang lebih rendah, maka penanaman kesadaran jauh lebih efektif

dari pada ancaman-ancaman hukuman.63

Pasangan nilai kelanggengan dan nilai kebaruan senantiasa

berperan didalam perkembangan hukum masyarakat, oleh karena disatu

pihak ada yang menyatakan bahwa hukum hanya mengikuti perubahan

yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan “status quo”. Di lain

pihak ada anggapan-anggapan kuat bahwa hukum juga dapat berfungsi

sebagai sarana untuk mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal

yang baru. Keserasian antara kedua nilai tersebut akan menempatkan

hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya, oleh karena:64

“Lau must be stable and yet it can not stand still. Hence all

thinking about law has struggled to reconcile the conflicting demands of

the need of of stability and of the need of change”.

Terbukti maka dengan sendirinya tertuduh tidak dapat dituduh

melakukan suatu pencurian dan hakim harus membebaskan tertuduh dari

penghukuman atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu

vrijspaak.

63 Ibid, Hlm. 66

64

Ibid, Hlm. 67

56

Penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah

menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku

nyata manusia. Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk

menjamin kehidupan social masyarakat, karena hukum dan masyarakat

terdapat suatu interelasi.65

Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya, karena

menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur

efektivitas penegak hukum. Dari kelima faktor penegak hukum tersebut

faktor penegak hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini

disebabkan oleh baik undang-undangnya di susun oleh penegak hukum,

penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak

hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.66

2. Tindak Pidana

a. Istilah Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam

WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi

tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar

feit itu.67

65 Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004, Hlm. 71.

66

Ishaq, Op.cit, Hlm. 249.

67

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidan Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:

2002, Hlm. 67.

57

Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-

undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai

terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut;68

1) Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-

undanagan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana;

2) Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr.

R. Tresna dalam bukunya azas-azas hukum pidana, Mr. H.J. Van

Schravendijk dalam bukun pelajaran tentang hukum pidana Indonesia;

3) Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit;

4) Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam pokok-pokok hukum pidana

yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtamidjaja;

5) Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni

dalam buku beliau ringkasan tentang hukum pidana, begitu juga Mr.

H.J. Van Schravendijk dalam bukunya pelajaran tentang hukum pidana

Indonesia;

6) Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-

undang dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 Tentang Senjata

Api dan Bahan Peledak;

68 Ibid

58

7) Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljadno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku azas-azas hukum pidana.

Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari

tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,

tenyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar

dapat diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.69

b. Pengertian Tindak Pidana

Berkenaan dengan perbuatan apa saja yang dapat ditetapkan

sebagai tindak pidan, beberapa ahli hukum telah mengemukakan

pandangannya tentang apa yang disebut dengan tindak pidana. Dari istilah

saja, dapat kita temui beberapa istilah yang pengertiannya sama. Istilah itu

misalnya tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh

dihukum, perbuatan pidana, strafbaar feit, dan sebagainya.70

Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum, yang dibentuk oleh kesadaran dalam

membarikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.71

Didalam

perundang-undangan dipakai istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana,

dan tindak pidana, yang sering juga disebut delict. Apa yang dimaksud

dengan istilah tindak pidana itu atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit

sebenarnya merupakan istilah resmi yang terdapat dalam Kitab Undang-

69 Ibid, Hlm. 69.

70

Erdianto, Op.cit, Hlm. 53.

71

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Indoneisa, Bustaka Setia, Bandung: 2000, Hlm. 51

59

Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Adapun

dalam istilah bahasa asing adalah delict.72

Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai istilah

tindak pidana, antara lain:

a) Moeljatno berpendapat perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut;73

b) Pompe merumuskan bahwa suatu tindakan yang menurut suatu

rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum;74

c) Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan

manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan;75

d) Simons merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar

hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai

dapat dihukum;76

e) J.E. Jonkers merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan pidana

yang melawan hukum (wederrechttlijk) yang berhubungan dengan

72 Adam Chazawi, Op.cit, Hlm. 21.

73

Ibid, Hlm. 71.

74

Ibid, Hlm. 72.

75

Ibid

76

Ibid, Hlm. 75.

60

kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan;77

f) Wirjono Prodjodikoro, bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana;78

g) H.J Van Schravendijk merumuskan perbuatan yang boleh dihukum

adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan

hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal

dilakukan oleh seseorang yang karena itu dipersalahkan;79

h) E. Utrecht menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu

suatu perbuatan handelen atau doein-positif atau sarana melalaikan

natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang timbul karena

perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu

peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu peristiwa kemasyatakatan yang

membawa akibat yang diatur oleh hukum.80

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat diartikan apa

yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan

tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang

yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Kata kunci untuk membedakan

77 Ibid

78

Ibid

79

Ibid

80

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, Hlm. 7.

