BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

45
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial. Kenakalan remaja berupa perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja. Bab ini memaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Teori Kenakalan Remaja, Kecerdasan Emosional dan Keharmonisan Keluarga yang dimulai dari pengertian, aspek-aspek dan faktor yang memengaruhi dari masing- masing peubah. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, dinamika hubungan antar peubah, model penelitian serta hipotesis penelitian. 2.1 KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA 2.1.1 Pengertian Kecenderungan Kenakalan Remaja Menurut Soekanto (1993), kecenderungan merupakan suatu dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu arah tertentu untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek. Kecenderungan merupakan hasrat, keinginan yang selalu timbul berulang- ulang (Sudarsono, 1997). Kecenderungan dapat bersifat sementara dapat juga bersifat menetap. Selain itu kecenderungan tidak bersifat hereditas dan perwujudannya lebih dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif (Sabri, 1993).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku

remaja yang tidak dapat diterima secara sosial. Kenakalan remaja berupa

perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat

yang dilakukan pada usia remaja. Bab ini memaparkan tentang teori yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu Teori Kenakalan Remaja,

Kecerdasan Emosional dan Keharmonisan Keluarga yang dimulai dari

pengertian, aspek-aspek dan faktor yang memengaruhi dari masing-

masing peubah. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian

sebelumnya, dinamika hubungan antar peubah, model penelitian serta

hipotesis penelitian.

2.1 KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA

2.1.1 Pengertian Kecenderungan Kenakalan Remaja

Menurut Soekanto (1993), kecenderungan merupakan suatu

dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu

arah tertentu untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek.

Kecenderungan merupakan hasrat, keinginan yang selalu timbul berulang-

ulang (Sudarsono, 1997). Kecenderungan dapat bersifat sementara dapat

juga bersifat menetap. Selain itu kecenderungan tidak bersifat hereditas

dan perwujudannya lebih dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif

(Sabri, 1993).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

16

Kenakalan remaja juga dikenal dengan istilah perilaku delinkuensi

(Juvenile delinquency). Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis yang

berarti anak-anak; anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-

sifat khas pada periode remaja. Delinquency berasal dari kata Latin

delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian

diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan,

pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,

dursila, dan lain-lain. Kenakalan remaja adalah perbuatan jahat/dursila

atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit

(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh

satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan

bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2012).

Kenakalan remaja adalah tindakan oleh seseorang yang belum

dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu

sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum

dapat dikenai hukuman (Gold & Petronio dalam Sarwono, 2007).

Kenakalan remaja mempunyai arti khusus dan terbatas pada suatu masalah

tertentu yaitu masa remaja sekitar umur 13-15 tahun sampai dengan umur

21 tahun.

Kamus Webster’s New World Dictionary of The American

Language (dalam Tambunan, 1982) memberi arti sebagai suatu kegagalan

atau tidak menurut hukum. Dalam hal tingkah laku anak itu disebut

seorang antisosial atau pelanggar hukum dan pada umumnya usia anak itu

sudah akil balik. Ensiklopedia The World Book Encyclopedia memberi arti

juvenile delinquency sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

seorang remaja termasuk di dalamnya tindakan yang melanggar norma-

norma masyarakat. Sedangkan menurut Comparative Survey on Juvenile

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

17

delinquency (1988) merumuskan perbuatan yang dilakukan oleh orang

muda laki-laki atau perempuan dan mereka diberikan perlakuan khusus

sesuai hukum yang berlaku.

Menurut Santrock (2007) kenakalan remaja merujuk pada berbagai

perilaku, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial

(seperti berbuat onar di sekolah), pelanggaran status (melarikan diri dari

rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian, dan lain-lain).

Menurut Jensen (1985, dalam Sarwono 2007), kenakalan remaja merujuk

pada perilaku melakukan yang dapat menimbulkan korban fisik, materi,

kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status sebagai remaja.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kecenderungan kenakalan remaja adalah dorongan atau keinginan untuk

berperilaku melanggar aturan baik di sekolah maupun aturan dalam

masyarakat yang tidak dapat diterima secara sosial berupa pelanggaran

status yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

2.1.2 Teori Kenakalan Remaja

Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

(1985-1939) kepribadian manusia dikendalikan oleh proses mental bawah

sadar yang dikembangkan pada awal masa kanak-kanak. Perkembangan

kepribadian sadar pada masa awal kanak-kanak ini memengaruhi perilaku

selama sisa hidup seseorang. Ketika tiga komponen utama kepribadian

yakni id, ego dan superego seimbang, individu dapat menjalani hidup

normal. Jika tidak maka individu akan menunjukkan ciri-ciri kepribadian

yang abnormal. Kenakalan maupun pelanggaran hukum merupakan hasil

dari kepribadian abnormal yang terbentuk pada awal kehidupan.

Ketidakseimbangan dalam ciri-ciri kepribadian yang disebabkan oleh

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

18

trauma awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan kesulitan psikologis

jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan mereka yang berperilaku

nakal, jahat menurut teori ini pada dasarnya memiliki ego yang lemah dan

kepribadian yang rusak (Siegel & Brandon, 2011).

Menurut psikolog perilaku, kepribadian dipelajari sepanjang hidup

dan selama berinteraksi dengan orang lain. Berdasar pada karya Watson

(1878-1958) dan dipopulerkan oleh Skinner (1904-1990) perilaku

merupakan hasil belajar dengan mengamati bagaimana orang bereaksi

terhadap perilaku mereka. Perilaku dipicu awal oleh stimulus, ketika

perilaku tertentu diperkuat oleh reaksi positif maka perilaku itu akan

berkelanjutan karena terus dipelajari. Selanjutnya beberapa psikolog

perilaku berpendapat bahwa pembelajaran sosial terjadi melalui

pengalaman, ditambah dengan nilai-nilai, dan harapan menentukan

perilaku. Menurut Bandura (1977) orang belajar dari yang orang lain,

melalui observasi, peniruan, dan pemodelan. Perilaku manusia merupakan

hasil interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif,

perilaku, dan pengaruh lingkungan. Bandura (1963, dalam Siegel &

Brandon, 2011) berpendapat bahwa anak-anak akan mencontohi perilaku

dan reaksi yang mereka terima dari orang lain; misalnya orang dewasa,

terutama orang tua, dan perilaku yang mereka melihat di televisi dan film.

Jika anak-anak mengamati kenakalan dan melihat bahwa itu disetujui atau

dihargai, mereka mungkin akan bereaksi yang sama saat kejadian serupa.

Pembelajaran sosial menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di

rumah di mana kekerasan merupakan sebuah cara hidup membuat mereka

dapat belajar untuk percaya bahwa perilaku seperti dapat diterima. Bahkan

jika orang tua menghukum dengan kekerasan maka anak-anak akan

mencontoh perilaku kekerasan. Jadi, anak-anak lebih cenderung

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

19

memperhatikan apa yang orang tua lakukan daripada apa yang mereka

katakan (Siegel & Brandon, 2011).

Dalam perspektif teori kognitif pola perilaku kenakalan, kejahatan

berubah dari waktu ke waktu tergantung kekuatan penalaran mereka.

