BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II SRA... · infiltrasi ke dalam tanah yang dapat...

37
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada suatu sistem resapan. Berbeda dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang/dialirkan ke sungai diteruskan ke laut, dengan cara seperti ini dapat mengalirkan air hujan ke dalam sumur-sumur resapan yang dibuat di halaman rumah. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal (Suripin, 2004). 2.2 Sumur Resapan Menurut Kusnaedi (2007), sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknis konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu, diisi dengan bahan- bahan resapan (pasir, batu, ijuk) secara berlapis sampai rata dengan permukaan tanah yang berfungsi sebagai tempat penampungan dan sekaligus peresapan air ke dalam tanah. Pembuatan bangunan sumur resapan merupakan upaya memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksi air hujan sebagai media infiltrasi ke dalam tanah yang dapat diterapkan di kawasan pemukiman, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas lainnya. Adapun tujuan pembuatan sumur resapan adalah untuk mengurangi erosi, menyimpan dan menaikkan permukaan air tanah dalam rangka penyelamatan sumberdaya air. Manfaat yang diperoleh dari pembuatan sumur resapan adalah: 1. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah atau mengurangi terjadinya banjir dan genangan. 2. Mengurangi erosi dan sedimentasi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II SRA... · infiltrasi ke dalam tanah yang dapat...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada

air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam

tanah dengan jalan menampung air tersebut pada suatu sistem resapan. Berbeda

dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang/dialirkan ke sungai

diteruskan ke laut, dengan cara seperti ini dapat mengalirkan air hujan ke dalam

sumur-sumur resapan yang dibuat di halaman rumah. Sumur resapan ini

merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum

air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan

mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah

menjadi optimal (Suripin, 2004).

2.2 Sumur Resapan

Menurut Kusnaedi (2007), sumur resapan adalah salah satu rekayasa

teknis konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga

menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu, diisi dengan bahan-

bahan resapan (pasir, batu, ijuk) secara berlapis sampai rata dengan permukaan

tanah yang berfungsi sebagai tempat penampungan dan sekaligus peresapan air ke

dalam tanah. Pembuatan bangunan sumur resapan merupakan upaya memberikan

imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksi air hujan sebagai media

infiltrasi ke dalam tanah yang dapat diterapkan di kawasan pemukiman,

pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas lainnya.

Adapun tujuan pembuatan sumur resapan adalah untuk mengurangi erosi,

menyimpan dan menaikkan permukaan air tanah dalam rangka penyelamatan

sumberdaya air. Manfaat yang diperoleh dari pembuatan sumur resapan adalah:

1. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah atau

mengurangi terjadinya banjir dan genangan.

2. Mengurangi erosi dan sedimentasi

6

3. Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah dan

volumenya

4. Mengurangi dan menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan

dengan wilayah pantai

5. Mencegah penurunan tanah (land subsidence) akibatnya pengambilan

air tanah yang berlebihan

6. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah

Secara umum sebagai sasaran lokasi pembuatan sumur resapan agar aliran

permukaan menjadi kecil dan peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi besar,

maka dalam pembuatannya diarahkan pada daerah-daerah yang menpunyai ciri-

ciri sebagai berikut (Kusnaedi, 2007) :

1. Suatu daerah yang mempunyai kondisi lapangan dengan kemiringan >

15%

2. Suatu daerah yang mempunyai tingkat erosi tinggi

3. Suatu daerah yang daya serap air ke dalam tanah tinggi

4. Suatu daerah pemukiman yang mempunyai kepadatan penduduk cukup

tinggi

5. Suatu daerah kawasan industri

Secara teknis sasaran lokasi atau daerah yang dipilih sebagai prioritas

pembuatan sumur resapan ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor

teknis yaitu antara lain topografi, tanah, dan iklim.

a. Topografi

Unsur topografi yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sasaran

lokasi sumur resapan adalah kemiringan lapangan dan ketinggian tempat. Sumur

resapan sedapat mungkin diarahkan pada daerah-daerah atau lokasi dengan

konfigurasi lapangan landai, miring sampai curam atau daerah-daerah dengan

kelerengan rata-rata diatas 15%.

b. Tanah

Faktor tanah yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sasaran

lokasi sumur resapan adalah jenis tanah, kedalaman tanah dan tingkat kerusakan

tanah.

7

1. Jenis tanah

Unsur tanah yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan sumur

resapan adalah faktor erodibilitas tanah.

Berkaitan dengan fungsi atau manfaat sumur resapan sedapat mungkin

dibuat pada daerah yang mempunyai faktor erodibilitas tinggi. Faktor

erodibilitas ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah, bahan organik dan

permeabilitas tanah. Tanah dengan tekstur tanah sedang, agak halus serta

mempunyai struktur granuler sedang dan halus yang pada umunya

permeabilitasnya rendah, sehingga perlu atau cocok untuk dibuat sumur

resapan.

2. Ketebalan Tanah atau solum

Solum tanah yaitu tebal lapisan sampai bahan induk atau padas.

Tanah-tanah yang tererosi berat tanah berbatu umumnya mempunyai

solum tanah yang dangkal. Makin curam lereng, makin dangkal solum

tanahnya. Solum tanah dapat diketahui dengan mengamati profil tanah

pada tebing lereng. Sasaran sumur resapan sedapat mungkin diarahkan

pada daerah-daerah dengan solum tanah atau lapisan tanah yang tebal.

3. Tingkat Kerusakan Tanah

Kerusakan lahan dapat dilihat dari keadaan erosi. Tingkat erosi

diketahui dengan mengenali jenis-jenis erosi yang telah terjadi secara

pandangan mata di lapangan atau dengan perhitungan pengukuran menurut

cara atau pedoman yang berlaku. Tingkat kerusakan tanah dikategorikan

menurut jumlah tanah yang tererosi, yaitu ringan (kurang dari 18

ton/ha/tahun), sedang (kurang dari 25 ton/ha/tahun), dan berat (lebih dari

25 ton/ha/tahun). Tingkat kerusakan lahan dapat didentifikasikan dengan

gejala yang terjadi, yaitu:

* Ringan : bila erosi yang terjadi adalah erosi permukaan

* Sedang : bila erosi yang terjadi adalah erosi alur

* Berat : bila erosi yang terjadi adalah erosi jurang (longsoran)

Daerah dengan tingkat erosi sedang dan berat diprioritaskan untuk

dijadikan sasaran sumur resapan.