61

suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan adalah apakah perbuatan

tersebut diberi sanksi pidana atau tidak.81

c. Unsur-Unsur tindak Pidana

1. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dari Sudut Teoritis

Artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum unsur-unsur

yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana yang

tercermin pada bunyi rumusannya.82

a. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :

1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

b. Menurut R. Tresna tindak pidana trdiri dari unsur-unsur :

1. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3. Diadakan tindakan penghukuman.

c. Menurut Vos, unsur tindak pidana adalah :

1. Kelakuan manusia;

2. Diancam dengan pidana;

3. Dalam peraturan perundang-undangan.

d. Menurut J.E Jonkers (penganut paham monism) unsur tindak

pidana adalah :

1. Perbuatan (yang);

81 Erdianto, Op.cit, Hlm. 55.

82

Adami Chazawi, Op.cit, Hlm. 79.

62

2. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

3. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

4. Dipertanggungjawabkan.

e. Menurut H.J Van Schravendijk unsur tindak pidana adalah :

1. Kelakuan (orang yang);

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

3. Diancam dengan hukuman;

4. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

5. Dipersalahkan/kesalahan.

2. Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang

Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk

dalam kelompok kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran. Dari

rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) itu dapat diketahui adanya 11 (sebelas) unsur

tindak pidana, yaitu :83

1) Unsur tingkahlaku;

2) Unsur melawan hukum;

3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

83 Ibid, Hlm. 81.

63

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9) Unsur objek hukum tindak pidana;

10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 (sebelas) unsur itu, diantaranya dua unsur, yaitu

kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif,

sedangkan selebihnya berupa unsur objektif.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pada hakikatnya mengandung makna

pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah

dilakukan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana mengandung

di dalamnya pencelaan/pertanggungjawaban objektif dan subjektif.

Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana

menurut hukum yang berlaku (asas legalitas) dan secara subjektif si

pembuat patut dipidana yang dilakukan itu (asas

culpabilitas/kesalahan) sehingga ia patut dipidana.84

Bertolak dari pengertian demikian, maka dalam arti luas

persyaratan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya identik dengan

persyaratan pemidanaan (penjatuhan pidana/tindakan). Ini berarti,

asas-asas pertanggungjawaban pidana juga identik dengan asas-asas

legalitas dan asas culpabilitas. Bahkan, dapat pula dinyatakan bahwa

84 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Prespektif Kajian Perbandingan,

PT. Citra Aditya Bakti, 2011

64

sistem pertanggungjawaban pidana atau penegakan hukum pidana

tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan sistem (aturan) pemidanaan.85

Persyaratan dan asas-asas pertanggungjawaban pidana yang

dikemukakan di atas merupakan hal-hal yang sudah diterima secara

umum dan konvensional dalam doktrin/teori maupun dalam peraturan

perundang-undangan (hukum positif). Permasalahannya, seberapa jauh

doktrin/teori dan ketentuan-ketentuan hukum positif yang

konvensional itu dapat juga diterapkan dalam masalah

pertanggungjawaban pidana cyber crime.86

Telah dikemukakan di atas bahwa untuk adanya

pertanggungjawaban pidana pertama-tama harus dipenuhi peryaratan

objektif, yaitu perbuatannya harus telah merupakan tindak pidana

hukum yang berlaku. Dengan perkataan lain, untuk adanya

pertanggungjawaban pidana pertama-tama harus dipenuhi asas

legalitas, yaitu harus ada dasar/sumber hukum (sumber legitimasi)

yang jelas, baik di bidang hukum pidana material/substantif maupun

hukum pidana formal.

Asas legalitas tercantum didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau

kata-katanya yang asli di dalam bahasa Belanda disalin ke dalam

bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “Tiada Suatu

85 Ibid

86

Ibid

65

Perbuatan (feit) yanag Dapat di Pidana Selain Berdasarkan Kekuatan

Ketentuan Perundang-Undangan Pidana yang Mendahuluinya”.87

Perlu pula di perhatikan bahwa dengan feit itu disalain orang

juga dengan kata “peristiwa”, karena dengan istilah feit itu meliputi

baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum

pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.88

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan

pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan.

Berlakunya hukum pidana menutur waktu menyangkut penerapan

hukum pidana dari segi lain. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu

perbuatan (feit) yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan

sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja

hal itu tidak dapat dituntut yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu

tidak dapat tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak

dapat dipidana.89

Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP

dirumuskan di dalam bahasa Latin: “Nullum Delictum Nulla Poena

Sine Praevia Legi Poenali”, yang dapat disalin kedalam bahas

Indonesia kata demi kata denagn “ Tidak Ada Delik, Tidak Ada Pidana

Tanpa Ketentuan yang Mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah

Latin: “Nullum Crimen Sine Lege Sticta”, yang dapat disalin kata

demi kata pula dengan ”Tidak Ada Delik Tanpa Ketentuan yang

87 Ibid

88

Ibid

89

Ibid

66

Tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda

“geen Dilict, Geen Straf Zonder Een Voorrafgaande Strafbepaling”

untuk rumusan pertama dan “Geen Dilict Zonder Een Precieze

Wettelijke Bapeling” untuk rumusan yang kedua.90

Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari

rumusan tersebut:91

a. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang

diharuskan dengan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau

pengabaian tersebut harus tercantum didalam undang-undang

pidana.

b. Ketentuan tersebut tidak berlaku surut, dengan satu kekecualian

yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.

Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengundang tiga

pengertian:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan

undang-undang.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas).

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Meskipun rumusan itu dalam rumusan Latin, namun ketentuan

itu tidaklah berasal dari hukum Romawi. Hukum Romawi tidak

90 Ibid

91

Ibid

67

mengenal asas legalitas, baik pada masa republik maupun sesudahnya.

Rumusan itu dibuat oleh Paul Johan Anselm Von Feuerbach 1775-

1833, seorang pakar hukum pidana Jerman di Dalam bukunya

Lehrbuch Des Peinlichen Rechts pada tahun 1801. Jadi merupakan

produk ajaran klasik pada permulaan abad ke Sembilan belas,

Beccaria.92

3. Tindak Pidana Bahan Bakar Minyak

A. Pengertian Bahan Bakar Minyak

Bahan Bakar Minyak menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas), Pasal 1 ayat (4) yaitu :

“bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi.”

Sedangkan minyak bumi menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi adalah:

“Hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmofer berupa fasa cair atau padat,

termasuk aspal, lilin mineral, atau Ozokerit dan Bitumen yang

diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara

atau endapan Hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang

diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan usaha kegiatan

migas”.

Istilah minyak bumi berasal dari terjemahan bahasa inggris yaitu

crude oil, sedangkan istilah gas bumi berasal dari terjemahan bahasa

92 Ibid

68

inggris, yaitu natural gas. Pengertian minyak bumi kita ditemukan dalam

pasal 3 huruf i the petroleum ( Tax Code, 1997) negara India. Pasal 3

huruf i berbunyi sebagi berikut :

“Petroleum” means crude oil existing in its natural condition i.e.

all kinds of hydrocarbons and bitumens, both in solid and in liquid form,

in their natural state or obtained fromnatural Gas by condensation or

extraction, including distillate and condensate (when commingled with the

heavier hydrocarbons and delivered as a blend at the delivery point) but

excluding Natural Gas’.

“Petroleum berarti minyak mentah yang keberadaannya dalam

bentuk kondisi alami, seperti semua jenis hidrokarbon bitumen, keduanya

baik dalam bentuk padat dan cair, yang diperoleh dengan cara kondensasi

(pengembunan) atau digali di dalamnya dengan cara distalasi

(sulingan/saringan) (bilamana berkaitan dengan hidrokarbon yang sangat

berat yang direktori sebagai bentuk campuran), tetapi tidak termasuk gas

alam”.

Dalam definisi ini, tidak hanya penjelasan tentang pengertian

petroleum, tetapi juga tentang bentuknya, jenisnya dan cara untuk

memperolehnya. Petroleum dalam definisi ini dikonstruksikan sebagai

minyak mentah. Bentuknya berupa benda padat dan cair. Jenisnya berupa

hidrokarbon dan bitumen. Cara memperolehnya dapat dengan kondensasi

(pengembunan), digali, dan disuling.

69

Definisi gas alam dalam Pasal 3 huruf g The Petroleum Tax Code,

1997 negara India sangat luas karena dalam definisi ini dijelaskan unsur-

unsur gas alam dan proses produksinya. Proses produksi itu meliputi

kondensasi dan ekstrak. Definisi yang lain dapat kita baca dalam Pasal 1

ayat (2) UU No 22 Tahun 2001 tentang Miyak dan Gas Bumi. Gas Bumi

adalah:

“hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa Gas yang diperoleh

dari proses penambangan migas.”

Unsur utama minyak dan gas bumi adalah hidrokarbon.

Hidrokarbon adanya senyawa-senyawa organik di mana setiap molekulnya

hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja. Karbon adalah unsur

bukan logam yang banyak terdapat di alam, sedangkan hidrogen adalah

gas tak berwarna, tak berbau, tak ada rasanya, menyesakkan, tetapi tidak

bersifat racun, dijumpai di alam dalam senyawa dengan oksigen.

Bahan-bahan bukan Hidrokarbon ini biasanya dianggap sebagai

kotoran karena pada umumnya akan memberikan gangguan pada proses

pengolaan minyak bumi dalam kilang minyak dan berpengaruh jelek

terhadap mutu produk, adapun produk bahan bakar minyak terdiri atas :

1. Bensin penerbangan;

2. Bensin motor;

3. Bahan bakar jet;

4. Kerosin;

70

5. Solar;

6. Minyak diesel dan;

7. Minyak bakar.

B. Izin usaha Bahan Bakar Minyak

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 UU RI No.22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa :

(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2

yaitu kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan

niaga dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin

usaha dari Pemerintah. Badan Usaha baru dapat melaksanakan

kegiatannya setelah mendapat izin usaha dari pemerintah.