Kenakalan berkaitan dengan penalaran individu sebagai proses

memengaruhi perilaku. Menurut Kohlberg (1969, dalam Siegel & Brandon,

2011) dalam kaitan dengan persoalan kenakalan, pelaku yang cenderung

nakal memiliki orientasi moral yang berbeda dari mereka yang mematuhi

aturan yang berlaku. Mayoritas pelaku kenakalan terungkap mereka

memiliki penghormatan yang rendah terhadap hukum serta mementingkan

diri sendiri. Penelitiannya telah menemukan bahwa sejumlah besar remaja,

pemuda yang berperilaku nakal memiliki penalaran moral yang rendah

dan sebaliknya, yang berdampak dengan munculnya lebih banyak bentuk

kenakalan dalam lingkaran yang tidak pernah berakhir (Siegel & Brandon,

2011).

Dalam tulisan ini penulis berlandas pada perspektif pembelajaran

sosial yang melihat kecenderungan kenakalan sebagai bentuk

pembelajaran melalui hubungan dekat dengan orang lain. Menurut

Bandura (1963, dalam Siegel & Brandon, 2011) kenakalan sebagai hasil

interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan, juga merupakan hasil

dari hubungan yang terganggu dengan orang tua. Dengan tidak adanya

kontrol maka anak mungkin mengungkapkan dengan perilaku yang tidak

dapat diterima, seperti perilaku nakal.

Sejalan teori di atas, Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007)

menguraikan kenakalan remaja berkaitan dengan keadaan lingkungan baik

keluarga dan masyarakat juga oleh keadaan pribadi dari seseorang. Faktor

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

20

lingkungan keluarga, masyarakat dan keadaan pribadi seseorang memberi

pengaruh pada terjadinya perilaku nakal. Remaja dapat belajar nilai-nilai

menyimpang dari orang tua, saudara, bahkan teman-teman. Dari

lingkungan dan keadaan pribadi seseorang sangat memungkinkan remaja

untuk cenderung melakukan kenakalan yang dapat menimbulkan korban

fisik, materi, kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status

sebagai remaja.

Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil

interaksi faktor dalam diri dan lingkungan sehingga dapat disimpulkan

kecenderungan berperilaku nakal merupakan hasil interaksi dari faktor

dalam diri (kecerdasan emosional) dan lingkungan (keluarga).

2.1.3 Bentuk Kenakalan Remaja

Pada umumnya remaja bersifat pendek pikir, sangat emosional,

agresif, tidak mampu mengenal nilai-nilai etis dan cendrung menceburkan

diri dalam perbuatan yang beresiko. Pembagian bentuk kenakalan remaja

ini berdasarkan ciri kepribadian (Kartono, 2012), sebagai berikut:

1. Kenakalan Terisolir

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja

delinkuen dan merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka

tidak mengalami gangguan psikologis. Perbuatan kejahatan yang

dilakukan disebabkan atau didorong oleh faktor-faktor berikut: (1)

Keinginan meniru, ingin konform dengan norma gangnya. (2) Mereka

kebanyakan berasal dari daerah yang transisional sifatnya yang memiliki

subkultural kriminal. Sejak kecil melihat adanya gang-gang kriminal

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

21

sampai pada suatu saat menjadi anggota salah satu gang kelompok

tersebut dan merasa diterima, mendapat kedudukan, pengakuan, status

sosial dan prestise tertentu. (3) Berasal dari keluarga berantakan, tidak

harmonis, tidak konsekuen dan mengalami banyak frustasi. (4) Mereka

mengadopsi etik dan kebiasaan gang yang dipakai sebagai saran untuk

meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup “menonjol”

dan berarti (5) Mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali

mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur. Sehingga anak

tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal.

Ringkasnya, kenakalan terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan

dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekularitas dari dan

di dalam kelompok gangnya. Namun, pada usia dewasa, mayoritas remaja

tipe ini meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Sekitar 60%

menghentikan perbuatan mereka pada usia 21-23 tahun.

2. Kenakalan Neurotik

Pada umumnya anak-anak di tipe ini menderita gangguan kejiwaan

yang cukup serius antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak

aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau

berdosa dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain: (1) Tingkah

laku kenakalannya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat

dalam. (2) Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik

batin yang belum terselesaikan. Sehingga tindak kejahatan mereka

merupakan alat-pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan dan kebingungan

batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.(3) Biasanya, anak

remaja tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan

jenis kejahatan. (4) Anak dengan kenakalan neurotik banyak yang berasal

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

22

dari kelas ekonomi menengah. Namun pada umumnya keluarga mereka

mengalamu banyak ketegangan emosional yang parah dan orang tuanya

biasanya juga neurotik atau psikotik. (5) Anak memiliki ego yang lemah

dan ada kecendrungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa

atau remaja lainnya. (6) Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda.

Misalnya para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh

nafsu ekshibisionistis, anak-anak yang suka membokar melakukan

pembokaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks dan lain-lain.

(7) Perilaku yang memperlihatkan kualitas komplusif. Anak-anak dan

orang muda yang tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu,

penjahat seks dan pecandu narkotik ada dalam tipe neurotic ini. Mereka

akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan

umur tua.

3. Kenakalan Psikopatik

Kenakalan psikopatik ini sedikit jumlahnya tetapi dilihat dari

kepentingan umum dan segi keamanan mereka merupakan oknum

kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah (1)

Hampir seluruhnya berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga

yang ekstrim, brutal diliputi banyak pertikaian keluarga, disiplin keras

namun tidak konsisten dan selalu menyianyiakan anak-anaknya. Tidak

sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim-piatu. Dalam lingkungan

demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang dan

relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga mereka tidak

mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi. Mereka tidak mampu

menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain. (2)

Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, ketika melakukan

pelanggaran. (3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

23

hatinya yang tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat

agresif dan impulsive. Biasanya mereka berulang kali masuk penjara. (4)

Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-

norma sosial yang umumnya berlaku. Juga tidak peduli norma subkultur

gangnya sendiri.

Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri-ciri:

tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah

bertanggung jawab secara moral; dia selalu berkonflik dengan norma

sosial dan hukum. Selalu anti sosial, eksentrik kegila-gilaan dan tidak

memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis,

fanatik, dan selalu menentang apa dan siapapun juga juga. Sikapnya aneh,

sangat kasar, kurang ajar, ganas, buas terhadap siapapun tanpa sebab.

Kata-katanya menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas dan

sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun.

4. Kenakalan Defek Moral

Defek (defect, defectus) artinya rusak; tidak lengkap, salah, cedera,

cacat, kurang. Ciri-cirinya: selalu melakukan tindak a-sosial walaupun

dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif namun ada

disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan dan kegagalan para tipe ini

ialah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya

yang jahat; juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Mereka

selalu ada keinginan untuk melakukan kekerasan, penyerangan dan

kejahatan. Relasi kemanusiaannya sangat terganggu. Sikap yang sangat

dingin dan beku, tanpa perasaan; jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas

emosional. Mereka tidak memiliki harga diri dan terdapat kelemahan pada

dorongan instrinktif yang primer sehingga pembentukan superegonya

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

24

sangat lemah. Implusnya tetap ada dalam taraf primitive sehingga sukar

dikontrol dan dikedalikan. Mereka selalu bersikap bermusuhan terhadap

siapapun juga karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan.