8

4. Iklim dan curah hujan

Faktor iklim atau curah hujan yang menjadi pertimbangan dalam

penetapan sasaran sumur resapan adalah faktor erosivitas hujan. Erosivitas

hujan adalah daya erosi hujan pada suatu tempat tertentu, yang ditentukan

berdasarkan curah hujan bulanan, jumlah hari hujan bulanan, bulan harian

maksimal atau intensitas hujan maksimal. Tinggi curah hujan dibedakan

atas:

* Rendah : kurang dari 1500 mm/tahun

* Sedang : 1500 – 2500 mm/tahun

* Tinggi : lebih dari 2500 mm/tahun

Daeah dengan faktor erosivitas atau dengan curah hujan sedang dan tinggi

diprioritaskan untuk dijadikan saran pembuatan sumur resapan

2.3 Curah hujan dan Debit hujan Rencana

Menurut Suripin (2004), hujan adalah kejadian alam yang tidak dapat

diprediksi secara pasti seberapa besar hujan yang akan terjadi pada suatu periode

waktu. Maka dari itu diperlukan adanya analisis hidrologi. Analisis hidrologi

merupakan bidang yang sangat rumit dan kompleks. Hal ini disebabkan oleh

ketidakpastian siklus hidrologi, rekaman data dan kualitas data. Analisis hidrologi

sangat diperlukan dalam suatu perencanaan sumur resapan untuk dapat

menentukan besarnya dimensi sumur resapan yang akan dibangun.

2.3.1 Curah Hujan Rancangan dan Periode Ulangnya

Menurut Suripin (2004), dalam perhitungan hidrologi data curah hujan

mutlak diperlukan terutama menghitung debit banjir rencana karena data debit

untuk pengukuran dengan jangka waktu yang lama belum didapatkan dan

perhitungan ini bisa dilakukan secara empiris dengan matematika.

Hubungan antara kala ulang dengan probabilitas dinyatakan dengan P =

1/T. Untuk menghitung probabilitas dapat ditentukan dengan distribusi data yang

ada (rumus yang digunakan dapat dilihat dalam Tabel 2.1)

9

Tabel 2.1. Rumus Penentuan Kala Ulang T

Rumus T DistribusiT untuk

N=50, m=1

California (1929) N/n 50

Hazen (1930) 2N/2m – 1 Normal 100

Weibull (1939) m/N + 1 Normal dan Pearson III 51

Blom (1958) N + 0,25/m - 0,375 Normal 80,4

Beard (1962) N + 0,4/m - 0,3 Pearson III 72

Gringorten (1963) N + 0,12/m - 0,44 Exponential, Extreme Value I 89,5

Sumber : Metode Perhitungan Debit Banjir, Departemen Pekerjaan Umum (1989)

Apabila data diperkirakan mengikuti distribusi normal, maka besar

kejadian banjir dan probabilitas (1/T) yang digambarkan pada kertas probabilitas

normal akan menghasilkan suatu garis lurus.

Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar tahunan dengan suatu

kemungkinan terjadi yang tertentu, atau hujan dengan suatu kemungkinan periode

ulang tertentu. Metode analisa hujan rancangan tersebut pemilihannya sangat

tergantung dari kesesuaian parameter static dari data yang bersangkutan, atau

dipilih berdasarkan pertimbangan teknis-teknis lainnya. Data curah hujan yang

dipergunakan adalah dari stasiun Sumerta, dan stasiun Sanglah , dengan periode

pengamatan tahun 1995 sampai dengan tahun 2014.

Adapun metode pendekatan untuk menghitung curah hujan rancangan adalah:

(Suripin, 2004)

Metode E. J. Gumbel

Metode E. J. Gumbel dengan persamaan sebagai berikut

X = X + s . K (2-1)

dengan:

X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan

untuk periode ulang T tahun

X = Harga rerata dari data

X =∑

(2-2)

s = Standard Deviasi

s =∑ ( )

(2-3)

10

K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return

periode) dan tipe distribusi frekuensi

Untuk menghitung faktor frekuensi E. J. Gumbel Type I digunakan rumus :

K = (2-4)

dengan:

Yt = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T (th)

= -Ln (-Ln (T - 1)/ T)

Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data n

Sn = Reduced standard deviasi fungsi dari banyaknya data n

Dengan mensubstitusikan ketiga persamaan diatas diperoleh :

X = X + (Yt – Yn) (2-5)

Jika := b = X - Yn

Persamaan diatas menjadi :

X = b + (1/a) . Yt (2-6)

Tabel 2.2. Reduced Variate Sebagai Fungsi Waktu Balik

YT = -ln -ln{(Tr-1)/Tr}

Sumber : Suripin, (2004)

Tr (Tahun) Reduced Variate (Yt)

2 0,3665

5 1,4999

10 2,2504

20 2,9702

25 3,1985

50 3,9019

100 4,6001

11

Metode Log – Person III

Tiga parameter paling penting dalam Log – Person III yaitu :

Harga rata-rata

Simpang Baku

Koefisien Kemencengan

Jika koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi

Log Normal.

Berikut langkah-langkah penggunaan distribusi Log – Person III :

Ubah data kedalam bentuk logaritmis,. X = Log X

Hitung harga rata-rata := ∑(2-7)

Hitung harga simpangan baku := ∑ ( ) ,(2-8)

Hitung koefisien kemencengan := ∑ ( )( )( ) (2-9)

Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T, dengan rumus:

Log = log X + K . s (2-10)

Dimana K adalah variable standard untuk X yang besarnya tergantung

koefisien kemencengan G, dapat dilihat pada Tabel 2.3. , yang

memperlihatkan harga K untuk berbagai nilai kemencengan G.

12

Tabel 2.3. Nilai K untuk Distribusi Log – Person III

Interval kejadian (Recurrence Interval), tahun (periode ulang)

1.0101 1.2500 2 5 10 25 50 100

koef, G Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being axceeded)

99 80 50 20 10 4 2 1

3.0 -0.667 -0.636 -0.396 0.420 1.180 2.278 3.152 4.051

2.8 -0.714 -0.666 -0.384 0.600 1.210 2.275 3.114 3.973

2.6 -0.769 -0.696 -0.368 0.499 1.238 2.267 3.071 2.889

2.4 -0.832 -0.725 -0.351 0.537 1.262 2.256 3.023 3.800

2.2 -0.905 -0.752 -0.330 0.574 1.284 2.240 2.970 3.705

2.0 -0.990 -0.777 -0.307 0.609 1.302 2.219 2.192 3.605

1.8 -1.087 -0.799 -0.282 0.643 1.318 2.193 2.848 3.499

1.6 -1.197 -0.817 -0.254 0.675 1.329 2.163 2.780 3.388

1.4 -1.318 -0.832 -0.225 0.705 1.337 2.128 2.706 3.271

1.2 -1.449 -0.844 -0.195 0.732 1.340 2.087 2.626 3.149

1.0 -1.588 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022

0.8 -1.733 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 0.453 2.891

0.6 -1.880 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.755

0.4 -2.029 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.651

0.2 -2.178 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.472

0.0 -2.326 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.051 2.326

-0.2 -2.472 -0.830 0.033 0.850 1.258 1.680 1.945 2.178

-0.4 -2.615 -0.816 0.066 0.855 1.213 1.606 1.834 2.029

-0.6 -2.755 -0.800 0.099 0.857 1.200 1.528 1.720 1.800

-0.8 -2.891 -0.780 0.132 0.856 1.166 1.448 1.606 1.733

-1.0 -3.022 -0.758 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492 1.588