(2) Izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi

dan/atau kegiatan usaha gas bumi dibedakan atas :

a) Izin usaha pengolahan;

b) Izin usaha pengangkutan;

c) Izin usaha penyimpanan, dan

d) Izin usaha niaga;

Setiap badan usaha dapat diberi lebih dari satu izin usaha

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Izin usaha paling sedikit memuat :

1) Nama penyelenggara;

2) Jenis usaha yang diberikan;

3) Kewajiban dalam penyelenggaraan pengusahaan;

71

4) Syarat-syarat teknisi;

Setiap izin usaha yang telah diberikan hanya dapat digunakan

sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah dapat menyampaikan teguran

tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan atau mencabut

izin usaha berdasarkan :

1). Pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam izin

usaha:

2). Pengulangan pelanggaran atas persyaratan izin usaha;

3). Tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan undang-

undang ini.

Sebelum melaksanakan pencabutan izin usaha, pemerintah terlebih

dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu yang telah

dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan usaha

hilir dapat dilaksanakan oleh :

1). Badan Usaha Milik Negara;

2). Badan Usaha Milik Daerah;

3). Koperasi, Usaha Kecil; dan

4). Badan Usaha Swasta.

Keempat jenis badan usaha itu dapat mengajukan permohonan

untuk mendapatkan izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha hilir.

72

C. Bahan Bakar Minyak Bersubsidi

Pengertian atau definisi subsidi adalah bantuan yang diberikan

pemerintah kepada produsen atau konsumen agar barang atau jasa yang

dihasilkan harganya menjadi lebih murah dan dapat dijangkau oleh

masyarakat luas.

Jenis BBM yang disubsidi oleh Pemerintah adalah bahan bakar

yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang

berasal dari Minyak Bumi yang telah dicampurkan dengan bahan bakar

lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga volume dan

konsumen pengguna tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka

1 Perpres RI Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Perpres Nomor

71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM

Tertentu.

Subsidi jenis BBM tertentu perliter adalah pengeluaran negara

yang dihitung dari selisih antara biaya penyediaan dan pendistribusian

BBM bersubsidi dengan harga jual eceran netto (tidak termasuk pajak)

yang dihitung berdasarkan harga patokan penyediaan BBM bersubsidi

sesuai dengan harga indeks pasar di kawasan Asia Tenggara ditambah

margin dan biaya pendistribusian BBM bersubsidi ke seluruh NKRI.

Harga jual eceran BBM yang disubsidi Pemerintah adalah Minyak

Tanah (Rp 2.500,00), Bensin Premium (Rp 6.450,00) dan Minyak Solar

(Rp 5.150,00) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM

73

No. 27 tahun 2016 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang

disubsidi pemerintah

D. Tindak Pidana Pengangkutan Dan Perniagaan Bahan Bakar Minyak

Ketentuan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan tindak

pidana perniagaan diatur secara tegas di dalam Pasal 55 UU No. 22 Tahun

2001 tentang minyak dan gas bumi (MIGAS), DImana setiap orang yang

menyalahgunakan pengangkutan dan/atau Niaga BBM, baik minyak bumi,

bahan bakar gas maupun yang merupakan hasil olahan yang disubsidi oleh

pemerintah, tanpa adanya izin pengangkutan dan/atau izin niaga dari pihak

yang berwenang dapat dipidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan Pasal 55 UU RI No. 22 Tahun 2001

Tentang Minyak dan Gas Bumi yang dimaksud dengan menyalahgunakan

adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan

perseorangan atau Badan Usaha dengan cara yang merugikan kepentingan

masyarakat banyak dan Negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan

BBM, penyimpangan alokasi BBM, pengangkutan dan penjualan BBM,

pengangkutan dan penjualan BBM ke luar negeri.

Ketentuan pidana pokok yang mengatur tentang penyalahgunaan

dan/atau niaga juga dikenal adanya pidana tambahan berupa pencabutan

hak atau perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh

dari tindak pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

74

1). Unsur-unsur tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan

dan/atau niaga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi.

Menurut UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi Pasal 23 ayat (1) dijelaskan bahwa kegiatan usaha hilir yang

dilakukan oleh badan usaha harus mendapat izin usaha dari pemerintah

yang meliputi kegiatan : pengangkutan, perniagaan, pengolahan, dan

penyimpanan BBM. Begitu pula dengan kegiatan usaha hulu yang

mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Dari keempat jenis

kegiatan usaha di atas, jika tidak memiliki izin usaha untuk melakukan

kegiatan usaha tersebut, maka kegiatan usaha tersebut dianggap ilegal.

Adapun unsur-unsur tindak pidana pengangkutan dan/atau niaga BBM

menurut UU No. 22 Tahun 2001 adalah :

1) Pasal 53 UU Nomor 22 tahun 2001

“bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha:

a). Pengolahan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 tanpa

izin usaha pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp.