Remaja dengan defek moral biasanya biasanya menjadi penjahat dan sukar

diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena

didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif. Lebih kurang

80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan

mental yang salah. Hanya kurang lebihh 20% yang menjadi penjahat

disebabkan factor sosial atau factor lingkungan sekitar.

Dari keempat bentuk kenakalan ini, kecenderungan remaja dalam

penelitian ini adalah bentuk kenakalan terisolir yang pada umumnya

mereka tidak mengalami gangguan psikologis. Perilaku mereka

disebabkan atau didorong oleh keinginan meniru dan sebagainya.

2.1.4 Aspek-aspek Kenakalan Remaja

Hurlock (1980) berpendapat bahwa kenakalan remaja terbagi

dalam empat aspek, yaitu:

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti

merampas, mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi

orang tua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran

dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti

mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan

menggunakan senjata tajam.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

25

Aspek kenakalan lainnya dijabarkan oleh Jensen (1985, dalam

Sarwono, 2007) sebagai berikut:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:

perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang

lain: pelacuran, penyalahgunaan obat dan hubungan seks pra-nikah

d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak

sebagai pelajar dengan membolos, mengingkari status orang tua

dengan minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan

sebagainya.

Menurut Gunarsa (2003) kenakalan yang dilakukan oleh remaja,

dapat dilihat pada gejala sebagai berikut:

a. Membohong, memutarbalikan kenyataan dengan tujuan menipu

orang atau menutup kesalahan.

b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa izin.

c. Kabur, meninggalkan tumah tanpa izin orang tua atau menentang

keinginan orang tua

d. Keluyuran, pergi sendiri atau berkelompok tanpa tujua dan mudah

menimbulkan perbuatan iseng yang negatif

e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain.

Misalnya pisau, pistol, pisau silet dan sebaginya.

f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga

mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

26

g. Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah

timbul tindakan yang kurang bertanggung jawab

h. Membaca buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang

tidak sopan, tidak senonoh, seolah-olah menggambarkan kurang

perhatian dari orang dewasa.

i. Secara berkelompok makan di rumah makan atau naik angkutan

umum tanpa membayar

j. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau

menghisap ganja.

Penelitian ini berdasar pada aspek kenakalan remaja menurut

Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007). Sesuai tujuan penelitian yang

melihat kecenderungan kenakalan remaja maka aspek-aspek kenakalan

remaja menurut Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007) dijabarkan sebagai

dorongan atau keinginan untuk melakukan kenakalan yang menimbulkan

korban fisik pada orang lain, kemauan untuk melakukan kenakalan yang

menimbulkan korban materi, keinginan melakukan kenakalan sosial,

keinginan untuk melakukan kenakalan yang melawan status.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

27

2.1.5 Karakteristik Remaja Nakal

Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai

karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal.

Perbedaan itu mencakup:

a. Perbedaan struktur intelektual

Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan

inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi

kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai

lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan

verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang

ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku

orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang

lain sebagai cerminan dari diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis

Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki

perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan

dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat,

dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga

menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas

pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus

kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali

perkembangan tertentu.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

28

c. Ciri karakteristik individual

Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang

menyimpang, seperti:

i. Rata-rata remaja nakal hanya berorientasi pada masa sekarang,

bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa

depan.

ii. Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

iii. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga

tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak

bertanggung jawab secara sosial.

iv. Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir

yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari

besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

v. Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan

bahaya.

vi. Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.

vii. Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka

menjadi liar dan jahat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya

berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih

ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai

kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan

kurangnya kematangan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

29

2.1.6 Faktor-faktor yang memengaruhi Kecenderungan Kenakalan

Remaja

Menurut Kartono (2012) penyebab timbulnya kecenderungan

kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal antara lain:

a. Faktor intelegensi, remaja nakal ini pada umumnya mempunyai

intelegensi verbal rendah dan pencapaian hasil prestasi sekolah rendah.

b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap

otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif.

Kepribadian memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan

menyimpang.

c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang

sesuai dengan lingkungan sosialnya.

d. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan

kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah

dalam diri remaja.

e. Emosi yang kontroversial. Pendorong kuat munculnya kenakalan

adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan

sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan

memburuk, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat membawa pada

perilaku maladaptif.

f. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung

jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga

cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

30

Faktor eksternal timbulnya kecenderungan kenakalan remaja (Kartono

2012) adalah:

a. Lingkungan rumah atau keluarga:

(i) Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga

besar dan rumah kotor.

(ii) Memiliki kebiasaan yang kurang baik.

(iii) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru

menerapkan disiplin yang salah.

(iv) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional.

(v) Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.

(vi) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya.

(vii) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota.

(viii) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah.

(ix) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya.

(x) Broken home karena kematian, perceraian, hukuman dan lain-

lainnya.

b. Lingkungan sekolah

(i) Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya

kurang mampu.

(ii) Guru bersikap reject atau menolak.

(iii) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang

kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak.

(iv) Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka

membolos, malas belajar, melawan peraturan sekolah atau

melawan guru, anak meninggalkan sekolah.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

31

c. Lingkungan masyarakat

(i) Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.

(ii) Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan

kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.

(iii) Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak

berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan teman-

temannya.

Graham (1983, dalam Sarwono, 2007), membagi faktor-faktor

penyebab kecenderungan kenakalan lebih mendasarkan pada sudut

kesehatan mental remaja dalam dua golongan:

a. Faktor lingkungan, meliputi (a) malnutrisi (kekurangan gizi), (b)

kemiskinan, (c) gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu

lintas, bencana alam, dan lain-lain), (d) migrasi (urbanisasi,

pengungsian, dan lain-lain). (e) faktor sekolah (f) keluarga yang

tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-

lain). (g) gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga meliputi

kematian orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar

anggota keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang

tidak harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar

anggota yang tidak haarmonis dapat menghambat perkembangan

individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya.

b. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi

temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat

tubuh, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

32

Selain faktor penyebab di atas, dalam beberapa penelitian lain

ditemukan beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan kenakalan

remaja:

a. Kecerdasan Interpersonal

Menurut Aprilia (2013) kecerdasan interpersonal merupakan

kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi,

membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua

belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan. Indikator

kecerdasan interpersonal yaitu kesadaran diri, pemahaman situasi sosial

dan etika sosial, pemecahan masalah efektif, kemampuan empati, sikap

prososial, komunikasi dengan santun serta mendengarkan dengan efektif.

Ketika seseorang memimili kecerdasan interpersonal maka orang tersebut

akan memiliki kecenderungan nakal yang rendah karena kecerdasan

interpersonal memiliki hubungan negatif dengan perilaku kenakalan

remaja.

b. Religiusitas

Millatina et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya

hubungan religiusitas dengan kecenderungan kenakalan remaja.

Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi atau dimensi kehidupan

manusia. Remaja yang memiliki religiusitas relatif tinggi menunjukan

perilaku negatif relatif rendah. Individu yang memiliki religiusitas tinggi

mampu menjadikan nilai-nilai ajaran agamanya sebagai mekanisme

kontrol yang mengatur serta mengarahkan tingkah lakunya sehari-hari

sehingga dimungkinkan remaja dalam berperilaku normatif dan terhindar

dari kecenderungan kenakalan remaja. Nilai-nilai agama yang melekat

dalam diri remaja menumbuhkan religiusitas yang memungkinkan remaja

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

33

dapat mengontrol dirinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Halima (2013) bahwa religiusitas yang memadai dari remaja

memungkinkan remaja mampu mengatasi kondisi sulit dan dapat

berperilaku adaptif serta terhindar dari kecenderungan kenakalan remaja.

c. Kontrol Diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk

mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.

Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang

dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja

yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Kontrol diri sebagai

atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya kecenderungan

kenakalan remaja. Hal tersebut ditemukan dalam penelitian Aroma dan

Suminar (2012) semakin tinggi kontrol diri seseorang maka akan semakin

rendah perilaku kenakalannya.

d. Konsep Diri

Konsep diri merupakan prediktor penting bagi tingkah laku. Konsep diri

merupakan pandangan atau keyakinan dari keseluruhan diri meliputi

konsep, asumsi, dan prinsip-prinsip yang dipegang selama hidup sehingga

menjadi cermin bagi individu dalam memandang dan menilai dirinya

sendiri yang kemudian terwujud dalam tingkah laku. Millatina et al.

(2012) dalam penelitian menemukan semakin tinggi tingkat konsep diri

maka kecenderungan kenakalan remaja akan rendah, begitu pula

sebaliknya.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

34

e. Kepercayaan Diri

Menurut Fatchurahman dan Pratikto (2012) kepercayaan diri merupakan

sikap individu dalam hal ini siswa yang yakin akan kemampuan dirinya

atau mempunyai pandangan yang bersifat positif terhadap dirinya, dengan

tidak perlu membandingkan dengan orang lain. Bentuk kepercayaan diri

seperti percaya pada kemampuan diri sendiri, bertindak mandiri dalam

mengambil keputusan, memiliki konsep diri yang positif, dan berani

mengungkapkan pendapat. Semakin tinggi kepercayaan diri remaja maka

semakin rendah tingkat kecenderungan kenakalan.

f. Penyesuaian Sosial

Adanya hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial

dengan kecenderungan kenakalan remaja (Setianingsih, et al., 2006).

Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu

melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada

perkembangan ke arah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh

lingkungannya. Ketika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian

sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks.

Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar

tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya.

Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja dinilai

lebih rawan.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

35

g. Kemampuan menyelesaikan Masalah

Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi tekanan dan mencari jalan

keluar dari berbagai masalahnya tergantung bagaimana remaja

mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya dan

kemampuan menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat membentuk

sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa. Semakin tinggi

kemampuan menyelesaikan masalah pada remaja maka semakin rendah

kecenderungan perilaku delinkuennya (Setianingsih et al., 2006). Ketika

remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya

diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang

baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi.

h. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang memengaruhi

individu dalam berperilaku. Kecerdasan emosional yang baik dapat

menekan kecenderungan perilaku nakal yang dilakukan. Penelitian yang

dilakukan Rini, Hardjajani, dan Nugroho (2012) menjelaskan kecerdasan

emosional mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan perilaku

individu. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi dapat

mengendalikan dan mengelola emosi sehingga dapat mengendalikan

terjadinya perilaku yang salah, seperti perilaku nakal. Hal ini diperkuat

dengan temuan Agung dan Matulesssy (2012) bahwa kecerdasan

emosional berpengaruh pada tinggi rendahnya perilaku nakal seseorang.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

36

i. Keharmonisan Keluarga

Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf-taraf

permulaan perkembangan anak dan menentukan apakah yang kelak akan

terbentuk (Gunarsa, 2003). Kenakalan remaja sangat terkait dengan

hubungan yang di dalam keluarga misalnya hubungan tidak baik antara

orang tua dan anak (Ilahude 1983, dalam Sarwono, 1999) atau apa yang

dilihatnya di rumah, sekolah dan kalangan teman. Penelitian yang

dilakukan oleh Darokah dan Safaria (2005) menyatakan bahwa anak dari

keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat

dalam kenakalan remaja. Sejalan dengan itu penelitian Maria (2007)

menyatakan keharmonisan keluarga memberi sumbangan dalam arti

menekan tingkat kecenderungan kenakalan remaja. Selain itu penelitian

Widyawati et al., (2014), Saputri dan Naqiah (2014) yang menyatakan

keharmonisan keluarga yang baik akan menekan perilaku nakal remaja.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan kecenderungan kenakalan remaja dipengaruhi oleh

faktor interal dari remaja itu sendiri maupun faktor eksternal yakni faktor

dari luar. Dalam penelitian ini penulis memilih faktor internal yakni

kecerdasan emosional dan faktor eksternal yakni keharmonisan keluarga.

Pemilihan kecerdasan emosional dan keharmonisan keluarga dengan

asumsi: (1). Masa remaja merupakan masa transisi dan remaja akan

mengalami berbagai perubahan. Kecerdasan emosional memungkinkan

remaja untuk mampu mengenali emosi diri sendiri, orang lain dan dapat

mengendalikan emosi diri yang berpengaruh dalam pengendalian perilaku.

(2) Keharmonisan keluarga menjadi faktor penting yang memengaruhi

tingkat kecenderungan kenakalan. Keluarga sebagai lingkungan primer

pada setiap individu yang mengajarkan berbagai norma-norma dan nilai-

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

37

nilai dalam masyarakat. Keharmonisan keluarga sebagai suatu lingkungan

yang diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta

kehidupan yang seimbang (fisik, mental, emosional dan spiritual) yang

memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak

dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengaruh hubungan,

suasana dalam keluarga akan memengaruhi remaja dalam berbagai

perkembangannya juga dalam kemampuan bersosialisasi dengan orang

lain.

2.2 KECERDASAN EMOSIONAL

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosional berawal ketika pakar psikologi

berkebangsaan Amerika, Edward Thorndike membicarakan mengenai

“kecerdasan sosial”. Selanjutnya manfaat penting “faktor emosi”

dikemukakan oleh David Wechler, salah seorang penemu uji IQ. Pada

tahun 1940, dalam sebuah karya ilmiah Wechler mendesak agar “aspek

non intelektual dan kecerdasan umum hendaknya disertakan dalam setiap

pengukuran lengkap. Tulisan itu juga membicarakan kemampuan “afektif

dan konatif” yang pada dasarnya adalah kecerdasan emosional dan sosial

yang menurutnya amat penting dalam memberikan gambaran menyeluruh.

