BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41734/3/jiptummpp-gdl-adibdanurd-48498-3-babii.pdf ·...

29
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Polisitemia Vera Polisitemia (eitrositosis) didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi hemoglobin di atas normal. Polisitemia sejati terjadi bila massa sel darah merah (red cell mass, RCM) total, yang diukur dengan dilusi sel darah merah yang berlabel isotop, meningkat di atas normal. Polisitemia palsu/semu (pseudo/stress) terjadi bila peningkatan konsentrasi hemoglobin disebabkan oleh pengurangan volume plasma. (Hoffbrand V; 2014) Pada polisitemia vera (PV), peningkatan volume sel darah merah disebabkan oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat dikemukakan pada banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit sebaik sel darah merah. (Hoffbrand V; 2014) 2.2 Klasifikasi Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada Polisitemia Relatif terjadi penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang sebenarnya dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi berat, luka bakar, reaksi alergi. (Child J.A.; 2010) Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan volume sel darah merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia sekunder, terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis karena

Transcript of BAB II - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41734/3/jiptummpp-gdl-adibdanurd-48498-3-babii.pdf ·...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Polisitemia Vera

Polisitemia (eitrositosis) didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi

hemoglobin di atas normal. Polisitemia sejati terjadi bila massa sel darah merah

(red cell mass, RCM) total, yang diukur dengan dilusi sel darah merah yang

berlabel isotop, meningkat di atas normal. Polisitemia palsu/semu (pseudo/stress)

terjadi bila peningkatan konsentrasi hemoglobin disebabkan oleh pengurangan

volume plasma. (Hoffbrand V; 2014)

Pada polisitemia vera (PV), peningkatan volume sel darah merah

disebabkan oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat dikemukakan

pada banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit sebaik sel darah

merah. (Hoffbrand V; 2014)

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu

Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada

Polisitemia Relatif terjadi penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang

sebenarnya dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi

berat, luka bakar, reaksi alergi. (Child J.A.; 2010)

Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia

Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan

volume sel darah merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia

sekunder, terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis karena

6

kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat seperti pada penyakit paru

kronis, penyakit jantung kongenital atau tinggal didaerah ketinggian dll,

disamping itu peningkatan sel darah merah juga dapat terjadi secara non fisiologis

pada tumor yang menghasilkan eritropoitin seperti tumor ginjal, hepatoma, tumor

ovarium dll. (Child J.A.; 2010)

Tabel 2.1 Perbandingan Uji Laboratorium Polisitemia primer dan polisitemia

sekunder

Polisitemia Vera Polisitemia Sekunder

Masa sel darah merah

Sel darah putih

Basofil

Trombosit

Morfologi trombosit

Ukuran limpa

Alkalin fosfatase lekosit

B12 serum

Gatal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

Abnormal

sering

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Jarang

(Child J.A.; 2010)

7

2.3 Patogenesis

Adanya reaktivitas berlebihan pada sinyal Janus Kinase yaitu tirosin

kinase yang berperan dalam proses hematopoetik menyebabkan proliferasi

berlebih pada sel-sel hematopoetik dan juga menstimulasi proses inflamasi

pembuluh darah. Proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik akan

menimbulkan abnormalitas pada penilaian klinis pasien seperti abnormalitas

hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala klinis pada

pasien. (Guyton; 2014)

(Guyton; 2014)

Gambar 2.1 Aktivasi berlebihan pada rantai Janus Kinase

Saat ligan terikat ke reseptor sitokin akan memicu dimerisasi. Jaks yang

terikat pada reseptornya melalui domain SH2, mengalami transposforilasi dan

8

setelah itu memposforilasi STAT / Signal Transducer and Activator of

Transcription. STAT yang teraktivasi akan berdimerisasi dan bertranslokasi ke

nukleus, dengan cara mengaktivasi promotor gen. STAT juga bisa diaktivasi

secara langsung oleh Src kinase. Pada gambar dibawah, Jaks memposforilasi

reseptor dan menciptakan binding site untuk STAT. Saat itu juga, reseptor sitokin

juga mengaktivasi jalur sinyal tambahan yang melibatkan protein seperti Akt dan

ERK. (Guyton; 2014)

(Guyton; 2014)

Gambar 2.2 Sinyal yang diperantarai oleh Jaks.

