BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · adalah pengaturan siklus pergerakan lalu lintas...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · adalah pengaturan siklus pergerakan lalu lintas...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Persimpangan
Persimpangan adalah bagian terpenting dari sistem jaringan jalan, yang
secara umum kapasitas persimpangan dapat dikontrol dengan mengendalikan
volume lalu lintas dalam sistem jaringan jalan. Persimpangan adalah pertemuan
antara 2 (dua) jalan atau lebih, baik sebidang maupun tak sebidang atau titik
jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan saling
berpotongan (Morlok, 1991). Persimpangan merupakan tempat yang rawan
terhadap kecelakaan karena terjadinya konflik antara kendaraan dengan kendaraan
lainnya ataupun antara kendaraan dengan pejalan kaki. Masalah-masalah yang
saling terkait pada persimpangan adalah:
1. Volume dan kapasitas (secara langsung mempengaruhi hambatan)
2. Desain geometrik dan kebebasan pandang
3. Perilaku lalu lintas dan panjang antrian
4. Kecepatan
5. Pengaturan lampu jalan
6. Kecelakaan dan keselamatan
7. Parkir
Pada persimpangan umumnya terdapat empat macam pola dasar pergerakan
lalu lintas kendaraan yang berpotensi menimbulkan konflik, yaitu: Merging
(bergabung dengan jalan utama), Diverging (berpisah arah dari jalan utama),
Weaving (terjadi perpindahan jalur/jalinan), dan Crossing (terjadi perpotongan
dengan kendaraan lain) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Jenis-jenis pergerakanSumber : Departemen P.U. (1997)
5
Persimpangan jalan terdiri dari dua kategori utama yaitu persimpangan
sebidang dan persimpangan tak sebidang (Saodang, 2004).
a. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection)
Yaitu pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang
mempunyai elevasi yang sama. Simpang jalan pada pertemuan sebidang
ini sangat potensial untuk menjadi :
1. Titik pusat konflik lalu lintas, yang saling bertemu
2. Penyebab kemacetan, akibat perubahan kapasitas
3. Tempat terjadinya kecelakaan
4. Konsentrasi kendaraan dan penyebrang jalan
b. Persimpangan tak sebidang (Grade Separated Intersection)
Yaitu persimpangan dimana jalan yang satu dengan yang lainnya tidak
saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara
keduanya. Tujuan dari pembangunan simpang tidak sebidang ini adalah
untuk menghilangkan konflik dan mengurangi volume lalu lintas yang
menggunakan daerah yang digunakan secara bersama-sama (shared
area), mengurangi hambatan, memperbesar kapasitas, menambah
keamanan dan kenyamanan.
2.2 Pengaturan Persimpangan
Pengaturan persimpangan dilihat dari segi pandang untuk kontrol kendaraan
dapat dibedakan menjadi dua (Morlok, 1991) yaitu :
1. Persimpangan tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang
harus memutuskan apakah aman untuk memasuki persimpangan itu.
2. Persimpangan dengan sinyal, dimana persimpangan itu diatur sesuai
sistem dengan tiga aspek lampu yaitu merah, kuning dan hijau.
Kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus dipasang alat pemberi
isyarat lalu lintas (APILL) adalah :
a. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata-rata
diatas 750 kendaraan/jam, terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
b. Waktu tunggu atau hambatan rata-rata kendaraan di persimpangan
melampaui 30 detik.
6
c. Persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam,
terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
d. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
e. Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu
lintas terpadu (Area Traffic Control/ATCS), sehingga setiap
persimpangan yang termasuk didalam daerah yang bersangkutan harus
dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.
f. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.
Syarat-syarat yang disebut diatas tidak baku dan dapat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi setempat.
Pada umumnya sinyal lalu lintas dipergunakan untuk satu atau lebih dari
alasan berikut (Departemen P.U.,1997):
a. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik lalu lintas,
sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan,
bahkan selama kondisi lalu lintas jam puncak.
b. Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan pejalan kaki dari
jalan simpang (kecil) untuk memotong jalan utama.
c. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara
kendaraan-kendaraan dari arah yang berlawanan.
2.3 Pola Pergerakan dan Konflik-konflik pada Simpang
Tujuan utama perencanaan simpang adalah mengurangi konflik antara
kendaraan bermotor serta tidak bermotor dan penyediaan fasilitas yang
memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan terhadap pemakai jalan
yang melalui persimpangan. Terdapat beberapa cara untuk mengurangi konflik
pergerakan lalu lintas pada suatu persimpangan, yaitu
1. Solusi time-sharing
Solusi ini melibatkan pengaturan penggunaan badan jalan untuk masing-
masing arah pergerakan lalu lintas pada setiap periode tertentu. Contohnya
adalah pengaturan siklus pergerakan lalu lintas (Gambar 2.2) pada
persimpangan dengan lampu lalu lintas/signalized intersection (Departemen
P.U., 1997).
7
Gambar 2.2 Contoh siklus pergerakan lalu lintas pada persimpangan empatlengan prioritas belok kanan dengan lampu lalu lintas
Sumber : Departemen P.U. (1997)
2. Solusi space-sharing
Prinsip dari solusi jenis ini adalah dengan merubah konflik pergerakan dari
crossing menjadi jalinan atau weaving (kombinasi diverging dan merging).
Contohnya adalah bundaran lalu lintas (roundabout) seperti pada Gambar
2.3. Prinsip roundabout ini juga bisa diterapkan pada jaringan jalan yaitu
dengan menerapkan larangan belok kanan pada persimpangan. Dengan
adanya larangan belok kanan di suatu persimpangan, maka konflik di
persimpangan dapat dikurangi. Untuk itu, sistem jaringan jalan harus
mampu menampung kebutuhan pengendara yang hendak belok kanan, yakni
dengan melewatkan kendaraan melalui jalan alternatif yang pada akhirnya
menuju pada arah yang dikehendaki (Gambar 2.3). Prinsip ini dikenal
dengan istilah rerouting.