50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b). Pengangkutan sebagaimana dalam pasal 23 tanpa izin usaha

pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun dan denda paling tinggi Rp. 40.000.000.000,00-

(empat puluh miliar rupiah);

75

c). Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa izin

usaha penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp.

30.000.000.000,00,- (tiga puluh miliar rupiah);

d). Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa izin usaha

niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,00,- (tiga

puluh miliar rupiah)”.

Unsur-unsur tindak pidana pengangkutan pada pasal 53 huruf

(b) UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (MIGAS)

terdiri atas:

a). Setiap orang;

b). Melakukan pengangkutan;

c). Tanpa izin usaha pengangkutan.

Perbuatan yang dilakukan dalam pasal ini adalah setiap orang

atau badan usaha yang melakukan kegiatan pemindahan BBM dari

satu tempat ketempat yang lain tanpa adanya izin usaha pengangkutan.

Sementara untuk tindak pidana perniagaan, unsur-unsurnya

(Pasal 53 huruf (d)) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi terdiri atas :

a). Setiap orang;

b). Melakukan perniagaan;

c). Tanpa izin perniagaan.

76

Perbuatan yang dilakukan dalam pasal ini adalah kegiatan

penjualan, pembelian, eksport dan impor BBM. Tanpa adanya usaha

perniagaan.

2) Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001

“Setiap orang yang menyalahgunakan dan/atau BBM yang disubsidi

oleh pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam

puluh miliar rupiah). “

Unsur-unsurnya terdiri atas :

a). Barang siapa;

b).Menyalahgunakan Pengangkutan dan atau/Niaga BBM yang

disubsidi oleh pemerintah.

Perbuatan yang dapat dihukum dalam pasal ini adalah setiap

orang atau badan usaha yang menyalahgunakan pengangkutan

dan/atau Niaga BBM yang disubsidi oleh pemerintah serta tanpa izin

usaha untuk melakukan pengangkutan BBM sehingga dapat

menimbulkan kerugian bagi orang lain.

2). Ketentuan Hukum yang mengatur peruntukkan pengguna untuk

Bahan Bakar Minyak solar yang Disubsidi

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 tentang

harga jual eceran dan konsumen pengguna jenis BBM tertentu sebagai

pengganti Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2006 tentang Perubahan

atas Perpres Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan

77

Bakar Minyak dalam Negeri pada lampirannya disebutkan konsumen

pengguna adalah Rumah Tangga, Usaha Kecil/Mikro, Usaha

Perikanan, Usaha Pertanian, Transportasi dan Pelayanan Umum.93

Untuk melakukan dan pengawasan terhadap penyedian dan

perindustrian bahan bakar minyak pada kegiatan usaha hilir (terdapat

dalam pasal 1 angka (24) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang

Minyak dan Gas Bumi), pemerintah membentuk badan pengarturan atau

disebut BPH Migas.

Kegiatan usaha ini mencangkup:94

a. Pengolahan

Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-

bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak

Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan.

b. Pengangkutan

Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas

Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat

penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi

melalui pipa transmisi dan distribusi.

c. Penyimpanan

Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan,

penampungan, dan pengeluaran Minyak bumi dan/atau Gas Bumi.

93 http://www.NurfatimahAhmadpenyalahgunaanbahanbakarminayakbersubsidi diakses,

tanggal 30 Desember 2017, jam 15:28 WIB

94

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 1 ayat (11),

(12), (13), dan (14).

78

d. Niaga

Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor,

Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi

melalui pipa.

BPH Migas mempunyai fungsi untuk mengatur dan mengawasi

ketersedian dan distribusi Bahan Bakar Minyak sehingga menjamin

ketersedian dan distribusi Bahan Bakar Minyak di dalam negeri, selain

fungsi BPH Migas juga mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam

sektor Bahan Bakar Minyak yaitu:95

a. Mengatur dan menetapkan ketersedian dan distribusi Bahan Bakar

Minyak;

b. Mengatur dan menetapkan cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional;

c. Mengatur dan menetapkan pemanfaatan bersama fasilitas

pengangkutan Bahan Bakar Minyak.

Pada tahap proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

secara umum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Pasal 1 menyatakan bahwa yang berhak melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana adalah Pejabat Polisi Negara Rebublik

Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan. Pejabat Pegawai Negeri Sipil terdiri dari gabungan unsur-

unsur yaitu, pihak dari Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BPH

95 http://www. [email protected], diakses, tanggal 10 September 2017, jam 19:00 WIB

79

Migas) dan pihak dari Badan Pelaksanan Minyak dan Gas Bumi (BP

Migas) yang semuanya bertanggung jawab kepada Menteri dan Sumber

Daya Manusia. Dan dalam hal penanganan barang bukti tindak pidana

perminyakan ini yang berupa Bahan Bakar Minyak (BBM), mengingat

Bahan Bakar Minyak merupakan bahan yang tergolong berbahaya dan

mudah terbakar harus diperlakukan penanganan yang lebih khusus

mengenai hal tersebut. Oleh karena itu pada hari kamis tanggal 24 April

2008 BPH Migas dan Kejaksaan Agung melakukan Perjanjian Kerja

Bersama (PKB).96

Perjanjian kerja sama ini meliputi pemprosesan

penyitaan hingga proses pengamanan barang bukti.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25