2.4 Etiologi

Polisitemia Vera merupakan penyakit kronik progresif dan belum

diketahui penyebabnya. Suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan

molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip

20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, dan trisomi. Namun suatu hipostesis

mengatakan bahwa seseorang yang tinggal di tempat ketinggian mempunyai

9

resiko untuk terkena PV. Kandungan oksigen di lingkungan tempat tinggi

berdampak terhadap kondisi fisiologis seseorang menjadi terganggu. Dampak

rendahnya oksigen lingkungan ini mula-mula dirasakan berupa sesak nafas,

selanjutnya yang dirasakan dapat pula berupa adanya semacam halusinasi yang

diakibatkan mulai berkurangnya oksigen yang menuju ke otak. Keadaan semacam

ini sering membawa akibat yang tidak di inginkan. Gangguan tersebut terutama

mulai terasa pada ketinggian 2000 meter dari atas permukaan laut. Tetapi

timbulnya reaksi-reaksi itu tergantung kepada daya tahan dan daya pengesuaian

perorangan. Kondisi tersebut di atas bertambah berat karena timbul dampak lain

dari rendahnya oksigen lingkungan ini, yang berupa meningkatnya jumlah

eritrosit dengan cepat (eritropoeisis) sehingga terjadi polisitemia (kadar eritrosit di

atas harga normal). Polisitemia ini membawa pengaruh munculnya viskositas

(kekentalan darah) meningkat, sehingga aliran darah menjadi lambat dan tekanan

darah menjadi meningkat serta frekuensi denyut jantung meningkat, sehingga

pekerja merasa berdebar-debar jantungnya serta memperparah kondisi hipoksia

otak. (Wernig G; 2011)

10

Tabel 2.2 Penyebab polisitemia

Polisitemia sejati

A. Polisitemia vera

B. Polisitemia familial primer

Sekunder

A. Eritropoietin meningkat secara sesuai

1. Tempat tinggi

2. Penyakit paru kronik

3. Alveolar Hypoventilation.

4. Penyakit jantung kongenital sianotik

5. Varian hemoglobin dengan peningkatan afinitas oksigen

6. Carboxyhemoglobinemia ( Smokers erythrocytosis )

7. Congenital Decreased 2,3 – diphosphoglycerate

B. Eritropoeitin meningkat secara tidak sesuai

1. Penyakit ginjal: hipernefroma, kista ginjal, hidronefrosis

2. Mioma uteri

3. Tumor-tumor lain, misalnya karsinoma hepatoselular, karsinoma bronkial.

Polisitemia relatif (semu)

Deplesi volume plasma

Stress

Dehidrasi

Terapi diuretik

(Hoffbrand A; 2014)

11

2.5 Gejala dan Manifestasi Klinis

PV terjadi setara pada laki-laki dan perempuan, biasanya pada usia di

atas 55 tahun. Peningkatan RCM menyebabkan kompleksi kemerahan dan

konjungtiva merah, hiperviskositas dapat menyebabkan nyeri kepala dan

gangguan penglihatan. Trombosis (misalnya trombosis vena dalam (deep vein

thrombosis, DVT), Budd-Chiari Syndrome, stroke juga disebabkan oleh

hiperviskositas dan peningkatan trombosis. Perdarahan, terutama

gastrointestinal, dapat terjadi. Kelebihan sekresi histamin dari basofil

menyebabkan peningkatan asam lambung dan sering terjadi ulkus peptikum.

Pruritus, biasanya setelah mandi air panas, dan gout yang disebabkan oleh

peningkatan produksi asam urat, juga sering terjadi. (Atul BM; 2014)

2.5.1 Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase

a. Gejala awal (early symptoms )

Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu

ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala

awal biasanya sakit kepala (48 %), telinga berdenging (43 %), mudah lelah

(47 %), gangguan daya ingat, susah bernafas (26 %), hipertensi (72 %),

gangguan penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %),

pruritus (43 %), perdarahan hidung, lambung (24 %), sakit tulang (26 %).

