BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmasyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa...

22
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PPK BLUD 2.1.1 Pengertian PPK BLUD Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang dimaksud dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Sedangkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah- kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. 2.1.2 Tujuan dan Azas BLUD Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Pola Keuangan Badan Layanan Umum Daerah bertujuan untuk meningkatkan kualitas

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmasyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPK BLUD

2.1.1 Pengertian PPK BLUD

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang

dimaksud dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di

lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan

mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip

efisiensi dan produktivitas. Sedangkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum Daerah (PPK BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan

fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat

untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan praktek

bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-

kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan

berkesinambungan.

2.1.2 Tujuan dan Azas BLUD

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Pola

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah bertujuan untuk meningkatkan kualitas

7

kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah

dan/atau pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan azas terbentuknya BLUD adalah sebagai

berikut:

1. BLUD beroperasi sebagai perangkat kerja pemerintah daerah untuk tujuan

pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan

praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan

kewenangan yang didelegasikan oleh kepala daerah

2. BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah yang dibentuk

untuk membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah, dengan status hukum

tidak terpisah dari pemerintah daerah

3. Kepala daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan

penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikan kepada BLUD terutama

pada aspek manfaat yang dihasilkan

4. Pejabat pengelola BLUD bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan

pemberian layanan umum yang didelegasikan oleh kepala daerah

5. Dalam pelaksanaan kegiatan, BLUD harus mengutamakan efektivitas dan

efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa

mengutamakan pencarian keuntungan

6. Rencana kerja dari anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLUD disusun

dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan

anggaran serta laporan keuangan dan kinerja pemerintah daerah

7. Dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat,

BLUD diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya.

8

2.1.3 Karakteristik BLUD

BLUD memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan instansi

pemerintah lainnya, yaitu:

1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari

kekayaan negara

2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat

3. Tidak bertujuan untuk mencari laba

4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala

korporasi

5. Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada

instansi induk

6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara

langsung

7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil

8. BLUD bukan sumber pajak.

Selain itu BLUD mempunyai keistimewaan/privilege atau pengecualian dalam

hal fleksibilitas pengelolaan keuangan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan operasional dapat digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan

Anggaran nya tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara.

Namun demikian, seluruh pendapatan tersebut merupakan PNBP, sehingga

wajib dilaporkan dalam laporan Realisasi Anggaran

2. Anggaran belanja BLUD merupakan anggaran fleksibel berdasarkan

kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, atau

dengan kata lain, belanja dapat bertambah atau berkurang dari yang

9

dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang,

setidaknya professional

3. Dalam rangka pengelolaan kas, BLUD menyelenggarakan hal-hal sebagai

berikut: Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; Melakukan

pemungutan pendapatan atau tagihan; Menyimpan kas dan mengelola rekening

bank; Melakukan pembayaran; Mendapatkan sumber dana untuk menutup

defisit jangka pendek; Memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka

pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan

4. BLUD dapat mengelola piutang, sepanjang dikelola dan diselesaikan secara

tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta memberikan

nilai praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan

5. BLUD dapat mengelola utang sepanjang dikelola dan diselesaikan secara

tertib, efisien, eknomis, transparan, dan bertanggung jawab serta memberikan

nilai praktik bisnis yang sehat. Pembayaran kembali utang BLUD merupakan

tanggung jawab BLUD

6. BLUD dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang.

Khusus investasi jangka panjang, harus mendapat persetujuan Menteri

Keuangan/gubernur

7. Pengadaan barang/jasa BLUD yang sumber dananya berasal dari pendapatan

operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama dengan pihak lainnya dapat

dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan.

8. BLUD dapat mengembangkan Kebijakan, Sistem, dan Prosedur Pengelolaan

Keuangan

9. BLUD dapat memperkerjakan tenaga professional non PNS

10

10. Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLUD dapat diberikan

remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme

yang diperlukan.

2.1.4 Persyaratan BLUD

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Satuan Kerja

Pemerintah Daerah (SKPD) atau unit kerja dapat melaksanakan PPK BLUD apabila

telah memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan administratif.

1. Persyaratan substantif terpenuhi apabila tugas dan fungsi SKPD atau unit kerja

bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang

menghasilkan semi barang/jasa publik (quasi-public goods). Pelayanan yang

dimaksud berhubungan dengan:

a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan

kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat;

b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan

perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau

c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau

pelayanan kepada masyarakat.