Tahun 2001 Tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Pertambangan

Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak, Serta Perusakan

Instalasi Ketenagalistrikan Dan Pencurian Aliran Listrik. Tim Koordinasi

yang mana bertugas :

a. Menyusun program nasional penanggulangan pertambangan tanpa

izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta perusakan instalasi

ketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik;

b. Menyusun standar kerja sama operasional penanggulangan

pertambangan tanpa izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta

perusakan instalasi ketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik antar

Daerah dan Daerah dengan Pemerintah Pusat;

96 http://www.bphmigas.com, diakses, tanggal 10 September 2017, jam 20:00 WIB.

80

c. Melakukan upaya-upaya penanggulangan masalah secara fungsional,

menyeluruh, dan terpadu melalui program kegiatan pencegahan,

penertiban, dan pnghentian segala bentuk kegiatan pertambangan tanpa

izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta perusakan instalasi

ketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik;

d. Mengambil langkah-langkah yang di perlukan secara lintas

sektoral/instansi serta dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk

mendukung kelancaran pelaksanaan program penanggulangan

pertambangan tanpa izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta

perusakan instalasi ketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik;

e. Menyampaikan pertimbangan dan saran kepada presiden mengenai

kebijakan yang perlu ditempuh pemerintah dalam mengenai

pertambangan tanpa izin, penyalahgunaan bahan bakar minyak, serta

perusakan instalasi ketenagalistrikan dan pencurian aliran listrik.

Ayat 2. Pelaksanaan tugas tim penanggulangan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d sekaligus merupakan

kelanjutan dan dukungan terhadap program Tim Koordinasi

penanggulangan Masalah pertambangan Tanpa Izin, Tim Koordinasi

penanggulangan masalah penyalahgunaan pada penyediaan dan

pelayanan bahan bakar minyak serta Tim operasi pencurian aliran

listrik yang telah ada.

81

Tim pelaksana pusat mempunyai tugas pokok yakni:

a. Melaksanakan tugas-tugas operasional tim penanggulangan;

b. Mendorong dan menfasilitasi pelaksanaan tugas operasional tim

pelaksana daerah sesuai standar kerja sama operasional antara tim

pelaksana pusat dan tim pelaksana daerah;

c. Melaksanakan tugas-tugas kesekretariatan tim pelaksana pusat

Tim pelaksana daerah mempunyai tugas pokok yakni:

a. Melaksanakan tugas operasional tim penanggulangan khususnya dalam

melaksanakan program pencegahan, penertiban, dan penghentian

segala bentuk kegiatan pertambangan tanpa izin, penyalahgunaan

bahan bakar minyak, serta perusakan instalasi ketenagalistrikan dan

pencurian aliran listrik di wilayah kewenangan masing-masing.

b. Melaksanakan kerja sama operasioanl dengan tim pelaksana pusat

sesuai standar kerja sama operasional antara tim pelaksana daerah dan

tim pelaksana pusat.

Sedangkan berdasrkan pasal 10 berisi: instansi kepolisian dan

kejaksaan setempat sesuai lingkup dan tugas masing-masing wajib

menindaklanjuti hasil temuan dan hasil penyelidikan ataupun penyidikan

yang dilakukan oleh tim pelaksana pusat dan tim pelaksana daerah sesuai

peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pasal 11

berisi : segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas tim

penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dan tim pelaksana

pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dibebankan pada anggaran

82

pendapatan dan belanja Negara departemen energy dan sumber daya

mineral serta sumber pembiayaan lainnya, dan khusus untuk tim pelaksana

daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dibebankan pada anggaran

pendapatan dan belanja daerah serta sumber pembiayaan lainnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Daerah Riau

1. Gambaran Umum Provinsi Riau

Gambaran Umum Provinsi Riau terdiri dari daerah daratan dan

perairan.Di daerah perairan terdapat 3.214 pulau besar dan kecil. Sebanyak

743 pulau telah memiliki nama dan sisanya belum. Mayoritas pulau-pulau

kecil yang tersebar di perairan laut Cina Selatan belum berpenghuni dengan

luas sekitar 329.867,61 km2, sebesar 71,33% merupakan daerah

perairan/lautan. Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai

ke Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15 Lintang Selatan sampai 4°45

Lintang Utara.

Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan

berkisar antara 2000-3000 mm/tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau

serta musim hujan.Rata-rata hujan pertahun sekitar 160 hari.