(Landsfeldt U; 2014)

b. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi

Pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan / trombosis,

peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan

resiko ulkus peptikum. (Landsfeldt U; 2014)

12

c. Fase Splenomegali (Spent phase )

Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.

Pada fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi

anemia berat, kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa membesar.

(Landsfeldt U; 2014)

2.6 Diagnosis

Polisitemia Vera merupakan Penyakit Mieloproliferatif, sehingga dapat

menyulitkan dalam menegakkan diagnosis karena gambaran klinis yang

hampir sama, sehingga tahun 1970 Polycythenia Vera Study Group

menetapkan kriteria diagnosis berdasarkan Kriteria mayor dan Kriteria minor.

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis menurut Polycythemia Vera Study Group 1970

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR

1. Massa eritrosit : laki-laki >36

ml / kg, perempuan > 32 ml / kg

2. Saturasi Oksigen > 92 %

3. Splenomegali

1. Trombositosis > 400.000 / mm3

2. Lekositosis > 12.000 / mm3

3. Aktivasi Alkali fosfatase lekosit

>100 ( tanpa ada demam / infeksi )

4. B 12 serum > 900 pg / ml atau

UBBC (Unsaturated B12 Binding

Capasity ) > 2200 pg / ml

(Landsfeldt U; 2014)

13

Gambaran Elektrokardiografi pada Polisitemia Vera:

PV biasanya ditandai dengan adanya hiperviskositas dimana terdapat

peningkatan volume plasma dan penurunan saturasi oksigen dalam

eritrosit. Hiperviskositas akan meningkatkan myocardial workload dan

iskemia jaringan. Hal tersebut akan menyebabkan repolarisasi memanjang,

ditandai dengan pemanjangan signifikan parameter repolarisasi (QT-QTc,

Tp-Te, Tp-Te/QT) dan didapatkan Pwave juga memanjang. (Hematol A;

2013)

(Hematol A; 2013)

Gambar 2.3 Gambaran Elektrokardiografi pada Polisitemia Vera

2.7 Faktor resiko

Polisitemia adalah penyakit kronis dan bila tanpa pengobatan

kelangsungan hidup penderita rata-rata 18 bulan. Dengan Plebotomi

kelangsungan hidup 13,9 tahun, dengan terapi kelangsungan hidup 11,8 tahun

dan 8,9 tahun pada penderita dengan terapi klorambusil.

14

Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah

1. Trombosis, dilaporkan pada 15-60 % pasien, tergantung pada

pengendalian penyakit tersebut dan 10-40 % penyebab utama kematian.

2. Kompilkasi perdarahan timbul 15-35 % pada pasien polisitemia vera dan

6-30% menyebabkan kematian.

3. Terdapat 3-10 % pasien Polisitemia vera berkembang menjadi

mielofibrosis dan pansitopenia.

4. Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom

mielodisplasia pada 1,5 % pasien dengan pengobatan hanya plebotomi.

(Hematol A; 2013)

Tabel 2.5 Faktor Resiko

Risk category Risk factors

Low risk Age younger than 60 years and

no history of thrombocytosis and

platelet count lower than

150.000/mm3.

Intermmediate risk Age younger than 60 years and

no history off thrombocytosis and

either platelet count higher than

50.000/mm3 or presence off

cardiovascular risk factors

High risk Age 60 years or older positive

history of thrombosis.

(Tefferi A; 2015)

15

2.7 Terapi Polisitemia:

2.7.1 Flebotomi

Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin

satu-satunya bentuk pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien,

kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan

yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada

permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.

Pada flebotomi, sejumlah kecil darah yaitu 0,5 ml darah diambil setiap

hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Jika nilai hematokrit

sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan,

sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah

<45% pada pria kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan

perempuan.