2. Persyaratan teknis terpenuhi apabila:

a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan

ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD atas rekomendasi sekretaris

daerah untuk SKPD atau unit kerja;

b. Kinerja keuangan SKPD atau unit kerja yang sehat

11

3. Persyaratan administratif terpenuhi apabila SKPD atau unit kerja membuat dan

menyampaikan dokumen yang meliputi:

a. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,

keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;

b. Pola tata kelola;

c. Rencana strategis bisnis;

d. Standar pelayanan minimal;

e. Laporan keuangan pokok/prognosa laporan keuangan; dan

f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara

independen

2.2 Evaluasi

2.2.1 Pengertian Evaluasi

Menurut Samsul Hadi dkk (2011) evaluasi merupakan proses mengumpulkan

informasi mengenai suatu objek, menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan

kriteria, standar, dan indikator. Menurut United Nations Development Programe

(2009) dalam buku Handbook on Planning, Monitoring, and Evaluating for

Development Results evaluasi adalah suatu pengukuran secara bebas dan teliti baik

terhadap aktivitas yang telah selesai maupun yang masih berjalan untuk menentukan

sejauh mana tujuan aktivitas tersebut telah tercapai dan berkontribusi dalam

pengambilan keputusan. Objek evaluasi dapat berupa kebijakan, program, aktivitas,

proyek, strategi, sektor, maupun organisasi.

Evaluasi merupakan pemeriksaan yang bersifat teknis. Kegiatan ini bertujuan

untuk mengetahui dan mengukur kemajuan atau pencapaian hasil dari suatu kegiatan

atau program yang telah dilakukan dan dibandingkan dengan sasaran yang

12

direncanakan sebelumnya. Dengan melakukan evaluasi manajer atau pimpinan dapat

mengetahui kinerja program, tujuan mana saja yang berhasil dicapai dan tujuan yang

belum tercapai sesuai dengan data-data yang terkumpul. Dengan begitu manajer atau

pimpinan dapat melakukan perbaikan baik terhadap perencanaan maupun pelaksanaan

program. Melalui data dan fakta yang ada evaluasi dapat digunakan oleh manajer

untuk membuat keputusan dan perencanaan strategis demi keberlangsungan program

di masa mendatang (Wholey et al, 2010).

2.2.2 Tujuan Evaluasi

Menurut Subarsono (2009) evaluasi memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat kinerja (efektivitas) suatu kebijakan. Melalui evaluasi

dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui

berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan

untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun

negatif.

5. Untuk mengetahui adanya penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk

mengetahui adanya penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara

membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan

akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan

ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

13

2.2.3 Jenis Evaluasi

Menurut Azwar (2010) jenis evaluasi terdiri dari evaluasi formatif, evaluasi

proses, evaluasi sumatif, evaluasi dampak program, dan evaluasi hasil.

1. Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan pada tahap pengembangan

program atau sebelum program dimulai supaya lebih sesuai dengan situasi dan

kondisi sasaran program.

2. Evaluasi Proses, yaitu evaluasi yang dilaksanakan pada saat program

berlangsung sehingga dapat memberikan gambaran tentang pelaksanaan

program dan memastikan program berjalan sesuai dengan perencanaan.

3. Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai efektivitas

suatu program dalam kurun waktu tertentu setelah program berjalan.

4. Evaluasi Dampak Program, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untu menilai

secara keseluruhan efektivitas program dalam mencapai sasaran.

5. Evaluasi Hasil, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai perubahan-

perubahan yang dihasilkan oleh suatu program atau pengaruh program

terhadap sasaran.

Berdasarkan ruang lingkupnya evaluasi dibedakan menjadi empat kelompok

(Azwar, 2010), yaitu:

1. Evaluasi terhadap masukan (input), yaitu mencakup pemanfaatan sumber daya

baik dana, tenaga, sarana prasarana, dan sumber daya lainnya.

2. Evaluasi terhadap proses (process), yaitu mencakup pelaksanaan program

mulai dari perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi.

3. Evaluasi terhadap keluaran (output), yaitu mencakup hasil yang dicapai

program.

14

4. Evaluasi terhadap dampak (impact), yaitu mencakup pengaruh yang timbul

akibat adanya program.