Gambar 2.3 Prinsip rerouting pada jaringan jalanSumber : Departemen P.U. (1997)
Karakteristik persimpangan bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai
berikut (Departemen P.U., 1997):
8
a. Untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang saling
berpotongan dalam pembagian waktu. Hal ini adalah keperluan mutlak bagi
gerakan-gerakan lalu lintas yang datang dari jalan-jalan yang saling
berpotongan (konflik utama).
b. Memisahkan gerakan membelok dari lalu lintas lurus melawan atau
memisahkan gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang
menyebrang (konflik kedua).
Untuk lebih jelasnya data dilihat pada Gambar 2.4 dibawah ini:
Gambar 2.4 Konflik-konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal denganempat lengan
Sumber : Departemen P.U. (1997)
Jika hanya konflik-konflik utama yang dipisahkan, maka kemungkinan
untuk mengatur sinyal lampu lalu lintas hanya dengan dua fase. Masing-masing
sebuah untuk jalan yang berpotongan, metode ini selalu dapat diterapkan jika
gerakan belok kanan dalam suatu persimpangan tidak dilarang, karena pengaturan
dua fase memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian. Maka
pengaturan tersebut disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa lalu
lintas.
Jika pertimbangan keselamatan lalu lintas atau pembatasan kapasitas
memerlukan pemisahan satu atau lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya
fase harus ditambah. Penggunaan lebih dari dua fase biasanya akan menambah
waktu siklus rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antara fase. Meskipun
9
hal ini memberikan suatu keuntungan dari sisi keselamatan lalu lintas pada
umumnya, bukan berarti bahwa kapasitas seluruh dari simpang tersebut akan
berkurang.
Berangkatnya arus bolak-balik selama waktu hijau sangat dipengaruhi oleh
rencana fase yang memperhatikan gerakan belok kanan. Jika arus belok kanan
dari suatu pendekat yang ditinjau dan atau dari arah berlawanan terjadi dalam fase
yang sama dengan arus berangkat lurus dan belok kiri dari pendekat tersebut,
maka arus berangkat tersebut dianggap sebagai terlawan. Jika tidak ada arus belok
kanan dari pendekat tersebut, dan jika arus belok kanan diberangkatkan ketika lalu
lintas dari arah berlawan sedang menghadapi merah, maka arus tersebut dianggap
sebagai terlindung.
Sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas adalah fungsi
dari keadaan geometrik dan tuntutan lalu lintas. Dengan menggunakan sinyal,
perancang dapat mendistribusikan kapasitas jalan kepada berbagai pendekat
melalui alokasi waktu hijau pada tiap pendekat. Sehingga untuk menghitung
kapasitas dan perilaku lalu lintas, pertama-tama perlu ditentukan fase dan waktu
sinyal yang paling sesuai dengan kondisi yang ditinjau.
2.4 Pengendalian Lampu Lalu Lintas
Konflik antara arus lalu lintas dikendalikan dengan isyarat lampu. Konflik
juga dapat dihilangkan dengan melepaskan hanya satu arus lalu lintas, tetapi akan
mengakibatkan hambatan yang besar bagi arus pejalan kaki persimpangan dan
secara keseluruhan mengakibatkan penggunaan persimpangan tidak efektif. Oleh
sebab itu perlu diperhitungkan untuk mengalirkan beberapa arus secara bersamaan
untuk mempertinggi efisiensi penggunaan persimpangan dengan tidak
mengurangi pada aspek keselamatan.
Pengendalian alat pemeberi isyarat lalu lintas dapat dilakukan dengan cara-
cara sebagai berikut (Departemen P.U., 1997):
1. Waktu tetap
Alat pemberi isyarat lalu lintas dikendalikan berdasarkan waktu yang
telah ditetapkan lebih dahulu, berdasarkan hasil survei sebelumnya.
10
2. Dipengaruhi oleh arus lalu lintas
Pengendaliannya dipengaruhi oleh arus lalu lintas sehingga penggunaan
persimpangan menjadi lebih efektif dan waktu tunggu yang lebih
pendek.
3. Koordinasi antar alat pemberi isyarat lalu lintas
Hal ini terjadi pada persimpangan yang berdekatan sehingga alat
pemberi isyarat lalu lintas akan sangat bermanfaat bila lalu lintas pada
persimpangan tersebut dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga
hambatan total pada semua persimpangan dapat dikoordinasikan dengan
baik.
4. Pengendalian daerah dengan komputer (Area Traffic Control)
Persimpangan yang dikendalikan dengan computer terjadi pada daerah
persimpangan yang luas, sehingga waktu tambahan pada daerah yang
bersangkutan dapat diminimalkan.
2.5 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL)
Alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) adalah salah satu alat untuk
mengontrol arus lalu lintas disuatu simpang jalan (pertemuan jalan sebidang,
dengan memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara
bergantian dalam suatu periode waktu untuk memerintahkan para penegemudi
untuk berhenti atau berjalan. Alat ini menggunakan indikasi lampu hijau, kuning
dan merah. Keberhasilan suatu APILL sebagai alat pengendali persimpangan
tergantung dari unsur alat pengatur (controller) yang digunakan yang merupakan
otak (hardware) dari semua program waktu siklus tergantung kemampuan dari
alat pengatur. Alat pengatur pemberi isyarat lalu lintas terbagi atas alat pengatur
waktu tetap (pretimed controller) dan alat pengatur waktu otomatis (actuated
controller). Pada umumnya di Indonesia dan khususnya di Kota Denpasar
menggunakan tipe alat pengatur waktu tetap (pretimed controller) adalah panjang
waktu siklus sudah ditetapkan lebih awal untuk masing-masing program waktu
untuk setiap harinya sebagai input pada alat pengatur (controller). Alat pengatur
waktu tetap dibedakan atas dua jenis, yaitu:
11
1. Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal (single)
Alat pengatur adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk
memprogram rencana penyalaan (timing plan) alat pemberi isyarat lalu
lintas (APILL). Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal (single)
ini memiliki kemampuan terbatas yaitu hanya 1 (satu) program waktu dalam
sehari untuk mengalirkan arus lalu lintas yang bergerak dari setiap kaki
persimpangan sangat berubah-ubah setiap jam dalam sehari. Inilah
kelemahan dari alat pengatur ini, dan sangat cocok untuk volume lalu lintas
rendah dan tetap sepanjang hari serta harganya relatif murah.
2. Alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi)
Perkembangan terbaru sebagai pengembangan alat pengatur waktu tetap
program tunggal (single) adalah alat pengatur waktu tetap dengan program
banyak (multi). Alat pengatur ini relatif fleksibel walaupun tidak sebaik alat
pengatur waktu otomatis (actuated) memiliki kemampuan cukup baik, yaitu
memiliki program waktu lebih dari 8-10 rencana penyalaan (timing plan)
waktu siklus ditambah flashing dalam sehari dan jumlah fase yang dapat
diatur sesuai dengna keinginan. Rencana penyalaan (timing plan) untuk hari
tertentu dan hari khusus seperti Nyepi dapat diprogramkan.
Lalu lintas pada suatu persimpangan yang diatur dengan alat pemeberi
isyarat lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu
tersebut. Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemeberi isyarat lalu lintas
ditentukan dengan berkurangnya kecelakaan pada persimpangan yang
bersangkutan.
2.6 Area Traffic Control System (ATCS)
ATCS merupakan suatu sistem pengatur lampu lalu lintas terpusat yang
mempunyai kemampuan untuk manajemen lalu lintas dengan mengkoordinasikan
antar persimpangan dari pusat kontrol ATCS, sehingga diperoleh suatu kondisi
pergerakan lalu lintas pada ruas jalan yang efektif dan efisien. Teknologi ATCS
telah banyak diterapkan di berbagai kota besar di negara-negara maju. Dengan
ATCS, penataan siklus lampu lalu lintas dilakukan berdasarkan input data lalu
lintas yang diperoleh secara real time melalui kamera CCTV pemantau lalu lintas
12
pada titik-titik persimpangan. Penentuan waktu siklus lampu persimpangan dapat
diubah berkali-kali dalam satu hari sesuai kebutuhan lalu lintas paling efisien
yang mencakup keseluruhan wilayah tersebut. Untuk itu pengoprasian ATCS
diatur dengan sebuah sistem kontrol terpadu yang melibatkan beberapa komponen
berupa:
a. Pengatur arus persimpangan berupa lampu lalu lintas.
b. Penginput data lalu lintas berupa kamera CCTV pemantau.
c. Pengirim data berupa jaringan kabel data atau pemancar gelombang.
d. Software ATCS.
e. Ruang kontrol (Central Control Room) ATCS dengan operatornya.
Cara kerja ATCS adalah sebagai berikut
1. Dimulai dengan merekam aktifitas simpang dengan menggunakan
kamera pemantau jenis PTZ kamera. PTZ adalah singkatan dari Pan Tilt
Zoom. Pan kemampuan kamera untuk dapat bergerak ke kiri dan ke
kanan. Tilt kemampuan kamera dapat bergerak ke atas dan kebawah.
Zoom kemampuan kamera untuk memperbesar gambar hingga beberapa
kali lipat.
2. Menggunakan kabel fiber optik, hasil rekaman tersebut dilanjutkan ke
node controller ATCS. Node controller ATCS merupakan kumpulan
beberapa perangkat komunikasi data ATCS yang saling terhubung. Pada
node controller tersebut hasil rekaman diolah menjadi data untuk
dilanjutkan ke room server untuk mengolah pergerakan kamera
dilapangan.
3. Pada room server ini terdapat banyak perangkat yang tersimpan dalam
rak kabinet U19. Salah satu perangkat yang memegang peranan penting
adalah proxy streaming&NVR Server. Proxy streaming&NVR server
digunakan sebagai media penyimpanan rekaman yang ditangkap dari
kamera dan digunakan sebagai proxy streaming server streaming yang
mana proxy server mampu meneruskan permintaan dari client ke kamera
yang terpasang dalam satu jaringan lokal (LAN).
4. Hasil rekaman dapat dilihat pada workstation (CCTV Client) yang terdiri
dari aplikasi CCTV client yang berfungsi memantau, mengontrol,
13
memindai gambar dan fungsi public announcer pada suatu lokasi yang
terpasang kamera dan speaker yang terkoneksi didalam jaringan lokal
(Local Area Network).
5. Pengaturan waktu siklus ditentukan pada workstation(traffic client) yang
berisikan aplikasi traffic client yang digunakan untuk mengatur data
persimpangan dan mengendalikan simpang yang terkoneksi didalam
jaringan lokal (Local Area Network).
6. Setelah melewati beberapa tahap, pergerakan dari beberapa simpang
yang sudah terkoneksi di dalam jaringan lokal (Local Area Network)
dapat dilihat pada suatu wall display yang terdiri dari beberapa monitor
(multi-monitor).
2.7 Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang
2.7.1 Waktu Antar Hijau
Waktu antar hijau adalah waktu antara berakhirnya hijau dengan
berawalnya hijau fase berikutnya (Alamsyah, 2005). Maksud dari periode antar
hijau diantara dua fase yang berurutan adalah untuk:
a. Memperingati lalu lintas yang sedang bergerak bahwa fase telah
berakhir.
b. Menjamin agar kendaraan yang terakhir pada fase hijau yang baru saja
diakhiri memperoleh waktu cukup untuk keluar dari daerah konflik
sebelum kendaraan pertama dari fase berikutnya memasuki daerah
yang sama.