(Clin, A; 2014)

2.7.1.1 Prosedur Flebotomi yang baik dan benar :

Persiapan Punksi

a. Pilih Tabung vacum yang sesuai

b. Beri label pada tabung

c. Persiapkan alat dan bahan sebelum punksi

2.7.1.2 Prosedur Higiene

a. Cuci Tangan

b. Gunakan sarung Tangan

2.7.1.3 Strategi Komunikasi

a. Mengucapkan salam

16

b. Melakukan pendekatan secara professional

c. Melakukan wawancara untuk konfirmasi data pasien secara

singkat dan lengkap

d. Memberi penjelasan tentang tujuan dan proses pengambilan bahan

pemeriksaan

e. Memberi penyuluhan kesehatan

f. Mengucapkan terimakasih

2.7.1.4 Persiapan Pasien

Pasien dalam keadaan tenang, rilek dan kooperatif dan motivasi :

sakit sedikit, proses cepat dan diberi penjelasan perlu atau tidak untuk

puasa.

2.7.1.5 Posisi Pasien

Pasien duduk atau berbaring dengan nyaman. Pada posisi duduk

lengan diletakkan di atas meja atau tempat tidur, dapat menggunakan

bantal untuk memberikan posisi nyaman. Pada posisi berbaring lengan

diulurkan lurus dari bahu sampai pergelangan tangan. Idealnya posisi

pasien saat pengambilan sampel darah harus dicatat Perbedaan posisi

dapat mempengaruhi hasil.

2.7.1.6 Pemilihan daerah Punksi Vena

Vena yang tepat umtuk pengambilan darah : vena mediana cubiti

(terbaik), vena cephalica atau vena basilica (besar, elastis, bentuk

lurus dan rangsang sakit kurang).

17

2.7.1.7 Pemasangan Touniquet

Torniqut dipasang 2-3 inchi di atas vena yang akan dipungsi (5-10 cm/

4 – 5 jari di atas vena yang akan dipungsi). Pemasangan jangan terlalu

kencang, tidak lebih dari 1 menit dan apabila pungsi vena tertunda,

sebaiknya dilepas terlebih dulu dan dipasang kembali sebelum dilakukan

pungsi.

2.7.1.8 Desinfeksi daerah Punksi

Menggunakan kapas atau kasa yang mengandung alkohol 70%.

Cara pembersihan harus diperhatikan. Ditunggu sampai alkohol

kering sebelum dilakukan pungsi.

a. Pegang spuit menggunakan tangan kanan

b. Periksa jarum, pegang spuit dengan tangan kanan dan ujung

telunjuk pada pangkal jarum

c. Tegangkan kulit dengan jari telunjuk dan ibu jari kiri di atas

pembuluh darah supaya pembuluh darah tidak bergerak

d. Kedalaman jarum masuk pembuluh darah sekitar 1 – 1,5 cm

e. Tusukkan ujung jarum pada vena yang dikehendaki dengan sudut

15-30 derajat

f. Bila darah sudah tampak mengalir kedalam spuit, fiksasilah

g. Lepas torniquet segera setelah darah mengalir, lalu isi spuit

sejumlah yang dikehendaki.

h. Letakkan kapas kering pada tempat pungsi, jarum ditarik pelan-

pelan.

18

i. Lepaskan jarum dari sempritnya dan alirkan kedalam tabung yang

tersedia melalui dindingnya.

2.7.1.9 Pengambilan Darah Vena menggunakan Vacutainer

a. Pegang jarum pada bagian tutup yang berwarna dengan satu

tangan, kemudian putar dan lepaskan bagian berwarna putih

dengan tangan lainnya.

b. Pasangkan jarum pada holder, biarkan tutup yang berwarna tetap

pada jarum.

c. posisi pungsi telah siap, lepaskan tutup jarum yang berwarna.

Lakukanlah pungsi vena seperti biasa.

d. Masukkan tabung ke holder. Tempatkan jari telunjuk dan tengah

pada pinggiran holder dan ibu jari pada dasar tabung mendorong

tabung sampai ujung holder.

e. Lepaskan tourniquet saat darah mulai mengalir ke tabung.

f. Bila kevakuman habis maka pengaliran darah akan terhenti secara

otomatis (Ratnaningsih 2009)

2.7.1.10 Pasca Phlebotomi

a. Membuang jarum bekas ke dalam disposal container khusus untuk

jarum.

b. Memberi label identitas sample pada masing-masing tabung

vakum.

c. Memperhatikan petunjuk khusus specimen.

d. Mengucapkan ucapan terimakasih kepada pasien.

e. Melepaskan sarung tangan dan cuci tangan dengan antiseptic.