2.2.4 Program Logic Model

Program logic model adalah cara sistematis dan visual yang menggambarkan

dan memberikan pengertian terhadap hubungan antara sumber daya yang digunakan

dalam program, aktivitas yang direncanakan, dan perubahan-perubahan atau hasil

yang ingin dicapai (W.K. Kellogg Foundation, 2004). Logic model merupakan alat

yang berfungsi untuk perencanaan, manajemen, dan evaluasi suatu program.

Gambar 2.1 Logic Model Dasar (W.K. Kellogg Foundation)

Yang termasuk dalam input pada logic model tersebut adalah SDM, keuangan,

organisasi, sumber daya lain yang diperlukan untuk mengimplementasikan program.

Yang dimaksud dengan proses atau aktivitas program adalah hal-hal yang dilakukan

terhadap input. Hasil yang diharapkan suatu program terbagi menjadi tiga yaitu output,

outcome, dan impact. Output adalah hasil langsung dari aktivitas program. Outcome

adalah perubahan spesifik terhadap sasaran program. Outcome sendiri dibedakan

menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Outcome jangka pendek dicapai dalam

jangka waktu 1-3 tahun, sedangkan outcome jangka panjang dicapai dalam jangka

waktu 4-6 tahun. Impact adalah perubahan fundamental pada organisasi, komunitas

15

maupun sistem sebagai hasil dari aktivitas program selama 7-10 tahun (W.K. Kellogg

Foundation, 2004).

Dalam evaluasi logic model dapat digunakan sebagai framework perencanaan

evaluasi. Logic model yang baik dan jelas dapat mengilustrasikan tujuan dan isi dari

suatu program dan memudahkan evaluator untuk mengembangkan pertanyaan-

pertanyaan evaluasi sehingga didapatkan hasil evaluasi yang efektif (W.K. Kellogg

Foundation, 2004). Dalam evaluasi logic model dasar terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu konteks, implementasi, dan hasil (termasuk output, outcome, dan impact). Yang

termasuk konteks adalah hal-hal yang berpengaruh terhadap implementasi program

yaitu input. Evaluasi pada bagian ini dapat menjawab kelebihan dan kekurangan

program serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan atau

ketidakberhasilan program. Evaluasi pada bagian implementasi dapat menjawab

proses atau aktivitas mana yang telah atau belum dilaksanakan sesuai dengan

perencanaan serta menjawab hal apa saja yang terjadi dan bagaimana hal tersebut

terjadi saat program berlangsung. Sedangkan evaluasi pada bagian hasil menjawab

perubahan yang terjadi pada sasaran sebagai hasil implementasi program. Biasanya

hasil evaluasi pada bagian hasil tersebut menjawab efektivitas aktivitas program dalam

mencapai ukuran atau kepuasan tertentu sesuai target program (W.K. Kellogg

Foundation, 2004).

2.3 Penilaian Kinerja Rumah Sakit BLUD

Menurut Mahsun (dalam Gusnardi & Azizah, 2013) kinerja merupakan

gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan

dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam

strategic planning suatu organisasi. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam

16

Negeri Nomor 13 Tahun 2006, kinerja adalah keluaran atau hasil dari

kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubung dengan penggunaan

anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Kinerja menekankan pada

sesuatu yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan.

Menurut Hansen & Mowen (2006) penilaian kinerja organisasi tidak hanya

menilai suatu keluaran aktivitas dari sisi keuangan saja namun juga dari sisi non

keuangan. Penilaian ini dirancang untuk menilai seberapa baik aktivitas yang

dikerjakan dan hasil yang dicapai. Penilaian juga dirancang untuk mengetahui apakah

terjadi perbaikan yang konstan. Begitu juga dengan penilaian kinerja rumah sakit

BLUD. Ukuran kinerja yang digunakan tidak hanya dari aspek keuangan melainkan

juga dari aspek non keuangan yang terdiri dari perspektif pelanggan, perspektif proses

internal pelayanan, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Permendagri

Nomor 61 Tahun 2007).

Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Purnamanita dkk (2012) dan

Wijayanti (2012) dalam analisis kinerja, pengukuran kinerja rumah sakit dilakukan

dengan mengukur empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan,

perspektif proses internal pelayanan, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.

