BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). 2.1.1 Jenis-jenis diabetes melitus 2.1.1.1 Diabetes mellitus tipe 1 Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.1 Jenis-jenis diabetes melitus

2.1.1.1 Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun.

Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu

sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi

glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun

demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain

defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon

yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia

akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,

hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan

ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila

tidak mendapatkan terapi insulin.

2.1.1.2 Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih

banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang

dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun

sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin

pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.

Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,

merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian

besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan

kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar

dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu

defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap

glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua

kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang

mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

2.1.1.3 Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama

masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi

karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin

(Tandra, 2008).

2.1.2 Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,

polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126

mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

Glukosa plasma

puasa

Glukosa Plasma 2 jam

setelah makan

Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Diabetes ≥126 mg/dl ≥200 mg/dl

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah

raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,

dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi

obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

2.1.3.1 Terapi non farmakologi

1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam

hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

kadar normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus,

yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang

optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1,

perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk

mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β

terhadap stimulus glukosa.

2. Olah raga

Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal

dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,

bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

2.1.3.2 Terapi farmakologi

1. Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam

merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino

tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri

dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa

dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah

setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di

cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.

Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng

atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan

mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:

Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan

memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien

yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi

metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah

insulin (Waspadji, 2010).

2. Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien

diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan

menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,

oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat

berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian

senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh

kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa

baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.

Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,

2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini

diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan

Suharto, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,

masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-

hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada

asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan

masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam

hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat

albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa

hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).

Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan

efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah

pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali

lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak

efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya

berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu

menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)

(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit

diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko

dan Suharto, 1995).

Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme

dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan

melalui ginjal (Katzung, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling

rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif

dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya

waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk

yang tidak aktif (Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan

glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan

menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga

berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang

overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan

berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan

bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan

glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan

dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa

menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas.

Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase

alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia

postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose

(Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2 Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan

tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg lama). Menurut

WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas

untuk tekanan sistolik 140 mmHg, sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah

batas yang harus diamati bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg

(Anonim, 2008).

2.2.1 Jenis-jenis hipertensi

2.2.1.1 Hipertensi primer (essensial)

Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien

hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu,

upaya penanganan hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian

tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer.

Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda,

kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala

setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.

2.2.1.2 Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada

kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular

adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara

langsung atupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

2.2.2 Klasifikasi tekanan darah

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC

KlsifikasiTekanan Darah

TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Keterangan : TDS = Tekanan Darah Sistolik TDD = Tekanan Darah Diastolik 2.2.3 Pengelolaan hipetensi

2.2.3.1 Terapi non farmakologi

Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang.

Semua pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati

mengenai gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam (total, < 5

g/hari), asupan lemak jenuh dan alkohol (pria < 21 unit dan perempuan < 14 unit

per minggu), banyak makan buah dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat

menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.2.3.2 Terapi farmakologi

Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah

obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan

beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan

organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau

faktor risiko lain.

Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin

Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker

(ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi

dan Alkes, 2006).

2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada

populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan

memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,

stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat

diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi

merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes

dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes

khususnya.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi

insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah

diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi

natrium (Saseen dan Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak

berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali

bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul

selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul.

Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan

ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada

sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui

hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg)

mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular

(Saseen dan Carter, 2005).

2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

2.3.1.1 Terapi non farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam

penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus

seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia,

hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati

autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan

asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga

(Saseen dan Carter, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

2.3.1.2 Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus

mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus

sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-

hiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,

tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes

mellitus adalah senagai berikut:

1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan

angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006).

ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini

merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.

Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang

berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan

antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,

2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi

arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat

mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek

pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,

Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung

reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,

pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan

konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat

pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai

sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara

farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent

arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray,

dkk., 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,

diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal

pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan,

Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

3. Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus

kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan

sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat

kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa

menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).

4. Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,

dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling

tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal

perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan

Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang

kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada

penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi

penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada

dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas

relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif

memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada

pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme

glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes

dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular

dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif

yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter,

2005).

CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB

dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB.

Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena

kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk

mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,

khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,

Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana

dalam pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat.

Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien

untuk mencapai hasil (outcomes) yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas

hidup pasien (Cipolle, dkk., 2004).

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang beorientasi kepada pelayanan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan

penyerahan obat pada pasien tapi juga memerlukan interaksi dengan pasien dan

professional kesehatan lainnya.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang

paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat

kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan

pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien

mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan

terjangkau (Anomim, 2011).

2.5 Drug Related Problems (DRPs)

DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan cenderung

mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan. Drug Related Problems

mempunyai dua komponen utama:

1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang dialami oleh

pasien. Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari keluhan medis, gejala,

diagnosis, penyakit, ketidakmampuan, atau sindrom. Peristiwa tersebut dapat

disebabkan oleh kondisi psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.

2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan terapi obat.

Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, saran yang berkaitan

dengan sebab dan efek atau kejadian yang memerlukan terapi obat untuk

resolusi dan pencegahannya (Cipolle, dkk., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan penyebabnya menurut

Cipolle, dkk., (2004) disajikan sebagai berikut:

1. Membutuhkan terapi tambahan obat

a. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada

obat.

b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat

berkesinambungan.

c. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi

kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.

d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang

dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat

dan / atau tindakan pramedis.

2. Terapi obat yang tidak perlu

a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada

waktu itu.

b. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari

obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.

c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.

d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya

satu terapi obat yang terindikasi.

f. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat

dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

3. Terapi obat salah

a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

4. Dosis terlalu rendah

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada

pasien.

b. Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang

diharapkan.

c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon

yang diinginkan.

5. Reaksi obat yang merugikan

a. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

b. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau

makanan pasien.

c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki

yang tidak terkait dengan dosis.

d. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

6. Dosis terlalu tinggi

a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.

b. Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat

yang diharapkan.

c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.

d. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35195/4/Chapter II.pdf · setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin

7. Kepatuhan

a. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,

pengobatan, pemberian, pemakaian).

b. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

d. Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang

mengerti.

e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah

merasa sehat.

Universitas Sumatera Utara