19

f. Mendistribusikan specimen sesuai dengan pemeriksaan yang akan

dilakukan.

(Ratnaningsih; 2010)

2.8 Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi

sel darahmerah atau konsentrasi platelet)

Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi.

Lebih baik menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada

pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan

flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi. Kemoterapi yang

dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang

merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap

lebihaman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka

panjang. Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau

tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius.

Walaupun demikian, FDA (Food and Drugs Administration) masih

membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV.Pasien dengan

pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3

minggusekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika

hematokrit: pada pria < 45%dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita

< 42% dan memberikannya lagi jika >49%.

2.9 Fosfor Radiokatif (P32)

Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu

cara untuk menekansumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis

20

sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena,apabila diberikan per oral maka dosis

dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggupemberian pertama P32:

a. Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika

diperlukan dapat diulang akantetapi hal ini jarang dibutuhkan.

b. Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%

dari dosis pertama, dandiberikan sekitar 10-12 minggu setelah

dosis pertama.

2.10 Kemoterapi Biologi (Sitokin)Tujuan pengobatan dengan produk biologi

pada polisitemia vera terutama untuk mengontroltrombositemia (hitung

trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalahInterferon

(Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang

tidakdapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya

dengan sitostatikSiklofosfamid (Cytoxan).

2.11 Pengobatan pendukung

a. Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral

pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan

fungsi ginjal.

b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika

diperlukan dapat diberikan Psoralen Plus Ultraviolet Light

Therapy (PUVA).

c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.

d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.

e. Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika

hidroksiurea tidak memberikantoleransi yang baik atau dalam

21

kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet

tinggi).Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di

sumsum. Pasien yang lebih tua danpasien dengan penyakit jantung

umumnya tidak diobati dengan anagrelid.

(Stewart K.R; 2012)

2.12 Pemeriksaan Laboratorium

a) Eritrosit

Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa

eritrosit haruslah didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada

hitung sel jumlah eritrosit dijumpai > 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit

biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi.

Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah

metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini. (Yuan, S; 2012)

b) Granulosit

Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV,

berkisar antara 12-25 ribu/mL tetap dapat sampai 60 ribu mL. Pada dua

pertiga kasus ini juga terdapat basofilia. (Yuan, S; 2012)

c) Trombosit

Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL,

bahkan dapat > 1 juta/mL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit

yang abnormal.4. B12 SerumB12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai

pada 35 % kasus, tetapi dapat pula menurun, yaitu pada + 30% kasus, dan

kadar UB12BC meningkat pada > 75% kasus PV. (Yuan, S; 2012)

22

d) Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada

kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel

blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan

peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier seri

eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran

histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang

patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik

PV. (Yuan, S; 2012)

e) Pemeriksaan sitogenetik

Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P53 atau

kemoterapi sitostatik dapat dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi

abnormalitas sitogenetik dapat dijumpai selain bentuk tersebut di atas

terutama jika pasien telah mendapatkan pengobatan P53 atau kemoterapi

sitostatik sebelumnya. (Yuan, S; 2012)

2.13 Pengertian Hemoglobin

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi.

Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan

oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.

Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paruparu ke

jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).

23

2.13.1 Kadar Hemoglobin (Hb)

Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmen respiratorik dalam

butiran-butiran darah merah (Costill, 1998). Jumlah hemoglobin dalam

darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini

biasanya disebut “100 persen” (Evelyn, 2009). Batas normal nilai

hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin

bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan

batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin

(WHO dalam Arisman, 2006).