2.3.1 Perspektif Keuangan

Kinerja perspektif keuangan diukur berdasarkan laporan keuangan. Sebelum

berstatus Badan Layanan Umum Daerah, laporan keuangan Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP dibuat

berdasarkan cash basis. Sistem cash basis mengakui pendapatan ketika uangnya sudah

benar-benar diterima atau dikeluarkan. Setelah mendapatkan status BLUD laporan

dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sesuai dengan Peraturan

17

Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan. Berbeda dengan SAP, SAK dibuat berdasarkan sistem accrual basis yang

mengakui pendapatan ketika transaksi terjadi, meskipun uang belum diterima atau

dikeluarkan (Armen & Azwar, 2013). Laporan berdasarkan SAP terdiri dari neraca

dan laporan realisasi anggaran. Sedangkan laporan berdasarkan SAK terdiri dari

neraca, laporan aktivitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.

Penilaian kinerja keuangan rumah sakit BLU diatur dalam Peraturan Direktur

Jenderal Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja

Keuangan Satuan Kerja Badan Layanan Umum. Penilaian kinerja keuangan satuan

kerja BLU terdiri dari dua aspek yaitu aspek keuangan dan aspek kepatuhan

pengelolaan keuangan BLU. Aspek keuangan dihitung dengan menggunakan dua rasio

yaitu rasio keuangan dan rasio pendapatan PNBP terhadap biaya operasional. Rasio

keuangan yang digunakan dalam penilaian kinerja keuangan satuan kerja BLU adalah

rasio kas (cash ratio), rasio lancar (current ratio), periode penagihan piutang

(collection period), perputaran asset tetap (fixed asset turnover), imbalan atas aktiva

tetap (return on asset), dan imbalan ekuitas (return on equity) (Peraturan Direktur

Jenderal Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012).

Rasio keuangan menurut James C Van Horne (dalam Kasmir, 2011)

merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dengan

membandingkan angka yang satu dengan yang lainnya. Analisis rasio keuangan

merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan

atau antar laporan keuangan. Dengan melakukan analisis rasio keuangan maka dapat

disimpulkan posisi keuangan pada periode tertentu sehingga dapat diketahui apakah

kinerja manajemen dalam suatu periode telah mencapai target yang ditetapkan

(Kasmir, 2011).

18

Rasio keuangan yang biasa digunakan antara lain rasio likuiditas, rasio

solvabilitas, rasio aktivitas, dan rasio rentabilitas.

1. Rasio Likuiditas

Menurut Fred Weston (dalam Kasmir, 2011) rasio likuiditas menggambarkan

kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Rasio ini

dihitung dengan membandingkan total aktiva lancar dengan total pasiva lancar (utang

jangka pendek). Pada umumnya standar likuiditas yang baik adalah 200% atau 2:1.

Dengan kata lain jika rumah sakit mempunyai kewajiban jangka pendek sebesar Rp

100.000,00 maka total aktiva lancar yang harus dimiliki rumah sakit adalah Rp

200.000,00 (Kasmir, 2011). Jenis rasio likuiditas yang biasa digunakan adalah rasio

kas (cash ratio) dan rasio lancar (current ratio) yang dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

π‘…π‘Žπ‘ π‘–π‘œ π‘˜π‘Žπ‘  = πΎπ‘Žπ‘  π‘‘π‘Žπ‘› π‘ π‘’π‘‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Ž π‘˜π‘Žπ‘ 

π‘˜π‘’π‘€π‘Žπ‘—π‘–π‘π‘Žπ‘› π‘—π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Ž π‘π‘’π‘›π‘‘π‘’π‘˜ π‘₯ 100%

Perhitungan rasio kas digunakan untuk mengetahui seberapa besar uang yang

benar-benar siap untuk memenuhi kewajiban jangka pendek, sehingga digunakan kas

dan setara kas sebagai nemurator karena kas dan setara kas dapat diambil setiap saat.

Persentase rasio kas yang baik adalah antara 300% - 360% (Perdirjen Perbendaharaan

36/PB/2012). Semakin kecil rasio kas maka kinerja keuangan rumah sakit dapat

dikatakan tidak baik karena akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.

Namun semakin besar rasio kas juga menunjukkan kinerja keuangan yang tidak baik.