Untuk analisa operasional dan perenanaan, disarankan untuk membuat
suatu perhitungan rinci dari waktu pengosongan (merah semua) dan waktu hilang
total. Pada analisa yang dilakukan untuk keperluan perancangan, waktu antar
hijau (kuning+merah semua) dapat dianggap sebagai nilai-nilai normal. Untuk
nilai normal waktu antar hijau dapat dilihat pada Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1 Nilai normal waktu antar hijauUkuran simpang Lebar jalan rata-rata Nilai normal waktu
antar hijauKecil 6-9 m 4 detik/faseSedang 10-14 m 5 detik/faseBesar ≥ 15 m ≥ 6 detik/fase
Sumber : Departemen P.U, (1997)
2.7.2 Waktu Hilang
Waktu hilang adalah jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang
lengkap (detik). Waktu hilang dapat diperoleh dari beda antara waktu siklus
dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan (Departemen P.U.,
1997).
Prosedur untuk perhitungan rinci:
Waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir setiap
fase harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti
pada akhir sinyal kuning), berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan
kendaraan yang datang pertama dari fase berikutnya pada titik yang sama. Jadi
merah semua merupakan fungsi kecepatan dan jarak dari kendaraan yang
berangkat dan yang datang dari garis henti sampai ketitik konflik, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Titik konflik dan jarak untuk keberangkatan dan kedatanganSumber : Departemen P.U, (1997)
15
Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang
menghasilkan waktu merah semua sebesar:
MERAH SEMUA (2.1)
Dimana :
LEV , LAV : Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk
kendaraan yang berangkat dan datang (m)
lEV : Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV , VAV : Kecepatan konflik masing-masing untuk kendaraan yang
berangkat dan datang (m/det)
Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV , VAV dan lEV tergantung dari komposisi
lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi . Nilai-nilai sementara berikut dapat
dipilih dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan hal ini.
Kecepatan kendaraan yang datang VAV : 10 m/dtk (kendaraan bermotor)
Kecepatan kendaraan yang berangkat VEV : 10 m/dtk (kendaraan bermotor)
: 3 m/dtk (kendaraan tak bermotor)
: 1,2 m/dtk (pejalan kaki)
Panjang kendaraan yang berangkat lEV : 5 m (LV atau HV)
: 2 m (MC atau UM)
Perhitungan dilakukan untuk semua gerak lalu lintas yang bersinyal (tidak
termasuk belok kiri jalan terus). Apabila periode merah semua untuk masing-
masing akhir fase telah ditetapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat
dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau :
LTI = Σ (MERAH SEMUA + KUNING) I = ΣIGi (2.2)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia
biasanya adalah 3,0 detik (Departemen P.U., 1997).
2.8 Fase Sinyal
Fase sinyal adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau disesuaikan
bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (Alamsyah, 2005). Untuk
merencanakan fase sinyal silakukan berbagai alternatif antara lain :
16
1. Dua (2) Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan menggunakan dua fase tanpa
memisahkan arus terlawan, seperi Gambar 2.6 berikut:
Gambar 2.6 Pengaturan dua faseSumber : Departemen P.U. (1997)
2. Tiga (3) Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase pergerakan lalu lintas
seperti Gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Pengaturan tiga faseSumber : Departemen P.U. (1997)
3. Tiga (3) fase dengan early start
Adalah pengaturan lampu lalu lintas tiga fase dengan start dini pada salah
satu pendekat, agar menaikan kapasitas untuk belok kanan dari arah ini,
seperti pada Gambar 2.8 berikut :
Gambar 2.8 Pengaturan tiga fase dengan early startSumber : Departemen P.U. (1997)
17
4. Tiga (3) Fase dengan Early Cut Off
Adalah pengaturan lampu lalu lintas tiga fase dengan memutuskan lebih
awal gerak belok kanan, untuk menaikkan kapasitas untuk gerak lurus
seperti Gambar 2.9 berikut:
Gambar 2.9 Pengaturan tiga fase dengan early cut offSumber : Departemen P.U. (1997)
5. Empat (4) Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan empat fase dengan arus
berangkat dari satu-persatu pendekat pada saatnya masing-masing seperti
Gambar 2.10 berikut:
Gambar 2.10 Pengaturan empat faseSumber : Departemen P.U. (1997)
2.9 Tipe Pendekat dan Lebar Pendekat Efektif
2.9.1 Tipe Pendekat
Pada simpang dilihat kondisi yang berlaku, apakah simpang termasuk
kondisi terlindung atau terlawan. Jika arus yang berangkat tanpa konflik dengan
lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai pendekat
tipe P (terlindung). Sedangkan jika arus yang berangkat dengan konflik atau
terjadi konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut
18
disebut sebagai pendekat tipe O (terlawan). Pada Gambar 2.11 diperlihatkan
beberapa jenis konfigurasi pendekat.
TipePendekat
KeteranganContoh pola-pola pendekat
TerlindungP
Arus berangkattanpa konflikdengan lalu lintasdari arahberlawanan
Jalan satu arah Jalan satu arah Simpang T
Jalan dua arah,gerakan belok kanan terbatas
Jalan dua arah,fase sinyal terpisah untuk masing-masing arah
TerlawanO
Arus berangkatdengan konflikdengan lalu lintasdari arahberlawanan
Jalan dua arah, arus berangkat dari arah-arahberlawanan dalam fase yang sama. Semua belokkanan tidak terbatas.