Tabel 2.13.1 Batas Kadar Hemoglobin

Kelompok Umur Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl)

Anak 6 bulan - 6 tahun 11,0

Anak 6 tahun - 14 tahun 12,0

Pria dewasa 13,0

Ibu hamil 11,0

Wanita dewasa 12,0

(WHO; 2006)

2.13.2 Struktur Hemoglobin (Hb)

Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal

dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan

situs/lokal ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme.

Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin, globin

sebagai istilah generik untuk protein globular. Ada beberapa protein

24

mengandung heme dan hemoglobin adalah yang paling dikenal dan

banyak dipelajari.

Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4

submit protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa dan

beta yang terikat secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara struktural

dan berukuran hampir sama. Tiap sub unit memiliki berat molekul kurang

lebih 16.000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi

64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin mengandung satu heme,

sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat

molekul oksigen (Floris ;2016).

2.13.3 Fungsi Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke

seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh

sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai

reservoir oksigen : menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam

sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam

hemoglobin (Sunita, 2008).

Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain :

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam

jaringan-jaringan tubuh.

2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh

jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.

3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai

hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui

25

apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui

dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar

hemoglobin dari normal

berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Sunita, 2008).

2.13.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kadar Hemoglobin

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :

1. Kecukupan Besi dalam Tubuh

Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin,

sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah

yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga

merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang

berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk

dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada

sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase.

Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan

mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%)

terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati,

hemosiderin di dalam limpa dan sumsum tulang. (WHO dalam Zarianis,

2006).

Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan

senyawasenyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan

flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan

yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos

sel-sel membran masuk kedalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan

26

senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang

peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat

(ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh

mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja.

Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen sekolah dan penurunan

prestasi belajar (Elghetany MT; 2011).

Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang

direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan

yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada

95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi

(Elghetany MT; 2011).

2. Metabolisme Besi dalam Tubuh

Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh orang

dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-

sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg),

phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (> 200-1500 mg). Ada dua

bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk

keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan. Hemoglobin,

mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi

fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi

cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-

25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan

yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme

besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan,

27

penyimpanan dan pengeluaran Setelah proses pencernaan di lambung, zat besi

dari makanan ada yang diserap ke usus halus dan ada pula yang keluar melalui

tinja. Zat ini lebih mudah diserap dalam bentuk ferro melalui pengangkutan

ion ferro yang sudah diabsorpsi diubah menjadi ion ferri dalam mukosa usus.

Ion ferri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin yang

diubah menjadi ferritin yang disimpan di dalam sel mukosa. Apabila simpanan

besi total tinggi dan kebutuhan besi tubuh rendah, besi yang baru diabsorpsi

dimasukan ke dalam ferritin dan tidak diangkut ke tempat lain. Apabila

simpanan besi berkurang atau kebutuhan besi meningkat, besi yang baru

diabsorpsi langsung diangkut dari sel-sel mukosa ke sumsum tulang untuk

produksi hemoglobin. (Floris; 2016).

2.14 Respon Fisiologis Tubuh Pada Dataran Tinggi

Pada keadaan normal, manusia dapat beradaptasi pada kondisi high-

altitude melalui beberapa perubahan pada sejumlah sistem organ seperti

paru, jantung, ginjal dan sistem hematologi. Perubahan ini ada yang dapat

muncul segera, namun ada yang baru muncul setelah beberapa hari atau

minggu. Beberapa mekanisme perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut ini :

2.14.1 Ventilasi

Saat terjadi penurunan tekanan barometrik dan penurunan PaO2 bertahap,

terjadi kompensasi dengan peningkatan ventilasi yang disebut sebagai

hypoxic ventilatory response (HVR). Adanya peningkatan ventilasi saat

istirahat pada pria sehat dari 7,03 ± 0,3 L/menit pada permukaan laut

menjadi 11,8 ± 0,5 L/menit pada hari pertama berada pada ketinggian

28

3.110 m. Ventilasi saat istirahat serta konsumsi oksigen otot saluran nafas

terus meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian, sehingga

diperlukan kapasitas cadangan ventilasi dengan fraksi yang lebih besar

atau maximal voluntary ventilatio) MVV. Sebagai contoh, pasien dengan

MVV hanya 25 L/menit dan peningkatan ventilasi sekitar 4-5 L/menit

pada ketinggian 3.110 m, pasien harus bernafas hampir 50% MVV,

sementara orang sehat hanya 10% MVV. Usaha ekstra untuk bernafas juga

membutuhkan aliran darah yang lebih besar untuk kerja otot-otot

pernafasan, sehingga “mengambil alih” cardiac output dari otot-otot lain

yang akhirnya membatasi kapasitas exercise.