Jika terlalu banyak menyimpan dana dalam bentuk kas rumah sakit dinilai tidak

produktif karena dengan dana tersebut rumah sakit mempunyai kesempatan untuk

memperoleh pendapatan lebih dengan melakukan investasi. Sehingga jika terlalu

banyak menyimpan dana dalam kas maka rumah sakit dapat dikatakan telah

19

kehilangan kesempatan untuk mempunyai pendapatan lebih atau tidak produktif dalam

mengelola keuangan (Armen & Azwar, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Wildana dkk (2012) menunjukkan bahwa RS

Dr Tadjuddin Chalid Makassar menganggap investasi sangat penting dilakukan demi

meningkatkan pendapatan rumah sakit. RS Dr Tadjuddin Chalid telah melaksanakan

kegiatan investasi setiap tahunnya baik dalam bentuk jangka pendek maupun jangka

panjang. Disisi lain penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional

Bukittinggi menunjukkan bahwa rumah sakit masih ragu untuk menjalankan

fleksibilitasnya sehingga belum melaksanakan investasi (Meidyawati, 2011).

2. Rasio Solvabilitas

Rasio solvabilitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan

dalam memenuhi seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Rasio ini merupakan perbandingan sejauh mana aktiva (harta) didanai oleh utang atau

kewajiban. Dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya, rumah sakit membutuhkan

dana baik dari modal sendiri maupun dari utang atau pinjaman. Untuk menghitung

perbandingan seberapa besar rumah sakit menggunakan dana pinjaman dalam

memenuhi kebutuhannya maka dilakukanlah analisis rasio solvabilitas (Kasmir,

2011). Salah satu rasio solvabilitas yang sering digunakan adalah perbandingan antara

utang terhadap modal sendiri (ekuitas) yang dimiliki. Rasio ini disebut Debt to Equity

Ratio, yang dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝐷𝑒𝑏𝑑 π‘‘π‘œ πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦ π‘…π‘Žπ‘‘π‘–π‘œ = π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘˜π‘’π‘€π‘Žπ‘—π‘–π‘π‘Žπ‘›

π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘’π‘˜π‘’π‘–π‘‘π‘Žπ‘  π‘₯ 100%

Perhitungan rasio tersebut akan menunjukkan seberapa besar pengaruh utang

dalam pengelolaan rumah sakit. Semakin besar rasio utang terhadap ekuitas maka

pendanaan dengan utang semakin besar (Kasmir, 2011). Penelitian yang dilakukan

20

oleh Wijayanti (2012) di RSUD Dr Iskak Tulungagung menyebutkan bahwa

pendanaan oleh utang adalah sebesar 9%. Sedangkan pendanaan oleh utang di RSUD

Moewardi Surakarta adalah sebesar 3% (Hartati, 2012). Menurut kedua penelitian

tersebut pendanaan oleh utang maksimal adalah 40%-50%.

3. Rasio Aktivitas

Rasio aktivitas adalah rasio yang mengukur tingkat efisiensi penggunaan

sumber daya atau menilai kemampuan organisasi dalam melaksanakan aktivitas

sehari-hari. Rasio ini diukur untuk mengetahui apakah rumah sakit dapat mengelola

asset yang dimiliki secara efisien (Kasmir, 2011). Salah satu rasio aktivitas yang paling

umum dan yang digunakan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan adalah

perputaran asset tetap (fixed assets turnover) yang dihitung dengan rumus berikut:

π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘π‘’π‘‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘› π‘Žπ‘ π‘’π‘‘ π‘‘π‘’π‘‘π‘Žπ‘ = π‘ƒπ‘’π‘›π‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘› π‘œπ‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘–π‘œπ‘›π‘Žπ‘™

π‘Žπ‘ π‘’π‘‘ π‘‘π‘’π‘‘π‘Žπ‘ π‘₯ 100%

Yang dimaksud dengan pendapatan operasional adalah pendapatan yang

diperoleh sebagai imbalan atas pelayanan rumah sakit yang diberikan kepada pasien,

hasil kerja sama dengan pihak lain, sewa, jasa lembaga keuangan, dan pendapatan lain

yang tidak berhubungan dengan pelayanan BLUD, dan tidak termasuk pendapatan

APBD dan hibah (Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012). Rasio ini akan

menunjukkan berapa kali dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap berputar dalam

satu periode. Rasio paling baik menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012

adalah 25% atau lebih. Perhitungan rasio perputaran aset tetap di RSUD Moewardi

Surakarta adalah sebesar 0,54 kali atau 54% dalam setahun (Hartati, 2012).