-1.2 -2.149 -0.732 0.195 0.844 1.086 1.282 1.379 1.449

-1.4 -2.271 -0.705 0.225 0.832 1.041 1.198 1.270 1.318

-1.6 -2.388 -0.675 0.254 0.817 0.994 1.116 1.166 1.197

-1.8 -3.499 -0.643 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087

-2.0 -3.605 -0.609 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990

-2.2 -3.705 -0.574 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.905

-2.4 -3.800 -0.537 0.351 0.725 0.795 0.823 0.830 0.832

-2.6 -3.889 -0.490 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 0.769

13

-2.8 -3.973 -0.469 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 0.714

-3.0 -7.051 -0.420 0.390 0.636 0.660 0.666 0.666 0.667

Sumber : Suripin (2004)

Metode Normal

Sebaran normal banyak digunakan dalam analisis hidrologi, misal

dalam analisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi rata-

rata curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan dan sebagainya. Sebaran

normal atau kurva normal disebut pula sebaran Gauss. Probability Density

Function dari sebaran normal adalah :

- ∞ <X<+ ∞ (2-11)

Dimana :

P(X ) = nilai logaritmik dari X atau log (X)

π = 3,14156

e = 2,71828

X = variabel acak kontinu

µ = rata-rata nilai X

σ = deviasi standar nilai X

Untuk analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistic µ

dan σ . Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ dan grafiknya selalu

di atas sumbu datar X, serta mendekati (berasimtot) sumbu datar X,

dimulai dari X = µ + 3 σ dan X-3 σ . Nilai mean = modus = median.

Nilai X mempunyai batas - ∞ <X<+ ∞ .

Luas dari kurva normal selalu sama dengan satu unit, sehingga :

(2-12)

Untuk menentukan peluang nilai X antara X = x1 dan X = x2 adalah :

(2-13)

Apabila nilai X adalah standar, dengan kata lain nilai rata-rata µ = 0

14

dan deviasi standar σ = 1,0, maka Persamaan 2-13 dapat ditulis

sebagai berikut :

(2-14)

dengan :

(2-15)

Persamaan 2-6i disebut dengan sebaran normal standar (standard normal

distribution).

Tabel 2.4 menunjukkan wilayah luas di bawah kurva normal, yang

merupakan luas dari bentuk kumulatif (cumulative form) dan sebaran

normal.

Tabel 2.4. Wilayah Luas Di bawah Kurva Normal

1 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

-3,4 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003

-3,3 0,0005 0,0005 0,0005 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004

-3,2 0,0007 0,0007 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006 0,0005

-3,1 0,0010 0,0009 0,0009 0,0009 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008

-3,0 0,0013 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 0,0011 0,0011 0,0011

-2,9 0,0019 0,0018 0,0017 0,0017 0,0016 0,0016 0,0015 0,0015

-2,8 0,0026 0,0025 0,0024 0,0023 0,0022 0,0022 0,0021 0,0021

-2,7 0,0036 0,0034 0,0033 0,0032 0,0030 0,0030 0,0029 0,0028

-2,6 0,0047 0,0045 0,0044 0,0043 0,0040 0,0040 0,0039 0,0038

-2,5 0,0062 0,0060 0,0059 0,0057 0,0055 0,0054 0,0052 0,0051

-2,4 0,0082 0,0080 0,0078 0,0075 0,0073 0,0071 0,0069 0,0068

-2,3 0,0107 0,0104 0,0102 0,0099 0,0096 0,0094 0,0094 0,0089

-2,2 0,0139 0,0136 0,0132 0,0129 0,0125 0,0122 0,01119 0,0116

-2,1 0,0179 0,0174 0,0170 0,0166 0,0162 0,0158 0,0154 0,0150

-2,0 0,0228 0,0222 0,0217 0,0212 0,0207 0,0202 0,0197 0,0192

-1,9 0,0287 0,0281 0,0274 0,0268 0,0262 0,0256 0,0250 0,0244

-1,8 0,0359 0,0352 0,0344 0,0336 0,0329 0,0322 0,0314 0,0307

15

-1,7 0,0446 0,0436 0,0427 0,0418 0,0409 0,0401 0,0392 0,0384

-1,6 0,0548 0,0537 0,0526 0,0516 0,0505 0,0495 0,0485 0,0475

-1,5 0,0668 0,0655 0,0643 0,0630 0,0618 0,0606 0,0594 0,0582

-1,4 0,0808 0,0793 0,0778 0,0764 0,0749 0,0735 0,0722 0,0708

-1,3 0,0968 0,0951 0,0934 0,0918 0,0901 0,0885 0,0869 0,0853

-1,2 0,1151 0,1131 0,1112 0,01093 0,1075 0,1056 0,1038 0,1020

-1,1 0,1357 0,1335 0,1314 0,1292 0,1271 0,1251 0,1230 0,1210

-1,0 0,1587 0,1562 0,1539 0,1515 0,1492 0,1469 0,1446 0,1423

-0,9 0,1841 0,1814 0,1788 0,1762 0,1736 0,711 0,1685 0,1660

-0,8 0,2119 0,2090 0,2061 0,2033 0,2005 0,1977 0,1949 0,1922

-0,7 0,2420 0,2389 0,2358 0,2327 0,2296 0,2266 0,2236 0,2206

-0,6 0,2743 0,2709 0,2676 0,2643 0,2611 0,2578 0,2546 0,2514

-0,5 0,3085 0,3050 0,3015 0,2981 0,2946 0,2912 0,2877 0,2843

-0,4 0,3446 0,3409 0,3372 0,3336 0,3300 0,3264 0,3228 0,3192

-0,3 0,3821 0,3783 0,3745 0,3707 0,3669 0,3632 0,3594 0,3557

-0,2 0,4207 0,4168 0,4129 0,4090 0,4052 0,4013 0,3974 0,3936

2,2 0,9861 0,9864 0,9868 0,9871 0,9875 0,9878 0,9891 0,9884

2,3 0,9893 0,9896 0,9896 0,9901 0,999904 0,999906 0,9909 0,9911

2,4 0,9918 0,9920 0,9922 0,9925 0,9927 0,9929 0,9931 0,9932

2,5 0,9938 0,9940 0,9941 0,9943 0,9945 0,9946 0,9948 0,9949

2,6 0,9953 0,9955 0,9956 0,9957 0,9959 0,9960 0,9961 0,9962

2,7 0,9965 0,9966 0,9967 0,9968 0,9969 0,9970 0,9971 0,9972

2,8 0,9974 0,9975 0,9976 0,9977 0,9977 0,9978 0,9979 0,9979

2,9 0,9981 0,9982 0,9982 0,9983 0,9984 0,9984 0,9985 0,9985

3,0 0,9987 0,9987 0,9987 0,9988 0,9988 0,9989 0,9989 0,9989

(sumber : Suripin, 2004)

16

Metode Log Normal

Jika variabel Y = Log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan

mengikuti distribusi Log Normal. PDF (probability density function) untuk

distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan

simpangan bakunya sebagai berikut :( ) = √ − ( )X > 0 (2.16)

Keterangan :

P (X) = peluang Log Normal

X = nilai variat pengamatan

= nilai rata-rata populasi

= deviasi standar nilai variat Y

Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang

logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat

dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan := + (2.17)

Yang dapat didekati dengan := + (2.18)= (2.19)

Keterangan:

YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-

tahunan

Y = nilai rata-rata hitung variat

S = deviasi standar nilai variat

KT = factor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang dan tipe modal matematik distribusi peluang yang

digunakan untuk analisis peluang.