2.14.2 Pertukaran Gas dan Aliran Oksigen

Berbagai faktor mempengaruhi pertukaran udara paru dan oksigenasi

arterial di high-altitude. PAO2 yang rendah membatasi gradient

alveolararterial dan bersamaan dengan tekanan vena yang rendah, juga

menunda ekuilibrasi alveolar-kapiler. Penurunan PaO2 menurunkan

kandungan oksigen darah, namun efek terhadap aliran oksigen terjadi

karena peningkatan COP, hemokonsentrasi oleh efek diuretik ringan dari

hipoksia, sekresi eritropoetin akibat hipoksia serta peningkatan produksi

sel darah merah. Akhirnya, pada setiap PaO2 berapapun, saturasi arteri

akan lebih tinggi pada alkalosis respiratorik akut akibat hiperventilasi yang

menyebabkan pergeseran kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri. Pergeseran ini

menyebabkan ambilan oksigen paru berkurang sepanjang waktu sampai

kurva disosiasi bergeser ke kanan sebagai respon peningkatan 2,3-

diphospoglycerate dan kompensasi ginjal untuk alkalosis respiratoriknya.

29

Perubahan ini terjadi sangat cepat (1-2 hari) mengikuti pendakian sampai

ketinggian < 5.000 m dan sebagai hasilnya, posisi kurva disosiasi tidak

berubah dari posisi awal pada permukaan laut.

2.14.3 Sistem Vaskularisasi Paru

Pada high-altitude, hipoksia alveolar menyebabkan hypoxic pulmonary

vasocontriction (HPV) dan peningkatan tekanan arteri paru, tekanan

atrium kiri tetap normal dan peningkatan tekanan parsial paru (Ppa)

menetap selama beberapa waktu.

2.14.4 Mekanik Paru

Berbagai perubahan mekanik paru dapat terjadi pada high-altitude, diduga

terjadi beberapa mekanisme yaitu diantaranya pelebaran vaskular

pulmonar, oedem intersisial ringan, peningkatan distensi abdomen dan

penurunan kekuatan otot pernafasan. Sebaliknya, kapasitas total paru

(TLC) meningkat pada ketinggian, yang berarti volume residual juga

meningkat. Data tentang FEV1 pun masih belum jelas dimana dari studi

dapat ditemukan terjadi peningkatan, penurunan maupun tidak ada

perubahan. Selain itu, terjadi juga peningkatan PEFR (peak expiratory

flow rates) dan penurunan resistensi aliran udara.

2.15 Fisiologi Adaptasi

Pada orang yang mendaki ke high-altitude, terjadi penurunan tekanan

udara, tekanan parsial O2 (PO2), PaO2 dan saturasi oksigen dalam darah.

Hipoksemia terjadi karena rangsangan kemoreseptor perifer, yang

menyebabkan terjadinya hiperventilasi, yang meningkatkan PO2 alveoli

dan mengaktivasi VO2 max setiap peningkatan 100 m diatas ketinggian

30

1.500 m, selanjutnya kapasitas aerobik menurun sekitar 10% pada 2.500

m; 25% pada 4.000 m dan 65% pada 8.000 m. Pada high-altitude,

performance latihan fisik yang memerlukan konsumsi oksigen

submaksimal berhubungan dengan ventilasi yang lebih tinggi dan denyut

jantung yang lebih tinggi dari di permukaan laut. Tekanan darah arterial

biasanya stabil, aktivasi simpatis cenderung meningkatkannya, namun

efek ini dihambat oleh vasodilatasi perifer yang secara langsung

diakibatkan oleh hipoksia. (Beall CM; 2012)