4. Cost Recovery Rate

Rasio ini digunakan untuk mengetahui kemampuan rumah sakit dalam

membiayai seluruh biaya operasional dengan pendapatan BLUD yang diperoleh dari

21

pelayanan yang diberikan. Pada Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012 skor

tertinggi terhadap rasio ini diberikan pada rumah sakit yang memiliki rasio sebesar

75% atau lebih. Hasil penelitian di RS Dr Tadjuddin Chalid terhadap kemampuan

rumah sakit dalam membiayai biaya operasional menunjukkan bahwa rumah sakit

tersebut telah mampu membiayai seluruh kebutuhan dan pengeluaran dengan

pendapatan BLU (Wildana dkk, 2012). Penelitian lain yang dilakukan di Balai

Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Makassar menunjukkan bahwa CRR telah

mencapai 153%. Disisi lain penelitian yang dilakukan di RSUD Saiful Anwar

menunjukkan CRR yang fluktuatif dan cenderung tidak mengalami peningkatan

(Sandiwara, 2014). CRR dapat dihitung dengan rumus berikut:

𝐢𝑅𝑅 = π‘π‘’π‘›π‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘› π΅πΏπ‘ˆ

π‘π‘–π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘œπ‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘–π‘œπ‘›π‘Žπ‘™ π‘₯ 100%

Yang dimaksud dengan pendapatan BLUD adalah pendapatan yang diperoleh

sebagai imbalan atas barang atau jasa yang diserahkan kepada masyarakat termasuk

pendapatan yang diterima dari hibah, hasil kerjasama dengan pihak lain, sewa, jasa

lembaga keuangan, dan lain-lain pendapatan yang tidak berhubungan secara langsung

dengan pelayanan BLUD, tidak termasuk pendapatan yang berasal dari APBD.

Sedangkan biaya operasional adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan

pelayanan kepada masyarakat meliputi biaya pegawai, biaya bahan, biaya jasa

layanan, biaya pemeliharaan, biaya daya dan jasa, dan biaya langsung lainnya yang

berkaitan langsung dengan pelayanan yang diberikan oleh satker BLUD.

2.3.2 Perspektif Pelanggan

Penilaian kinerja dari perspektif pelanggan menurut konsep Balanced

Scorecard dapat dilihat beberapa tolak ukur diantaranya akuisisi pelanggan, retensi

22

pelanggan, kepuasan pelanggan, serta pangsa pasar. Akuisisi pelanggan berkaitan

dengan upaya organisasi dalam menarik pelanggan baru. Retensi pelanggan berkaitan

dengan upaya organisasi dalam mempertahankan pelanggan lama. Tingkat kepuasan

pelanggan menunjukkan seberapa jauh pelanggan puas terhadap pelayanan yang

diberikan. Sedangkan pangsa pasar menggambarkan besar penjualan yang dapat

dilihat dari jumlah pelanggan, jumlah pelayanan, dan unit pelayanan (Kaplan &

Norton, 2000).

Dalam perspektif ini rumah sakit harus memberikan perhatian terhadap

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan harus bernilai

bagi masyarakat artinya memberikan manfaat yang sesuai dengan harapan dan

kebutuhan masyarakat. Perspektif pelanggan ini akan berpengaruh terhadap kinerja

keuangan rumah sakit (Kaplan & Norton, 2000). Dalam organisasi pelayanan publik

seperti rumah sakit kepuasan pelanggan diukur dengan Indeks Kepuasan Masyarakat

(IKM) yang dilakukan dengan metode survei.

Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan

Publik, Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data atau informasi tentang tingkat

kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan

kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur

penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan

kebutuhannya.

Hasil survei IKM yang dilaksanakan di RSUD Nganjuk menunjukkan hasil

pada kategori baik (Puspadewi & Rosidi, 2014). Pengukuran kepuasan pelanggan

dilakukan dengan variabel yang berbeda-beda pada beberapa penelitian. Pada

penelitian yang dilakukan di RSUD Sragen kepuasan pelanggan diukur berdasarkan

23

jumlah keluhan yang masuk ke kotak saran dan jumlah keluhan yang ditangani

(Wijaya, 2012). Pengukuran kepuasan pelanggan menggunakan jumlah keluhan juga

dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang dan menunjukkan adanya penurunan jumlah

keluhan setiap tahunnya (Aurora, 2010). Namun pengukuran ini dinilai kurang efektif

karena hanya sebagian kecil saja pasien yang mengisi kotak saran.