Pada tahun 1948, R.W. Leeper memperkenalkan gagasannya tentang

“pemikiran emosional”. Tahun 1955, Alberth Ellis meneliti apa yang

kemudian dikenal dengan Rational Emotive Therapy (suatu proses yang

melibatkan unsur pengajaran untuk menguji emosi manusia secara logis

dan mendalam). Kemudian pada tahun 1983, Howard Gardner menulis

tentang kemungkinan adanya kecerdasan yang bermacam-macam

termasuk yang disebutnya “kemampuan dalam tubuh” yang pada

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

38

pokoknya adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan

pribadi. Sampai Reuvan Bar-On aktif mengerjakan penelitian dan

menyumbangkan ungkapan “emotional quotient”. Kemudian istilah

“emotional intelligence” diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh

John Mayer dari Universitas New Hampsire, dan Peter Salovey dari

Universitas Yale pada tahun 1990 (Stein dan Book, 2002).

Weisinger (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi

menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku

dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri

seseorang tersebut.

Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan

emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami dan

menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi sebagai sumber

energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut

dikatakan bahwa emosi manusia adalah wilayah dari perasaan lubuk hati,

naluri tersembunyi, dan sensasi emosi. Apabila dipercayai dan dihormati,

kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam

tentang diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.

Bar-On (1985, dalam Stein & Book) menjelaskan kecerdasan

emosi adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-

kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil

mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Dalam bahasa sehari-hari,

kecerdasan emosi biasa kita sebut sebagai street smart atau kemampuan

khusus yang kita kenal sebagai akal sehat, yaitu terkait dengan

kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, serta menatanya

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

39

kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan

dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka, kemampuan

untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, dan kemampuan untuk menjadi

orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang lain.

(Stein & Book, 2002)

Menurut Mayer, Salovey dan Caruso (2004), kecerdasan

emosional merupakan suatu kemampuan untuk memonitor perasaan dan

emosi diri sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi emosi

tersebut untuk memandu proses berpikir dan bertingkah. Sejalan dengan

itu, Robert dan Cooper (dalam Agustian, 2001) mengungkapkan bahwa

kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara

efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,

emosi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Individu yang mampu

memahami emosi individu lain, dapat bersikap dan mengambil keputusan

dengan tepat.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan, meraih dan

membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami

perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam

sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

40

2.2.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Selovey dan Mayer (1990, dalam Goleman, 2002)

kecerdasan emosional terdiri dalam lima aspek berikut ini:

a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi

untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan

yang muncul. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang

sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan emosi. Orang

yang mengenali emosi adalah pilot yang andal bagi kehidupan karena

mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka

sesungguhnya.

b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri,

melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-

akibat yang timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar. Orang

yang buruk kemampuan dalam ketrampilan ini akan terus menerus

bernaung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar

akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat dari kemerosotan dan

kejatuhan dalam kehidupan.

c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi

merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk

memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini

cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang

dikerjakannya.

d. Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu

kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,

kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosial. Orang

empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

41

yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki

orang lain.

e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan

keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial

yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan

hubungan antar pribadi.

Sejalan dengan itu, aspek-aspek kecerdasan emosional menurut

Tsaousis (2008) yaitu:

a. Mengenali emosi diri (expression & recognition of emotions)

Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya

untuk memandu dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak

ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang

kuat.

b. Mengelola emosi (control of emotions)

Menangani emosi dalam diri sedemikian rupa sehingga berdampak

positif, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan

sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari

tekanan emosi.

c. Memotivasi diri sendiri (use of emotion for fascilitation thinking)

Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakan dan

menuntun menuju sasaran, membantu diri dalam mengambil inisiatif

dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi

kegagalan dan frustasi.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

42

d. Mengenali emosi orang lain atau empati (caring or emphaty)

Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami

perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan orang lain.

Dari aspek yang dijelaskan, penulis menggunakan aspek

kecerdasan emosional menurut Tsaosis (2008) yakni mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain.

Peneliti menggunakan aspek kecerdasan emosional dari Tsoasis karena

merupakan pengembangan dari aspek Selovey dan Mayer. Selain itu

menurut penulis aspek-aspek tersebut lengkap dan sederhana untuk

dipakai dalam menggambarkan kecerdasan emosional remaja.

2.2.3 Manfaat Kecerdasan Emosional

Emosi merupakan salah satu elemen dasar pada diri manusia dalam

menciptakan perilaku pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Paul

Ekman, bahwa emosi memberikan pengaruh kepada proses berfikir

(Goleman, 2002). Emosi dapat melumpuhkan proses berfikir rasional

karena emosi dapat memberikan masukan kepada proses berfikir rasional

yang berada di wilayah kecerdasan emosional.

Yukl (2001) mengemukakan bahwa orang-orang yang cerdas

secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, tidak

mengalami gangguan psikologis, lebih menyadari kekuatan dan

kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada pertumbuhan orang, mampu

mengendalikan diri dan tidak egois.

Goleman (2002) mengungkapkan terdapat dua jenis pikiran yaitu

pikiran rasional dan pikiran emosional. Kedua pikiran itu saling

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

43

memengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Keterkaitan

kedua pikiran itu yaitu pikiran rasional model pemahaman yang lazim kita

sadari, lebih menonjolkan kesadaran, bijaksana, mampu bertindak hati-hati

dan merefleksi pikiran emosional, membantu pikiran rasional untuk

mendayagunakan pikiran itu sendiri. Segal (2000) memaparkan

kecerdasan emosional membantu pikiran rasional (akal) karena secara

psikologis jika pusat-pusat emosional terluka, kecerdasan secara

keseluruhan akan mengalami gangguan. Kecerdasan emosional memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap pikiran rasional.

Dalam kaitan dengan kecenderungan kenakalan remaja,

kecerdasan emosional memiliki peran yang signifikan dalam

mempengaruhi perilaku manusia termasuk perilaku nakal. Peranan

kecerdasan emosional terhadap penurunan tingkat kenakalan remaja

merupakan aspek kecerdasan yang mampu bertindak dan memahami

orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain.

Dalam suatu penelitian siswa dengan kecerdasan emosional

memungkinkan remaja dapat bersikap toleransi, mampu mengendalikan

amarah, dapat mengendalikan perilaku yang dapat merusak diri sendiri

dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri dan orang

lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres, dan dapat mengurangi

perasaan kesepian dan cemas. (Rachmawati, 2013)

Sejalan dengan hal di atas kecerdasan emosional dapat

meningkatkan kapasitas seluruh remaja yang adalah siswa sekolah untuk

menjadi lebih berpengetahuan luas, bertanggung jawab, peduli, produktif,

tanpa kekerasan dan dapat berkontribusi dalam masyarakat (Zins,

Bloodworth, Weissberg & Walberg, 2003).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

44

2.3 KEHARMONISAN KELUARGA

2.3.1 Pengertian Keharmonisan Keluarga

Penelitian tentang keluarga telah dimulai sejak lama. DeFrain dan

Asay (2007) menguraikan bahwa sejak dulu penelitian tentang keluarga

focus terutama hanya pada masalah kelemahan dari keluarga atau individu

dalam keluarga. Penelitian awal pada kekuatan keluarga dimulai pada

tahun 1930-an pada 250 keluarga. Pada tahun 1960-an diikuti oleh Otto

pada keluarga dan kekuatan keluarga. Sekitar awal 1970-an penelitian

tentang keluarga mendapatkan momentum ketika Nick Stinnet memulai

karyanya di Oklahoma State University tahun 1974 dan di University of

Nebraska pada tahun 1977. Stinnett, DeFrain dan banyak rekan yang lain

kemudian menerbitkan serangkaian artikel dan buku tentang keluarga.