2.16 Patofisiologi Kadar Hemoglobin di Dataran Tinggi

Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi fisik

seseorang. Lingkungan tempat tinggal akan berdampak pada terjadinya

adaptasi fisiologis seseorang. Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa

dijadikan perbandingan dengan adanya perbedaan tekanan parsial oksigen

(PO2), yaitu ketika orang tinggal di daerah ketinggian dalam waktu lama

maka akan terjadi proses aklimatisasi. Terjadi respon kompensasi akut berupa

peningkatan ventilasi dan curah jantung secara bertahap selama beberapa hari

akan digantikan oleh tindakan-tindakan kompensasi yang berkembang lebih

lambat yang memungkinkan oksigenasi jaringan yang adekuat dan pemulihan

asam basa. Produksi sel darah merah meningkat, dirangsang oleh eritropoitein

sebagai respon terhadap penurunan penyaluran oksigen ke ginjal. Hipoksia

juga merangsang sintesis DPG (diphosphoglycerat) dalam sel darah merah,

sehingga oksigen lebih mudah dibebaskan dari hemoglobin di jaringan.

Jumlah kapiler di dalam jaringan meningkat, sehingga jarak yang harus

ditempuh oleh sel darah merah berkurang, sel-sel yang mengalami

31

aklimatisasi menggunakan oksigen lebih efisien, ginjal membantu dengan

tetap menjaga PH darah pada range yang normal. (Vander; 2011)

Guyton membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari suhu

udara dan kadar oksigen (O2) juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari

permukaan air laut maka kadar oksigenya (O2) semakin sedikit. Dengan

adanya perbedaan tekanan parsial oksigen (PO2) yang terdapat di dataran

rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh juga pada jumlah hemoglobin

(Hb) dalam butir-butir sel darah merah. Dataran tinggi atau di daerah

pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan menurun. Agar tubuh tetap

mendapat jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang diperbanyak, yakni

jumlah hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah akan bertambah. Pada daerah

yang tinggi seperti di pegunungan kadar oksigen (O2) dan tekanannya lebih

kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau dataran rendah. Karenanya

perlu adaptasi fisiologis atau aklimatisasi bagi orang yang tinggal di dataran

tinggi atau di pegunungan, aklimatisasi ini terjadi sejak dia lahir. Salah satu

adaptasi fisiologis yang terjadi yakni : kapasitas paru lebih besar dan kadar

hemoglobin (Hb) darah menjadi banyak. (Guyton; 2014)

2.17 Patofisiologi Kadar Hemoglobin abnormal dan gejala PV.

Polisitemia vera adalah penyakit sumsum tulang disfungsional yang

juga meningkatkan produksi sel darah merah. Meningkatnya produksi sel

darah merah umumnya diikuti dengan meningkatnya Hemoglobin darah.

Sehingga orang dengan gejala polisitemia vera memang lebih beresiko

mempunyai kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari kebanyakan orang

normal. Kadar oksigen arterial yang rendah akan menstimulasi sumsum

32

tulang melalui pelepasan eritropoietin di ginjal akan meningkatkan produksi

sel darah merah sehingga terjadi peningkatan massa sel darah merah, Ht dan

viskositas darah. Peningkatan sel darah merah yang bersirkulasi sebenarnya

merupakan respon kompensasi untuk meningkatkan transport oksigen ke

jaringan agar suplai oksigen ke jaringan adekuat. namun peningkatan

viskositas serum ini malah akan mengurangi kecepatan aliran darah dan

perfusi ke jaringan serta gangguan penghantaran oksigen ke jaringan,

sehingga akan muncul gejala seperti sakit kepala, gangguan penglihatan,

kehilangan konsentrasi, parestesia, kelemahan otot dan lemas. Respon

polisitemia dengan terjadinya peningkatkan kapasitas pembawa oksigen akan

bermanfaat pada pasien sianotik, namun saat hematokrit mencapai kadar 65%

atau lebih peningkatan tajam viskositas darah terjadi dan respon polisitemik

menjadi tidak menguntungkan, terutama bila terdapat gagal jantung kongestif.

(Misurin AV; 2011)

22