Disisi lain penelitian yang dilakukan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat

(BKMM) Makassar menggunakan dimensi kepuasan yaitu wujud fisik (tangibles),

keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), empati

(emphaty). Hasilnya yang menjadi dimensi kepuasan tertinggi adalah dimensi daya

tanggap dan pelayanan administrasi/kasir jika berdasarkan pelayanan. Sedangkan yang

menjadi dimensi kepuasan terendah adalah dimensi wujud fisik dan pelayanan dokter

(Purnamanita dkk, 2012). Penelitian lain yang menggunakan dimensi kepuasan adalah

penelitian yang dilakukan di RSUD Dr Iskak Tulungagung (Wijayanti, 2012) dan di

RSUD Moewardi Surakarta (Hartati, 2012). Keduanya menunjukkan hasil survei

kepuasan pelanggan yang cukup baik.

2.3.3 Perspektif Proses Internal Layanan

Perspektif ini menggambarkan bagaimana upaya rumah sakit dalam

memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan tertentu bagi masyarakat.

Salah satu fokus pengukuran kinerja dari perspektif ini adalah proses operasi.

Pengukuran kinerja ini lebih menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi, dan

ketepatan waktu pemberian pelayanan kepada pelanggan (Kaplan & Norton, 2000).

Efisiensi proses, konsistensi, dan ketepatan waktu pemberian pelayanan tersebut dapat

dilihat dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit (Rondonuwu &

Trisnantoro, 2013). SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar

24

yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara

minimal, juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimum

yang diberikan oleh Badan Layanan Umum kepada masyarakat (Kemenkes Nomor

129/Menkes/SK/II/2008).

Disisi lain beberapa penelitian terkait pengukuran kinerja perspektif proses

internal layanan rumah sakit melakukan pengukuran menggunakan standar

pengukuran jasa pelayanan kesehatan nasional, yaitu diantaranya Bed Occupancy Rate

(BOR), Length of Stay (LOS), Turn Over Interval (TOI), Bed Turn Over Ratio (BTO),

Gross Death Rate (GDR), dan Net Death Rate (NDR). Namun karena Rumah Sakit

Indera merupakan rumah sakit khusus yang hanya menerapkan rawat inap one day

care maka indikator tersebut tidak dapat menggambarkan kinerja pelayanan Rumah

Sakit Indera. Sehingga pada penelitian ini kinerja perspektif proses internal layanan

hanya dilihat dari pencapaian SPM.

Salah satu penelitian yang juga menggunakan SPM sebagai indikator penilaian

perspektif proses internal layanan adalah penelitian yang dilakukan di Balai Kesehatan

Mata Masyarakat (BKMM) Makassar. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil

bahwa salah satu indikator yang kurang baik adalah response time (Purnamanita dkk,

2012). Khasanah (2010) melakukan pengukuran terhadap waktu tunggu pasien poli

mata di RSU Kabupaten Gresik. Hasilnya waktu tunggu pasien paling ideal adalah 28-

51 menit.

Dalam evaluasi kinerja BLUD yang dilakukan di RSUD Taman Husada Kota

Bontang kinerja layanan diukur dengan menggunakan hasil survei Indeks Kepuasan

Masyarakat (IKM). Selain itu penilaian kinerja layanan juga didukung dengan ada atau

tidaknya pengakuan dari lembaga penjamin mutu terhadap mutu layanan rumah sakit

tersebut (Katuwo, 2014).

25

Pada penelitian yang dilakukan oleh Surianto dan Trisnantoro (2013) mengenai

implementasi BLUD di RSUD Undata Provinsi Sulawesi Tengah, setelah dua tahun

mengimplementasikan kebijakan BLUD ternyata SPM belum dilaksanakan sesuai

dengan standar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain SPM belum

dilaksanakan berdasarkan indikator, SPM belum disosialisasikan ke setiap instalasi,

dan belum adanya komitmen bersama dalam melaksanakan SPM. Padahal setiap

instansi pemerintah yang menerapkan kebijakan BLUD harus menerapkan SPM

sebagai indikator pelayanan minimal yang harus diberikan kepada masyarakat

(Permendagri Nomor 61 Tahun 2007).