Gambar 2.11 Penentuan tipe pendekatSumber : Departemen P.U. (1997)
2.9.2 Lebar Pendekat Efektif
Lebar pendekat efektif (We), ditentukan berdasarkan data dari lebar
pendekat (Wa), lebar masuk (Wmasuk) dan lebar keluar (Wkeluar). Untuk semua
pendekat, apabila pergerakan belok kiri langsung (left turn on red) diperkenankan
dan tidak terpengaruh oleh pergerakan lain dalam pendekat (pergerakan belok kiri
langsung dapat melewati antrian kendaraan dengan arah atau membelok kanan
pada saat lampu merah), maka lebar efektif ditentukan berdasarkan nilai dari :
We = Wmasuk
19
= Wa - WLTOR ( 2.3)
Jumlah lajur dalam satu kaki persimpangan ditentukan dari lebar jalur
efektif (Wce) untuk segmen jalan, sesuai pada Tabel 2.2 berikut ini :
Tabel 2.2 Jumlah lajurLebar Jalur Efektif Wce (m) Jumlah Lajur
5,00 – 10,50 210,50 – 16,00 4
Sumber : Departemen P.U. (1997)
2.10 Arus Jenuh
Arus jenuh adalah besarnya keberangkatan antrian di dalam suatu pendekat
selama kondisi yang ditentukan (Departemen P.U., 1997). Hubungan antara waktu
hijau efektif dengan besarnya keberangkatan antrian pada suatu periode hijau
jenuh penuh dapat dilihat ada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Model dasar untuk arus jenuhSumber : Departemen P.U. (1997)
20
2.10.1 Arus Jenuh Dasar (SO)
Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan di antrian dalam
pendekat selama kondisi ideal (smp/jam hijau) (Departemen P.U., 1997). Untuk
perhitungan arus jenuh dasar didasari dari jenis tipe pendekat yaitu:
a. Pendekat Terlindung (P)
Adalah arus berangkat tanpa konflik dengan arus lalu lintas yang
berlawanan. Untuk pendekat terlindung, dihitung menggunakan rumus:
So = 600 x We ( 2.4)
b. Pendekat Terlawan (O)
Adalah arus berangkat dari pendekat dengan konflik dengan arus lalu lintas yang
berlawanan. Sebagai fungsi dari So adalah lebar pendekat efektif (We), besarnya
arus belok kanan (QRT) dan besar arus belok kanan terhalang (QRTO).
Gambar 2.13 So untuk pendekat tipe O tanpa lajur belok kanan terpisahSumber : Departemen P.U. (1997)
2.10.2 Arus Jenuh Nyata (S)
Arus jenuh nyata ialah hasil perkalian dari arus jenuh dasar untuk keadaan
standar dengan faktor-faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi
sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi ideal yang ditetapkan
sebelumnya (smp/jam hijau) (Departemen P.U.,1997).
S = So x F1xF2x……… Fn ( 2.5)
Dimana:
S = Arus jenuh nyata (smp/jam hijau)
So = Arus jenuh dasar (smp/jam hijau)
F1xF2x……… Fn = Faktor penyesuaian kondisi lapangan
21
2.10.3 Faktor-faktor Penyesuaian (F)
Faktor penyesuaian merupakan faktor untuk menyesuaikan dari nilai ideal
ke nilai sebenarnya dari suatu variabel (Departemen P.U.,1997). Faktor
penyesuaian nilai dasar arus jenuh dan untuk kedua tipe pendekat P dan O terdiri
dari sebagai berikut :
a. Faktor Ukuran Kota (Fcs)
Faktor ukuran kota adalah ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal
dalam suatu daerah perkotaan (Departemen P.U.,1997). Untuk
menentukan nilai faktor ukuran kota dapat dilihat dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)Jumlah Penduduk dalam Kota
(Juta Jiwa)Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
(FCS)> 3,0 1,05
1,0-3,0 1,000,5-1,0 0,940,1-0,5 0,83< 0,1 0,82
Sumber: Departemen P.U. (1997)
b. Faktor Lingkungan atau Hambatan Samping (FSF)
Faktor hambatan samping ialah interaksi antara arus lalu lintas dan
kegiatan di samping jalan yang menyebabkan pengurangan terhadap arus
jenuh di pendekat (Departemen P.U.,1997). Faktor hambatan samping
dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai fungsi dari jenis linkungan jalan,
tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor (KTB) yang
dapat disurvei langsung dilapangan.
Tabel 2.4 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan
Kelas Hambatan Samping(SFC)
KodeJumlah Berbobot
Kejadian per 200 m perjam (dua sisi)
Kondisi Khusus
Sangat rendah VL <100Daerah permukiman; jalan denganjalan samping.
Rendah L 100 – 299Daerah permukiman; beberapakendaraan umum dsb.
Sedang M 300 – 499Daerah industri, beberapa toko di sisijalan.
Tinggi H 500 – 899Daerah komersial, aktivitas sisi jalantinggi.
Sangat tinggi VH >900Daerah komersial dengan aktivitaspasar di samping jalan.
Sumber : Departemen P.U. (1997)
22
Tabel 2.5 Faktor penyesuaian untuk tipe lingkungan jalan, hambatan samping dankendaraan tak bermotor (FSF)
TipeLingkungan
Hambatan Samping Tipe FaseRatio Kendaraan Tidak Bermotor (%)
0,00 0,05 0,1 0,15 0,2 > 0,25
Komersial(COM)
TinggiTerlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81
SedangTerlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71
Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82
RendahTerlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72
Terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83
Perumahan(RES)
TinggiTerlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72
Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,89 0,86 0,84
SedangTerlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73
Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85
RendahTerlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74
Terlindung 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86Akses Terbatas(RA)
Tinggi/SedangRendah
Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88
Sumber : Departemen P.U. (1997)
c. Faktor Jarak Parkir Tepi Jalan (FP)
Faktor jarak parkir tepi jalan dapat disesuaikan dengan rumus sebagai
berikut :
FP = [Lp/3-(Wa-2)x(Lp/3-g)Wa]/g (2.6)
Dimana:
Fp = Faktor jarak parkir tepi jalan
Wa = Lebar pendekat (m)
g = Waktu hijau (detik)
Lp = Jarak antara garis henti dan kendaraan yang parkir pertama (m)
d. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau,
dapat dihitung dnegan rumus:
FRT = 1 + PRT x 0,26 (2.7)
Dimana:
PRT = QRT/Qtotal, Rasio untuk lalu lintas yang berbelok ke kanan
e. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kiri pada pendekat yang ditinjau, dapat
dihitung menggunakan rumus:
FLT = 1 - PLT x 0,16 (2.8)
Dimana:
PLT = QLT/Qtotal, Rasio untuk lalu lintas yang berbelok kiri
23
2.11 Rasio Arus (FR)
Rasio arus (FR) merupakan perbandingan antara arus lalu lintas dan arus
jenuh nyata (S) pada setiap pendekat yang ditinjau. (Departemen P.U.,1997).