Konferensi keluarga kemudian dimulai tahun 1978 dan terbukti menjadi

katalis untuk penelitian selanjutnya tentang kekuatan keluarga.

Selama tiga dekade terakhir para peneliti di University of

Nebraska-Lincoln dipimpin oleh John DeFrain, University of Alabama-

Tuscaloosa dipimpin oleh Nick Stinnett, University of Mirinesota-St.

Paulus dipimpin oleh David H. Olson, ditambah afiliasi lembaga di

Amerika Serikat dan di seluruh dunia telah mempelajari keluarga dari

perspektif kekuatan dasar (families from a strengths-based perspective).

Kesamaan yang ditemukan di antara penelitian keluarga secara global

yang menunjukkan kualitas yang menggambarkan karakteristik dari

keluarga yang kuat.

Bagian pertama fokus pada tiga wilayah di dunia dan masing-

masing negara diwakili dalam masing-masing daerah: Afrika (Afrika

Selatan, Botswana, Kenya, Somalia); Timur Tengah (Israel, Oman.); dan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

45

Asia (China, India, Korea). Bagian kedua akan fokus pada keluarga dari

Oceania (Australia Selandia Baru) Amerika Utara (Kanada, Amerika

Serikat): Amerika Latin (Meksiko, Brasil) dan Eropa (Rusia, Yunani,

Rumania). Hasilnya kekuatan keluarga dari budaya ke budaya sangat

mirip. Kekuatan keluarga itu kadang-kadang disajikan dalam cara yang

kreatif yang dijiwai dalam budaya. Sebagai contoh, karena popularitas

olahraga di Selandia Baru, maka metafora olahraga menggambarkan sikap

keluarga Selandia Baru yang bersolidaritas dan memiliki ketahanan yang

cukup baik. Dalam sebuah studi pendahuluan, kekuatan keluarga Selandia

Baru menemukan bahwa rasa menjadi tim terinspirasi pada tanggapan

positif terhadap tekanan. Keluarga secara konsisten berbicara sebagai

sebuah tim, yang bersama-sama, satu orang dengan kekuatan dan

kelemahan dan masing-masing memiliki bagian untuk bermain.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu

dan anaknya. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan

atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan

materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki

hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara

keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling intim dan

merupakan tempat memulai proses penting bagi anak-anak. Menurut Mace

(1985, dalam Defrain & Stinnet, 2003) keluarga harmonis adalah kualitas-

kualitas hubungan yang berkontribusi terhadap kesehatan emosional dan

kesejahteraan keluarga. Keluarga yang mendefinisikan diri mereka sebagai

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

46

keluarga harmonis umumnya mengatakan bahwa mereka saling mencintai,

menemukan kehidupan bersama memuaskan, dan hidup dalam

kebahagiaan dan keharmonisan satu sama lain.

Keluarga yang sehat, harmonis dapat menjadi sumber daya

berharga untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Di sisi lain, hubungan

yang tidak sehat atau disfungsional dapat menciptakan masalah serius

yang dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya (DeFrain &

Asay, 2007). Menurut Defrain dan Stinnet (2003 dalam Coombs, 2005)

keharmonisan keluarga didasari oleh hubungan emosional yang positif

antara anggota keluarga, sehingga tercipta rasa nyaman antara satu dengan

yang lainnya dan terjaminnya kesejahteraan tiap anggota keluarga. Diantara

anggota keluarga tercipta apresiasi dan kasih sayang, komitmen,

komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama dalam keluarga,

tercipta kesejahteraan spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi

krisis di dalam keluarga.

Manurut Lam, Fielding, Mcdowell, Johston, Chan, Leung dan Lam

(2012) keharmonisan keluarga merupakan situasi di mana antar anggota

keluarga hidup bahagia adanya sikap saling peduli, menghormati, saling

mendukung dan kurangnya konflik yang terjadi.

Menurut Gunarsa (1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh

anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya

ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan

dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan

sosial. Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja,

keluarga merupakan sumber pendidikan utama, selain itu juga merupakan

produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

47

kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain

(Gunarsa, 2003).

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan keharmonisan

keluarga adalah suatu lingkungan yang diantara anggotanya tercipta

apresiasi dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif,

mempunyai waktu bersama dalam keluarga, tercipta kesejahteraan

spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis di dalam

keluarga sehingga tercipta kehidupan yang memungkinkan anak tumbuh

dan berkembang secara seimbang.

2.3.2 Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Enam aspek keharmonisan keluarga (DeFrain & Stinnett, 2002

dalam Coombs, 2005):

a. Adanya apresiasi dan kasih sayang (Appreciation and affection)

Keluarga yang harmonis memiliki rasa peduli satu sama lain, dan

terbuka dengan membiarkan anggota keluarga yang lain mengetahui

perasaan mereka. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan rasa

cinta atau kasih mereka kepada anggota keluarga lainnya baik secara

verbal maupun non verbal.

b. Komitmen (Commitment)

Keluarga yang harmonis umumnya berkomitmen bahwa keluarga

adalah yang utama. Pekerjaan maupun unsur-unsur lain dari kehidupan

tidak akan mengambil waktu terlalu banyak. Anggota keluarga

berdedikasi/rela berkorban satu sama lainnya, memberikan waktu dan

energi dalam kegiatan keluarga.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

48

c. Komunikasi yang positif (Positive communication)

Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam

keluarga. Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi

yang baik, mereka dapat mengidentifikasi kesulitan, dan menemukan

solusi yang efektif untuk semua anggota keluarga. Keluarga yang

harmonis biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara dan saling

mendengarkan satu sama lain.

d. Mempunyai waktu bersama keluarga (Enjoyable time together)

Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama

keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,

menemani anak bermain dan liburan keluarga, mendengarkan masalah

dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa

dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya.

e. Kesejahteraan spiritual (Spiritual well-being)

Orang-orang dalam keluarga harmonis menggambarkan spiritualitas

dalam berbagai cara, beberapa berbicara tentang keimanan terhadap

Tuhan, harapan atau rasa optimisme dalam hidup, beberapa yang lain

mengungkapkan spiritualitas dalam hal nilai-nilai etis dan komitmen.

Keluarga yang harmonis juga ditandai dengan terciptanya kehidupan

beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama

terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Landasan utama dalam

kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama adalah kasih sayang,

cinta-mencintai dan kasih-mengasihi.

f. Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Succesful management

of strees and crisis)

Sebagian besar masalah di dunia ini dimulai atau berakhir di keluarga.

Kadang-kadang keluarga atau anggota keluarga secara tidak sengaja

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

49

menciptakan masalah dalam keluarga, dan kadang-kadang dunia

menciptakan masalah bagi keluarga, dan hampir selalu keluarga akan

terjebak dengan masalah tidak peduli apa penyebabnya. Dalam

keluarga yang harmonis, anggota keluarga memiliki kemampuan untuk

mengelola dengan baik stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

dan kesulitan atau krisis yang terjadi dalam kehidupan secara kreatif

dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah masalah sebelum

terjadi, dan bagaimana bekerja sama untuk menghadapi tantangan

dalam hidup.