Tabel 2.5. Standard Variable (Kt) untuk Metode Sebaran Log Normal

T

(Tahun)Kt

T

(Tahun)Kt

T

(Tahun)Kt

1 -1.86 20 1.89 90 3.34

2 -0.22 25 2.1 100 3.45

17

3 0.17 30 2.27 110 3.53

4 0.44 35 2.41 120 3.62

5 0.64 40 2.54 130 3.7

6 0.81 45 2.65 140 3.77

7 0.95 50 2.75 150 3.84

8 1.06 55 2.86 160 3.91

9 1.17 60 2.93 170 3.97

10 1.26 65 3.02 180 4.03

11 1.35 70 3.08 190 4.09

12 1.43 75 3.6 200 4.14

13 1.5 80 3.21 221 4.24

( Sumber : Soemarto,1999)

Pemilihan Distribusi Frekuensi

Penentuan jenis distribusi frekuensi diperlukan untuk mengetahui suatu

rangkaian data cocok untuk suatu sebaran tertentu dan tidak cocok untuk

sebaran lain. Untuk mengetahui kecocokan terhadap suatu jenis sebaran

tertentu, perlu dikaji terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu :

- Hitung parameter-parameter statistic Cs dan Ck, untuk menentukan

macam analisa frekuensi yang dipakai.

- Koefisien varians (Cv) dihitung dengan persamaan := (2-20)

- Koefisien kepencengan/skewness (Cs) dihitung dengan persamaan := .∑( )( )( ). (2-21)

- Koefisien kepuncakan/curtosis (Ck) dihitung dengan persamaan := .∑( )( )( )( ). (2-22)

Dimana :

n =Jumlah data

X = Rata-rata data hujan (mm)

S = Simpang baku (standard deviasi)

X = Data Hujan (mm)

18

Tabel 2.6. Pemilihan Sebaran Distribusi

No. Sebaran Syarat

1. Normal Cs = 0

2. Log Normal Cs = 3Cv

3. GumbelCs = 1,1396

Ck = 5,4002

4. Bila tidak ada yang memenuhi syarat digunakan sebaran Log-Person type III

Sumber : Triatmodjo, 2008

Uji kecocokan Distribusi Frekuensi

Pengujian menggunakan 2 metode, yaitu :

1. Uji Chi-kuadrat

2. Uji Smirnov-Kolmogorov

1. Uji Chi-kuadrat

Langkah-langkah penyelesaian:

Diketahui banyaknya jumlah data (n)

Tingkat kesalahan yang diambil (a) sebesar 5%

Menentukan jumlah kelas distibusi dengan menggunakan rumus :

K = 1 + 3,332 log n (2-23)

Tentukan lebar kelas interval dengan rumus:( )(2-24)

Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, yang dapat

dihitung dengan rumus := ∑ ( )(2-25)

dimana :

h2 = Parameter chi-kuadrat terhitung

G = Jumlah sub kelompok

Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i

Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i

K = Jumah kelas

19

N = Jumlah data

Derajat bebas (number of degrees of freedom)

V = K – h – 1 (2-26)

Dimana : h = jumlah parameter = 2

Interprestasi hasil uji adalah sebagai berikut :

a. Apabila peluang lebih lama dari 5%, maka persamaan distribusi yang

digunakan dapat diterima.

b. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang

digunakan tidak dapat diterima.

c. Apabila peluang berada diantara 1-5%, maka tidak mungkin mengambil

keputusan, diperlukan tambahan data.

Peluang untuk mencapai h2 sama atau lebih besar dari nilai chi-kuadrat

sebenarnya ( 2) dapat dilihat pada tabel 2.7

Syarat agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima yaitu harga h2 <

2

Tabel 2.7 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi-Kuadrat

dk(α) derajat kepercayaan

0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005

1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879

2 0.0100 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.879

3 0.072 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838

4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.448 11.143 13.277 14.860

5 0.421 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750

6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548

7 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278

8 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955

9 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589

10 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188

11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.920 24.725 26.757

12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.712 28.300

13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.891

14 4.075 4.660 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319

15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801

20

16 5.142 5.821 6.908 7.962 26.269 28.845 32.000 34.267

17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718

18 6.265 7.015 8.231 9.390 28.869 31.526 34.805 37.156

19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582

20 8.034 8.260 9.591 10.851 31.410 34.170 37.566 39.997

21 8.643 8.897 10.238 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401

22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.796

23 9.260 10.196 11.698 13.091 36.172 38.076 41.638 44.181

24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.980 45.558

25 10.250 11.524 13.120 14.611 37.652 40.464 44.314 46.928

26 11.160 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 48.290

27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.936 49.645

Sumber: Suripin, 2004

2. Uji Smirnov-Kolmogorov

Langkah-langkah penyelesaian:

- Urutkan data curah hujan dari kecil ke besar (atau sebaliknya)

- Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut:= x 100% (2-26)

dimana:

p = Probabilitas

m = Nomor urut data yang telah disusun

n = Jumlah data

- Plot pada Xi dan Probabilitas

- Plot persamaan analisis frekuensi yang sesuai

Pengujian ini digunakan untuk membandingkan peluang yang paling

maksimum antara distribusi pengamatan dan teoritisnya, dengan

persamaan sebagai berikut:

Δmax = Pe - Pt (2-27)

dimana:

Δmax = selisih maksimum antara peluang empiris dan peluang teoritis

Pe = peluang empiris/pengamatan

Pt = peluang teoritis

21

- Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan harga

Δα dari Tabel 2.8

Syarat agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima yaitu harga

Δmax<Δα

Tabel 2.8. Nilai Kritis Δα untuk Uji Smirnov-Kolmogorov

NDerajat Kepercayaan, α

0,20 0,10 0,05 0,01

5 0,45 0,51 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

15 0,27 0,30 0,34 0,40

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

30 0,19 0,22 0,24 0,29

35 0,18 0,20 0,23 0,27

40 0,17 0,19 0,21 0,25

45 0,16 0,18 0,20 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

N > 50, , , , , , , ,

Sumber : Suripin, 2004

A. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan didefinisikan sebagai intensitas curah hujan rata-rata

yang diasumsikan jatuh seragam di atas daerah tangkapan hujan untuk

menentukan durasi dan frekuensi (Interval rata-rata periode ulang), dan satuan

yang biasa digunakan untuk menyatakan intensitas curah hujan adalah mm/jam.

Pada daerah tangkapan hujan yang kecil, besarnya durasi tergantung pada

hubungannya dengan waktu konsentrasi atau lamanya aliran dari daerah

tangkapan hujan ke saluran keluar (outlet). Sedangkan untuk daerah tangkapan

hujan yang lebih besar, digunakan pola aliran sementara agar intensitas curah

hujan berubah-ubah selama periode yang berbeda dari durasi hujan. Untuk daerah

tangkapan hujan terbesar unsur-unsur di area digunakan untuk mendapat batas

intensitas curah hujan, agar didapat curah hujan aktual yang tidak seragam di atas

daerah tangkapan.