Rasio arus dapat dihitung menggunakan rumus:
FR = Q/S (2.9)
Dimana:
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
S = Arus jenuh nyata (smp/jam hijau)
Nilai kritis FRcrit (maksimum) dari rasio arus simpang diperoleh dari
penjumlahan rasio arus kritis dari masing-masing pendekat simpang. Dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
IFR = ∑ (FRcrit) (2.10)
Dari kedua nilai di atas maka diperoleh rasio fase (Fase Ratio) PR untuk tipe
fase yaitu:
PR = FRcrit /IFR (2.11)
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Jika nilai FRcrit > 0.8 ini menunjukkan pada pendekat tersebut telah terjadi
kemacetan dan simpang dalam kondisi jenuh.
b. Jika nilai IFR mendekati atau lebih dari 1 maka simpang sudah dalam
keadaan lewat jenuh dan akan dihasilkan waktu siklus yang tinggi sehingga
tundaan rata-rata simpang meningkat.
2.12 Waktu Siklus dan Waktu Hijau
2.12.1 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian (cua)
Waktu siklus adalah waktu untuk urutan lengkap dan indikasi sinyal
(Departemen P.U.,1997). Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) untuk
pengendalian waktu tetap dapat dihitung menggunakan rumus:
cua = (1,5 x LTI+5)/(1-IFR) (2.12)
Dimana:
Cua = Panjang siklus sebelum penyesuaian (detik)
LTI = Jumlah waktu yang hilang setiap siklus (detik)
FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
24
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada
suatu fase sinyal
IFR = ∑(FRcrit) = Rasio arus simpang = Jumlah FRcrit dari seluruh fase
pada siklus tersebut.
Waktu siklus yang didapat kemudian disesuaikan dengan waktu siklus
yang direkomendasikan seperti Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Pengaturan waktu siklusTipe Pengaturan Waktu Siklus yang Layak (detik)
2 Fase 40-803 Fase 50-1004 Fase 80-130
Sumber : Departemen P.U. (1997)
Jika waktu siklus lebih rendah dari waktu yang disarankan, akan
menyebabkan kesulitan bagi para pejalan kaki untuk menyebrang jalan. Siklus
yang melebihi 130 detik harus dihindari kecuali pada kasus sangat khusus
(simpang sangat besar). Karena hal itu sering kali menyebabkan kerugian dalam
kapasitas keseluruhan. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh
lebih tinggi dari batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa kapasitas
dari denah simpang tersebut adalah tidak mencukupi.
2.12.2 Waktu Hijau (g)
Waktu hijau adalah waktu nyala hijau dalam suatu pendekat
(Alamsyah,2005). Perhitungan waktu hijau untuk setiap fase dapat dihitung
dengan rumus:
g (i) = (cua-LTI) x PRi ≥ 10 detik (2.13)
Dimana:
g (i) = Tampilan waktu hijau pada fase i (detik)
cua = Waktu siklus (detik)
LTI = Waktu hilang total persiklus (detik)
PRi = Rasio Fase FRcrit / ∑(FRcrit)
Syarat untuk waktu hijau minimal adalah 10 detik, apabila lebih kecil dari
10 detik dapat mengakibatkan pelanggaran lampu lalu lintas yang berlebihan dan
25
kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyebrang jalan, dan bila disesuaikan harus
dimasukkan dalam waktu siklus.
2.12.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan (c)
Waktu siklus yang disesuaikan (c) dihitung pada waktu hijau yang
diperoleh dan telah dibulatkan dengan waktu hilang. Dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut (Departemen P.U.,1997):
c = ∑ g + LTI (2.14)
Dimana:
c = Waktu siklus yang telah disesuaikan (detik)
∑ g = Jumlah waktu hijau pada setiap fase (detik)
LTI = Waktu hilang total (detik)
2.13 Kinerja Persimpangan
Unsur terpenting didalam pengevaluasian kinerja persimpangan bersinyal
adalah lampu lalu lintas, kapasitas dan tingkat pelayanan. Sehingga untuk
menjaga agar kinerja persimpangan dapat berjalan dengan baik kapasitas dan
tingkat pelayanan perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi operasi daripada
persimpangan dengan lampu lalu lintas. Ukuran dari kinerja persimpangan dapat
ditentukan berdasarkan panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan,
syarat dari perhitungan kinerja simpang adalah: Tundaan ≤ 40 detik/smp, Tingkat
pelayanan ≤ D (TRB., 1994).
Ukuran kualitas dari kinerja persimpangan adalah dengan menggunakan
variable sebagai berikut (Departemen P.U., 1997):
2.13.1 Kapasitas Persimpangan (C)
Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan.
Kapasitas simpang dinyatakan dengan rumus:
C = S x g/c (2.15)
Dimana:
C= Kapasitas (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/jam hijau)
26
g = Waktu hijau (detik)
c = panjang siklus (detik)
Arus lalu lintas (Q) untuk setiap gerakan (QLT, QRT, dan QST) dikonversi
dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan
menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing
pendekat terlindung dan terlawan.