Lam et al., (2012) mengkatagorikan keharmonisan keluarga dalam

empat aspek:

a. Komunikasi

Adanya kesempatan dan keinginan untuk berhubungan atau

berkomunikasi antar anggota keluarga dan bersikap secara proaktif

dalam berkomunikasi satu sama lain. Adanya kesempatan untuk

menghabiskan waktu bersama-sama. Juga adanya keinginan untuk

saling mengerti, memahami meski terdapat perbedaan generasi (antar

anak dan orang tua), orang tua berusaha mengerti situsi anak begitu

juga sebaliknya yang harus dilakukan oleh anak.

b. Sikap saling menghormati

Sikap saling menghormati dianggap sebagai salah sau faktor paling

penting untuk terwujudnya keluarga yang harmonis. Hal ini tercipta

oleh adanya sikap saling menghormati dengan nilai-nilai atau

ketetapan yang di sepakati bersama. Mampu menyelesaikan

perselisihan atau konflik yang terjadi sampai situasi tenang atau

kembali seperti semula juga diperlukan dalam terwujudnya keluarga

yang harmonis. Dalam keluarga yang harmonis, adanya tenggang rasa

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

50

antar anggota keluarga dengan tidak bersikeras terhadap pandangan

pribadi.

c. Kurangnya konflik

Kurang adanya konflik merupakan salah satu faktor penting untuk

mempertahanan keluarga yang harmonis.

d. Waktu keluarga

Waktu berkumpul bersama keluarga menjadi penting dalam

menciptakan keluarga yang harmonis

Berdasarkan uraian di atas, penulis memakai aspek-aspek

keharmonisan keluarga DeFrain dan Stinnett (2002, dalam Coombs, 2005)

meliputi adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection),

komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive

communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time

together), kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being),

dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful

management of strees and crisis). Pemilihan aspek ini dengan asumsi

bahwa keenam aspek ini telah mencakup keseluruhan fungsi di dalam

keluarga.

2.3.3 Kaitan Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan

Kenakalan remaja

Keharmonisan keluarga merupakan suatu situasi lingkungan

diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta kehidupan

yang seimbang (fisik, mental, emosional dan spiritual) yang

memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak

dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Menurut Gunarsa

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

51

(1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa

bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan

menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi

diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.

Fungsi keluarga tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja,

juga merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu juga merupakan

produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala

kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain

(Gunarsa, 2003).

Menurut Dodson (1990, dalam Maria, 2007) keluarga yang sehat

adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap individu menghargai

perubahan yang terjadi akibat perkembangan kedewasaan dan

mengajarkan kemampuan berinteraksi kepada anggota keluarga terutama

remaja. Dalam keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa

dicintai, dan mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan

psikologisnya, saling menghargai dan mengembangkan sistem interaksi

yang memungkinkan setiap anggota menggunakan seluruh potensinya.

Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, penelitian di Indonesia

membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan

yang tidak baik antara orang tua dan anak atau apa yang dilihatnya di

rumah, sekolah dan di kalangan teman (Retnowati, 1983; & Sarifuddin,

1982 dalam Sarwono, 1999).

Dalam suatu penelitian (Maria, 2007) keluarga mempunyai peran

dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga yang

sehat dan harmonis, anak akan mendapatkan latihan-latihan dasar dalam

mengembangkan sikap sosial yang baik dan perilaku yang terkontrol.

Selain itu anak juga memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban,

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

52

tanggung jawab serta belajar bekerja sama dan berbagi dengan orang lain.

Dengan kata lain seorang anak dalam keluarga yang diwarnai dengan

kehangatan dan keakraban (keluarga harmonis) akan terbentuk asas hidup

kelompok yang baik sebagai landasan hidupnya di masyarakat nantinya.

Lingkungan keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap

memberikan kontribusi terhadap munculnya kecenderungan kenakalan

pada remaja, karena remaja yang dibesarkan oleh keluarga yang tidak

harmonis akan mempersepsi rumahnya sebagai tempat yang tidak

menyenangkan.

Dengan menghadirkan enam aspek keharmonisan keluarga

(DeFrain dan Stinnett, 2002 dalam Coombs, 2005) yakni adanya apresiasi

dan kasih sayang, komunikasi yang positif, waktu bersama keluarga,

kesejahteraan spiritual dan kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis

dalam keluarga memungkinkan remaja bertumbuh secara optimal ke arah

positif dalam segala aspek sehingga akan menekan munculnya

kecenderungan kenakalan.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

53

2.4 PENELITIAN SEBELUMNYA

Dari hasil penelusuran penulis pada berbagai hasil kajian

penelitian, kajian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan

keluarga secara simultan sejauh ini belum ditemukan. Sementara hasil

kajian penelitian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan

keluarga secara parsial cukup yang ditemukan yang diuraikan sebagai

berikut.

2.4.1 Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Kenakalan

Remaja

Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, kecerdasan emosional

memainkan peran penting dalam menentukan perilaku. Kecerdasan

emosional remaja memengaruhi kecenderungan kenakalan seseorang.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan Rini et. al., (2012) terhadap siswa

SMAN se-Surakarta menemukan hasil bahwa ada hubungan yang negatif

signifikan antara kecerdasan emosional dengan kenakalan remaja pada

siswa SMAN se-Surakarta koefisien korelasi sebesar -0,259; signifikansi

sebesar 0,000<0,05. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional pada

individu maka semakin rendah tingkat kenakalan individu tersebut.

Demikian juga, penelitian yang dilakukan oleh Muawanah et. al., (2012)

terhadap remaja tengah usia 16-17 tahun dengan sampel 53 laki-laki dan

67 perempuan di Kota Kediri, Jawa Timur, menemukan hasil koefisien

korelasi parsial kematangan emosi = -0,313 dan p= 0,001. Hal ini

menunjukkan, hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja

adalah berlawanan arah, prediksi tersebut signifikan (p<0,05). Artinya,

kematangan emosi merupakan kapasitas psikologis yang berpotensi untuk

memungkinkan terjadinya penurunan kenakalan remaja. Sejalan dengan

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

54

itu penelitian Agung dan Matulesssy (2012) menemukan hubungan negatif

yang signifikan dengan koefisien korelasi sebesar -0,259 (p<0,05) .

Sejalan dengan itu, penelitian dengan subjek yang terbatas,

ditemukan hasil bahwa agresi dan kecerdasan emosional berkorelasi negatif

signifikan dengan r= -0.87, p<0,05. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat

agresivitas seseorang maka semakin rendah tingkat kecerdasan

emosionalnya (Moskat dan Sorensen, 2012). Selain itu, penelitian Bacon

et al., (2014) ditemukan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negatif

signifikan terhadap perilaku nakal. Hasil yang sama dalam penelitian yang

dilakukan oleh Silsby (2012) terhadap 61 partisipan remaja laki-laki

dengan judul Emotional intelligence and juvenile delinquency among

Mexican-American Adolescents.