22

Untuk menentukan intensitas curah hujan dan durasinya dapat digunakan

rumus diantaranya: Intensitas Curah Hujan Rata-Rata, Mononobe, Talbot,

Sherman dan Ishiguro, dijelaskan sebagai berikut (Suripin 2004):

a. Intensitas Curah Hujan Rata-Rata= (2-28)

dimana:

I = intensitas hujan (mm/jam)

D = durasi hujan (jam)

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

b. Rumus Mononobe= /(2-29)

dimana:

I = intensitas hujan (mm/jam)

t = waktu curah hujan (jam)

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

c. Rumus Talbot= (2-30)

dimana:= ∑[ . ]. ∑ ∑ . .∑[ ]∑[ ] [∑ ] (2-31)= ∑ . ∑[ . ] .∑ .∑[ ] [∑ ] (2-32)

d. Rumus Sherman= (2-33)

dimana:log = ∑ .∑[ ] ∑[ ] ∑.∑[ ] ∑[ ] (2-34)= ∑ . ∑ .∑[ . ].∑[ ] ∑[ ] (2-35)

e. Rumus Ishiguro= √ (2-36)

dimana:

23

= ∑ √ ∑ ∑ √ ∑.∑[ ] [∑ ] (2-37)= ∑ .∑ .√ .∑ .√.∑[ ] [∑ ] (2-38)

dengan:

I = intensitas hujan (mm/jam)

t = waktu curah hujan (menit)

a,b,n = konstanta

N = jumlah data

B. Intensity Duration Frequency (IDF)

Intensity Duration Frequency (IDF) adalah hubungan antara intensitas

curah hujan, lama hujan (durasi dan frekuensi periode ulang) curah hujan. Dalam

suatu catchment area dapat dibuat kurva IDF sesuai dengan kondisi curah hujan

setempat. IDF ini biasanya disajikan dalam bentuk grafik dimana lama hujan

(durasi) di plot pada sumbu horizontal (absis) dan intensitas curah hujan pada

sumbu vertikal (ordinat), sedangkan untuk frekuensi dibuat serial grafik yang

setiap grafik menunjukan periode ulang (frekuensi) tertentu. Grafik IDF ini sangat

perlu terutama dalam menentukan curah hujan rencana dan debit banjir rencana

pada perencanaan drainase perkotaan. (Triatmodjo, 2008)

2.3.2 Koefisien Aliran Limpasan

Koefisien aliran limpasan adalah rasio perbandingan jumlah air yang

melimpas dengan jumlah hujan. Biasanya berkisar antara 0,2-0,8 dengan

memperhitungkan beberapa faktor seperti topografi dan tata guna lahan

berdasarkan table 2.9. besarnya koefisien pengaliran juga dipengaruhi kala ulang

hujan dan intensitas.

Tabel 2.9. Koefisien Aliran Limpasan untuk Berbagai Permukaan dan Kala Ulang

Berdasarkan Keadaan Permukaan C

Jalan Beraspal 0,70-0,90

Kerikil 0,30-0,70

Bahu Jalan dan Lereng Tanah Berbutir Halus 0,40-0,60

Tanah Berbutir Kasar 0,10-0,30

Batuan Keras 0,70-0,80

24

Batuan Lunak 0,50-0,70

Tanah Kepasiran yang Ditutupi Kemiringan 0 - 2% 0,05-0,10

Rerumputan Kemiringan 2 - 7% 0,10-0,15

Kemiringan 7% 0,15-0,20

Tanah Kohesif yang Ditutupi Kemiringan 0 - 2% 0,13-0,17

Rerumputan Kemiringan 2 - 7% 0,16-0,22

Kemiringan 7% 0,25-0,35

Atap 0,75-0,95

Lapangan Parkir 0,20-0,40

Taman dengan Rerumputan 0,10-0,25

Daerah Pegunungan Landai 0,30

Daerah Pegunungan Terjal 0,50

Sawah 0,70-0,80

Ladang 0,10-0,30

Berdasarkan Tata Guna Lahan

Daerah Perdagangan Daerah Pertokoan 0,70-0,95

Daerah sekitar Pertokoan 0,50-0,70

Daerah Industri Less Congested Area 0,50-0,80

Congested Area 0,60-0,90

Daerah Pemukiman Daerah permukiman dengan parkir sempit 0,65-0,80

Perumahan 0,50-0,70

Daerah permukiman dengan taman dan parkir 0,30-0,50

Daerah Hijau Taman dan Ladang 0,10-0,25

Lapangan Atletik 0,20-0,35

Sawah dan Hutan 0,10-0,30

Sumber : Suripin (2004)

Bila kondisi permukaan atap, halaman dan jalan aspal berbeda, maka

koefisien pengaliran akan berbeda pula. Koefisien pengaliran rerata dicari dengan

persamaan (Suripin 2004) := ∑∑ = . . .(2-39)

dimana:

Crerata = koefisien pengaliran rerata

Ca = koefisien pengaliran Atap

Ch = koefisien pengaliran halaman

25

Cj = koefisien pengaliran jalan aspal

Aa = luas badan atap (m2)

Ah = luas halaman (m2)

2.3.3 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi merupakan lama waktu yang diperlukan untuk

mencapai titik pengamatan oleh hujan yang jatuh ditempat terjauh dari titik

pengamatan.

Waktu konsentrasi (tc) untuk saluran drainase perkotaan terdiri dari waktu

yang diperlukan untuk mengalirkan air melalui permukaan tanah kesaluran

terdekat (tof : time overland flow) dan waktu untuk mengalir didalam salurannya

ke tempat yang diukur (tdf : time detention flow).

Lama waktu konsentrasi sangat bergantung pada ciri-ciri daerah aliran

terutama panjang jarak yang ditempuh air hujan yang jatuh ditempat terjauh dari

titik pengamatan. Untuk daerah aliran yang besar dengan pola drainase yang

komplek aliran airnya dari tempat yang terjauh akan terlambat untuk ikut

menambah besarnya banjir di titik pengamatan. Untuk daerah yang aliran yang

kecil dengan pola drainase yang sederhana, lama waktu konsentrasi bisa sama

dengan lama waktu pengaliran dari tempat yang terjauh. Karena hal inilah rumus

rasional hanya digunakan pada daerah aliran yang kecil (kebanyakan digunakan

untuk perencanaan system drainase perkotaan, lapangan terbang karena luas

daerah antara 40-150 Ha).