Provinsi Riau memiliki 11 kabupaten/kota yaitu :

1). Kuantan Singingi;

2). Indragiri Hulu;

3). Indragiri Hilir;

4). Pelelawan;

5). Kampar;

83

6). Siak;

7). Rokan Hulu;

8). Bengkalis;

9). Rokan Hilir;

10). Pekanbaru dan;

11). Dumai.

Dengan ibukota Provinsi di Pekanbaru.

Keadaan Geografis dan Demografis Secara administratif, wilayah

Provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah +108

ribu km2 . Pada tahun 2005 jumlah penduduk mencapai 4.614.532 jiwa, dan

rata-rata kepadatan penduduknya 42 jiwa per km2 . Jumlah penduduk

terbanyak pada kelompok usia 15-64 tahun (67,89 %), disusul kelompok usia

0-14 tahun (30,27 %), dan di atas 65 tahun (1,84 %).

Sebagian besar kawasan dataran rendah di Riau berupa rawa dan tanah

bergambut tebal, yang dialiri empat sungai besar yaitu Rokan, Siak, Kampar,

dan Kuantan-Indragiri.Secara geografis, wilayah Provinsi Riau berbatasan

dengan Malaysia, dan berada pada jalur lalu lintas laut internasional terpadat.

Struktur Ekonomi Provinsi Riau merupakan penghasil devisa utama

minyak bumi bagi Indonesia, dengan produksi lebih dari 600.000 barrel per

hari (sekitar 60 %dari total produksi minyak dan gas nasional).

Selain migas, Riau juga kaya akan potensi sumber daya alam berupa

hasil hutan, pertanian, perkebunan, aneka tambang dan mineral, dan hasil laut

(perikanan). Semenjak pemekaran wilayah dan pembentukan Provinsi

84

Kepulauan Riau (pada pertengahan 2004), terjadi pergeseran komoditi

unggulan ekspor Provinsi Riau.Pada umumnya produk-produk itu dihasilkan

oleh perusahaan-perusahaan modal asing (PMA) di Pulau Batam dan Bintan.

Pada saat ini komoditi ekspor unggulan Provinsi Riau ialah produk-produk

primer berupa bahan baku dan setengah jadi, seperti minyak mentah sawit

1). CPO;

2).Pulp dan kertas;

3).Karet (crumb rubber);

4).Kayu lapis (triplex);

5).Kayu olahan;

6).Produk kelapa;

7).Ikan dan udang segar;

8).Batu bara, dan lain-lain.

Dalam struktur ekonomi Riau, terdapat tiga sektor yang memberikan

kontribusi tertinggi yaitu pertanian, industri, dan perdagangan. Sumbangan

ketiga sektor itu pada pertumbuhan ekonomi Riau mencapai:

1).80,93 % (2005),

2).81,41 %(2006), dan akan naik lagi menjadi sekitar

3).81,62 (2007).

Pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas tahun 2005, berdasarkan

harga konstan tahun 2000, sebesar 8 persen. Berpijak pada visi pembangunan

Riau 2020, yaitu: Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan

kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera

85

lahir dan batin di Asia Tenggara tahun 2020 (Perda No.1/ 2004 tentang

Renstra Provinsi Riau 2004-2008 dan Master Plan Riau 2020), Riau tengah

gencar melancarkan gerakan penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan,

dan infrastruktur). Gerakan K2I dijalankan, antara lain, dengan membangun

berbagai kawasan industri (Pelintung, Lubuk Gaung, Buton, Kuala Enok, dan

Tenayan), dan menjadikan Kota Dumai sebagai kawasan free trade zone

(FTZ).

Kota Dumai dirancang menjadi sebuah kota multifungsi menggantikan

peran dan fungsi Batam. Kondisi Sosial Budaya Dari segi sosial budaya, Riau

termasuk daerah dengan tingkat heterogenitas etnis yang tinggi. Selain

penduduk asli (orang Melayu Riau), maka suku bangsa lain yang cukup

dominan di Riau ialah Minangkabau, Jawa, Batak, dan Cina. Pada tahun 2003,

migrasi penduduk yang masuk ke wilayah Provinsi Riau tercatat sejumlah

240.729 orang (5,45 %). Hal ini menyebabkan tingginya laju pertumbuhan

penduduk Riau yaitu 3,65 persen (2000-2004).

Meski tingkat migrasi penduduk cukup tinggi, namun soliditas

masyarakat tampak kuat.Ada dua faktor yang mengikat masyarakat Riau

menjadi relatif solid, Faktor Pertama yaitu kesamaan agama dan kekompakan

diantara tokoh-tokoh masyarakat. Pernyataan visi Riau sebagai Pusat

Kebudayaan Melayu dapat dibaca sebagai: Riau adalah wilayah dengan

penduduk yang hampir seluruhnya beragama Islam. Kesamaan agama ini

merupakan faktor pengikat utama masyarakat secara sosial budaya.