2.3.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Menurut Kaplan & Norton (2000) untuk mendorong organisasi menghasilkan

kinerja yang baik dalam ketiga perspektif diatas, pimpinan organisasi harus terus

memperhatikan stafnya dengan cara memantau kesejahteraan staf dan meningkatkan

pengetahuan staf. Hal ini dikarenakan staf merupakan faktor pendorong yang

mendukung tercapainya kinerja yang baik dalam perspektif diatas. Selain itu, rumah

sakit juga perlu mengembangkan sistem dan prosedur memadai untuk mendukung

kinerja staf dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Kaplan & Norton (2000)

organisasi yang memiliki tingkat kepuasan staf yang tinggi cenderung memiliki

tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif

pembelajaran dan pertumbuhan merupakan dasar untuk mencapai tujuan perspektif

lain diatas.

Untuk mengukur perspektif pembelajaran dan pertumbuhan terdapat tiga

indikator yang terdiri dari kepuasan staf, retensi staf, dan kapabilitas staf. Kepuasan

staf diukur melalui survei dengan unsur-unsur yang meliputi keterlibatan dalam

26

pengambilan keputusan, penghargaan terhadap kinerja, akses informasi memadai

untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, dorongan untuk bekerja kreatif, tingkat

dukungan dari fungsi staf, dan kepuasan keseluruhan terhadap organisasi. Tujuan dari

retensi pekerja adalah untuk mempertahankan pekerja selama mungkin. Retensi

pekerja diukur dengan persentase pekerja yang keluar. Untuk mempertahankan

pekerja organisasi dapat meningkatkan kapabilitas pekerja melalui pelatihan.

Pengukuran terhadap tingkat kepuasan staf yang dilakukan di RSUD

Moewardi Surakarta menunjukkan bahwa tingkat kepuasan staf adalah cukup baik

(Hartati, 2012). Pengukuran ini dilakukan dengan variabel kemampuan dan motivasi.

Tingkat kepuasan staf di RSUD Dr Iskak Tulungagung juga menunjukkan hasil yang

cukup baik (Wijayanti, 2012). Variabel yang digunakan untuk mengukur kepuasan staf

tersebut adalah kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap

atasan, kepuasan teman sekerja, dan kepuasan terhadap pekerjaan sendiri. Hasil yang

sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan di RSUD Mojosari yang

menunjukkan bahwa sebagian besar staf sudah merasa puas terhadap organisasi

(Utama & Hariadi, 2012).

Pengukuran kapabilitas staf yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang

dilakukan dengan membandingkan jumlah pelatihan dengan jumlah staf. Hasil

pengukuran tersebut menunjukkan bahwa rasio kapabilitas tersebut menurun setiap

tahunnya dan menunjukkan hasil yang kurang baik (Aurora, 2010). Hasil yang kurang

baik juga didapatkan pada pengukuran yang dilakukan di RSUD Sragen. Hal ini karena

belum semua staf mengikuti pelatihan (Wijaya, 2012).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Katuwo dkk (2014) yang berjudul

β€œEvaluasi Kinerja BLUD RSUD Taman Husada Kota Bontang” menunjukkan hasil

bahwa secara umum produktivitas pegawai telah sesuai dengan beban kerja. Namun

27

masih ada beberapa permasalahan terkait pegawai diantaranya kekurangan pegawai,

penempatan yang belum sesuai dengan kompetensi pegawai, serta komunikasi dan

koordinasi yang belum optimal.

Pegawai sebagai bagian dari organisasi memegang peranan yang penting

dalam pelaksanaan PPK BLUD. Pegawai yang tidak cukup baik dari kuantitas maupun

kualitas akan mengakibatkan pelaksanaan PPK BLUD tidak optimal. Hal ini dapat

dilihat pada penelitian yang dilakukan Putra & Farida (2014) di RSUD Rokan Hulu.

Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa RSUD Rokan Hulu belum melaksanakan

PPK BLUD sesuai dengan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007. Salah satu faktor yang

mempengaruhinya adalah kuantitas dan kualifikasi pegawai yang belum memadai.