Adapun rumus empiris oleh (Kirfich, 1940) yang dipakai untuk

menentukan lama waktu konsentrasi adalah (Suripin, 2004):= , ,(2-40)

dengan:

tc = waktu konsentrasi (jam)

L = panjang saluran utama dari hulu sampai penguras

S = kemiringan rata-rata saluran utama

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakannya menjadi 2

komponen, yaitu (Suripin, 2004) :

26

= 3,28 √ ,(2-41)= (2-42)

tc = tof + tdf (2-43)

dimana:

nd = koefisien retardasi

S = kemiringan lahan

L = panjang lintasan aliran diatas permukaan lahan (m)

Ls = panjang lintasan aliran didalam saluran (m)

V = kecepatan aliran didalam saluran (m/dt)

Tabel 2.10. Nilai Koefisien Retardasi berdasarkan Permukaan

Keadaan Permukaan nd

Beton dan Aspal Beton 0,013

Permukaan yang halus dan tidak kedap air 0,02

Permukaan yang halus dan kedap air 0,10

Padang rumput, ladang atau lapangan parkir

yang kasar0,20

Padang ilalang atau rumput tebal 0,40

Hutan 0,60

Rimba 0,83

Sumber : Suripin (2004)

27

2.3.4 Debit Banjir Rencana

Debit banjir rencana dapat ditentukan dengan beberapa metode. Metode

yang dipakai pada suatu lokasi lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan data.

Adapun metode yang digunakan dalam perencanaan sumur resapan ini adalah

Metode Rasional. Metode Rasional ini umum digunakan dalam memperkirakan

besarnya debit banjir rencana. Metode ini terbilang sangat simple dan mudah

penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran

kecil, yaitu kurang dari 300 Ha (Suripin, 2004). Persamaan matematik metode

Rasional dinyatakan dalam bentuk:

Q = C . I . A (2-44)

Dengan memperhitungkan adanya kehilangan selama pengaliran, maka rumus

tersebut disempurnakan menjadi:

Q = 0,2778 . C . I . A (2-45)

Keterangan:

Q = Laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/detik)

I = Intensitas hujan maksimum selama waktu yang sama dengan lama waktu

konsentrasi (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

C = Koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)

Nilai koefisien pengaliran (C) bila tidak dilakukan pengukuran langsung, maka

akan dapat dipakai perkiraan secara empiris berdasarkan hasil penelitian. Nilai

koefisien pengaliran (C) akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi penutup atap

yang ada.

2.4 Konstruksi Sumur Resapan

Sumur resapan adalah suatu konstruksi berupa lubang yang digali pada

tanah dengan tujuan untuk meresapkan air ke dalam tanah. Air yang diresapkan

ini khususnya dari air hujan (selain yang melimpas sebagai air permukaan)

disamping itu juga berfungsi sebagai tambahan bagi muka air tanah.

28

Sebagai suatu konstruksi yang berfungsi sebagai peresap air ke dalam

tanah, sumur resapan memiliki syarat-syarat yang menjadi pertimbangan dalam

perencanaannya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain :

Mempunyai kedalaman (H) yang cukup, hal ini erat kaitannya dengan

keperluan debit resapan.

Mempunyai bidang luas resap (A) yang cukup, baik pada dinding sumur

maupun pada dasar sumur.

Mempunyai volume tampung (V) yang cukup bagi air yang akan

diresapkan, sehinggga tidak sampai terjadi peluberan air.

Menurut Suripin (2004), pada dasarnya sumur resapan dapat dibuat dari

berbagai macam bahan yang tersedia di lokasi. Yang perlu diperhatikan bahwa

untuk keamanan, sumur resapan perlu dilengkapi dengan dinding.

Bahan-bahan yang diperlukan untuk sumur resapan meliputi :

1) Saluran pemasukan/pengeluaran dapat menggunakan pipa besi, pipa

paralon, buis beton, pipa tanah liat, atau dari pasangan batu.

2) Dinding sumur dapat menggunakan anyaman bamboo, drum bekas, tangki

fiberglass, pasangan batu bata, atau buis beton.

3) Dasar sumur dan sela-sela antara galian tanah dan dinding tempat air

meresap dapat diisi dengan ijuk atau kerikil.

Gambar 2.1 Contoh Konstruksi Sumur Resapan

Sumber : Suripin (2004)

GAMBAR A GAMBAR B

29

Dalam pembuatan sumur resapan harus memperhatikan syarat-syarat

untuk mendapatkan hasil yang optimal, diantaranya adalah :

1) Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang lolos air.

2) Sumur resapan air hujan harus beban kontaminasi/pencemaran limbah.

3) Air yang masuk sumur resapan adalah air hujan.

4) Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya

menampung dari atap dan disalurkan memalui talang.

5) Mempertimbangkan aspek hidrologi, geologi dan hidrologi.

Selain itu, menurut Kusnaedi (2007), dalam pembuatan sumur resapan

perlu diperhitungkan beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor iklim

Faktor yang perlu diperhatikan adalah besarnya curah hujan. Semakin

besar curah hujan di suatu wilayah, berarti semakin besar sumur resapan

yang diperlukan.

2. Faktor kedalaman air tanah

Pada kondisi air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara

besar-besaran. Sebaiknya pada lahan yang muka airnya dangkal, sumur

respan ini kurang efektif dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Terlebih

pada daerah rawa dan pasang surut, sumur resapan kurang efektif.

3. Faktor kondisi tanah

Keadaan tanah sangat berpengaruh pada besar kecilnya daya resap tanah

terhadap air hujan. Sifat fisik tanah yang langsung berpengaruh terhadap

besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tekstur dan pori-pori tanah. Tanah

berpasir dan porus lebih mudah merembeskan air hujan dengan cepat.

Sehingga waktu yang diperlukan air hujan untuk meresapkan lebih cepat

dibandingkan dengan tanah yang kandungan litany tinggi dan lekat.

Hubungan kecepatan infiltrasi (resapan air) dan tekstur tanah dapat dilihat

pada Tabel 2.11

30

Tabel 2.11 Hubungan kecepatan infiltrasi dengan tekstur tanah

Tekstur Tanah Kecepatan Infiltrasi Kriteria

(mm per jam)

Pasir berlempung 22-50 Sangat cepat

Lempung 12,5-25 Cepat

Lempung berdebu 7,5-15 Sedang

Lempung berliat 0,25-2,5 Lambat

Liat <0,5 Sangat Lambat

Sumber : Kusnaedi, 2007

4. Faktor tata guna lahan

Tata guna lahan akan berpengaruh terhadap presentase air yang meresap

ke dalam tanah dengan aliran permukaan. Pada tanah yang banyak tertutup

beton bangunan, air hujan yang mengalir di permukaan tanah akan lebih

besar dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah. Dengan

demikian, di lahan yang penduduknya padat, sumur resapan harus dibuat

lebih banyak dan lebih besar volumenya. Hubungan antar tata gna lahan

dengan daya resap tanah terhadap air air hujan dapat dilihat pada Tabel

2.12

Tabel 2.12 Perbedaan daya resap tanah pada berbagai kondisi permukaan tanah

No Tata Guna Lahan Daya resap tanah terhadap air hujan (%)

1

Daerah hutan, pekarangan lebat,

kebun, padang berumput 80-100

2 Daerah taman kota 75-95

3 Jalan tanah 40-85

4 Jalan aspal, lantai beton 10-15.

5 Daerah dengan bangunan terpencar 30-70

6 Daerah pemukiman agak padat 5-30.

7 Daerah pemukiman padat 10-30.

Sumber : Kusnaedi, 2007

31

2.4.1 Penempatan Sumur Resapan

Menentukan posisi atau tempat yang akan digunakan sumur resapan dibagi

menjadi 2 yaitu:

1. Sistem Komunal

Pemasangan sumur resapan dapat dilakukan dengan model tunggal atau

komunal. Maksud sumur resapan model tunggal adalah satu sumur resapan

digunakan untuk satu rumah, sedangkan yang komunal satu sumur resapan

digunakan secara bersama-sama untuk lebih dari satu rumah. Letak sumur

resapan untuk yang model tunggal biasanya di halaman rumah sedang

yang model komunal dapat dipasang di bahu jalan (Kusnaedi,2007).