86

Faktor kedua adalah adanya kesamaan pandangan di antara tokoh-

tokoh Masyarakat Riau (3 pilar) dalam merespon aktivitas pemerintahan

sehari-hari. Ketiga pilar tokoh Masyarakat Riau itu ialah tokoh adat (lembaga

adat), tokoh agama (MUI), dan tokoh cendekiawan (antara lain yang

tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau).

Di Kabupaten ini terdapat tiga Sungai besar, yaitu Siak, Rokan, dan

Kampar yang salah satunya bermuara di Selat Malaka. Sungai Kampar

sepanjang 413,5 KM dengan kedalaman rata-rata 7,7 M dan lebar 143 M.

Sungai Siak sepanjang 90 KM dengan kedalaman rata rata 20-30 M.

Disamping itu terdapat lebih kurang seratus sungai yang dapat

menghubungkan satu desa ke desa lainnya.

Kabupaten Rokan Hulu, adalah kabupaten yang baru di resmikan pada

tahun 2000. Daerah yang memisahkan dari kabupaten kampar. Kabupaten

rokan hulu mempunyai dua sungai yang lumayan besar dan membuat asal usul

dari rokan hulu tersebut menurut saya mempunyai ikatan yaitu : sungai rokan

kanan dan kiri.. yang nanti titik temu dari kedua sungai tersebut di Rokan

hulu. Rokan adalah nama sebuah sungai yang membelah Pulau Sumatera

dibagian tengah, bermuara kebagian Utara Pulau tersebut (Selat Malaka).

Daerah ini adalah kawasan Kerajaan Rokan Tua, diketahui keberadaannya

abad ke-13, saat itu tercatat dalam “Negara Kertagama” karangan Prapanca,

yang ditulis pada tahun 1364 M, syair 13 disebutkan ; “Seluruh Pulau

Sumatera (Melayu) telah menjadi daerah yang berada dibawah kekuasaan

Majapahit meliputi: “Rakan” (Rokan).

87

Kabupaten Kampar memiliki 19 kecamatan, sebagai hasil pemekaran

dari 12 kecamatan sebelumnya. Kesembilan belas kecamatan tersebut (beserta

ibu kota kecamatan) adalah:

1. Bangkinang (Ibu Kota Bangkinang)

2. Bangkinang Barat (Ibu Kota Kuok)

3. Bangkinang Seberang (Ibu Kota Muara Uwai)

4. Gunung Sahilan (Ibu Kota Gunung Sahilan)

5. Kampar (Ibu Kota Air Tiris)

6. Kampar Kiri (Ibu Kota Sungai Pagar)

7. Kampar Kiri Hilir (Ibu Kota Gema)

8. Kampar Kiri Hulu (Ibu Kota Lipat Kain)

9. Kampar Timur (Ibu Kota Kampar)

10 Kampar Utara (Ibu Kota Desa Sawah)

11 Perhentian Raja (Ibu Kota Pantai Raja)

12. Rumbio Jaya (Ibu Kota Rumbio)

13. Salo (Ibu Kota Salo)

14. Siak Hulu (Ibu Kota Pandau)

15. Tambang (Ibu Kota Tambang)

16. Tapung (Ibu Kota Petapahan)

17. Tapung Hilir (Ibu Kota Pantai Cermin)

18. Tapung Hulu (Ibu Kota Sinama Nenek)

19. XIII Koto Kampar (Ibu Kota Muara Mahat)

88

Fasilitas dan Infrastruktur Transportasi Transportasi secara umum

dapat diperlancar dengan menggunakan jalan yang sudah ada sepanjang

1.836,48 km yang terdiri dari 459,33 km jalan aspal, 849,85 km jalan kerikil,

dan 527,30 km jalan tanah. Namun, transportasi sungai tetap memegang

peranan penting untuk menghubungkan desa-desa.Transportasi udara untuk

Masyarakat Kampar biasanya melalui Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II di

Pekanbaru, yang berjarak 60 km dari Bangkinang.

Listrik Suplai kebutuhan listrik di Kabupaten Kampar disediakan oleh

PLN cabang Bangkinang dengan 4 mesin diesel dengan menggunakan

pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Koto Panjang dengan kapasitas 114,240

Kwh pada tahun 2001.

Telekomunikasi Layanan telekomunikasi di Kampar disediakan oleh

PT Telkom yang disediakan untuk sambungan lokal dan interlokal, serta

telepon selular.Air Bersih Suplai air bersih didistribusi oleh PDAM Tirta

Kampar.Layanan PDAM ini untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,

industri, perkantoran, sekolah, dan pertokoan. Kapasitas air yang disediakan

oleh PDAM tersebut tercatat sebanyak 971.818 m3 .

Fasilitas Pendukung Lainnya Terdapat beberapa bank komersial yang

beroperasi di Bangkinang dan beberapa kota lainnya, yaitu BRI, BNI, Bank

Riau, dan BPR. Disamping itu terdapat Rumah Sakit Umum dan Swasta di

Bangkinang.97

97 http://www.wikipedia.org. diakses tanggal, 5 Maret 2017, Jam 22.04 wib.