Hasil yang berbeda dari penelitian Yulianto (2012), ditemukan

hasil terdapat hubungan negatif yang tidak signifikan dengan koefisien

rx2y= -0,081 pada p=0,167 (p>0,05).

2.4.2 Keharmonisan Keluarga dan Kecenderungan Kenakalan

Remaja

Selain kecerdasan emosional, beberapa peneliti sebelumnya juga

telah melakukan penelitian tentang keterkaitan antara keharmonisan

keluarga dengan kecenderungan kenakalan remaja. Semakin baik

keharmonisan keluarga, maka kenakalan remaja semakin menurun.

Pernyataan ini mendukung penelitian dari Maria (2007), terhadap siwa

SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah. Hasilnya, ditemukan sumbangan efektif

dari keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja

sebesar 7,2%. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Saputri dan

Naqiah (2014), menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

55

antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif dari siswa, dengan

uji korelasi ganda yang menunjukan diperoleh koefisien korelasi r tabel

(5% =0,176) ≤ (r empirik -0,573) ≤ r tabel (1%=0,230). Artinya, r empirik

sebesar 0,573 adalah lebih kecil dari r teoritik baik pada taraf signifikan

5% maupun 1%. Sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang

signifikan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif. Hal ini

berarti, adanya keharmonisan dalam suatu keluarga akan memungkinkan

munculnya perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi

anak. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Darokah dan Safaria

(2005) yang menyatakan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko

lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku nakal. Hasil penelitian yang

sama juga dilakukan oleh Widyawati, et al., (2014) terhadap siswa-siswa

salah satu sekolah, hasil menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif

kecerdasan emosional dan kenakalan remaja dengan korelasi -0,258

dengan nilai signifikansi 0,000.

Hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Irmawati dan

Kurniawan (2008), dengan temuan rxy = 0,106, p = 0,147 (p> 0,05). Hal

ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif signifikan antara

keluarga harmonis dengan kecenderungan kenakalan remaja di Surakarta.

Artinya, perilaku kenakalan remaja tidak dipengaruhi adanya

keharmonisan dalam keluarga dengan kata lain keluarga yang harmonis

belum tentu menjadi faktor penentu untuk menciptakan perilaku yang baik

bagi remaja.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

56

2.5 DINAMIKA HUBUNGAN ANTAR PEUBAH

Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa

perkembangan transisi antara anak dan masa dewasa yang mencakup

perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis

mencakup perubahan dalam hakikat fisik individu. Perubahan kognitif

meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi dan bahasa tubuh,

sedangkan perubahan sosial emosional meliputi perubahan dalam

hubungan individu dengan manusia lain, baik lingkungan keluarga

maupun lingkungan sekitar, dalam emosi, kepribadian, dan konsep diri.

Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis,

yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang

yaitu kenakalan remaja.

Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari

faktor-faktor yang berhubungan dengan kecenderungan kenakalan remaja.

Semua faktor tersebut memiliki kontribusi tersendiri. Berdasarkan

berbagai penelitian yang telah dilakukan disimpulkan kecenderungan

kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dalam

penelitian ini dipahami bahwa kecenderungan kenakalan pada remaja

dipengaruhi oleh kecerdasan emosional individu dan keharmonisan

keluarga.

Kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan,

kompetensi, dan kecakapan non-kognitif yang memengaruhi kemampuan

seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan

(Stein & Book, 2002). Salovey dan Mayer (1990, dalam Stein & Book,

2002), menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan

seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan

perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

57

serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu

perkembangan emosional dan intelektual.

Seseorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional tinggi

memiliki kecenderungan yang rendah dalam melakukan tindakan

bermasalah yang berat, dan sebaliknya dengan remaja yang memiliki

kecerdasan emosional yang rendah berpotensi untuk melakukan atau

mempunyai masalah yang berat. Menurut Rachmawati (2013) siswa yang

memiliki kecerdasan emosional yang rendah, cenderung tidak mempunyai

rasa tanggung jawab terhadap perasaan diri sendiri tetapi menyalahkan

orang lain, berbohong tentang apa yang ia rasakan, tidak sensitif terhadap

perasaan orang lain, tidak mempunyai rasa empati dan rasa kasihan, sering

merasa kecewa, dan pemarah, sehingga memicu permasalahan yang

menyebabkan siswa memiliki masalah yang berat dan kemudian

melakukan perilaku yang menyimpang. Hal ini sejalan dengan penelitian

dari Rini et al. (2012); Muawanah et al., (2012) yang menyatakan,

kecerdasan emosional berpengaruh pada kecenderungan perilaku nakal

yang dilakukan. Remaja dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi

akan memiliki kecenderungan kenakalan yang rendah dan sebaliknya.

Selain faktor kecerdasan emosional, faktor lain yang tidak kalah

pentingnya adalah keharmonisan keluarga. Keluarga yang sehat, harmonis

dapat menjadi sumber daya berharga untuk bertahan dalam kesulitan

hidup. Di sisi lain, hubungan yang tidak sehat atau disfungsional dapat

menciptakan masalah serius yang dapat bertahan dari satu generasi ke

generasi berikutnya (DeFrain & Asay, 2007).

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

58

Menurut Gunarsa (1995), keluarga harmonis ketika seluruh anggota

keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,

kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya

(eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.

Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan tetapi

merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu, keluarga juga merupakan

produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala

kebutuhan dan seluruh anggota keluarga untuk saling membutuhkan satu

sama lain (Gunarsa, 2003).

Dalam keluarga yang harmonis, terciptanya apresiasi dan kasih

sayang, komitmen, adanya komunikasi yang positif, mempunyai waktu

bersama keluarga, kesejahteraan spiritual dalam keluarga, dan adanya

kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Coombs, 2005).

Keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa dicintai, dan

mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan psikologisnya, saling

menghargai dan mengembangkan sistem interaksi yang memungkinkan

setiap anggota menggunakan seluruh potensinya. Seorang anak dalam

keluarga yang diwarnai dengan kehangatan dan keakraban (keluarga

harmonis) akan terbentuk asas hidup kelompok yang baik sebagai

landasan hidupnya di masyarakat nantinya dan sebaliknya lingkungan

keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap memberikan

kontribusi terhadap munculnya kenakalan pada remaja (Maria, 2007). Hal

itu didukung oleh penelitian Darokah dan Safaria (2005); Saputri dan

Naqiah (2014), bahwa keharmonisan keluarga memungkinkan munculnya

perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi anak

sedangkan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terlibat dalam perilaku nakal.

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9287/2/T2_832013009_BAB II.pdf · Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud

59

2.6 MODEL PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, hasil-hasil penelitian sebelumnya

dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka kaitan antar

peubah dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model penelitian

2.7 HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kecerdasan

emosional dan keharmonisan keluarga secara simultan terhadap

kecenderungan kenakalan remaja siswa SMP Negeri 13 Ambon.

Kecerdasan Emosional

X1

Keharmonisan Keluarga

X2

Kecenderungan

Kenakalan Remaja

Y