2. Sistem Grid

Metode Sistem grid disebut juga metode grid kaku. Pengambilan data

dalam sistem ini dilakukan secara sistematik. Jarak pengamatan dibuat

secara teratur pada jarak tertentu untuk menghasilkan jalur segi empat di

seluruh daerah survei. Pengamatan data dilakukan dengan pola teratur

(interval titik pengamatan berjarak sama pada arah vertikal dan

horizontal). Jarak pengamatan tergantung dari skala peta. Metode sistem

grid sangat cocok untuk sistem intensif dengan skala besar, dimana

penggunaan interpretasi sumur resapan sangat terbatas dan intesitas

pengamatan yang rapat memerlukan ketepatan penempatan titik

pengamatan di lapangan dan pada peta (Rayes, 2007).

32

2.4.2 Mendimensi Sumur Resapan

Menurut Suripin (2004), telah dikembangkan beberapa metode untuk

mendimensi sumur resapan, diantaranya adalah seperti gambar berikut :

(a) = . . . .(b) = . . . .

dimana:

Qo = debit resap (m3/dt)

L = tebal dinding porus sumur resapan (m)

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

R = jari-jari sumur (m)

H = tinggi muka air dalam sumur (m)

(c) = 4. . . . (d) = 2. . . .dimana :

Qo = debit resap (m3/dt)

L = tebal dinding porus sumur resapan (m)

Gambar 2.2 (a) Gambar 2.2 (b)

Gambar 2.2 (c) Gambar 2.2 (d)

33

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

R = jari-jari sumur (m)

H = tinggi muka air dalam sumur (m)

(e) = 4. . . (f) = 5,5 . . .dimana :

Qo = debit resap (m3/dt)

L = tebal dinding porus sumur resapan (m)

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

R = jari-jari sumur (m)

H = tinggi muka air dalam sumur (m)

Gambar 2.2 Debit Resapan pada Sumur dengan Berbagai kondisi

(Bouilliot, 1976; dalam Sunjoto, 1988) dikutip dari (Suripin, 2004)

Gambar 2.2 (e) Gambar 2.2 (f)

34

Tabel 2.13 Faktor Geometrik Sumur

Sumber: Sunjoto (2011)

35

Tabel 2.14 Deskripsi Tentang Sumur

Kondisi Deskripsi

1 Resapan pada tanah porus terletak diantara tanah bersifat kedap air dibagian dasar dan bagian atas dengan dinding porous setinggi L.

2.a Resapan berbentuk bola berdinding porous dengan saluran vertikalkedap air dan seluruhnya berada di tanah yang bersifat porous.

2.b Resapan kubus berdinding porous dengan saluran vertikal kedap airdan seluruhnya berada di tanah yang bersifat porous.

3.a Resapan terletak pada tanah bersifat kedap air di bagian atas dan tanahporous dibagian bawah dengan dasar berbentuk setengah bola

3.b Idem 3.a namun dasar rata

4.a Resapan terletak pada tanah yang seluruhnya porous dengan dindingresapan kedap air dan dasar berbentuk setengah bola.

4.b Idem ditto 4.a namun dasar rata

5.aResapan terletak pada tanah yang kedap air di bagian atas dan porousdibagian bawah dengan dinding sumur permeabel setinggi L dan dasarberbentuk setengah bola

5.b Idem ditto 5.a namun dasar rata

6.aResapan terletak pada tanah yang seluruhnya porus dengan dindingsumur bagian atas impermeabel dan bagian bawah permeabel setinggiL dan dasar berbentuk setengah bola

6.b Idem ditto 6.a namun dasar rata

7.a Resapan terletak pada tanah yang seluruhnya porus dengan seluruhdinding sumur permeabel dan dasar berbentuk setengah bola

7.b Idem ditto 7.a namun dasar rata

Sumber : Sunjoto (2011)

Menurut Sunjoto (1988) dikutip dari (Suripin, 2004), secara teoritis bahwa

volume dan efesiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan

keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke

dalam tanah, dan dapat dinyatakan dalam persaman sebagai berikut:= 1 − (2-46)

Dimana :

H = Tinggi muka air dalam sumur (m)

F = adalah faktor geometric (m)

Q = debit air masuk (m3/dt)

T = waktu pengaliran (detik)

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

R = jari-jari sumur (m)

36

Faktor geometric tergantung pada berbagai keadaan sebagaimana dapat

dilihat pada Gambar 2.2, dan secara umum dapat dinyatakan dalam

persamaan := . . (2-47)

Dimana :

Qo = debit resap

F = faktor geometrik

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

H = tinggi muka air dalam sumur (m)

Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka air

tanah apabila dasar sumur berada dibawah muka air tanah tersebut, dan

diukur dari dasar sumur bila muka air tanah berada dibawah dasar sumur.

Sebaiknya dasar sumur berada pada lapisan tanah dengan permeabilitas

tinggi.

Menurut Pusat Penelitian dan Penembangan Pemukiman,

Departemen Pekerjaan Umum (1990) dikutip dari (Suripin, 2004) telah

menyusun standar tata cara perencanaan teknik sumur resapan air hujan

untuk lahan pekarangan yang dituangkan dalam SK SNI T-06-1990 F.

Metode Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa dimensi atau

jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan

pekarangan ditentukan oleh curah hujan maksimum, permeabilitas tanah

dan luas bidang tanah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut := . . . .. . (2-48)

Dimana :

D = durasi hujan (jam)

I = intensitas hujan (m/jam)

At = luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan

yang diperkeras

k = permeabilitas tanah (m/jam)

P = keliling penampang sumur (m)

As = luas penampang sumur (m2)

H = kedalaman sumur (m)

37

Perencanaan sumur resapan berdasarkan standar PU mengikuti tahapan yang

dijelaskan dalam bagan alir seperti pada Gambar 2.3 :

Gambar 2.3 Bagan alir pembuatan sumur resapan air hujan

Sumber: Suripin (2004)

2.4.3. Pengertian Tanah

Definisi tanah yang dipergunakan oleh seorang insinyur teknik sipil

bersifat kesepakatan dan berbeda degan definisi yang digunakan oleh seorang ahli

geologi, maupun ahli ilmu tanah. Seorang insinyur teknik sipil menganggap tanah

termasuk semua bahan organik dan anorganik, yang ada di atas lapisan batuan

tetap (Das,1998).

Tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan

yang relatif lepas (loose), yang terletak di batuan dasar (bedrock). Ikatan antara

butiran yang relative lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organic, atau

PEMERIKSAAN TINGGIAIR TANAH

≥ 3 m ?ya

PERMEABILITASTANAH

≥ 2 cm/jam ?