Tabel 2.7 Konversi kendaraan terhadap satuan mobil penumpang
Jenis kendaraanemp untuk tipe pendekat
Terlindung TerlawanKendaraan Berat (KB) 1,3 1,3
Kendaraan Ringan (KR) 1,0 1,0Sepeda Motor (SM) 0,2 0,4
Sumber: Departemen P.U. (1997)
2.13.2 Derajat Kejenuhan (DS)
Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio volume (Q) terhadap
kapasitas (C) (Alamsyah, 2005). Rumus untuk menghitung derajat kejenuhan
adalah:
DS = Q/C (2.16)
2.13.3 Panjang Antrian (NQ)
Panjang antrian adalah banyaknya kendaraan yang berada pada
persimpangan tiap jalur saat nyala lampu merah (Departemen P.U., 1997).
Parameter ini digunakan untuk perencanaan pengendalian parkir tepi jalan atau
angkutan umum stop, panjang kebutuhan perlebaran persimpangan dan panjang
kebutuhan lebar belok kiri boleh langsung. Rumus untuk menentukan rata-rata
panjang antrian berdasarkan MKJI 1997, adalah:
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0.5:
NQ1 =
C
DSxDSDSxCx
)5.0(8)1()1(25,0 2 (2.17)
Untuk DS < 0.5 ; NQ1 = 0
Dimana:
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya.
DS = Derajat kejenuhan.
27
C = Kapasitas (smp/jam)
Jumlah antrian selama fase merah (NQ2):
NQ2 =36001
1 masukQx
GRxDS
GRcx
(2.18)
Dimana:
NQ2 = Jumlah smp yang datang dari fase merah.
GR = Rasio hijau.
c = Waktu siklus (detik).
Qmasuk = Arus lalu lintas yang masuk diluar LTOR (smp/jam).
Jumlah kendaraan antri menjadi :
NQ = NQ1 + NQ2 (2.19)
Maka panjang antrian kendaraan adalah dengan mengalikan NQmax dengan
luas rata – rata yang dipergunakan per smp (10 m2) kemudian dibagi dengan lebar
masuknya. NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam hal peluang yang
diinginkan untuk terjadinya pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan
Gambar 2.13. untuk perencanaan disarankan POL ≤ 5%, untuk operasi suatu nilai
POL = 5 – 10 % mungkin dapat diterima :
QL = (NQmax x 20)/Wmasuk (2.20)
Gambar 2.14 Perhitungan jumlah antrian NQmax dalam smpSumber : Departemen P.U. (1997)
28
2.13.4 Kendaraan Terhenti (NS)
Angka henti (NS) masing – masing pendekat yang didefinisikan sebagai
jumlah rata – rata kendaraan berhenti per smp, ini termasuk henti berulang
sebelum melewati garis stop persimpangan (Departemen P.U.,1997).
Dihitung dengan rumus :
NS = 0,9 x x3600Qxc
NQ tot (stop/smp) (2.21)
Dimana :
c = Waktu siklus (detik)
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
Jumlah kendaraan terhenti (Nsv) :
Nsv = Q x NS (smp/jam) (2.22)
Laju henti untuk seluruh simpang :
NSTotal =Total
SV
Q
N (2.23)
2.13.5 Tundaan (Delay)
Tundaan adalah rata – rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk
dalam pendekat (Departemen P.U., 1997). Tundaan pada persimpangan terdiri
dari 2 komponen yaitu tundaan lalu lintas (DT) dan tundaan geometrik (DG) :
Dj = DTj + DGj (2.24)
Dimana :
Dj = Tundaan rata – rata pendekat j (detik/smp)
DTj = Tundaan lalu lintas rata – rata pendekat j (detik/smp)
DGj = Tundaan geometrik rata – rata pendekatj (detik/smp)
1. Tundaan lalu lintas (DT) yaitu akibat interaksi antar lalu lintas pada
persimpangan dengan faktor luar seperti kemacetan pada hilir (pintu
keluar) dan pengaturan manual oleh polisi, dengan rumus :
DTj =jjj
j
C
NQ
DSGR
GRc
3600
)1(
)1(5,01
2
(2.25)
Atau
DTj =jC
xNQcxA
36001 (2.26)
29
A =)1(
)1(5,0 2
jj
j
DSGR
GR
(2.27)
Dimana:
c = Waktu siklus (detik)
C = Kapasitas (smp/jam)
DS = Derajat kejenuhan
GR = Rasio hijau (g/c) (detik)
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
Gambar 2.15 Penetapan tundaan lalu lintas rata-rataSumber : Departemen P.U. (1997)
2. Tundaan geometrik (DG) adalah tundaan akibat perlambatan
percepatan pada simpang atau akibat terhenti karena lampu merah.
DGj = ( 1 – Psv ) x PT x 6 + ( Psv x 4 ) (2.28)
Atau masukkan DGj rata – rata 6 detik/smp.
Dimana :
Psv = Rasio kendaraan terhenti pada pendekat
PT = Rasio kendaraan berbelok pada pendekat
3. Tundaan rata – rata simpang (DI) adalah jumlah tundaan rata –
rata tiap pendekat dikalikan dengan rumus tiap pendekat ∑(Q x DI)
30
dibagi dengan aruslalu lintas total (Qtotal). Dihitung menggunakan
rumus:
DI = ∑(Q x DI)/ Qtotal (2.29)
Dimana:
Qtotal = Arus lalu lintas yang masuk total termasuk QLTOR
(smp/jam)
DI = Tundaan rata – rata simpang (detik/smp)
∑(Q x DI)= Jumlah tundaan rata – rata tiap pendekat (detik/smp)
2.14 Tingkat Pelayanan Persimpangan
Tingkat pelayanan persimpangan adalah suatu ukuran kuantitatif yang
memberikan gambaran dari pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas aspek
dari tingkat pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan,
tundaan kenyamanan, keamanan, dan lain – lain (TRB, 1994). Pada analisis
kapasitas didefinisikan enam tingkat pelayanan. Hubungan tundaan (delay)
dengan tingkat pelayanan terbaik A dan tingkat pelayanan F yang terburuk.
Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian
persimpangan, seperti Tabel 2.7 berikut :
Tabel 2.7 Hubungan tundaan dengan tingkat pelayananTundaan (detik/smp) Tingkat pelayanan
< 5,0 A5,1 – 15,0 B15,1 – 25,0 C25,1 – 40,0 D40,1 – 60.0 E
> 60,0 FSumber : TRB., 1994
a. Tingkat pelayanan A berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
yang sangat rendah kurang dari 5,0 detik perkendaraan. Hal ini terjadi
bila sebagian besar kendaraan datang pada saat hijau sehingga banyak
kendaraan yang tidak berhenti. Panjang siklus yang pendek juga dapat
menghasilkan tundaan rendah.
31
b. Tingkat pelayanan B berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 5,1 – 15,0 detik perkendaraan. Biasanya hal ini terjadi
bila panjang siklus pada simpang pendek. Kendaraan berhenti lebih
banyak dari tingkat pelayanan A, menghasilkan tundaan rata – rata
sedang dan tidak terjadi kemacetan.
c. Tingkat pelayanan C berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 15,1 – 25,0 detik perkendaraan. Tundaan yang lebih
besar ini di hasilkan dari lebih panjangnya siklus. Pada tingkat ini
jumlah kendaraan yang berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup
banyak kendaraan yang terus melalui simpang tanpa harus berhenti.
d. Tingkat pelayanan D berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 25,1 – 40,0 detik perkendaraan. Pada tingkat pelayanan
D pengaruh dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih
besar dapat dihasilkan dari kombinasi panjang siklus yang lebih
rendah. Banyak kendaraan yang harus berhenti pada simpang.
e. Tingkat pelayanan E berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 40,1 – 60,0 detik perkendaraan. Pada tingkat pelayanan
E ini dijadikan sebagai batas tundaan yang sudah tidak bisa diterima.
Tundaan besar ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang, serta
rasio Q/Cyang tinggi, dan kemacetan terjadi disetiap kaki
persimpangan.
f. Tingkat pelayanan F berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
lebih besar dari 60,0 detik peerkendaraan. Pada tingkat pelayanan F ini
tundaan sudah tidak dapat diterima, hal ini biasanya karena terjadinya
kejenuhan pada simpang akibat arus melalui simpang melampaui
kapasitas simpang dan dapat juga karena panjang siklus yang terlalu
panjang.
2.15 Prosedur Perhitungan Berdasarkan MKJI
Prosedur perhitungan dilakukan berdasarkan manual kapasitas jalan
Indonesia 1997. Perhitungan dengan metode ini memerlukan lima (5) buah
32
formulir mulai dari formulir SIG I sampai dengan formulir SIG V. adapun
penjelasan dari formulir-formulir tersebut adalah sebagai berikut:
1. Formulir SIG I untuk Geometrik, Pengaturan lalu lintas dan Kondisi
lingkungan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengisian formulir SIG
I adalah:
a. Pada bagian atas formulir ini dimasukkan data umum (tanggal, kota,
simpang, waktu dan judul formulir), diagram fase yang ada, data
waktu sinyal (waktu hijau, waktu antar hijau dan waktu hilang) dan
identitas pendekat (tunjukkan dalam diagram fase pendekat-pendekat
mana yang terdapat gerakan belok kiri langsung, belok kiri, belok
kanan dan lurus).
b. Pada bagian bawah formulir ini dimasukkan kode pendekat (utara,
Timur, Barat, dan Selatan), dan tipe lingkungan jalan untuk setiap
pendekat (komersial, pemukiman, akses terbatas), tingkatan
hambatan samping (tinggi atau rendah), median (terdapat atau tidak),
kelandaian, belok kiri langsung (ada atau tidak), jarak kendaraan
parkir (ada atau tidak), data pendekat (lebar pendekat, lebar masuk,
lebar keluar dan lebar LTOR) dan lajur belok kanan terpisah (ada
atau tidak).
2. Formulir SIG II untuk kondisi lalu lintas
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengisisan formulir SIG II
adalah dengan memasukkan data arus lalu lintas masing-masing
pendekat sesuai arah pergerakannya (kendaraan ringan, kendaraan berat,
sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor).
3. Formulir SIG III untuk waktu antar hijau dan waktu hilang
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengisisan formulir SIG II
adalah sebagai berikut :
a. Masukkan data kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang
berangkat dan kendaraan yang datang (Vev dan Vav)
b. Masukkan jarak dari garis henti ke titik konflik untuk kendaraan
yang berangkat dan kendaraan yang datang (Lev dan Lav)
c. Masukkan ukuran kendaraan yang berangkat (lev)
33
4. Formulir SIG IV untuk penentuan fase
Formulir ini memperlihatkan hasil analisis dari data yang telah
dimasukkan dalam formulir sebelumnya. Pada formulir ini didapat
besarnya waktu sinyal (waktu siklus dan alokasi waktu hijau), kapasitas
dari masing-masing pendekat dan pembahasan mengenai perubahan-
perubahan yangapabila kapasitas simpang tidak mencukupi (meliputi:
perubahan fase sinyal, dan pelarangan pergerakan belok kanan).
5. Formulir SIG V untuk tundaan, panjang antrian dan jumlah kendaraan
terhenti. Formulir ini memperlihatkan hasil analisis dari data yang telah
dimasukkan dalam formulir sebelumnya. Pada formulir ini didapat
perilaku lalu lintas pada simpang bersinyal berupa antrian, jumlah
kendaraan terhenti, dan tundaan. Dari besarnya tundaan dapat ditentukan
tingkat pelayanan pada simpang bersinyal.