PERSYARATAN JARAK

MEMENUHI SYARAT ?

SUMUR RESAPAN AIRHUJAN

SISTEM PENAMPUNGAN AIRHUJAN TERPUSAT

(EMBUNG, WADUK, DLL)

tidak

ya

ya

tidak

tidak

PEMERIKSAAN TINGGIAIR TANAH

≥ 3 m ?ya

38

oksida yang mengendap diantara partikel-partikel. Ruang diantara partikel-

partikel dapat berisi air, udara ataupun keduanya.

Tanah adalah kumpulan butiran mineral alami yang bias dipisahkan oleh

suatu cara mekanik bila agregat termaksud diaduk didalam air. Sedangkan batuan

merupakan agregat mineral yang satu sama lainnya di ikat oleh gaya-gaya kohesif

yang permanen dan kuat.

2.4.4. Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah digunakan untuk mengelompokan tanah-tanah

sesuai dengan perilaku umum dari tanah pada kondisi fisis tertentu. Berikut ini

adalah sistem klasifikasi tanah yang sering digunakan didalam bidang teknik sipil.

(Das, 1998).

1. Sistem klasifikasi tanah Unified.

Sistem klasifikasi tanah yang paling terkenal dikalangan ahli teknik sipil,

adalah klasifikasi tanah sistem unified. Sistem unified membagi tanah dalam 3

kelompok utama, yaitu :

a. Tanah berbutir kasar.

Tanah berbutir kasar adalah tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan pada

ayakan no. 200 (0,075 mm). Tanah berbutir kasar dibagi atas kerikil (G) dan pasir

(S).

b. Tanah berbutir halus.

Tanah berbutir halus adalah tanah yang lebih 50% bahannya lewat ayakan no.

200 (0,075 mm). Tanah butir halus dibagi atas Lanau (M), Lempung (C), serta

lanau dan lempung organik (O).

c. Tanah sangat organis.

Tanah sangat organis (gambut) dapat diidentifikasi secara visual.

2. Sistem klasifikasi tanah AASHTO.

Sistem ini mengklasifikasi tanah kedalam 8 kelompok, A-1 sampai A-8,

dan pada awalnya membutuhkan data – data sebagai berikut :

a. Analisis ukuran butiran.

b. Batas cair dan Batas Plastis

c. Batas susut

39

d. Ekivalen kelembapan lapangan, kadar lembap maksimum

dimana satu tetes air yang dijatuhkan pada suatu permukaan yang kecil

tidak segera diserap oleh permukaan tanah itu.

e. Ekivalen kelembapan sentrifungal, yaitu percobaan untuk

mengukur kapasitas tanah dalam menahan air.

2.4.5. Kedalaman Muka Air Tanah

Sumur resapan dibuat pada awal daerah aliran yang dapat ditentukan

dengan mengukur kedalaman dari permukaan air tanah ke permukaan tanah di

sumur sekitarnya pada musim hujan. Untuk sumur resapan dangkal kedalaman

muka air tanah harus ≥ 3 m dari muka air tanah pada musim kemarau dan ≥ 1,5 m

dari muka air tanah pada musim hujan (Kusnaedi, 2007)

2.4.6. Permeabilitas Tanah

Penentuan besaran koefisien permeabilitas dilakukan dengan pengujian di

laboratorium, yaitu dengan falling head permeability test. Penentuan nilai k

dilakukan dengan mengukur penurunan ketinggian air dari pipa tersebut dalam

jangka waktu tertentu. Dihitung dengan rumus Darcy, yaitu := 2,303 .. (2-49)

Dimana :

a = luas pipa duga

A = luas sampel tanah

L = panjang sampel tanah

ho = tinggi muka air awal

h1 = tinggi muka air setelah t

Menghitung nilai koefisien permeabilitas= ⋯ (2-50)

= ⋯(2-51)

Dimana :

L = tebal total lapisan tanah (m)

40

= Koefisien permeabilitas vertical (m/dt)

= koefisien permeabilitas horizontal (m/dt)

, , …, = koefisien permeabilitas tiap lapisan 1,2,3...,n (m/dt)

, , …, = tebal tanah tiap lapisan 1,2,3...,n (m/dt)

Sedangkan klasifikasi jenis tanah terhadap koefisien permeabilitas oleh

disajikan seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.15 Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah

No Jenis Tanah Koefisien Permeabilitas Tanah (m/dt)

1 Lempung (Clay) < 10-9

2 Lempung berpasir 10-9 – 10-8

3 Lempung berlanau 10-8 – 10-7

4 Lanau (Silt) 10-7 – 10-6

5 Pasir sangat halus 10-6 – 10-5

6 Pasir halus (Sand) 10-5 – 10-4

7 Pasir kasar 10-4 – 10-3

8 Pasir berkelikir 10-3 – 10-2

9 Kerikil > 10-2

Sumber : Verruijt (1970) dikutip dari buku Das (1998)

Permeabilitas tanah yang dapat digunakan untuk sumur resapan dibagi menjadi 3

kelas (Suripin, 2004), yaitu :

1. Permeabilitas tanah sedang (geluh/lanau, 2,0 – 6,5 cm/jam)

2. Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus, 6,5 – 12,5 cm/jam)

3. Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar, lebih besar dari 12,5 cm/jam)

41

Tabel 2.16 Perhitungan jumlah sumur resapan dengan kedalaman 3m denganefesiensi 100%

Keterangan: Sumber : SNI T-06-1990-F

: Tidak dianjurkan, I : 87,0 mm/jam, D : 5 jam

2.4.7. Permeriksaan Jarak

Untuk memberikan hasil yang baik, serta tidak menimbulkan dampak

negative, penempatan sumur resapan harus memperhatikan lingkungan setempat.

Penempatan sumur resapan harus memperhatikan letak septic tank, sumur air

minum, posisi rumah dan jalan umum.

Tabel 2.17 Jarak Minimum Sumur Resapan Terhadap Bangunan

No Jenis bangunan Jarak Minimum dari sumur resapan (m)

1Sumur resapan air hujan/sumur

air bersih3

2 Pondasi bangunan 1

3Bidang resapan/sumur resapan

tangki septik5

Sumber : SNI 03-2453-2002 tentang Cara perencanaan Teknik Sumur Resapan

Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan

NoLuas bidang

tanah (m2)

Jumlah sumur (buah)

Permeabilitas sedang Permeabilitas agak cepat Permeabilitas cepat

Φ 80 cm Φ 140 cm Φ 80 cm Φ 140 cm Φ 80 cm Φ 140 cm

1 20 1 * * * * *

2 30 1 * 1 * * *

3 40 2 1 1 * * *

4 50 2 1 1 * 1 *

5 60 2 1 1 * 1 *

6 70 3 1 2 1 1 *

7 80 3 2 2 1 1 *

8 90 3 2 2 1 2 1

9 100 4 2 2 1 2 1

10 200 8 3 4 2 3 2

11 300 12 5 7 3 4 2

12 400 15 6 9 4 6 3

13 500 19 8 11 5 7 4